• Tidak ada hasil yang ditemukan

jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "jurnal"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

anakku Volume 7 Nomor 1 Juni 2007 hlm 101-110

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA DAN

BERBICARA ANAK TUNARUNGU

Tati Hernawati

Jurusan PLB FIP

Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRAK

Tulisan ini memberikan gambaran mengenai salah satu kebutuhan khusus anak tunarungu, yaitu pengembangan kemampuan berbahasa dan berbicara yang merupakan suatu kesatuan dalam berkomunikasi. Kemampuan berbahasa dalam arti memiliki pemahaman bahasa (bahasa reseptif) terlebih dahulu harus dikembangkan sebelum mengembangkan kemampuan bicara yang merupakan salah satu media untuk menyampaikan pesan dalam wujud bahasa lisan (bahasa ekspresif). Oleh karena itu, dalam tulisan ini dibahasa terlebih dahulu bagaimana pengembangan bahasa anak tunarungu, kemudian bagaimana pengembangan kemampuan bicaranya.

Kata kunci: pengembangan. kemampuan berbahasa-berbicara. anak tunarungu.

PENDAHULUAN

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pada organ

pendengarannya sehingga mengakibatkan ketidakmampuan mendengar, mulai dari

tingkatan yang ringan sampai yang berat sekali yang diklasifikasikan kedalam tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Hallahan & Kauffman (1991:266) dan Hardman, et

al (1990:276) mengemukakan bahwa orang yang tuli (a deaf person) adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam

memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan

alat bantu dengar (hearing aid). Sedangkan orang yang kurang dengar (a hard of hearing person) adalah seseorang yang biasanya menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa,

artinya apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan hearing aid, ia masih dapat menangkap pembicaraan malalui pendengarannya.

Gangguan pada organ pendengaran bias terjadi pada telinga luar, tengah, maupun bagian

(2)

tipe konduktif, sensorineural, dan campuran. Tunarungu tipe konduktif diakibatkan

adanya gangguan pada telinga luar dan tengah, sedangkan tunarungu sensorineural

diakibatkan gangguan pada telinga bagian dalam serta syaraf pendengaran. Adapun

tunarungu campuran merupakan perpaduan antara tipe konduktif dan sensorineural.

Ketunarunguan dapat terjadi pada masa prabahasa dan pasca bahasa. Ketunarunguan

prabahasa (prelingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa berkembang, sedangkan ketunarunguan pasca

bahasa (post lingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi setelah

berkembangnya kemampuan bicara dan bahasa secara spontan (Kirk & Gallagher, 1989:

301-302).

Dampak langsung dari ketunarunguan adalah terhambatnya komunikasi

verbal/lisan, baik secara ekspresif (berbicara) maupun reseptif (memahami pembicaraan

orang lain), sehingga sulit berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar yang

lazim menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi. Hambatan dalam

berkomunikasi tersebut, berakibat juga pada hambatan dalam proses pendidikan dan

pembelajaran anak tunarungu. Namun demikian anak tunarungu memiliki potensi untuk

belajar berbicara dan berbahasa. Oleh karena itu anak tungarungu memerlukan layanan

khusus untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan berbicara, sehingga dapat

meminimalisi dampak dari ketunarunguan yang dialaminya. Bagaimana mengembangkan

kemampuan berbahasa dan berbicara anak tunarungu? Inilah yang menjadi bahasan

dalam artikel ini.

PEMBAHASAN

Ketunarunguan bukan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan

berbicara, lebih dari itu dampak paling besar adalah terbatasnya kemampuan berbahasa

(Van Uden, 1977; Meadow, 1980). Leigh (1994; dalam bunawan, 2004) mengemukakan

bahwa masalah utama kaum tunarungu bukan terletak pada tidak dikuasainya suatu

sarana komunikasi lisan, melainkan akibat hal tersebut terhadap perkembangan

kemampuan berbahasanya secara keseluruhan yaitu mereka tidak atau kurang mampu

dalam memahami lambang dan aturan bahasa. Secara lebih spesifik, mereka tidak

(3)

mewakili benda-benda, peristiwa kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami

aturan/sistem/tata bahasa. Keadaan ini terutama dialami anak tunarungu yang mengalami

ketulian sejak lahir atau usia dini (tuli prabahasa).

Terhambatnya kemampuan berbahasa yang dialami anak tunarungu, berimplikasi pada

kebutuhan khusus mereka untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dengan metode

khusus, yang merupakan dasarnya setiap anak tunarungu dapat dikembangkan

kemampuan berbahasa dan berbicaranya melalui berbagai layanan khusus dan fasilitas

khusus yang sesuai dengan kebutuhannya.

Pengembangan Berbahasa Anak Tunarungu

Dalam mengembangkan kemampuan berbahasa pada anak tunarungu, kita perlu

memahami perolehan bahasa yang terjadi pada anak mendengar dan juga yang terjadi

pada anak tunarungu. Myklebust (1963; dalam Bunawan & Yuwati, 2000)

mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa anak yang mendengar berawal dari adanya

pengalaman atau situasi bersama antara bayi dan ibunya atau orang lain yang berarti

dalam lingkungan terdekatnya. Melalui pengalaman tersebut, anak ‘belajar’

menghubungkan pengalaman dan lambang bahasa yang diperoleh melalui

pendengarannya. Proses ini merupakan dasar berkembangnya bahasa batini (inner language). Setelah itu, anak mulai memahami hubungan antara lambang bahasa dengan benda atau kejadian yang dialaminya sehingga terbentuklah bahasa reseptif anak. Dengan

kata lain anak memahami bicara lingkungannya (bahasa reseptif auditori). Setelah bahasa

reseptif auditori ‘agak’ terbentuk, anak mulai mengungkapkan diri melalui kata-kata

sebagai awal kemampuan bahasa ekspretif auditoria tau berbicara, meskipun pada

dasarnya perkembangan kea rah bicara muncul lebih dini lagi, yaitu dengan adanya masa

meraban. Kemampuan itu semua berkembang melalui pendengarannya (auditori). Setelah

anak memasuki usia sekolah, penglihatannya berperan dalam perkembangan bahasa

melalui kemampuan membaca (bahasa reseptif visual) dan menulis (bahasa ekspresif

visual).

Berdasarkan proses pemerolehan bahasa pada anak mendengar, Myklebust (1963)

(4)

berbahasa yang telah dijelaskan diatas pada anak tunarungu. Berhubung pada masa itu

teknologi pendengaran belum berkembang, maka anak tunarungu dipandang tidak/kurang

memungkinkan memperoleh bahasa melalui visual atau taktil kinestetik, atau kombinasi

keduanya. Dengan demikian tersedia tiga alternative, yaitu: isyarat, membaca, dan

membaca ujaran. Myklebust menganggap media membaca ujaran merupakan pilihan

yang tepat disbanding isyarat dan membaca. Dengan kemajuan teknologi pendengaran

saat ini, maka sisa pendengarannya dapat dioptimalkan untuk menstimulasi anak

tunarungu dalam perolehan bahasa.

Apabila membaca ujaran menjadi dasar pengembangan bahasa batini anak

tunarungu, kita dapat melatih anak tunarungu untuk menghubungkan pengalaman yang

diperolehnya dengan gerak bibir dan mimik pembicara. Bagi anak kurang dengar yang

menggunakan alat bantu dengar, dapat menghubungkannya dengan lambang bunyi

bahasa (lambang auditori). Setelah itu, anak tunarungu mulai memahami hubungan antara

lambang bahasa (visual & auditori) dengan benda atau kejadian sehari-hari, sehingga

terbentuklah bahasa reseptif visual/auditori. Sama halnya seperti anak mendengar,

kemampuan bahasa ekspresif (bicara) baru dapat dikembangkan setelah memiliki

kemampuan bahasa reseptif. Selanjutnya anak tunarungu dapat mengembangkan

kemampuan bahasa reseptif visual (membaca) dan bahasa ekspresif visual (menulis).

Demikian perilaku bahasa verbal yang dapat terjadi pada anak tunarungu.

Pada umumnya, anak tunarungu memasuki sekolah tanpa/kurang memiliki

kemampuan berbahasa verbal, berbeda dengan anak mendengar yang memasuki sekolah

setelah memperoleh bahasa. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak tunarungu, proses

pemerolehan bahasa anak tunarungu diberikan di sekolah melalui layanan khusus.

Layanan pemerolehan bahasa tersebut menekankan pada percakapan, seperti halnya

percakapan yang terjadi antara anak mendengar dengan ibunya/orang terdekatnya dalam

pemerolehan bahasa, dengan memperhatikan sensori yang dapat diberikan stimulasi.

Percakapan merupakan kunci perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead,

1982). Oleh karena itu, tugas guru SLB/B adalah mengantarkan anak tunarungu dari

masa prabahasa menuju purnabahasa melalui percakapan dan bersifat alamiah.

Berkaitan dengan hal tersebut, Van Uden telah mengembangkan metode pengembangan

(5)

Metode ini memiliki ciri bahwa percakapan itu terkait dengan kegiatan melakukan

sesuatu bersama antara ibu atau orang lain dengan anak (bersifat alamiah), serta

menerapkap metode tangkap dan peran ganda. Metode tangkap dan peran ganda

maksudnya adalah bahwa ibu atau orang lain menangkap ungkapan anak, kemudian

membahasakannya serta menanggapi ungkapan tersebut, sehingga tercipta suatu

percakapan.

Pengembangan Kemampuan Bicara Anak Tunarungu

Pengembangan kemampuan berbicara merupakan serangkaian upaya agar anak

memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk mengekspresikan pikiran, gagasan,

dan perasaanya dengan cara berbicara. Nugroho (2004) mengemukakan bahwa layanan

bina-bicara memiliki tiga macam tujuan, yaitu:

Di bidang pengetahuan, agar anak memiliki pengetahuan tentang: a) cara mengucapkan

seluruh bunyi bahasa Indonesia; b) cara mengucapkan kata, kelompok kata dan kalimat

Bahasa Indonesia; c) mengevaluasi bicaranya sendiri, berdasarkan pengamatan visual,

auditif, dan kinestetik; d) mengendalikan alat ucapnya untuk peningkatan kualitas bicara;

serta e) pemilihan kata dan kelompok kata yang tepat.

Di bidang keterampilan, agar anak terampil: a) mengucapkan bunyi-bunyi bahasa

Indonesia; b) mengucapkan kata, kelompok kata, dan kalimat bahasa Indonesia; c)

mengevaluasi bicaranya sendiri berdasarkan pengamatan visual, auditif, dan kinestetik; d)

mengendalikan alat ucapnya demi perbaikan dan peningkatan mutu bicaranya; dan e)

menggunakan kata-kata, kelompok kata, dan kalimat sesuai dengan gagasan dan tata

bahasa yang baik dan benar.

Di bidang sikap, agar anak memiliki: a) senang menggunakan cara bicara dalam

mengadakan komunikasi dengan orang lain; b) senang mengadakan evaluasi dan

memperbaiki kesalahan-kesalahan serta berusaha meningkatkan kemampuannya.

Tujuan akhir bina-bicara bagi anak tunarungu, adalah agar ia memiliki pengetahuan,

keterampilan, dan sikap dasar untuk: a) berkomunikasi di masyarakat; b) bekerja dan

beritegrasi dalam kehidupan masyarakat; serta c) berkembang sesuai dengan asas

(6)

Dalam pelaksanaanya, layanan bina bicara, meliputi:

Pertama, latihan prabicara: latihan keterarahwajahan, keterarahsuaraan, dan pelemasan organ bicara.

Kedua, latihan pernafasan, misalnya meniup dengan hembusan, meniup dengan letupan, menghirup serta menghembuskan nafas melalui hidung.

Ketiga, latihan pembentukan suara: menyadarkan anak untuk bersuara, merasakan getaran, menirukan ucapan guru sambil merasakan getaran, melafalkan vokal bersuara,

serta meraban sambil mersakan getaran.

Keempat, pembentukan fonem.

Kelima, penggemblengan, pembetulan, serta penyadaran irama/aksen.

Keenam, pengembangan.

Lebih lanjut, Nugroho (2004) mengemukakan bahwa materi yang diajarkan dalam

layanan bina bicara, meliputi: meteri fonologik (fonem segmental dan suprasegmental);

materi morfologik (kata dasar, kata jadian, kata ulang dan kata majemuk); materi

sintaksis (kalimat berita, ajakan, perintah, larangan dan kalimat tanya); serta materi

sistematik.

Dalam pengembangan bicara anak tunarungu, ada beberapa metode yang

didasarkan pada beberapa hal, yaitu:

Pertama, berdasarkan cara menyajikan materi, metode yang dapat digunakan adalah: a. Metode global berdiferensisasi.

Metode ini, disamping didasarkan pada cara menyajikan materi, juga didasarkan pada

perimbangan kebahasaan. Bahasa pertama-tama nampak dalam ujaran secara totalitas.

Oleh karena itu dalam mengajar atau melatih anak berbicara, dimulai dengan ujaran

secara utuh (global), baru kemudian menuju ke pembentukan fonem-fonem sebagai

satuan bahasa yang terkecil.

b. metode analisis sintetis.

Metode ini merupakan kebalikan dari metode global diferensiasi. Penyajian materi

dilakukan mulai dari satuan bahasa terkecil (fonem) menuju kata dan kalimat.

(7)

a. Metode multisensori, yaitu menggunakan seluruh sensori untuk memperoleh

kesan bicara, seperti: penglihatan, pendengaran, perabaan (taktil), serta kinestetik.

b. Metode suara, yang saat ini lebih dikenal dengan metode auditori verbal, yaitu

metode pengajaran bicara yang lebih mengutamakan pada pemanfaatan sisa

pendengaran dengan menggunakan sistem amplifikasi pendengaran.

Ketiga, berdasarkan fonetika, metode yang dapat digunakan dalam pengajaran bicara, adalah:

a. Metode yang bertitik tolak pada fonetik, yaitu didasarkan pada mudah sukarnya

bunyi-bunyi menurut ilmu fonetik, dan dianggap sama bagi semua anak. Bunyi

bahasa yang diajarkan dimulai dari deretan bunyi paling depan/muka di mulut,

karena bunyi-bunyi tersebut paling mudah dilihat dan ditiru, yaitu kelompok

konsonan bilabial (p, b, m dan w). Setelah konsonan bilabial dikuasai, dilanjutkan

pada konsonan dental (l, r, t, d dan n), kemudian konsonan velar (k,g dan ng), dan

selanjutnya konsonan palatal (c, j, ny, y dan s).

b. Metode tangkap dan peran ganda, yaitu metode yang menuntut kepekaan guru

menangkap fonem yang diucapkan anak secara spontan, yang merupakan titik

tolak untuk dikembangkan kedalam kata, kelompok kata, dan kalimat. Metode ini

didasarkan pada fonem yang paling mudah bagi tiap-tiap anak (prinsip

individualitas).

Untuk keefektifan pelaksaan pelatihan bicara anak tunarungu, dibutuhkan berbagai

sarana dan prasarana, antara lain:

a) Alat-alat stimulasi visual: cermin, gambar-gambar, kartu identifikasi, pias kata

dan sebagainya.

b) Alat-alat stimulasi auditoris: speech trainer, alat bantu dengar baik klasikal

maupun individual dan sebagainya.

c) Alat-alat untuk stimulasi vibrasi: vibrator dan sikat getar.

d) Alat-alat latihan pernafasan: lilin, kapas, minyak kayu putih, gelembung air sabun,

peluit, terompet, harmonika, saluran kayu dengan bola pingpong dan sebagainya.

e) Alat-alat untuk pelemasan organ bicara: permen bertangkai, madu dan sebagainya.

Layanan bina bicara dapat diberikan kepada anak tunarungu secara individual maupun

(8)

lama latihan antara 20-25 menit setiap kali pertemuan. Layanan bina bicara secara

klasikal diadakan menjelang percakapan dari hati ke hati melalui latihan mendengar dan

bicara secara terpadu. Disamping kedua pendekatan tersebut, bina bicara dapat diberikan

secara nonformal, yang artinya layanan bicara berupa pembetulan ucapan yang salah

(speech correction) diberikan kapan saja, demana saja, kepada siapa saja dan oleh siapa saja.

KESIMPULAN

Anak tunarungu merupakan anak yang mengalami gangguan pendengaran yang

diklasifikasikan kedalam tuli (deaf) dan kurang pendengaran (hard of hearing). Ketunarunguan memberikan dampak terhadap perkembangan bahasa dan bicaranya

terutama bagi anak tunarungu sejak lahir (prabahasa). Perkembangan berbahasa dan

berbicara mereka menjadi terhambat, sehingga berakibat juga pada keterhambatan dalam

pengembangan potensinya.

Kemampuan berbahasa dan berbicara anak tunarungu dapat dikembangkan

melalui layanan khusus serta didukung dengan berbagai fasilitas, baik yang berkaitan

dengan materi latihan, maupun dengan fasilitas yang digunakan untuk mengoptimalkan

sisa pendengarannya. Pengembangan kemampuan berbahasa dan berbicara anak

tunarungu harus dilakukan sedini mungkin agar diperoleh hasil yang efektif.

Kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat dikembangkan berdasarkan

pemerolehan bahasa pada anak mendengar melalui percakapan antara anak dengan

ibunya atau orang yang dekat dengannya. Anak mendengar memperoleh bahasa berawal

dari adanya pengalaman atau situasi bersama anatara bayi dan ibunya atau

orang ’terdekatnya’. Melalui pengalaman tersebut, anak ’belajar’ menghubungkan

pengalaman dengan lambang bahasa yang diperoleh malalui pendengarannya. Sedangkan

anak tunarungu dapat memperoleh bahasa melalui belajar menghubungkan pengalaman

dalam situasi bersama antara anak dan orang tua atau guru dengan lambang visual berupa

gerakan organ artikulasi yang membentuk kata-kata. Bagi anak yang kurang dengar,

dengan bantuan alat bantu dengar, pendengarannya dapat mendukung proses

(9)

Kemampuan bicara anak tunarungu dikembangkan setelah bahasa reseptif anak

mulai terbentuk. Pembinaanya dapat dilakukan secara individual maupun klasikal.

Adapun tujuan akhir dari pengembangan kemampuan bicara pada anak tunarungu adalah

agar ia memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar untuk: berkomunikasi di

masyarakat; bekerja dan berintegrasi dalam kehidupan masyarakat; serta berkembang

sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Bunawan, L. & Yuwati, C. S. (2000). Penguasaan Bahasa Pada Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.

Bunawan, L. (2004). Hekekat Ketunarunguan & Implikasi dalam Pendidikan. Makalah Pelatihan Dosen Pendidikan Luar Biasa, tidak diterbitkan. Jakarta.

Hallahan, D. P. & Kauffman, J. M. (1991). Exceptionality Childern Introduction to

Special Education (fifth ed.). New Jersey: Prentice Hall International, Inc..

Hardman, M. L. et.al. (1990). Human Exceptionality (third ed.). Massachusetts: A Division of Simon & Schuster Inc.

Kirk, S. A. & Gallagher, J. J. (1989). Education Exceptionality Children (sixth ed.). Boston: Houghton Mifflin Company.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Surakarta adalah sebuah keniscayaan dalam era teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini. Suatu fenomena di mana teknologi telah menisbikan ruang dan

terkait Sister City antara Kabupaten Wonogiri dengan Kabupaten Wuming yang didapat. dari

Dari AutoCad, peta hasil digitasi dikonversi ke dalam bentuk format yang dapat di baca oleh perangkat lunak Map Info yaitu : konversi dari format AutoCad (DWG) ke format standar

Table 12.11 shows the four most important structures in the wave function of BF as determined by the magnitude of the coefficients for standard tableaux functions or HLSP functions..

Indofood CBP Sukses Makmur Tbk Divisi Noodle Cabang Semarang melakukan pengawasan pada 3 bagian yaitu pengawasan pada mutu bahan baku / Incoming Quality Control,

Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan Visa Kunjungan Bagi Warga Negara Asing Di Wilayah Kerja Kantor Imigrasi Kelas 1 Surakarta ... Upaya Imigrasi Surakarta Agar

Terlihat dari sumber daya alam (SDA) yang terhampar luas dan terlihat di sepanjang perjalanan kami, yakni hutan bambu dan lautan pohon singkong, namun masyarakat di desa

Memberikan pengenalan dasar-dasar teknik sistem komputer: Sistem bilangan, rangkaian logika dasar, mikrokomputer, mikroprosesor/mikrokontroler, memori (RAM/ROM), bahasa