• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana Pragmatisme Politik Dalam Tekas Berita Tentang Pelanggaran Kode Etik Abraham Samad Di Harian Pikiran Rakyat (Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Wacana Pragmatisme Politik Dalam Tekas Berita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wacana Pragmatisme Politik Dalam Tekas Berita Tentang Pelanggaran Kode Etik Abraham Samad Di Harian Pikiran Rakyat (Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Wacana Pragmatisme Politik Dalam Tekas Berita"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

POLITICAL PRAGMATISM DISCOURSE IN THE NEWS TEXT ABOUT ABRAHAM SAMAD’S VIOLATIONS OF THE ETHICS CODE ON THE

HARIAN PIKIRAN RAKYAT

(Teun A. Van Dijk Critical Discourse Analysis about Political Pragmatism Discourse in the News Text About Abraham Samad Violations of the Ethics Code

on the Harian Pikiran Rakyat January 23rd 2015) Written by:

PANJI BANIDIA PRATAMA NIM. 41811110

This thesis is under guidance of: Olih Solihin, S.Sos., M.I.Kom.

The purpose of this research is to discover the Political Pragmatism Discourse in the news text about Abraham Samad violations of the ethics code on the Harian Pikiran Rakyat. To achieve that goal then raised the question of how the dimension of text, dimension of social cognition, and dimension of social context in this news text. This research used a qualitative approach with Teun A. Van Dijk critical discourse analysis. The data collection technique for this research was using documentation study, in-depth interview, the study of literature and online data retrieval.

Result of the study, the dimension of text indicates that the news text about Abraham Samad violations of the ethics code which carrying Hasto Krisyanto’s theme statement when it is not well-founded nor do they have strong evidence and that tend to be things that are not possible. Social cognition, text of this news is inseparable from social cognition journalist themselves who see Abraham Samad’s case is merely an attempt to criminalize mad to KPK. While the social context, the discourse developed in the community when it is leading to a consensus that KPK is in the right side, while the Polri in the wrong side, so that many people expressed their support by doing demonstration and others.

The conclusion of this study shows that the news text has been marginalized political pragmatism discourse of Abraham Samad with a discourse that says that KPK is criminalize victim of the other institutions who want to stunt KPK. Suggestions of researcher, the community is expected not to look at the news just as an informative or educative course, because in it, there are many ideological, political, and economic interest.

(2)

WACANA PRAGMATISME POLITIK DALAM TEKS BERITA TENTANG PELANGGARAN

KODE ETIK ABRAHAM SAMAD DI HARIAN PIKIRAN RAKYAT

(Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Wacana Pragmatisme Politik Dalam Teks Berita “Giliran PDIP Serang KPK” Tentang

Pelanggaran Kode Etik Abraham Samad Di Harian Pikiran Rakyat Edisi 23 Januari 2015)

ARTIKEL

Pemberitaan pada praktiknya tidak bisa hanya dikatakan sebagai suatu produk dari media yang bersifat informatif ataupun netral, karena di dalamnya sangat sarat akan wacana – wacana sebagai buah dari kepentingan – kepentingan pihak – pihak tertentu, baik itu kepentingan politik, ekonomi, maupun ideologi. Seperti halnya juga yang terjadi pada pemberitaan mengenai kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK non-aktif Abraham Samad saat menjelang pemilihan presiden 2014. Dimana pada saat itu posisi Abraham Samad masih menjadi Ketua KPK yang masih aktif, sehingga dikatakan bahwa Samad melakukan pelanggaran kode etik. Mencuatnya kasus tersebut sebagai dampak dari ditetapkannya Komjen Pol. Drs. Budi Gunawan, S.H., M.Si., Ph.D. sebagai tersangka oleh KPK.

(3)

Gunawan sebagai Kapolri untuk menggantikan Jendral Pol. Sutarman. Dengan demikian, jelas sekali bahwa wacana seperti itulah yang diinginkan beredar di masyarakat untuk memenuhi kepentingan dari media itu sendiri maupun kepentingan lainnya.

Dengan adanya wacana bahwa KPK menjadi korban tadi, maka wacana lobi politik yang dilakukan oleh Abraham Samad untuk melanggengkan dirinya menjadi cawapres Joko Widodo pada pilpres 2014 tersebut, hanya dianggap sebagai suatu bentuk perlawanan yang dilakukan untuk memperlemah KPK. Bahkan dengan demikian, seperti terjadi suatu pembenaran bahwa lobi politik yang dilakukan oleh Abraham Samad kepada PDI Perjuangan itu merupakan suatu hal yang sah – sah saja.

Wacana mengenai pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Abraham Samad tersebut berawal dari pernyataan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang membeberkan bahwa Abraham Samad pernah rajin menemui petinggi partai sedikitnya enam kali pada kurun waktu Januari hingga Mei 2014 dalam konferensi pers pada tanggal 22 Januari 2015 lalu. Dalam konferensi persnya juga, Hasto “mengangkut” puluhan wartawan dengan dua bus besar ke apartemen

mewah di The Capital Residence, Jakarta selatan yang mana digunakan sebanyak dua kali oleh Abraham Samad untuk menemui petinggi partai.

(4)

menggemparkan ketika muncul kasus “Rekening Gendut Jendral Polri”. Sebagai lembaga pemberantasan korupsi, KPK mengusut kasus tersebut, sehingga kasus tersebut oleh media dilabeli sebagai “Cicak vs Buaya”. Dimana KPK sebagai

lembaga yang lebih kecil dan mungkin lemah, dianalogikan sebagai cicak. Sementara Polri dengan kuasa yang lebih besar dianalogikan sebagai buaya yang siap memangsa lawannya.

Maka dari itu, untuk kasus KPK dengan Polri sekarang pun banyak media yang melabelinya sebagai Cicak vs Buaya Jilid III. Kasus ini bermula ketika Presiden Jokowi mengirimkan surat untuk mencalonkan Komisaris Jendral Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru menggantikan Jendral Sutarman kepada DPR. Sementara itu, KPK yang dari sebelumnya telah memberikan rapor merah kepada Komjen Budi Gunawan karena terdapat transaksi yang mencurigakan saat Budi masih menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier PSDM Polri 2004 – 2006 tidak tinggal diam. Empat hari setelah Jokowi mengirimkan surat tersebut kepada DPR, atau tepatnya tanggal 13 Januari 2015, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka.

(5)

dilakukan Abraham Samad kepada elit PDI Perjuangan agar dapat dijadikan cawapres pendamping Jokowi pada pilpres 2014 lalu. Tentunya akan menjadi sangat riskan ketika KPK, yang sangat didukung dan dipercayai oleh masyarakat jika dijadikan sebagai alat bermanuver dalam politik oleh Abraham Samad.

Jika seperti apa yang disebutkan oleh Hasto tadi, maka terlihat bahwa Abraham Samad sudah memanfaatkan segala kesempatan, kekuatam, juga posisi yang ia miliki untuk memenuhi kepentingannya dalam bidang politik. Abraham Samad pada lobi politik tersebut sudah mencerminkan bagaimana ia yang seharusnya menjadi penyidik juga pemberantas praktik – praktik korupsi, malah seperti tergiur oleh godaan untuk meraih tahta sebagai cawapres yang bersanding dengan Jokowi. Hal – hal tersebut sangat erat kaitannya dengan apa yang disebut dengan pragmatisme politik. Dimana pragmatisme politik ini mengagungkan manfaat yang dapat diterima dari tindakan – tindakan yang dilakukan seseorang, maupun kelompok.

Pragmatisme politik ini melanggengkan tiap – tiap individu untuk berpolitik

(6)

bagi diri sendiri tanpa memikirkan bagaimana dampak terhadap orang lain. Seperti halnya Abraham Samad yang pada saat menjelang pilpres 2014 tersebut masih menjabat sebagai Ketua KPK, melakukan lobi politik demi kepentingannya sendiri untuk menjadi cawapres dari Jokowi. Padahal institusi seperti KPK ini harusnya bebas dari kepentingan – kepentingan politik dan selalu mendahulukan kepentingan publik.

Abraham Samad yang dalam kasus ini banyak didukung oleh berbagai pihak, terutama oleh kebanyakan masyarakat yang memandang, ataupun dapat dikatakan terlanjur tidak suka terhadap Polri. Hal tersebut sebenarnya tidak bisa terlepas dari historis dari KPK itu sendiri. Lembaga yang menaungi Abraham Samad itu sendiri. Sepak terjang KPK yang sedari awal memikat hampir semua masyarakat Indonesia telah membentuk suatu pemahaman di mata publik bahwa KPK adalah satu – satunya harapan yang dimiliki masyarakat Indonesia untuk memberantas korupsi yang sudah sejak lama melekat kepada Negara Indonesia ini. Sehingga bisa kita katakan juga bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia ini menilai KPK merupakan lembaga yang paling bersih dari tindak korupsi maupun bentuk tindak kejahatan lainnya.

(7)

Akan tetapi, tuduhan serius yang diutarakan oleh Hasto ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Dengan kapasitasnya sebagai Ketua KPK saat itu, Abraham Samad seharusnya tidak menyelewengkan wewenang yang ia punya.

Jika diruntut dari kasus perseteruan KPK dengan Polri sebelumnya, posisi masyarakat selalu menjadi pendukung KPK. Hal tersebut tidak terlepas dari citra polisi yang sudah terlanjur buruk di mata masyarakat Indonesia. Selain itu juga hal ini pun tidak terlepas pula dari manuver – manuver Polri yang selalu terkesan mengada – ngada ketika KPK berusaha menyentuh petinggi – petingginya yang melakukan tindak korupsi.

Dengan demikian, dalam masyarakat terus berkembang sehingga memunculkan suatu konsensus yang mengatakan bahwa KPK adalah pihak yang benar dan Polri adalah pihak yang salah. Yang pada akhirnya juga terbawa hingga kasus perseteruan KPK dengan Polri jilid tiga ini.

Dengan demikian pula, maka ketika Hasto mengungkapkan tentang lobi politik yang dilakukan oleh Abraham Samad, banyak masyarakat yang langsung menilai bahwa hal itu hanyalah mengada – ngada belaka. Bahkan tidak hanya masyarakat, media – media pun ikut terpengaruh akan konsensus publik pada berita

yang mereka keluarkan mengenai kasus ini.

(8)

dikatakan oleh Hasto ini. Sehingga hal tersebut juga semakin meyakinkan publik akan konsensus yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Dengan demikian, wacana pragmatisme politik yang dilakukan oleh Abraham Samad semakin terpinggirkan oleh wacana yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa KPK adalah pihak yang selalu benar, dan pihak – pihak lain yang melakukan manuver kepada KPK adalah pihak yang salah.

Wacana pragmatisme politik Abraham Samad terkait dengan upaya pencalonan dirinya sebagai calon wakil presiden bersanding dengan Joko Widodo pada pilpres 2014 lalu seperti yang diutarakan Hasto Krisyanto pada konferensi pers yang ia lakukan Januari lalu sejatinya merupakan hal yang penting. Wacana ini tidak bisa kita anggap remeh, atau bahkan kita pandang hanya sebagai akal – akalan saja untuk “membalas” perlakuan KPK terhadap Polri.

Akan tetapi, wacana tersebut dikemas sedemikian rupa oleh media sehingga wacana tersebut tampak menjadi sah – sah saja. Sah – sah saja disini dalam artian

bahwa masyarakat lebih menganggap bahwa wacana pragmatisme politik tersebut hanya sebuah “serangan” balasan yang dilakukan oleh pihak PDI Perjuangan

terhadap KPK. Padahal jika dilihat dari konteks dimana Abraham Samad yang pada saat menjelang pilpres 2014 tersebut masih menjabat sebagai Ketua KPK, kemudian ia melakukan lobi politik demi kepentingannya sendiri untuk menjadi cawapres dari Jokowi, dimana seharusnya institusi seperti KPK ini harusnya bebas dari kepentingan – kepentingan politik.

Pada berita “Giliran PDIP Serang KPK” di Harian Pikiran Rakyat, wacana

(9)

skema berita yang sedemikian rupa sehingga terlihat seperti itu. Struktur kebahasaan yang digunakan dalam berita tersebut dibuat lebih “mendukung”

Abraham Samad. Seperti topik dari berita ini yang isinya “Serangan” atau

pernyataan Hasto Kristiyanto, seorang politisi PDI Perjuangan terkait penetapan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka merupakan pembalasan yang dilakukan oleh Ketua KPK (saat itu) Abraham Samad yang tidak jadi disandingkan dengan Joko Widodo pada pilpres 2014 lalu, tidak cukup beralasan juga tidak memiliki bukti yang kuat dan hal tersebut cenderung sebagai hal yang tidak mungkin.

Kemudian juga dapat terlihat pula dari skema penyusunan berita ini, dimana dari lead hingga summary, semuanya berujung kepada suatu kesimpulan dimana apa yang dikatakan Hasto tentang Abraham Samad dalam konferensi persnya itu merupakan hal yang tidak benar juga tidak didukung dengan bukti yang kuat. Selain itu juga dapat terlihat pula pada unsur mikro dari dimensi teks berita ini, dimana unsur – unsur tersebut mengarah pada keberpihakan teks berita ini kepada Abraham

Samad.

(10)

KPK supaya aksi korupsinya tidak terungkap oleh hukum, juga wacana dimana ketika Polri dengan KPK berseteru, maka pihak yang salah adalah Polri.

(11)

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala, Siti Karlinah. 2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Dalam Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang.

Haryadi, Rohmat. 2009. Chandra-Bibit: Membongkar Perseteruan KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Jakarta: PT. Mizan Publika.

Hikmat, Mahi M. 2011. Komunikasi Politik Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Santoso, Listiyono, dkk. 2003. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

(12)

Riyanto, E Armada. 2011. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius.

Wolff, Jonathan. 2013. Pengantar Filsafat Politik. Bandung: CV Nusa Media. Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Karya Ilmiah:

Ardianto, Elvinaro. 2012. Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Harian Pikiran Rakyat Dan Harian Kompas Sebagai Public Relations Politik Dalam Membentuk Branding Reputation Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Universitas Padjadjaran.

Astuti, Tia Agnes. 2011. Analisis Wacana Kritis Van Dijk Terhadap Berita "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" di Majalah Pantau. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

(13)

2015.

Berita Cicak vs Buaya, Majalah Tempo, Edisi Juli 2009

Berita “Gubernur:Pikiran Rakyat, Koran Nasional Berpusat di Bandung” di situs resmi Pemerintah Jawa Barat yang diakses pada tanggal 9 April 2015 pukul 17:21 WIB.

http://jabarprov.go.id/index.php/news/8528/Gubernur_Pikiran_Rakyat_Koran

(14)

iv

ABSTRACT

POLITICAL PRAGMATISM DISCOURSE IN THE NEWS TEXT ABOUT ABRAHAM SAMAD’S VIOLATIONS OF THE ETHICS CODE ON THE

HARIAN PIKIRAN RAKYAT

(Teun A. Van Dijk Critical Discourse Analysis about Political Pragmatism Discourse in the News Text About Abraham Samad Violations of the Ethics Code

on the Harian Pikiran Rakyat January 23rd 2015) Written by:

PANJI BANIDIA PRATAMA NIM. 41811110

This thesis is under guidance of: Olih Solihin, S.Sos., M.I.Kom.

The purpose of this research is to discover the Political Pragmatism Discourse in the news text about Abraham Samad violations of the ethics code on the Harian Pikiran Rakyat. To achieve that goal then raised the question of how the dimension of text, dimension of social cognition, and dimension of social context in this news text. This research used a qualitative approach with Teun A. Van Dijk critical discourse analysis. The data collection technique for this research was using documentation study, in-depth interview, the study of literature and online data retrieval.

Result of the study, the dimension of text indicates that the news text about Abraham Samad violations of the ethics code which carrying Hasto Krisyanto’s theme statement when it is not well-founded nor do they have strong evidence and that tend to be things that are not possible. Social cognition, text of this news is inseparable from social cognition journalist themselves who see Abraham Samad’s case is merely an attempt to criminalize mad to KPK. While the social context, the discourse developed in the community when it is leading to a consensus that KPK is in the right side, while the Polri in the wrong side, so that many people expressed their support by doing demonstration and others.

The conclusion of this study shows that the news text has been marginalized political pragmatism discourse of Abraham Samad with a discourse that says that KPK is criminalize victim of the other institutions who want to stunt KPK. Suggestions of researcher, the community is expected not to look at the news just as an informative or educative course, because in it, there are many ideological, political, and economic interest.

(15)

iii

WACANA PRAGMATISME POLITIK DALAM TEKS BERITA TENTANG PELANGGARAN KODE ETIK ABRAHAM SAMAD

DI HARIAN PIKIRAN RAKYAT

(Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Wacana Pragmatisme Politik Dalam Teks Berita “Giliran PDIP Serang KPK” Tentang

Pelanggaran Kode Etik Abraham Samad Di Harian Pikiran Rakyat Edisi 23 Januari 2015)

Oleh:

PANJI BANIDIA PRATAMA NIM. 41811110

Skripsi ini dibawah bimbingan: Olih Solihin, S.Sos., M.I.Kom.

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui wacana pragmatisme politik dalam teks berita tentang pelanggaran kode etik Abraham Samad di Harian Pikiran Rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dimunculkan pertanyaan tentang bagaimana dimensi teks, dimensi kognisi sosial, dan dimensi konteks sosial pada teks berita ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan melakukan dokumentasi, wawancara mendalam, studi kepustakaan dan penelusuran data online.

Hasil penelitian, dimensi teks menunjukan bahwa teks berita tentang pelanggaran kode etik Abraham Samad ini mengusung tema pernyataan Hasto Kristiyanto saat itu tidak cukup beralasan juga tidak memiliki bukti yang kuat dan hal tersebut cenderung sebagai hal yang tidak mungkin. Kognisi sosial, Teks berita ini tidak terlepas dari kognisi sosial wartawan itu sendiri yang memandang kasus Abraham Samad ini hanyalah upaya kriminalisasi yang dilakukan kepada KPK. Sedangkan konteks sosial, wacana yang berkembang di masyarakat saat itu lebih mengarah kepada suatu konsensus yang menyatakan bahwa KPK adalah pihak yang benar, sedangkan Polri adalah pihak yang salah, sehingga banyak masyarakat yang menyatakan dukungannya dengan demonstrasi, dan lain-lain.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan teks berita ini telah meminggirkan wacana pragmatisme politik Abraham Samad dengan wacana yang mengatakan bahwa KPK merupakan korban kriminalisasi dari lembaga lainnya yang ingin mengkerdilkan KPK. Saran dari peneliti diharapkan masyarkat tidak memandang berita hanya sebagai media informatif atau edukatif saja, karena di dalamnya banyak terdapat kepentingan ideologi, politik, maupun ekonomi.

(16)
(17)
(18)

kepenting-16 dipisahkan dari kehidupan manusia. Komunikasi sangat berperan penting bagi manusia pada saat melakukan interaksi dengan orang lain, bahkan dirinya sendiri.

(19)

dunia ini, mereka akan menangis, itu pun termasuk kedalam bagian dari komunikasi. Bahkan orang yang bisu sekalipun melakukan komunikasi.

Dengan selalu digunakannya komunikasi dalam hidup manusia, maka ranah ilmu komunikasi pun banyak dipakai oleh ranah ilmu lainnya. Misalnya seperti pada ranah psikologi yang didalamnya terdapat komunikasi psikologi, juga ada filsafat komunikasi, ada juga komunikasi sosial dan pembangunan.

2.1.2.1Pengertian Komunikasi

Secara sangat sederhana, komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Tentu saja telah banyak para ahli yang mendefinisikan komunikasi secara lebih lengkap dan jelas.

Carl I. Hoveland yang dikutip oleh Zamroni, menyatakan bahwa : “Communication is the process by which an individual transmit stimuli

(usually verbal symbols) to modify the behavior of another individuals”

(Zamroni, 2009: 4)

Lalu Warren Weaver sebagaimana dikutip Zamroni (2009:4) menyatakan bahwa: “Communication is all of the procedure by which one mind can effect another” (Komunikasi adalah semua prosedur dengan

mana pemikiran seseorang dapat mempengaruhi lainnya). 2.1.2.2Proses Komunikasi

(20)

18

penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Sedangkan proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain menggunakan alat dan sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. (Hikmat, 2010: 7)

May Rudi sebagaimana dikutip Hikmat (2010: 7) mendefinisikan proses komunikasi adalah rangkaian kejadian/peristiwa atau perbuatan melakukan hubungan, kontak, dan interaksi satu sama lain (pada umumnya di antara makhluk hidup, walau lebih jauh dalam era cyber technology ini telah dimungkinkan komunikasi dengan komputer dan robot) berupa penyampaian dan penerimaan lambang – lambang yang mengandung arti atau makna.

2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan salah satu jenis komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tanpa adanya komunikasi massa, segala sesuatunya akan menjadi lebih sulit.

2.1.3.1Definisi Komunikasi Massa

Secara sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan melalui media massa dan ditujukan kepada khlayak luas. Telah banyak pula para ahli yang mendefinisikan komunikasi massa.

(21)

sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukan di gedung – gedung bioskop (Effendy, 2003:79). Definisi yang paling sederhana tentang komunikasi massa dirumuskan oleh Bittner, Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people). Dari definisi yang dirumuskan oleh Bittner tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi itu harus menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah: radio siaran dan televisi –keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah –keduanya disebut media cetak; serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah bioskop (Rakhmat, 2003:188; Ardianto, dkk, 2009:3).

2.1.3.2Karakteristik Komunikasi Massa

Elvinaro Ardianto, dkk dalam bukunya yang berjudul “Komunikasi

Massa Suatu Pengantar” menyatakan, bahwa sedikitnya ada delapan

(22)

20

 Komunikator Terlambangkan

Ciri komunikasi masa yang pertama adalah komunikator-nya. Komunikasi massa itu melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks. (Ardianto, dkk, 2009:7)

 Pesan Bersifat Umum

Komuniksai massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. (Ardianto, dkk, 2009:7)

 Komunikannya Anonim dan Heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya mengunakan media dan tidak tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. (Ardianto, dkk, 2009:8)

 Media Massa Menimbulkan Keserempakan

(23)

 Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan

Salah satu prinsip komunikasi adalah bahwa komunikasi mempunyai dimensi isi dan dimensi hubungan. Dimensi isi menunjukan muatan atau isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakanya, yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu. (Ardianto, dkk, 2009:9)

 Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah

Karena komunikasinya melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog. (Ardianto, dkk, 2009:10)

 Stimulasi Alat Indera Terbatas

Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar. (Ardianto, dkk, 2009:11)

 Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan tidak langsung (Indirect).

(24)

22

lebih populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam proses komunikasi massa. Efektivitas komunikasi sering dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan. (Ardianto, dkk, 2009:11)

2.1.4 Tinjauan Tentang Surat Kabar

Surat kabar merupakan salah satu bentuk dari media massa yang sangat diminati pada masa keemasannya. Meskipun saat ini sudah berkurang, tetapi peminat surat kabar masih cukup banyak. Surat kabar dengan kerinciannya terkadang lebih banyak dicari ketika seseorang memerlukan suatu informasi yang selengkap – lengkapnya.

2.1.4.1Sejarah Surat Kabar

Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya. Sejarah telah mencatat keberadaan surat kabar dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann Guternberg di Jerman. (Ardianto, dkk, 2009:105)

Ardianto, dkk (2009) dalam bukunya mengungkapkan keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan panjang melalui lima periode. Berikut adalah kelima periode tersebut:

a. Zaman Belanda

(25)

Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa Jawa Bromartani yang terbit di Solo. (Ardianto, dkk, 2009:107)

b. Zaman Jepang

Wartawan – wartawan di Indoensia pada zaman Jepang hanya bekerja sebagai pegawai, sedang yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada saat itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-memuji pemerintah dan tentara Jepang. (Soebagijo, 1997:39-40; Ardianto, dkk, 2009:106) c. Zaman Kemerdekaan

Pada awal masa kemerdekaan, Indonesia pun melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Surat kabar yang diterbitkan oleh bangsa Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintah Jepang. (Ardianto, dkk, 2009:108)

d. Zaman Orde Lama

(26)

24

politik, termasuk pers. Persyaratan mendapatkan SIT (Surat Izin Terbit) dan Surat Izin Cetak diperketat. (Ardianto, dkk, 2009:108)

e. Zaman Orde Baru

Terhadap surat kabar dan majalah yang “nakal”, pemerintah

memberikan ganjaran berupa pencabutan Surat Izin Terbit dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), seperti Sinar Harapan, tabloid Monitor dan Detik, majalah Tempo dan Editor. (Ardianto, dkk, 2009:109)

Hal tersebut tidak terlepas dari penguasa otoriter saat itu yang takut jika ada pers yang berani mengkritik pemerintah (yang disebut nakal saat itu), akan membuat perlawanan atau protes dari masyarakat luas terhadap pemerintah.

2.1.4.2Karakteristik Surat Kabar

Sebagai suatu bentuk dari media, tentunya surat kabar memiliki karakteristik tersendiri yang khas. Dalam bukunya, Ardianto, dkk (2009) menyebutkan setidaknya ada lima karakteristik dari surat kabar. Kelima karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

a. Publisitas

(27)

b. Periodesitas

Periodesitas menunjuk pada keteraturan terbitnya, bisa harian, mingguan, atau dwi mingguan. (Ardianto, dkk, 2009:112) c. Universalitas

Universalitas menunjuk pada kesemestian isinya, yang bersifat aneka ragam dan dari seluruh dunia. (Ardianto, dkk, 2009:113) d. Aktualitas

Laporan tercepat menunjuk pada “kekinian” atau terbaru dan masih hangat. (Ardianto, dkk, 2009:113)

e. Terdokumentasikan

Dari berbagai fakta yang disajikan surat kabar dalam bentuk berita atau artikel, dapat dipastikan ada beberapa diantaranya yang oleh pihak-pihak tertentu dianggap penting untuk diarsipkan atau dibuat kliping. (Ardianto, dkk, 2009:113)

2.1.5 Tinjauan Tentang Media dan Berita Dilihat dari Paradigma Kritis Paradigma kritis mempunyai pandangan tersendiri yang khas terhadap media dan berita. Paradigma kritis sangat menolak pandangan pluralis yang menyatakan bahwa posisi media itu netral dan berita benar – benar menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan.

(28)

26

Teks Media” (2001:32), paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan

media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Pada akhirnya posisi tersebut mempengaruhi berita, bukan pencerminan dari realitas yang sesungguhnya.

Untuk dapat mengetahui pandangan paradigma kritis terhadap media dan berita, akan lebih mudah ketika kita membandingkannya dengan pandangan pluralis. Perbedaan tersebut dapat kita lihat dari bagaimana kedua pandangan tersebut melihat fakta, posisi media, posisi wartawan, dan juga hasil liputan.

Untuk lebih memperjelas perbedaan pandangan tersebut, Eriyanto dalam bukunya membuat tabel perbandingan sebagai berikut:

Tabel 2.2

Perbedaan Pandangan Pluralis dengan Kritis Terhadap Fakta Fakta

PANDANGAN PLURALIS PANDANGAN KRITIS

Ada fakta yang real yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku

universal.

Fakta merupakan hasil dari proses pertarungan antara kekuatan ekonomi,

politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat.

Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Oleh karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan

fakta yang hendak diliput.

Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk danya cerminan dari kepentingan kekuatan

dominan.

(29)

Dalam konsepsi pluralis, diandaikan ada realitas yang bersifat external yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi, ada realitas yang bersifat objektif, yang harus diliput oleh wartawan. Pandangan tersebut sangat bertolak belakang dengan pandangan kritis. Bagi kaum kritis, realitas merupakan kenyataan semu yang telah terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. (Eriyanto, 2001:34)

Dalam pandangan kaum pluralis, berita adalah refleksi dan pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror of reality, sehingga ia harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Sedangkan menurut kaum kritis, berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau media. (Eriyanto, 2001:34)

Tabel 2.3

Perbedaan Pandangan Pluralis dengan Kritis Terhadap Posisi Media Posisi Media

PANDANGAN PLURALIS PANDANGAN KRITIS

Media adalah sarana yang bebas dan netral tempat semua kelompok masyarakat saling berdiskusi yang

tidak dominan.

Media hanya dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk

memojokan kelompok lain.

Media menggambarkan diskusi apa yang ada dalam masyarakat.

(30)

28

Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, dimana semua pihak dan kepentingan dapat menyampakan posisi dan pandangannya secara bebas. Sedangkan pandangan kritis melihat bahwa media bukan hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. (Eriyanto, 2001:36)

Tabel 2.4

Perbedaan Pandangan Pluralis dengan Kritis Terhadap Posisi Wartawan Posisi Wartawan

PANDANGAN PLURALIS PANDANGAN KRITIS

Nilai dan ideologi wartawan berada di luar proses peliputan berita.

Nilai dan ideologi wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan

dan pelaporan suatu berita.

Wartawan berperan sebagai pelapor.

Wartawan berperan sebagai partisipan dari kelompok yang ada dalam

masyarakat. Tujuan peliputan dan penulisan berita:

eksplanasi dan menjelaskan apa adanya, tanpa memburukan kelompok

Tujuan peliputan dan penulisan berita: pemihakan kelompok sendiri dan atau

pihak lain. Penjaga gerbang (gate keeping). Sensor diri.

Landasan etis. Landasan ideologis

Profesionalisme sebagai keuntungan. Profesionalisme sebagai Kontol. Wartawan sebagai bagian dari tim

untuk mencari kebenaran.

(31)

Salah satu perbedaan mendasar antara paradigma pluralis dan kritis ini adalah pada bagaimana wartawan dilihat, terutama bagaimana kerja profesional dari wartawan ini dipahami. Pandangan liberal percaya bahwa media adalah sebuah sistem kerja yang dilandasi oleh pembagian kerja yang rasional. Oleh karena itu, kerja dan posisi wartawan diatur dalam serangkaian praktik profesionalisme dan etik yang mendasari tindakan wartawan.

(32)

30

Tabel 2.5

Perbedaan Pandangan Pluralis dengan Kritis Terhadap Hasil Liputan Hasil Liputan

PANDANGAN PLURALIS PANDANGAN KRITIS

Liputan dua sisi, dua pihak, dan kredibel. sosial tertentu yang lebih besar. Memakai bahasa yang tidak Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. (2001:33-34)

Dalam pandangan pluralis, diandaikan ada standar yang baku dari hasil kerja jurnalistik. standar baku itu sering kali dikatakan sebagai peliputan yang berimbang, dua sisi, netral dan objektif. (Eriyanto 2001:44)

(33)

2.1.6 Tinjauan Tentang Wacana

Secara sederhana, wacana erat kaitannya dengan konsep kebahasaan. Dalam konsep kebahasaan, wacana hanyalah bentuk atau unit yang lebih besar dari kalimat. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan waktu, istilah wacana ini menjadi sering dipakai dalam berbagai bidang pengetahuan.

Menurut kamus Webster (1983:522) dalam Alex Sobur (2006:9), Wacana adalah:

“1. Komunikasi pikiran dengan kata – kata; ekpresi ide – ide atau gagasan – gagasan; konversasi atau percakapan.

2. Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subyek studi atau pokok telaah.

3. Risalat tertulis, disertasi foormal; kuliah; ceramah; khotbah.”

Ismail dalam Alex Sobur (2006:9) mengartikan wacana sebagai kemampuan utnuk maju (dalam pembahasan) menurut urut – urutan yang teratur, dan semestinya, dan komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.

Sementara itu, Lull (1998:23) dalam Alex Sobur (2005:11) menyatakan bahwa dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara obyek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas.

(34)

32

Tabel 2.6

Perbedaan Definisi Mengenai Wacana

Wacana: 1. Komunikasi verbal, ucapan, percakapan; 2. Sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; 3. Sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.

(Collins Concise English Dictianary, 1988)

Wacana: 1. Sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; 2. Pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah dan sebagainya; sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.

(Longman Dictionary of the English Language, 1984)

Wacana: 1. Rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu; 2. Kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disamping secara lisan atau tertulis. (J. S. Badudu 2000)

Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat pada wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan – ucapan.

(Crystal 1987)

Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlibat sebagai sebuah pertukaran diantara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal dimana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.

(Hawtorn,1992)

Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan disini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman. (Roger Fowler 1977)

Wacana: Kadangkala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.

(Foucault, 1972)

Sumber: Disarikan dari Sara Mills (1977:1-8); J.S. Badudu, “Wacana”, Kompas, 20 Maret 2000; dalam Eriyanto (2001:2).

(35)

wacana dikaitkan dengan bagaimana konteks – konteks di luar aspek kebahasaan seperti kepentingan ideologi, kekuasaan, juga ekonomi, mempengaruhi wacana tersebut untuk berperan dalam suatu kegiatan, pemikiran, juga pandangan, maupun suatu produk hasil buatan manusia seperti berita, film dll.

Dalam bukunya, Eriyanto (2001:65) menyatakan bahwa wacana disini tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi mengikuti Foucault adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.

Sementara dalam konsepsi Althusser, wacana berperan dalam mendefinisikan individu dan memposisikan seseorang dalam posisi tertentu. Wacana tertentu membentuk subjek dalam posisi – posisi tertentu dalam rangkaian hubungan dengan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. (Eriyanto, 2001:19)

Maka dari itu, wujud dari wacana tidak hanya meliputi teks semata. Wujud dari wacana tersebut dapat meliputi teks yang berwujud tulisan, lalu Act atau wacana yang berbentuk tindakan, kemudian Talk atau wacana dalam bentuk ucapan/perkataan, dan juga wacana dapat berwujud artefak.

(36)

34

drama, demonstrasi, film, tarian, dll. Dan yang terakhir wacana yang berwujud artefak meliputi bangunan, puing – puing, mode busana, dll.

2.1.7 Tinjauan Tentang Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) merupakan suatu analisis wacana yang mana menggunakan pendekatan dari paradigma kritis sehingga disebut sebagai analisis wacana kritis. Dalam prespektif kritis ini, wacana tidak hanya dipandang dari segi tekstualnya saja atau gramatikalnya saja, tetapi wacana juga dipandang dari bagaimana suatu wacana itu muncul atau diproduksi dengan melihat konteks – konteks sosial yang menyertainya. Konteks – konteks sosial tersebut meliputi kekuasaan, ideologi, politik, ekonomi, sejarah

dan lain – lain.

Dalam bukunya, Eriyanto (2001:6) menyatakan bahwa analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di masyarakat. Analisis wacana (dalam paradigma ini) digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan – batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, prespektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. (Eriyanto, 2001:6)

(37)

pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. (Eriyanto, 2001:7)”

Dalam analisis wacana kritis, terdapat tiga tingkatan atau level yang diteliti. Mulai dari tingkatan mikro, tingkatan meso, hingga tingkatan makro. Dalam tingkatan mikro, analisisnya dipusatkan hanya pada teksnya dengan melihat bagaimana tekstualitas juga gramatikal yang digunakan dalam suatu teks. Lalu pada tingkatan makro, lebih luas lagi analisisnya dipusatkan pada struktur atau konteks sosial, ideologi, politik, ekonomi, sejarah dan lain – lain yang mempengaruhi isi teks tersebut. Sementara itu, tingkatan meso dibuat untuk menjembatanai antara tingkatan mikro dengan tingkatan makro. Dalam hal ini, tingkatan meso dipusatkan pada orang atau invidu yang membuat atau memproduksi teks.

Sebagai suatu analisis, analisis wacana kritis memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Eriyanto (2001) dalam bukunya yang mengambil dari tulisan Teun A. Van Dijk, Fairclough, dan Wodak, adalah sebagai berikut:

1. Tindakan

(38)

36

sesuatu bentuk ekspresi sadar dan terkontrol, bukan sesuatu diluar kendali ataupun ekspresi diluar kesadaran.

2. Konteks

Analisis wacana kritis memperhatikan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Wacana dianggap dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam situasi dan kondisi yang khusus. Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu, bahwa wacana berada dalam situasi sosial tertentu. 3. Historis

Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana dalam konteks historis tertentu.

4. Kekuasaan

(39)

5. Ideologi

(40)

38

2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Kerangka Teoritis

2.2.1.1 Hegemoni

Dalam penelitian menggunakan analisis wacana kritis, kita tidak hanya menganalisis suatu wacana dari segi tekstual atau linguistiknya saja. Tetapi juga menganalisis bagaimana konteks – konteks sosial yang ada dalam masyarakat seperti ideologi, politik, ekonomi, kekuasaan, historis, dominasi, dan lain – lain mempengaruhi wacana yang dibuat atau digulirkan.

Hal tersebut menyebabkan dalam pandangan analisis wacana kritis ini, wacana dibuat untuk menjadi alat bagi suatu kelompok untuk mendominasi atau menyebarkan ideologinya kepada kelompok yang lain. Terlebih ketika yang diteliti merupakan wacana yang berwujudkan berita.

Maka dari itu, wacana atau yang dalam hal ini berita dijadikan suatu alat atau instrumen untuk melakukan hegemoni. Ketika berbicara mengenai hegemoni, kita tidak akan terlepas dari konsepsi hegemoni dari Antonio Gramsci. Karena beliau lah yang berjasa dalam mempopulerkan istilah hegemoni ini.

(41)

merupakan dominasi politik saja, tetapi juga dapat merupakan dominasi dalam bidang lainnya seperti ideologi, pemikiran, kebudayaan dan lain – lain.

“Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kebudayaan.” (Latif dalam Subandy Ibrahim dan Djamaludin, 1997:294; Eriyanto, 2001:104)

Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, sehingga ketika ada wacana lain dianggap tidak benar. (Eriyanto, 2001:105)

Konsep hegemoni Gramsci ini diambil secara dialektis melalui dikotomi tradisional yang berkarakteristik pemikiran Italia, yakni dari Machiavelli (kekuatan, force) sampai Pareto (persetujuan, consent), dan juga Lenin (strategi). (Santoso, dkk, 2003:89)

(42)

40

Sebaliknya pihak-pihak yang seharusnya menjadi oposisi bagi pihak dominan justru tidak berhasil dalam membangun pemahaman dan mempertahankan gagasan pada masyarakat bahwasanya apa yang mereka terima selama ini adalah sebuah bentuk penjajahan ideologis.

Maka dari itu, seperti apa yang dikatakan oleh Patria dan Andi Arief (1990:121) dalam Santoso, dkk (2003:90) bahwa dengan kata lain, hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus daripada melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Pada hakikatnya, hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.

2.2.1.2 Analisis Wacana Kritis

(43)

Dalam analisis wacana kritis, terdapat tiga tingkatan atau level yang diteliti. Mulai dari tingkatan mikro, tingkatan meso, hingga tingkatan makro. Dalam tingkatan mikro, analisisnya dipusatkan hanya pada teksnya dengan melihat bagaimana tekstualitas juga gramtikal yang digunakan dalam suatu teks. Lalu pada tingkatan makro, lebih luas lagi analisisnya dipusatkan pada struktur atau konteks sosial, ideologi, politik, ekonomi, sejarah dan lain – lain yang mempengaruhi isi teks tersebut. sementara itu, tingkatan meso dibuat untuk menjembatanai antara tingkatan mikro dengan tingkatan makro. Dalam hal ini, tingkatan meso dipusatkan pada orang atau invidu yang membuat atau memproduksi teks.

Dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh sejumlah ahli, mungkin model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini kemungkinan karena Van Dijk mengelaborasi elemen – elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan

dipakai secara praktis. Model yang digunakan van Dijk ini sering disebut sebagai “Kognisi Sosial”. (Eriyanto, 2001:221)

Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang juga harus diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu.

(44)

42

van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. (Eriyanto, 2001:224).

Model dari ketiga dimensi wacana oleh Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model Analisis Van Dijk

Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (2001:225).

Dimensi teks dalam hal ini dimengerti sebagai proses penggunaan bahasa sebagai alat pengkontruksi realita yang disampaikan penulis melalui rangkaian kata – kata. Sehingga membentuk sebuah makna, yang kemudian melahirkan interpretasi terhadap objek yang dikemukakan dalam teks itu.

Suatu pengalaman mengapa teks tersebut akhirnya lahir tidak lepas dari kognisi yang dialami oleh penulisnya baik secara pribadi maupun referensi yang pernah diterimanya sebagai sebuah stimulus. Pada akhirnya

Konteks

(45)

menjadi alasan mengapa tema tersebut dipilih untuk kemudian dituangkan kedalam bentuk berita.

Mempertimbangkan hal lain yang terdapat diluar teks, adalah maksud dari konteks. Dalam hal ini yang harus dipahami adalah hal – hal lain yang tidak tersurat dalam teks namun sangat erat hubungannya dengan alasan teks itu tertuang. Kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, latar, peristiwa dan kelas sosial adalah beberapa hal yang mungkin tidak terdapat dalam teks namun memiliki kaitan yang sangat signifikan. Oleh karena itu ketiga hal diatas tidak mungkin untuk diabaikan dalam proses penelitian ini.

2.2.2 Alur Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini, peneliti ingin menelusuri dan membongkar makna tersembunyi yang terdapat pada teks berita tentang pelanggaran kode etik Abraham Samad di Harian Pikiran Rakyat. Dimana dalam kasus lobi poltik Abraham Samad ini sangat erat kaitannya dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK ketika ia akan dicalonkan oleh Presiden Jokowi untuk menjadi Kapolri yang baru.

(46)

44

tersebut menyebabkan media – media di Indonesia menuangkan ekspresinya terhadap kasus tersebut dalam pemberitaan yang mereka buat atau terbitkan.

Sehingga fenomena ini menjadi menarik untuk dikupas. Oleh karena itu peneliti dalam hal ini mencoba menguliti pesan dari teks berita tentang pelanggaran kode etik Abraham Samad tersebut, dengan metode analisis wacana kritis model Teun A. van Dijk.

Dalam dimensi teks yang diteliti adalah, bagaimana struktur teks dan porsi kalimat yang digunakan oleh Harian Pikiran Rakyat dalam membuat berita untuk menyampaikan atau menegaskan sebuah tema, peristiwa, dan mempertegas pilihan sikap.

Pada kognisi sosial, Struktur teks berita tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan Abraham Samad di Harian Pikiran Rakyat menunjukan sejumlah makna mengenai permasalahan sosial, yang dikemas dengan sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak kegelisahan sosial. Pada kognisi sosial ini juga dilihat bagaimana kognisi sosial dari wartawan pembuat berita dan juga bagaimana penulis berita menyerap kognisi sosial yang beredar dimasyarakat sehingga mempengaruhi teks berita tersebut.

(47)

konteks penelitian ini adalah wacana yang berkembang di masyarakat Indonesia pada saat pemberitaan tentang kasus ini berlangsung.

Selain model Analisis Wacana Kritis Van Dijk tersebut, pada penelitian ini juga akan ditunjang dengan konsep Hegemoni Gramsci untuk membedah objeknya. Dimana dalam hal ini, bagaimana ketika masalah ini mencuat di media – media Indonesia, muncul suatu kesadaran ataupun pemahaman juga konsensus

di masyarakat bahwa lobi politik yang dilakukan Abraham Samad ini hanyalah merupakan “serangan” balasan yang dilakukan oleh PDIP karena calon

Kapolrinya telah dijadikan tersangka oleh KPK. Lalu muncul juga pemahaman yang menunjukan bahwa dalam hal ini, pihak yang salah adalah Polri, dan KPK adalah “malaikat” atau pihak yang benar, atau hanya korban dari kekuatan yang

dimiliki oleh Polri. Masyarakat menerima semua itu dengan suatu kewajaran baik disadari maupun tidak disadari.

Dengan hal – hal yang seperti itu, maka peneliti merasakan kecocokan untuk menggunakan apa yang disebut dengan konsep Hegemoni Gramsci untuk membantu peneliti dalam mengungkap objek dari penelitian ini.

(48)

46

Gambar 2.2 Alur Pemikiran Peneliti

Sumber: Peneliti 2015

Teks Berita tentang pelanggaran kode etik Abraham Samad di

Harian Pikiran Rakyat

Dimensi Konteks Sosial Dimensi

Kognisi Sosial Dimensi

Teks

Analisis Wacana Kritis Teun A.

Van Dijk Konsep

Hegemoni Gramsci

(49)

130

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka didapatlah suatu simpulan sebagai berikut.

1. Dimensi Teks

Teks berita ini, sebagaimana yang terlihat dari struktur wacana yang membangun berita ini memperlihatkan bahwa teks ini merupakan suatu pengingkaran atau pembantahan akan wacana pragmatisme yang dilakukan oleh Abraham Samad

2. Dimensi Kognisi Sosial

Teks berita ini tidak terlepas dari kognisi sosial wartawan itu sendiri yang memandang dan memahami bahwa kasus Abraham Samad ini hanyalah upaya kriminalisasi yang dilakukan kepada KPK dalam upaya pengkerdilan lembaga permberantasan korupsi tersebut, sehingga mempengaruhi teks berita yang ia buat.

3. Dimensi Konteks Sosial

(50)

131

4. Teks berita tentang pelanggaran kode etik oleh Abraham samad ini telah meminggirkan wacana pragmatisme politik Abraham Samad itu sendiri. Teks berita ini meminggirkan wacana pragmatisme politik tersebut dengan wacana yang mengatakan bahwa KPK merupakan korban kriminalisasi dari lembaga lainnya yang ingin mengkerdilkan KPK supaya aksi korupsinya tidak terungkap oleh hukum, juga wacana dimana ketika Polri dengan KPK berseteru, maka pihak yang salah adalah Polri.

5.2 Saran

(51)
(52)

WACANA PRAGMATISME POLITIK DALAM

TEKS BERITA TENTANG PELANGGARAN

KODE ETIK ABRAHAM SAMAD DI

HARIAN PIKIRAN RAKYAT

(Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Wacana Pragmatisme Politik Dalam Teks Berita “Giliran PDIP Serang KPK” Tentang Pelanggaran Kode Etik

Abraham Samad Di Harian Pikiran Rakyat Edisi 23 Januari 2015)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Gelar Sarjana (S1)

Pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Jurnalistik

Oleh:

PANJI BANIDIA PRATAMA 41811110

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(53)

viii

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.2.1 Rumusan Masalah Makro ... 10

1.2.2 Rumusan Masalah Mikro ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1 Maksud Penelitian ... 11

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 12

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 12

(54)

ix

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka ... 14

2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 14

2.1.2 Tinjauan Tentang Komunikasi ... 16

2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa ... 18

2.1.4 Tinjauan Tentang Surat Kabar... 22

2.1.5 Tinjauan Tentang Media Dilihat dari Paradigma Kritis .. 25

2.1.6 Tinjauan Tentang Wacana ... 31

2.1.7 Tinjauan Tentang Analisis Wacana Kritis ... 34

2.2 Kerangka Pemikiran... 37

2.2.1 Kerangka Teoritis ... 38

2.2.2 Alur Kerangka Pemikiran ... 43

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 47

3.1.1 Kerangka Analisis Wacana Kritis Model Van Dijk ... 48

3.2 Informan Penelitian ... 53

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 54

3.4 Teknik Analisis Data... 55

3.5 Uji Keabsaha Data ... 57

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 60

3.6.1 Lokasi Penelitian ... 60

(55)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ... 62

4.1.1 Gambaran Objek Penelitian ... 62

4.1.1.1 Teks Berita “Giliran PDIP Serang KPK”... 62

4.1.1.2 Profil Harian Pikiran Rakyat ... 67

4.1.2 Profil Informan Penelitian ... 69

4.1.3 Analisa Hasil Penelitian ... 70

4.1.3.1 Hasil Dimensi Teks ... 70

4.1.3.2 Hasil Dimensi Kognisi Sosial ... 86

4.1.3.3 Hasil Dimensi Konteks Sosial... 91

4.2 Pembahasan... 97

4.2.1 Pembahasan Dimensi Teks ... 97

4.2.2 Pembahasan Dimensi Kognisi Sosial ... 118

4.2.3 Pembahasan Dimensi Konteks Sosial ... 123

4.2.4 Wacana Pragmatisme Politik Dalam Teks Berita Tentang Pelanggaran Kode Etik Abraham Samad di Harian Pikiran Rakyat ... 126

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 130

5.2 Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... ... 133

LAMPIRAN ... ... 136

(56)

133

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala, Siti Karlinah. 2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Dalam Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang.

Haryadi, Rohmat. 2009. Chandra-Bibit: Membongkar Perseteruan KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Jakarta: PT. Mizan Publika.

Hikmat, Mahi M. 2011. Komunikasi Politik Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Santoso, Listiyono, dkk. 2003. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

(57)

Riyanto, E Armada. 2011. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius.

Wolff, Jonathan. 2013. Pengantar Filsafat Politik. Bandung: CV Nusa Media. Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Karya Ilmiah:

Ardianto, Elvinaro. 2012. Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Harian Pikiran Rakyat Dan Harian Kompas Sebagai Public Relations Politik Dalam Membentuk Branding Reputation Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Universitas Padjadjaran.

Astuti, Tia Agnes. 2011. Analisis Wacana Kritis Van Dijk Terhadap Berita "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" di Majalah Pantau. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

(58)

135

Sumber Lain:

Berita “Giliran PDIP Serang KPK”, Harian Pikiran Rakyat, Edisi 23 Januari 2015.

Berita Cicak vs Buaya, Majalah Tempo, Edisi Juli 2009

Berita “Gubernur:Pikiran Rakyat, Koran Nasional Berpusat di Bandung” di situs resmi Pemerintah Jawa Barat yang diakses pada tanggal 9 April 2015 pukul 17:21 WIB.

http://jabarprov.go.id/index.php/news/8528/Gubernur_Pikiran_Rakyat_Koran

(59)

157

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Panji Banidia Pratama Kelahiran : Bandung, 27 Agustus 1993 Jenis Kelamin : Laki – Laki

Umur : 21 Tahun

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jalan Maribaya Nomor 82, RT 02/ RW 04, Desa Kayuambon, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Nama Ayah : Yedi Junrayadi Pekerjaan : Pegawai Swasta Nama Ibu : Ida Diah Retno Pekerjaan : Pegawai Swasta

(60)

158

PENDIDIKAN FORMAL

1. 1999 – 2005 : SD Negeri Kayuambon 1 Lembang 2. 2005 – 2008 : SMP Negeri 1 Lembang

3. 2008 – 2011 : SMA Negeri 1 Lembang

4. 2011 s.d Sekarang : Sedang Menjalani Pendidikan Sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Komputer Indonesia Bandung

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Tahun 2004 – 2005 : Pramuka SD Negeri Kayuambon 1 Lembang

2. Tahun 2006 – 2007 : Anggota Osis SMP Negeri 1 Lembang 3. Tahun 2008 s.d Sekarang : Anggota Gerakan Pelajar Pecinta Alam

(61)

v Assalamua’laikum Wr. Wb.

Puji dan syukur peneliti panjatkan ke khadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini sebagaimana mestinya. Tak lupa shalawat dan salam kepada junjungan nabi besar kita Rasulullah, Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan seluruh pengikutnya semoga rahmat dan hidayah selalu dilimpahkan padanya. Peneliti mengucapkan terima kasih dan rasa bangga kepada kedua orang tua tercinta (Yedi Junrayadi dan Ida Diah Retno) yang selalu memberikan rasa kasih sayang dan semangatnya pada peneliti juga memberikan do’a serta dukungan moril maupun materil.

Terwujudnya penulisan penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah peneliti mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak terutama:

1. Yth. Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia yang telah memberikan pengesahan pada penelitian ini.

(62)

vi

3. Bapak Inggar Prayoga, M.I.Kom selaku Dosen Wali peneliti yang telah memberikan banyak pengarahan, kasih sayang, serta motivasi kepada peneliti selama masa perkuliahan.

4. Bapak Olih Solihin, M.I.Kom selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan sabar telah sangat banyak memberikan pengarahan, petunjuk serta membimbing dan memotivasi peneliti dalam menyusun penelitian ini. 5. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Bapak

Adiyana Slamet, S.IP., M.Si., Ibu Desayu Eka, M.Si., Ibu Rismawaty, M.Si., Ibu Dr. Kiki Zakiah, M.Si., Bapak Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si., Ibu Tine Wulandari, M.I.Kom., Bapak Sangra Juliano P., M.I.Kom., serta bapak ibu dosen lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Yang mana telah membantu peneliti dalam setiap perkulihan sehingga dapat diterapkan dalam penelitian ini.

6. Ibu Astri Ikawati, A.Md.Kom selaku Sekretariat Prodi Ilmu Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam hal adminstrasi.

7. Segenap Keluarga Tercinta, yang telah memberikan dukungan serta kasih sayangnya terhadap peneliti selama ini.

8. Kawan - kawan Dijurnalkeun yang selalu memberikan dukungan, motivasi, kehangatan, dan kebersamaan serta yang paling penting adalah rasa kekeluargaan yang sangat kental terasa.

(63)

10.Dan semua pihak yang telah membantu sebelum dan selama pelaksanaan penyusunan penelitian ini.

Akhir kata peneliti berharap mudah – mudahan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya serta untuk kemajuan Program Studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik Universitas Komputer Indonesia. Untuk itu sekiranya peneliti sangat membutuhkan masukkan berupa saran maupun kritik yang dapat membangun kearah yang lebih baik demi kesempurnaan penelitian ini. Dengan ini peneliti memohon maaf yang sedalam - dalamnya apabila terdapat kesalahan pada penelitian ini. Semoga bantuan, dorongan, bimbingan itu akan dapat mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Akhir kata saya ucapkan Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Bandung, Agustus 2015 Peneliti

(64)
(65)

Gambar

Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
+4

Referensi

Dokumen terkait

75 Sistem biaya standar menerapkan konsep tersebut di atas secara lebih luas, dimana jumlah biaya (beban) untuk tiap unit produksi (yang meliputi bahan, upah

“Dalam domain kognitif, hasil belajar pendidikan jasmani siswa di daerah pantai lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berasal dari daerah pegunun gan.”.. “Dalam

PERBEDAAN HASIL BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI ANTARA SISWA YANG BERASAL DARI DAERAH PEGUNUNGAN DENGAN DAERAH PANTAI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

The Application Of The English Past Tenses Knowledge To Recount Texts Of Writing I Students Of The English Education Study Program of Widya Mandala Catholic

Kondisi Model 2 pada tabel 3 menunjukkan bahwa swasembada beras dapat dicapai apabila disertai dengan berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas padi dan kebijakan sawah

variabel yang ada dalam penelitian ini, yaitu gaya berpikir dan coping strategy. sebagai variabel independen dan resiliensi sebagai

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2015 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2015

Bahasa yang digunakan dalam pembelajaran adalah bahasa Indonesia dengan sedikit penggunaan bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan SMA Negeri 1 Kalasan