• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberhasilan Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Preparat Hormon yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberhasilan Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Preparat Hormon yang Berbeda"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERHASILAN SUPEROVULASI PADA BEBERAPA

BANGSA SAPI DENGAN PREPARAT

HORMON YANG BERBEDA

ANISA HASBY FAUZIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keberhasilan Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Preparat Hormon yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Anisa Hasby Fauzia

(4)

ABSTRAK

ANISA HASBY FAUZIA. Keberhasilan Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Preparat Hormon yang Berbeda. Dibimbing oleh NI WAYAN KURNIANI KARJA dan TRI HARSI.

Permintaan daging di Indonesia akan bertambah terus secara nyata dengan bertambahnya penduduk. Upaya peningkatan dan pengembangan produksi daging secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan mengembangkan teknologi transfer embrio (TE). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan superovulasi pada beberapa bangsa sapi dengan menggunakan preparat hormon yang berbeda antara follicle stimulating hormone (FSH) dan Prostalglandin F2α

(PGF2α). Penelitian dilaksanakan di Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dengan menggunakan data sekunder berupa catatan produksi embrio in vivo selama tahun 2008 sampai tahun 2013. Data yang didapatkan diolah dengan metode rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4x4 dengan dua faktor yaitu bangsa sapi (Simental, Limousin, Angus, Friesian Holstein) dan kombinasi FSH dan PGF2α (FSH1-PGF2α1, FSH1-PGF2α2, FSH2-PGF2α1, FSH2-PGF2α2). Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa bangsa sapi memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah corpus luteum tetapi kombinasi hormon tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap jumlah corpus luteum

sebagai respon superovulasi.

Kata kunci: superovulasi, bangsa sapi, kombinasi hormon, corpus luteum

ABSTRACT

ANISA HASBY FAUZIA. Success of Superovulation in Some Cattle Breeds with Different Combination Hormone. Supervised by NI WAYAN KURNIANI KARJA and TRI HARSI.

Meat demand will increasing along with human population growth. The efforts to increase meat production in a sustainable manner can be done by developing embryo transfer technology (ET). The aim of this study was to evaluate the success of superovulation in some cattle breeds with different combination of follicle stimulating hormone (FSH) and prostalglandin F2α (PGF2α). The study was conducted at the Balai Embrio Ternak (BET), using data of embryos production obtained from BET Cipelang during 2008 to 2013. The corpus luteum but combination hormone was not significantly different (p>0.05) to the total numbers of corpus luteum as a superovulation response.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

ANISA HASBY FAUZIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

KEBERHASILAN SUPEROVULASI PADA BEBERAPA

BANGSA SAPI DENGAN PREPARAT

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 dan Februari 2014 ini adalah Keberhasilan Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Preparat Hormon Berbeda.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP, PhD sebagai dosen pembimbing utama dan Ir Triharsi, MP sebagai pembimbing kedua yang banyak memberikan masukan, saran, dan pengarahan. Terima kasih kepada Dr Dra Itje Wientarsih, Apt MSc selaku pembimbing akademik. Terima kasih penulis ucapkan kepada ayah tersayang Yendi Ridwan Fauzi, ibu tercinta Euis Mariam, adik saya Ardika Albi Fauzi dan Keisa Ayu Fauzia atas dukungan, doa, kasih sayang, bantuan moril dan materil yang selalu diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir. Terimakasih kepada Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dan staf (Bu Lela dan Pak Darlin) dan teman penelitian Ika Septiana Anggun Puspita, G Andri Hermawan, Alief Iman Fitrianto, dan Muhammad Faris Firdaus. Terima kasih kepada sahabat-sahabat saya Gandha Bastian, Dwida Rahmadani, Gamma Prajnia, Mona Marliza, Arlita Sariningrum, Dheanti Aprianti Arista, serta teman-teman Acromion 47 atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(9)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Siklus Estrus Sapi Betina 2

Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) 3

Seleksi Induk Donor 3

Sinkronisasi Estrus 3

Superovulasi 4

Inseminasi Buatan 4

Corpus Luteum 4

METODE 5

Lokasi dan Waktu Penelitian 5

Materi 5

Prosedur Penelitian 5

Peubah yang Diamati 6

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 7

Tingkat Ovulasi 7

SIMPULAN DAN SARAN 9

Simpulan 9

Saran 9

DAFTAR PUSTAKA 9

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produktivitas dan mutu genetik ternak yang masih rendah merupakan permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia. Direktorat Jendral Peternakan (2013) menyatakan bahwa populasi sapi di Indonesia sebanyak 14,3 juta ekor yang sebagian besar berupa usaha peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional dan relatif sedikit menggunakan inovasi teknologi. Sedangkan kebutuhan manusia akan protein hewani khususnya daging semakin meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang terus bertambah. Hal ini menunjukan peningkatan permintaan daging sapi tidak diimbangi dengan ketersediaan daging sapi nasional yang mengakibatkan harga daging sapi menjadi relatif mahal. Solusi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan impor ternak hidup untuk meningkatkan produksi ternak. Namun, solusi tersebut dalam jangka panjang dapat menyebabkan ketergantungan impor ternak kepada negara lain. Oleh karena itu, teknologi transfer embrio (TE) menawarkan jalan untuk meningkatkan dan mengembangkan produksi daging secara berkelanjutan melalui peningkatan efektivitas reproduksi betina produktif.

Transfer embrio merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB). Berbeda dengan IB yang meningkatkan mutu genetik hanya melalui hewan jantan, aplikasi teknologi TE dapat meningkatkan mutu genetik hewan betina (Herren 2000). Teknologi TE memungkinkan diperoleh anak sapi unggul dalam jumlah yang banyak. Transfer embrio terdiri dari beberapa proses penting, yaitu superovulasi, sinkronisasi estrus, inseminasi buatan, pemanenan embrio, dan transfer embrio. Produksi embrio dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo (Adriani et al. 2009).

Superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotropin telah berhasil diterapkan dalam program produksi embrio secara in vivo. Secara alamiah sapi hanya mengovulasikan satu sel telur setiap periode estrus. Namun, jumlah ovulasi ini dapat dipacu dengan program superovulasi (Adriani et al. 2009). Superovulasi menginduksi ovulasi melalui pemberian hormon gonadotropin eksogen yang berasal dari luar tubuh, misalnya pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) dan

follicle stimulating hormone (FSH) (Bo dan Mapleto 2014). Follicle stimulating hormone merupakan hormon gonadotropin dengan unsur glikopeptida yang memiliki reseptor pada sel granulosa folikel dan mempunyai waktu paruh (half life) yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitasnya (Kaiin dan Tappa 2006). Menurut Bo dan Mapleto (2014), waktu paruh FSH sekitar lima jam bahkan kurang. Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel pada ternak sapi (Herren 2000). Pemberian FSH dapat dilakukan secara intramuskular dan intrauterin (Gonzales et al. 2004).

Superovulasi mempengaruhi jumlah folikel yang berkembang sehingga jumlah ovum yang diovulasikan menjadi lebih banyak dan meningkatkan jumlah

(12)

mendeteksi berapa jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor sapi (Adriani et al. 2009). Perkembangan CL pada hari ke tiga sampai lima mulai meningkat sampai maksimal disertai dengan peningkatan produksi progesteron sampai kadar maksimal sekitar hari ke-10. Hormon yang berperan penting dalam lisis CL yaitu hormon Prostalglandin 2α (PGF2α) yang dihasilkan endometrium uterus. Pemberian PGF2α dilakukan tiga hari setelah pemberian hormon gonadotropin berfungsi untuk meregresikan CL, sehingga dua sampai tiga hari setelah penyuntikan PGF2α sapi akan estrus (Senger 1999).

Superovulasi merupakan kunci keberhasilan transfer embrio. Keberhasilan superovulasi dapat ditentukan dengan tingginya laju ovulasi dan jumlah CL yang diperoleh. Superovulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keturunan, nutrisi, musim, penyinaran, hormon gonadotropin, dan status ovarium (Chang et al. 2006). Selain itu, respon superovulasi induk donor, fertilisasi dan viabilitas embrio serta manajemen induk donor juga mempengaruhi keberhasilan superovulasi (Kaiin dan Tappa 2006). Beberapa bangsa sapi yang digunakan sebagai induk donor dalam program transfer embrio di Indonesia terdiri dari sapi potong asli Indonesia yaitu sapi Bali, sapi lokal yaitu sapi Peranakan Ongole (PO) serta beberapa bangsa sapi yang berasal dari Eropa dan India yang sudah cukup popular dan banyak berkembang biak yaitu sapi Limousin, sapi Simental, sapi Angus, sapi Friesian Holstein (FH), dan sapi Ongole (Hardjosubroto 1994).

Pemberian hormon gonadotropin dan luteolisis dalam program superovulasi diberikan pada induk donor yang jenis dan kombinasinya bermacam-macam di pasaran. Merek dagang yang mengandung preparat hormon FSH yang biasanya digunakan untuk program superovulasi antara lain Ovagen, Folltropin V, Opti-stim, dan Pluset. Sedangkan preparat hormon untuk luteolisis antara lain Lutalyse, Prostavet C, dan Reprodin yang mengandung prostalglandin F2α.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat keberhasilan superovulasi pada beberapa jenis sapi dengan menggunakan preparat hormon yang berbeda.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah data yang diperoleh dapat digunakan sebagai pengetahuan terhadap tingkat keberhasilan pada beberapa bangsa sapi dengan menggunakan preparat hormon yang berbeda untuk meningkatkan efisiensi program superovulasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Siklus Estrus Sapi Betina

(13)

suatu siklus estrus. Siklus estrus pada dasarnya dibagi menjadi empat fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Berdasarkan perubahan-perubahan dalam ovarium, siklus estrus dapat dibedakan pula menjadi dua fase, yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase luteal, meliputi akhir metestrus dan diestrus (Marawali et al.2001).

Lama siklus estrus pada sapi dikontrol oleh sekresi progesteron dari CL. Konsentrasi progesteron akan meningkat setelah ovulasi dan mencapai konsentrasi maksimum pada hari ke-8 sampai 11 dalam siklus estrus. Tingginya konsentrasi progesteron akan menghambat sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH). Pada ternak yang tidak bunting. Selama siklus estrus, CL merupakan struktur yang penting dalam hal ukuran dan lama terjadinya. Muncul dan hilangnya CL bertanggung jawab terhadap fenomena siklus estrus (Marawali

et al. 2001).

Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)

Gonadotropin adalah kelompok hormon yang bekerja pada gonad, misalnya FSH dan LH yang berperan dalam menginduksi perkembangan folikel ovari dan stimulasi ovulasi (Triwulanningsih et al. 2002). Studi dasar tentang perkembangan folikel telah menunjukkan bahwa FSH diperlukan untuk perekrutan folikel dan pertumbuhan sampai folikel dominan (Sartorelli et al.

2005).

Follicle stimulating hormone merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh pendek sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Selain FSH dapat pula digunakan hormon lain, yaitu PMSG yang mempunyai waktu paruh lebih panjang sehingga hanya perlu dilakukan satu kali injeksi. Waktu paruh yang panjang tersebut akan berdampak pada hasil superovulasi sangat bervariasi, sering timbul folikel yang menetap dalam ovarium sehingga terjadi ketidakseimbangan hormonal dan kualitas embrio yang kurang memenuhi klasifikasi yang telah ditentukan (Kaiin dan Tappa 2006).

Seleksi Induk Donor

Seleksi induk sapi yang akan digunakan sebagai ternak donor dilakukan dengan memeriksa keadaan alat reproduksi. Setelah itu sapi diprogram dengan prosedur TE (Kaiin dan Tappa 2006). Sapi yang digunakan sebagai ternak donor harus mempunyai kriteria antara lain adalah memiliki genetik unggul (genetic superiority), memiliki kemampuan reproduksi (reproductive ability), dan memiliki keturunan yang marketable atau memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Marawali et al.2001).

Sinkronisasi Estrus

(14)

untuk mendeteksi estrus sehingga tingkat keberhasilan dari IB dapat ditingkatkan. Metode sinkronisasi estrus dapat dilakukan dengan menggunakan preparat hormon seperti PGF2α dan progesterone (Marawali et al. 2001).

Prostaglandin F2α adalah senyawa C20 dengan satu cincin siklopenta yang mirip derivat asam lemak tak jenuh seperti arakidonat (Solihati 2005). Preparat prostaglandin F2α pertama kali digunakan dalam prosedur superovulasi sejak tahun 1970an (Bo dan Mapleto 2014). Prostaglandin F2α bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan CL, mengakibatkan penghambatan yang dilakukan hormon progesteron sehingga estrus terjadi 36 sampai 48 jam kemudian (Bo dan Mapleto 2012).

Superovulasi

Superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotropin telah berhasil memproduksi embrio secara in vivo. Secara alamiah sapi hanya mengovulasikan satu sel telur setiap periode estrus. Namun, jumlah ovulasi ini dapat dipacu dengan program superovulasi (Adriani et al. 2009). Sampai saat ini superovulasi secara komersial dilakukan pada ternak betina unggul (donor) dengan menyuntikkan FSH atau PMSG. Melalui penyuntikan hormon-hormon tersebut diharapkan akan meningkatkan jumlah oosit yang diovulasikan, sehingga oosit yang dibuahi akan menjadi bertambah dan jumlah anak per kelahiran dapat meningkat. Respon ovulasi akibat pemberian gonadotropin pada peristiwa superovulasi dapat diindikasikan oleh beberapa parameter yaitu dengan tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh (Chang et al. 2006). Parameter keberhasilan induksi superovulasi lainnya adalah konsentrasi hormon steroid yakni estrogen dan progesteron (Amiruddin et al. 2013).

Inseminasi Buatan

Setelah berhasil memilih hewan donor berkualitas tinggi, kunci keberhasilan embrio transfer selanjutnya terletak pada inseminasi buatan dengan semen yang berasal dari sapi jantan bibit unggul (Davis 2004). Inseminasi buatan melibatkan koleksi semen dari sapi jantan unggul dan mentransferkan semen tersebut ke dalam saluran reproduksi betina. Semen yang dapat digunakan untuk IB dapat berupa semen segar ataupun beku. Setelah perlakuan superovulasi, perlu dilakukan pengamatan terhadap tanda-tanda estrus pada sapi donor sehingga dapat dijadikan acuan untuk menentukan waktu inseminasi yang tepat (Herren 2000).

Corpus luteum

(15)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan lapang program Embrio Transfer serta pengumpulan data sekunder dilaksanakan pada bulan Juli 2013 dan Februari 2014. Penelitian ini bertempat di Balai Embrio Ternak (BET) yang terletak di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.

Materi

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder jumlah CL yang diperoleh dari BET Cipelang pada program superovulasi tahun 2008-2013. Data tersebut meliputi tanggal superovulasi, kode dan jenis ternak donor, kode semen yang digunakan, jenis hormon superovulasi yang digunakan, dan jumlah CL. Ternak sapi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor sapi, terdiri atas tiga ekor sapi Simental, tiga ekor FH, tiga ekor sapi Limousin, dan tiga ekor sapi Angus.

Preparat hormon yang digunakan untuk superovulasi adalah FSH yang terdiri atas dua jenis yaitu FSH1 yang mengandung 400 mg dalam 20 ml atau sapi Limosin, tiga ekor sapi Angus, dan tiga ekor sapi FH. Kombinasi FSH2 dan PGF2α1 diberikan pada tiga ekor sapi Simental, tiga ekor sapi Limosin, tiga ekor sapi Angus, dan tiga ekor sapi FH. Kombinasi FSH2 dan PGF2α2 diberikan pada tiga ekor Simental, tiga ekor sapi Limosin, tiga ekor sapi Angus dan tiga ekor sapi FH.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metoda mengumpulkan data dan menyeleksi data produksi embrio di BET yang dilakukan secara rutin dan mengikuti secara langsung seluruh program TE yang dilaksanakan di BET. Prosedur superovulasi yang dilakukan di BET adalah sapi donor diseleksi berdasarkan kemampuan genetik yang baik, sejarah reproduksi diketahui dan memiliki siklus estrus normal. Sapi donor disinkronisasi dengan implan preparat progesteron intravagina Controlled Internal Drug Release (CIDR) (Eazi-Breedtm

CIDR, Pharmacia Upjohn) yang mengandung 60 mg medroxy progesterone

(16)

sampai hari ke-11 dengan pemberian dua kali sehari yaitu pagi dan sore dengan dosis menurun 4 ml pada hari ke-1, 3 ml pada hari ke-2, 2 ml pada hari ke-3, dan 1 ml pada hari ke-4 secara intra muscular. Preparat hormon yang digunakan antara lain FSH1 sebanyak 20 mg/ml dan FSH2 sebanyak 17,6 mg/ml. Injeksi

PGF2α dilakukan pada hari ke-10 pada pagi dan sore yang berfungsi untuk meregresikan CL sehingga dua sampai tiga hari setelah penyuntikan hormon PGF2α sapi akan estrus. Preparat hormon PGF2α yang digunakan adalah PGF2α1

dengan dosis 5 mg/ml dan PGF2α2 2,5 mg/ml. Pada hari ke-11 CIDR dicabut, pada hari ke-12 dan ke-13 dilakukan inseminasi buatan pada sapi donor tiga kali, yaitu antara pagi-sore-pagi atau sore-pagi-sore tergantung onset estrus. Palpasi rektal dilakukan pada hari ke-7 setelah inseminasi buatan, sehingga diperoleh data jumlah CLpada ovarium kanan dan kiri yang berfungsi sebagai parameter untuk mendeteksi berapa jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor sapi.

Gambar 1 Superovulasi dalam satu siklus estrus sapi

Peubah yang diamati menggunakan analisis ragam (Analysis of Variant/ ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.\

Keterangan: Implan CIDR selama 11 hari

(17)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Embrio Ternak (BET) yang terletak di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Topografi lokasi ini berada di punggung sebelah timur gunung Salak dengan kemiringan 8-40 derajat dan ketinggian 600-1350 m dpl. Lingkungan lokasi penelitian ini mempunyai temperatur 18-22 oC dan kelembaban 70-80%. Menurut Abidin (2006), lingkungan yang baik untuk sapi adalah temperatur optimal dengan kisaran suhu 10-27 oC dan curah hujan 800-1500 mm pertahun, sehingga lokasi penelitian ini cocok untuk pertumbuhan dan reproduksi sapi.

Tingkat Ovulasi

Tingkat ovulasi dapat diketahui berdasarkan jumlah CL yang dihasilkan pada ovarium kanan dan ovarium kiri. Corpus luteum merupakan jaringan yang terbentuk pada tempat ovum diovulasikan dan dijadikan parameter untuk mendeteksi berapa jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor sapi (Adriani et al. 2009). Menurut Baruselli et al. (2011), ukuran CL pada sapi-sapi yang termasuk ke dalam ras Bos taurus adalah 20-30 mm. Rataan jumlah total CL pada masing-masing jenis sapi dan kombinasi hormon hasil superovulasi disajikan pada Tabel 1. Jumlah total CL yang terbentuk pada ovarium dapat menunjukan tingkat keberhasilan program superovulasi.

Tabel 1 Rataan Jumlah Corpus Luteum Hasil Superovulasi Bangsa

(18)

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa bangsa sapi donor yang digunakan untuk program superovulasi yaitu Simental, Limousin, Angus, dan FH memberikan pengaruh secara nyata (P<0.05) terhadap respon superovulasi yang diterapkan dilihat dari jumlah CL yang dihasilkan. Sapi Simental memberikan respon yang berbeda dibandingkan sapi Angus dan FH. Sapi Angus dan FH memberikan respon yang sama terhadap jumlah CL. Sapi Limousin memberikan respon yang sama dengan sapi Simental, Angus, dan FH terhadap jumlah CL. Sapi Simental menunjukan respon yang lebih baik dibandingkan bangsa sapi lainnya terhadap hasil superovulasi yang ditandai dengan perolehan jumlah CL yaitu pada kombinasi FSH1 dan PGF2α1 terdapat 46 CL, kombinasi FSH1 dan PGF2α2 terdapat 32 CL, kombinasi FSH2 dan PGF2α1 24 CL dan kombinasi FSH2 dan PGF2α2 terdapat 39 CL. Respon superovulasi sapi Simental yang lebih baik, dikarenakan sapi Simental memiliki kelebihan adaptasi lingkungan tropis dan tahan terhadap kondisi stres (Madibela et al. 2010). Sapi Simental juga memiliki tampilan produksi dan reproduksi yang baik, memiliki temperamen jinak, mudah beradaptasi terhadap lingkungan Indonesia (Suhada et al. 2009). Menurut Baruselli et al. (2006), adaptasi yang buruk ditunjukan oleh sapi FH di lingkungan tropis yang mempengaruhi variasi individu yang lebih signifikan dalam jumlah folikel pada saat estrus dan jumlah CL pada saat pengumpulan ovum/embrio sehingga mempengaruhi respon superovulasi. Respon superovulasi yang sama dengan sapi FH juga ditunjukan oleh sapi angus. Menurut Lamb et al. (2007), sapi Angus memiliki jumlah CL sebagai respon superovulasi dan embrio yang rendah. Hal tersebut dikarenakan sapi Angus juga memiliki variasi induvidu yang signifikan terhadap jumlah CL, jumlah embrio, dan kualitas embrio saat terjadi perubahan cuaca.

Kombinasi hormon FSH dan PGF2α yang digunakan untuk superovulasi tidak mempengaruhi jumlah CL pada bangsa sapi Simental, Limousin, Angus, dan FH (Bos taurus). Kombinasi hormon ini tidak memberikan pengaruh berbeda nyata (P>0.05) karena konsentrasi hormon FSH yang digunakan untuk superovulasi tidak jauh berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Agaoglu et al. (2012) yang menyatakan bahwa perbedaan preparat hormon FSH dalam program superovulasi tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah CL dan embrio. Hormon FSH1 mengandung sebanyak 400 mg dalam 20 ml sedangkan hormon FSH2 mengandung 352 mg dalam 20 ml. Kandungan FSH tersebut merupakan jumlah hormon yang sudah mampu memberikan respon superovulasi. Menurut Nilchuen et al. (2011), jumlah FSH minimal yang mampu memberikan respon superovulasi untuk Bos taurus adalah 250-280 mg. Follicle Stimulating Hormone berikatan dengan reseptor sel granulosa di dalam folikel ovarium untuk mengaktivasi pertumbuhan dan perkembangan folikel. Selain jumlah FSH pada masing-masing preparat, terdapat pula LH yang jumlahnya berbeda antara kedua preparat hormon yang digunakan. Rasio LH dan FSH pada masing-masing preparat hormon dapat bervariasi. Perbedaan rasio LH dan FSH tidak mempengaruhi terhadap tingkat ovulasi tetapi mempengaruhi kualitas embrio (Agaoglu et al. 2012). Tingginya rasio FSH dan LH menyebabkan rasio hasil embrio yang lebih rendah tetapi meningkatkan kualitas embrio (Hemming 2007). Menurut Putro (2008) bahwa hormon GnRH yaitu LH dan FSH yang bekerja

(19)

Hormon PGF2α juga digunakan dalam proses transfer embrio sebagai agen luteolitik yang dapat menginduksi terjadinya estrus (Arifiantini et al. 2010). Pemberian hormon PGF2α memberikan respon yang sama diantara kedua preparat yaitu PGF2α1 dan PGF2α2. Hal tersebut disebabkan karena konsentrasi hormon PGF2α yang diberikan pada kedua preparat sama yaitu 20 mg. Prostalglandin F2α mempunyai reseptor pada membran sel luteal yang berfungsi untuk melisiskan CL.

Lisisnya CL juga disebabkan oleh vasokonstriksi pembuluh darah sehingga aliran

darah menuju CL menurun secara drastis (Hafez dan Hafez 2000). Timbulnya estrus akibat pemberian PGF2α disebabkan lisisnya CL. Regresi CL akan diikuti dengan penurunan konsentrasi progesteron. Penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisis anterior melepaskan FSH dan LH. Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi sehingga terjadi

pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya

menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala estrus (Nilchuen et al. 2011).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Bangsa sapi yang digunakan dalam program superovulasi mempengaruhi keberhasilan superovulasi dilihat dari jumlah CL yang terbentuk. Sapi Simental memberikan respon superovulasi yang lebih baik dibandingkan bangsa sapi lainnya. Kombinasi hormon tidak mempengaruhi keberhasilan superovulasi.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai respon individu terhadap keberhasilan superovulasi di BET Cipelang karena faktor respon setiap individu sapi merupakan suatu kendala terbesar terhadap keberhasilan superovulasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka. Adriani, Rosidi B, Depison. 2009. Penggunaan follicle stimulating hormone dan

pregnant mare serum gonadotropin untuk superovulasi pada sapi persilangan brahman. Med. Pet. 32:163-170.

Agaoglu AR, Karakas K, Kaymaz M, Yagci IP, Agaoglu OK, Tasdemir U. 2012. Effect of different gonadotropin preparation on ovulatory response and embryo yield in karayaka ewes. Kafkas Univ Vet Fak Derg. 18:861-864. Amiridis GS, Tsiligianni T, Raaling NC. 2006. Follicular waves and circulating

(20)

Amirudin, Siregar NT, Armansyah T, Hamdan, Arismunandar, Rifki M. 2013. Efektifitas beberapa metode diagnosis kebuntingan pada sapi. J. Ked. Hew. 7:120-124.

Arifiantini RI, Purwantara B, Yusuf TL, Sajuhti D, Amrozi. 2010. Angka konsepsi hasil inseminasi semen cair versus semen beku pada kuda yang disinkronisasi estrus dan ovulasi. Med. Pet. 33:1-5.

Baruselli PS, Sa FMF, Martins CM, Masser LF, Nogueira MFG, Barros CM, Bo GA. 2006. Superovulation and embryo transfer in Bos indicus cattle.

Theriogen. 65:77-78.

Baruseeli PS, Ferreira RM, Sales NS, Gimenes LU, Sa FMF, Martins CM, Rodrigues CA, Bo GA. 2011. Timed embryo transfer programs for management of donor and recipient cattle. Theriogen. 76:1583-1593.

Bo, Mapleto RJ. 2012. The evolution of improved and simplitied superovulation protocols in cattle. Reprod Fertil. 24:278-283.

Bo GA, Mapleto RJ. 2014. Historical perspectives and recent research on superovulation in cattle. Theriogen. 96:8138-8148.

Chang Z, Fan X, Luo M, Wu Z, Tan J. 2006. Factors affecting superovulation and embryo transfer in boer goats. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 19:341-346. [DITJENNAK] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Ternak. 2013.

Buku Statistik Peternakan Tahun 2013. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Davis RL. 2004. Embryo transfer in beef cattle [internet]. [diunduh 2014 Mei

5];http://www.davisrairdan.com/embryo-transfer.htm.

Duggavathi R, Bartlewski PM, Agg E, Flint S, Barrett DMW, Rawlings NC. 2005. The effect the manipulation of follicle stimulating hormone (FSH) peak characteristics on follicular wave dynamics in sheep: Does an ovarian independent endoenous rhythm in FSH secretion exist. Biol. Reprod.

72:1466-1474.

Gonzalez BA, Souza CJH, Campbell BK, Baird DT. 2004. Systemic and intraovarian effects of dominant follicles on ovine follicular growth. Anim Reprod Sci. 84:107-119.

Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animal. Ed ke-7. Philadelphia (AS): Lippincott Williams and Wilkin.

Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Hemming PJ. 2007. Hormone therapy and estrus cycle control. In: Comparative Veterinary Reproduction and Obstetrics [internet]. [diunduh 2014 Agustus 18];http://artbreedingcenter.com/Articles.php?a=Content/ReproHormones.ht m.

Herren R. 2000. The Science of Animal Agriculture. Ed ke-2. Albany (AL): Delmar Thomson Learning.

Kaiin EM, Tappa B. 2006. Induksi superovulasi dengan kombinasi controlled internal drug release, follicle stimulating hormone dan human chorionic gonadotropin pada induk sapi potong. Med. Pet. 29:141-146.

(21)

Madibela OR, Baitumelo, Kiflewahid B. 2010. Reproductive performance of tswana and simental x tswana crosses in smallholder farms in bostwana.

Livestock Research for Rural Development. 13:5.

Marawali A, Hine MT, Burhanuddin, Beli H. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur.

Nilchuen P, Rattanatab TS, Chomchai S. 2011. Superovulation with different doses of follicle stimulating hormone in Kamphaeng Saen beef cattle. J. Sci. Technol. 33:679-683.

Putro, Wasito R, Wuryastuty H, Indarjulianto S. 2008. Dinamika perkembangan folikel dan profil progesteron plasma selama siklus estrus pada sapi perah.

Anim. Reprod. 10:73-77.

Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. Washington (US): Current Concept Inc.

Sartorelli ES, Carvalho LM, Bergfelt DR, Ginther OJ, Barros CM. 2005. Morphological characterization of follicle deviation in nelore (Bos Indicus) heifers and cows. Theriogen. 63:2382-2394.

Solihati N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α dalam Sinkronisasi Estrus Terhadap angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Bandung (ID): Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran.

Suhada H, Sumadi, Ngadiyono. 2009. Estimasi parameter genetik sifat produksi sapi simental di Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Potong Padang Mengatas, Sumatera Barat. Bul. Pet. 33:1-7.

(22)

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 1 Rataan Jumlah Corpus Luteum Hasil Superovulasi

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam hal Pengaduan dan/atau informasi dugaan pelanggaran Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan layak untuk ditindaklanjuti ke tahap pemeriksaan

Adanya peran serta dari masyarakat melalui pengorganisasian kelompok sadar wisata melalui program desa wisata akan memberikan dampak lebih mudahnya untuk mencapai

Oleh karena itu, feromon seks berpeluang untuk dikembangkan pada areal yang lebih luas, terutama pada sentra produksi bawang merah dan endemis serangan hama ulat

Berdasarkan hal-hal diatas, akan di lakukan sebuah penelitian pendeteksi kendaraan untuk menentukan volume traffic kendaraan, kecepatan kendaraan dan ukuran panjang

Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan, ketika anak atau remaja melakukan perbuatan perdata, khususnya perkawinan di bawah umur pada dua kasus yang dikaji, maka menurut

(3) Bakal Calon Kepala Dusun yang telah ditetapkan oleh Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diajukan kepada Pemerintah Desa untuk ditetapkan sebagai calon

ada di Desa Bangunsari Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna dapat dilihat dari hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik pengusaha maupun buruh mebel yaitu: 1. Hak dan

BANGKOK - Bagi memahami senario pertanian di negara lain yang lebih kurang sama iklimnya serta gunatanah untuk pertanian, seramai 25 pelajar Master Pengurusan Sumber