• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kondisi Habitat Terumbu Karang Pasca Pengelolaan COREMAP II di Kecamatan Gunung Kijang, Bintan, Kepulauan Riau.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kondisi Habitat Terumbu Karang Pasca Pengelolaan COREMAP II di Kecamatan Gunung Kijang, Bintan, Kepulauan Riau."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KONDISI HABITAT TERUMBU KARANG

PASCA PENGELOLAAN COREMAP II DI KECAMATAN

GUNUNG KIJANG, BINTAN, KEPULAUAN RIAU

SUKMA VIOLINA PELAWI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kondisi Habitat Terumbu Karang Pasca Pengelolaan COREMAP II di Kecamatan Gunung Kijang, Bintan, Kepulauan Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2015

Sukma Violina Pelawi

(4)

ABSTRAK

SUKMA VIOLINA PELAWI. Analisis Kondisi Habitat Terumbu Karang Pasca Pengelolaan COREMAP II di Kecamatan Gunung Kijang, Bintan, Kepulauan Riau. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan GIYANTO.

COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) adalah program jangka panjang yang bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan terumbu karang secara lestari yang pada akhirnya dapat menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan sosial ekonomi masyarakat pasca COREMAP II. Kondisi tutupan terumbu karang dinilai menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) dan pengumpulan data masyarakat melalui pengisian kuisioner. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi penurunan persentase tutupan karang hidup pada tahun 2014 sebesar 10,6%. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara tutupan karang hidup saat COREMAP II berlangsung dan saat pasca COREMAP II tahun 2014. Konsep COREMAP II belum melingkupi faktor ekternal lain yang mampu menimbulkan resiko perubahan fungsi dan struktur ekosistem terumbu karang.

Kata kunci : COREMAP II, Kecamatan Gunung Kijang, pengelolaan, terumbu karang

ABSTRACT

SUKMA VIOLINA PELAWI. Analysis of Habitat Condition of Coral Reef Post Management of COREMAP II in Subdistrict of Gunung Kijang, Bintan, Riau Islands. Supervised by FREDINAN YULIANDA and GIYANTO.

COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) is a long-term program which aims to protect, rehabilitate and manage the sustainable use of coral reefs, in the end can support the welfare of coastal communities. This study aims to assess the condition of coral reef ecosystem and social-economic community of post COREMAP II. The cover condition of coral reef is calculated by using the LIT (Line Intercept Transect) method and by filling the questionnaire. The results show that declining percentage of live coral cover in 2014 amounted to 10.6 %. In addition , there was no significant difference between live coral cover while COREMAP II and when the post COREMAP II in 2014. The concept COREMAP II still did not cover other external factors that capable of causing risk of changes in the function and structure of coral reef ecosystems .

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

ANALISIS KONDISI HABITAT TERUMBU KARANG

PASCA PENGELOLAAN COREMAP II DI KECAMATAN

GUNUNG KIJANG, BINTAN, KEPULAUAN RIAU

SUKMA VIOLINA PELAWI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah Analisis Kondisi Habitat Terumbu Karang Pasca Pengelolaan COREMAP II di Kecamatan Gunung Kijang, Bintan, Kepulauan Riau.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada :

1 IPB yang telah memberikan kesempatan untuk studi.

2 Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama studi di IPB.

3 Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bintan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseanografi atas data pendukung yang telah diberikan.

4 Prof Dr Ir Sulistiono, MSc selaku dosen pembimbing akademik. 5 Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku dosen pembimbing satu. 6 Dr Giyanto, SSi, MSc selaku dosen pembimbing dua.

7 Inna Puspa Ayu, SSi, MSi selaku Komisi Pendidikan Program S1 dan Taryono, SPi, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8 Syarviddint Alustco, SPi, MSi selaku Pengarah Lapang. 9 Muin Sinaga, SPi dan Irawan selaku Pembimbing Lapang.

10 Dr Firdaus AK, MSc Kasubdit Pemanfaatan Kawasan dan Jenis Ikan Kementrian Kelautan dan Perikanan atas kritik dan sarannya.

11 Ayahanda dan Ibunda serta keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya.

12 Keluarga besar MSP angkatan 48 dan teman-teman semuanya. 13 Semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.

Demikian karya ilmiah ini disusun, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN v

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 3

Waktu dan Lokasi 3

Teknik Pengumpulan Data 4

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Hasil 7

Pembahasan 14

KESIMPULAN DAN SARAN 19

Kesimpulan 19

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 23

(10)

DAFTAR TABEL

1 Posisi transek permanen di perairan Kecamatan Gunung Kijang,

Bintan Timur, Kepulauan Riau 4

2 Perbedaan pengelompokan data jenis biota dan substrat versi AIMS

dan COREMAP 6

3 Kriteria persentase tutupan terumbu karang menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.4 Tahun 2001 6 4 Persentase tutupan karang hidup (life coral) di setiap stasiun

pada tahun 2007-2010 dan tahun 2014 7

5 Nilai p berdasarkan hasil uji analisis variasi satu arah (one way ANOVA) terhadap persentase tutupan biota dan substrat 9

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian di perairan pesisir Kecamatan Gunung Kijang 4 2 Perbandingan perubahan tutupan karang hidup (life coral) dan karang mati yang ditumbuhi oleh alga (dead coral with algae) 8 3 Plot interval untuk masing-masing biota dan substrat berdasarkan

waktu pemantauan (selang kepercayaan 95%). 9

4 Tingkat pendidikan nelayan pesisir di Kecamatan Gunung Kijang 10 5 Komposisi hasil tangkapan oleh nelayan pesisir Kecamatan Gunung

Kijang 10

6 Komposisi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pesisir

di Kecamatan Gunung Kijang 11

7 Persentase masyarakat yang pernah dan tidak pernah menerima

informasi tentang COREMAP 12

8 Persentase sumber informasi COREMAP yang diterima oleh

masyarakat tentang COREMAP 12

9 Persentase peran dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan

COREMAP II 13

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner penelitian untuk masyarakat Kecamatan Gunung Kijang 23

2 Pertanyaan wawancara individu 26

3 Dokumentasi alat dan pengambilan data 27

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 966.54 km. Kabupaten Bintan memiliki wilayah laut yang luas, yaitu 86 398.33 km2 atau sekitar 98.51% dari total wilayah Kabupaten Bintan. Hal tersebut menjadikan Bintan memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan yang sangat beragam seperti perikanan, rumput laut, hutan mangrove, dan tidak terkecuali sumber daya terumbu karang. Sebagai bagian dari provinsi kepulauan, Bintan memiliki ekosistem terumbu karang yang bernilai ekologi dan ekonomi tinggi. Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau memiliki luas ekosistem terumbu karang sebesar 9 085.33 ha (DKP Bintan 2011). Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan dimanfaatkan sebagai lokasi penangkapan ikan karang hidup seperti ikan Kerapu, ikan Napoleon, dan ikan Sunu yang diekspor ke Singapura serta sebagai lokasi pengembangan wisata bahari (LIPI 2007).

Namun, kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya ekosistem terumbu karang tidak jarang mengakibatkan dampak yang dapat mengubah dan menganggu keseimbangan ekosistem terumbu karang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan fungsi dan struktur ekosistem terumbu karang (Tanjung 2002 dalam Haruddin et al. 2011). Kegiatan yang berasal dari pesisir seperti buangan limbah organik, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur di pesisir pantai juga menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan 14 famili dan 78 jenis karang dengan kondisi buruk sampai sedang (LIPI 2007).

Solusi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengembalikan fungsi ekosistem terumbu karang adalah melalui COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). COREMAP atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang merupakan program jangka panjang yang bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan sumber daya di ekosistem terumbu karang secara lestari, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. COREMAP telah dirancang dalam tiga fase, yaitu:

Fase I, Tahap Inisiasi (1998-2004): menetapkan landasan kerangka kerja sistem nasional terumbu karang;

Fase II, Tahap Akselerasi (2004-2011): menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang handal di daerah-daerah prioritas;

Fase III, Tahap Pelembagaan (2014-2019): menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang handal dan operasional dengan pelaksanaan terdesentralisasi dan telah melembaga.

(14)

2

didesain untuk pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Pelaksanaan COREMAP dilakukan menggunakan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat dengan melibatkan pemerintah, lembaga non-pemerintah, masyarakat, dan stakeholder

(Widayatun 2011).

Potensi terumbu karang Kecamatan Gunung Kijang yang besar menjadikan program COREMAP sebagai salah satu program yang diharapkan mampu menjaga pemanfaatan ekosistem terumbu karang di Kecamatan Gunung Kijang. Selain itu, arah kebijakan pemerintah yang diaplikasikan dalam bentuk program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang diharapkan dapat menjadi suatu bentuk pengelolaan yang tepat dan berdasar pada data data-data ilmiah yang akurat. Program rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang diimplementasikan dan dikelola secara efektif dan berkelanjutan pada akhirnya akan bermanfaat bagi kesehatan terumbu karang dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Perumusan Masalah

Potensi sumber daya laut yang besar di pesisir Kecamatan Gunung Kijang meningkatkan kegiatan berbasis kelautan (marine based activities) masyarakat pesisir. Masyarakat pedesaan pesisir Kecamatan Gunung Kijang melakukan aktivitas penangkapan ikan sebagai strategi penghidupan utama. Namun, untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal, berbagai upaya dilakukan termasuk dengan melakukan eksploitasi yang berlebihan dan penangkapan dengan metode destruktif. Bahan beracun seperti potassium atau bius dan bahan peledak sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap sumber daya ikan di pesisir Kecamatan Gunung Kijang. Hal tersebut dapat menyebabkan degradasi secara langsung terhadap terumbu karang (direct impact based economic activities).

Ancaman lain yang secara tidak langsung juga dapat menyebabkan dampak terhadap kondisi terumbu karang disebut indirect impact from land based economic activities. Ancaman tersebut bersumber dari berbagai kegiatan pesisir dan mengakibatkan penurunan kualitas perairan di ekosistem terumbu karang seperti sedimentasi dan peningkatan unsur hara. CRITC Bintan (2009) menyatakan bahwa penurunan tutupan karang hidup di KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah) Bintan Timur- termasuk pesisir Kecamatan Gunung Kijang- diduga akibat kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan penambangan bauksit, granit dan aliran sungai. Kerusakan ekosistem terumbu karang akan mengurangi ketersediaan sumber daya ikan dan dalam jangka panjang akan menurunkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

(15)

3 setiap tahun pengamatan. Kondisi sosial-ekonomi dilihat dari kondisi masyarakat terhadap program COREMAP II, persepsi, dan tingkat pendapatan masyarakat pasca COREMAP II serta faktor-faktor yang mungkin berpengaruh terhadap kondisi sosial-ekonomi. Informasi terkait kondisi ini kemudian digunakan untuk mengevaluasi program COREMAP II sehingga menghasilkan suatu analisis pengelolaan. Analisis pengelolaan secara umum memperlihatkan efektivitas program selama tahap implementasi dan selanjutnya memberikan suatu rekomendasi kebijakan sebagai perbaikan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kecamatan Gunung Kijang.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi tutupan terumbu karang di kawasan Kecamatan Gunung Kijang dan menganalisis efektivitas konsep pengelolaan terumbu karang (COREMAP II) terhadap peningkatan tutupan terumbu karang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan informasi terkait kondisi terumbu karang setelah pelaksanaan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) II di Kecamatan Gunung Kijang dan sebagai bahan pendukung atau bahan masukan dalam pembuatan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di pesisir Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan.

METODE

Waktu dan Lokasi

(16)

4

Gambar 1 Lokasi penelitian di perairan pesisir Kecamatan Gunung Kijang Lokasi pengambilan data sosial-ekonomi dilakukakan di tiga desa di Kecamatan Gunung Kijang, yakni Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau, dan Desa Kawal. Lokasi stasiun pengambilan data terumbu karang disesuaikan dengan koordinat stasiun permanen yang ditentukan oleh COREMAP sejak tahun 1997. Hal ini dilakukan agar hasil dari lokasi tersebut dapat diperbandingkan dengan hasil pengamatan tahun-tahun sebelumnya. Tabel 1 menunjukkan kode stasiun, koordinat, dan lokasi pengambilan data.

Tabel 1 Posisi transek permanen di perairan Kecamatan Gunung Kijang, Bintan Timur, Kepulauan Riau

No. Kode Stasiun Garis Bujur Garis Lintang Lokasi

1 KRIL 74 104.64256 1.087670 Utara Teluk Bakau

2 KRIL 77 104.65372 1.059440 Tanjung Bakau

3 KRIL 81 104.66129 1.014520 Selatan Teluk Bakau 4 KRIL 85 104.67550 1.046700 Pulau Beralas Pasir

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer terumbu karang mengikuti teknik pengumpulan data Reef Health Monitoring COREMAP. Hal ini dilakukan agar tutupan karang dapat diperbandingkan. Pengambilan data karang menggunakan metode LIT atau

(17)

5 pantai pada kedalaman sekitar 5 m. Semua jenis biota dan substrat yang berada tepat di bawah garis transek 0-10 m, 30-40 m, dan 60-70 m tersebut dicatat dengan ketelitian hingga sentimeter menggunakan alat tulis bawah air dan lembar data. Pengambilan data jenis biota dan substrat juga didokumentasikan dengan menggunakan kamera bawah air.

Pengumpulan data primer masyarakat dilakukan dengan dua teknik pengumpulan data yakni melalui angket (questionary) dan wawancara (interview). Teknik pengumpulan responden untuk pengisian angket dilakukan dengan teknik

purposive sampling. Karakteristik masyarakat yang menjadi objek survei adalah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan pesisir. Data survei dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner (Lampiran 1) yang ditanyakan kepada 70 responden. Data kuesioner tersebut mencakup dua kategori yaitu kategori yang menyangkut keadaan rumah tangga (usia, pendidikan, kepemilikan aset, pengetahuan dan keterlibatan dengan COREMAP) dan keadaan ekonomi (pendapatan) rumah tangga. Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam seperti FGD (Forum Group Disccusion) dan lisan. Wawancara mendalam dan FGD dilakukan terhadap berbagai informan seperti pemerintah daerah, nelayan, ibu-ibu nelayan, pemuka masyarakat seperti perangkat desa dan tokoh masyarakat lainnya. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman yang telah disiapkan sebelumnya (Lampiran 2).

Pengumpulan data sekunder dilakukan terhadap hasil penelitian sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari hasil penelitian CRITC COREMAP II – LIPI, Kantor Statistik Kabupaten Bintan Timur, dan Dinas Perikanan Kelautan Bintan.

Analisis Data

Data jenis biota dan substrat diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan dengan metode Line Intercept Transect (LIT). Selanjutnya, dilakukan pengolahan data dengan menghitung persentase penutupan (percent cover) menurut Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (KABAPEDAL) No.47 Tahun 2001 tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang. Rumus yang digunakan untuk metode bentuk pertumbuhan

(lifeform method) adalah sebagai berikut.

C = Li

n x 100% Keterangan :

C = Persentase penutupan karang (%)

Li = Panjang bentuk pertumbuhan (lifeform) ke-i (cm) n = Panjang transek (cm)

(18)

6

pertumbuhan biota dan substrat menggunakan modifikasi COREMAP untuk mempermudah pengelompokan biota dan substrat. Tabel 2 menunjukkan perbedaan pengelompokan biota dan substrat menurut versi AIMS dan COREMAP.

Tabel 2 Perbedaan pengelompokan data jenis biota dan substrat versi AIMS dan COREMAP

Versi AIMS Versi COREMAP

AA Algae Assemblage FS Fleshy Seaweed (makro alga)

ACB Acropora Branching AC Karang Acropora

ACD Acropora Digitate AC Karang Acropora

ACE Acropora Encrusting AC Karang Acropora

ACS Acropora Submassive AC Karang Acropora

ACT Acropora Tabulate AC Karang Acropora

CA Corallinealgae OT Others

CB Coral Branching NA Karang Non-Acropora

CE Coral Encrusting NA Karang Non-Acropora

CF Coral Foliose NA Karang Non-Acropora

CHL Coral Heliopora NA Karang Non-Acropora

CM Coral Massive NA Karang Non-Acropora

CME Coral Meliopora NA Karang Non-Acropora

CMR Coral Mushroom NA Karang Non-Acropora

CS Coral Submassive NA Karang Non-Acropora

DC Dead Coral DC Dead coral

Persentase tutupan karang hidup (life coral) yang terdiri atas jenis Acropora dan Non Acropora menjadi penentu kondisi kesehatan ekosistem terumbu karang. Persentase tutupan karang hidup disesuaikan dengan kategori kondisi terumbu karang menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.4 tahun 2001. Tabel 3 menunjukkan kriteria kondisi terumbu karang berdasarkan selang persentase tutupan karang hidup menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.4 Tahun 2001.

Tabel 3 Kriteria persentase tutupan terumbu karang menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.4 Tahun 2001

Kategori % tutupan karang hidup

Buruk 0-24.9 %

Sedang 25-49.9 %

Baik 50-74.9 %

(19)

7

Hasil persentase tutupan karang hidup setiap tahun cenderung memiliki nilai yang berbeda sebab perubahan persentase tutupan karang hidup dapat terjadi setiap tahun. Signifikan atau tidak perubahan pertumbuhan terumbu karang hidup berdasarkan data tahunan dapat diketahui menggunakan uji analisis variasi satu arah (one way ANOVA) pada rancangan acak lengkap (RAL). Nilai p (p-value) pada uji analisis variasi satu arah merupakan nilai kritis yang digunakan untuk menunjukkan indikasi penolakan atau penerimaan hipotesis nol (H0: tutupan suatu kategori tidak berbeda antar semua tahun pengamatan).

Pada penggunaan tingkat keyakinan (level of significant) 5 %, jika nilai p lebih kecil dari 0.05 maka nilai variabel input (misal: kategori tutupan karang hidup atau LC) tidak semuanya sama antar tahun pengamatan atau berarti ada yang nilainya berbeda antar tahun pengamatan. Apabila terjadi penolakan H0, maka perlu dilakukan uji lanjut Tukey (Walpole 1982) untuk melihat antar tahun mana yang memiliki nilai variable input yang berbeda. Data sosial ekonomi masyarakat ditabulasikan ke dalam bentuk angka persentase yang diolah menggunakan Microsoft Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Persentase tutupan karang hidup (Acropora dan Non Acropora) digunakan untuk menunjukkan kondisi terumbu karang di setiap stasiun dari tahun 2007 sampai 2010 dan tahun 2014. Data tutupan karang yang diamati di stasiun Utara Teluk Bakau, stasiun Tanjung Bakau, stasiun Selatan Teluk Bakau, dan stasiun Pulau Beralas Pasir menunjukkan persentase yang berbeda. Tabel 4 menunjukkan persentase tutupan karang hidup (life coral) di setiap stasiun yang kemudian dikategorikan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.4 tahun 2001. Tabel 4 Persentase tutupan karang hidup (life coral) di setiap stasiun pada tahun

(20)

8

Tutupan karang hidup berfluktuasi dari tahun 2007 sampai 2010 dan tahun 2014. Persentase tutupan karang hidup tertinggi berada di stasiun Tanjung Bakau dan persentase terendah berada pada stasiun Pulau Beralas Pasir. Rata-rata tertinggi persentase tutupan karang hidup adalah pada tahun 2010 yakni sebesar 56.49%. Rata-rata terendah persentase tutupan karang hidup adalah pada tahun 2014 yakni sebesar 45.89%.

Penurunan persentase tutupan karang hidup umumnya diikuti dengan peningkatan tutupan karang mati. Perubahan tutupan karang hidup (life coral atau LC) menjadi karang mati yang ditumbuhi alga (dead coral with algae atau DCA) dibandingkan untuk melihat tingkat pertumbuhan dan tingkat kematian karang dari tahun 2007 sampai 2010 dan tahun 2014 pasca COREMAP. Gambar 2 menunjukkan perbandingan tutupan karang hidup (life coral) dan karang mati yang telah ditumbuhi alga (dead coral with algae).

Gambar 2 Perbandingan perubahan tutupan karang hidup (life coral) dan karang mati yang ditumbuhi oleh alga (dead coral with algae)

Perubahan yang fluktuatif terjadi pada persentase tutupan karang hidup (life coral) dan karang mati yang ditumbuhi oleh alga (dead coral with algae). Persentase tutupan karang mati yang ditumbuhi oleh alga menurun sebesar 9.13% pada tahun 2008, namun pada tahun 2009 terjadi peningkatan sebesar 6.64%. Pada tahun 2010, tutupan karang mati kembali menurun sebesar 4.17%, kemudian pada tahun 2014 meningkat kembali sebesar 14.93%. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini tutupan karang mati yang ditumbuhi oleh alga hampir menempati setengah dari ekosistem terumbu karang di perairan Kecamatan Gunung Kijang.

Variasi data masing-masing bentuk pertumbuhan biota karang dan substrat dapat disajikan dalam bentuk plot interval. Berikut merupakan plot interval untuk masing-masing biota dan substrat berdasarkan waktu pemantauan dengan menggunakan selang kepercayaan 95%. Plot interval untuk masing-masing biota dan substrat berdasarkan waktu pemantauan disajikan pada Gambar 3.

(21)

9

Gambar 3 Plot interval untuk masing-masing biota dan substrat berdasarkan waktu pemantauan

Terdapat variasi data pada bentuk pertumbuhan NA (Non Acropora), DCA (Dead Coral with Algae), SP (Sponge), FS (Fleshy seaweed), R (Rubble), dan S (Sand). Persentase tutupan jenis Non-Acropora merupakan persentase tutupan tertinggi pada setiap tahun pengamatan. Tidak ada variasi data pada kategori Dead Coral (DC), Silt (SI), dan Rock (RK).

Sebelum melakukan pengujian, data ditransformasikan ke dalam bentuk arcsin√� (LIPI 2007). Kategori karang mati (DC), lumpur (SI) dan batuan (RK) tidak diuji karena tidak memenuhi persyaratan uji analisis variasi satu arah. Tabel 5 menunjukkan nilai p hasil pengujian analisis variasi satu arah (one way

ANOVA) untuk masing-masing biota dan substrat.

Tabel 5 Nilai p berdasarkan hasil uji analisis variasi satu arah (one way ANOVA) terhadap persentase tutupan biota dan substrat

Kategori Nilai p

Hasil uji menunjukkan bahwa nilai p>0.05 untuk semua kategori yang diuji sehingga hipotesis nol atau H0 tidak ditolak (terima H0). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan untuk semua jenis biota dan substrat antara tahun 2007 (t0), tahun 2008 (t1), tahun 2009 (t2), tahun 2010 (t3) dan tahun 2014 (t4). Nilai persentase tutupan yang tidak berbeda nyata pada semua kategori menyebabkan uji lanjut Tukey tidak perlu dilakukan.

Selain mengamati aspek ekologis (kondisi kesehatan terumbu karang), juga dilakukan pengamatan terhadap aspek sosial-ekonomi (pendidikan, aktivitas

(22)

10

penangkapan ikan, pemahaman dan keterlibatan dalam program serta pendapatan). Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran pengaruh yang ditimbulkan dari pelaksanaan program terhadap masyarakat. Studi aspek sosial ekonomi disajikan berdasarkan jumlah responden sebanyak 70 orang (n=70). Tingkat pendidikan nelayan menjadi salah satu variabel yang digunakan untuk menunjukkan kondisi sosial masyarakat. Gambar 4 menunjukkan komposisi tingkat pendidikan masyarakat pesisir Kecamatan Gunung Kijang.

Gambar 4 Tingkat pendidikan nelayan pesisir di Kecamatan Gunung Kijang Persentase tertinggi menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan Kecamatan Gunung Kijang berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Tidak satu pun responden berpendidikan lebih tinggi dari SMA. Persentase terendah adalah nelayan yang sama sekali tidak menempuh pendidikan formal. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan pesisir Kecamatan Gunung Kijang belum memiliki keinginan atau kesadaran yang kuat untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan sebagian besar masyarakat Kecamatan Gunung Kijang berprofesi sebagai nelayan pesisir. Hal tersebut juga menyebabkan masyarakat pesisir sangat bergantung dan tidak dapat dipisahkan dengan sumber daya pesisir khususnya sumber daya ikan. Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumber daya pesisir khususnya sumber daya ikan di ekosistem terumbu karang dapat dilihat dari komposisi jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan Kecamatan Gunung Kijang. Gambar 5 merupakan komposisi hasil tangkapan oleh nelayan pesisir Kecamatan Gunung Kijang tahun 2014.

(23)

11 Ikan karang merupakan hasil tangkapan yang paling dominan bagi nelayan pesisir Kecamatan Gunung Kijang. Pesentase hasil tangkapan sotong dan kepiting juga masih tergolong tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan pesisir lebih banyak menangkap ikan-ikan karang di kawasan pesisir Kecamatan Gunung Kijang, yakni di kawasan ekosistem terumbu karang yang menjadi habitat ikan-ikan karang dan biota lainnya yang hidup dan berasosiasi di habitat terumbu karang seperti kepiting (ketam) dan sotong.

Lokasi aktivitas nelayan dalam menangkap ikan dapat diketahui berdasarkan alat tangkap yang digunakan nelayan. Selain itu, alat tangkap yang digunakan nelayan juga dapat merepresentasikan adanya potensi terhadap kerusakan terumbu karang. Gambar 6 merupakan persentase komposisi alat-alat tangkap yang digunakan nelayan Kecamatan Gunung Kijang.

Gambar 6 Komposisi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pesisir di Kecamatan Gunung Kijang

Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan pesisir Kecamatan Gunung Kijang adalah jaring karang. Persentase alat tangkap tersebut mengindikasikan bahwa nelayan lebih banyak beraktivitas di pesisir yakni ekosistem terumbu karang dengan menggunakan alat tangkap jaring karang. Persentase terendah adalah nelayan yang menggunakan alat tangkat jaring insang.

(24)

12

Gambar 7 Persentase masyarakat yang pernah dan tidak pernah menerima informasi tentang COREMAP

Persentase tertinggi adalah masyarakat yang mengaku pernah menerima informasi mengenai COREMAP. Tingginya persentase tersebut menunjukkan bahwa informasi yang diberikan menyebabkan hampir keseluruhan masyarakat pesisir mengetahui tentang program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang di Kecamatan Gunung Kijang. Informasi yang diterima oleh masyarakat menjadi dasar membangun pemahaman masyarakat terkait program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang di Kecamatan Gunung Kijang.

Program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang di Kecamatan Gunung Kijang tidak hanya melibatkan pemerintah tetapi juga masyarakat. Informasi yang diterima masyarakat tidak hanya bersumber dari pemerintah saja. Komposisi sumber informasi yang diterima oleh masyarakat dapat dilihat dari Gambar 8.

Gambar 8 Persentase sumber informasi COREMAP yang diterima oleh masyarakat tentang COREMAP

Persentase tertinggi sumber informasi COREMAP yang diterima masyarakat bersumber dari pemerintah. Informasi tersebut umumnya berasal dari program sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Informasi dari masyarakat dapat bersumber dari pengurus COREMAP II di desa, aparat desa, ketua RT/RW, anggota masyarakat yang terlibat COREMAP II, dan anggota masyarakat lainnya. Tingginya informasi yang diterima oleh masyarakat yang bersumber dari pemerintah menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam memperluas informasi tentang COREMAP.

(25)

13 positif untuk mencapai keberhasilan program. Gambar 9 menyajikan persentasi keaktifan masyarakat dalam upaya mendukung implementasi kegiatan COREMAP II berdasarkan jumlah yang mengatakan pernah menerima informasi COREMAP.

Gambar 9 Persentase peran dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan COREMAP II

Tingginya persentase masyarakat yang turut berperan aktif dalam kegiatan COREMAP II umumnya disebabkan oleh keinginan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian dan keinginan untuk menjaga kelestarian terumbu karang. Bentuk peran aktif masyarakat dalam kegiatan COREMAP II berupa pelatihan/pendampingan sebesar 15.91%, konsultasi aktivitas kenelayanan dan program COREMAP II sebesar 29.55% ataupun keduanya (pelatihan/pendampingan dan konsultasi) sebesar 15.91% .

Tingkat pendapatan atau perekonomian masyarakat Kecamatan Gunung Kijang dapat menjadi salah satu faktor untuk mengidentifikasi, merencanakan dan mengevaluasi kegiatan rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang (COREMAP II). Besarnya tingkat pendapatan nelayan juga perlu diketahui untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat dari kegiatan kenelayanan. Gambar 10 menunjukkan tingkat pendapatan nelayan pesisir Kecamatan Gunung Kijang.

Gambar 10 Tingkat pendapatan rumah tangga nelayan

Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan pasca COREMAP II terlihat dari besarnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan setiap bulan. Gambar 10 menunjukkan bahwa persentase tertinggi pendapatan masyarakat berada pada rentang tingkat pendapatan sebesar Rp 1000 000- 3 000 000 per bulan . Persentase terendah adalah masyarakat dengan pendapatan dibawah Rp 1000 000 per bulan.

(26)

14

Pembahasan

Pengelolaan habitat terumbu karang tidak hanya mencakup aspek sosial ekonomi tetapi juga mencakup aspek ekologi. Hal ini dikarenakan bahwa sumber daya alam dan sumber daya manusia menjadi input penting dalam konsep pengelolaan habitat terumbu karang di Kecamatan Gunung Kijang, Bintan. Kedua aspek tersebut juga memiliki korelasi dalam meningkatkan efektivitas program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang melalui COREMAP II.

Studi dimensi ekologi

Kecenderungan penurunan rata-rata persentase tutupan karang hidup pada tahun 2014 menjadi 45.89% diduga akibat tingkat sedimentasi dan tingkat kekeruhan perairan yang cukup tinggi. Kondisi tersebut terlihat pada saat pengamatan di lapangan. Sebaran sedimentasi yang luas dan tingkat kekeruhan di perairan dapat didorong oleh faktor alam (kondisi angin yang kencang) ketika perubahan musim. Musim Selatan (Juli-September) merupakan musim dengan pergerakan massa air dari arah Selatan menuju Utara sehingga memungkinkan untuk membawa partikel tersuspensi dari muara sungai Kawal menuju arah Utara. Penelitian tahun 2013 menunjukkan bahwa masukan terbesar beban TSS (Total Suspendid Solid) bersumber dari sungai Kawal yakni sebesar 2.6 ton/hari dengan total masukan sedimen dari tiga sungai di Kecamatan Gunung Kijang sebesar 2 237.4 ton/tahun (Adriman et al. 2013).

Hal yang sama juga dibuktikan dari hasil penelitian berupa Baseline

Terumbu Karang Kabupaten Bintan tahun 2014 bahwa terdapat banyak endapan atau sedimen pada permukaan karang yang sudah mati di sepanjang garis transek (Suharsono et al. 2014). Aktivitas penduduk (penambangan pasir laut, pembuangan limbah tailing, pencucian bauksit) menimbulkan dampak yang masih berlanjut sampai saat penelitian dilakukan. Selain itu, penelitian yang dilakukan Ariani (2006) menunjukkan bahwa pengamatan dalam kurun waktu tahun 2000-2006 di Kecamatan Gunung Kijang, kegiatan pembukaan lahan memberikan pengaruh paling besar pada ekosistem terumbu karang.

Tingkat sedimentasi yang tinggi akan meningkatkan kekeruhan perairan sehingga tingkat penetrasi cahaya akan berkurang. Tanjung (2002) dalam Haruddin et al. (2011) menulis bahwa kondisi air yang keruh menjadikan penetrasi cahaya tidak maksimal masuk hingga ke dasar perairan sehingga akan menghalangi proses fotosintesis oleh zooxanthellae. Proses fotosintesis yang tidak optimal mengakibatkan oksigen yang dihasilkan oleh zooxanthellae tidak optimal diterima oleh hewan karang. Tutupan sedimen yang terus terakumulasi di permukaan karang akan memicu kematian karang.

(27)

15 percabangan dengan polip yang relatif kecil. Hal ini mengakibatkan genus Acropora sulit untuk membersihkan diri dari partikel sedimen yang melekat sehingga membutuhkan arus yang cukup kuat. McCook et al. (2001) dalam (Sjafrie 2009) menyatakan bahwa lama kelamaan area karang-karang mati akan ditumbuhi oleh alga. Siringiringo et al. (2006) juga mengemukakan bahwa dalam menempati ruang di ekosistem terumbu karang, alga memiliki tingkat persaingan yang lebih tinggi dibandingkan organisme lain. Alga mampu berkembang lebih cepat dibandingkan karang (Zamani dan Maduppa 2011). Apabila jumlah biota-biota pemakan alga semakin sedikit maka terumbu karang akan di dominasi oleh

dead coral with alga (DCA) dan makro alga.

McCook (2001) dalam Ruswahyuni dan Purnomo (2009) menyatakan bahwa alga merupakan kompetitor superior terutama dalam kondisi eutrofik. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang memerlukan nutrien dengan konsentrasi rendah (oligotrofik), karena nutrien yang berlebih seringkali dimanfaatkan oleh alga untuk tumbuh berlebihan (overgrowth) sehingga terjadi penaungan (overshading) dalam waktu yang relatif cepat terhadap karang (Ruswahyuni dan Purnomo 2009). Nitrat yang terukur untuk lokasi Bintan Timur berkisar 0.079 – 0.351 mg/l, sedangkan baku yang ditetapkan adalah 0.008 mg/l sehingga menunjukkan perairan memiliki tingkat unsur hara yang cukup tinggi (Adriman et al. 2013). Hal ini menandakan bahwa pengaruh masukan bahan organik dari daratan cukup tinggi. Sedimentasi yang terjadi di perairan sekitar stasiun penelitian juga diduga menjadi salah satu penyebab penurunan tutupan karang hidup (LC) serta peningkatan tutupan karang mati dengan alga (DCA). Selain itu, Coralwatch (2011) juga menyatakan bahwa adanya sedimentasi yang tinggi di ekosistem terumbu karang juga semakin mempercepat pertumbuhan alga.

Studi dimensi sosial-ekonomi

Kemampuan masyarakat untuk mampu mengolah informasi yang ada dipengaruhi oleh tingkat pemahaman masyarakat lokal. Meskipun sebagian besar masyarakat sudah mengetahui informasi COREMAP II, namun sebesar 45.71% masyarakat belum mengerti tentang upaya rehabilitasi dan pengelolaan yang dilakukan. Grenn (1980) dalam Haruddin et al. (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan, strata sosial dan informasi merupakan faktor pendukung dan faktor pendorong terhadap perilaku masyarakat. Sehubungan dengan upaya pengelolaan, semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi pula kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal akan pentingnya menjaga dan melakukan advokasi terhadap ekosistem terumbu karang (Nasution et al. 2007). Tingkat pendidikan yang masih tergolong rendah dapat menjadi salah satu penghambat dalam membentuk pemahaman masyarakat.

(28)

16

beberapa alasan yang mungkin dapat menjelaskan ketidakterlibatan sebagian besar masyarakat Kecamatan Gunung Kijang dalam kegiatan COREMAP, antara lain: (i) alokasi dana yang terbatas tidak memungkinkan semua masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan COREMAP; (ii) kemampuan atau tingkat pendidikan yang harus dipenuhi untuk mengikuti suatu kegiatan COREMAP, misalnya pelatihan tertentu harus memenuhi persyaratan minimun sebagai peserta pelatihan; (iii) ketidakaktifan dari masyarakat itu sendiri untuk terlibat dalam kegiatan COREMAP akibat adanya ikatan “patron client relationship” atau hubungan

nelayan dengan pemilik modal. Sarana-prasanana tempat pelelangan ikan (TPI) dan pasar tradisional yang masih kurang menguatkan hubungan patron-client di Kecamatan Gunung Kijang.

Sebagian besar nelayan memiliki pendapatan berkisar antara Rp1 000 000 - 3 000 000 per bulan. Pendapatan ini bersumber dari pekerjaan utama, yaitu aktivitas melaut. Nilai rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan di Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan adalah sebesar Rp2 122 857 per bulan, dan nilai ini sudah melebihi angka kemiskinan nelayan yakni Rp184 904 per bulan per kapita untuk Kepulauan Riau (LIPI 2009). Berdasarkan hasil survei LIPI yang dilakukan pada tahun 2009 di Kecamatan Gunung Kijang, dilaporkan bahwa pendapatan masyarakat di lokasi COREMAP pada tahun 2009 adalah sebesar Rp1 683 290 atau meningkat 52.3% dibandingkan dengan pendapatan pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp677 970 (LIPI 2009). Semakin tinggi pendapatan rumah tangga biasanya menjadikan rumah tangga tersebut mendekati kondisi sejahtera (Nasution et al 2007). Berdasarkan angka pendapatan ini dapat diketahui bahwa meskipun kegiatan COREMAP sudah tidak dilakukan lagi di Kecamatan Gunung Kijang, pendapatan nelayan masih tetap dapat meningkat.

Analisis pengelolaan habitat terumbu karang pasca COREMAP II

(29)

17 Terminologi pengelolaan secara umum dimulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), pengawasan (monitoring), dan pengevaluasian (evaluating). Pengelolaan yang efektif, efisisen dan adaptif akan berjalan secara berkelanjutan apabila tetap menjalankan siklus terminologi pengelolaan dengan baik. Sasaran kegiatan rehabilitasi harus diformulasikan di awal seteliti mungkin dan cara yang paling mungkin untuk mencapai keberhasilan adalah mempertimbangkan konteks perencanaan.

Penurunan persentasi tutupan karang hidup dapat disebabkan karena konsep perencanaan COREMAP II belum memperhitungkan unsur ekologi sebagai bagian dari perencanaan program. Ketidakhadiran unsur ekologi akan memicu kegagalan yang tinggi sebab unsur ekologi sangat dipengaruhi oleh tekanan dan ancaman terhadap ekosistem (Edwards dan Gomez 2008). Perencanaan pada hakikatnya mempertimbangkan perubahaan unsur-unsur yang membentuk struktur dan fungsi ekosistem dalam sistem ekologi. Unsur tersebut yakni keanekaragaman hayati dan kompleksitas, serta biomassa dan produktivitas terumbu karang (Edwards dan Gomez 2008). Upaya untuk mempertahankan keseimbangan struktur dan fungsi ekosistem terumbu karang menjadi landasan dalam membentuk rancangan program yang tepat.

Penelitian pada tahun 2014 menunjukkan adanya penurunan persentase tutupan terumbu karang hidup sebesar 10.6%. Penurunan tutupan karang ini menunjukkan bahwa ada tekanan yang besar terhadap ekosistem terumbu karang yang mengubah struktur dan fungsi ekosistem. Tekanan tersebut mengakibatkan penurunan tutupan karang hidup (LC) serta peningkatan tutupan karang mati yang ditutupi alga (DCA) sebesar 14.93% sehingga terjadi pergeseran komposisi tutupan. (Gambar 2). Tutupan alga yang tinggi membuktikan bahwa tekanan terbesar kemungkinan disebabkan oleh penurunan kualitas perairan habitat terumbu karang.

Sejak awal inisiasi program, fokus utama upaya rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang yang dilakukan COREMAP II sebatas memperhitungkan dampak dari aktivitas penangkapan yang menyebabkan kerusakan fisik pada terumbu karang seperti kegiatan pengeboman dan penggunaan racun. Saat ini telah terjadi pergeseran potensi perusakan fisik akibat aktivitas penangkapan di kawasan ekosistem terumbu karang. Hal ini dibuktikan dengan komposisi alat tangkap yang digunakan nelayan (Gambar 4). Alat-alat tangkap jenis jaring karang, jaring ketam dan bubu berpotensi tinggi terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang karena metode pengoperasiannya cenderung merusak karang (Generous 2014). Data DKP Bintan 2012 juga menunjukkan adanya peningkatan penggunaan alat tangkap tersebut sejak tahun 2008 hingga 2011. Pengoperasian jaring karang dan jaring ketam berpotensi menyebabkan karang patah akibat tersangkut jaring. Sehingga apabila ingin menguarangi aktivitas penangkapan yang bersifat dektruktif, maka alat tangkap seharusnya juga menjadi bagian dalam perencanaan untuk melakukan rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Di sisi lain, persentase tutupan karang tetap menurun pada tahun 2009 (Tabel 4) padahal pengawasan terhadap aktivitas penangkapan sudah dilakukan secara intensif. Hal ini semakin membuktikan bahwa tekanan terumbu karang bukan hanya dari aktivitas penangkapan.

(30)

18

penurunan kualitas habitat. Rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang membutuhkan pengelolaan yang terintegrasi dan terpadu dengan melibatkan berbagai sektor pemerintahan/instansi. Aktivitas masyarakat di pesisir dapat menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi dan struktur terumbu karang. Maka dari itu, dalam memantapkan peranan sistem zonasi perairan yang telah ditetapkan maka harus didukung dengan penataan dan pengendalian beban masukan eksternal sehubungan dengan perubahan tata guna lahan, permukiman, indsutri, dan konstruksi bangunan serta pengendalian aliran air sungai yang baik dalam perencanaan. Kualitas fungsi dan struktur ekosistem terumbu karang akan semakin meningkat dan optimum apabila karang berada pada kondisi lingkungan yang baik yang terhindar dari ancaman langsung maupun tidak langsung yang tinggi. Hal ini dapat mendukung karang mampu melakukan upaya “pemulihan” (recovery) dengan cepat. Oleh sebab itu, menjadi penting untuk memperhitungkan kemungkinan sumber-sumber tekanan stokastik sebagai bagian dari upaya mengurangi resiko yang mungkin timbul oleh tekanan tersebut.

Konsep kegiatan COREMAP II yang cenderung mengarah ke pengelolaan masyarakat menjadi kurang seimbang tanpa memperhitungkan penyebab lain yang mungkin berpengaruh. Salah satu upaya yang dilakukan COREMAP II untuk menekan aktivitas masyarakat di ekosistem pesisir adalah dengan memperkenalkan kegiatan mata pencaharian alternatif (MPA). Namun, peran masyarakat untuk terlibat dalam setiap kegiatan seperti MPA dan kegiatan lain yang berbasis masyarakat (Community Based Management) juga belum berkelanjutan sebab belum mampu mengatasi kendala dan konflik yang terjadi. Chamber dan Conway (1992) dalam Abdurrahim (2014) mengemukakan bahwa

sustainable livelihood harus mampu: (i) beradaptasi terhadap shock dan tekanan; (ii) memelihara kapabilitas dan aset-aset yang dimiliki (modal alami, modal fisik, modal SDM, modal sosial, dan modal finansial); dan (iii) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya.

Secara umum, menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang tidak bisa hanya menekankan kepada manajemen sosial (nelayan). Terdapat indikator tambahan lain yang juga harus dipenuhi seperti kualitas air, biota indikator dan predator karang, jenis perusakan terumbu karang, oseanografi, dan karakteristik sosial. Kekurangan salah satu indikator berpotensi menurunkan tingkat keberhasilan rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Sementara itu, untuk dapat benar-benar mengubah pola tingkah laku dan budaya pemanfaatan sumber daya alam dan menekan aktivitas pesisir lain yang memberi dampak bagi ekosistem terumbu karang membutuhkan jangka yang panjang dan disesuaikan dengan lokasi implementasi.

Rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kecamatan Gunung Kijang

(31)

19 dan menetapkan tim LPSTK dan Pokmas yang merupakan individu-individu yang mengerti alur dan proses pengelolaan agar tidak membingungkan ketika implementasi program.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bekerja sama dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Kelembagaan yang berasal dari pemerintah daerah perlu dikaji kembali dan dilakukan perencanaan yang tidak mengakibatkan perubahan-perubahan struktural yang berdampak pada ketidakkonsistenan program dan komponennya. Koordinator dan tim kerja diharapkan melibatkan sumber daya manusia yang profesional dan bertanggung jawab terhadap terhadap tugas yang diemban.

COREMAP sebagai program rehabilitasi, perlindungan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang juga perlu mempertimbangkan unsur ekologi yang dapat mengubah struktur dan fungsi ekosistem terumbu karang didukung dengan dengan mengakaji kembali potensi sumber tekanan terbesar. Sumber-sumber tekanan yang mengakibatkan penurunan kualitas perairan akibat kegiatan dari daratan pesisir membutuhkan kerjasama dan dukungan dari pihak instansi lain (multisektor) yang terkait seperti Dinas Parawisata, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kehutanan dan lain sebagainya. Sarana prasana sosial yang sudah dibangun diharapkan dapat direvitalisasi kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan tujuannya dalam menunjang program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Gunung Kijang yang sebagian besar adalah tingkat Sekolah Dasar memerlukan upaya yang lebih untuk memberikan pengertian kepada masyarakat terkait tujuan dan teknis pelaksanaan program dengan pendampingan dan pelatihan yang lebih sering dan berkualitas.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

(32)

20

Saran

Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap struktur komunitas yang membangun ekosistem karang dan dampak kegiatan masyarakat terhadap kesehatan karang di kawasan pesisir Kecamatan Gunung Kijang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, AY. 2014. Strategi Nafkah Ganda “Bentukan” Rumah Tangga Pedesaan Pesisir di Kabupaten Bintan. Jurnal Sosiologi Reflektif. 9(1):1-22 Adriman, Purbayanto A, Budiharso S, Damar A. 2012a. Analisis Keberlanjutan

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 17(1):1-15

Adriman, Purbayanto A, Budiharso S, Damar A. 2012b. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. Perikanan Terubuk. 40(1): 22-35

Adriman, Purbayanto A, Budiharso S, Damar A. 2013. Pengaruh Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. Perikanan Terubuk. 40(1):90-101

Coralwatch. 2011. Terumbu Karang dan Perubahan Iklim. Panduan Pendidikan dan Pembangunan Kesadartahuan. The Uni-versity of Queensland. Australia, 272 hal.

Dee LE, Horii SS, Thornhill DJ. 2014. Conservation and Management of Ornamental Coral Reef Wildlife: Successes, Shortcomings, and Future Directions. Journal of Biological Conservation.169:225-237

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Penyusunan Rencana Tata Ruang Gugus Pulau Untuk Pengembangan Investasi di Gugus Pulau Bintan dan Nipah. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Bintan. 2011. Profil Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan.

Edwards, A.J. & Gomez, E.D. 2008. Konsep Dan Panduan Restorasi Terumbu: Membuat Pilihan Bijak di antara Ketidakpastian. Terj. dari Reef Restoration Concepts and Guidelines: making sensible management choices in the face of uncertainty. Oleh: Yusri, S., Estradivari, N. S. Wijoyo, & Idris. Yayasan TERANGI, Jakarta: iv + 38 hlm.

(33)

21 Generous RA. 2014. Enviromental Threats to the Symbiotic Relationship of Coral Reefs and Quorum Sensing. Journal of Sustainable Development.11(1):116-122

Haruddin A, Purwanto E, Budiastuti S. 2011. Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional di Pulau Siompu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Ekosains. 3(3):29-41

Johnson AZ, Saunders DK. 2014. Time Preferences and Management of Coral Reef Fisheries. Ecological Economic: 130-139

LIPI. 2007. Studi Baseline Ekologi di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau. Jakarta (ID): Coremap II-LIPI

Nasution Z, Sastrawidjaja, Hartono TT, Mursididn, Priyatna FN. 2007. Sosial Budaya Masyarakat Nelayan (Konsep dan Indikator Pemberdayaan). Jakarta (ID):Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Ruswahyuni dan Purnomo PW. 2009. Kondisi Terumbu Karang di Kepulauan Seribu dalam Kaitannya dengan Degradasi Kualitas Perairan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1(1):94-101

Sale PF. 2008. Management of Coral Reefs: Where we have gone wrong and What we Can Do About it. Marine Pollution Bulletin:805-809

Siringoringo RM, Giyanto, Budiyanto A, Sugiarto H. 2006. Komposisi Jenis dan Persentase Tutupan Karang Batu di Perairan Lepar-Pongok, Bangka Selatan. Jurnal Oseanografi dan Limnologi Indonesia.41:71-84

Sjafrie NDM. 2009. Kondisi Terumbu Karang dan Biota Lainnya di Perairan Kecamatan Selat Nasik Kabupaten Belitung Tahun 2007-2008. J.Fish.Sci.11(2):150-156

Suharsono, Susetiono, Manuputty AEW, Cappenberg HAW, Suyarso, Budiyanto A, Picasouw J, Swasti P, Dharmawan IWE, Rahmawati S. 2014. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Kesehatan Ekosistem Terkait di kabupaten Bintan 2014. Jakarta(ID):P20-LIPI Pr

Susilo ED, Wisadirana R, Syafaat M, Musa, Purwanti P. 2004. Peningkatan Daya Adaptasi Manusia pada Lingkungan yang Sedang Berubah Cepat dan Multidimensional (Kasus Pada Masyarakat Tradisional). Pusat Penelitian Ilmu Sosial. LEMLIT Universitas Brawijaya Malang.

Vangistuti DV, Irawan H, Yandri F. 2012. Biological studies starfish Gulf of Dalam water in the village of Malang Rapat Sub District of Gunung Kijang Regency Bintan Island Kepulauan Riau Province. Riau (ID). Universitas Maritime Raja Ali Haji

Walpole, R.E. 1982. Pengantar Statistika. Ed ke-3, Sumantri B., penerjemah; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to Statistic 3rd edition: 551pp.

Widayatun. 2011. Peran Masyarakat dalam Pelestarian Terumbu Karang dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Kesejahteraan. Jurnal Kependudukan Indonesia. 6(2):1-19

(34)

22

(35)

23

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner penelitian untuk masyarakat Kecamatan Gunung Kijang

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Jalan Agatis lantai 1 Kampus FPIK IPB Darmaga, Bogor 16680, Jawa Barat

No : ... Tanggal : ...

1. Mohon memberikan tanda ( √) pada jawaban yang anda anggap paling benar. 2. Setiap pertanyaan hanya membutuhkan satu jawaban saja.

3. Mohon memberikan jawaban yang sebenar-benarnya.

A. Data Rumah Tangga

b. Pekerjaan Sampingan (sebutkan) : ……….. 9. Pendapatan per bulan:

a. Penghasilan utama = Rp ………... b. Penghasilan sampingan = Rp ………...

Responen yang terhormat,

Kuesioner ini digunakan untuk penelitian saya tentang Kondisi Terumbu Karang Pasca COREMAP Dalam Upaya Konservasi Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Di Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi

Kepulauan Riau). Saya adalah mahasiswi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

(36)

24

10. Jumlah anggota keluarga : ………...… orang 11. Jumlah tanggungan keluarga : ……… orang

12. Pengeluaran per bulan :

a. pendidikan = Rp ... b. listrik = Rp ...

c. transportasi = Rp ... d. konsumsi = Rp ... 13. Kepemilikan aset rumah tangga :

a. rumah [ ] sendiri [ ] sewa/ kontrak [ ] lainnnya, sebutkan ...

1. Menurut saya, terumbu karang memiliki banyak manfaat secara ekonomi, sehingga perlu dimanfaatkan sebanyak-banyaknya.

0. Tidak setuju 1. Setuju 2. Sangat setuju

2. Program pengelolaan dan pelestarian terumbu karang dilakukan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan masyarakat setempat.

[ ] Ya [ ] Tidak

3. Perlindungan terumbu karang harus dilakukan karena kerusakannya semakin meningkat.

0. Tidak setuju

1. Setuju

2. Sangat setuju

4. Apakah Saudara pernah menerima layanan informasi dari pemerintah mengenai

rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang ( COREMAP ) di daerah ini ? [ ] Ya [ ] Tidak

- Jika Ya lanjutkan ke pertanyaan nomor 2. - Jika Tidak lanjutkan ke pertanyaan nomor 4.

5. Sebutkan jenis layanan informasi yang diberikan pemerintah pada saudara. a. ...

b. ... 6. Sumber informasi ? ...

7. Apakah saudara pernah berkonsultasi dengan pemerintah ? [ ] Ya [ ] Tidak

8. Sebutkan apa saja yang saudara konsultasikan dengan pihak pemerintah a...

b...

(37)

25

0. Tidak bermanfaat 1. Bermanfaat 2. Sangat bermanfaat

10. Apakah saudara pernah menerima bimbingan/ pendampingan rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang ( COREMAP ) dari pemerintah ?

[ ] Ya [ ] Tidak

11. Dalam hal apa saudara dibimbing/didampingi oleh pemerintah ? a. ...

b. ...

12. Menurut saudara, apakah bimbingan/pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah pada saudara bermanfaat bagi peningkatan kinerja/kesejahteraan saudara ?

0. Tidak bermanfaat 1. Bermanfaat 2. Sangat bermanfaat

13. Apakah Saudara mengerti betul tentang program terkait rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang ?

0. Tidak mengerti 1. Mengerti 2. Sangat mengerti

14. Apakah ada fasilitas dari pemerintah untuk melestarikan dan mengembangkan ekosistem terumbu karang ?

[ ] Ya , (sebutkan)... [ ] Tidak 15.Menurut saudara, apakah fasilitas pengembangan dan pengelolaan yang diberikan

pemerintah tersebut bermanfaat bagi peningkatan kinerja saudara ? 0. Tidak bermanfaat

1. Bermanfaat 2. Sangat bermanfaat

16.Menurut saudara apakah fasilitas tersebut sesuai dengan harapkan ? 0. Tidak sesuai

1. Sesuai 2. Sangat sesuai

17. Apakah Anda merasakan pengaruh pelaksanaan program COREMAP terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat ?

(38)

26

(39)
(40)
(41)
(42)
(43)

31 Lampiran 5 Hasil olahan databentuk pertumbuhan karang di stasiun amatan

Kategori KRIL74 KRIL77 KRIL81 KRIL85 AVG STDEV SE

LC 49,60 53,73 45,63 34,60 45,89 8,22 4,11

AC 2,80 0,50 0,73 1,00 1,26 1,05 0,52

NA 46,80 53,23 44,90 33,60 44,63 8,17 4,09

Tahun AC NA DC DCA SC SP FS OT R S SI RK

2007 5,15 46,78 0,04 32,35 0,33 1,58 1,23 2,92 5,63 3,98 0,00 0,00

2008 3,74 52,62 0,00 23,22 0,43 3,48 4,97 1,42 2,58 7,57 0,00 0,00

2009 3,74 48,23 0,00 29,86 0,40 3,51 4,97 1,53 1,95 5,82 0,00 0,00

2010 1,80 54,69 0,00 25,69 0,26 0,23 5,95 2,16 1,73 7,48 0,00 0,00

2014 1,26 44,63 0,00 40,62 0,30 4,52 3,96 0,64 0,00 4,08 0,00 0,00

Row Labels KRIL 74 KRIL 77 KRIL 81 KRIL 85

ACB 2.333 0.5 0.1

ACT 0.466 0.6333 1

CE 0.666 0.333333 0.666

CF 12.6 2.266667 8.466 15.6

CM 31.96 49.96667 33.733 18

CMR 0.666

CS 0.9 0.666667 2.033

DCA 38.3 43.16667 34.1 42.9

MA 1.066 0.5 10.93 3.333

OT 0.5 1.666

S 8 8.333

SC 1.2

SP 2.6666 0.9 9.3333 5.166

TA 4

ZO 0.3666

(44)

32

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian di perairan pesisir Kecamatan Gunung Kijang
Tabel 2  Perbedaan pengelompokan data jenis biota dan substrat  versi AIMS dan   COREMAP
Tabel 4  Persentase tutupan karang hidup (life coral) di setiap stasiun pada tahun
Gambar 2  Perbandingan perubahan tutupan karang hidup ( life coral) dan karang mati yang ditumbuhi oleh alga (dead coral with algae)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa Pemohon akan mengajukan seorang atau lebih anggota DPR yang mungkin dulu atau MPR karena kalau ini rumusan di dalam Undang-Undang Dasar pada perubahan Undang-Undang

261 SANGGAR TARI DHARMA CADU JAYA PUTU ADI KRISTYANI DESA TUKADMUNGGA PURA,T.UMUM 0362 41348 AKTIF. 262 SANGGAR TARI SANTHI BUDAYA I GUSTI

Dari pendekatan nilai buku, saham JPFA hanya ditransaksikan dengan PBV 2,3x, bandingkan dengan rata-rata PBV emiten sektor pakan ternak yang saat ini ditransaksikan dengan PBV

 Penetapan Status Keadaan Siaga Darurat Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan berlangsung sejak ditetapkannya keputusan ini tanggal

Pada ikan manyung dan minyak ikan terubuk asam lemak omega-6 mengandung asam 9,12-oktadekadienoat (asam linoleat) dan terdapat Asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat (asam

Milano Kebun Marbau Labuhanbatu Utara dipengaruhi oleh komunikasi kerja hal tersebut dilihat dari Konstanta (α) yang bernilai 6,633 hal ini menunjukkan jika tidak ada hubungan

Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah Kualitas Kehidupan Kerja ( Quality of Work Life ) dan

 Trigger SQL adalah pernyataan SQL atau satu set pernyataan SQL yang disimpan dalam database dan harus diaktifkan atau dijalankan ketika suatu event terjadi pada suatu