• Tidak ada hasil yang ditemukan

Assesmen Kondisi Fisika-Kimia Oseanografi Perairan Pulau Sempu Malang Selatan sebagai Parameter Penentuan Lokasi Pembuatan Taman Karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Assesmen Kondisi Fisika-Kimia Oseanografi Perairan Pulau Sempu Malang Selatan sebagai Parameter Penentuan Lokasi Pembuatan Taman Karang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Assesmen Kondisi Fisika-Kimia Oseanografi Perairan Pulau Sempu Malang Selatan sebagai Parameter Penentuan Lokasi Pembuatan Taman Karang

Assessment on Physical-Chemical Condition at Sempu Island’s Waters as a Coral Garden Purpose

Oktiyas Muzaky Luthfi1 dan Alfan Jauhari2

1Marine Science University of Brawijaya Malang, Jl. Veteran Malang 2Fisheries Resources Utilization University of Brawijaya Malang, Jl. Veteran Malang

email : omuzakyl@ub.ac.id

Coral garden merupakan “usaha aktif” untuk memulihkan kembali ekosistem terumbu karang, konsep “gardening of coral reef” sekarang menjadi pilihan bagi para ilmuwan di dunia untuk mengemb alikan ekosistem terumbu karang. Teknik rehabilitasi ekosistem terumbu karang menggunakan konsep “gardening of coral reef” ini akan menjadi studi yang menarik di Pulau Sempu dimana kondisi terumbu karang di kawasan lindung ini terancam mengalami percepatan kerusakan terumbu karang dikarenakan adanya proses reklamasi pembangu nan pelabuhan dan kegiatan wisata, sehingga kegiatan ini merupakan starting point untuk pemulihan ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut sekaligus dapat menjadi fish sanctuary di masa yang akan datang. Tujuan penelitian ini adalah memberikan informasi secara komprehensif kondisi perairan di P. Sempu untuk pengembangan taman karang di wilayah tersebut. Hasil kuantifikasi kondisi fisika-kimia perairan di enam stasiun penelitian menunjukkan suhu perairan pada kisaran 23,39-23,77 oC (kedalaman 1 m) dan 23,19 - 23,30 oC (kedalaman 5 m); konduktifitas perairan 50,28 – 50,66 mS/cm (kedalaman 1 m) dan 50, 28- 50,37 mS/cm (kedalaman 5 m); Salinitas perairan 34,27 - 34,29 o/

oo (kedalaman 1 m) dan 34,29 - 34,30 o/oo (kedalaman 5 m); klorofil a 6,8 – 10,41 µg/L (kedalaman 1 m) dan 7,7 – 9,66 µg/L (kedalaman 5 m); turbiditas perairan 0,21 – 0,3 NTU (kedalaman 1 m) dan 0,15 – 0,26 NTU (kedalaman 5 m); pH 8,2 – 8,8 (kedalaman 1 m) dan 8,1 – 8,18 (kedalaman 5 m); oksigen terlarut perairan 8,76 – 9,13 mg/l (kedalaman 1 m) dan 8,67 – 8,75 mg/l (kedalaman 5 m). Dari data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perairan di Pulau Sempu masih dalam range batas pertumbuhan karang karang dan layak untuk pembuatan sebuah taman karang.

Kata kunci: coral garden, rehabilitation, fisika-kimia perairan, Pulau Sempu, dan Malang Selatan Coral garden is an active restoration bringing degraded coral back into nearly original conditions which had selected by coral’s expert for last decade. The coral garden is an interest solution to restoration coral reef in conservation area, Sempu Island, in which coral on this area has been treated by reclamation harbor activity, large of sedimentation, tourism and destructive fishing. In the future this garden also will be a fish sanctuary. Aims this study is giving comprehensive data for water quality (physical-chemical) for coral garden purpose in Sempu Island. The results showed variation of data from 1 m and 5 m depth, temperature was 23,39-23,77 oC (1 m) and 23,19 - 23,30 oC (5 m); conductivity was 50,28 – 50,66 mS/cm (1 m) and 50, 28- 50,37 mS/cm (5 m); salinity was 34,27 - 34,29 o/

oo (1 m) and 34,29 - 34,30 o/oo (5 m); chlorophyll-a was 6,8 – 10,41 µg/L (1 m) and 7,7 – 9,66 µg/L (5 m); turbidity was 0,21 – 0,3 (1 m) and 0,15 – 0,26 NTU (5 m); pH 8,2 – 8,8 (1 m) and 8,1 – 8,18 (5 m); dissolved oxygen was 8,76 – 9,13 mg/l (1 m) and 8,67 – 8,75 mg/l (5 m). From studied could be concluded that waters in Sempu Island in range on normal water quality and possible to create a coral garden for coral rehabilitation.

(2)

1. Latar belakang

Perairan di berbagai belahan dunia mengalami penurunan kualitas pada beberapa tahun terakhir dikarenakan bertambahnya populasi manusia dan meningkatnya aktivitas sepanjang pantai (Newton et al., 2003). Sesuai dengan laporan Heisler et al., (2008) bahwa telah terjadi kerusakan ekologis di beberapa pantai dan badan air diseluruh dunia. Perairan laut merupakan muara terakhir dari buangan limbah industry maupun domestic. Limbah ini membawa kandungan nutrient dan berbagai logam berat kedalam air laut. Nutrient yang berasal dari limbah domestic kaya akan fosfat (PO43-) yang merupakan unsur utama untuk pertumbuhan alga. Banyaknya nutrient yang ada dalam perairan akan mempercepat pertumbuhan alga (algal blooming) tertentu, umumnya adalah dari jenis Ulva dan Enteromorpha (Zaouali, 1983) serta Prorocentrum minimum (Heil et al., 2005).

Ketika terjadi blooming jenis makro alga Ulva lactuca Linnaeus akan menutupi semua dasar perairan dan tidak memberi ruangan sedikitpun biota lain untuk tumbuh. Keberadaan alga yang banyak disebuah perairan akan mengakibatkan perubahan jumlah oksigen dan nutrient didalam perairan (Landsberg, 2002). Banyaknya konsumsi oksigen oleh makro alga, respirasi fitoplankton dan proses dekomposisi akan membuat kondisi anoksik di dasar perairan, mengakibatkan terjadilah namanya anoxic event dimana sedimen akan mengeluarkan gas beracun berupa sulfida yang dapat mengakibatkan migrasi biota lain ke tempat lain karena lokasi asal mereka berbahaya untuk hidup (dead zone). Akibat lain adalah matinya beberapa ikan dan hilangnya fauna bentik seperti karang, tiram, dan polichaeta.

Terumbu karang diperairan P. Sempu dalam kondisi tertekan baik secara alamiah maupun karena factor anthropogenic. Faktor alamiah yaitu adanya sedimentasi dan jumlah nutrient yang berlebih berasal dari pegunungan diatasnya (Luthfi dan Jauhari, 2013). Adanya South Java Current (SJC) di sepanjang garis pantai Selatan Jawa yang berubah-ubah setiap waktu yang dipengaruhi oleh adannya monsoon. Ketika muson barat (Desember-April) dan muson timur (Juni-Oktober) akan terjadi pengadukan sedimen dari dasar perairan sehingga mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan karang di pulau ini. Kecepatan rerata arus ketika muson barat dan timur adalah sekitar 0,3-0,6 m/s dan menjadi 2 hingga 3 kali lipat ketika masa peralihan (Mei dan November). Factor antropogenic yang berperan dalam kerusakan terumbu karang di P. Sempu yaitu pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara di Sendang Biru yang berjarak 400 m dari area terumbu karang yang pada tahun 2006-2009 melakukan reklamasi pantai seluas 2, 6 ha. Akibatnya sedimen menyebar keperairan sekitarnya dan berdampak pada ekosistem disana. Factor lain yang menjadi ancaman adalah

(3)

kebiasaan membuang oli mesin didalam perairan secara langsung, penggunaan sianida untuk mencari lobster, dan aktifitas wisata air seperti mincing, renang, senorkeling dan penyelaman.

P. Sempu memiliki status cagar alam, namun tutupan karang hidup di perairan tersebut terus mengalami penurunan, tahun 2006 persen tutupan karangnya sebesar 50% (ReefCheck, 2006) dan tahun ini (2013) tutupan karang hidup tinggal 36% (Luthfi dan Jauhari, 2013). Melihat fungsi terumbu karang yang sangat penting bagi komunitas biota laut, manusia dan lingkungan pesisir maka perlu adanya upaya aktif untuk merestorasi terumbu karang yang ada diperairan P. Sempu, yaitu pembuatan taman karang (coral garden). K onsep gardening coral ini telah di coba diberbagai negara dengan kondisi terumbu karang dan permasalahan hampir sama dengan negara kita. Dari hasil gardening coral tadi, diharapkan adanya percepatan pemulihan ekosistem terumbu karang dengan lebih cepat dari pemulihan alamiahnya. Kondisi fisika-kimia perairan adalah factor utama untuk kesuksesan pembuatan taman karang, dikarenakan karang akan dapat tumbuh secara optimal apabila berada pada kondisi perairan tertentu. Untuk itu penelitian ini bertujuan khusus untuk mengkuantifikasi fisika-kimia perairan di P. Sempu sebagai salah satu pertimbangan untuk pembuatan taman karang di masa yang akan datang.

2. Materi dan Metode 2.1. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan diperairan P. Sempu (8°26'28.18"LS, 112°40'58.33"BT), merupakan daerah cagar alam dengan luas 980 ha. Secara administratif masuk kedalam wilayah Kab. Malang (bagian selatan). Di utara P. Sempu (400 m) terdapat pelabuhan perikanan nusantara Sendang Biru (PPN Sendang Biru) dan merupakan salah satu pelabuhan perikanan terbesar di selatan Jawa. Perairan di P. Sempu terhubung langsung dengan Samudera Hindia, sehingga secara fisika-kimia perairan masih terpengaruhi dari Samudera Hindia, seperti adanya South Java Current (Arus Selatan Jawa). Penelitian dilakukan pada September dan Nopember 2013 pada 6 titik stasiun penelitian. Stasiun pertama adalah Kondang Buntung (depan), kedua Teluk Semut 1, ketiga Teluk Semut 2, keempat Waru-waru, kelima Watu Mejo 1 dan keenam Watu Mejo 2 (gambar 1). Semua stasiun penelitian tersebut berada di Selat Sempu dengan pertimbangan terumbu karang tersebar disekitar selat, kemudahan aksesibilitas dan alasan keamanan. Berdasarkan survey awal terumbu karang di P. Sempu tersebar secara spasial di beberapa tempat, yaitu disekitar Kondang Buntung, Teluk Semut, Waru-waru, Watu Mejo dan di Segara Anakan. Karang tumbuh disekitar kedalaman 3 hingga 7 m disemua lokasi, kecuali di Segara Anakan berada dikedalaman 2-5 m. Atas dasar

(4)

keberadaan lokasi terumbu karang yang ada di P. Sempu tersebut juga menjadi pertimbangan untuk menjadi stasiun penelitian.

2.2. Pengambilan data fisika-kimia perairan

Data kedalaman, suhu perairan, konduktifitas, salinitas, klorofil-a, turbiditas, pH dan DO didapatkan dengan menggunakan probe Aqua Quality AAQ 1183 (Alec, Jepang). Data diambil pada 2 kedalaman berbeda yaitu 1 dan 5 meter.

Gambar 1. Lokasi 6 stasiun penelitian di P. Sempu Malang Selatan 2.3. Analisa data

Data di unduh dari probe menggunakan sebuah perangkat lunak AAQ-Rinko ver. 1.05. Data kemudian kompilasikan dan dibuat reratanya menggunakan Microsoft Excel 2013. Untuk profil vertical pada masing-masing variable maka digunakan perangkat lunak Surver Version 11.2.848 (Golden Software, Amerika).

3. Hasil

3.1. Kondisi umum perairan

Jawa St ❶ St ❷ St ❹ St ❸ St ❻ St ❺

(5)

Lokasi penelitian berada di selat Sempu yang perairan masih terpengaruh oleh angin musim (monsoon), yaitu musim barat, musim timur dan musim peralihan diantara keduanya. Musim barat terjadi sekitar Desember-Februari, musim peralihan I pada Maret-Mei, musim timur pada Juni-Agustus dan musim peralihan II pada September-November. Kondisi musim ini mempengaruhi pola arus permukaan di sekitar selat Sempu, pada musim barat arus utama akan mengalir dari barat menuju timur dan biasanya dibarengi dengan curah hujan tinggi sehingga menyebabkan salinitas perairan menjadi rendah. Kebalikannya pada musim timur, arus akan berasal dari timur menuju ke barat dengan membawa salinitas tinggi karena biasanya musim kering dimulai. Sedangkan pada musim peralihan kondisi arus tidak menentu umumnya perairan relatif tenang.

3.2. Kondisi fisika-kimia perairan

Tabel 1. Rerata kondisi fisika perairan di P. Sempu yang diambil dari 6 titik stasiun penelitian Sta. Temp. (deg)

Cond. (mS/cm) Salinity (PSU) Chl-a (µg/L) Turb. (NTU) pH DO (mg/l) Keda-laman 1m 5m 1m 5m 1m 5m 1m 5m 1m 5m 1m 5m 1m 5m KB (D) 23.77±0,15 23.20 ±0,02 50.55 ±0,14 50.28 ±0,02 34.25 ±0,01 34.29 ±0,00 10.41 ±0,49 9.66 ±0,9 6 0.3± 0,05 0.26 ±0,1 2 8.8± 0,00 8.18 ±0,0 0 9.01 ±0,0 5 8.71 ±0,0 4 TS1 23.39±0,19 23.19 ±0,01 50.47 ±0,18 50.28 0,01 34.29 ±0,01 34.29 ±0,00 7.7±0 ,41 8.38 ±0,3 6 0.11 ±0,0 5 0.19 ±0,0 5 8.2± 0,00 8.18 ±0,0 0 9.13 ±0,1 4 8.67 ±0,0 TS2 23.59±0,07 23.29 ±0,03 50.66 ±0,07 50.37 ±0,03 34.27 ±0,01 34.29 ±0,01 8.23± 0,17 8.45 ±0,1 9 0.17 ±0,0 5 0.15 ±0,0 2 8.19 ±0,0 0 8.16 ±0,0 0 8.86 ±0,0 1 8.74 ±0,0 1 WR 23.53±0,10 23.26 ±0,05 50.61 ±0,1 50.36 ±0,06 34.28 ±0,01 34.30 ±0,01 7.55± 0,62 7.92 ±0,4 4 0.21 ±0,0 5 0.17 ±0,0 9 8.2± 0,00 8.1± 0,00 8.86 ±0,0 8 8.75 ±0,0 1 WM1 23.57±0,03 23.26 ±0,02 50.65 ±0,03 50.35 ±0,02 34.28 ±0,01 34.30 ±0,00 6.8± 0,30 7.7± 0,60 0.13 ±0,0 5 0.15 ±0,0 7 8.24 ±0,0 0 8.18 ±0,0 0 8.76 ±0,0 2 8.69 ±0,0 1 WM2 23.53±0,05 23.30 ±0,02 50.62 ±0,04 50.37 ±0,01 34.29 ±0,01 34.28 ±0,01 8.08± 0,35 7.7± 0,42 0.13 ±0,0 5 0.26 ±0,0 4 8.21 ±0,0 0 8.14 ±0,0 0 8.79 ±0,0 4 8.69 ±0,0 2

Keterangan: Sta.: stasiun; KB (D): Kondang Buntung (Depan); TS1: Teluk Semut 1; TS2: Teluk Semut 2; WR: Waru-waru; WM1: Watu Mejo 1; WM2: Watu Mejo: 2.

(6)

b

c

d

e

(7)

Gambar 2. Distribusi vertikal fisika-kimia perairan P. Sempu, a). temperature, b). konduktifitas, c). salinitas, d). klorofil-a, e). turbiditas, f). pH, g). DO

Pada kedalaman 1 m suhu terendah ditemukan di Teluk Semut1 dengan suhu 23,4 oC dan tertinggi ditemukan pada Kondang Buntung (Depan) 23,8 oC. Sedangkan pada kedalaman 5 m suhu perairan terendah ditemukan di Teluk Semut 1 (23, 2 oC) dan tertinggi di Watu Mejo 2 (23, 3 oC) (tabel 1). Konduktifitas perairan pada kedalaman 1 m lebih tinggi pada kedalaman 5 m (tabel 1). Di kedalaman 1 m konduktifitas tertinggi ditemukan pada Teluk Semut 2 (50, 66 mS/cm) dan terendah di Teluk Semut 1 (50, 47 mS/cm), sedangkan konduktifitas tertinggi dan terendah pada kedalaman 5 m ditemukan di lokasi yang sama. Distribusi konduktivitas juga dipengaruhi oleh kedalaman perairan suatu lokasi (gambar 2b). Kecenderungan salinitas tinggi dikedalaman 5 m disemua lokasi (tabel 1 dan gambar 2c). Salinitas tertinggi pada kedalaman 1 m ditemukan di Teluk Semut 1 (34, 29 psu) dan terendah ditemukan stasiun Teluk Semut 2 (34, 27 psu). Sedangkan pada kedalaman 5 m salinitas terekam dari kisaran 34, 31-34,28 psu di stasiun Waru-waru dan Watu mejo 2. Dari gambar 2c terlihat bahwa salinitas akan bertambah sesuai dengan kedalaman perairan pada semua stasiun penelitian.

Pada kedalaman 1 m klorofil a tersebar dari kisaran 10, 41 µg/l - 6, 8 µg/l (Kondang Buntung (Depan) dan Watu Mejo 1), sedangkan pada kedalaman 5 m, klorofil-a pada kisaran 9, 66 µg/l - 7, 7 µg/l (Kondang Buntung (Depan) dan Watu Mejo 1). Nampak distribusi klorofil-a tinggi di stasiun 1 (Kondang Buntung (Depan)) dan rendah di stasiun lainnya (gambar 2d). Turbiditas perairan pada kedalaman 1 m cukup tinggi di Kondang Buntung (Depan) dan terendah di Teluk Semut 1 dengan nilai masing-masing 0, 3 dan 0, 11 NTU (tabel 1). Apabila dilihat distribusi vertikalnya sebaran turbiditas tidak berkorelasi dengan kedalman perairan dikarenakan turbiditas hingga 0, 21 NTU tersebar merata dari kedalaman 1 m (stasiun 2 dan 6) hingga kedalaman 5 m (stasiun 3-4) (gambar 2e).

pH perairan P. Sempu tercatat pada kondisi normal dengan rentang 8, 1 – 8, 7 pada dua kedalaman (tabel 1). Dan apabila dilihat distribusi vertikalnya, kedalaman tidak mempengaruhi pH perairan P. Sempu (gambar 2f). Sebaran DO pada kedalaman 1 m di

(8)

perairan P. Sempu bervariasi dari 9, 13 mg/l – 8, 76 mg/l (Teluk Semut 1-Watu Mejo 1). Sedangkan pada kedalaman 5 m DO bervariasi Antara 8, 75 mg/l – 8, 67 mg/l (tabel 1). Gambar 2g menunjukkan bahwa konsentrasi DO lebih tinggi pada kedalaman 1 m dibandingkan kedalaman 5 m pada stasiun 2.

4. Pembahasan

Kondisi lingkungan perairan merupakan faktor pembatas ekosistem terumbu karang, khususnya pada hewan karang itu sendiri. Factor pembatas ini akan berakibat pada distribusi sebaran karang dan mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang (Veron, 2000). Factor pembatas tersebut adalah suhu, salinitas, cahaya, kedalaman, turbiditas dan arus. Variasi bentuk pertumbuhan karang akibat factor pembatas tersebut dapat menyebabkan berbagai bentuk pertumbuhan karang di suatu tempat sebagai bentuk adaptif terhadap lingkungan. Bentuk umum pertumbuhan karang diantaranya massive, encrusting, tabular, laminar dan branching (bercabang).

Suhu air laut pada 6 lokasi stasiun penelitian menunjukkan range normal untuk pertumbuhan karang (29, 3 – 30, 3 oC) karena karang dapat mentolelir suhu pada kisaran 25-40 oC (Veron, 2000). Suhu kelihatan tinggi disekitar Waru-waru, dimungkinkan karena didaerah tersebut terdapat gumuk pasir yang masih menyimpan energy panas matahari waktu surut terendah, sehingga ketika pasang naik energy tersebut akan disalurkan diperaian sekitarnya. Karang sangat sensitif terhadap perbedaan suhu, sekitar 2-3 oC terjadi kenaikan dari rerata suhu mingguan terpanas akan terjadi fenomena “pemutihan karang” dimana sebagaian besar zooxanthellae mengalami kerusakan sehingga pigmen yang berada di dalam tubuh zooxanthellae rusak dan berakibat warna karang menjadi transparan dan terlihat kerangka kapur sehingga terkesan putih. Proses pemutihan karang (coral bleaching) juga diakibatkan oleh fungsi bakteri menjadi berubah yang dalam suhu normal bersimbiosis dengan karang, namun suhu memicu fungsi bakteri menjadi virulen/ musuh bagi inangnya dengan cara mengeluarkan enzim tertentu yang dapat mematikan kehidupan karang. Pada masa lebih dari 8 minggu suhu perairan tidak turun atau kembali normal seperti semula karang yang mengalami pemutihan akan mati. Suhu perairan di semu stasiun akan mengalami penurunan seiring dengan kedalaman perairan. Hal ini dikarenakan berkurangnya intensitas cahaya dan energi matahari yang menembus kedalam perairan. Cahaya menjadi factor pembatas utama bagi karang karena karang disuplai energy sebesar 90 persen dari alga

(9)

simbion yang hidup di dalam endodermis karang yang tergantung pada cahaya matahari untuk berfotosintesis.

Konduktifitas perairan erat kaitannya dengan kecepatan aliran energi ke suatu perairan. Semakin besar konduktifitas perairan maka daya hantar perairan terhadapa panas atau kelistrikan semakin tinggi. Suhu tinggi di sekitar Waru-waru juga merupakan faktor yang menyebabkan tingginya konduktifitas di stasiun pengamatan ini. Teknologi biorock yang dikembangkan saat ini juga tergantung pada konduktifitas perairan. Dalam teknologi tersebut menggunakan arus lemah listrik untuk mengikat kalsium yang berada diperairan kesuatu substrat, dan kecepatan kalsifikasinya ditentukan oleh konduktifitas perairan dan jenis anoda yang digunakan (Goreau and Hilbertz, 2005).

Salinitas pada semua stasiun di semua kedalaman menunjukkan batasan normal untuk pertumbuhan karang, yang memiliki toleransi salinitas 25-40 o/

oo. Salinitas yang rendah mempengaruhi daya tahan karang terhadap suhu tinggi (Coles and Jokiel, 1978). Karang jenis Siderastrea siderea banyak ditemukan dipinggir pantai disekitar daerah pasang surut. Karang jenis ini mampu hidup pada salinitas 10 o/

oo hingga 42 o/oo selama kurun 30 hari. Hasil penelitian Muthiga dan Szmant (1987) memperlihatkan bahwa salinitas akan mempengaruhi system respirasi dan laju fotosintesis karang dengan menurunnya jumlah clorofil per algal per sel. Studi yang sama mengenai perubahan salinitas air laut terhadap fisiologi karang dilakukan oleh Richmond (1993) yakni turunnya salinitas normal hingga 20% akan mengakibatkan fertilitas karang turun hingga 86%.

Klorofil-a merupakan indicator kesuburan suatu perairan, pada semua stasiun penelitian klorofil-a tampak sama, kecuali di stasiun Kondang Buntung (depan) memiliki konsentrasi klorofil-a lebih tinggi di dua kedalaman. Lebih suburnya wilayah ini dibandingkan dengan stasiun lainnya dimungkinkan terjadi pertambahan jumlah nutrient yang berasal dari sungai di Kondang Buntung yang disekitar muara tersebut juga ditemukan banyak tumbuhan mangrove. Konsentrasi tinggi klorofil-a di stasiun Kondang Buntung (depan) relatif sama di kedalaman 1 dan 5 m, menandakan jumlah fitoplankton di perairan ini melimpah hingga kedalaman 5 meter.

Turbiditas perairan cukup tinggi di wilayah Kondang Buntung (depan) dimungkinkan karena teraduknya pasir yang menjadi subtrat utama stasiun ini. Pasir akan teraduk oleh arus permukaan yang diakibatkan oleh angin maupun proses pasang surut air laut. Tingginya turbiditas pada perairan tentu akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari kedalam air laut sehingga akan mengurangi laju fotosintesis karang. Juga secara umum sedimen yang terlalu banyak akan mengakibatkan kematian pada biota karang karena polip karang akan

(10)

tertutupi oleh partikel sehingga tidak bisa menangkap plankton didalam perairan. Namun pada kasus tertentu karang memiliki kemampuan beradaptasi (plastisiti), seperti penelitian Anthony dan Fabricius (2000) menunjukkan pada jenis karang tertentu karang akan memanfaatkan suspended particulate matter (SPM) menjadi makanan dan akan membantu mempercepat pertumbuhan rangka karang. Turbiditas di P. Sempu di setiap stasiun merata dari kedalaman 1-5 m (gambar 2e) yang dimungkinkan adanya pergerakan arus air dari barat menuju ke timur atau sebaliknya tergantung musim.

pH menggambarkan keasaman suatu perairan. pH normal air laut selama ini yang dipahami berkisar 7-8,5 (Kepmenling, 2004). pH di Kondang Buntung (depan) sangat tinggi (8,8) dan stasiun lain berkisar 8,2 di semua kedalaman, dan semua masih dalam kisaran normal. Pengukuran pH di pantai timur dan barat di Australia juga menunjukkan perbedaan pH (Gagliano, et al., 2010), disebelah pantai sebelah barat pH rata-ratanya adalah 8.5 ± 0.014 dan pantai sebelah timur 8.14 ± 0,003. perbedaan pH disuatu wilayah lebih sering disebabkan perbedaan produktifitas biologi yang berasal dari lapisan atas (permukaan) dan bawah (sediment) laut dan terjadi perputaran di badan perairan.

Studi mengenai kimia karbonat mengungkapkan bahwa rendah pH di sekitar terumbu bisa jadi disebabkan dikeluarkannya CO2 selama proses kalsifikasi didalam terumbu, yang biasanya terjadi pengurangan CO2 selama proses fotosintesis, menghasilkan air mengandung banyak pCO2 dan pH yang rendah disekitar lautan, sehingga mengapa di pantai sebelah timur Australia (Great Barrier Reef) memiliki pH lebih rendah dibandingkan dengan pantai sebelah barat.

Jumlah oksigen terlarut mutlak diperlukan oleh makhluk hidup untuk proses respirasi. Pada stasin 1 konsentrasi oksigen terlarutnya lebih tinggi dari yang lain, kemungkinan ada keterkaitan dengan jumlah klorofil-a yang tinggi ditempat ini. Oksigen terlarut dilautan dihasilkan dan fitoplankton, lamun dan juga simbion karang. Hasil fotosintesis diwaktu siang hari adalah oksigen dan waktu malam karang akan menggunakannya untuk proses respirasi dengan rasio 1,9-5,8 (Kanwisher dan Wainright, 1967). Arus berperan penting dalam distribusi oksigen terlarut di laut, arus yang kuat akan membantu mendistribusikan oksigen dari tubuh karang lingkungan sekitarnya selama periode fotosintesis maksimal (Finelli et al., 2006).

Sebagai komponen penting pendukung kehidupan karang, faktor fisika-kimia perairan mutlak berperan dalam kesuksesan kehidupan karang. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian diatas adalah kondisi fisika-kimia perairan di P. Sempu masih sangat layak digunakan untuk pembuatan taman karang. Namun kesuksesan pembuatan taman karang

(11)

nanti tidak hanya memerlukan daya dukung perairan saja, akan tetapi butuh variabel lain seperti laju sedimentasi, arus, perilaku masyarakat nelayan setempat, aktivitas wisata dan adanya payung hukum yang menaunginya.

Ucapan terima kasih

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Studi Terumbu Karang (Acropora) dan Fisheries Diving Club (FishDic) yang telah banyak membantu pengambilan data dilapangan. Juga kami ucapkan terima kasih kepada Ditjen DIKTI, Kepmendikbud, yang telah mendanai penelitian ini melalui DIPA Universitas Brawijaya Nomor: DIPA-023.04.2.414989/2013.

Daftar Pustaka

Coles, S. L., & Jokiel, P. L. 1978. Synergistic effects of temperature, salinity and light on the hermatypic coral Montipora verrucosa. Marine Biology, 49(3), 187-195.

Finelli, C. M., Helmuth, B. S., Pentcheff, N. D., & Wethey, D. S. 2006. Water flow influences oxygen transport and photosynthetic efficiency in corals. Coral Reefs, 25(1), 47-57.

Gagliano, M., McCormick, M. I., Moore, J. A., & Depczynski, M. 2010. The basics of acidification: baseline variability of pH on Australian coral reefs.Marine biology, 157(8), 1849-1856.

Goreau, T. J., & Hilbertz, W. 2005. Marine ecosystem restoration: costs and benefits for coral reefs. World Resource Review, 17(3), 375-409.

Heil, C. A., Glibert, P. M., & Fan, C. (2005). Prorocentrum minimum (Pavillard) Schiller: A review of a harmful algal bloom species of growing worldwide importance. Harmful Algae, 4(3), 449-470.

Heisler, J., Glibert, P.M., Burkholder, J.M., Anderson, D.M., Cochlan, W., Dennison, W.C., Dortch, Q., Gobler, C.J., Heil, C.A., Humphries, E., Lewitus, A., Magnien, R., Marshall, H.G., Sellner, K., Stockwell, D.A., Stoecke, D.K., Suddleson, M., 2008. Eutrophication and harmful algal blooms: a scientific consensus. Harmful Algae 8, 3–13.

Kanwisher, J. W., & Wainwright, S. A. 1967. Oxygen balance in some reef corals. The Biological Bulletin, 133(2), 378-390.

(12)

Kepmenling. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 TAhun 2004, tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta

Landsberg, J. H. 2002. The effects of harmful algal blooms on aquatic organisms. Reviews in Fisheries Science, 10(2), 113-390.

Luthfi, O.M dan Jauhari, A. 2013. Stok dan Habitat Enhancement Terumbu Karang di Perairan Sendang Biru, Malang dalam Usaha Menghidupkan Kembali Live-Reef Fish Trade. LPPM Universitas Brawijaya (tidak dipublikasikan)

Newton, A., Icely, J.D., Falcao, M., Nobre, A., Nunes, J.P., Ferreira, J.G., Vale, C., 2003. Evaluation of eutrophication in the Ria Formosa coastal lagoon, Portugal. Continental Shelf Research 23, 1945–1961.

Richmond, R. H. 1993. Coral reefs: present problems and future concerns resulting from anthropogenic disturbance. American Zoologist 33, 524–536.

ReefCheck. 2006. Laporan Reef Check. Fisheries Diving Club. Malang

Veron, J.E.N. 2000. Corals of the World. Australian Institute of Marine Science: Townsville. Zaouali, J., Baeten, S., 1983. Impact de l’eutrophisation dans la lagune de Tunis (partie nord)

2éme partie : Analyses des correspondances. Rapp. Comm. Int. Explor. Sci. Mer Médit. CIESM 7, 327–332.

Gambar

Gambar  1. Lokasi  6 stasiun  penelitian  di P. Sempu  Malang  Selatan 2.3. Analisa  data
Tabel  1. Rerata  kondisi  fisika  perairan  di  P. Sempu  yang  diambil  dari  6 titik  stasiun  penelitian  Sta
Gambar  2. Distribusi  vertikal  fisika-kimia  perairan  P. Sempu,  a). temperature,  b)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengidentifikasi karakteristik kliniko-patologi pasien penderita melanoma maligna kulit dan mukosa di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr.. Mohammad Hoesin Palembang

Data primer mencakup data karakteristik keluarga (umur ayah dan ibu, pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, ukuran keluarga, pendapatan per kapita

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang judul: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VI pada Materi Operasi

Variabel merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek, atau kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang ditetapkan dalam penelitian untuk

Dalam pemenuhan kebutuhan ini, ibu hendaknya memberi kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya.Kebutuhan spiritual, adalah pendidikan yang

Penelitian ini bertujuan mengetahui lama fermentasi yang terbaik dalam fermentasi Jerami padi dengan mikroorganisme lokal terhadap Bahan Kering, dan Bahan Organik, dan Abu

penelitian dengan menguraikan isi dari objek yang diteliti. 4) Pendidik menugasi peserta didik untuk mendiskusikan unsur intrinsik dan nilai pendidikan akhlak pada

Peripheral Component Interconnect (PCI) merupakan bus yang memiliki Peripheral Component Interconnect (PCI) merupakan bus yang memiliki kecepatan tinggi yang