ALOKASI PENGGUNAAN LAHAN
BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR
DI SUB DAS CISADANE HULU
DWI MARYANTO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
DWI MARYANTO. Landuse Allocation Based on Water Resources Conservation in Cisadane Hulu Sub Watershed. Under direction of DWI PUTRO TEJO BASKORO and BABA BARUS.
Problems of land use in Cisadane Hulu sub watershed has led to a decrease in water resources, so that water resources conservation needs more attention. One of the efforts to conserve water resources is allocating landuse properly. For that reason a research was conducted at Cisadane Hulu sub watershed. The objectives of the research were (1) to identify the sub-sub watersheds performance, (2) to evaluate various alternative of the land use allocations, (3) to identify people preference about optimal land use, and (4) to formulate strategic direction of land use allocation. The methods of data processing analysis included spatial analysis, prediction of water discharge, and sedimentation that integrated in the AVGWLF model, and Analytic Hierarchy Process. The parameters used include Land Cover Index (IPL), the runoff coefficient (C), Erosion Hazard Index (IBE) and suspended sediment concentration (SC). Results of the analysis showed that in general Cisadane Hulu sub watershed has “Poor” performance. Among sub-sub watershed, 36 sub-sub watersheds had “Poor” performance and 8 sub-sub watersheds had “Medium” performance. To improve the performance, 3 scenarios were simulated, i.e. land use allocation based on Zone Function, based on Land Capability and based on RTRW. The Zone Function scenario produced the best result, followed by Land Capability and RTRW scenario’s. In the best scenario, Cisadane Hulu sub watershed was devided into 3 main areas with different of land use priority. Protected area is directed for forest, buffer area is directed for forest or mixed plantation and cultivated area is directed for rice field. AHP analysis show that people prefer to use buffer area for mix plantation and cultivation area for rice field. To implement the best allocation, policy strategies is necessary because of the mismatch between both of those results with the determination of the legally status of the area function, socialization, community empowerment and institutional strengthening.
DWI MARYANTO. Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BABA BARUS.
Permasalahan penggunaan lahan di sub DAS Cisadane Hulu sudah mengganggu kondisi tata airnya, seperti ditunjukkan oleh adanya bencana banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan saat kemarau di bagian hilir DAS Cisadane. Bencana lain yang tidak dapat diabaikan adalah erosi di bagian hulu, kualitas air yang menurun akibat meningkatnya sedimen tersuspensi dan sedimentasi di waduk, situ, muara sungai dan tubuh air lainnya. Hal ini menimbulkan banyak kerugian secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh sebab itu perlu dikaji penggunaan lahan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena efek negatif yang ditimbulkan tidak mengenal batas administrasi. Pengelolaan DAS bagian hulu menjadi sangat penting karena dari daerah inilah berawalnya proses yang terkait dengan hidrologi di dalam DAS.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi kinerja sub-sub DAS di sub DAS Cisadane Hulu, 2) mendapatkan arahan penggunaan lahan terbaik dalam rangka konservasi sumber daya air. 3) mengetahui pendapat berbagai pemangku kepentingan mengenai alokasi penggunaan lahan, dan 4) menyusun arahan strategi penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air. Analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut meliputi analisis keruangan, prediksi tebal aliran permukaan dan sedimen terlarut yang tergabung dalam model AVGWLF (ArcView Generalized Watershed Loading Function). Empat (4) parameter yaitu IPL (Indeks Penutupan Lahan), C (koefisien limpasan), IBE (Indeks Bahaya Erosi) dan kadar sedimen tersuspensi (Sc) digunakan untuk mengidentifikasi kinerja sub DAS/sub-sub DAS dalam upaya konservasi sumber daya air. Tingkat preferensi masyarakat dianalisis dengan metode AHP.
Hasil interpretasi citra ALOS menunjukkan bahwa penggunaan lahan paling luas di sub DAS Cisadane Hulu adalah sawah irigasi yakni sekitar 23.463 ha atau 27,45% dari luas keseluruhan sub DAS ini, diikuti oleh hutan dengan luas 15.635 ha (18,29%) dan semak/belukar 14.873 ha (17,40%). Penggunaan lahan permukiman di sub DAS Cisadane Hulu seluas 9.938 ha merupakan permukiman jarang dan 1.239 ha merupakan permukiman padat. Kebun campuran menempati sekitar 10.880 ha (12,73%), sedangkan lahan yang digunakan untuk ladang sekitar 6.694 ha (7,83%). Di dalam sub DAS Cisadane Hulu terdapat perkebunan monokultur yaitu perkebunan teh dan kelapa sawit. Terdapat 2 kebun teh yang total luasnya mencapai 1.462 ha (1,71%). Adapun perkebunan kelapa sawit yang berada di barat-laut sub DAS Cisadane Hulu luasnya hanya 164 ha atau sekitar 0,19% dari luas sub DAS. Selain penggunaan lahan di atas, terdapat penggunaan lahan dalam areal yang sempit yaitu tubuh air (termasuk sungai), padang rumput, dan lahan terbuka, masing-masing mempunyai luas kurang dari 1.000 ha (< 1% dari luas total wilayah Sub DAS).
Sedang.
Arahan penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu didasarkan pada skenario terbaik dari 4 skenario yaitu Skenario Aktual, Skenario RTRW, Skenario Kemampuan Lahan, dan Skenario Fungsi Kawasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa alokasi lahan berdasarkan Fungsi Kawasan menghasilkan kinerja sub DAS terbaik. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan IPL, C, IBE, dan Sc masing-masing adalah 0,49; 0,191; 0,87; 375,03 mg/l.
Hasil simulasi dengan skenario terbaik menunjukkan bahwa dari 44 sub-sub DAS yang ada, 20 sub-sub-sub-sub DAS berkinerja Baik, dan 24 sub-sub-dub DAS berkinerja Sedang. Jika dibandingkan dengan kinerja sub-sub DAS saat ini, maka terdapat 42 sub DAS mengalami peningkatan kinerja, dengan rincian 14 sub-dub DAS meningkat dari Buruk menjadi Baik, 22 sub-sub-dub DAS dari Baik menjadi Sedang dan 6 sub DAS dari Sedang menjadi Baik. Empat belas (14) sub-sub DAS dengan peningkatan kinerja tinggi menjadi prioritas pertama untuk dikelola, 22 sub-sub DAS menjadi prioritas kedua, dan 6 sub-sub DAS menjadi prioritas ketiga.
Arahan penggunaan lahan agar tercapai kinerja terbaik sesuai dengan skenario adalah dengan penambahan lahan hutan menjadi 39.675 ha, dan sawah irigasi menjadi 2.788 ha dari kondisi saat ini. Adapun kebun campuran dikurangi menjadi 5.580 ha, sedangkan ladang, lahan terbuka, dan semak belukar ditiadakan. Dibandingkan RTRW, arahan tersebut mengalokasikan Kawasan Lindung lebih luas yaitu 31.384 ha, Kawasan Penyangga seluas 25.337 ha, sedangkan Kawasan Budidaya berkurang menjadi 28.758 ha.
Hasil analisis AHP, pada Kawasan Penyangga, menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menempatkan kebun campuran sebagai penggunaan lahan prioritas pertama dengan skor 0,274, diikuti oleh sawah (0,236), hutan (0,227) dan ladang (0,197). Pada Kawasan Budidaya, sawah merupakan penggunaan lahan prioritas pertama dengan skor 0,247, diikuti dengan penggunaan lahan kebun campuran (0,244), lading (0,226) dan hutan (0,205).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR
DI SUB DAS CISADANE HULU
DWI MARYANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu Nama : Dwi Maryanto
NRP : A156100061
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perencanaan Wilayah
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus
Tanggal Ujian : 27 Maret 2013
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya sehingga karya ilmiah dengan judul Alokasi Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Cisadane Hulu dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPS IPB, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian, dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.
2. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini 3. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku penguji luar komisi atas seluruh
masukan dan saran demi kesempur naan tesis ini.
4. Prof (Riset) Dr Aris Poniman, yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama menempuh studi.
5. Segenap dosen pengajar dan asisten di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas seluruh ilmu yang telah diberikan, serta kepada staf manajemen atas seluruh pelayanannya.
6. Kementerian Ristek melalui Deputi Bidang Sumber Daya IPTEK beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
7. Badan Informasi Geospasial yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini.
8. Rekan-rekan PWL kelas Reguler dan Khusus, MBK angkatan 2010 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 9. Keluarga Bpk Ir. Budi Sukarno, MSi, keluarga drh Tri Yunianingsih atas
segala bantuan moril maupun materiil.
Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada kedua orang tua, istri dan anakku, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang, dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bpk/Ibu/Sdr dengan pahala yang berlipat. Amin.
Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini tentu masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih.
Bogor, April 2013
Penulis dilahirkan di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 April 1974 dari pasangan orang tua Bapak Sudarman (Alm) dan Ibu Sumarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Kabupaten Sleman DIY. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri Donoharjo dan kemudian melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis diterima di jurusan Geografi Fisik, Fakultas Geografi dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada tahun 2000.
xii
Halaman
DAFTAR TABEL ……….……… xiv
DAFTAR GAMBAR .……….………. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ………..……… xviii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……… 1
1.2. Perumusan Masalah ……… 4
1.3. Tujuan Penelitian ……… 5
1.4 Manfaat Penelitian ……….. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penataan Ruang …………...………..…….….... 7
2.2 Pemanfaatan Ruang ………..….. 10
2.3 Konservasi Sumber Daya Air ……….…… 11
2.4 Sistem Informasi Geografi ….……….…... 12
2.5 Model AVGWLF …….……….…. 13
2.6 Prakiraan Jumlah Aliran Permukaan ……….. 15
2.7 Prakiraan Erosi dan Hasil Sedimen ……… 16
2.8 Analytic Hierarchy Process ……….……….…. 19
III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ……… 21
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……….………….…….… 23
3.3 Bahan dan Alat ……….……… 24
3.4 Metode Pengumpulan Data ………….……….………… 25
3.5 Metode Analisis Data ………..………. 26
3.5.1 Pengolahan Data Awal…….….. .………... 26
3.5.2 Metode Pengolahan Data Utama ………... 27
3.5.3 Arahan Penggunaan lahan ………... 32
3.5.4 Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Penggunaan Lahan Optimal…... 34 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Fisik ………. 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan ……….. 47
xiii
5.3 Arahan Penggunaan lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Terbaik ……….
58
5.3.1 Skenario Aktual ………... 59
5.3.2 Skenario RTRW ……….... 62
5.3.3 Skenario Kemampuan Lahan ……….... 65
5.3.4 Skenario Fungsi Kawasan ………..……….. 69
5.3.5 Penggunaan lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Terbaik ………..……… 72
5.3.6 Arahan Penggunaan lahan Terhadap Sub-sub DAS ……... 74
5.3.7 Evaluasi Arahan Fungsi Kawasan RTRW ………... 80
5.4 Pendapat Pemangku Kepentingan Tentang Alokasi Penggunaan Lahan Di Sub DAS Cisadane Hulu ...…………..………… 83
5.4.1. Arti Penting DAS Dalam Perencanaan Penggunaan Lahan ... 83
5.4.2. Prioritas Penggunaan Lahan oleh Pemangku Kepentingan .... 85
5.4.2.1 Kawasan Penyangga ………. 87
5.4.2.2 Kawasan Budidaya ………... 90
5.5 Strategi Arahan Penggunaan lahan .………... 93
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ……….. 99
6.2 Saran ……… 100
DAFTAR PUSTAKA ………. 101
xiv
Halaman
1. Kriteria dan indikator kinerja DAS ……….………... 9
2. Klasifikasi nilai IPL .………... 27
3. Klasifikasi nilai C ………... 28
4. Klasifikasi nilai IBE ………... 28
5. Klasifikasi nilai Sc ………... 29
6. Luas wilayah berdasarkan kemiringan lereng ………... 39
7. Satuan peta tanah dan luasannya di Sub DAS Cisadane Hulu …... 42
8. Penggunaan lahan dan luasannya di Sub DAS Cisadane Hulu …... 48
9. Luas penggunaan lahan berdasarkan kemiringan lereng ………... 50
10. Tinggi aliran permukaan hasil observasi dan pemodelan ………... 52
11. Nilai-nilai parameter dan kinerja sub-sub DAS Cisadane Hulu …... 54
12. Kinerja DAS berdasarkan Skenario Aktual ………... 60
13. Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario RTRW dan perubahannya ………... 63
14. Kinerja DAS berdasarkan Skenario RTRW ………... 65
15. Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario KemampuanLahan dan perubahannya ... 66
16. Kinerja DAS berdasarkan Skenario Kemampuan Lahan ……... 67
17. Luas penggunaan lahan berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan dan perubahannya …..………..……... 70
18. Kinerja DAS berdasarkan Skenario Fungsi Kawasan ………... 72
19. Perbandingan parameter-parameter kinerja DAS berdasarkan 4 skenario ………... 73
xvi
Halaman
1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ………... 23
2. Lokasi Penelitian ………... 24
3. Diagram Alir Penelitian ………... 33
4. Struktur hirarki pemilihan penggunaan lahan ... 35
5. Peta kemiringan Lereng ……….... 38
6. Peta Tanah sub DAS Cisadane Hulu ……….... 41
7. Peta sebaran curah hujan sub DAS Cisadane Hulu ………….. 44
8. Kepadatan penduduk per kecamatan ……….... 46
9. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu ……..…... 49
10. Grafik tebal limpasan permukaan hasil observasi dengan
pemodelan ………... 53
11. Peta sebaran kinerja sub-sub DAS Cisadane Hulu ………….. 57
12. Peta Skenario penggunaan lahan menurut RTRW ………….. 64
13. Peta Skenario penggunaan lahan menurut Kemampuan lahan. 68
14. Peta Skenario penggunaan lahan menurut Fungsi Kawasan ... 71
15. Peta kinerja sub-sub DAS berdasarkan arahan penggunaan
lahan di sub DAS Cisadane Hulu ..………... 77
16. Peta arahan penggunaan lahan pada sub-sub DAS Cisadane
Hulu ……….. 79
17. Peta arahan penggunaan lahan kawasan terhadap pola ruang
RTRW ……….... 82
18. Hasil analisis hirarki persepsi masyarakat terhadap penggunaan
lahan di kawasan penyangga ………... 88
xviii
Halaman
1. Pendekatan Kapasitas Air Tersedia (AWC) berdasarkan tekstur
tanah ……….……… 106
2. Pendekatan nilai K (erodibilitas tanah) berdasarkan tekstur tanah ... 106
3. Kelompok hidrologi tanah ……….………. 107
4. Nilai CN pada lahan-lahan di Sub DAS Cisadane Hulu ……..…... 108
5. Nilai faktor C berbagai penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane
Hulu ……….……… 108
6. Kategori penggunaan lahan, kode dan padanannya ……… 109
7. Data dan perhitungan OA dan KA ……… 110
8. Sub-sub DAS di Sub DAS Cisadane Hulu ..…………..…………. 112
9. Tabel-tabel luaran hasil analisis model AVGWLF dari 4 skenario 113
10.Luas arahan penggunaan lahan pada masing-masing sub-sub DAS 115
1.1Latar Belakang
Meningkatnya tekanan penduduk menyebabkan degradasi lingkungan
sehingga menurunkan daya dukung DAS serta telah menimbulkan sejumlah
permasalahan yang serius. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa
(2008) mengidentifikasi beberapa permasalahan yang muncul terkait dengan
lahan yang berpengaruh terhadap daya dukung DAS - DAS di Jawa dan Bali.
Permasalahan tersebut antara lain alih fungsi lahan menjadi daerah terbangun,
pencemaran lingkungan, menurunnya luas daerah resapan, meningkatnya lahan
kritis, terdesaknya kawasan lindung, dan bencana alam.
Ditinjau dari sisi penyelenggaraan penataan ruang, masih terdapat kendala
serius yang menjadi penyebab permasalahan tersebut di atas. Tata ruang yang
tidak mantap menyebabkan penggunaan lahan seringkali tidak sesuai dengan tata
ruang yang telah ditetapkan (BPDAS Citarum-Ciliwung 2009). Ketidakmantapan
tersebut terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan penataan ruang mulai dari
perencanaan hingga ke pengendalian pamanfaatan ruang.
Pada tahap perencanaan tata ruang, produk rencana tata ruang yang
dihasilkan masih belum menjadi acuan oleh berbagai pihak dalam pelaksanaan
pembangunan. Hal ini di antaranya disebabkan oleh data dan informasi yang
digunakan belum akurat, belum mencakup analisis pemanfaatan sumberdaya ke
depan, rencana tata ruang hanya untuk memenuhi kewajiban pemerintah (UU dan
Perda), atau seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu saja dan
perencanaan tata ruang belum menggambarkan secara detil kegiatan yang harus
dilakukan (Koespramoedyo 2008). Oleh karena itu pada tahap pemanfaatan
ruang, seringkali tidak ada kesesuaian antara penggunaan lahan dengan
peruntukannya yang ada dalam rencana tata ruang suatu daerah. Salah satu
penyebab utamanya adalah perubahan tata guna lahan yang dilakukan oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhan nafkah dan tempat tinggal (Kodoatie et al.
2008). Pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang, pemberian izin yang tidak
ekonomi atau lainnya, juga memberikan andil dalam memperparah permasalahan
penataan ruang seperti tersebut di atas (Koespramoedyo 2008).
Permasalahan tersebut terus berlangsung seiring waktu dengan intensitas
yang berbeda-beda. Tidak tertanganinya permasalahan tersebut menjadi penyebab
semakin parahnya degradasi lingkungan atau munculnya permasalahan yang
berantai di berbagai bidang yang lain. Permasalahan seperti inilah yang terjadi di
DAS Cisadane, sehingga pemerintah melalui Kemenhut meningkatkan status
penanganan dari DAS Prioritas II pada tahun 1999 menjadi DAS Prioritas I pada
tahun 2009 (BP DAS Citarum-Ciliwung 2009). Permasalahan utama terkait lahan
dan air yang terjadi di DAS Cisadane di antaranya adalah erosi dan sedimentasi,
hidrologi permukaan, dan penggunaan lahan.
Permasalahan erosi tanah di Sub DAS Cisadane Hulu, diindikasikan oleh
tingginya nilai indeks erosi (IE) yaitu sebesar 2,78 pada Sub-sub DAS Cisadane
Hulu (Emilda 2010). Nilai ini telah melampaui batas kriteria sebagai DAS yang
tergolong baik dalam mengkonservasi tanah (IE > 1). Nilai TSS (total suspended
solid) rata-rata juga cukup tinggi yang mencapai 70 mg/l (Sutopo 2011). Nilai ini
telah melampaui kriteria baku mutu air kelas 1 menurut PP No 82 Tahun 2001.
Tingginya erosi tanah yang terjadi di bagian hulu menyebabkan meningkatnya
kandungan sedimen pada tubuh perairan sehingga menurunkan kualitas air dan
menyebabkan pendangkalan saluran di bagian hilir.
Dari sisi hidrologi permukaan, permasalahan yang terjadi di sub DAS
Cisadane Hulu salah satunya adalah meningkatnya aliran permukaan akibat
perubahan lahan yang terjadi dalam DAS. Salah satunya ditunjukkan oleh nilai
koefisien run off (C) di sub-sub DAS Cisadane Hulu yang cenderung meningkat
mencapai nilai 0,72 (Emilda 2010), di mana kondisi hidrologi termasuk ”Baik”
jika nilai C suatu DAS < 0,5. Indikasi lainnya ditunjukkan dengan adanya
kecenderungan menurunnya debit aliran permukaan pada saat musim kemarau
(Nugroho 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem DAS Cisadane bagian
hulu sudah terganggu, yang pada gilirannya menyokong timbulnya bencana
Perubahan lahan yang terjadi di Sub DAS Cisadane Hulu umumnya terjadi
dari lahan yang mendorong kapasitas infiltrasi tinggi ke lahan yang mempunyai
daya infiltrasi rendah. Di Sub-sub DAS Cisadane Hulu pada periode tahun
1987-1995, adanya tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,8% per tahun
menyebabkan lahan pertanian sawah berkurang sebesar 28%, tegalan 5% dan
kebun campuran sebesar 53% yang dikonversi menjadi lahan pemukiman
(Puspaningsih 1999). Menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup, total
DAS Cisadane mengalami penurunan luas hutan dari 18.519 ha pada tahun 2000
menjadi 4.324 ha pada tahun 2009. Pada periode yang sama luas areal
permukiman meningkat dari 23.902,82 ha menjadi 42.362 ha (SLHI 2010).
Atas dasar uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa penggunaan lahan
dalam DAS Cisadane bagian hulu sudah mengganggu kondisi tata airnya. Hal ini
ditunjukkan oleh adanya bencana hidrologis seperti banjir pada musim hujan dan
bencana kekeringan saat kemarau di Kabupaten/Kota Tangerang yang merupakan
bagian hilir DAS Cisadane. Bencana lain yang tidak dapat diabaikan adalah erosi
di bagian hulu, kualitas air yang menurun akibat meningkatnya sedimen
tersuspensi dan sedimentasi di waduk, situ, muara sungai dan tubuh air lainnya.
Hal ini tentu akan menimbulkan banyak kerugian secara sosial, ekonomi, dan
ekologi. Oleh sebab itu perlu dikaji penggunaan lahan kawasan Daerah Aliran
Sungai (DAS), karena efek negatif yang ditimbulkan tidak mengenal batas
administrasi.
Wilayah ekosistem DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu,
tengah dan hilir. Bagian hulu DAS merupakan daerah konservasi, bagian tengah
sebagai peralihan atau penyangga bagian hulu, sedangkan bagian hilir merupakan
daerah pemanfaatan. Bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap
daerah itu sendiri maupun daerah hilirnya. Pemanfaatan di daerah hilir sangat
bergantung pada daerah hulunya, karena terdapat keterkaitan biofisik yang erat
antara hulu dan hilir terutama melalui daur hidrologi. Oleh sebab itu pengelolaan
DAS bagian hulu menjadi sangat penting karena dari daerah inilah berawalnya
Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material
ataupun spiritual (Arsyad 1989). Kebutuhan lahan bagi manusia semakin
bertambah baik sisi luasannya maupun bentuk penggunaannya. Pertambahan
kebutuhan luas lahan disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan kemajuan
wilayahnya. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri karena luas lahan tidak
bertambah.
Permasalahan menjadi lebih kompleks ketika tinjauan wilayahnya berupa
DAS. Hal ini disebabkan oleh fungsi hidrologi DAS dalam mengatur tata air
permukaan dan air tanah. Fungsi hidrologi tanah tersebut sangat dipengaruhi oleh
tata guna lahannya. Penggunaan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi
sumber daya alam akan menurunkan fungsi hidrologi suatu DAS. Oleh sebab itu
pengaturan penggunaan lahan menjadi penting mengatasi kebutuhan manusia dan
untuk menjaga fungsi hidrologi suatu DAS.
Adanya hubungan yang erat antara hulu dengan hilir, pemanfatan ruang
dengan tata air dan sumber daya manusia, alam dan buatan, mengharuskan
perencanaan ruang berbasis DAS sangat penting untuk dilaksanakan. Penulis
tertarik dengan permasalahan tersebut dan bermaksud mengadakan penelitian
mengenai perencanaan penggunaan lahan yang berbasiskan konservasi sumber
daya air di Sub DAS Cisadane Hulu.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut dapat dirumuskan
beberapa masalah yang terjadi di daerah penelitian yaitu :
1. Sub DAS Cisadane Hulu merupakan bagian hulu yang harus difokuskan
sebagai daerah konservasi sumber daya air, karena sangat berpengaruh
terhadap bagian tengah dan hilirnya yang merupakan daerah penyangga
ibukota. Harapan ini ternyata tidak selaras dengan fakta di lapangan.
Kualitas lingkungan DAS terus mengalami penurunan karena penggunaan
jumlah air permukaan, erosi dan kadar sedimen pada aliran permukaan yang
tinggi.
2. Bervariasinya unsur-unsur biofisik di sub DAS Cisadane Hulu secara
keruangan menyebabkan respon terhadap curah hujan yang jatuh di daerah
tersebut juga berbeda-beda. Baik buruknya respon hidrologi tersebut
menunjukkan kinerja unsur-unsur dalam DAS. Identifikasi sebaran kinerja
DAS, yang disajikan dalam unit analisis sub-sub DAS, diperlukan untuk
melihat daerah-daerah mana yang bermasalah.
3. Permasalahan hidrologis yang terjadi di sub DAS Cisadane Hulu, dari sisi
perencanaan wilayah, dapat diatasi dengan pendekatan perencanaan
penggunaan lahannya. Arahan penggunaan lahan yang berbasis konservasi
sumber daya air perlu disusun agar penggunaan lahan yang dilakukan dapat
menekan sekecil mungkin efek negatif terhadap kondisi hidrologinya namun
mencapai produktifitas tinggi.
4. Arahan penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air menekankan
prinsip keberlanjutan dari aspek ekologi. Hal ini akan menemui kendala
ketika akan diterapkan di lapangan, karena masyarakat, swasta maupun
pemerintah daerah seringkali lebih menekankan pada aspek ekonomi. Oleh
sebab itu perlu ada upaya untuk mendukung pelaksanaan arahan tersebut
agar tercapai tujuan konservasi sumber daya air dengan tidak mengabaikan
aspek ekonomi dan sosial.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi kinerja sub-sub DAS atas penggunaan lahan saat ini dalam
upaya konservasi sumber daya air.
2. Memperoleh arahan penggunaan lahan terbaik dalam rangka konservasi
sumber daya air.
3. Mengetahui pendapat berbagai pemangku kepentingan mengenai alokasi
4. Menyusun arahan strategi penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya
air.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada beberapa aspek
yaitu :
1. Memberikan masukan pemikiran pada pemerintah daerah khususnya dalam
rangka penggunaan lahan yang mengutamakan konservasi sumber daya air,
serta umumnya bagi para pengambil kebijakan yang berhubungan dengan
penataan ruang wilayah DAS.
2. Sebagai bahan pembelajaran dan evaluasi dalam proses perumusan penataan
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penataan Ruang
Penataan ruang suatu wilayah merupakan hal yang sangat penting dalam
proses pembangunan karena hasil pembangunan yang diperoleh akan lebih
optimal. Penataan ruang merupakan bentuk pembangunan yang menggunakan
pendekatan kawasan.Pendekatan kawasan meliputi pembangunan berbagai sektor
yang saling terkait dan menunjang satu sama lainnya, yang mengarah kepada
tercapainya fungsi tertentu, pada suatu permukaan wilayah dengan batas-batas
yang telah ditetapkan (Adisasmita 2010). Penentuan kawasan dengan fungsi
tertentu tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan potensi dan kondisi yang
dimiliki oleh suatu wilayah, sehingga diharapkan produksi dan produktivitas akan
lebih tinggi namum dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan
rendah.
Penataan ruang juga merupakan upaya menciptakan keseimbangan antara
kepentingan bersifat jangka pendek dan panjang, dan kepentingan lokalitas,
regional dan makro (Rustiadi et al. 2009). Keseimbangan antara kepentingan
jangka pendek dan panjang bermakna bahwa penataan ruang harus mampu
mengatur penggunaan ruang agar dapat memberikan manfaat secara terus
menerus. Tujuan ini dapat dicapai jika perencanaan ruang memenuhi kaidah
ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan gangguan atau kerusakan
terhadap sumber daya di dalam ruang itu sendiri. Keseimbangan kepentingan
lokal, regional dan makro berarti bahwa tidak satupun kepentingan pada skala
luas daerah mendominasi di atas kepentingan yang lainnya.
Kepentingan-kepentingan lokal dibatasi terutama yang menimbulkan efek eksternalitas negatif.
Hal ini untuk menjaga keseimbangan pembangunan pada skala regional dan
makro.
Konsep wilayah perencanaan tidak selalu berupa administrasi, namun
dapat juga berupa wilayah yang mempunyai sifat-sifat tertentu baik bersifat
alamiah maupun non alamiah (Rustiadi et al. 2009). Pengertian wilayah yang
atau sangat luas, sepanjang di dalamnya terdapat unsur ruang atau space (Tarigan
2005). Munculnya kesadaran pelestarian sumberdaya alam dalam pembangunan
pada dua dasawarsa terakhir, menuntut mulai dikembangkan penataan ruang bagi
wilayah-wilayah bersifat alamiah, salah satunya yang paling dikenal yaitu Daerah
Aliran Sungai (Marsono 2004). DAS menjadi penting sebagai acuan wilayah
dalam penataan ruang karena seluruh daratan terbagi habis menjadi DAS/Sub
DAS dan merupakan wilayah dengan matriks dasar kesatuan sistem hidrologis
yang bersifat alamiah, yang saling terkait antara hulu, tengah dan hilir
(Noordianto 2010).
Konsep tata ruang yang berdasarkan fungsi utama kawasan, seperti yang
digunakan di Indonesia, di mana suatu wilayah dibagi ke dalam 2 fungsi kawasan
yaitu Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya, sebenarnya analog dengan
konsep pewilayahan ekosistem DAS. Apabila ekosistem DAS diklasifikasi
menjadi daerah hulu dan hilir, daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi,
sedangkan daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan. Dengan demikian
DAS bagian hulu sepadan dengan kawasan lindung dan bagian hilirnya sepadan
dengan kawasan budidaya. Jadi terdapat kesepadanan fungsi wilayah antara
konsep tata ruang dengan pengelolaan DAS. Oleh sebab itu konsep tata ruang
tersebut sangat sesuai jika diterapkan pada wilayah DAS.
Pentingnya perencanaan tata ruang wilayah DAS di Indonesia telah
diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama UU RI
No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU RI No. 7 tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air. Di dalam UU Penataan Ruang disebutkan bahwa
pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana
tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara dan penatagunaan sumber daya alam lain.
Dalam penatagunaan air dikembangkan Pola Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
yang melibatkan 2 atau lebih wilayah administrasi untuk menghindari konflik
antar daerah hulu dan hilir. Pengelolaan DAS adalah bagian dari pembangunan
dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam dengan menerapkan aspek
Sejalan dengan hal tersebut, dalam UU No 7 tahun 2004 pasal 59, juga
mengamanatkan bahwa rencana pengelolaan sumber daya air, yang wilayahnya
berupa DAS, merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali
dan/atau penyempurnaan tata ruang wilayah. Selain itu pada pasal 20 disebutkan
bahwa konservasi sumber daya air menjadi salah satu acuan dalam perencanaan
ruang. Pada pasal 21 lebih khusus menyebutkan bahwa upaya perlindungan dan
pelestarian sumber air dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
Dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diterbitkan peraturan yang
khusus mengatur tentang wilayah DAS, yaitu KepMenHut No 52/Kpts-II/2001
tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Di dalamnya menjelaskan
tentang kriteria dan indikator penggunaan lahan dan sumber daya air terkait
dengan konservasi sumber daya air di dalam DAS, seperti pada Tabel 1
Keputusan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman/acuan bagi pihak yang
terlibat dalam pengelolaan DAS baik tingkat nasional, regional dan lokal.
Tabel 1 Kriteria dan indikator kinerja DAS
Kriteria Indikator Parameter Standar Keterangan
A.
2.2 Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi dari rencana tata
ruang atau pelaksanaan dari pembangunan yang direncanakan. Pemanfaatan ruang
mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Fungsi
ruang utama kawasan menurut UU RI No. 26 tahun 2007 diklasifikasikan menjadi
Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Kawasan Lindung adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup
yang mencakup sumber daya alam maupun buatan. Kawasan Lindung selain
melindungi sumber daya di dalam kawasan itu sendiri juga ditujukan untuk di luar
kawasan tersebut. Kawasan Budidaya adalah wilayah dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan berdasarkan kondisi dan potensi sumber daya alam, buatan dan
manusia. Kawasan budidaya digunakan untuk menampung semua kegiatan
manusia dalam meningkatkan taraf hidupnya sesuai dengan perencanaan tata
ruang yang telah ditetapkan.
Pengaturan pemanfaatan ruang yang paling dikenal dan sering diterapkan
adalah berupa pengaturan penggunaan lahan (Lassey 1977; Rustiadi et al. 2009).
Pengaturan penggunaan lahan merupakan analisis aspek-aspek fisik yang paling
mendasar untuk kepentingan penataan ruang, karena di dalamnya juga telah
mencakup sumberdaya air, iklim, vegetasi dan unsur-unsur lahan lainnya
(Rustiadi et al. 2009). Pengaturan tersebut sangat penting karena lahan
merupakan wadah bagi semua aktivitas manusia. Wadah tersebut mempunyai
sifat dan karakteristik yang khas karena dibentuk oleh unsur-unsur sumberdaya
yang jumlahnya banyak dan bervariasi nilainya. Hal ini mengakibatkan
kemampuan yang dimiliki setiap lahan untuk mendukung aktivitas yang
berlangsung di atasnya berbeda-beda pula.
Pengaturan penggunaan lahan juga telah diamanatkan dalam
Undang-Undang No 26 tahun 2007 bahwa pemanfaatan ruang dilaksanakan dengan
mengembangkan salah satunya adalah penatagunaan tanah/lahan. Penatagunaan
tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi
pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat
secara adil (PP No 16 tahun 2004). Dengan demikian penatagunaan tanah/lahan
merupakan ujung tombak dalam mengimplementasikan rencana tata ruang.
Dalam pengelolaan wilayah DAS, pengaturan penggunaan lahan salah
satunya dimaksudkan untuk mendapatkan hasil konservasi air yang optimal.
Tujuan ini dapat dicapai dengan pendekatan yang didasarkan pada peningkatan
sistem penggunaan lahan. Sistem tersebut harus dapat melindungi tanah dari erosi
dan memaksimumkan penyerapan air (Arsyad 2006). Pendekatan konservasi
tersebut ditingkat lapangan mencakup juga penyerapan aspirasi dari
masyarakat/petani, karena menyangkut kehidupan mereka yang sebagian besar
mengandalkan sumberdaya alam di sekitarnya. Oleh sebab itu dalam perencanaan
penggunaan lahan berbasis konservasi air, selain faktor lingkungan perlu
diperhatikan juga faktor ekonomi dan sosial agar terdapat keseimbangan di antara
ke tiga aspek tersebut. Untuk itu perlu diidentifikasi jenis penggunaan lahan yang
memenuhi aspek-aspek tersebut.
2.3 Konservasi Sumber Daya Air
Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta
keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia
dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk
hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang (UU No 07 tahun
2004). Sumber daya air merupakan salah satu komponen penting dalam sistem
DAS. Terkait dengan tujuan pengelolaan DAS, maka perencanaan wilayah DAS
harus menganut asas pemanfaatan sumber daya air sesuai dengan kemampuannya
dan asas lestari atau berkelanjutan. Sesuai dengan kemampuannya bermakna
bahwa pemanfaatan sumber daya air tidak boleh melampaui daya dukungnya.
Keberlanjutan bermakna sumberdaya air diharapkan tersedia jumlahnya dan
memenuhi syarat kualitasnya untuk masa kini dan yang akan datang.
Upaya konservasi sumber daya air menghadapi kendala karena adanya
sehingga mengabaikan terhadap fungsi konservasinya (Marsono 2004). Hal ini
menimbulkan isu penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu :
a. Penyederhanaan eksosistem kawasan budidaya secara berlebihan sehingga
struktur yang terbentuk selalu monokultur, sehingga mengganggu kaidah dan
fungsi ekosistem.
b. Stabilitas ekosistem menjadi rendah, natural stabilizing factor tidak
berfungsi, sehingga manusia cenderung menggantinya menjadi chemical
stabilizing factor yang mahal dan tidak ramah lingkungan.
c. Kemunduran site quality/tapak hutan tanaman, yang ditandai dengan
penurunan produktifitas atau kejemuan jenis tanaman tertentu.
d. Faktor hidroorologi belum mendapatkan perhatian yang memadai.
Permasalahan tersebut muncul dan menjadi perhatian bila terjadi di daerah
hulu, karena daerah hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah hulu
itu sendiri dan daerah di bawahnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS biasanya
menjadi fokus perhatian dalam upaya konservasi sumber daya air.
2.4 Sistem Informasi Geografi (SIG)
Banyak ahli yang mendefinisikan mengenai SIG, namun jika hal tersebut
dirangkum, maka pada intinya SIG merupakan sebuah sistem untuk memasukkan,
mengelola, menyimpan, memroses, menganalisis dan menyajikan data yang
terkait dengan permukaan bumi (Burrough dan McDonnell 1998; Barus dan
Wiradisastra 2000). Sebagai suatu sistem, SIG mempunyai banyak elemen
penyusun, dan antar elemen tersebut saling berhubungan dan bekerjasama untuk
melakukan suatu proses atau kegiatan. Sebagai Sistem informasi, SIG terbentuk
dalam suatu jaringan antara perangkat keras dan lunak yang dapat menjalankan
operasi-operasi mulai dari pemasukan, pengolahan, penyimpanan hingga ke
penyajian hasilnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu atau untuk mendapatkan informasi dalam rangka pengambilan keputusan.
Kata Geografi menunjukkan bahwa data yang digunakan serta hasil
pengolahannya mempunyai referensi keruangan di permukaan bumi atau
Operasi-operasi dalam SIG menjadi jauh lebih efisien, akurat dan
interaktif karena berbasiskan sistem komputer yang didukung kemajuan
teknologi. Kemampuan untuk memanipulasi data spasial dan mengaitkannya
dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data
dalam suatu análisis juga semakin meningkat (Barus dan Wiradisastra 2000).
Kemampuannya menganalisis spasial secara cepat menjadikan SIG sebagai sistem
yang dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, deteksi perubahan dan análisis,
pemodelan keputusan dan análisis lainnya.
Kajian wilayah dengan penerapan metode SIG untuk satu atau beberapa
tujuan tersebut telah banyak digunakan di Indonesia dewasa ini. Emilda (2008)
menggunakan metode SIG dan HEC-HMS untuk membantu simulasi guna
mendapatkan arahan penggunaan lahan yang optimal dalam menurunkan erosi
tanah dan aliran permukaan di sub-sub DAS Cisadane Hulu. Sukondi (2006)
menggabungkan metode SIG dengan USLE untuk menganalisis data spasial
dalam rangka perencanaan penggunaan lahan berbasis konservasi tanah, seperti
yang dilakukan di sub DAS Ciasem Hulu. Broto (2009) menggunakan SIG yang
dipadukan dengan USLE dan regresi untuk melihat perubahan penggunaan lahan
dan membantu menganalisis secara keruangan dalam proses penyusunan tata
ruang kawasan DTA Waduk Batutegi, sedangkan perumusan arahan strategi
pengembangan dan pengelolaan ruangnya menggunakan metode SWOT dan
QSPM.
2.5 Model AVGWLF (Arc View Generalized Watershed Loading Functions)
Kebutuhan data dan informasi mengenai karakteristik hidrologi suatu
DAS sangat dibutuhkan untuk pengelolaan DAS atau penataan ruang. Di sisi lain
ada keterbatasan dalam hal waktu, biaya, peralatan ataupun lainnya dalam
pemantauan atau pengumpulan data di lapangan, apalagi untuk rentang waktu
yang lama. Salah satu metode yang saat ini banyak digunakan oleh para ahli
adalah pemodelan terhadap DAS. Dalam dua dekade terakhir ini, pemodelan DAS
lebih berkembang lagi dengan diintegrasikannya metode Sistem Informasi
AVGWLF adalah model simulasi DAS yang merupakan integrasi antara
model matematis GWLF (Generalized Watershed Loading Functions) dengan
model spasial SIG (Evans et al. 2008). GWLF yang merupakan inti model,
awalnya dibangun oleh Haith dan Shoemaker tahun 1987. Pada tahun 2002
dikembangkan software-nya oleh Evans dan rekan-rekannya dari Universitas
Pensylvania untuk diintegrasikan dengan perangkat lunak Arc View dan telah
diuji secara luas di Amerika dan di tempat lain.
Model AVGWLF merupakan model hidrologi lumped, dengan distribusi
spasial melalui pembagian sebuah DAS ke dalam sub DAS atau sub-sub DAS.
Model ini mentransformasi curah hujan (input) ke dalam aliran permukaan
(output) dengan konsep bahwa semua proses dalam seluruh Sub DAS atau DAS
terjadi pada satu titik spasial. Model ini tidak secara spasial menjelaskan
distribusi daerah-daerah (sel-sel/grid-grid) sumber, tetapi hanya agregat muatan
dari masing-masing daerah sumber (sub-sub DAS/sub DAS) menjadi total Sub
DAS atau DAS.
Model AVGWLF menyediakan kemampuan untuk mensimulasikan
volume limpasan permukaan, sedimen, dan unsur hara (N dan P) yang dihasilkan
dari berbagai sumber-sumber area (non point sources) di suatu DAS. Model ini
juga memiliki algoritma untuk menghitung muatan sistem septik dan masuknya
muatan dari sumber-sumber titik. Prakiraan kuantitas limpasan permukaan
disimulasikan secara kontinyu setiap hari menggunakan data curah hujan dan
suhu udara harian. Hasilnya diakumulasi ke dalam satuan waktu bulanan dan
tahunan.
Data masukan yang disyaratkan yaitu, sumber dan transpor runoff dan
parameter kimia. Paramater transpor meliputi area, bilangan kurva runoff, dan
faktor erosi (R,K,L,S,C, dan P) untuk setiap area sumber runoff. Luaran yang
dihasilkan oleh AVGWLF dan digunakan dalam penelitian ini adalah prakiraan
tinggi aliran permukaan, tinggi aliran sungai, banyaknya tanah tererosi dan hasil
2.6 Prakiraan Jumlah Aliran Permukaan
Air hujan yang jatuh dalam suatu DAS akan menjadi runoff atau
mengalami evaporasi. Runoff, sebagai sumber aliran sungai, merupakan gabungan
dari empat komponen aliran yaitu channel runoff, surface runoff, sub surface flow
dan base flow. Channel runoff adalah curah hujan yang jatuh langsung di
permukaan air sungai. Jumlahnya bervariasi tergantung pada intensitas hujan,
namun proporsinya sangat sedikit dalam hidrograf banjir. Surface runoff adalah
aliran di atas permukaan tanah yang terjadi ketika jumlah curah hujan yang jatuh
melebihi jumlah air terinfiltrasi. Jumlahnya sangat besar dalam hidrograf banjir,
dan berpengaruh penting terhadap puncak banjir. Sub surface flow terjadi ketika
air hujan terinfiltrasi mencapai lapisan berdaya transmisi lebih kecil atau
impermeabel, kemudian mengalir secara lateral atau horizontal dan muncul di
permukaan tanah sebagai rembesan atau mata air. Aliran ini terjadi pada saat
hujan berlangsung hingga setelah hujan berhenti. Base flow adalah aliran yang
relatif stabil yang berasal dari simpanan alami. Dalam pergerakan aliran air dari
hujan menuju sungai sebagai baseflow, membutuhkan waktu beberapa hari,
minggu atau bulan. Ketiga jenis aliran yang disebut pertama biasa dikenal dengan
direct runoff.
Aplikasi AVGWLF menggunakan metode Bilangan Kurva (SCS -
Curve Number) untuk menghitung tinggi aliran permukaan. Metode ini
dikembangkan oleh US Soil Conservation Service. Metode ini mengkaitkan
karakteristik DAS seperti jenis tanah, vegetasi, dan pengelolaan lahan dengan
bilangan kurva aliran permukaan CN (runoff curve number) yang menunjukkan
potensi aliran permukaan untuk curah hujan tertentu (Asdak 2004). Bilangan
Kurva tidak mempunyai satuan dan nilainya berkisar antara 0 hingga 100.
Semakin tinggi nilai Bilangan Kurva semakin tinggi pula potensi terjadinya
limpasan permukaan.
Metode Bilangan Kurva didasarkan pada 3 asumsi, yaitu :
1. Jumlah air maksimum yang dapat ditahan dalam DAS (S) merupakan
2. Perbandingan antara simpanan aktual dalam tanah (F) terhadap simpanan
maksimum potensial (S) sama dengan perbandingan antara runoff (Q)
terhadap hujan (P) dikurangi abtsraksi awal (Ia).
3. Harga abstraksi awal (Ia) linier terhadap penahanan air maksimum potensial
(S), dengan fungsi, Ia = 0,2S. Artinya 0,2 dari nilai penahanan maksimum
potensial digunakan untuk mencukupi harga abstraksi awal sebelum
terjadinya limpasan permukaan, 0,8 sisanya merupakan infiltrasi yang terjadi
setelah limpasan permukaan.
Limpasan permukaan dihitung berdasarkan data cuaca harian dengan
persamaan :
dengan
di mana, S adalah Parameter Retensi, CN adalah Curve Number, P adalah tebal
hujan (mm) dan Q adalah tebal limpasan permukaan (mm). Tebal hujan dihitung
berdasarkan data tebal hujan harian.
2.7 Prakiraan Erosi dan Hasil Sedimen
Sedimen merupakan hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi
parit, maupun erosi tanah lainnya (Asdak 2004; Arsyad 2006). Erosi disebabkan
oleh tenaga kinetis hujan dan aliran permukaan. Tenaga kinetis tersebut
melepaskan partikel tanah dari agregatnya serta mengangkutnya menuju ke
tempat yang lebih rendah dan terendapkan atau masuk ke dalam tubuh air. Dalam
proses transportasinya di dalam saluran/sungai, sedimen terbawa dalam dua
bentuk yaitu sedimen melayang (suspended sediment) dan sedimen dasar (bed
load). Hal ini dipengaruhi oleh ukuran partikelnya. Hasil sedimen (sediment
yield) biasanya hanya diperoleh dari pengukuran sedimen melayang dalam sungai
dapat menjadi indikator banyaknya erosi dan sedimen dasar di DAS dengan
topografi bergunung (Keller 1991).
Demikian pula dalam penentuan kelas kualitas air untuk berbagai
peruntukan, persyaratan yang diminta adalah parameter sedimen melayang saja.
Hal ini disebabkan sedimen melayang lebih dominan mempengaruhi kualitas air
karena mengandung partikel-partikel dan zat hara atau bahan lain yang dapat
mencemari air. Sedimen melayang meskipun pada umumnya tidak bersifat racun,
namun bila berlebihan akan berpengaruh pada tingkat kekeruhan, penetrasi
cahaya matahari, temperatur, dan kandungan oksigen dalam perairan, sehingga
dapat menyebabkan kerugian-kerugian lainnya.
Berdasarkan ukuran partikelnya, pengukuran sedimen melayang
dibedakan ke dalam 2 kelompok, yaitu Total Suspended Solid (TSS) dan Total
Disolved Solid (TDS). TSS menyatakan besarnya jumlah partikel organik dan
non-organik yang terlarut dalam kolom perairan. Partikel-partikel tersebut merupakan
bahan-bahan tersuspensi dengan diameter > 1 µ m. Partikel tersuspensi tersebut
terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik yang terutama
disebabkan oleh erosi tanah yang terbawa ke badan air. Saat pengukuran di
laboratorium, partikel yang tertahan pada filter dengan ukuran pori 0,45 µ m
dimasukkan dalam kelompok TSS. Adapun TDS merupakan konsentrasi jumlah
ion bermuatan positif (kation) dan bermuatan negatif (anion) yang terlarut dalam
air. Bahan-bahan penyusunnya dapat mencakup antara lain golongan karbonat,
bikarbonat, klorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium magnesium, natrium, ion organik
dan ion lainnya. Oleh sebab itu TDS merupakan parameter penting dalam
penentuan kualitas air. Di laboratorium partikel yang lolos dari filter dengan
ukuran pori 0,45 µm dimasukkan dalam TDS.
Faktor-faktor fisik DAS yang mempengaruhi banyaknya sedimen yang
masuk ke perairan adalah tanah, iklim, topografi, vegetasi dan cara
pengelolaannya, serta kerapatan saluran/sungai (Asdak 2004). Tanah sebagai
sumber sedimen mempunyai karakteristik berupa kepekaan terhadap erosi atau
erodibilitas tanah. Terdapat hubungan yang kuat antara erodibilitas tanah dengan
iklim yang penting dalam mempengaruhi besarnya sedimen yang masuk ke
perairan adalah rata-rata curah hujan tahunan (Ludwig dan Probst 1996; Sharma
1996). Energi kinetik hujan yang dapat mendispersi agregat tanah ditentukan oleh
intensitas dan tebal hujan. Curah hujan juga menghasilkan limpasan permukaan
yang sangat berperan pula dalam pelepasan dan pengangkutan sedimen dari
partikel tanah. Kemiringan lereng DAS merupakan parameter topografi yang
paling berpengaruh terhadap jumlah sedimen yang terbawa, karena parameter
tersebut sangat menentukan jumlah dan kecepatan aliran permukaan (Ludwig dan
Probst 1996; Sharma 1996).
Peranan penutup lahan terhadap banyaknya sedimen yaitu mengurangi
pengaruh daya dispersi pukulan air hujan dan topografi terhadap erosi dengan
cara merubah butir-butir hujan menjadi air yang terintersepsi. Vegetasi, akar-akar
dan proses biologi yang berkaitan dengan pertumbuhannya mempengaruhi
stabilitas struktur dan porositas tanah (Arsyad 1989). Selain itu vegetasi juga
dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi karena menyerap kandungan air tanah,
sehingga volume aliran permukaan menjadi berkurang (Mingguo et al. 2007).
Besarnya sedimen yang masuk ke sungai ditentukan juga oleh faktor
manusia melalui cara mereka mengelola lahan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (Asdak 2004). Pengelolaan lahan yang dimaksud adalah tindakan secara
fisik, seperti cara bercocok tanam, usaha konservasi tanah dan lain sebagainya.
Cara pengelolaan tersebut dapat mencegah atau menambah produksi sedimen
karena proses erosi.
Aplikasi AVGWLF memprakirakan besarnya hasil sedimen pada dasarnya
menggunakan pendekatan model jumlah tanah tererosi dan metode Sedimen
Delivery Ratio (SDR). Persamaan dasar matematisnya adalah sebagai berikut :
S = A.SDR ... (3)
di mana S adalah hasil sedimen (mg), A adalah banyaknya tanah yang tererosi
(ton/ha/th); dan SDR adalah nisbah pelepasan sedimen / sedimen delivery ratio.
Equation (USLE). Nilai SDR ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan
antara luas DAS dan besarnya SDR. Nilai SDR dapat diketahui apabila luas DAS
yang diteliti sudah diketahui, setelah diplotkan ke dalam grafik tersebut. Nilai A
diperoleh dengan persamaan dasar :
A = R.K.L.S.C.P ... (4)
di mana R adalah faktor erosivitas curah hujan dan limpasan permukaan; K
adalah faktor erodibilitas tanah; L adalah faktor panjang lereng; S adalah faktor
gradien kemiringan lereng; C adalah faktor pengelolaan/cara bercocok tanam; dan
P adalah praktek konservasi tanah (secara mekanik).
2.8 Analytic Hierarchy Process (AHP)
AHP merupakan salah satu metode untuk membantu menyusun prioritas
dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi kriteria).
Metode ini mula-mula dikembangkan oleh Thomas L. Saaty sekitar tahun
1970-an. Model pendukung keputusan ini menguraikan masalah multifaktor atau multi
kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Hirarki dapat menguraikan masalah
yang kompleks ke dalam kelompok-kelompoknya secara berjenjang sehingga
permasalahan menjadi terstruktur dan sistematis. Dalam perkembangannya AHP
dapat digunakan untuk menganalisis penggunaan lahan dan kesesuaian lahan
secara komprehensif, yang mempertimbangkan aspek biofisik, ekonomi, dan
sosial (Baja 2002).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata
dalam bentuk hirarki (Marimin 2004). Selanjutnya, tingkat kepentingan setiap
variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel
tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai
pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel
yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada
Metode AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu:
a. Dekomposisi.
Berdasarkan prinsip ini, struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi
bagian-bagian secara hirarki. Tujuan didefinisikan dari yang umum sampai ke
khusus. Dalam bentuk yang paling sederhana struktur akan dibandingkan
tujuan, kriteria dan level alternatifnya. Tiap himpunan alternatif mungkin akan
dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detil, mencakup lebih banyak
kriteria yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri
atas satu elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di
mana elemen-elemen tersebut bisa dibandingkan, memiliki kepentingan yang
hampir sama dan tidak memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Jika
perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level baru.
b. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgements)
Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua
elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari
elemen. Penilaian menghasilkan skala penilaian yang berupa angka.
Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan
menghasilkan prioritas.
c. Sintesa Prioritas
Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan
prioritas dan kriteria bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke
tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya merupakan
gabungan atau dikenal dengan prioritas global yang kemudian untuk
III METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Pendekatan wilayah fungsional Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat sesuai
untuk pengelolaan ruang darat yang terkait dengan permasalahan lahan dan
sumber daya air, karena terdapat keterkaitan yang erat antar komponen biotik dan
abiotik dalam satu kesatuan ekosistem DAS. Di samping itu juga terdapat
keterkaitan antara wilayah bagian hulu, tengah dan hilir melalui daur hidrologi.
Bagian hulu sebagai daerah konservasi berfungsi melindungi seluruh bagian
DAS, terutama bagian tengah dan hilir sebagai daerah pemanfaatan. Oleh sebab
itu pengaturan penggunaan lahan di bagian hulu menjadi penting karena
mempengaruhi seluruh bagian DAS. Dengan demikian tujuan penataan ruang
dapat dicapai tanpa menimbulkan degradasi lahan dan air atau menimbulkan efek
eksternalitas.
Sub DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu kawasan yang penting
secara ekologis dalam melindungi daerah-daerah penyangga ibukota negara yaitu
Kabupaten Bogor dan Tangerang serta Kota Tangerang dan Tangerang Selatan,
karena berada dalam satu kesatuan ekosistem DAS Cisadane. Di sisi lain, Sub
DAS Cisadane Hulu juga berperan langsung menyangga daerah itu sendiri dan
sekitarnya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Adanya konflik kepentingan
antar berbagai bidang yang dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk
menyebabkan permasalahan di bidang sumber daya lahan seperti meningkatnya
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaiannya.
Pemanfaatan lahan yang tidak tepat selanjutnya berimplikasi terhadap
masalah-masalah keairan di seluruh DAS Cisadane. Untuk itu perlu adanya kajian tentang
arahan penggunaan lahan di DAS Cisadane khususnya bagian hulu.
Kajian mengenai arahan penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu
didasarkan pada permasalahan keairan yang terjadi saat ini. Permasalahan yang
muncul dan telah melampaui batas aman yaitu limpasan permukaan dan
diidentifikasi faktor-faktor penyebabnya dan sebaran lokasi sumbernya untuk
dapat ditangani dengan tepat.
Koefisien limpasan merupakan indikator kuantitas sumber daya air di
suatu DAS, yaitu menunjukkan bagian air hujan yang mengalir sebagai limpasan
permukaan. Tinggi rendahnya nilai koefisien limpasan dipengaruhi oleh kondisi
fisik DAS seperti curah hujan, jenis tanah, dan penggunaan lahannya. Ketiga
faktor tersebut dapat ditentukan nilainya berdasarkan data primer atau sekunder
yang ada di daerah penelitian. Dari ketiga faktor tersebut besarnya volume aliran
permukaan dihitung menggunakan metode Bilangan Kurva. Hasilnya dapat
digunakan untuk melihat kinerja DAS saat ini dan prediksinya pada saat yang
akan datang serta melihat sebaran daerah-daerah penyumbang limpasan
permukaan.
Indikator kualitas air ditunjukkan oleh salah satunya yaitu kandungan
sedimen dalam limpasan permukaan. Banyaknya sedimen di dalam limpasan
permukaan sangat dipengaruhi oleh iklim, jenis tanah, lereng, penggunaan lahan
beserta pengolahannya dan Sediment Delivery Ratio (SDR). Pendugaan besarnya
kandungan sedimen yang terbawa melalui limpasan permukaan dilakukan dengan
metode USLE dan SDR. Hasil perhitungan tersebut digunakan untuk melihat
kinerja DAS saat ini dan prediksinya untuk saat yang akan datang serta melihat
sebaran daerah penyumbang sedimen dalam limpasan permukaan.
Hasil analisis tersebut di atas, digunakan sebagai dasar penyusunan arahan
penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane. Arahan ditujukan untuk mendapatkan
penggunaan lahan yang menghasilkan respon hidrologis yang paling baik. Hasil
yang diharapkan dari arahan penggunaan lahan DAS bagian hulu adalah
tersedianya air yang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. Memadai
secara kuantitas ditunjukkan dengan rendahnya perbandingan antara volume
limpasan permukaan terhadap volume air hujan, namun masih mencukupi untuk
berbagai kebutuhan. Memadai secara kualitas ditunjukkan oleh kandungan
sedimen yang rendah menurut peraturan yang berlaku. Kerangka pemikiran dalam
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di DAS Cisadane Hulu, dan secara administrasi
sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bogor, dan sebagian lainnya berada Banjir dan
Kekeringan
Arahan Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu Simulasi Penggunaan Lahan
( Perbandingan skenario ) Kinerja sub-sub DAS
saat ini
Skenario Terbaik Permasalahan hidrologis
Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu
Pencemaran Sedimen
Evaluasi Penggunaan Lahan
Prediksi jumlah aliran permukaan dan indikatornya (Model)
di Kota Bogor, Jawa Barat, seperti terlihat pada Gambar 2. Waktu penelitian
dilakukan bulan Februari hingga Desember 2012.
Gambar 2 Lokasi penelitian.
3.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000, Citra ALOS AVNIR resolusi 10 m tahun 2010,
Peta Batas sub DAS Cisadane Hulu dan sub-sub DASnya skala 1:50.000, Peta
Tanah skala 1 : 250.000, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Bogor Tahun 2005-2025 skala 1:100.000 dan Peta RTRW Kota Bogor Tahun
2010-2029 skala 1:50.000, data Digital Elevation Model (DEM) SRTM resolusi
30 x 30 m, data curah hujan harian, data suhu maksimum dan minimum harian
tahun 2010, dan data hasil kuesioner.
Alat yang digunakan adalah GPS, kamera digital dan seperangkat komputer
yang dilengkapi dengan software : AVGWLF (Arc View Generalized Watershed
3.4 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu
data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari peta penggunaan lahan dan
persepsi masyarakat terhadap penggunaan lahan yang optimal. Peta penggunaan
lahan diperoleh dengan cara interpretasi citra ALOS AVNIR tahun 2010 dan cek
lapangan. Data persepsi masyarakat dikumpulkan melalui kuesioner yang
diberikan kepada 7 responden dengan pertimbangan responden adalah
aktor/pengguna lahan yang dianggap memiliki keahlian atau kemampuan dan
mengerti permasalahan terkait serta yang mempengaruhi pengambilan kebijakan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketujuh responden tersebut berasal
dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung, Dinas
Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor, Badan Lingkungan Hidup Daerah
(BLHD) Kabupaten Bogor, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA)
Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), masyarakat dari Kawasan Penyangga, dan dari Kawasan Budidaya.
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui permintaan data atau
pembelian data di instansi-instansi yang menjadi walidata setiap bahan/data yang
digunakan yaitu: Peta RBI dan SRTM di Badan Informasi Geospasial, Peta Tanah
di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian-Kementerian Pertanian, data hujan dan suhu di Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika atau BPSDA Wilayah Sungai Citarum-Cisadane-Kementrian PU,
Peta Pola Ruang RTRW di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab/Kota
Bogor, dan data kependudukan dan administrasi di BPS Kab/Kota Bogor.
3.5 Metode Analisis Data
3.5.1 Pengolahan Data Awal
Pengolahan data awal merupakan pengolahan data untuk menyediakan
data baru berupa data turunan dari data dasar atau raw data yang akan digunakan
dalam analisis utama. Data hasil pengolahan data awal terdiri dari:
a) Data penggunaan lahan, diperoleh dari interpretasi citra ALOS AVNIR tahun
sumber-sumber lainnya. Interpretasi penggunaan lahan dilakukan secara visual
dengan teknik konvergensi bukti untuk mengenali suatu obyek (penggunaan
lahan). Konvergensi bukti merupakan teknik pengenalan suatu obyek yang
didasarkan atas sebanyak-banyaknya penerapan unsur-unsur interpretasi citra.
Unsur interpretasi adalah karakteristik obyek yang tergambar dalam citra dan
digunakan untuk mengenali obyek. Terdapat delapan unsur interpretasi citra
yaitu, rona dan warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, asosiasi.
Penggunaan lahan yang ada diklasifikasikan menurut Klasifikasi Penggunaan
Lahan yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional Nomor SNI
7645:2010 untuk skala peta 1 : 50.000. Hasil interpretasi citra diuji
ketelitiannya untuk melihat sejauh mana kesesuaiannya dengan data
lapangan. Metode sampling yang digunakan adalah stratified sampling.
Metode uji ketelitian yang digunakan adalah metode Confusion Matrix
Calculation (Short 1994). Metode ini menyusun perbandingan hasil
interpretasi citra dengan hasil cek lapangan dalam suatu matriks kesalahan
(Confusion Matrix). Metode ini dapat menghasilkan nilai yang menunjukkan
ketelitian hasil interpretasi dalam Overall Accuracy (OA) dan Kappa
Accuracy (KA).
b) Data sub DAS dan sub-sub DAS, diperoleh dari analisis data SRTM yang
didetilkan dengan data garis kontur dari peta RBI skala 1:25.000.
Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Arc-GIS 9.3 dengan Spatial
Analyst tools-Hydrology. Hasilnya berupa poligon Sub DAS Cisadene Hulu
dan 44 sub-sub DAS.
c) Data isohyet, diperoleh dari data curah hujan rata-rata tahunan 12 stasiun
yang ada di dalam dan di sekitar sub DAS Cisadane Hulu. Pengolahan data
menggunakan perangkat lunak Arc-GIS 9.3 dengan Spatial Analyst
tools-Interpolation-Spline.
d) Data kemiringan lereng, diturunkan dari DEM SRTM daerah sub DAS
Cisadane Hulu dan sekitarnya menggunakan Spatial Analyst tools-Slope.
e) Data tanah yang digunakan mempunyai skala 1:250.000, secara spasial tidak
penelitian ini. Perbaikan kualitas data dilakukan pada atributnya yaitu dengan
mengambil data yang lebih detil dari penelitian sebelumnya.
3.5.2 Metode Pengolahan Data Utama
3.5.2.1 Parameter Kinerja sub-sub DAS Aktual
Empat parameter yang digunakan untuk melihat kinerja DAS yang
menjadi sasaran, yaitu Indeks Penggunaan Lahan (IPL), koefisien limpasan (C),
Indeks Bahaya Erosi (IBE) dan kadar sedimen (SC). Nilai IPL dan C merupakan
indikator kriteria kuantitas air, sedangkan IBE dan parameter IBE dan kadar
sedimen merupakan indikator kriteria kualitas air. Nilai parameter tersebut
kemudian dikelaskan dan diberi skor. Skor keempat parameter tersebut kemudian
dijumlahkan, dan jumlah skor tersebut digunakan untuk mengkelaskan kinerja
DAS yang bersangkutan.
Parameter IPL diperoleh dari perbandingan antara luas lahan bervegetasi
permanen dengan luas sub-sub DAS. Lahan bervegetasi permanen yang
dimaksudkan adalah tanaman tahunan seperti hutan dan perkebunan yang dapat
berfungsi lindung seperti perkebunan campuran. Lahan tersebut diperoleh dari
peta penggunaan lahan. Persamaan yang digunakan adalah :
………(1)
di mana IPL : Indeks Penggunaan Lahan, LVP : luas lahan bervegetasi permanen
(ha), LDAS : luas DAS yang menjadi sasaran (ha). Adapun klasifikasi dan skor IPL
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Klasifikasi nilai IPL
No Nilai IPL (%) Kelas Skor
1 > 75 Baik 1
2 30 – 75 Sedang 2
Nilai C diperoleh dari perbandingan antara tebal aliran permukaan dan
tebal hujan. Persamaan untuk menghitung nilai tersebut adalah :
di mana C : banyaknya curah hujan yang menjadi aliran permukaan, Qtahunan :
tebal aliran permukaan tahunan (cm), Ptahunan : tebal curah hujan tahunan (cm).
Klasifikasi nilai C disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi nilai C
No C Kelas Skor
1 < 0,25 Baik 1
2 0,25 – 0,50 Sedang 2
3 0,51 – 1,0 Buruk 3
IBE diperoleh dengan membandingkan antara erosi aktual dengan erosi
yang ditoleransi. Persamaan untuk menghitung nilai tersebut adalah :
di mana koefisien IBE : indeks bahaya erosi, A : erosi aktual (ton/ha/th), T : erosi
yang masih diperbolehkan (ton/ha/th). Klasifikasi nilai IBE disajikan pada Tabel
4.
Tabel 4 Klasifikasi nilai IBE
No IBE Kelas Skor
1 < 1 Baik 1
2 > 1 Buruk 3
Kadar sedimen merupakan banyaknya sedimen yang terdapat pada aliran