• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma Aeruginosa Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih Melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin Il-2 Dan Il-12

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma Aeruginosa Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih Melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin Il-2 Dan Il-12"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

NUR HASANAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL TEMU IRENG (Curcuma aeruginosa

Roxb) TERHADAP IMMUNOSURVEILLANCE TIKUS PUTIH

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin IL-2 dan IL-12 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

(4)

RINGKASAN

NUR HASANAH. Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin IL-2 dan IL-12. Dibimbing oleh Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc dan Dr. Agung Eru Wibowo, M.Si, Apt.

Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hilangnya mekanisme kontrol normal yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel sehingga menyebabkan pembelahan sel secara tidak terkendali dan akhirnya membentuk sebuah benjolan yang disebut tumor (Sakar dan Mandal 2011). Berdasarkan data WHO 2014, kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler Metode pengobatan kanker saat ini umumnya menggunakan pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi dan imunoterapi. Beberapa kendala dalam pengobatan kanker diantaranya harga obat yang mahal dengan tatalaksana yang rumit (terkait alat dan keahlian petugas medis), adanya efek samping terhadap kesehatan (Ranasasmita 2008). Senyawa aktif temu ireng memiliki peran utama dalam pencegahan, penghambatan karsinogenesis serta memiliki efek antioksidan, antiinflamasi dan mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan sel tumor MCF-7 pada manusia (Liu et al. 2014)

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Sebanyak 48 tikus dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan yaitu kontrol normal, kontrol (-) DMBA, kontrol (+) Meniran, PTI-1, PTI-2 dan PTI-3 yaitu pemberian temu ireng dengan 3 variasi dosis (40mg/200g BB, 80mg/200g BB dan 160mg/200g BB). Penelitian ini dimulai dari pemberian ekstrak temu ireng melalui pendekatan preventif yaitu 2 minggu sebelum masa induksi DMBA sampai akhir perlakuan. Induksi DMBA dilakukan pada minggu ketiga dan keempat. Analisis dilakukan terhadap organ limpa dan plasma darah. Pengamatan terhadap organ limpa dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Plasma darah digunakan untuk menentukan kadar IL-2 dan IL-12 dengan menggunakan teknik ELISA

Hasil uji statistik dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara indeks limpa pada t2 dan t3. Namun berdasarkan rerata indeks limpa terlihat adanya pembengkakan pada kelompok DMBA pada t2 dan pada kelompok DMBA, Meniran dan PTI-1 pada t3, yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks limpa yang signifikan dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Hasil analisis terhadap diameter zona marginalis, pulpa putih dan centrum germinal menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara PTI-2 terhadap perlakuan DMBA (P<0.05) pada t2 dan t3. Hasil pengamatan kadar 2 dan IL-12 menunjukkan terjadi peningkatan kadar IL-2 dan IL-IL-12 akibat induksi DMBA namun pada waktu terminasi (t3) tidak terjadi peningkatan IL-2 dari t0 ke-3 sedangkan pada pengamatan IL-12 terjadi peningkatan dari t2 ke t3.

Berdasarkan insidensi tumor diperoleh bahwa kelompok PTI-2 (80mg/200g BB) lebih efektif menghambat pertumbuhan tumor dibandingkan PTI-1 (dosis 40mg/200g BB) dan PTI-3 (160mg/200g BB). Kelompok PTI-2 mampu menurunkan insidensi tumor hingga 50%.

(5)

SUMMARY

NUR HASANAH. Activity ofTemuIreng Extracts (Curcuma aeruginosaRoxb) toward WhiteRats Immunosurveillance through Spleen Histopathology, Cytokines Level IL-2 and IL-12. Supervised by I Made Artika and Kurnia Agustini

Cancer is a disease characterized by the loss of control mechanisms that regulate the proliferation and differentiation of the cell, causing uncontrolled cell division and eventually form a swelling called a tumor. According to WHO in 2014, cancer is a second place that caused of death after cardiovascular disease worldwide. Cancer treatment method is generally use surgery, radiation therapy, chemotherapy and immunotherapy. Some of the obstacles in the treatment is expensive drug and has an adverse effects on the body. Curcuma aeruginosa Roxb known as Temu ireng in Indonesia. This plant has an active compound and take a role in the prevention, inhibition and reverse of carcinogenesis.

The research design was completely randomized design ( CRD ). Rats were divided into 6 treatment groups, each groups consisted of 8 mice. Groups consisted of normal control, control (-) DMBA, control (+) Meniran, and Temu Ireng treatment i.e. PTI-1 (40mg/200g BW), PTI-2 (80mg/200g BW) and PTI-3 (160mg/200g BW). Temu ireng extracts dissolved into CMC-Na and administered one week before DMBA induction as preventive treatments. Furthermore, the extracts was continued given during DMBA until the end of research. Plasma was collected at four different times; t0 (before treatments), t1 (one week after preventive treatmens), t2 (one week after DMBA induction) and t3 (at the end of research). Macroscopic and microscopic analisys toward spleen was done at t2 and t3. Parameters were used is characteristic and weight ratio of the spleen, germinal zone, white pulp and centrum germinativum. Whereas Interleukin-2 (IL-2) and Interleukin-12 (IL-1(IL-2) was measured by ELISA assay.

Results of statistical test by Kruskal Wallis test showed that there is no significant difference between the index of spleen at t2 and t3. However, based on index averages, there is visible sweeling on DMBA, Meniran and PTI-2 compared to other treatments. Analysis toward marginal zone, white pulp and centrum germinativum revealed that there is significant difference between DMBA and PTI-2 (P<0.05) at t2 and t3. Generally, level of IL-2 and IL-12 increased from t0 to t3. All treatments showed the excalation of IL-2 from t0 to t3. Whereas, IL-12 only increase at t2 to t3. To sum, based on these results and tumor incidence from all treatments, the effective dose in increasing immunosurveillance was PTI-2 with dose 80mg/200g BW. This group (PTI-2) also be able to reduce the tumor incidence up to 50%.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB dan BPPT, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB dan BPPT.

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biokimia

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL TEMU IRENG (Curcuma aeruginosa

Roxb) TERHADAP IMMUNOSURVEILLANCE TIKUS PUTIH

MELALUI HISTOPATOLOGI LIMPA, KADAR SITOKIN IL-2 DAN IL-12

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) terhadap Immunosurveillance Tikus Putih melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin IL-2 dan IL-12

Nama : Nur Hasanah NRP : G851140091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc Ketua

Dr. Agung Eru Wibowo, M.Si, Apt Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biokimia

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr. Ir. Nahrowi, MSc

Tanggal Ujian:

(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Penelitian ini berjudul ”Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) terhadap Immunosurveillance Tikus Putih melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin IL-2 dan IL-12”. Penelitian ini berlangsung selama 7 bulan, yaitu Mei hingga Desember 2015 di Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAP) Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas izin yang Maha Kuasa dengan perantara bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. I Made Artika M.App.Sc dan Dr. Agung Eru Wibowo, M.Si, Apt sebagai pembimbing dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan, bantuan, arahan selama penelitian dan penulisan. Penulis juga ucapakan terimaksih kepada Ibu Prof. DR. drh. Maria Bitang, MS sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan saran dalam penulisan. Selanjutnya terimakasih juga penulis sampaikan kepada: Dr. Sriningsih M.Si, Asri Sulfianti MBiomed, Soufa Malita S.Pd, Mujibur Rahman S.Si, Joelham, Dea yang selalu membantu dalam penelitian ini baik berupa teknis maupun analisis. Ucapan terimaksih kepada kedua orang

tua, suami tercinta (Fadly Putrajaya), putriku (Nashwa Lu’Lu Muthmainnah) dan

putraku (Ibrahim Azzami A’la Al-faqih) yang senantiasa memberikan do’a, pengertian dan motivasi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada tim peneliti Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAP).

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang yang memerlukan khususnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dibidang biokimia dan imunologi.

(11)

DAFTAR ISI

(12)

DAFTAR PUSTAKA 29 LAMPIRAN 36

(13)

DAFTAR TABEL

1 Pembagian Kelompok Hewan Coba 5

2 Jumlah Penambahan Standar IL-2 7

3 Jumlah Penambahan Standar IL-12 7

4 Indeks Limpa Tikus pada t2 10

5 Indeks Limpa Tikus pada t3 11

6 Diameter zona marginalis tikus pada t2 dan t3 13

7 Diameter pulpa putih tikus pada t2 dan t3 14

8 Diameter centrum germinal tikus pada t2 dan t3 15 9 Kadar IL-2 pada berbagai perlakuan dan terhadap waktu 17 10 Kadar IL-12 (pg/ml) pada berbagai perlakuan dan terhadap waktu 18

DAFTAR GAMBAR

1 Persen Insidensi 8

2 Multiplisitas Tumor 9

3 Pengamatan limpa secara makroskopis pada t2 9

4 Pengamatan limpa secara makroskopis pada t3 10

5 Indeks limpa pada t2 dan t3 11

6 Histopatologi limpa pada t2 dan t3 13

7 Diameter zona marginalis pada t2 dant3 14

8 Diameter pulpa putih pada t2 dan t3 15

9 Diameter centrum germinal antara t2 dan t3 16

10 Kurva standar IL-2 16

11 Kadar IL-2 antar kelompok perlakuan pada 4 waktu berbeda. 17

12 Kurva standar IL-12 18

13 Kadar IL-12 antar kelompok perlakuan pada 4 waktu berbeda. 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kode etik 35

2 Determinasi tanaman temu ireng 36

3 Alur Penelitian 37

4 Pembuatan larutan CMC-Na 0.5% 37

5 Pembuatan larutan ekstrak Temu Ireng 37

(14)

1 1. PENDAHULUAN

Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hilangnya mekanisme kontrol normal yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel sehingga menyebabkan pembelahan sel secara tidak terkendali yang akhirnya membentuk sebuah benjolan yang disebut tumor (Sakar & Mandal 2011, Katzung 2002). Berdasarkan data WHO 2014, kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler.

Metode pengobatan kanker saat ini umumnya menggunakan pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi (terapi dengan obat-obatan) dan imunoterapi. Beberapa kendala dalam pengobatan kanker diantaranya harga obat yang mahal dengan tatalaksana yang rumit (terkait alat dan keahlian petugas medis), adanya efek samping terhadap kesehatan, lamanya waktu pengobatan dan tingkat kesembuhan yang terkadang sangat rendah pada banyak kasus (Ranasasmita 2008). Upaya pencarian alternatif penanganan kanker perlu dikembangkan, salah satu diantaranya melalui pendekatan kemopreventif (Sharma 2012, Steward dan Brown 2013), yaitu upaya untuk mencegah, menghambat dan menekan karsinogenesis melalui pendekatan farmakologi, biologis dan nutrisi (Steward dan Brown 2013). Target dari kemopreventif adalah melindungi sel normal dari proliferasi sel yang tidak terkontrol, salah satunya dengan cara mengkonsumsi bahan yang mampu mencegah atau menghambat proses terbentuknya kanker dan bersifat imunostimulator (Steward dan Brown 2013).

Indonesia kaya akan tanaman obat yang berpotensi besar untuk dikembangkan. Beberapa tanaman yang telah diketahui sebagai imunostimulan antara lain Echinaceae (Echinacea purpurea), Meniran (Phyllanthus niruri L), Mengkudu (Morinda citrifolia) dan Sambiloto (Andrographis paniculata) (Suhirman dan Winarti [tahun tidak diketahui]). Berdasarkan hasil penelitian BPPT ditemukan bahwa tanaman temu ireng berpotensi sebagai agen anti kanker tehadap tikus yang diinduksi

(15)

2

diproduksinya antibodi dan limfosit, sehingga berperan penting dalam sistem pertahanan terhadap adanya zat asing dalam darah (Mescher 2010). Terdapat dua sistem pertahanan tubuh, yaitu: sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap berbagai jenis antigen, yang merupakan respon terhadap zat asing meskipun tubuh belum pernah terpapar zat tersebut (Kresno 2001). Komponen yang berperan dalam sistem imun non spesifik yaitu: interferon, lisozim, makrofag, leukosit, sel dendritik dan sel NK (Necrosis Killer Cell) (Pediatrician 2012). Sistem imun spesifik merupakan sistem pertahanan tubuh yang bertindak sebagai respon yang ditimbulkan karena adanya antigen tertentu yang sebelumnya pernah terpapar zat asing tersebut (Kresno 2001). Sistem imun spesifik diperankan oleh sel limfosit yang dapat mengenali substansi asing yang masuk ke dalam tubuh. Limfosit terdiri dari limfosit B dan sel limfosit T (Sompayrac 2015). Limfosit T yang bertanggung jawab untuk mengenali adanya substansi asing dan menstimulasi berbagai reaksi imunitas sedangkan limfosit B bertanggung jawab membentuk antibodi spesifik terhadap antigen (Radji dan Biomed 2015).

Terdapat kelompok sitokin yang terlibat dalam mekanisme sistem penyerangan terhadap tumor, yaitu: inteleukin 2 (IL-2) dan interleukin 12 (IL-12). IL-2 menstimulasi proliferasi sel T, sel B, sel NK (Natural Killer), makrofag (Kresno 2001) dan mengaktivasi TNF (Tumor Necrosis Factor) sehingga mampu meningkatkan apoptosis (Ryazantseva et al. 2010). Interleukin-12 merupakan sitokin yang berperan penting dalam memediasi antara sistem pertahanan non spesifik dan sistem pertahanan spesifik (Finley et al. 2011). IL-12 berperan menstimulasi produksi interferon gamma (IFN-γ), menstimulasi pertumbuhan limfosit T kearah Th (T helper), meningkatkan aktivitas sel NK (Smyth et al. 2003).

Immunosurveillance merupakan suatu mekanisme kerja dari sistem imun yang dapat mendeteksi, mengidentifikasi dan menekan pertumbuhan sel tumor berdasarkan ekspresi antigen tumor, sehingga sistem imum mempunyai peran dalam mencegah dan menekan pertumbuhan sel tumor (Sompayrac 2015). Sistem imun yang berperan dalam mencegah dan menekan pertumbuhan sel tumor antara lain: makrofag, limfosit B, limfosit T, T-helper, T-sitotoksik (CTLs), sel NK, IFN-γ, Fas/FasL, perforin yang mampu mengenal antigen tumor dan memperantarai kematian sel tersebut sebelum tumor itu terbentuk (Finn 2006) dengan cara mengidentifikasi sel kanker dan sel prakanker kemudian menghancurkannya sebelum sel itu menjadi berbahaya (Kim et al. 2007). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak temu hitam atau temu ireng terhadap aktivitas imunosurveilans tikus putih yang diinduksi

7,12-Dimethylbenz(α)antrasena (DMBA) melalui pengamatan aktivitas sel limpa, kadar sitokin interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 12 (IL-12) sehingga diharapkan perkembangan penyakit kanker dapat dicegah dan tingkat kematian yang disebabkan penyakit kanker dapat diturunkan.

Rumusan Masalah

(16)

3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganilisis pengaruh pemberian ekstrak temu ireng terhadap aktivitas immunosurveilans tikus putih yang diinduksi DMBA melalui histopalogi limpa, kadar sitokin IL-2 dan IL-12.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis terhadap organ limpa dan analisis kadar IL-2 dan IL-12. Analisis terhadap organ limpa meliputi pengamatan makroskopis dan mikroskopis. Adapun pengamatan secara makroskopis terdiri dari pengamatan berat limpa dan perubahan bentuk limpa, sedangkan pengamatan mikroskopis terdiri dari pengamatan terhadap diameter zona marginalis, diameter pulpa putih dan diameter centrum germinal. Analisis kadar interleukin-2 (IL-2) dan interleukin-12 (IL-12) menggunakan plasma darah tikus dan di uji dengan menggunakan ELISA.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan obat bahan alam khususnya temu ireng yang berperan sebagai obat anti kanker atau kemopreventif melalui perbaikan organ limpa, peningkatan kadar IL-2 dan IL-12.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah ekstrak temu ireng dapat mencegah pembentukan sel tumor dan menghambat pertumbuhannya melalui peningkatan imunosurveilans dengan cara:

1. Mempertahankan keutuhan organ limpa

2. Meningkatkan kadar IL-2 pada tikus yang diinduksi DMBA 3. Meningkatkan kadar IL-12 pada tikus yang diinduksi DMBA

2. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan mulai bulan Mei 2015 sampai bulan Desember 2015. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kawasan Puspitek Serpong.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah: alat-alat gelas, rat sonde peroral, kandang dan kelengkapan hewan coba, Microplate 96 well (costar), mikropipet (eppendorf), alat sentrifuse yang dilengkapi dengan pengatur suhu (Hettich micro 22R, sonikator (Powersonic 410), inkubator (Memmert), ELISA microplate reader, alat bedah, mikroskop cahaya ( Zeiss) yang dilengkapi dengan kamera (Canon)

(17)

4

Jagung. Pakan tikus (diperoleh dari fakultas peternakan IPB) dengan komposisi: jagung, Corn Gluten Meal (CGM), minyak sawit (CPO), CaCO3, DCP, garam, premix dan

tapioca detoxifier (2% Na2S2O3 dalam bufer fosfat pH 8.0), Rat IL-2 ELISA Kit

(Novex), Rat IL-12+p40 ELISA Kit (Invitrogen). Bahan untuk pemeriksaan IL-2 adalah plasma tikus yang telah dihomogenkan,

Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih betina galur wistar dari Biofarma, Bandung. Ethical Clearance diperoleh dari Komite Etik Penelitian FKUI, Salemba. Ekstrak yang digunakan adalah ekstrak etanol tanaman temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) dari koleksi kebun Jamu Martha Tilaar yang diidentifikasi di LIPI.

Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) yaitu satuan percobaan homogen. Tahapan penelitian yang dilakukan terdiri atas persiapan ekstrak temu ireng, adaptasi, induksi ekstrak meniran dan temu ireng, induksi DMBA dan pengambilan darah serta pengambilan organ limpa. Tikus dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan dengan jumlah pengulangan berdasarkan rumus Federer : (t-1)(n-1) ≥ 15 Keterangan:

n : jumlah minimal pengulangan t : jumlah perlakuan

Penyiapan Ekstrak Temu ireng

Ekstrak etanol temu ireng diperoleh dari Laboratorium Eksraksi BPPT PUSPITEK Kawasan Serpong. Ekstrak temu ireng diberikan secara oral pada hewan coba dengan terlebih dahulu dilarutkan dalam CMC-Na 0.5% (500 mg CMC-Na ditakar hingga 1000 ml dengan aquades). Ekstrak temu ireng dibagi kedalam tiga dosis, yaitu PTI-1 ( Perlakuan Temu Ireng dosis I) dengan dosis 40 mg/200g BB, PTI-2 (Perlakuan Temu Ireng dosis 2) dengan dosis, 80 mg/200g BB dan PTI-3 ( Perlakuan Temu Ireng dosis 3) dengan dosis 160 mg/200gBB. Ketiga dosis ini diberikan setiap hari secara oral hingga akhir penelitian atau minggu ke-20.

Penyiapan Hewan Coba

(18)

5 Perlakuan Hewan Coba

Penelitian menggunakan tikus betina galur wistar berumur 5 minggu dengan bobot ± 50 gram dan sehat secara fisik yang ditandai dengan mata jernih, bulu tidak berdiri, bergerak aktif dan tinja tidak lembek. Sebanyak 48 ekor tikus dibagi kedalam 6 kelompok. Adapun pembagian kelompok hewan coba dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pembagian kelompok hewan percobaan

Kode Kelompok Perlakuan n

N Kontrol

normal

Larutan Natrium Karboksil Metil Selulosa (CMC-Na) dari awal hingga akhir penelitian.

8

Mn Kontrol

positif

Ekstrak meniran komersial 40 mg/200g BB selama 1minggu, Induksi DMBA 4 mg/200g BB (5 kali), dan ekstrak meniran komersial hingga akhir penelitian.

8

DMBA Kontrol

negatif

Larutan Natrium Karboksil Metil Selulosa (CMC-Na ) selama 1 minggu, Induksi DMBA 4 mg/200g BB (5 kali), dan CMC-Na hingga akhir penelitian.

Ekstrak temu ireng (40 mg/200g BB selama 1 minggu, Induksi DMBA 4 mg/200g BB (5 kali), dan ekstrak temu ireng (40 mg/200g B) hingga akhir penelitian.

8

PTI-2

Perlakuan temu ireng dosis 2

Ekstrak temu ireng (80 mg/200g B) selama 1 minggu, Induksi DMBA 4 mg/200g BB (5 kali), dan ekstrak temu ireng (80 mg/200g B) hingga akhir penelitian.

Ekstrak temu ireng (160 mg/200g) BB selama 1 minggu, Induksi DMBA 4 mg/200g BB (5 kali), dan ekstrak temu ireng (1600 mg/200g B) hingga akhir penelitian.

8

Penyiapan larutan stok DMBA

Larutan stok DMBA dibuat sebanyak 30 ml untuk 1 kali induksi dengan konsentrasi 4mg/200gBB. Sebanyak 120 mg serbuk DMBA ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung, lalu ditambahkan 10 ml minyak jagung dan dilarutkan menggunakan sonikator. Setelah larut sempurna ditambahkan minyak jagung hingga diperoleh volume 30 ml.

Induksi Ekstrak

(19)

6

Induksi Karsinogenesis dengan DMBA

Senyawa DMBA dengan konsentrasi 4 mg/200g BB yang dilarutkan dengan minyak jagung sampai homogen diinduksi pada tikus. Induksi karsinogen DMBA dilakukan peroral dengan dosis 4 mg/200g BB 3 hari sekali sebanyak 5 kali.

Pengambilan Darah

Darah diambil dari sinus orbital mata kanan atau kiri tikus sebanyak ± 2 cc, kemudian ditampung dalam tabung yang sudah diberikan EDTA sebagai antikoagulan. Kemudian darah disentrifus pada 10000 rpm selama 10 menit, kemudian plasma dipindahkan ke tabung ependorf baru. Pengambilan darah dilakukan 4 waktu, yaitu: pengambilan darah pertama pada saat masa adaptasi (sebelum perlakuan) (t0), pengambilan kedua setelah 2 minggu masa perlakuan sampel (sebelum diinduksi DMBA) (t1), pengambilan ketiga 1 minggu setelah induksi DMBA (t2) dan pengambilan darah keempat pada saat teminasi atau minggu ke-20 (t3).

Pengambilan organ limpa

Tikus dimatikan menggunakan eter atau dislokasi leher, kemudian diletakkan dalam posisi terlentang dan dilakukan proses pembedahan, limpa diambil dan ditimbang lalu ditampung didalam larutan fiksasi asam pikrat (2,4,6- trinitrofenol), setelah di fiksasi selama 24 jam larutan asam pikrat diganti dengan etanol 70% lalu dilakukan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) di jurusan Biologi, FMIPA Universitas Indonesia.

Histopatologi organ limpa

Pengamatan organ limpa dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis meliputi: pengamatan perubahan bentuk limpa dan berat limpa, sedangkan pengamatan secara mikroskopis meliputi pengukuran diameter pulpa putih, diameter centrum germinal dan lebar zona marginalis setelah dilakukan pewarnaan HE. Hematoksilin akan memberikan warna biru pada pada pulpa putih dan akan memberikan warna merah muda pada pulpa merah. Pengukuran menggunakan mikrometer dilihat pada mikroskop dengan pembesaran 10x. Diameter pulpa putih dan centrum germinal ditentukan dari pengukuran diameter terpanjang dan terpendek.

Penentuan kadar interleukin 2 (IL-2)

Pengujian dilakukan menggunakan Rat IL-2 Elisa Kit. Wash buffer dibuat dengan pengenceran 25x dari larutan konsentrat. Standar disiapkan dengan memasukkan 150

(20)

7 Tabel 2 Jumlah penambahan standar untuk pengujian IL-2

Standar Penambahan Ke dalam

1500 pg/mL Petunjuk sebelumnya

750 pg/mL 300 µL dari 1500 pg/mL std 300 µL Diluent Buffer

Kemudian streptavidin-HRP disiapkan dan dilakukan pengenceran 100x, yaitu dengan menambahkan 10 µL streptavidin-HRP kedalam λλ0 l HRP diluent.

Microplate dikelompokkan ke dalam standar dan sampel masing-masing 1 strip well, sebanyak 50 µL sampel & 50 µL standar dimasukkan dalam well, kemudian ditambahkan 100 µL reagent biotin conjugate kesemua well dan plate diinkubasi pada suhu ruang (20-25 oC) selama 2 jam. Kemudian plate dicuci dengan wash buffer (4X) lalu ditambahkan 100 µL streptavidin-HRP dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 oC) selama 30 menit pada suhu ruangan. Plate dicuci dengan wash buffer (4X) dan ditambahkan 100 µL kromogen penstabil pada setiap well, warna mulai terbentuk kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang lalu ditambahkan 100 µL stop solution dan diukur pada =450nm.

Penentuan kadar interleukin 12

Pengujian dilakukan menggunakan Rat IL-12+p40 Elisa Kit. Preparasi Wash Buffer dilakukan dengan melarutkan 50 mL wash buffer ke dalam 1.25 L ultra pure water. Sedangkan standar disiapkan dengan memasukan 100µL standar ( 5000pg/ml), ke dalam tabung yang mengandung 400 µL Standard Diluent Buffer dan diperoleh larutan dengan konsentrasi ( 1000pg/ml), lalu dilakukan pengenceran bertingkat hingga diperoleh konsentrasi 500 pg/mL, 250 pg/mL, 125 pg/mL, 62.5 pg/mL, 31.3 pg/mL, 15.6 pg/mL,0 pg/mL dengan penambahan sebagai berikut:

Tabel 3 Jumlah penambahan standar untuk pengujian IL-12

Standar Penambahan Ke dalam

1000 pg/mL Petunjuk sebelumnya

500 pg/mL 0.25mL dari 1000 pg/mL std 0.25mL Diluent Buffer

250 pg/mL 0.25mL dari 500 pg/mL std 0.25mL Diluent Buffer

125 pg/mL 0.25mL dari 250 pg/mL std 0.25mL Diluent Buffer

62.5 pg/mL 0.25mL dari 125 pg/mL std 0.25mL Diluent Buffer

31.3 pg/mL 0.25mL dari 62.5 pg/mL std 0.25mL Diluent Buffer

15.6 pg/mL 0.25mL dari 31.3 pg/mL std 0.25mL Diluent Buffer

(21)

8

Kemudian streptavidin-HRP disiapkan dan dilakukan pengenceran 100x, yaitu dengan menambahkan 10 µL streptavidin-HRP kedalam λλ0 l HRP diluent.

Microplate dikelompokkan ke dalam standar dan sampel masing-masing 1 strip well, sebanyak 100 µL sampel & 50 µL standar dimasukkan dalam well, kemudian ditambahkan 100 µL reagent biotin conjugate kesemua well dan plate diinkubasi pada suhu ruang (20-25 oC) selama 1 jam. Kemudian plate dicuci dengan wash buffer (4X) lalu ditambahkan 100 µL streptavidin-HRP dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 oC) selama 30 menit pada suhu ruangan. Plate dicuci dengan wash buffer (4X) dan ditambahkan 100 µL kromogen penstabil pada setiap well, warna mulai terbentuk kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang lalu ditambahkan 100 µL stop solution dan diukur pada =450nm.

Analisis Data

Data pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan uji kolmogorov-smirnov untuk melihat apakah data terdistribusi normal atau tidak. Apabila data tidak terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan metode non parametrik yaitu uji statistik Kruskall Wallis, Mann Whitney. Jika data terdistribusi normal dilanjutkan dengan metode parametrik uji satu arah ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% yang diteruskan dengan uji Tukey. Data hasil analisis dinyatakan signifikan apabila P < 0.05 dan tidak signifikan apabila P > 0.05 (Bukhari et al. 2007).

3. HASIL

Pengaruh Perlakuan terhadap Insidensi dan Multiplitas Tumor

Besarnya kejadian tikus yang mengalami tumor dalam suatu perlakuan dinyatakan dengan persen insidensi. Persen insidensi tumor merupakan perbandingan jumlah tikus yang mengalami tumor dalam suatu perlakuan dikali 100% (Agustini et al. 2012). Besarnya insidensi kejadian tumor menunjukkan tingkat keberhasilan model tumor. Nilai insidensi dapat dilihat pada gambar 1. Insidensi tertinggi sebesar 100% terjadi pada kelompok DMBA, artinya semua tikus pada kelompok ini mengalami tumor. Selanjutnya terjadi pada kelompok PTI-1 dan PTI-3 dengan nilai insidensi 62.5%. Sedangkan pada kelompok PTI-2 nilai insidensi sebesar 50%, sehingga dosis yang paling efektif digunakan untuk menurunkan insidensi tumor adalah PTI-2.

(22)

9

Selain nilai insidensi, untuk mengetahui lebih lanjut tingkat keberhasilan model tumor pada penelitian ini, dilakukan perhitungan multiplisitas tumor. Multiplasitas tumor merupakan angka yang menunjukkan jumlah nodul tumor dalam suatu kelompok. Nilai multiplisitas dapat dilihat pada gambar 2.

Multisiplitas tertinggi sebesar 1.25 terjadi pada kelompok DMBA, artinya terdapat tikus pada kelompok ini mengalami tumor lebih dari 1. Selanjutnya terjadi pada kelompok PTI-3 dengan nilai multiplisitas 1.13 dan PTI-1 dengan nilai multiplisitas 0.88. Sedangkan pada kelompok PTI-2 sebesar 0.38 sehingga dosis yang paling efektif digunakan untuk menurunkan multiplisitas tumor adalah PTI-2.

Gambar 2 Multiplitas tumor (Data BPPT tidak dipublikasikan) Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Limpa

Pengamatan terhadap organ limpa dilakukan sebanyak 2 kali, pertama dilakukan pada 1 minggu setelah induksi DMBA terakhir (t2) dan kedua pada saat 16 minggu pasca induksi DMBA (t3). Dosis DMBA yang diberikan adalah 4mg/200g BB selama 5 kali pemberian dengan selang 3 hari selama 2 minggu. Pada saat pemberian DMBA

Gambar 3 Pengamatan limpa secara makroskopis pada t2

(23)

10

Hasil pengamatan secara makroskopis pada t2 menunjukkan belum terlihat adanya perubahan bentuk limpa jika dibandingkan dengan kelompok normal. Bentuk limpa sama seperti normal dengan bagian ujung lancip dan tekstur limpa yang kenyal. Pengamatan limpa secara makroskopis juga dilakukan dengan menentukan rataan indeks limpa. Indeks limpa merupakan perbandingan antara berat limpa terhadap berat badan tikus. Indeks limpa pada t2 disajikan pada tabel 4.

Tabel 4 Indeks limpa tikus pada t2

Kelompok perlakuan Indeks limpa

Kontrol Normal (CMC-Na) 0.242 ± 0.007

Kontrol (-) DMBA (20 mg/kgBB) 0.271 ± 0.062

Kontrol (+) Meniran (40 mg/200g BB) 0.203 ± 0.062

PTI-1 (dosis 40 mg/200g BB) 0.220 ± 0.011

PTI-2 (dosis 80 mg/200g BB) 0.249 ± 0.019

PTI-3 (dosis 160 mg/200g BB) 0.254 ± 0.051

Berdasarkan analisis dengan ANOVA diperoleh bahwa setiap kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan terhadap indeks limpa (P > 0.05). Namun jika dilihat rerata indeks limpa terlihat bahwa indeks limpa tertinggi ditunjukkan oleh kelompok DMBA > PTI 3 > PTI 2 > normal > PTI 1.

Pengamatan limpa secara makroskopis selanjutnya dilakukan pada akhir penelitian, yaitu pada minggu ke-20 (t3). Kondisi hewan coba tetap mendapatkan perlakuan PTI, PTI 2, PTI 3 dan Meniran selama 16 minggu setelah pemberian DMBA terakhir dan diperoleh bentuk dan ukuran limpa seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Pengamatan limpa secara makroskopis pada t3

(24)

11 Tabel 5 Indeks limpa tikus pada t3

Kelompok perlakuan Indeks limpa

Kontrol Normal (CMC-Na) 0.242 ± 0.026

Indeks limpa t3 dianalisis menggunakan uji Kolmogorov-smirnov diperoleh bahwa data setiap kelompok perlakuan tidak terdistribusi normal, kemudian dilanjutkan dengan uji non parametrik Kruskal wallis dengan taraf kepercayaan 95% dan diperoleh bahwa indeks limpa pada t3 (P-value: 0.109) sehingga diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara perlakuan terhadap kelompok (P > 0.05).

Perbandingan indeks limpa pada berbagai kelompok perlakuan terhadap waktu dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5 Perbandingan indeks limpa t2 terhadap t3 Hasil Pengamatan Limpa secara Mikroskopis

(25)

12

Kelompok perlakuan

Pembedahan1 minggu pasca induksi DMBA (t2)

Pembedahan16 minggu pasca induksi DMBA (t3)

Normal

DMBA

Meniran

PTI 1

a

b a

c a

c

c c

c c

c

c

b b b

b

a a

a

a

a b

b

(26)

13

PTI 2

PTI 3

Gambar 6 Histopatologi limpa pada t2 dan t3

Setelah dilakukan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), maka dilakukan pengamatan secara mikroskopis terhadap limpa dengan pembesaran 100X. Adapun yang diamati antara lain: diameter zona marginalis, diameter pulpa putih dan diameter centrum germinal. Hasil pengamatan terhadap zona marginalis dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa diameter zona marginalis pada t2 kelompok PTI 3 signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya (P< 0.05). Sedangkan kelompok PTI 1 dan PTI 2 tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok DMBA (P > 0.05).

Table 6 Diameter zona marginalis ( m) tikus pada t2 dan t3

Kelompok perlakuan t2 t3

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Tabel 6 memperlihatkan bahwa pada t3 terdapat perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan DMBA dengan PTI-2 (P< 0.05)

Pengaruh perlakuan pada t2 dan t3 terhadap rerata zona marginalis dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa kelompok perlakuan PTI-2 dan PTI-3 mengalami peningkatan lebar zona marginalis dari t0 ke t1 namun pada kelompok PTI 2 terjadi penurunan.

(27)

14

Gambar 7 Diameter zona marginalis pada t2 dant3

Analisis selanjutnya dilakukan terhadap diameter pulpa putih. Tabel 7 memperlihatkan bahwa diameter pulpa putih pada t2 kelompok Meniran, DMBA dan PTI-1 menunjukkan nilai yang signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok normal (P< 0.05). Sedangkan pada kelompok PTI 2 dan PTI 3 signifikan lebih rendah dibandingkan Meniran, DMBA dan PTI -1.

Table 7 Diameter pulpa putih ( m) tikus pada t2 dan t3

Kelompok perlakuan t2 t3

Kontrol Normal (CMC-Na) 2.763 a

± 0.48 2.733 ± 0.49

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Berdasarkan Gambar 8 memperlihatkan bahwa kelompok PTI mengalami penurunan ukuran diameter pulpa putih dari t2 ke t3, sedangkan pada kelompok PTI-2 dan PTI-3 terjadi peningkatan ukuran. Namun analisis yang dilakukan pada t3, tidak terdapat perbedaan secara siginifikan antar setiap kelompok perlakuan (P<0.05).

(28)

15

Gambar 8 Diameter pulpa putih pada t2 dan t3

Pengamatan limpa secara mikroskopis selanjutnya dilakukan dengan mengukur diameter centrum germinal dan diperoleh data yang ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 memperlihatkan bahwa pada t2, terlihat bahwa kelompok kontrol positif (kelompok Meniran) menunjukkan nilai diameter centrum germinal signifikan lebih tinggi dibanding kelompok perlakuan PTI-1 dan PTI-2, diameter centrum germinal kelompok PTI 1 signifikan lebih tinggi dibandingkan PTI-2. Sedangkan pada kelompok PTI-2 dan PTI-3 signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok normal dan DMBA.

Tabel 8 Diameter centrum germinal antara t2 dan t3

Kelompok perlakuan t2 t3

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Perbandingan diameter centrum germinal antara t2 dan t3 dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa pada kelompok normal, DMBA, meniran dan PTI-1 terjadi penurunan diameter centrum germinal, sedangkan rata-rata pada kelompok PTI-2 dan PTI-3 mengalami peningkatan diameter centrum germinal.

(29)

16

Gambar 9 Perbandingan diameter centrum germinal antara t2 dan t3 Hasil Analisis Kadar Interleukin-2 (IL-2)

Sebelum menghitung kadar IL-2 pada sampel uji, terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasi standar dengan kadar standar 1500 pg/ml, 750 pg/ml, 375 pg/ml, 187 pg/ml, 93.7 pg/ml, 46.9 pg/ml, 23.4 pg/ml, 0 pg/ml (gambar 9)

Analisis terhadap IL-2 dilakukan pada 4 waktu yang berbeda dengan t0 sebagai kontrol normal bagi setiap perlakuan.

Pada tabel 9 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar IL-2 dari t0 ke t1. Kejadian yang sama juga ditemukan dari t1 ke t2. Sedangkan pada t3, kelompok yang mengalami peningkatan dari t2 ke t3 ditunjukkan oleh kelompok Meniran, DMBA, PTI-1 dan PTI-3. Hanya kelompok PTI-2 yang menunjukkan penurunan pada t3.

(30)

17 Tabel 9 Kadar IL-2 (pg/ml) pada berbagai perlakuan dan terhadap waktu.

t Meniran DMBA PTI-1 PTI-2 PTL-3

t0 86.8±2.54bc 84.84±1.03b 89.35±2.77c 83.86±1.60b 75.82±1.01a

t1 114.64±1.17b 114.45±4.56b 116.61±1.19b 111.32±0.19b 105.43±0.19a

t2 117.78±1.03b 117.59±2.90b 124.26±0.52a 115.43±1.09b 118.37±2.15b

t3 118.57±2.45b 119.55±1.60b 123.08±1.09c 112.69±0.71a 127.78±1,03d

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Berdasarkan Gambar 11 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar IL-2 dari t0 ke t1 pada semua kelompok perlakuan. Pada t1, kelompok PTI-3 signifikan lebih rendah dari kelompok lain sedangkan PTI-2 lebih rendah dari PTI-1. Pada t2 kelompok PTI-1 signifikan lebih tinggi dari kelompok lain. Sedangkan pada t3, kelompok PTI-3 menunjukkan kadar IL-2 signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya.

Gambar 11 Kadar IL-2 antar kelompok perlakuan pada 4 waktu berbeda.

Hasil Analisis Kadar Interleukin-12 (IL-12)

Sebelum menghitung kadar IL-12 pada sampel uji, terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasi standar dengan kadar standar 1000 pg/ml, 500 pg/ml, 250 pg/ml, 125pg/ml, 62.5 pg/ml, 31.5 pg/ml, 15.65pg/ml, 0 pg/ml (gambar 7). Kadar standar 0 pg/ml digunakan sebagai blanko.

0.000 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000

Meniran DMBA PTI-1 PTI-2 PTI-3

t0

t1

t2

(31)

18

Tabel 10 Kadar IL-12 (pg/mL) pada berbagai perlakuan terhadap waktu (t)

t DMBA Meniran PTI 1 PTI 2 PTI 3

t0 445.943±98.11a 285.253±38.68b

251.690±94.18ab 294.218±26.20 b 262.034±63.80

t1 254.333±20.41a 256.517±14.35a 464.563±42.74b 386.172±19.76b 336.517±19.76b

t2 527.437±63.63 541.115±31.57 421.1149±67.94 518.126±32.19 450.080±134.59

t3 521.805±70.80 b 674.448±22.70 a 613.414±10.16 b 486.172±54.50 ab 406.977±90.69c

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perbedaan yang berbeda nyata (P<0.05)

Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan IL-12 dari t0 ke t2. Pada t1, kelompok PTI-3 signifikan lebih rendah dari kelompok lain sedangkan PTI-2 lebih rendah dari PTI-1. Pada t2 kelompok PTI-1 signifikan lebih tinggi dari kelompok lain. Sedangkan pada t3, kelompok PTI-3 menunjukkan kadarIL-12 yang paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya.

Gambar 13 Kadar IL-12 antar kelompok perlakuan pada 4 waktu berbeda. y = 0.0029x + 0.0751

0 200 400 600 800 1000 1200

(32)

19 PEMBAHASAN

Makroskopis limpa

Induksi karsinogen dalam tubuh dikenali sebagai benda asing sehingga akan menimbulkan respon dari organ pertahanan tubuh untuk memproduksi sel-sel khusus yang bekerja sama dalam melawan benda asing ataupun adanya infeksi (Mathaes et al 2013). Pada penelitian ini, induksi DMBA mempengaruhi sistem imun melalui kelenjar limfe regional kemudian menuju limpa melalui aliran darah. Salah satu organ yang bertanggung jawab terhadap pertahanan tubuh adalah limpa. Limpa merupakan limfoid terbesar dan pertahanan pertama terhadap serangan benda asing yang masuk dalam aliran darah dengan cara menyaring serta menangkap benda asing tersebut (Owen et al 2013). Di dalam limpa banyak mengandung makrofag dan tempat pembentukan limfosit serta antibodi (Sompayrac 2015). DMBA yang masuk kedalam tubuh mengaktifkan makrofag yang terdapat di zona marginalis untuk memfagositosis senyawa tersebut. dan menstimulasi produksi limfosit serta antibodi oleh limpa sehingga menyebabkan ukuran limpa membesar (Thomson 1997).

Secara makroskopis, organ limpa normal berwarna merah tua sampai biru kehitaman dengan tepi seperti bulan sabit. Organ limpa yang mengalami aktivitas tinggi akan mengalami pembengkakan sehingga ukuran tampak lebih besar dan mengalami penambahan berat, berwarna coklat tua atau hampir hitam, dengan tepi yang berbentuk cenderung tumpul ataupun membulat. Organ limpa mengalami pembesaran akibat hiperplasia (bertambahnya jumlah sel) atau hipertrofi (bertambahnya ukuran sel), sehingga berat limpa ikut bertambah. Disisi lain, limpa juga dapat mengalami pengecilan (atrofi) jika terpapar langsung dengan senyawa berbahaya, sehingga akan merusak sel di dalam pulpa putih (Underwood 1999, Sylvia et al 1994).

Pengamatan secara makroskopis terhadap organ bertujuan untuk melihat adanya perubahan berat maupun bentuk limpa tikus setelah diberi perlakuan. Hasil pemeriksaan secara makroskopis ditunjukkan pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4 diperoleh bahwa organ limpa pada kelompok normal berbentuk bulan sabit dengan tepi dan ujung yang lancip serta tekstur limpa yang lebih kenyal. Pada kelompok DMBA tampak adanya pembengkakan sehingga ukurannya lebih besar dari normal, bentuk limpa dengan tepi yang cenderung tumpul dan ujung limpa yang membulat, warna limpa yang relatif lebih gelap serta tekstur limpa yang lebih lunak jika dibandingkan dengan normal. Pada kelompok meniran, ukuran limpa relatif lebih besar jika dibandingkan dengan normal meskipun ukuran tidak sebesar kelompok DMBA, namun struktur limpa relatif tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan bentuk limpa pada kelompok normal. Pada kelompok PTI-1 memperlihatkan adanya penambahan ukuran limpa jika dibandingkan dengan kelompok normal dan adanya perubahan struktur organ limpa yang lebih mirip dengan kelompok DMBA. Hasil yang menarik terlihat pada kelompok PTI-2, pada kelompok perlakuan ini bentuk limpa mirip limpa pada kelompok normal. Pada kelompok PTI 3 tampak adanya perubahan bentuk limpa, yaitu: pada bagian tepi limpa tampak relatif tumpul dan bagian ujung yang membulat serta tekstur yang lebih lunak jika dibandingkan dengan kelompok normal.

(33)

20

dibandingkan pada kelompok lain. Perlakuan PTI-1 dan PTI-3 memperlihatkan bahwa temu ireng mampu mengurangi terjadinya pembengkakan pada limpa. Pada perlakuan PTI-2 memperlihatkan bentuk limpa tidak mengalami perubahan struktur dan tidak mengalami penambahan ukuran seperti halnya yang terjadi pada kelompok DMBA. Sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada temu ireng mampu mengurangi terjadinya pembengkakan dan perubahan struktur pada limpa.

Pengamatan limpa secara makroskopis dilakukan juga dengan mengukur berat limpa dan menyatakannya dalam indeks limpa. Berdasarkan hasil analisis menggunakan one way ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap berat limpa pada 1 minggu setelah induksi DMBA (t2). Pada kondisi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap indeks limpa pada awal stress sel akibat pemberian DMBA dan diperoleh bahwa masing-masing perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap indeks limpa. Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa indeks limpa masing-masing kelompok menunjukkan nilai yang hampir sama. Indeks limpa terbesar terdapat pada kelompok DMBA sedangkan indeks terkecil terdapat pada kelompok meniran. Meningkatnya nilai indeks limpa pada kelompok DMBA, PTI-2 dan PTI-3 menunjukkan terstimulasinya aktivitas sel-sel pertahanan yang terdapat di limpa akibat induksi karsinogen. Sedangkan pada kelompok meniran dan PTI-1, indeks limpa lebih kecil jika dibandingkan normal meskipun tidak signifikan. Induksi DMBA dapat menyebabkan hiperplasi (penambahan ukuran sel) dan hipertropia (penambahan jumlah sel), serta dapat menyebabkan atropia (pengecilan ukuran sel) sehingga dapat merusak sel-sel yang ada di pulpa putih (Underwood 1999).

Pengamatan limpa secara makroskopis juga dilakukan pada 16 minggu pasca induksi DMBA atau minggu ke-20 perlakuan (t3), pada kondisi ini pertumbuhan tumor sudah tampak di sekitar mammae. Hasil analisis menggunakan ANOVA menujukkan hasil yang tidak berbeda secara signikan antara pemberian perlakuan pada t3 terhadap indeks limpa. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa terjadi peningkatan indeks limpa pada semua kelompok perlakuan. Meningkatnya indeks limpa akibat induksi DMBA dapat disebabkan hiperplasia (bertambahnya jumlah sel) ataupun hipertrofi (bertambahnya ukuran sel) sehingga berdampak terjadinya penambahan berat sel (Underwood 1999). Limpa sebagai organ limfoid mengandung sel limfosit B dan limfosit T yang berperan pada proses respon imun spesifik. Selain itu, pada limpa juga terdapat sel dendrit dan makrofag yang berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC). Keberadaan bahan karsinogen dalam tubuh, akan memacu sistem imun dalam merespon adanya proses inflamasi dan karsinogenesis yang menyebabkan terjadi peningkatan aktivitas limpa sehingga berat limpa menjadi meningkat. Aktivitas yang tinggi pada limpa akan menyebabkan terjadinya diferensiasi dan poliferasi limfosit, sehingga terjadi pembesaran pada limpa (Yufri dan Suharti 2011).

(34)

21 perlakuan temu ireng baik PTI 2 maupun PTI 3 memperlihatkan bahwa limpa tidak mengalami penambahan berat seperti yang terjadi pada kelompok DMBA, hal ini disebabkan efek dari senyawa aktif yang terdapat di dalam temu ireng mampu menginhibisi isoenzim sitokrom P450 sehingga senyawa karsinogen menjadi tidak reaktif yang berdampak pada terhambatnya proses karsinogenesis. Selain itu kandungan dari flavonoid yang terdapat didalam temu ireng mampu mendetoksifikasi karsinogen reaktif menjadi tidak reaktif yang menyebabkan senyawa ini menjadi lebih polar sehingga akan mudah dieliminasi oleh tubuh (Ran et al. 2003) yang mengakibatkan limpa tidak mengalami aktivitas yang tinggi. Untuk mengetahui penyebab perubahan organ limpa dan kenaikan indeks limpa, maka pada penelitian ini dilakukan histopatologi limpa (pengamatan limpa secara mikroskopis).

Mikroskopis limpa

Analisis histopatologi terhadap organ limpa meliputi: pengukuran diameter zona marginalis, diameter pulpa putih dan diameter centrum germinal. Organ limpa merupakan pertahanan pertama dari adanya patogen yang masuk melalui aliran darah (Owen et al 2013). Organ limpa terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah mengandung sel darah merah sedangkan pulpa putih mengandung limfosit (Owen 2013). Daerah pulpa merah dan pulpa putih di batasi oleh zona marginalis dan di dalam pulpa putih terdapat centrum germinal (Sompayrac 2015).

Analisis hasil pengukuran lebar zona marginalis pada 1 minggu setelah induksi DMBA (t2) diperoleh hasil yang signifikan berbeda antar setiap kelompok. Zona marginalis merupakan tempat terjadinya kontak antara sel imun dan antigen yang berada dalam sirkulasi darah serta sebagai tempat keberadaan makrofag, sel dendritik (Mathaes 2013) dan sel B (Sompayrac 2015). Ketika darah memasuki arteri yang terdapat pada limpa, maka darah akan disaring dan menuju zona marginal, makrofag yang terdapat di dalam zona marginal akan membersihkan darah dengan cara memfagositosis keberadaan benda asing (antigen) dan sel-sel yang tidak digunakan lagi (Sompayrac 2015). Berdasarkan rerata zona marginalis, kelompok Meniran menunjukkan ukuran zona marginalis yang lebih besar dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak Meniran yang digunakan mampu menstimulasi kerja dari sistem pertahanan yang terdapat di daerah zona marginalis. Tubuh mengenali adanya keberadaan karsinogen dan memicu peningkatan jumlah makrofag dan sel dendritik. Sel Dendritik yang terdapat dipermukaan sel akan mengambil senyawa asing yang terdapat dalam darah dan mempersiapkan aksi MHC kelas II yang memberikan sinyal pada makrofag untuk mepresentasikan antigen tersebut kepada sel T dan menginisiasi terjadinya respon imun adaptif (Sompayrac 2015). Reaktifnya limpa melawan keberadaan karsinogen yang berada di zona marginalis menyebabkan peningkatan ukuran zona marginalis.

(35)

22

masuk kedalam tubuh atau dengan kata lain efek dari immunosupresif DMBA lebih besar daripada kemampuan dosis dalam meningkatkan aktivitas sistem imun yang terdapat di zona marginalis

Kelompok PTI 2 memperlihatkan ukuran zona marginalis yang mendekati normal dan lebih besar dibandingkan perlakuan DMBA. Ukuran zona marginalis yang mendekati normal dimungkinkan karena pada dosis ini senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak temu ireng efektif dalam memblok senyawa aktif DMBA sehingga menjadi tidak reaktif, hal ini menyebabkan besarnya zona marginalis mendekati normal karena tidak terstimulasinya aktivitas sel dendritik dan makrofag yang terdapat di zona marginalis. Flavonoid yang terdapat dalam temu ireng mampu menginhibisi isoenzim sitokrom P450 yang mengakibatkan senyawa aktif dari DMBA menjadi tidak reaktif (Zhai et al 1998), hal ini menyebabkan sel dendrit tidak terstimulasi dalam menanggapi keberadaan antigen yang menyebabkan kurangnya mekanisme MHC kelas I dalam mengaktivasi makrofag sehingga pada zona marginalis ini tidak menunjukkan aktivitas yang tinggi yang menyebabkan lebar zona marginalis pun lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan DMBA. Pada kelompok PTI 3 memperlihatkan ukuran zona marginalis yang lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis ini senyawa aktif dari temu ireng mampu mengaktifkan molekul yang mampu menekan aktivitas proliferasi dari sel dendrit dalam merespon adanya karsinogen yang menyebabkan populasi maupun aktivitas makrofag dan sel dendrtik menjadi rendah sehingga lebar zona marginalis lebih cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok lainnya. Selain itu, pemberian dosis yang tinggi ini menyebabkan terganggunya kemampuan makrofag dalam menyajikan antigen kepada limfosit sehingga aktivitas makrofag menjadi rendah yang menyebabkan ukuran zona marginalis pada kelompok ini pun lebih kecil jika dibandingkan kelompok lain.

Analisis zona marginalis pada 16 minggu pasca induksi DMBA atau minggu ke-20 (t3) menujukkan bahwa kelompok PTI 1, PTI 2 dan meniran menunjukkan hasil yang signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok DMBA. Terjadi penurunan lebar zona marginalis pada kelompok DMBA, hal ini menunjukkan bahwa induksi senyawa DMBA mampu menurunkan sistem imun yang terdapat di zona marginalis. Ketika ada induksi dari senyawa imunomodulator dalam penelitian ini adalah ekstrak temu ireng maka akan mampu mempertahankan populasi makrofag sehingga menyebabkan terjadi stabilnya sistem pertahanan yang terdapat di zona marginalis, sehingga hasil yang diperoleh mendekati normal. Sedangkan pada kelompok PTI-3 terjadi peningkatan lebar zona marginalis. Pada 1 minggu pasca induksi DMBA (t2), diduga waktu tersebut merupakan tahap inisiasi karsinogen dan diperoleh bahwa senyawa aktif temu ireng pada dosis ini menekan sistem imun yang terdapat di zona marginalis sehingga sistem pertahanan menjadi rendah, t3 merupakan kondisi sel yang mengalami metastasis yang ditandai makin membesarnya nodul tumor bahkan sudah menuju ke jaringan lain sehingga menyebabkan terjadinya difusi sel B ke dalam zona marginalis sebagai bentuk pertahanan. (Elmore 2006). Meningkatnya jumlah sel B yang berdifusi ke zona marginalis menyebabkan ukuran zona marginalis meningkat.

(36)

23 Hasil analisis diameter pulpa putih pada t2 menunjukkan hasil yang tidak perbedaan secara signifikan antar setiap kelompok perlakuan. Berdasarkan gambar 7, jika dibandingkan dengan kelompok normal terlihat bahwa diameter pulpa putih pada kelompok DMBA, meniran dan PTI I menunjukkan ukuran yang lebih tinggi. Pada kelompok tersebut menunjukkan adanya induksi DMBA menyebabkan proliferasi sel T yang terdapat di pulpa putih sehingga terjadi penambahan populasi sel T yang terdapat di pulpa putih sebagai sistem pertahanan mampu meningkatkan respon pertahanan tubuh untuk melawan keberadaan karsinogen. Pada kelompok PTI 2 dan PTI 3 relatif tidak terjadi peningkatan maupun penurunan pulpa putih. Hal ini disebabkan senyawa aktif dari DMBA sudah di inhibisi lebih awal, hal ini dibuktikan tidak terjadi aktivasi dan penambahan jumlah makrofag maupun sel dendritik yang terdapat di zona marginalis sebagai pertahanan pertama, sehingga sistem pertahan yang terdapat di pulpa putih maupun centrum germinal pun tidak teraktivasi.

Hasil analisis diameter pulpa putih pada t3 menunjukkan hasil yang tidak berbeda secara signifikan antar setiap kelompok perlakuan terhadap diameter pulpa putih. Berdasarkan gambar 7 terlihat penurunan diameter pulpa putih pada perlakuan DMBA, meniran dan PTI 1. Penurunan diameter pulpa putih menunjukkan terjadinya penurunan produksi sel T yang disebabkan adanya metabolit dari DMBA yang bersifat imunosupresif atau adanya senyawa aktif dari temu ireng yang bersifat antiploriferasi. Selain itu penurunan juga disebabkan adanya perkembangan tumor hingga tahap metastasis menyebabkan kemampuan sel berploriferasi semakin rendah. Pada kelompok perlakuan DMBA, meniran dan PTI 1, pada kejadian tumor pada tahap ini senyawa aktif meniran dan PTI 1 tidak mampu lagi meningkatkan sistem imun terhadap serangan kanker.

Centrum germinal merupakan tempat populasi sel B yang memproduksi antibodi, ketika ukuran centrum germinal membesar, maka menandakan adanya proliferasi sel B (Owen et al 2013). Hasil analisis diameter centrum marginal pada t2 menunjukkan tidak adanya perbedaan secara signifikan antar setiap perlakuan terhadap diemeter centrum marginal. Berdasarkan tabel 8 terlihat bahwa dengan adanya induksi DMBA mampu menstimulasi diproduksinya sel B pada kelompok meniran.

(37)

24

Berdasarkan pada tabel 7 menunjukkan adanya proliferasi sel T di daerah pulpa putih sehingga respon imun yang bekerja pada dosis ini terjadi di pulpa putih yang menyebabkan sel B di centrum germinal tidak di produksi secara maksimal. Pada kelompok PTI dan PTI 3 menunjukkan tidak adanya proliferasi dan tidak menunjukkan terjadi penambahan jumlah sel dalam centrum germinal. Kemungkinan hal ini disebabkan efek dari dosis yang diberikan menghambat proses inisiasi senyawa DMBA sehingga pada t2 belum menunjukkan adanya aktivitas proliferasi sel.

Pengukuran diameter centrum germinal pada saat 16 minggu pasca induksi DMBA (t3) menunjukkan terjadi penurunan ukuran pada kelompok perlakuan normal, DMBA, meniran dan PTI 1. Penurunan sangat kecil terjadi pada kelompok normal. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi mekanisme sistem imun, diantaranya: faktor usia, genetik, metabolik, lingkungan (nutrisi, nafsu makan, suhu, kandang) dan adanya infeksi dari mikroba ( Bellanti. 1995). Pada kelompok PTI 2 dan PTI 3 terjadi kenaikan ukuran diameter centrum germinal, meskipun sedikit sekali sehingga memicu reaksi dari sel T dan B untuk berploriferasi.

Hubungan antara Makroskopis, Mikroskopis dan Tumor

Hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis limpa menunjukkan bahwa kenaikan indeks limpa tidak selalu diikuti oleh bertambahanya diameter zona marginalis, pulpa putih dan centrum germinal sehingga adanya kenaikan indeks limpa diduga karena adanya prolifersai sel yang menyebabkan terjadinya penambahan jumlah sel yang distimulasi oleh keberadaan antigen. Pada penelitian ini, besarnya indeks limpa berbanding lurus dengan insidensi tumor. Selain adanya peran dari antigen dalam mengaktifkan limfosit, senyawa imunomodulator juga berperan dalam proses ini. Imunomodulator dapat berupa senyawa dari tanaman obat yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun, sehingga dapat meningkatkan sistem imun yang mengalami penurunan dengan cara meningkatkan kemampuan proliferasi sel T. Hal ini ditunjukkan oleh kelompok DMBA tingginya nilai indeks limpa pada t2 dan t3 membuktikan bahwa keberadaan antigen yang disebabkan induksi DMBA sangat berperan dalam menstimulasi sistem imun, namun sistem imun yang terstimulasi tersebut akan menurun seiring dengan perkembangan dan pertumbuhuan tumor sehingga pada kelompok ini mengalami tumor dengan nilai insidensi paling tinggi. Pada kelompok meniran, adanya perlakuan preventif sebelum dan setelah induksi DMBA mampu meningkatkan kemampuan sel untuk terus berploriferasi namun kurang efektif terhadap pencegahan pertumbuhan tumor, hal ini di tunjukkan dengan tingginya nilai indeks limpa, ukuran pulpa putih, zona marginalis dan centrum germinal namun insidensi tumor memiliki nilai yang cukup jika dibanding kelompok perlakuan temu ireng. Berdasarkan insidensi tumor, efektifitas dalam pencegahan pertumbuhan tumor ditunjukkan oleh kelompok PTI 2 yang dibuktikan dengan nilai insidensi tumor yang paling rendah dibandingkan kelompok perlakuan lain. Jika dibandingkan dengan kelompok DMBA, dosis yang diberikan pada kelompok PTI 2 mampu menghambat proses metastasis tumor yang ditandai dengan tidak terlihatnya nodul tumor hingga akhir pembedahan dan tidak terlihatnya adanya perubahan patologis secara spesifik pada gambaran histopatologi limpa.

(38)

25

Interleukin-2 (IL-2)

IL-2 merupakan satu dari kelompok sitokin yang berperan penting dalam menstimulasi proliferasi sel T. IL-2 juga memiliki peran pada limfosit B dan makrofag. IL-2 diproduksi oleh sel T helper (CD4+) dan sebagian diproduksi oleh sel T sitotoksik (CD8+). Fungsi utama IL-2 adalah menginduksi ploriferasi sel T terutama sel T yang memproduksinya dan meningkatkan produksi sitokin lainnya. IL-2 dapat mengurangi tumor pada pasien melanoma dan karsinoma. Pengaruh IL-2 terhadap anti tumor dimediasi oleh limfosit T. Adanya stimulasi dari antigen dapat meningkatkan kemampuan sel T untuk merespon IL-2 dalam mempercepat regulasi afinitas reseptor IL-2 dalam menstimulasi pembentukan daya tahan tubuh (Overwijk et al 2000). IL-2 merupakan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan oleh limfosit T untuk perkembangan setiap fase dalam siklus sel (June et al. 1989). Sel T mampu mengenali antigen sehingga sitokin IL-2 akan mengekspresikan TNF pada permukaan sel T, IL-2 berperan sebagai aktivator proliferasi dan diferensiasi komponen pertahanan tubuh (diantaranya sel NK, sel B) sehingga mampu meningkatkan apoptosis dan menstimulasi sel T regulator (Ryazantseva et al. 2010).

Pada kondisi normal, konsentrasi IL-2 dalam tubuh berada dalam kondisi tetap dan rendah dan meningkat ketika terbentuk tumor. Orditura et al. (2000) melaporkan terjadinya peningkatan kadar IL-2 pada pasien yang terkena kanker paru-paru. Sedangkan Forones et al. (2001) menemukan terjadi peningkatan kadar IL-2 seiring berkembangnya kanker pada kasus kanker lambung. Berdasarkan gambar 11 dapat dilihat bahwa pada kondisi normal (t0) kadar IL 2 memiliki sebaran yang sama untuk tiap kelompok perlakukan yaitu pada kisaran 75 - 85 pg/ml.

Pada t1 semua perlakuan mengalami peningkatan kadar IL-2 yang cukup signifikan dari t0. Peningkatan kadar IL-2 ini menandakan sistem imun spesifik bekerja (Gaffen & Liu 2004). Produksi IL-2 dapat distimulasi oleh keberadaan senyawa imunomodulator, produksi IL-2 ini melibatkan peran dari sel T yang berdiferensiasi menjadi sel Th yang mampu memproduksi IL-2 yang dapat mengaktivasi sistem imun lainnya.

(39)

26

dari ekstrak temu ireng belum terlihat secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok lain.

Pada t3 terlihat adanya adanya peningkatan pada semua kelompok perlakuan, namun terlihat adanya penurunan kadar IL-2 pada PTI-1 dan PTI-2 dari t2 ke-t3 meskipun tidak signifikan. Pada kondisi ini diduga bahwa efek senyawa aktif ekstrak temu masih bekerja pada sistem imun non spesifik. Keberadaan IL-2 lebih digunakan untuk mengaktivasi CTLs, sel B, sel Makrofag dan NK sel untuk penyerangan terhadap sel tumor (Sompayrac 2015) dibandingkan menstimulasi diferensiasi sel T menjadi sel Th yang dapat memproduksi IL-2 sendiri. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan multisiplitas tumor pada gambar 2 yang menunjukkan nilai multisiplitas keduanya yang rendah. Hal yang menarik ditunjukkan oleh PTI-3, kenaikan kadar IL-2 tidak diikuti dengan penurunan nilai insidensi tumor dan multisiplitas. Peningkatan dosis ekstrak temu ireng justru menekan kerja sel sitotoksik yang lain dalam menghambat dan pembunuhan sel kanker. Hal ini diduga reseptor IL-2R pada sel tersebut mengalami penurunan fungsi sehingga IL-2 tidak menyebabkan sel T berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik (Tc/CTL) namun lebih berdiferensiasi ke arah sel Th yang dapat memproduksi IL-2 sehingga peningkatan ini tidak diikuti kemampuannya dalam menghambat proliferasi sel tumor sel tumor. Proses inilah yang menyebabkan meskipun terjadi peningkatan kadar IL-2 pada kelompok PTI-3 namun tidak menurunkan angka insidensi dan multiplisitas tumor jika dibandingkan dengan kelompok PTL-2.

Pada kelompok PTI-2, secara rata-rata kadar IL-2 lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan PTI-1 dan PTI-3. Tetapi angka yang rendah disini diduga memiliki hubungan dengan sistem imun non-spesifik. Interaksi ini dapat dilihat dengan menghubungkan antara produksi IL-2 dan insidensi kejadian tumor pada kelompok ini, dimana angka insidensi PTI-2 lebih rendah dibandingkan kelompok yang lain. Keberhasilan temu ireng dalam menstimulasi sistem imunitas non-spesifik akan menyebabkan keberadaan IL-2 lebih kearah stimulasi proliferasi sel yang memilik kemampuan sitotoksik.

Pada kelompok kontrol meniran dan DMBA, terjadi peningkatan IL-2 dari t1 hingga t3. Hal ini menandakan proses karsinogenesis masih berjalan hingga akhir penelitian, tetapi tanpa adanya penggunaan senyawa obat maka akan menyebabkan pertumbuhan sel tumor kelompok tersebut terus bertambah. Sedangkan pada kelompok meniran, senyawa aktif yang terdapat dalam meniran mampu meningkatkan kadar IL-2, namun belum diketahui aktivitasnya secara langsung terhadap sel tumor.

Interleukin-12 (IL-12)

IL-12 merupakan imunoregulator sitokin yang terlibat dalam penanganan terhadap adanya tumor. IL-12 diproduksi oleh monosit, makrofag dan sel B ketika adanya senyawa asing masuk kedalam tubuh. IL-12 mampu menginduksi produksi INFγ

(Interferon γ), meningkatkan fungsi sitotoksik sel NK dan memediasi fungsi dari TNF

(40)

27 Pada penelitian ini, t0 pada setiap perlakuan merupakan kontrol normal karena pada saat itu merupakan masa aklimatisasi hewan coba dan tikus belum mendapatkan perlakuan. Berdasarkan gambar 13, terlihat adanya penurunan kadar IL-12 pada kelompok meniran dan DMBA dari t0 ke t1. Penurunan yang terjadi pada kelompok DMBA disebabkan adanya pengaruh lingkungan yaitu kondisi stress karena adanya perlakuan induksi CMC-Na dengan cara sonde menuju lambung sehingga mempengaruhi kondisi fisiologis tikus sedangkan pada perlakuan ekstrak meniran terjadi penurunan yang relatif sedikit dibanding kelompok DMBA sehingga dapat dikatakan bahwa pada kondisi ini senyawa aktif dari ekstrak meniran relatif menstabilkan produksi IL-12 meskipun belum mampu meningkatkan produksi IL-12. Pada kelompok perlakuan temu ireng, yaitu: PTI 1, PTI 2 dan PTI 3 terjadi peningkatan IL-12 yang signifikan terhadap kelompok lain. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak temu ireng mampu meningkatkan kadar IL-12. Pada t2 merupakan kondisi 1 minggu setelah induksi DMBA, dan diperoleh bahwa terjadi peningkatan kadar IL-12 hampir pada semua kelompok perlakuan, kecuali kelompok PTI 1. Keberadaan senyawa aktif DMBA akan mengaktifkan sel dendritik neutrofil, sel B, monosit/makrofag untuk memproduksi IL-12 (Hamzah et al 2010). Sehingga terjadi peningkatan produksi IL-12 sebagai respon dari keberadaan senyawa karsinogen yang menginfeksi sel. t2 merupakan masa promosi tumor sehingga dengan diproduksinya IL-12 maka IL-IL-12 akan menginduksi terjadinya proliferasi sel T, NK sel, sel B. Sel T akan terdiferensissi menjadi sel Th1, Th 2 dan Tc (CTL). Sel Th1 akan memproduksi TNF,

INFγ, dan IL-2. TNF memiliki kemampuan membunuh sel tumor secara langsung INFγ yang akan menstimulasi sel B untuk memproduksi anti bodi (IgE dan Ig A). INF γ juga akan mengaktifkan makrofag yang akan memfagosit keberadaan sel tumor. Reseptor IL-2 akan berikatan dengan reseptor sel Tc sehingga akan mengaktivasi sel Tc (Sel T sitotoksik) untuk meningkatkan kemampuan sitotoksiknya dalam membunuh sel tumor. Selain itu IL-12 akan mengaktivasi sel NK yang memiliki kemampuan sitotoksik terhadap sel tumor dan mengaktifkan peran makrofag untuk memproduksi TNF yang memiliki kemampuan membunuh sel tumor secara langsung (Hamzah 2010). Sehingga dengan meningkatnya kadar IL-12 maka akan meningkatkan sistem pertahanan tubuh dalam mencegah dan membunuh sel tumor yang menyebabkan insidensi kanker dapat diturunkan. Pada kelompok DMBA terjadi peningkatan IL-12 pada t2, namun produksi IL-12 pada kelompok DMBA lebih lambat dibandingkan proliferasi sel tumor, selain itu produksi IL-12 yang dipicu oleh keberadaan DMBA diduga tidak mampu menstimulasi kerja dari sel-sel yang memiliki sifat sitotoksik terhadap sel tumor. Hal ini dapat dari nilai insidensi kelompok perlakuan DMBA yang lebih besar dibandingkan kelompok lainnya.

Pada PTI 1 terjadi penurunan IL-12 pada t2. Hal ini menunjukkan pada masa promosi sel tumor akibat paparan karsinogen, dosis yang diberikan belum mampu menstimulasi produksi IL-12 dan kerja dari sel yang memiliki efek pembunuh terhadap sel tumor secara maksimal yang ditunjukkan dengan nilai insidensi tumor yang lebih besar dibandingkan pada kelompok PTI-2.

(41)

28

Berdasarkan gambar 11 terlihat adanya peningkatan kadar IL-12 pada kelompok Meniran, PTI-1 dan PTI-2. Hal ini menunjukkan bahwa peran dari senyawa aktif Meniran dan temu ireng dalam memproduksi IL-12 masih berlangsung pada kondisi tumor dalam tahap metastasis. Meskipun terjadi peningkatan kadar IL-12 pada kelompok Meniran dan PTI-1 namun kemampuan IL-12 belum mampu dalam memediasi peran dari sel sitotoksik dalam pembunuhan sel tumor sehingga berdasarkan angka insidensi dan multiplisitas maka kelompok perlakuan PTI -2 terlihat lebih efektif terhadap produksi IL-12 dalam memediasi peran dari sel-sel yang memiliki kemampuan sitotoksik terhadap pembunuhan sel kanker secara langsung.

SIMPULAN

Gambar

Tabel 1. Pembagian kelompok hewan percobaan
Tabel 3 Jumlah penambahan standar untuk pengujian IL-12
Gambar 1 Persen insidensi tumor  (Data BPPT tidak dipublikasikan)
Gambar 2 Multiplitas tumor (Data BPPT tidak dipublikasikan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

warga masyarakat merupakan bagian dari tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan akibat-akibat dari tindakan membakar sampah secara lengkap merupakan bagian dari

London Sumatra Indonesia Tbk, Unit Bah Lias Estate, sebagaimana humas atau public relations pada perusahaan lain, petugas humas di perusahaan ini memiliki tugas

Otpor kotrljanja kotača (automobilske gume) po podlozi F R ... Maksimalna sila automobilske gume ... PERFORMANSE VOZILA ... Maksimalna brzina ... Svladavanje maksimalnog uspona

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (a=5%) pada wama dan tingkat kesukaan panelis terhadap warna, dan ada perbedaan nyata pada kadar air,

Konsep Islam berbeda secara mendasar dengan ajaran welfare state , dimana sistem Islam dalam tujuannya adalah untuk mengemplementasikan kesejahteraan material dan spritual

Untuk data-data curah hujan, salju, debit sungai, dan suhu termasuk sebagai data spasial yang merupakan data multivariat karena diamati pada beberapa lokasi, oleh

Sebelum kerangka teori dan kerangka konsep dibangunkan, adalah menjadi tanggungjawab penyelidik untuk membuat bacaan secara komprehensif dan membuat sorotan

Sama halnya dengan listrik, bergantung pada kondisi jaringan, daya tampak yang diberikan oleh sumber tidak semuanya bisa dimanfaatkan oleh konsumen sebagai daya