• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencegahan Bruselosis Pada Sapi Potong Melalui Tindakan Karantina Di Pelabuhan Pantoloan Ke Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pencegahan Bruselosis Pada Sapi Potong Melalui Tindakan Karantina Di Pelabuhan Pantoloan Ke Kalimantan Timur"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN BRUSELOSIS PADA SAPI POTONG

MELALUI TINDAKAN KARANTINA DI PELABUHAN

PANTOLOAN KE KALIMANTAN TIMUR

AMBAR RETNOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Pencegahan Bruselosis pada Sapi Potong Melalui Tindakan Karantina di Pelabuhan Pantoloan ke Kalimantan Timur” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Ambar Retnowati

(4)

RINGKASAN

AMBAR RETNOWATI. Pencegahan Bruselosis pada Sapi Potong Melalui Tindakan Karantina di Pelabuhan Pantoloan ke Kalimantan Timur. Dibimbing oleh MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan IDWAN SUDIRMAN

Sulawesi Tengah merupakan daerah potensial lalulintas perdagangan komoditi peternakan antar Pulau khususnya ke Kalimantan Timur. Sejak 2009 berdasarkan keputusan Menteri Pertanian, Kalimantan Timur merupakan daerah bebas Bruselosis sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan terhadap kejadian Bruselosis di daerah bebas khususnya ternak sapi potong dari Pelabuhan Pantoloan Sulawesi Tengah dengan status daerah belum diketahui terhadap kejadian bruselosis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan tindakan pencegahan karantina terhadap bruselosis di Balai Karantina Pertanian Kelas II Palu terhadap sapi potong yang akan dilalulintaskan ke daerah bebas negatip terhadap bruselosis setelah dilakukan pengujian serologis Rose Bengal test (RBT) .

Penelitian dilakukan dengan cara pengambilan sampel darah pada sapi potong melalui vena jugularis sebelum dilalulintaskan ke antar daerah untuk dikoleksi serumnya. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah 100% sehingga didapatkan sejumlah 244 sampel. Uji skrining menggunakan Rose Bengal test (RBT) dilakukan di Laboratorium Karantina Hewan BKP Kelas II Palu, kemudian dilakukan uji banding Rose Bengal Test (RBT) dan complement fixation test (CFT) di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) Bogor.

Hasil penelitian menunjukkan sejumlah 244 sampel negatif karena tidak ditemukan reaktor positif berdasarkan hasil uji serologis.

(5)

SUMMARY

AMBAR RETNOWATI. Prevention of Brucellosis in Beef Cattle through Quarantine Measures at Ports of Pantoloan to East Borneo. Supervised by MIRNAWATI B. SUDARWANTO and IDWAN SUDIRMAN.

Central Sulawesi is a potential area for trade traffic of inter-island farm commodities, especially to East Borneo. Since 2009, according to the decree of the Minister of Agriculture Republic of Indonesia, East Borneo was decleared as brucellosis free area, so it is necessary to implement preventive measures in the free areas, especially for beef cattle from the port of Pantoloan Central Sulawesi

region’s were status is unknown

The aim of the study was to determine the level of successfull quarantine control in BKP Kelas II Palu of beef cattle which would be sent to the free areas. Examination of quarantine measure with serologycal diagnostic of Rose Bengal test more focused in area of origin, so that the beef cattle were sent to the free area can be ensured negative and free of brucellosis

The early phase of the research process by taking blood serum off beef cattle in quarantine cage of animal instalation through the jugular vein with a 100% sampling methods in order to obtain a 244 serum samples, followed by the coding process of serum samples. Total of 244 blood samples of beef cattle was collected before they sent to other areas. The blood samples were objected to the screening test of Rose Bengal test (RBT) in the Animal Quarantine Laboratory BKP Kelas II Palu and RBT and complement fixation test (CFT) in the Veterinary Research Center (BBalitvet) Bogor.

The study showed that all samples were negative of Brucellosis which meant no reactors were found.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

PENCEGAHAN BRUCELLOSIS PADA SAPI POTONG

MELALUI TINDAKAN KARANTINA DI PELABUHAN

PANTOLOAN KE KALIMANTAN TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini dengan judul “Pencegahan Bruselosis pada Sapi Potong Melalui Tindakan Karantina di

Pelabuhan Pantoloan ke Kalimantan Timur”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr med vet Drh Hj Mirnawati Sudarwanto dan Dr Drh H Idwan Sudirman selaku pembimbing, serta Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku ketua Progam Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Karantina Pertanian khususnya Kepala Pusat Karantina Hewan Drh Sudjarwanto, MM, Drh Muh. Jumadh, MM, Dr Drh Kisman A. Rasyid, MM, Drh Heriyanto, MM, Drh Arief Setiawan, Drh R Nurcahyo Nugroho, MSi beserta staf, serta Ir Junaidi, MM beserta staf Unit Pelaksana Teknik BKP Kelas II Palu, BKP Kelas I Balikpapan, Drh Endang beserta tim, SKP Kelas I Samarinda beserta tim, Drh Joko, Drh Siti Istiqomah, Drh Susan beserta staf Laboratorium Brucella Balai Penelitian Veteriner yang telah membantu selama penelitian yang telah banyak memberikan fasilitas, kemudahan dan saran. Terimakasih juga kepada rekan-rekan seperjuangan kelas khusus karantina 2013 atas kebersamaan dan kekompakan selama ini.

Ungkapan terima kasih kepada putri keduaku, bidadari surgaku yang telah menemani selama proses perkuliahan, penelitian dan sampai akhir hayatmu saat dirimu berusaha bertahan melawan rasa sakitmu sehingga ibu harus ikhlas dan yakin Allah subhanahu wa ta’ala lebih menyayangi almarhumah Elvina Ghaziya Inala Putri. Suamiku Zainal Khoirudin dan Alividya Zahrani Inala Putri kakak yang hebat, Ayah dan Ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

Hipotesa 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

3 METODE 11

Waktu dan Tempat Penelitian 11

Metode Pengambilan Sampel 12

Metode Pengujian Sampel 12

Analisis 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Hasil 15

Pembahasan 15

5 SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 26

(12)

DAFTAR TABEL

1 Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan 4

2 Jadwal kegiatan penelitian 12

3 Daftar pengambilan sampel serum sapi potong 12

4 Kriteria hasil Rose Bengal test (RBT) 13

5 Kriteria hasil complement fixation test (CFT) 14 6 Hasil Rose Bengal test (RBT) untuk 244 serum sapi potong 16 7 Hasil analisa descriptive statistic kuesioner di lapangan selama

penelitian 20

DAFTAR GAMBAR

1 Peta situasi bruselosis di Indonesia tahun 2013 di tingkat Provinsi 7 2 Status bruselosis tahun 2013 pada masing-masing Provinsi berdasarkan

tahapan 8

3 Klasifikasi daerah atau zona pemberantasan bruselosis tahun 2013 9 4 Perbandingan hasil Rose Bengal test (RBT) A, B hasil BKP Kelas II

Palu dan C, D hasil BBalitvet Bogor 15

5 Hasil complement fixation test (CFT), serum sampel menunjukkan reaksi negatif ditandai dengan terjadinya hemolisis 16

6 Pelabuhan pemuatan sapi potong 18

7 Kegiatan di Instalasi Karantina Hewan Pantoloan dan pemeriksaan di

atas alat angkut 18

8 Kegiatan pencegahan bruselosis di Kalimantan Timur 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pengujian complement fixation test (CFT) 25

2 Hasil pengujian Rose Bengal test (RBT) 34

3 Hasil analisa descriptive statistic dari hasil kuesioner di lapangan

(13)

2

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bruselosis atau penyakit keluron menular merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan oleh Office International des Episooties (OIE) dikategorikan sebagai penyakit zoonotik. Kuman Brucella oleh World Health Organization (WHO) diklasifikasikan sebagai kuman kelompok BSL III (OIE 2004). Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenis-jenis Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK), Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa, Bruselosis dikategorikan HPHK Golongan II. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 4026/Kpts.OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis. Bruselosis merupakan penyakit strategis dengan penularan yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas ternak yang ketat.

Kebijakan program pembebasan bruselosis di Indonesia yang ditargetkan akan dicapai pada tahun 2025 dengan target pembebasan seluruh wilayah Indonesia (Dirkeswan 2000). Dampak terhadap daerah dari program pembebasan bruselosis secara nasional berimplikasi pada peningkatan populasi ternak sapi dan perdagangan sapi potong sehingga pendapatan daerah dan ekonomi nasional meningkat. Keuntungan finansial dapat diperoleh masyarakat dari penghematan biaya pengobatan dari risiko hewan tidak terpapar bruselosis (Dirjen PKH 2014). Kejadian bruselosis pada sapi menimbulkan kerugian secara ekonomi akibat kejadian keguguran, placentitis dari sapi yang terinfeksi, kemajiran yang bersifat temporer dan permanen. Keguguran terjadi pada kebuntingan triwulan dua sampai tiga, sebanyak satu sampai tiga kali, dan umumnya pada kebuntingan pertama, hewan tidak menunjukkan gejala (asymptomatis) dan terlihat sehat. Keguguran dapat dijadikan sebagai tanda awal kejadian bruselosis bagi peternak.

Akibat kerugian yang ditimbulkan oleh bruselosis diperlukan suatu program pemberantasan dan pengendalian yang bersifat menyeluruh. Program pengendalian diprioritaskan melalui test and slauhgter (potong bersyarat) untuk daerah bebas/prevalensi <2% dan program vaksinasi untuk daerah tertular bruselosis/prevalensi > 2% (Naipospos 2014).

Sulawesi Tengah merupakan Provinsi yang melalui lintas darat berbatasan langsung dengan Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan yang kasus bruselosis masih tinggi. Sulawesi Tengah melalui Pelabuhan Pantoloan merupakan daerah potensial lalulintas perdagangan komoditi peternakan antar Pulau khususnya ke Kalimantan Timur.

(14)

3 Kondisi ini menuntut karantina hewan di Indonesia khususnya Unit Pelaksana Teknis (UPT) di wilayah kerja Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas II Palu untuk melakukan tindakan pencegahan atau pengamanan antar wilayah yang akan lebih banyak bertumpu pada kebijakan pengamanan maksimum mengenai tingkat kejadian penyakit. Resiko kejadian penyebaran bruselosis dari daerah tertular terhadap sapi potong yang akan dilalulintaskan ke daerah dengan status bebas serta metode pengambilan spesimen, pemeriksaan terhadap hewan dan laboratorium, pencegahan dan penanggulangan penyakit bruselosis terhadap sapi potong melalui Pantoloan. Data pengeluaran sapi potong ke Kalimantan Timur sejumlah 13094 ekor dari bulan Januari – Oktober 2013 (Sikawan 2013). Hal tersebut mengalami peningkatan yang signifikan ditahun berikutnya dengan jumlah lalulintas pengeluaran antar area sejumlah 11679 ekor dengan frekuensi kegiatan 221 dari bulan Januari – Agustus 2014 (Sikawan 2014).

Berdasarkan kondisi dari data pengeluaran ternak selama dua tahun maka perlu dilakukan suatu penelitian terhadap kejadian bruselosis di wilayah kerja BKP Kelas II Palu yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Pantoloan. Tindakan karantina yang dilakukan di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Pantoloan terhadap pencegahan kejadian bruselosis pada sapi potong yang dilalulintaskan ke Kalimantan Timur adalah pengambilan sampel serum untuk dilakukan pengujian skrining Rose Bengal. Penelitian ini didukung oleh data-data laporan penyakit hewan menular khususnya bruselosis dari instansi terkait, laporan dari masyarakat (petani, peternak) dan petugas kesehatan hewan serta hasil pemeriksaan terhadap sapi potong yang dilalulintaskan. Hasil analisis tersebut dapat dipergunakan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan berdasarkan scientificbase (kajian ilmiah), sehingga kelembagaan karantina hewan sebagai instansi yang bertugas melakukan tindakan pencegahan dapat menjadi tangguh dan terpercaya dengan pengembangan dan berdasarkan konsep ilmiah.

Perumusan Masalah

(15)

4

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas tindakan karantina yang telah dilakukan melalui pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen, fisik dan status kesehatan hewan dari media pembawa. Keberadaan bruselosis dideteksi dengan metode pengujian Rose Bengal test (RBT) dan

complement fixation test (CFT) terhadap sapi potong yang akan dilalulintaskan dari Sulawesi Tengah melalui Pelabuhan Pantoloan ke wilayah Kalimantan Timur dengan status bebas bruselosis.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mengetahui besarnya resiko penyebaran Bruselosis di Sulawesi Tengah dengan status daerah (tahap nol) yang prevalensinya belum diketahui pada sapi potong yang akan dilalulintaskan ke Kalimantan Timur dengan status daerah bebas (tahap tiga).

Faktor risiko yang dihasilkan selama penelitian yang berasal dari data primer dan data sekunder yang ada dilapangan serta menentukan prosedur pengujian dan metode pengambilan sampel yang representatif pada sapi potong yang dilalulintaskan dan sebagai dasar dalam pelaksanaan tindakan karantina.

Hipotesa

Ada hubungan antara tindakan karantina di Instalasi Karantina Hewan Pantoloan terhadap kejadian bruselosis pada sapi potong yang akan dilalulintaskan ke Kalimantan Timur.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi

Bruselosis juga merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular ke manusia, spesies Brucella yang patogen adalah B. melitensis, B . abortus, B. suis dan B. Canis. Koloni tumbuh pada agar darah, berbentuk bundar dengan diameter dua sampai empat mikron. Sifat dari kuman ini menghasilkan enzim katalase, oksidase, mereduksi nitrat dan menghidrolisis urea. Di dalam tubuh inang bersifat patogen, fakultatif intraseluler dan anaerobik (Ghaffar 2005). Taksonomi dari

Brucella abortus adalah :

(16)

5 Bruselosis pada Sapi

Bruselosis pada sapi disebabkan oleh Brucella abortus. Kuman ini adalah Gram negatif, berbentuk batang halus (kokus basilus), panjang 0.6–1.5 mikron dan lebar 0.5–0.7 mikron, untuk pertumbuhannya Brucella abortus memproduksi H2S, bersifat aerobik tetapi pada beberapa jenis memerlukan lingkungan yang mengandung karbondioksida 5–10%. (Quinn et al. 2006; Bret et al. 2007).

Bruselosis merupakan penyakit zoonotik utama yang bisa berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di beberapa negara (Agasthya et al. 2007). Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranian fever, Gilbaltar fever dan undulant fever karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi (Megid et al. 2010). Sifat biologik dari Brucella abortus yaitu tidak tahan terhadap pemanasan dan desinfektan. Kuman dapat tumbuh didalam sel (fakultatif intraseluler) dan sulit untuk difagosit oleh sel-sel makrofag bila terdapat dalam tubuh inang (Ghaffar 2005; Bret et al 2007). Pertumbuhan kuman yang lambat, memakan waktu dua sampai tiga hari, memerlukan media penyubur dengan suhu 37 oC, stabilitas bakteri terlihat pada Tabel 1 (Puto et al. 2010).

Tabel 1 Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan

Lingkungan Kondisi Stabilitas

Sinar matahari <31 oC 4.5 jam

Air 4 oC 4 bulan

Air laboratorium 20 oC 2.5 bulan

Tanah kering dalam laboratorium <4 hari 18 oC dengan kelembaban 69–72 hari,7 hari

Urin 37 oC 16 jam

8 oC 6 hari

Susu Mentah 25–37 oC 24 jam

8 oC 48 jam

Whey 17–24 oC <5hari

5 oC >6hari

Wol Gudang 5bulan

Manure 25 oC 1bulan

Jerami - hari-bulanan

Debu - 3–4 hari

Padang rumput Dibawah sinar matahari <5hari

Terlindung sinar matahari >6hari

Kayu, dinding dan lantai Sumber : Puto et al. 2010

Pemeriksaan serologis untuk menentukan adanya antibodi terhadap

Brucella sp didalam serum atau cairan tubuh digunakan Rose Bengal test (RBT),

serum aglutination test (SAT), complement fixation test (CFT) dan milk ring test

(17)

6

berdasarkan ketentuan FAO/WHO, nilai diagnostik positip adalah 100 IU/ml (sapi yang tidak divaksin) dan 200 IU/ml (sapi divaksin dengan Strain 19). Apabila titernya kurang dari setengah nilai diatas, dikatakan tersangka. Uji ini mempunyai nilai kepercayaan 70–90%. CFT merupakan uji yang pemakaiannya meluas di seluruh dunia karena ketepatan dan kepekaan (sensitifitasnya) mencapai 97–98%. MRT pada prinsipnya bila terdapat antibodi akan berikatan dengan lemak yang mengapung diatas permukaan susu. Kuman yang telah diwarnai dengan hematoksilin akan mengapung diatas permukaan susu membentuk cincin yang berwarna ungu/violet. Uji ini mempunyai nilai kepercayaan 73–92% (Dirkeswan 2000).

Aspek Epidemiologi

Pemahaman terhadap epidemiologi bruselosis menjadi titik kritis untuk suksesnya pemberantasan penyakit ini. Keberadaan penyakit ini tidak merata di suatu negara atau wilayah tertentu termasuk di Indonesia karena terjadi dalam situasi epidemiologik dan tipologi produksi atau pola budidaya yang berbeda-beda. Sangat penting diketahui faktor risiko infeksi bruselosis yaitu faktor-faktor yang secara signifikan berkaitan dengan tinggi rendahnya angka prevalensi.

Bruselosis pada hewan berkaitan dengan kekebalan kelompok pada populasi ternak atau disebut sebagai herd imunity or flock Problem. Penyebaran penyakit antar ternak dalam populasi biasanya tidak memperlihatkan gejala yang jelas dan terjadi secara kronis. Penyebaran penyakit dalam suatu populasi terutama disebabkan oleh pakan yang terkontaminasi. Infeksi melalui kontak perkawinan biasa terjadi terutama pada infeksi B. suis. Infeksi secara kongenital dan perinatal juga bisa terjadi dengan perkembangan infeksi yang laten (FAO 2003).

Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi, kejadian penyakit pada manusia erat kaitannya dengan prevalensi bruselosis pada hewan, praktek-praktek atau kontak langsung dengan hewan yang berpotensi penyakit dan produk hewan itu sendiri. Penularan bruselosis pada manusia melalui kontak langsung biasa terjadi pada dokter hewan, penggembala, peternak atau pekerja rumah potong hewan. Manusia di beberapa negara terinfeksi bruselosis melalui produk hewan yaitu dengan adanya kebiasaan meminum susu tanpa pasteurisasi atau memakan keju yang berasal dari susu yang tidak dipasteurisasi (Bret et al. 2007).

(18)

7 Bruselosis di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1953, ditemukan pada peternakan sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kuman

Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 juga dilaporkan di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sakit sane (arthritis) atau sakit burut (epididimitis). Tahun 1957 bruselosis belum dimasukan ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia sedangkan penyakit ini diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tahun 1958 bruselosis segera diklasifikasikan sebagai penyakit hewan menular dan pada tahun 1959 terbit surat keputusan menteri pertanian No: 5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan dan tindakan terhadap hewan bruselosis (Putra et al. 2002).

Informasi epidemiologis yang akurat merupakan elemen kunci dan esensial dalam implementasi kegiatan pemberantasan bruselosis yang tepat di lapangan. Informasi epidemiologis yang paling penting dan utama dalam hal ini adalah angka prevalensi. Selain dijadikan sebagai indikator kinerja program, angka prevalensi merupakan alat untuk menetapkan status daerah atau kelompok ternak, menetapkan strategi pemberantasan, mengukur kemajuan pemberantasan,

menetapkan ‘exit strategy' vaksinasi, dan menetapkan tahap akhir menuju deklarasi bebas. Meskipun demikian, harus diakui dalam praktiknya selama ini masih banyak laporan bruselosis yang hanya mencantumkan jumlah kasus positif (tanpa diketahui denominator-nya yaitu jumlah semua sampel yang diperiksa), sehingga sulit diperoleh angka prevalensinya dan bisa menimbulkan bias dalam menilai status penyakit yang sebenarnya (Naipospos 2014). Tipe kuman Brucella

yang menyerang sapi di Indonesia adalah biotipe satu (Setiawan 1991). Kuman ini merupakan isolat lokal yang paling patogen sehingga mampu menimbulkan keguguran dan infeksi bersifat meluas pada tubuh sapi (Noor 2006).

Bruselosis di Indonesia

Bruselosis lebih dikenal sebagai penyakit ternak, akan tetapi bahwa penyakit ini dapat menular ke manusia belum banyak diketahui masyarakat. Sinyalemen ini sejalan penetapan prioritas pengendalian Kementerian Kesehatan yang hanya ditujukan pada lima zoonosis lain yaitu flu burung, rabies, antraks, leptospirosis, dan pes. Dalam Rencana Strategis Nasional Komite Nasional Pengendalian Zoonosis, bruselosis merupakan satu dari enam zoonosis strategis yang menjadi prioritas dalam penanganannya yaitu flu burung, rabies, antraks, leptospirosis, bruselosis, dan pes. Bruselosis ditetapkan sebagai salah satu dari 22 jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS) sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts./OT.140/3/2013.

(19)

8

dengan Pengurus Pusat Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) selama lima tahun (Noor 2006).

Gambar 1 Peta situasi bruselosis Indonesia tahun 2013 di tingkat Provinsi Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)

Situasi bruselosis berdasarkan provinsi di Indonesia pada tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 1. Meskipun secara keseluruhan program pemberantasan berjalan lambat, akan tetapi sampai saat ini ada 14 provinsi yang memiliki tingkat prevalensi sangat rendah sudah dinyatakan bebas yaitu: Bali pada tahun 2002, Nusa Tenggara Barat - Pulau Lombok pada tahun 2002 dan Pulau Sumbawa pada tahun 2006, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah pada tahun 2009, Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau pada tahun 2009, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2011. Menurut data yang tersedia, salah satu zona atau wilayah yang sebentar lagi akan dinyatakan bebas karena tingkat prevalensinya sangat rendah yaitu Pulau Madura - prevalensi 0.04% pada tahun 2011 dan Provinsi Sumatera Utara-prevalensi 0.15% pada tahun 2011, dan nol% pada tahun 2012. Saat ini program pembebasan bruselosis memasuki tahap akhir di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Kontrol serta Perkembangan Program Pemberantasan Bruselosis di Indonesia

(20)

9 studi epidemiologi dan ekonomi penyakit (Noor 2006). Manajemen peternakan harus diterapkan pada daerah peternakan dengan sejarah bruselosis. Jika ada ternak yang didiagnosa bruselosis harus segera dipisahkan dan jika terjadi keluron, fetus atau membran dari fetus segera dikirim ke laboratorium terdekat untuk diuji. Kemudian tempat terjadinya abortus harus didesinfeksi dan semua material yang terkontaminasi harus segera dibakar atau dikubur dalam tanah.

Di negara berkembang, pemberantasan dengan test and slaughter sulit dicapai oleh karena sumberdaya terbatas untuk memberikan ganti rugi kepada pemilik yang ternaknya harus disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH). Begitu juga informasi yang berkaitan dengan angka prevalensi kejadian bruselosis sangat terbatas, dan program pengendalian jarang diimplementasikan. Vaksinasi bruselosis dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi, menurunkan risiko keguguran, dan mengurangi ekskresi kuman. Program vaksinasi bisa mengurangi insidensi penyakit pada populasi manusia, akan tetapi tidak cukup untuk memberantas penyakit tanpa diikuti tindakan lain. Hal menguntungkan yang bisa diperoleh dengan mempertahankan program vaksinasi sampai atau setelah tahap pemberantasan dicapai, karena bisa memastikan populasi tetap terproteksi dari sisa sumber infeksi yang tidak terdeteksi. Vaksinasi yang efektif bisa tercapai apabila terpenuhi dua syarat yaitu cakupan vaksinasi harus > 80% dari populasi ternak. Vaksinasi dapat berlangsung untuk jangka waktu lebih dari dua kali rata-rata masa produksi. Tantangan dalam melakukan program vaksinasi umumnya adalah cakupan vaksinasi > 80% tidak tercapai, rantai dingin (cold chain) kurang memadai, dan tidak adanya identifikasi ternak.

(21)

10

Waktu Status Bruselosis Kegiatan yang dilakukan

3 tahun minimum

Gambar 3 Klasifikasi daerah atau zona pemberantasan bruselosis tahun 2013 Sumber: Diskemakan oleh Dr. John Weaver, Consultant pada Australia Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases (AIP-EID), 2013

Prevalensi tidak diketahui

1. Peningkatan kesadaran masyarakat 2. Lakukan sero-survei

3. Investigasi kasus abortus dengan konfirmasi laboratorium

4. Buat program pengendalian 1. Peningkatan kesadaran masyarakat 2. Vaksinasi sapi betina tahun pertama

3. Vaksinasi semua anak sapi betina setiap tahun (dua kali vaksinasi pertahun, anak sapi umur tiga - sembilan bulan

4. Catat/laporkan penggunaan vaksin 5. Kendalikan lalulintas ternak

6. Lakukan sero-survei secara periodik 7. Penelusuran ternak reaktor

8. Kaji ulang program setiap tahun Prevalensi tinggi

1. Peningkatan kesadaran masyarakat 2. Tidak lakukan vaksinasi

3. Kendalikan lalulintas ternak

4. Uji semua sapi betina >12 bulan (RBT) 5. Konfirmasi RBT + dengan CFT 6. Sembelih sapi CFT +

7. Bayarkan kompensasi

8. Lakukan sero-survei setiap tahun

9. Investigasi kasus abortus dengan konfirmasi laboratorium

10.Penelusuran ternak reaktor 11.Kaji ulang program setiap tahun

1. Peningkatan kesadaran masyarakat 2. Tidak lakukan vaksinasi

3. Kendalikan lalulintas ternak 4. Lakukan sero-survei setiap tahun

5. Pertahankan investigasi kasus abortus dan pengujian/penelususran /sembelih reaktor Bebas Sementara

(Prevalensi kelompok ternak/desa <0.2%)

1. Peningkatan kesadaran masyarakat 2. Kendalikan lalu lintas ternak

3. Investigasi kasus abortus dengan pengujian laboratorium dan penelusuran

4. Persiapan laporan pembebasan bruselosis Zona/Kompartemen Bebas

(Prevalensi kelompok ternak/desa selama 3 tahun

(22)

11 Menurut Naipospos (2014) program pemberantasan bruselosis secara nasional dilaksanakan secara progresif dengan dua pendekatan yaitu pendekatan tahapan (stepwise approach) dan pendekatan zona (zoning approach). Pendekatan tahapan (stepwise approach) mengacu kepada empat tahapan yang diperkenalkan Food and Agriculture Organization (FAO) sejak tahun 2012 yaitu seperti pada gambar 2. berdasarkan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam Kegiatan Rapat Penyakit Hewan Menular se-Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros Tahun 2013.

1. Tahap nol : Prevalensi tidak diketahui

2. Tahap satu :Situasi diketahui dan program pemberantasan sedang berjalan

3. Tahap dua : Prevalensi menurun hingga 0.20% dan mendekati status bebas (provisionally free)

4. Tahap tiga : Deklarasi status bebas bruselosis

Pendekatan zona (zoning approach) didasarkan atas klasifikasi daerah atau zona yaitu: Daerah bebas penyakit, Daerah tertular ringan (< 2%), Daerah tertular berat(> 2%), Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui). Gambaran pada masing-masing Provinsi mengenai situasi bruselosis yang lebih akurat, dilakukan melalui metode pendekatan zona. Metode tersebut digunakan pada tingkat kabupaten/kota, dengan unit epidemiologi berupa “desa” atau “kelompok ternak”. Gambar 3 memperlihatkan status bruselosis masing-masing provinsi berdasarkan daerah atau zona dengan kegiatan yang dilakukan di masing-masing daerah/zona.

FAO (2006) menyatakan bahwa jangka waktu pemberantasan bruselosis paling tidak membutuhkan lebih dari 10 tahun. Dalam kurun waktu tersebut banyak hal yang harus dibangun mulai dari proses pengambilan kebijakan sampai kepada memberikan harapan yang realistik dan memperlihatkan kesabaran sebelum hasil akhir tercapai. Sebagai contoh Australia adalah negara yang menyatakan bebas bruselosis pada tahun 1989 dan membutuhkan jangka waktu 29 tahun untuk mencapai status bebas tersebut.

Tantangan Pemberantasan Bruselosis

Pemberantasan bruselosis pada ternak di negara maju dicapai dengan sukses melalui kombinasi program vaksinasi dan test and slaugther, sedangkan bruselosis pada manusia melalui pasteurisasi susu, serta program surveilance yang efektif dan pengendalian lalulintas ternak. Selanjutnya upaya lebih ditekankan pada analisa risiko (risk analysis) untuk mencegah terjadinya infeksi bruselosis.

Pemberantasan di negara berkembang dengan test and slaugther sulit dicapai karena sumber daya terbatas untuk memberikan ganti rugi kepada pemilik yang ternaknya harus disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH), informasi yang berkaian dengan angka prevalensi bruselosis yang sangat terbatas dan program pengendalian jarang diimplementasikan.

(23)

12

tanpa diikuti tindakan lain. Vaksinasi yang efektif bisa tercapai apabila dua syarat terpenuhi yaitu:

1. Cakupan vaksinasi harus >80% pada populasi ternak yang harus divaksin 2. Vaksinasi berlangsung untuk jangka waktu lebih dari dua masa produksi.

Tantangan dalam melakukan vaksinasi adalah cakupan vaksinasi tidak tercapai, rantai dingin kurang memadai dan tidak adanya identifikasi ternak

Ruang lingkup pemberantasan hanya ditujukan pada ternak sapi potong, sapi perah, dan kerbau dengan fokus pada spesies Brucella abortus. Aspek pengendalian pada manusia tidak dimasukkan dalam program pembebasan ini, sehingga prinsip ‘one health’ tidak diterapkan. Prinsip utama pemberantasan adalah :

1. penyembelihan terhadap seluruh reaktor (hewan yang menunjukkan reaksi positif terhadap uji serologis.

2. Vaksinasi populasi hewan yang peka

3. Pengendalian lalulintas ternak dan penelusuran (traceability) asal usul ternak (Naipospos 2014).

Peran karantina dalam pengendalian lalulintas ternak terdapat fungsi dalam upaya pencegahan terhadap penyebaran bruselosis dari status belum diketahui ke status bebas dengan beberapa indikator tingkat keberhasilan yaitu :

1. Berhasil : jika dalam pengujian menunjukkan hasil negatif dengan

screening test RBT pada daerah asal dan daerah tujuan

2. Kurang berhasil : jika dalam pengujian positif RBT dan setelah dilakukan uji konfirmasi CFT menunjukkan hasil positif, tetapi media pembawa sudah dilakukan pemotongan didaerah tujuan sehingga tidak bisa dilakukan pengambilan sampel ulang untuk peneguhan diagnosa (pada daerah tujuan). jika dalam pengujian positif RBT dan setelah dilakukan uji konfirmasi CFT menunjukkan hasil positif, tetapi media pembawa sudah dilakukan pengapalan/shipment sehingga tidak bisa dilakukan pengambilan sampel ulang untuk peneguhan diagnosa pada daerah tujuan.

3. Tidak berhasil : jika dalam pengujian ditemukan kasus keluron dan reaktor positif dengan peneguhan uji RBT dan CFT serta dilakukan test and slaugther dengan pengawasan instansi terkait.

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

(24)

13 Tabel 2 Jadwal kegiatan penelitian

No Uraian Waktu Tempat

1 Pengumpulan data sekunder

Maret – April 2014 BKP Kelas II Palu 2 Pengumpulan serum Juli – Agustus 2014 BKP Kelas II Palu 3 Pengujian RBT (sesaat

pengumpulan)

Juli – Agustus 2014 BKP Kelas II Palu 4 Pengujian RBT

(BBalitvet)

Agustus – September 2014

BBalitvet

Laboratorium Brucella

5 Pengujian CFT (BBalitvet)

Agustus – September 2014

BBalitvet

Laboratorium Brucella

Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan sesuai jumlah sapi potong yang akan di lalulintaskan (shipment). Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil sampel darah sapi potong pada vena jugularis untuk dilakukan koleksi serum dan dilakukan pengujian screening dengan RBT dilanjutkan dengan uji konfirmasi menggunakan CFT yang dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) Bogor. Tabel 3 menunjukkan daftar dari 244 sampel serum sapi potong yang dilalulintaskan ke Kalimantan Timur pada saat kegiatan penelitian berlangsung.

Tabel 3 Daftar pengambilan sampel serum sapi potong

No Kode Sampel Total Tempat

1 Fajar Samudera 01 24 BKP Kelas II Palu

2 Sri Cahaya 02 23 BKP Kelas II Palu

3 Fajar Samudera 03 39 BKP Kelas II Palu 4 Fajar Samudera 04 25 BKP Kelas II Palu

5 Sri Cahaya 05 17 BKP Kelas II Palu

6 Sri Cahaya 06 24 BKP Kelas II Palu

7 Fajar Samudera 07 33 BKP Kelas II Palu 8 Fajar Samudera 08 34 BKP Kelas II Palu

9 Sri Cahaya 09 25 BKP Kelas II Palu

(25)

14

Metode Pengujian Sampel

Uji Rose Bengal

Uji Rose Bengal adalah reaksi pengikatan antigen yang telah dilemahkan dan diwarnai dengan antibdi dari contoh serum. Pengikatan antigen permukaan dengan antibodi menyebabkan terjadinya aglutinasi. Bila tidak terjadi aglutinasi artinya serum tidak mengandung antibodi terhadap Brucella. Bahan dan penyediaannya adalah cawan hemaglutinasi WHO (WHO haemaglutination plate) atau lempeng kaca atau lempeng porselin. Rotary aglutination digunakan untuk memutar cawan HA dan untuk lempeng kaca digunakan alat penggoyang (rocker). Sesudah digunakan cawan, lempeng kaca dan tip plastik direndam dengan deterjen laboratorium sedikitnya dua jam dan jika mungkin semalam. Kemungkinan baru dicuci dengan air yang mengalir dan setelah bersih alat-alat tersebut dikeringkan dalam oven/lemari es. Antigen yang digunakan ialah antigen standar yang telah ditetapkan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Serum dan antigen sebelum digunakan untuk pengujian harus disesuaikan dengan suhu kamar.

Cara uji Rose Bengal adalah teteskan 0.025 ml serum yang diuji secara berturut-turut ke dalam lubang-lubang cawan dengan menggunakan mikropipet yang menggunakan ujung pipet plastik (disposable tip). Teteskan 0.025 ml antigen ke dalam tiap lubang yang telah berisi serum, kedua belah tangan pegang cawan itu erat-erat, kemudian gerakkan secara berputar enam kali ke kanan dan ke kiri. Cawan digoyang diatas rotary aglutinator selama empat menit. Gunakan kontrol serum positif dan negatif pada setiap pengujian. Baca hasil reaksinya diatas sumber cahaya putih dengan memperlihatkan kriteria sabagai mana disajikan pada tabel 4.

Tabel 4 Kriteria hasil Rose Bengaltest (RBT)

No Hasil Pengujian Keterangan

1 (-)Negatif tidak ada aglutinasi, tidak ada batas pinggir dan campuran antigen dan serum tetap homogen 2 + (+satu) terlihat penggumpalan yang halus dan batas

pinggirterjadi garis putus-putus

3 ++ (+dua) terlihat jelas penggumpalan yang halus dengan garis tepi yang lebar.

4 +++ (+tiga) terlihat penggumpalan yang kasar/besar dan cairan menjadi jernih.

Warm Micro complement fixation test (CFT)

CFT merupakan reaksi pengikatan komplemen untuk mengukur kadar antibodi serum ataupun antigen. Prinsip reaksi ini adalah adanya kompleks antigen dan antibodi yang homolog, menarik komplemen untuk berikatan dengan bagian Fc dari antibodi sehingga melisiskan sel darah merah.

(26)

15 (termasuk serum kontrol negatif dan positif), kemudian diinaktivasi pada suhu 58 oC selama 30 menit didalam penangas air. Setiap lubang cawan kecuali baris A diisi diluen barbital buffered saline (BBS) sebanyak 0.025 ml. Serum diencerkan dalam BBS dengan cara memindahkan 0.025 ml serum dari A ke lubang cawan di baris B, begitu seterusnya sampai baris H, sehingga diperoleh enceran serum 1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya. Setiap lubang cawan mikro mulai baris C sampai dengan H masing-masing diisi antigen sebanyak 0.025 ml. Mulai baris B sampai H masing-masing lubang ditambah 0.025 ml komplemen. Semua lubang cawan pada baris B di tambah diluen 0.025 ml dan digunakan sebagai kontrol terhadap adanya aktivitas antikomplementer. Cawan ini kemudian diinkubasi pada temperatur 37 oC selama 30 menit. Setelah masa inkubasi berakhir, setiap lubang cawan mulai dari baris B sampai dengan H masing-masing ditambah 0.025 ml eritrosit yang telah disensitifkan dengan hemolisin. Selanjutnya cawan diinkubasikan lagi pada temperatur 37 oC selama 30 menit sambil dikocok dengan alat pengocok (shaker). Cawan mikro diputar pada kecepatan 2000 rpm selama lima menit atau didiamkan pada suhu 4 oC semalam, lalu hasil reaksinya dibaca dengan kriteria kriteria sebagai mana disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kriteria hasil complement fixation test (CFT)

No Hasil Pengujian Keterangan

1 (-)Negatif terjadi hemolisis sempurna, cairan dalam lubang cawan berwarna merah, tidak ada endapan eritrosit didasar cawan

2 + (+satu) terjadi hemolisis hampir sempurna, cairan dalam lubang cawan berwarna merah, ada sedikit endapan eritrosit di dasar cawan

3 ++ (+dua) sebagian besar hemolisis, cairan berwarna merah, endapan eritrosit agak melebar dengan tepi tidak rata

4 5

+++ (+tiga) ++++ (+empat)

sebagian besar eritrosit tidak lisis, warna cairan agak merah, endapan eritrosit terlihat jelas tidak terjadi hemolisis, cairan dalam cawan bening, endapan eritrosit terlihat nyata dengan batas pinggir rata.

Interpretasi hasil uji pengikatan komplemen : Hasil reaksi ditentukan berdasarkan terjadinya 50% hemolisis pada pengenceran serum tertinggi, serum dengan titer CFT 1:4 (1/4) atau lebih dikatakan positif.

Analisis

(27)

16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Rose Bengal (RBT) Laboratorium Karantina Hewan BKP Kelas II Palu

dan Laboratorium Bruselosis BBalitvet Bogor

Uji Rose Bengal (RBT) merupakan uji pendahuluan atau uji tapis untuk mendeteksi hewan tersangka bruselosis. Keuntungan dari uji RBT adalah dapat memperoleh hasil pemeriksaan dengan cepat dan sensitif, sedangkan kerugian dari pengujian RBT mempunyai spesifitas hasil pemeriksaan yang kurang (Noor 2006). Maka untuk mendiagnosa secara akurat perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut dengan uji complement fixation test (CFT) sebagai peneguhan hasil diagnosa. Skrining RBT pada sapi potong dari Pelabuhan Pantoloan ke Kalimantan Timur dilakukan pada suhu kamar dengan menggunakan serum dan antigen RBT dengan perbandingan sama banyak 0.025 ml sebelum dilalulintaskan.

Uji Rose Bengal (RBT) yang dilakukan di dua tempat yaitu Laboratorium Karantina Hewan BKP Kelas II Palu yang belum melakukan sistem manajemen mutu laboratorium dan penerapan ISO 17025 dan laboratorium terakreditasi yaitu Laboratorium Brucella BBalitvet Bogor. Media yang digunakan adalah sampel yang sama dengan alat yang digunakan berbeda, pengujian RBT di BKP Palu menggunakan lempeng atau plat porselin dengan plateshaker, sedangkan di Laboratorium Brucella BBalitvet Bogor menggunakan cawan hemaglutinasi WHO (WHO haemaglutination plate) dengan rotary aglutinator. Seluruh sampel hasil uji menunjukkan hasil negatif seperti pada Gambar 4.

A B

C D

(28)

17 Metode dengan menggunakan lempeng porselin dan cawan hemaglutinasi WHO dalam penelitian ini mempunyai validitas pengujian mencapai 100% karena dalam setiap pengujian selalu menggunakan kontrol positif dan kontrol negatif dan antigen yang telah disahkan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pengujian RBT dilakukan secara duplo dengan dua personel secara bersamaan menghasilkan hasil negatif terhadap seluruh sampel. Validasi terhadap metode pengujian dan validasi terhadap personal laboratorium pada pengujian sampel serum sapi potong yang akan dilalulintaskan ke Kalimantan Timur menunjukkan kesesuaian sehingga bisa dijadikan acuan terhadap diagnosa pendukung dan sebagai data untuk pelaksanaan uji banding untuk penerapan sistem manajemen mutu laboratorium.

Hasil RBT tercantum pada Tabel 6. menunjukkan bahwa 244 sampel serum sapi potong yang diuji RBT bereaksi negatif (Gambar 4). Ditandai seluruh sampel menunjukkan reaksi homogen dan tidak terjadi reaksi pemebentukan butiran pasir pada plate uji atau lempeng porselin. Sampel tersebut selanjutnya dilakukan uji konfirmasi lebih lanjut dengan uji CFT sebagai peneguhan hasil pemeriksaan untuk deteksi individual dari sapi potong yang akan dilalulintaskan. Apabila pada uji RBT dihasilkan positif tiga dan positif dua tetapi pada hasil CFT atau ELISA keduanya negatif, maka harus diadakan pengujian ulang terhadap hewan tersebut setelah 30-60 hari kemudian. Apabila pada uji RBT dihasilkan positif satu tetapi pada hasil CFT atau ELISA keduanya negatif, maka dinyatakan negatif terhadap Bruselosis.

Tabel 6 Hasil Rose Bengal test ( RBT) untuk 244 serum sapi potong

Kode Sampel Serum

(BKP Palu)

Serum (BBalitvet)

RBT positif RBT negatif RBT positif RBT negatif

Fajar Samudera 01 0 24 0 24

Sri Cahaya 02 0 23 0 23

Fajar Samudera 03 0 39 0 39

Fajar Samudera 04 0 25 0 25

Sri Cahaya 05 0 17 0 17

Sri Cahaya 06 0 24 0 24

Fajar Samudera 07 0 33 0 33

Fajar Samudera 08 0 34 0 34

Sri Cahaya 09 0 25 0 25

Total 0 244 0 244

(29)

18

Uji Konfirmasi complement fixation test (CFT) di Laboratorium Bruselosis BBalitvet Bogor

Sejumlah 244 sampel dari hasil uji Rose Bengal negatif di BKP Kelas II Palu, selanjutnya dilakukan pengujian secara pararel di BBalitvet Bogor (uji Rose Bengal) dan uji konfirmasi dengan CFT yang menunjukkan negatif, hasil reaksi terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Hasil complement fixation test (CFT) , serum sampel menunjukkan reaksi negatif ditandai terjadinya hemolisis

Dasar reaksi uji CFT adalah reaksi antigen, antibodi dan komplemen pada suhu 58 oC selama 30 menit. Jika seluruh komplemen telah terikat pada antigen dan antibodi, maka tidak akan terjadi hemolisis, berarti serum sampel bereaksi positif atau mengandung antigen terhadap Brucella sedangkan bila terjadi hemolisis berarti serum tidak mengandung antigen Brucella sehingga bereaksi negatif. Komplemen terdiri dari protein kompleks yang bereaksi bila ada ikatan antigen-antibodi, yang dapat menyebabkan lisisnya sel. Hasil CFT dikatakan positif, apabila serum titer CFT mencapai di pengenceran 1:4 (1/4) atau lebih sedangkan hasil negatif bila serum titer CFT pengenceran 1:2 (1/2). Semakin tinggi serum titer CFT maka semakin kuat serum bereaksi positif terhadap bruselosis. Reaksi ditandai dengan tidak terjadi hemolisis pada sampel serum sehingga dapat menentukan status dari bruselosis (Alton 1988; Ekawati 2007).

Pemeriksaan serologis secara konvensional RBT dan CFT memiliki beberapa kelemahan. Penggunaan RBT tidak jarang terjadi reaksi silang dengan antibodi terhadap beberapa jenis bakteri lain seperti antibodi dari Yersinia,

Bordetella, Salmonella atau Pasteurella sehingga terjadi reaksi positif palsu. Positif palsu dapat terjadi karena antigen menetap pasca vaksinasi pada sapi dewasa. Negatif palsu dapat terjadi karena terbentuknya IgG1 sebagai respon terhadap infeksi. IgG1 merupakan aglutinator yang kurang baik sehingga akan menghasilkan fenomena prozone, yaitu keadaan dimana konsentrasi antibodi yang tinggi melapisi partikel antigen sehingga mencegah aglutinasi (Sudibyo 1994).

(30)

19 menentukan status hewan yang tertular secara kronis. Ketepatan diagnosis serologis adalah merupakan faktor yang penting untuk mencapai keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan bruselosis ( Subronto 1985).

Berdasarkan hasil uji diatas menunjukkan bahwa sapi potong dari Sulawesi Tengah yang mempunyai daerah dengan status prevalensi yang belum diketahui ke wilayah dengan status bebas ke Provinsi Kalimantan Timur dapat dipastikan negatif terhadap bruselosis. Karantina daerah asal berhasil dalam melaksanakan tindakan karantina didukung dengan pemeriksaan RBT sebelum sapi potong diberangkatkan melalui Pelabuhan Pantoloan Sulawesi Tengah.

Upaya penanggulangan bruselosis yang dilakukan oleh pemerintah pada daerah dengan prevalensi lebih dari 2% dilakukan program vaksinasi, sedangkan pada daerah dengan prevalensi kurang dari 2% dilakukan pemotongan bersyarat (Noor 2006). Berdasarkan hasil pemeriksaan uji CFT maka pencegahan yang dilakukan apabila ditemukan reaktor positif terhadap sapi potong dari Sulawesi Tengah melalui Pelabuhan Pantoloan adalah test and slaughter.

Pencegahan Bruselosis oleh BKP Kelas II Palu terhadap Lalulintas Media Pembawa Hewan Sapi Potong dari Sulawesi Tengah

Lalulintas media pembawa hewan dalam hal ini sapi potong ke Kalimantan Timur melalui Pelabuhan yang sudah ditetapkan yaitu Pelabuhan Pantoloan dan Pelabuhan Ferry Taipa (Gambar 6), dengan rata-rata pemuatan tiga-lima kali dalam seminggu

Gambar 6 Pelabuhan pemuatan sapi potong

Sapi potong yang akan dilalulintaskan terlebih dahulu dilakukan tindakan karantina seperti pada Gambar 7. di instalasi karantina hewan BKP Kelas II Palu berupa pengambilan sampel darah oleh petugas karantina dan dinas setempat dan UPTD Veteriner Provinsi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan metode pengambilan sampel 100% karena Provinsi Sulawesi Tengah dalam tahap program peningkatan status pembebasan terhadap bruselosis.

(31)

20

Gambar 7 Kegiatan di Instalasi Karantina Hewan Pantoloan dan pemeriksaan di atas alat angkut

Pengisian kuesioner juga dilakukan selama penelitian berlangsung kepada pengguna jasa dalam hal ini perusahaan sebelum media pembawa ternak sapi potong dilalulintaskan ke Kalimantan Timur dengan daerah tujuan Balikpapan dan Samarinda. Dari hasil kuesioner dapat dilakukan analisa deskriptif dengan SPSS versi 20 sehingga di dapatkan hasil seperti pada tabel 7.

Pengiriman sapi ke Kalimantan Timur dengan tujuan Pelabuhan bongkar Balikpapan dan Samarinda dari Sulawesi Tengah dikelola oleh perusahaan, dengan frekuensi pengiriman tiga sampai lima kali dalam satu minggu. Jenis sapi yang dilalulintaskan dari berbagai jenis dalam satu kali pengiriman yaitu Peranakan Ongole (PO), Bali, Rambon, dan Donggala dengan rata-rata umur diatas empat tahun. Hasil wawancara dilapangan rata-rata pengiriman sapi lebih dari 100 ekor sebesar 55.6% dan sapi dengan jumlah 51–100 ekor sebesar 44.4%.

(32)

21 Tabel 7 Hasil analisa descriptive statistic kuesioner di lapangan selama penelitian

Frequencies

(33)

22

Pencegahan Bruselosis terhadap Lalulintas Media Pembawa Hewan Sapi Potong di Daerah Tujuan Kalimantan Timur

Sapi Potong yang dilalulintaskan dari Pelabuhan Pantoloan ke Kalimantan Timur dengan tujuan Kota Balikpapan dan Samarinda. Pembongkaran di Balikpapan dilakukan di Pelabuhan Kariangau, Semayang, dan Sepaku dengan tujuan sapi ke Kota Balikpapan, Kabupaten Paser, dan Kabupaten Panajam Paser Utara (PPU) dengan tempat pemeriksaan di daerah Somber dan Sepaku seperti pada Gambar 8. Pembongkaran di Samarinda dilakukan di Pelabuhan Samarinda, Bontang, dan Sangata dengan tujuan sapi ke Kota Samarinda, Kutai Kartanegara, Tenggarong, Bontang, dan Kutai Timur dengan rata-rata kebutuhan sapi potong 400–600 ekor per minggu dengan pengambilan sampel 100% dan dilakukan RBT di instalasi karantina hewan Palaran Samarinda seperti pada Gambar 8.

Tindakan yang dilakukan apabila ditemukan positif serologis terhadap hasil RBT adalah test and slaughter di instalasi karantina dengan pengawasan dinas terkait dan pihak peternak atau perusahaan. Lalu lintas ternak sapi potong tujuan Kalimantan Timur (Samarinda dan Balikpapan) tidak hanya berasal dari Pelabuhan Pantoloan saja, ada beberapa pintu pengeluaran diantaranya Mamuju, Parepare, Makasar, Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, dan Nusa Tenggara Timur.

Pengujian screening RBT dilakukan di daerah asal dengan metode pengambilan sampel 100% dan dilakukan oleh laboratorium dinas setempat.

Gambar 8 Kegiatan pencegahan bruselosis di Kalimantan Timur

(34)

23 daerah pengiriman yang menyatakan tidak adanya gejala klinis terhadap infeksi

Brucella pada hari pengiriman (shipment) dan berasal dari negara, zona, kelompok atau kawasan peternakan yang bebas dari infeksi kejadian Brucella.

Pengiriman ternak potong ke wilayah bebas bisa dilakukan dari daerah yang sedang tidak melakukan program pemberantasan (eradication) terhadap infeksi

Brucella, ternak yang dilalulintaskan tidak menunjukkan gejala penyakit gangguan reproduksi, diutamakan pejantan yang sudah dikastrasi dan ternak sapi potong yang akan dilalulintaskan harus dilakukan isolasi dan pengamatan yang menunjukkan hasil negatif terhadap Brucella selama 30 hari sebelum pengiriman (shipment) (OIE 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan Hasil penelitian ini untuk mendeteksi keberadaan bruselosis dengan metode pengujian Rose Bengal test (RBT) dan complement fixation test

(CFT) terhadap sapi potong yang akan dilalulintaskan dari Sulawesi Tengah melalui Pelabuhan Pantoloan ke wilayah Kalimantan Timur dengan status bebas bruselosis menunjukkan sebanyak 244 sampel negatif. Tindakan ini dapat digunakan dalam rangka usaha tindakan karantina daerah asal yang berfungsi untuk mencegah masuk dan menyebarnya kejadian bruselosis di wilayah asal (Sulawesi Tengah) dan wilayah tujuan (Kalimantan Timur) dengan status bebas.

Resiko terhadap penyebaran kejadian bruselosis di Sulawesi Tengah dengan status daerah (tahap nol) yang prevalensinya belum diketahui pada sapi potong yang akan dilalulintaskan ke Kalimantan Timur dengan status daerah bebas (tahap tiga) dapat dicegah.

Metode uji RBT yang selama ini dilakukan di Laboratorium Karantina Hewan BKP Kelas II Palu dapat digunakan dalam rangka usaha tindakan karantina daerah asal yang berfungsi untuk mencegah masuk dan menyebarnya kejadian bruselosis di wilayah asal (Sulawesi Tengah) dan wilayah tujuan (Kalimantan Timur) dengan status bebas.

Saran

Uji CFT dapat dilakukan sebagai uji konfirmasi dalam meningkatkan spesifitas uji dari bruselosis terhadap tindakan karantina yang sudah dilakukan di BKP kelas II Palu. Uji CFT dapat dilakukan secara sampling dan periodik sebagai monitoring dalam rangka pencegahan terhadap hewan tersangka bruselosis.

(35)

24

Untuk kepentingan dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat veteriner, maka ternak sapi potong yang akan dilalulintaskan ke wilayah status daerah bebas terhadap bruselosis apabila dinyatakan positif bruselosis kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan harus dapat dicegah oleh petugas karantina sehingga keberhasilan terhadap munculnya kasus atau reaktor positif bruselosis tidak terjadi di daerah tujuan ternak yang akan dilalulintaskan.

DAFTAR PUSTAKA

Agasthya AS, Isloor S, Prabhudas K. 2007.Bruselosis in high risk group individual.Ind. J. Med. Microbiol. 25(1): 28-31

Alton GG, Jones LM, Angus RD and Verger JM. 1988. Techniques for the Bruselosis Laboratory. Institute National de la Racherce Agronomique (INRA). Paris: hal 9.

Balitvet. 1991. Diagnosa Serologis Bruselosis (RBT, CFT,BMRT dan SAT) Pada Sapi : hal 42

Bret KP, David LH, Arthur MF. 2007. Bruselosis. Medical Aspects of Biological Warfare. Chapter 9: 185-197

Brubaker RR. 1985. Mechanism of bacterial virulence. In Ornton LN, A Balows and P Baumann (Edits). Annual Review of Microbiology. Volume 39. Annual Review Inc. Palo Alto. California

Caddis. 2003. Bruselosis. http://vie.dis.strath.ac.uk/caddis/docs/Bruselosis.html. [CFSH] The Center for Food Security & Public Health. 2007. Bruselosis. IOWA

State University

[Dirkeswan] Direktorat Kesehatan Hewan. 2000. Pedoman Surveilans Dan Monitoring Bruselosis Pada Sapi Dan Kerbau. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.

Dirjen PKHDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Kegiatan Rapat Penyakit Hewan Menular se-Wilayah Kerja BBVET Maros. Ekawati L. 2007. Deteksi Bruselosis dengan uji serologis Rose Bengal Test dan

Complement Fixation Test pada Sapi Perah yang berasal dari Kabupaten Bandung. Universitas Pancasila . Jakarta

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. Guidelines for Coordinated Human and Animal Bruselosis Surveillance. FAO Animal Production and Health Paper. ISSN: 0254-6019. Rome.

FAO Food Agriculture Organization. 2006.Bruselosis in Human and Animals.

Produced by The World Health Organization in Collaboration with the Food and Agriculture Organization of the United Nations and World Organization for Animal Health. ISBN 92 4 154713 8; ISBN 978 92 4 15473 0

(36)

25 Gul ST, Khan A. 2007. Epidemiology and Epizootiology of Bruselosis : A Review. Pakistan. Vet. J. 27 (3). Department of Veterinary Pathology.Department of Pathology, University of Agriculture. Faisalabad, Pakistan.

KepmentanKeputusan Menteri Pertanian No. 828/Kpts/OT.210/10/1998 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Hewan Keluron Menular (Bruselosis) pada Ternak.

KepmentanKeputusan Menteri Pertanian Nomor 22/Permentan/OT.140/4/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT Karantina Pertanian.

KepmentanKeputusan Menteri Pertanian No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009 tentang pernyataan Pulau Kalimantan bebas dari penyakit hewan keluron menular (Bruselosis) pada sapi dan kerbau.

KepmentanKeputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenis-jenis Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK), Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa.

KepmentanKeputusan Pertanian Nomor 4026/Kpts.OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Mnitab Jilid 1. Bogor(ID): IPB Pr.

Megid J, Mathias L A, Robles C A. 2010. Clinical manifestations of Bruselosis in domestic animal and human.The Open Vet. Sc. J. 2010.4. Hal: 119-126

Naipospos TSP. 2014. Analisis kebijakan program pembebasan Bruselosis di Indonesia. internet. diunduh 2014 Februari 19.Tersedia pada: http://tatavetblog.blogspot.com/2014/02/implikasi-ekonomi-dan

epidemiologis.html.

Noor SM. 2006 a. Bruselosis : Penyakit zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner.Wartazoa.Vol 16 (1): hal 31-39.

Noor SM. 2006 b. Epidemiologi dan pengendalian Bruselosis pada sapi perah di Pulau jawa. Lokakarya nasional ketersediaan IPTEK dalam pengendalian penyakit strategis pada ternak besar

OIE Office Internationale des Epizooties. 2004. Manual standards for diagnostic test and vaccines for terrestrial animals: Bovine Bruselosis.

Internet.diunduh 2014 Februari 20.Tersedia pada: http://www.oie.int/eng/normes/manual/a-summary.html.

OIE Office Internationale des Epizooties. 2009. Terrestrial Manual. Bovine Bruselosis. Chapter 2.4.3. Internet. diunduh 2014 Februari 20. Tersedia pada: http://www.oie.int/eng/normes/manual/a-summary.html.

OIE Office Internationale des Epizooties. 2014. Terrestrial Manual. Infection with Brucella Abortus, B. Melitensi and B. Suis . Chapter 2.4.3. Internet.

diunduh 2014 November 05. Tersedia pada:

http://www.oie.int/eng/normes/manual/a-summary.html

Puto K, Papa S, Hila N, 2010. Impact of livestock migration on distribution of Brucella melitensis in Southern Albania pasture. Natura Montenegrina, Podgorica,9(3): 705-717

(37)

26

Quinn P.J, BK. Markey, ME. Carter,WJ. Danelly,F.C.Leonard. 2006. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Publishing. 162-167

Setiawan ED. 1991. Bruselosis pada sapi. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa. Volume 2. 1-2 September

SIKAWAN Sistem Karantina Hewan. 2013. Balai Karantina Pertanian Kelas II Palu (ID). Badan Karantina Pertanian internet. diunduh 2014 Februari 20. Tersedia pada : http://www.karantina.deptan.go.id/.Jakarta.

SIKAWAN Sistem Karantina Hewan. 2014. Balai Karantina Pertanian Kelas II Palu (ID). Badan Karantina Pertanian internet. diunduh 2014 Oktober 10. Tersedia pada : http://www.karantina.deptan.go.id/.Jakarta.

Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Fakultas Kedokteran Hewan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta : hal 464 – 480

Sudibyo A. 1994. Studi Bruselosis dan karakterisasi protein antigen Brucella abortus isolat lapang pada sapi perah. Program Pasca Sarjana IPB Bogor : hal 1-13

Weaver J. 2013.Consultant pada Australia Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases (AIP-EID).

WHO World Health Organization. 2006. Bruselosis in Human and Animals.

(38)

27 Lampiran 1 Hasil pengujian complement fixation test (CFT)

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 1

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement, Fs1 : Fajar Samudera 01 (sampel 1-10)

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 2

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement, Fs1 : Fajar Samudera 01 (sampel 11-20)

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 3

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

(39)

28

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 4

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement, Sc2 : Sri Cahaya 02 (sampel 7-16)

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 5

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement, Sc2 : Sri Cahaya 02 (sampel 17-23), Fajar Samudera 03 (sampel 1-3),

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 6

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

(40)

29 Date : 26 Agustus 2014

Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 7

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement, Fs3 : Fajar Samudera 03 (sampel 14-23)

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 8

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement, Fs3 : Fajar Samudera 03 (sampel 24-33)

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 9

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

(41)

30

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 10

AC : AntiComplement,

Fs4 : Fajar Samudera 04 (sampel 6-15)

Date : 26 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 11

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Fs4 : Fajar Samudera 04 (sampel 16-25)

Date : 27 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 12

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Sc5 : Sri Cahaya 05 (sampel 1-10)

(42)

31 Date : 27 Agustus 2014

Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 13

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Sc5 : Sri Cahaya 05 (sampel 11-17), Sc5 : Sri Cahaya 06 (sampel 1-3)

Date : 27 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 14

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Sc5 : Sri Cahaya 06 (sampel 4-13)

Date : 27 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 15

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

(43)

32

Date : 27 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 16

AC : AntiComplement,

Sc5 : Sri Cahaya 06 (sampel 24 , Fs7 : Fajar Samudera 07 (sampel 1-9)

Date : 27 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 17

AC : AntiComplement,

Fs7 : Fajar Samudera 07 (sampel 10-19)

Date : 27 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 18

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Fs7 : Fajar Samudera 07 (sampel 20-29)

A

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

A

(44)

33

Date : 27 Agustus 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 19

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Fs7 : Fajar Samudera 07 (sampel 30-33)

Date : 02 September 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu

Plate No : 20

Fs7 : Fajar Samudera 08 (sampel 1-10)

Date : 02 September 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu

Plate No : 21

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Fs7 : Fajar Samudera 08 (sampel 11-20)

A

(45)

34

Date : 02 September 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu

Plate No : 22

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Fs7 : Fajar Samudera 08 (sampel 21-30)

Date : 02 September 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu

Plate No : 23

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

Fs7 : Fajar Samudera 08 (sampel 31-34) , Sc9 : Sri Cahaya 09 (sampel 1-6)

Date : 02 September 2014 Kode Diagnostik : Ambar Palu

Plate No : 24

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

AC : AntiComplement,

(46)

35 Date : 02 September 2014

Kode Diagnostik : Ambar Palu Plate No : 25

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif -

AC : AntiComplement,

Sc9 : Sri Cahaya 09 (sampel 17-25)

Lampiran 2 Hasil pengujian Rose Bengal test (RBT)

Kode Sampel Tanggal

pengambilan

Tujuan Jumlah Lab

BKP Palu

BBALITVET Bogor

Fajar Samudera 01 08 Juli 2014 Balikpapan 24 negatif negatif

Sri Cahaya 02 08 Juli 2014 Balikpapan 23 negatif negatif

Fajar Samudera 03 12 Juli 2014 Samarinda via

(47)

36

Lampiran 3 Hasil analisa descriptive statistic dari hasil kuesioner di lapangan selama penelitian

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

alamat responden 9 1.00 2.00 1.3333 .50000

bila ada pembelian

baru berasal dari 9 1.00 3.00 2.2222 .66667

Cara mendapatkan ternak sebelum dilalulintaskan

9 4.00 4.00 4.0000 .00000

jenis sapi yang dilalulintaskan antar Pulau

9 5.00 6.00 5.6667 .50000

jumlah sapi yang dilalulintaskan antar Pulau

9 3.00 4.00 3.5556 .52705

status pekerjaan 9 4.00 4.00 4.0000 .00000

Pemeriksaan kesehatan

terhadap komoditi 9 1.00 1.00 1.0000 .00000

pendidikan formar

terakhir 9 3.00 3.00 3.0000 .00000

hasil pengujian rose

bengal test 9 .0 .0 .000 .0000

Kelengkapam SKKH

dari Dinas stempat 9 1.00 1.00 1.0000 .00000

umur responden 9 49.00 55.00 51.0000 3.00000

umur sapi yang dilalulintaskan antar Pulau

9 4.00 4.00 4.0000 .00000

Valid N (listwise) 9 Frequency Table

[DataSet0] C:\Users\ambar\Documents\cawu3\thesis\spss tesis.sav nama responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

fajarsamudera 6 66.7 66.7 66.7

sricahaya 3 33.3 33.3 100.0

(48)

37

umur responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

49.00 6 66.7 66.7 66.7

55.00 3 33.3 33.3 100.0

Total 9 100.0 100.0

status pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid perusahaan 9 100.0 100.0 100.0

alamat responden Frequency Percent Valid

Percent

Cumulative Percent

Valid

Palu 6 66.7 66.7 66.7

luar Palu 3 33.3 33.3 100.0

Total 9 100.0 100.0

jenis sapi yang dilalulintaskan antar Pulau Frequency Percent Valid

Percent

Cumulative Percent

Valid

po,bali, rambon 3 33.3 33.3 33.3

po,bali,rambon,

donggala 6 66.7 66.7 100.0

Total 9 100.0 100.0

jumlah sapi yang dilalulintaskan antar Pulau

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

51-100 ekor 4 44.4 44.4 44.4

>100ekor 5 55.6 55.6 100.0

Gambar

Tabel 1 Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan
Gambar 1  Peta situasi bruselosis Indonesia tahun 2013 di tingkat Provinsi
Gambar 2  Status bruselosis tahun 2013 pada masing-masing  Provinsi berdasarkan tahapan
Gambar 3 Klasifikasi daerah atau zona pemberantasan bruselosis tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puasa minimal dalam setahun adalah Hari Rabu Abu dan Jumat Agung, namun bagi yang dapat melakukan lebih, silakan juga berpuasa dalam ketujuh hari Jumat dalam masa Prapaska,

AKTIVITAS ANTIDIABETES MELITUS EKSTRAK KULIT BUAH JERUK MANIS ( Citrus sinensis ) DAN KULIT BUAH KELENGKENG ( Euphoria longan (Lour.) Steud) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN

Pada desain baru memiliki tegangan maksimal lebih besar dibandingkan tegangan maksimal pada desain yang sudah ada yakni 4.3 x10 7 N/m 2 sedangkan tegangan

Dengan adanya tahapan penerapan ini, organisasi dapat membuat perencanaan strategi Social CRM beserta jenis media sosial yang sesuai dengan masing-masing praktik

e. Jika Penyedia tidak memperbaiki atau mengganti Konstruksi akibat cacat mutu dalam jangka waktu yang ditentukan maka PPK akan menghitung biaya perbaikan yang

Besar efektivitas degradasi karbon organik pada sampah sayur kubis dapat diketahui dengan melakukan beberapa tahap penelitian, yaitu 1) pengukuran jumlah

Hal ini harus diperhatikan oleh pihak Dinas Kesehatan Cimahi, karena dikhawatirkan program fogging dengan menggunakan insektisida dari golongan sintetik piretroid

PDRBi : Pendapatan domestik regional bruto per kapita wilayah asal berdasarkan harga konstan 2000 dalam satuan Rupiah;.. Analisis Model Gravitasi menghasilkan variabel