• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA."

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP

PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT

KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG

DIBUATNYA

IDA BAGUS GEDE SURYA ARTAYOGA

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)
(3)

ii

TESIS

FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP

PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT

KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG

DIBUATNYA

IDA BAGUS GEDE SURYA ARTAYOGA NIM: 1392461015

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP

PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT

KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG

DIBUATNYA

Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

IDA BAGUS GEDE SURYA ARTAYOGA NIM: 1392461015

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(5)

iv

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 JUNI 2016

Pembimbing I,

Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS. NIP. 19530914 197903 1 002

Pembimbing II,

Dr. I Gede Artha, SH., MH. NIP. 19580127 198503 1 002

Mengetahui :

Program Magister Kenotariatan

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Ketua,

Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. NIP. 19640402 198911 2 001

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana

(6)

v

TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 3 Juni 2016

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor: 211/V/MKn/UN14.4/DT/2016

Ketua : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS

Sekretaris : Dr. I Gede Artha, SH.,MH

Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum

2. Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,MH

(7)

vi

PERNYATAAN PLAGIAT

Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa :

Nama : Ida Bagus Gede Surya Artayoga

NIM : 1392461015

Program Studi : Kenotariatan

Judul Tesis : Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian

Persetujuan terhadap Penyidik bagi Notaris yang

Tersangkut Kasus Pidana terhadap Akta yang Dibuatnya.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 20 Juni 2016

Yang membuat pernyataan,

(8)

vii

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan

Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatNya-lah penulis dapat menyelesaikan

tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah ”Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan terhadap Penyidik bagi Notaris yang Tersangkut Kasus Pidana terhadap Akta yang Dibuatnya.” Penulisan Tesis ini sebagai salah satu kewajiban dan syarat menyelesaikan pendidikan serta

memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

Berkenaan dengan hal tersebut dengan segala kerendahan hati, penulis

menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dan telah

banyak membantu dalam pelaksanaan sampai penyusunan tesis ini, yaitu :

1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS, pembimbing pertama dan Dr. I

Gede Artha, SH., MH, pembimbing kedua, yang telah memberikan

bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

2. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Rektor Universitas Udayana, atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K), Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana

(9)

viii

4. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum

Universtitas Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti Program Magister yang berada di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

5. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum., Ketua Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Udayana dan Dr. I Made Sarjana, SH., MH,

sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, atas

kesempatan dan dukungan yang telah diberikan untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Kenotariatan Universitas

Udayana.

6. Notaris/PPAT I Made Widiada, SH beserta staf notaris yang telah

memberikan informasi dalam penyusunan tesis ini.

7. Panitia penguji tesis, yang telah memberikan masukan dan saran kepada

penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

8. Staf Dosen Pengajar di Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang

sudah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai harganya,

baik secara langsung maupun tidak langsung selama perkuliahan.

9. Seluruh Pegawai Tata Usaha di Magister Kenotariatan Universitas Udayana

yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi selama

perkuliahan dan penyelesaian tesis ini.

10.Ayahanda tercinta Ida Bagus Made Dwija Wardana, SH. dan Ibunda

tersayang Dewa Sri Ayuk Putu Agung, SH, Kakak tersayang Ida Ayu

Superabha Dewi, SH, MKn, yang telah banyak membantu baik secara moril

dan materiil, serta saudara-saudara lainnya yang tidak bisa disebutkan yang

(10)

ix

11.Ida Ayu Swanita Trinayani, SE sebagai yang terkasih yang senantiasa

mendampingi penulis serta memberikan motivasi dalam penyusunan dan

penyelesaian tesis ini.

12.Para sahabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah memberikan

dorongan moril, semangat dan hiburan dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyajian materi tesis ini jauh dari

sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis

miliki, maka untuk segala kekurangannya mohon maaf. Akhir kata penulis

berharap tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak

Denpasar, 20 Juni 2016

(11)

x ABSTRAK

Notaris dalam menjalankan jabatannya sehari-hari adakalanya diminta untuk membuka isi (rahasia) akta, sehubungan akta yang dibuatnya tersangkut kasus pidana sehingga seringkali Notaris dipanggil menjadi saksi atau tersangka untuk membuka isi (rahasia) akta yang dibuatnya kepada penyidik Pasal 66 ayat (1) Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P) mengatur diperlukan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris untuk pemanggilan notaris tersebut. Namun masih ada ketidakjelasan pengaturan dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN-P dan dianggap bertentangan dengan norma yang berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 yang tidak mengharuskan adanya persetujuan bagi penyidik untuk memeriksa notaris.

Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constitutum); dan (2) Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constituendum).

Berangkat dari adanya norma konflik dan norma kabur dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN-P, penelitian ini meggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang terkait dengan fungsi Majelis Kehormatan notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya. Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis, untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif yaitu analisis yang berupa kalimat dan uraian untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya dalam konteks ius constitutum adalah untuk memberikan pemikiran apakah notaris yang bersangkutan memang tersangkut kasus pidana sehingga layak untuk dipanggil baik sebagai saksi maupun tersangka; dan (2) pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut karena pidana terhadap akta yang dibuatnya di masa yang akan datang (ius constituendum) mengacu pada Permenkumham No. 7 Tahun 2016 yang baru saja diterbitkan pada tanggal 5 Februari 2016 dan selanjutnya untuk memperkuat kepastian hukumnya Permenkumham No. 7 Tahun 2016 ini ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah agar termasuk dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

(12)

xi ABSTRACT

Notary when running his daily function sometimes be required to enclosed the content (the secret) of the deed, just because the deed made by notary lodged a criminal case so notary quite often being asked as witness or as accused to reveal the content (the secret) of the deed to the investigating officer. Article 66 of paragraph (1) of Law No. 2 of 2014 on the Amendment of Law Number 30 of Year 2004 on the Notary Position (UUJN-P( arranged arranged required the approval of the Notary Honorary Council to summons the notary. But there is still some ambiguity arrangements in Article 66 paragraph (1) of UUJN-P and considered to be contrary to the norms derived from the Constitutional Court Decision No. 49 / PUU-X / 2012 which does not require the approval for investigators to examine the notary.

Based on that condition, the legal issues raised in this research are (1) how the arrangement of Notary Honorary Council function in terms of approval for notary who lodged a criminal case against the deed is made (ius constitutum) and (2) how should the arrangement of Notary Honorary Council function in terms of approval for notary who lodged a criminal case against the deed is made (ius constituendum).

Regarding to the conflict norm and unclearly norm in the Article 66 of paragraph (1) of UUJN-P, this research used the normative legal research which examines and analyzes the legal materials in the form of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials, related to the Notary Honorary Council function in the giving approval to investigators for notary who lodged a criminal case against the deed is made. The data obtained, grouped and arranged systematically and for subsequent data analysis, qualitative analysis is that the analysis in the form of sentences and descriptions to answer the issues raised in this research.

The research result indicated that (1) the arrangement of Notary Honorary Council function in terms of approval for notary who lodged a criminal case against the deed is made in the context of ius constitutum is to provide ideas whether the notary is lodged criminal cases that deserve to be summoned either as witnesses or suspects; and (2) the arrangement of Notary Honorary Council function in terms of approval for notary who lodged a criminal case against the deed is made in the future (ius constituendum) refers to the Regulation of the Minister of Justice and Human Rights No. 7 Year 2016 has just been published in February 5, 2016 and further to strengthen legal certainty of this Minister of Justice and Human Rights No. 7 Year 2016 upgraded into government regulations as defined by Article 7 of Law No. 12 Year 2011 on the Establishment Regulation Legislation.

(13)

xii RINGKASAN

Tesis ini menganalisis fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

Bab I, menguraikan latar belakang masalah yang dalam hal ini Pengaturan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris juga memiliki ketidakjelasan (norma kabur) mengingat apakah fotocopy akta yang dapat diambil penyidik, penuntut umum dan hakim hanya sebatas akta yang tersangkut perkara pidana atau untuk semua akta, karena redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta yang disimpan Notaris. Selain itu ketidakjelasan juga terjadi apakah ijin Majelis Kehormatan Notaris mutlak ataukah bisa disimpangi, mengingat setelah 30 hari ijin disampaikan, maka ijin tersebut tidak diperlukan lagi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.

Bab II, menguraikan tinjauan tentang notaris, akta notaris, majelis kehormatan notaris dan pengawasan terhadap notaris. Bab ini terdiri dari 4 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama Tinjauan tentang Notaris yang terdiri dari Pengertian Notaris, Dasar Hukum, Kewenangan dan Kewajiban serta Larangan Notaris dan Pemberhentian Notaris. Sub Bab kedua tentang Akta Notaris. Sub Bab ketiga tentang Tinjauan tentang Majelis Kehormatan Notaris. Sub Bab keempat yaitu Pengawasan terhadap Notaris yang terdiri dari Pengertian Pengawasan, Pengawasan terhadap Notaris, Manfaat dan Norma serta Etika Pengawasan dan Kode Etik Notaris.

Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, mengenai pengaturan fungsi majelis kehormatan notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya berdasarkan hukum positif di indonesia (ius constitutum). Bab ini dibagi menjadi 4 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai Akta Notaris sebagai Dasar Perbuatan Tindak Pidana. Sub Bab kedua mengenai Prosedur Penyidikan terhadap Notaris yang Dilaporkan Telah Melakukan Tindak Pidana. Sub Bab ketiga membahas Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan dalam Status sebagai Tersangka. Sub Bab keempat membahas Dasar Pengaturan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Hukum Positif di Indonesia (Ius Constitutum) yang terdiri dari Kewajiban Penyidik untuk Meminta Ijin Majelis Kehormatan Notaris sebelum Meminta Keterangan dari Notaris dan Memeriksa Protokol Notaris dalam Praktik, Pemanggilan Notaris Berdasarkan Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris dan Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris sebagai Saksi dan Tersangka dalam Tindak Pidana.

(14)

xiii

kedua membahas mengenai Pengawasan Terhadap Notaris oleh Majelis Kehormatan Notaris. Sub Bab ketiga membahas tentang Dasar Pengaturan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris di Masa yang akan Datang (Ius Constituendum).

(15)

xiv DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

SAMPUL DALAM... ii

PRASYARAT GELAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PANITIA PENGUJI ... v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi

UCAPAN TERIMAKASIH ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT... xi

RINGKASAN ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan Penelitian ... 16

1.3.1 Tujuan Umum ... 16

1.3.2 Tujuan Khusus ... 16

1.4 Manfaat Penelitian... 16

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 16

1.4.2 Manfaat Praktis ... 16

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ... 17

1.5.1 Landasan Teoritis ... 17

1.5.1.1 Konsep Akta Notaris ... 17

1.5.1.2 Teori Fungsi ... 23

1.5.1.3 Teori Wewenang ... 26

(16)

xv MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DAN PENGAWASAN TERHADAP NOTARIS ... 41

2.1 Tinjauan tentang Notaris ... 41

2.1.1 Pengertian Notaris ... 41

2.1.2 Dasar Hukum ... 44

2.1.3 Kewenangan dan Kewajiban serta Larangan Notaris ... 45

2.1.4 Pemberhentian Notaris ... 49

2.2 Akta Notaris ... 50

2.3 Tinjauan tentang Majelis Kehormatan Notaris ... 58

2.4 Pengawasan terhadap Notaris ... 64

2.4.1 Pengertian Pengawasan ... 64

2.4.2 Pengawasan terhadap Notaris ... 64

2.4.3 Manfaat dan Norma serta Etika Pengawasan ... 68

2.4.4 Kode Etik Notaris ... 70

BAB III PENGATURAN FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM HAL PEMBERIAN PERSETUJUAN BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA (IUS CONSTITUTUM) ... 77

3.1 Akta Notaris sebagai Dasar Perbuatan Tindak Pidana ... 77

(17)

xvi

3.3 Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan dalam Status

sebagai Tersangka ... 97

3.4 Dasar Pengaturan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Hukum Positif di Indonesia (Ius Constitutum) ... 99

3.4.1 Kewajiban Penyidik untuk Meminta Ijin Majelis Kehormatan Notaris sebelum Meminta Keterangan dari Notaris dan Memeriksa Protokol Notaris dalam Praktik ... 99

3.4.2 Pemanggilan Notaris Berdasarkan Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris ... 108

3.4.3 Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris sebagai Saksi dan Tersangka dalam Tindak Pidana ... 116

BAB IV PENGATURAN FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM HAL PEMBERIAN PERSETUJUAN BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA DI MASA YANG AKAN DATANG (IUS CONSTITUENDUM) ... 137

4.1 Pelanggaran yang dapat Dilakukan Notaris ... 137

4.1.1 Pelanggaraan Prosedural ... 137

4.1.2 Pelanggaran Pidana ... 148

4.2 Pengawasan Terhadap Notaris oleh Majelis Kehormatan Notaris .... 149

4.3 Dasar Pengaturan Fungsi Majelis Kehormatan Notaris di Masa yang akan Datang (Ius Constituendum) ... 164

BAB V PENUTUP ... 170

5.1 Simpulan ... 170

5.2 Saran ... 171

(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

(19)
(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Lembaga Kenotariatan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang

ada di Indonesia, lembaga ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama

manusia yang menghendaki adanya suatu alat bukti mengenai hubungan hukum

keperdataan yang ada dan atau terjadi diantara mereka.1 Terkait dengan hal ini

semakin banyak kebutuhan akan jasa Notaris. Notaris sebagai abdi masyarakat

mempunyai tugas melayani masyarakat dalam bidang perdata, khususnya dalam

hal pembuatan akta otentik. Seperti yang dimaksud dalam pasal 1868 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata jo Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan

Notaris), dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan

bahwa :

“Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang

berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa :

“Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta otentik yang dibuat oleh atau

dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam

undang-undang ini.”

1

(21)

2

Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan nasional yang

semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab

kelancaran dan kepastian hukum yang dijalankan oleh semua pihak makin banyak

dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum

yang dihasilkan oleh Notaris. Pemerintah dan masyarakat luas tentunya

mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris kepadanya

benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat dipertanggungjawabkan.2

Notaris mempunyai peran serta dalam aktivitas menjalankan profesi

hukum yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan mendasar yang

berkaitan dengan fungsi serta peranan hukum itu sendiri, dimana hukum diartikan

sebagai kaidah-kaidah yang mengatur segala kehidupan masyarakat.3 Tanggung

jawab Notaris yang berkaitan dengan profesi hukum tidak dapat dilepaskan pada

pendapat bahwa dalam melaksanakan jabatannya tidak dapat dilepaskan dari

keagungan hukum itu sendiri, sehingga Notaris diharapkan bertindak untuk

merefleksikannya didalam pelayanannya kepada masyarakat.4

Seorang Notaris agar benar-benar menjalankan kewenangannya, Notaris

harus senantiasa melakukan tugas jabatannya menurut hukum yang tertinggi

dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak memihak. Notaris dalam

menjalankan kewenangannya tidak boleh mempertimbangkan keuntungan pribadi,

Notaris hanya boleh memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan

kebenarannya, Notaris wajib bersikap tulus ikhlas terhadap klien dan

2

Suharwadi K. Lubis, 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.35-36.

3 Ibid. 4

(22)

3

mempergunakan segala sumber keilmuwannya, apabila Notaris yang

bersangkutan tidak menguasai bidang hukum tertentu dalam pembuatan akta,

maka ia wajib berkonsultasi dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam

masalah yang sedang dihadapi, disamping itu Notaris juga wajib merahasiakan

segala sesuatu yang diketahuinya tentang masalah klien karena kepercayaan yang

telah diberikan kepadanya.5

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan

hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak

berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang

pejabat (Notaris) melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan,

dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, seperti yang dimaksud

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Wewenang Notaris diatur dalam Pasal 15 menyebutkan :

(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:

5

Marisco A. Umbas, 2013, “Pelaksanaan Pengawasan terhadap Tugas dan

Fungsi Notaris,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal. 68. 6

(23)

4

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

Akta;

f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 ayat (1) dan (2) tersebut di atas mengatur tentang Wewenang

Notaris, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (3)-nya merupakan wewenang yang akan

ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang (ius

constituendum).

Mengingat peranan dan kewenangan Notaris yang sangat penting bagi lalu

lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat, maka perilaku dan tindakan

Notaris dalam menjalankan fungsi kewenangan, rentan terhadap penyalahgunaan

yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sehingga lembaga pembinaan

dan pengawasan terhadap Notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur

tentang pengawasan bagi Notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan

Pasal 81 Undang-Undang Jabatan Notaris dan Keputusan Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004

tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan

pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk

(24)

5

Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris

dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.7

Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak menutup kemungkinan

bersinggungan dengan permasalahan hukum pidana yang melibatkan seorang

Notaris. Hal ini bisa terjadi pada waktu notaris diminta untuk membuat akta oleh

seorang client. Akta yang diminta ini mengandung suatu perbuatan pidana yang tidak disadari atau dilakukan dengan sengaja oleh Notaris dan Client yang

bersangkutan tidak menerangkan kepada Notaris. Meskipun demikian, notaris

harus bertanggungjawab atas akta yang dibuatnya tersebut. Jika notaris tidak

menyadari bahwa akta yang dibuatnya mengandung unsur pidana, maka notaris

yang bersangkutan akan dipanggil sebagai saksi.

Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu :

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:

(a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

(b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. (3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.

(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.

7

(25)

6

Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris

tersebut di atas maka dapat di lihat ada 2 (dua) isu hukum. Pertama, Pasal 66 ayat

(1) huruf a tidak menjelaskan akta yang mana yang bisa diambil penyidik,

penuntut umum atau hakim. Apakah hanya sebatas akta yang tersangkut perkara

pidana atau untuk semua akta. Redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa

ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta

yang disimpan Notaris. Kedua, berkaitan dengan ijin Majelis Kehormatan Notaris, apakah ijin ini mutlak ataukah bisa disimpangi. Bila dilihat dari bunyi Pasal 66

ayat (3) dan ayat (4) yaitu majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau

menolak permintaan persetujuan (Pasal 66 ayat (3)). Dalam hal Majelis

Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), Majelis Kehormatan Notaris dianggap menerima

permintaan persetujuan (Pasal 66 ayat (4)). Redaksi kedua ayat ini menunjukkan

bahwa ijin Majelis Kehormatan Notaris, tidak mutlak harus diberikan, mengingat

setelah 30 hari, penyidik, penuntut umum dan hakim dapat begitu saja mengambil

fotocopy akta dan minuta dari Notaris.

Pemanggilan Notaris sebagai saksi, seharusnya pemanggilan tidak dapat

dilakukan begitu saja. Menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan

Notaris pemanggilan Notaris ini harus mendapatkan persetujuan Majelis

Kehormatan Notaris. Perlunya persetujuan Majelis Kehormatan Notaris

mengingat Notaris sebagai pejabat umum yang harus merahasiakan akta yang

(26)

7

Sebagai tindak lanjut dari amanat Pasal 66 Undang-Undang Jabatan

Notaris maka pada tanggal 5 Februari 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan

Notaris (selanjutnya disebut Permenkumham No. 7 Tahun 2016 saja). Konsideran

Permenkumham No. 7 Tahun 2016 ini menyebutkan bahwa peraturan ini dibuat

untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66A ayat (3) Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia tentang Majelis Kehormatan Notaris. Pasal 1 angka 1

Permenkumham No. 7 Tahun 2016 yang menyebutkan Majelis Kehormatan

Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan

pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk

kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta

Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan

dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Sebagai jabatan kepercayaan notaris wajib merahasiakan isi akta dan

segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya. Hal ini sejalan

dengan sumpah jabatan yang diucapkan sebelum notaris melaksanakan

jabatannya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris. Notaris tidak bisa secara bebas mengungkapkan atau

membocorkan rahasia jabatannya kepada siapa pun kecuali terdapat peraturan

(27)

8

jabatannya, sumpah jabatan tersebut ditegaskan sebagai salah satu kewajiban

notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan dalam menjalankan jabatanya, notaris

berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan

segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Penggunaan hak untuk merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan

jabatan diatur pula dalam hukum acara pidana, hukum perdata, dan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 170 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa, mereka

yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau juga jabatannya diwajibkan untuk

menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari penggunaan hak untuk

memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan

kepadanya.

Selanjutnya dalam Pasal 1909 ayat 2 KUHPerdata dinyatakan bahwa,

segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut

undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata

mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagaimana

demikian. Pasal 322 ayat 1 KUHPidana menyatakan bahwasanya, barangsiapa

dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau

pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.

Dalam hal Notaris yang berkewajiban merahasiakan sesuatu yang

berkaitan dengan jabatan maka notaris dikatakan memiliki hak ingkar untuk

(28)

9

ingkar merupakan terjemahan dari verschoningsrech yang artinya adalah hak untuk dibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara baik

itu perkara perdata maupun perkara pidana. Hak ini merupakan pengecualian dari

Pasal 1909 KUH Perdata bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi saksi wajib

memberikan kesaksian.

Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai saksi, mempunyai kewajiban untuk

memberikan keterangan-keterangan. Seseorang yang berdasarkan undang-undang

dipanggil sebagai saksi, yang sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai saksi

diancam pidana sebagai melakukan suatu kejahatan. Pengecualiannya ialah

apabila seseorang yang dipanggil itu, mempunyai hak untuk menolak memberikan

keterangan-keterangan sebagai saksi, berdasarkan hubungan-hubungan tertentu

yang disebutkan dalam undang-undang.8

Dalam hukum acara perdata, Pasal 1909 KUH Perdata mewajibkan setiap

orang yang cakap menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka

pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan

ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dibebaskan dari

kewajiban untuk memberikan kesaksian yaitu sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 1909 KUH Perdata dan Pasal 146 dan 277 HIR, mereka dapat

mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan

menuntut penggunaan hak ingkarnya (verschoningsrecht).9

Dalam hukum acara pidana, ketentuan dalam Pasal 170 ayat (1) dan (2)

KUHAP menyebutkan:

(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

8

A. Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, hal. 42. 9

(29)

10

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Dalam hal pemanggilan Notaris sebagai tersangka atau yang terindikasi

melakukan tindak pidana, maka pemanggilan notaris yang mensyaratkan

persetujuan Majelis Kehormatan Notaris patut untuk dipermasalahkan. Karena hal

ini dapat dikatakan bertentangan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa

segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

dan wajib menjunjung hukum pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Lebih jauh lagi persyaratan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris

bertentangan dengan ketentuan Pasal 112 Kitab Undang-Undang Acara Pidana

(KUHAP) yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.

(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Ketentuan Pasal 112 KUHAP tersebut dapat dikatakan bahwa penyidik

berhak memanggil tersangka dan orang yang disangkakan ini wajib datang kepada

penyidik. Ketentuan ini berlaku untuk setiap orang dan tanpa syarat apapun.

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

mennyatakan bahwa pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris yang

menyatakan untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau

hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Dalam perkembangan

selanjutnya ketentuan Pasal 66 ini dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak

(30)

11

49/PUU-X/2012). Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak mengindahkan bahwa

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris memiliki tanggungjawab

terhadap akta yang dibuatnya sehingga notaris harus berhadapan langsung dengan

Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim ketika harus berhadapan dengan

pengadilan.

Atas Putusan MKRI para Notaris tidak perlu mempermasalahkannya,

sebagai Warga Negara Indonesia yang taat hukum notaris harus tunduk dan patuh

pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena Putusan Mahkamah

Konstitusi telah “final and binding” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Namun pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris masalah

dimunculkan lagi tentang perlunya persetujuan bagi Penyidik, Penuntut Umum

dan Hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang

dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan

memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta

yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.

Jika pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 persetujuan tersebut

berasal dari Majelis Pengawas Daerah, sedangkan pada Pasal 66 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 persetujuan berasal dari Majelis Kehormatan Notaris.

Dalam hal tersebut di atas pertanyaan yang bisa dimunculkan apa bedanya

persetujuan melalui Majelis Pengawas Daerah dengan persetujuan melalui Majelis

Kehormatan Notaris? Apakah hal ini tidak mengingkari Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut di atas mengingat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

disebutkan bahwa dibutuhkannya persetujuan seperti yang diatur dalam Pasal 66

(31)

12

telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Menurut penulis hal tersebut merupakan norma konflik yaitu norma yang

berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 yang

berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 bertentangan dengan norma yang

terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dimana norma

dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 tidak mengharuskan

adanya persetujuan bagi bagi Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk

mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta

akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan memanggil notaris

untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau

protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notari sedangkan norma yang

terkandung dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 hal tersebut

masih memerlukan ”persetujuan” dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam hal ini

seolah-olah Majelis Kehormatan Notaris berdiri di atas Mahkamah Konstitusi atau

bahkan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengaturan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris juga memiliki

ketidakjelasan (norma kabur) mengingat apakah fotocopy akta yang dapat diambil

penyidik, penuntut umum dan hakim hanya sebatas akta yang tersangkut perkara

pidana atau untuk semua akta, karena redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa

ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta

yang disimpan Notaris. Selain itu ketidakjelasan juga terjadi apakah ijin Majelis

Kehormatan Notaris mutlak ataukah bisa disimpangi, mengingat setelah 30 hari

ijin disampaikan, maka ijin tersebut tidak diperlukan lagi.

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui

(32)

13

penelitian yang berkaitan dengan pemanggilan Notarisbaik pemeriksaan terhadap

Notaris maupun membuka rahasia akta, yaitu :

1. Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan judul ”Kewajiban Notaris

Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar

Notaris”. Tesis pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum,

Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis

ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana implementasi hak ingkar notaris dalam menjaga

kerahasiaan akta berdasarkan UUJN?

b. Bagaimana kendala terhadap penggunaan hak ingkar notaris dalam

menjaga kerahasiaan akta dalam kaitannya dengan hak ingkar

berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris?

Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan penelitian yang akan

dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua

penelitian ini sama-sama meneliti tentang kewajiban notaris dalam

menjaga kerahasiaan akta. Perbedaannya jika penelitian Muhammad Ilham

Arisaputra, mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan

akta dengan hak ingkar notaris, maka pada penelitian yang akan dilakukan

mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dengan

persetujuan Dewan kehormatan Notaris.

2. Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan judul ”Peran Notaris Dalam

Proses Peradilan Pidana”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas

Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, tahun 2013. Rumusan masalah

dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah keberadaan notaris sebagai pejabat umum dalam

memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta yang

(33)

14

b. Bagaimanakah peran notaris dalam memberikan keterangan untuk

membantu proses peradilan pidana dikaitkan dengan rahasia

jabatannya?

Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti tentang keberadaan notaris sebagai pejabat umum

dalam memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta

yang dibuatnya dalam proses peradilan pidana. Perbedaannya jika

penelitian Pricilia Yuliana Kambey, menganalisis peran notaris dalam

memberikan keterangan untuk membantu proses peradilan pidana

dikaitkan dengan rahasia jabatannya, maka pada penelitian yang akan

dilakukan meganalisis perlunya ijin Majelis Kehormatan Notaris dalam

pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut

kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

3. Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan judul “Rahasia notaris, hak

ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris yang membuka isi (rahasia)

akta”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas HukumUniversitas

Indonesia, Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai

berikut :

a. Apakah notaris diperbolehkan membuka isi (rahasia) akta yang

dibuatnya kepada lembaga penyidik atau lembaga penuntut?

b. Apakah notaris dapat menggunakan hak ingkar yang terdapat dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris bila bertentangan dengan

undang-undang lainnya?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris yang membuka isi

(34)

15

Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan penelitian yang akan

dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua

penelitian ini sama-sama meneliti tentang notaris yang membuka rahasia

akta. Perbedaannya jika penelitian Yenny Lestari Wilamarta mengkaitkan

rahasia notaris dengan hak ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris

yang membuka isi (rahasia) akta, maka pada penelitian yang akan

dilakukan mengkaitkan rahasia notaris dengan perlunya ijin Majelis

Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi

notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan

penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan

bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.

Bertitik tolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis

dengan judul ”Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan

Terhadap Penyidik bagi Notaris yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta

yang Dibuatnya”.

1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal

pemberian persetujuan bagi Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap

(35)

16

2. Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris

dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus

pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constituendum)?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian

persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap

akta yang dibuatnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam

hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya yang

tersangkut hukum pidana (ius contitutum).

2. Untuk mengetahui pengaturan yang sebaiknya terhadap fungsi Majelis

Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris

terhadap akta yang dibuatnya yang tersangkut hukum pidana (ius contituendum).

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan pengaturan

pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut hukum pidana.

1.4.2. Manfaat Praktis

Sebagai masukan bagi Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan

persetujuan atas pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut

(36)

17

1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1. Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu

peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief

Sidharta, teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai

aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan

keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan

tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan

sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam

kenyataan masyarakat.10 Teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian

ini adalah Teori Fungsi, Teori Wewenang, Teori Tanggungjawab dan Teori

Hukum Pembuktian. Selain teori-teori tersebut, penelitian ini juga menggunakan

konsep Akta Notaris untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan

masalah penelitian.

1.5.1.1. Konsep Akta Notaris

Notaris dijadikan Pejabat Umum adalah ketentauan undang-undang

menghendakinya, karena satu-satunya Pejabat umum yang melayani kepentingan

umum, sesuai kewenangannya yang disebutkan dalam UUJN adalah pembuatan

akta otentik, yang berkaitan dengan. Pasal 1868 KUHPer. Adapun Pasal 1868

KUHPer. Memuat definisi tentang akta otentik sebagai berikut:

10

(37)

18

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang

ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang

berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka suatu akta agar dapat

dijadikan sebagai akta otentik harus memenuhi 3 persyaratan sebagai berikut:

a. Akta itu harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seorang Pejabat Umum;

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Setelah mengethui syarat-syarat pembuatan akta otentik, maka selanjutnya

perlu diketahui bahwa akta-akta Notaris itu ada dua macam, yaitu:

a. Akta yang dibuat oleh pejabat, yang disebut dengan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten), misalnya: Akta Risalah Rapat Perseroan Terbatas yang dibuat oleh Notaris; Berita Acara pembukaan Safe-deposit

box dari suatu Perseroan Terbatas Perbankan; Berita Acara penarikan

Undian;

Akta relaas atau akta pejabat itu menguraikan mengenai sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan serta

dialami oleh pembuat akta itu, yakni Notaris itu sendiri, dalam

menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang memuat uraian dari

hal-hal yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta

yang dibuat oleh Notaris (sebagai Pejabat Umum).

b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat, yang sering disebut dengan akta

(38)

19

uang, akta wasiat, surat kuasa dan lain-lain. Dalam akta partai ini

dicantumkan keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak

sebagai pihak-pihak dalam akta itu.

Akta partai berisikan cerita dari hal-hal yang terjadi karena perbuatan yang

dilakukan oleh pihak lain dihadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau

diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya

dan untuk keperluan itu, pihak yang bersaangkutan sengaja datang

menghadap Notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan

perbuatan hukum itu dihadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan

itu dinyatakan oleh Notaris dalam suatu akta otentik.

Dalam hubungannya dengan hal yang diuraikan diatas, maka yang pasti

secara otentik pada akta partij terhadap pihak lain adalah:

a. Tanggal dari akta itu;

b. Tanda tangan-tanda tangan yang ada dalam akta itu;

c. Identitas dari orang-orang yang hadir;

d. Bahwa hal-hal yang tercantum dalam akti itu adalah sesuai dengan

keadaan pada saat diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris, agar

dicantumkan dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari

keterangan-keterangan itu sendiri, hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan

sendiri.

Membuat akta partai (acte partij) inisiatif tidak berasal dari pejabat,

melainkan dari pihak-pihak yang berkepentingan memberikan keterangan,

sedangkan untuk akta pejabat (acte ambtelijk), maka pejabatlah yang aktif

(39)

20

karena itu, akta pejabat berisikan keterangan yang dilihat dan didengar sendiri

serta ditulis oleh pejabat yang bersangkutan. Sedangkan akta partai berisikan

keterangan para pihak sendiri yang diformulasikan serta disampaikan kepada

pejabat, agar pejabat merampungkan maksud dan keterangannya dalam suata akta

otentik.

Ketentuan Pasal 1870 KUHPer menyebutkan bahwa akta otentik

memberikan bukti yang paling sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli

warisnya serta sekaligus orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal

yang tersurat di dalamnya; Akta otentik merupakan bukti yang cukup, atau juga

disebut bukti yang sempurna,artinya isi dari akta tersebut oleh hakim harus

dianggap benar, selama ketidak-benarannya tidak terbukti. Namun kekuatan bukti

yang sempurna masih dapat digugurkan bila ada bukti lawan yang kuat dengan

menuduh bahwa akta itu palsu, dan ternyata benar dalam akta Notaris yang

minutanya disimpan oleh Notaris itu mengandung kepalsuan, misalnya ada pihak

yang membubuhi tanda tangan palsu dan perihal kepalsuan tanda tangan tersebut

dapat dibuktikan, sehingga gugurlah kekuatan bukti otentik dari akta Notaris

tersebut.

Adapun syarat otentisitas dari akta Notaris adalah sebagai berikut:

a. Para penghadap menghadap Notaris;

b. Para penghadap mengutarakan maksudnya;

c. Notaris mengkonstantir maksud dari para pengahadap dalam sebuat akta;

d. Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para

(40)

21

e. Para penghadap membubuhkan tandatangannya, yang berarti

membenarkan hal-hal yang termuat dalam akta tersebut, dan

penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat itu juga.

f. Dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali ditentukan lain

oleh UU.

Akta yang bersangkutan apabila tidak memenuhi syarat otentisitas tersebut

dimuka, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

di bawah tangan. Surat yang ditandan tangai oleh pihak-pihak secara di bawah

tangan itu, sekalipun merupakan salah satu bukti surat tertulis, namun kekuatan

bukti hukumnya agak lemah, karena bila ada pihak yang meragukannya, maka

surat di bawah tangan ini tidak dapat menjamin tentanggal tanggal yang pasti

pembuatan suratnya; surat di bawah tangan itu tidakmempunyai kekuatan

eksekusi dan bila suratdibawah tangan itu hilang, baik asli maupun salinannya,

maka sukar sekali pihak-pihak yang telah menanda tangani surat itu untuk

membuktikan, bahwa antara mereka telah ada suatu ikatan perjanjian atau ada

suatu perbuatan hukum yang saling mengikat.

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai 3 (tiga) macam

kekuatan pembuktian, yakni:

a. Kekuatan pembuktian lahiriah

Akta yang dibuat dihadapan Pejabat Umum yang memenuhi ketentuan

undang-undang itu membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Hal ini

sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1875 KUHPer., yang antara lain

mengatakan bahwa surat dibawah tangan itu tidak dapat membuktikan

dirinya itu demikian adanya, seperti hal-hal yang disebutkan dalam surat

(41)

22

dianggap sah, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari

tanda tangannya, yang dengan sendirinya juga mengaku isi yang dimuat

dalam surat dibawah tangan itu. Sedangkan akta otentik membuktikan

sediri mengenai keabsahannya. Akta itu terhadap setiap orang dianggap

sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak

otentik.

b. Kekuatan pembuktian formal.

Membuktikan bahwa Pejabat Umum yang bersangkutan telah menyatakan

dalam tulisan sebagaimana yang tercantum dalam akta dan yang dilakukan

serta disaksikannya dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formal,

sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari hal-hal yang disaksikan, yakni dilihat, didengar dan juga 8

dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan

jabatannya.

c. Kekuatan pembuktian material.

Membuktikan antara pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut

dalam akta itu telah terjadi, dengan pengertian:

1) Bahwa akta itu apabila dipergunakan dimuka pengadilan, adalah cukup

dan hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian

lainnya/disamping itu;

2) Bahwa pembuktian sebaliknya diperkenankan dengan alat-alat

pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut

undang-undang.11

11

(42)

23

1.5.1.2. Teori Fungsi

Teori fungsi digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan rumusan

masalah pertama mengingat tesis ini membahas mengenai fungsi Majelis

Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta

yang dibuatnya tersangkut dengan hukum pidana. Menurut The Liang Gie fungsi

merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama

berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya.12 Definisi

tersebut memiliki persepsi yang sama dengan definisi fungsi menurut Sutarto,

yaitu fungsi adalah rincian tugas yang sejenis atau erat hubungannya satu sama

lain untuk dilakukan oleh seorang pegawai tertentu yang masing-masing

berdasarkan sekelompok aktivitas sejenis menurut sifat atau pelaksanaannya.13

Sedangkan pengertian singkat dari definisi fungsi menurut Moekijat, yaitu fungsi

adalah sebagai suatu aspek khusus dari suatu tugas tertentu.14

Fungsi dan peran memiliki pengertian yang berbeda. Dalam pemikiran

Wrenn, peran dengan fungsi itu berbeda. Peran, dikonseptualisasikan ke dalam

suatu tujuan, sedangkan fungsi berarti proses. Konsep peran lebih ditekankan

pada suatu bagian akhir yang dituju; sedangkan fungsi, menegaskan kegiatan atau

aktivitas dalam rangka pencapaian tujuan.15

12

The Liang Gie, 2010, Unsur-unsur Administrasi: Suatu kumpulan Karangan, Edisi 2, Penerbit Supersukses, Yogyakarta, hal. 27.

13

Sutarto, 2010, Dasar-dasar Organisasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 22.

14

Moekijat, 2012, Peran dan Fungsi Manajemen, Remaja Rosdakarya, hal.95.

15

(43)

24

Bagi Wrenn, peran didefinisikan sebagai harapan-harapan (expectations)

dan pengarahan-pengarahan perilaku yang dikaitkan dengan suatu posisi;

sedangkan fungsi diartikan sebagai aktivitas yang ditunjukkan untuk suatu peran.

Dengan kata lain, peran berkaitan dengan suatu posisi; sementara itu rincian

perbuatan dalam menjalankan posisi berarti fungsi.16 Apabila peran sering kali

ditegaskan melalui perilaku individu di dalam penampilan hak dan kewajiban

yang berkaitan dengan suatu posisi; maka fungsi merupakan aktivitas spesial atau

khusus dari seseorang.

Salah satu fungsi Majelis Kehormatan Notaris adalah memberikan

persetujuan dalam hal pemanggilan Notaris untuk proses peradilan, penyidikan,

penuntut umum atau hakim. Dengan persetujuan tersebut mempunyai arti bahwa

dengan tidak adanya persetujuan maka hal tersebut tidak dapat dilakukan (Pasal

66 Undang-Undang Jabatan Notaris). Selain itu berdasarkan Pasal 66 A dan Pasal

67 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris disebutkan

bahwa fungsi lain dari Majelis Kehormatan Notaris adalah melaksanakan

pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

pengawasan Notaris dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri setempat. Setelah

berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut maka pengawas terhadap

Notaris di bawah naungan langsung Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,

yang selanjutnya dilimpahkan kepada Majelis Kehormatan Notaris.

16

(44)

25

Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota,

Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara

Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris menyebutkan pengertian pengawasan

adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan

yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.17

Rumusan tersebut yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar

segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris

dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang digariskan dalam peraturan dasar

yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan

saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya

perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembentukan Majelis

Kehormatan Notaris untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dari kerugian

yang diakibatkan oleh Notaris yang tidak bertanggung jawab dan menjaga citra

dan kewibawaan lembaga Notariat serta melindungi nama baik kelompok prifesi

Notaris dari penilaian yang generaliris. Selain hal tersebut dengan adanya Majelis

Kehormatan Notaris, maka mempunyai dampak positif yaitu akan membentuk

suatu “Peradilan Profesi Notaris” yang dijalankan di setiap tingkatan secara

berjenjang selain yang sudah ada pada organisasi profesi notaris sendiri. Dengan

adanya peradilan tersebut, maka akan memberikan perlindungan hukum dan

jaminan kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya secara profesional.18

17

Widiatmoko, 2007, Himpunan Peraturan Jabatan Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 20.

(45)

26

1.5.1.3. Teori Wewenang

Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan

masalah pertama dan kedua yaitu mengenai wewenang Notaris untuk membuat

akta otentik dan wewenang Majelis Kehormatan Notaris dalam fungsinya untuk

memberikan ijin pengambilan akta yang disimpan Notaris dan pemeriksaan

terhadap Notaris yang aktanya tersangkut hukum pidana.

Wewenang (atau sering pula disebut dengan istilah kewenangan)

merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan

yang bersangkutan.19 Sjahran Basah mengemukakan bahwa kewenangan

seseorang atau pejabat pemerintah untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan

dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung

(atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas dasar

penugasan (mandate).20 Pendapat ini juga dikemukakan oleh H.D. Van Wijk dan

Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan atas 3

(tiga) cara antara lain:

a. Atributie : “Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuurorgaan”, atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. b. Delegatie : “Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan

aan een ander”, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

c. Mandate : “een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen door een ander”, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.21

19

Habib Hadjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 77.

20

Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal.7.

21

(46)

27

Dengan melihat kepada ada atau tidaknya suatu peralihan kewenangan, F.A.M.

Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara peralihan wewenang pada

hakekatnya hanya melalui cara atribusi dan delegasi saja. Atribusi adalah

pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi dan pada atribusi terjadi

pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang

(dalam arti material kepada organ administrasi negara).

Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi

kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri membuat

peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan kepada suatu

badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan

tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima wewenang atas dasar

delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya

dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau pejabat TUN lainnya.22

Bagir Manan dan A. Hamid S. Attamimi menyatakan teori wewenang

pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan

delegasi.23 Pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan

perundang-undangan memuat unsur-unsur :

a. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan

perundang-undangan;

22

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66.

23 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Kedudukan dan Fungsi

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak – Penelitian ini adalah eksperimen semu yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar fisika antara peserta didik yang diajar menggunakan metode

tersebut menyepakati dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional,

Pendekatan lain dengan metode Kuadratur Gaus, nilai integrasi numerik cukup diperoleh dengan menghitung nilai fungsi f ( x ) pada beberapa titik ter- tentu.. Pada Metode Kuadratur

Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) terhadap hasil belajar fisika siswa

Dengan nilai yang diperoleh siswa tersebut menunjukkan telah tecapainya KKM yang di tetapkan di Kelas V SDN 009 Air Emas Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan, yang mana

Jawaban yang diperoleh dari aktivitas tersebut masih salah karena siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan mengambil begitu saja nilai yang mengikuti satuan gram hanya

Bapak Damhir Anugrah, S.T,, M.T, selaku dosen pembimbing pendamping Tugas Akhir, yang dengan sabar juga telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan stres kerja dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RSD Mardi Waluyo Kota Blitar.. Metode: Penelitian ini