• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penataan Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di Teluk Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penataan Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di Teluk Jakarta"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

PENATAAN PERAN PARA PIHAK DALAM

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA

MAYA AMBINARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penataan Peran Para Pihak dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Maya Ambinari

(3)

RINGKASAN

MAYA AMBINARI. Penataan Peran Para Pihak dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, HADI S. ALIKODRA, dan NYOTO SANTOSO.

Hutan mangrove di Teluk Jakarta memiliki fungsi yang sangat penting sebagai penunjang kehidupan. Kondisinya telah terdegradasi dan terdeforestrasi karena beberapa hal seperti peningkatan konversi lahan untuk pemukiman, infrastruktur dan kegiatan lain sesuai dengan pertumbuhan penduduk. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bentuk pengaturan peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove di daerah perkotaan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan didukung data kuantitatif menggunakan kerangka analisis untuk pengembangan kelembagaan (Analisis Kelembagaan dan Kerangka Pembangunan /IAD Framework) yang diusulkan oleh Ostrom (1999). Pengumpulan data tentang pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta dilaksanakan dengan menggunakan purposive sampling dari 30 informan kunci.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mangrove di Teluk Jakarta telah mengalami degradasi dan deforestasi. Hutan mangrove di Muara Angke awalnya mencapai lebih dari 1,344.62 ha, saat ini hanya 327,70 ha, sementara di Muara Gembong bentuk asli dari kawasan hutan lindung 10.480 ha, saat ini seluas 5.170 ha telah dikonversi menjadi hutan produksi. Keanekaragaman flora dan fauna juga telah menurun, kecuali untuk keanekaragaman flora di Muara Angke meningkat dengan jenis non-mangrove seperti Akasia (Acasia auriculiformis), Kihujan (Samanea saman), Mahoni (Swietenia macrophyla), Flamboyan (Delonix regia), dan Kedondong (Spondias pinnata). Kondisi tutupan pohon kanopi juga mengalami penurunan menjadi sekitar 70 % di Muara Angke dan 6 % di Muara Gembong. Terdapat 24 aturan formal yang berlaku dalam pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta. Aturan non-formal berupa kearifan lokal di Muara Angke lebih ke pelestarian hutan mangrove, sementara di Muara Gembong kearifan lokal lebih banyak terkait dengan usaha pemanfaatan hutan mangrove. .

Berdasarkan identifikasi para pihak, ada 20 pihak yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Teluk Jakarta. Para pihak dikelompokkan menjadi Subject, Key Player, Context Setter dan Crowd. Pada saat terjadi konflik yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove, masyarakat menjadi Key Player karena kemampuannya untuk memperjuangkan aspirasi terkait dengan pengelolaan mangrove besar didukung oleh aturan yang ada. Selain itu, lembaga pemerintah tidak mampu melindungi keberadaan mangrove karena sumber daya yang terbatas dan karena tekanan dari pihak lain yang tertarik untuk ikut serta dalam pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta. Key Player adalah pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan mangrove, belum membuat rencana terpadu pengelolaan hutan mangrove. Hal ini mengakibatkan kegiatan yang dilaksanakan dalam pengelolaan hutan mangrove kurang bersinergi. Agar mangrove berkelanjutan perlu adanya perubahan pola pengelolaan dari command and control menjadi co-management serta penataan peran para pihak dengan berdasarkan pada kondisi faktor eksogen serta arena aksi dan kinerja dalam pengelolaan hutan mangrove. Para pengelola hutan mangrove diharapkan memiliki value bahwa sumberdaya alam merupakan karunia Allah SWT yang dititipkan kepada umat manusia untuk dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar tetap dapat dinikmati dan dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang..

(4)

SUMMARY

MAYA AMBINARI. Reforming the Role of the Parties in Mangrove Forest Management in Jakarta Bay. Supervised by DUDUNG DARUSMAN, HADI S. ALIKODRA, and NYOTO SANTOSO.

Mangrove forest in Jakarta Bay of has a very important function as life support. Its condition has degraded and deforested due to several factors, such as increased conversion of land for settlements, infrastructure and other activities in line with population growth. The main objective of this study was to obtain some form of arrangement the role of the parties in the sustainable management of mangrove forests in urban areas. This study is a qualitative research with quantitative data supporting qualitative analysis using analytical framework for institutional development (Institutional Analysis and Development Framework / IAD Framework) proposed by Ostrom (1999). Data collection on the history of mangrove management in Jakarta Bay executed by using purposive sampling of 30 key informants.

Results of the study showed that the mangrove in the Jakarta Bay has experienced degradation and deforestation. Mangrove forests in Muara Angke originally reached more than 1,344.62 ha, currently only 327.70 ha, while in Muara Gembong the original form of protected forest area of 10,480 ha, currently covering an area of 5,170 ha has been converted into a production forest. Diversity of flora and fauna have also been decreased, except for the diversity of flora in Muara Angke increases with the types of non-mangrove like Akasia (Acasia auriculiformis), Kihujan (Samanea saman), Mahoni (Swietenia macrophyla), Flamboyan (Delonix regia), dan Kedondong (Spondias pinnata).. Tree canopy cover condition also decreased to approximately 70 % in Muara Angke ang 6 % in Muara Gembong. Based on the identification, there are 24 formal rules to manage mangroves in Jakarta Bay . Non-formal rule of local wisdom in Muara Angke are more influencing to the preservation of the mangrovewhile in Muara Gembong to the mangrove utilization.

Based on identification of the parties, there are 20 parties involved in the management of the mangrove ecosystem in the Jakarta Bay. The parties are grouped into Subject, Key Player, Context and Crowd. At the time of the conflict that led to the destruction of mangrove forests, communities become key players because of its ability to fight for the aspirations associated with the management of large mangrove supported by the existing rules. In addition, the goverment institutions are not able to protect the existence of mangroves due to limited resources and because of the pressure from other parties interested in the Jakarta Bay. Key player, has yet to make a unified plan of mangrove forest management. This resulted in the activities carried out in the mangrove forest management is less synergy. In order for sustainable mangrove management is necessary to change the pattern of command and control into co-management and reforming role of the parties based on the analysis of the condition of exogenous factors as well as the action arena and performance in the management of mangrove forests. The mangrove forest managers are expected to have a value that natural resources is a gift of Allah SWT entrusted to mankind to be managed and utilized as good as possible in order to make it can be enjoyed and used by generations to come ..

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)
(7)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

PENATAAN PERAN PARA PIHAK DALAM PENGELOLAAN

HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Boen M. Purnama, MSc Fakultas Politik Pemerintahan IPDN

Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa

2. Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF Fakultas Kehutanan IPB

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr Ir Boen M. Purnama, MSc Fakultas Politik Pemerintahan IPDN

Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa 2. Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF

(9)

Judul Disertasi : Penataan Peran Para Pihak dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta

Nama : Maya Ambinari NIM : E 161150071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA Ketua

Prof Dr Ir Hadi S. Alikodra, MS Anggota

Dr Ir Nyoto Santoso, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof Dr Ir Hardjanto, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga kegiatan penyusunan disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian disertasi ini, sebagai berikut :

1. Komisi Pembimbing, yaitu : Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA (Ketua Komisi Pembimbing); Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, MS. dan Dr.Ir. Nyoto Santoso (Anggota Komisi Pembimbing) atas segala dukungan, bimbingan, arahan, dan saran yang diberikan kepada penulis. Bimbingan, arahan, dan saran yang diberikan sangat menginspirasi penulis bagaimana menulis ilmiah bidang kelembagaan dengan baik.

2. Pimpinan dan Staf Sekolah Pascasarjana IPB, yaitu Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, kepada Dr Ir Dahrul Syah,

MScAgr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Prof. Dr. Ir. Marimin, MS. selaku Sekretaris Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan layanan akademik yang baik sehingga selesainya program doktor. Kepada Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Ketua Departemen Manajemen Hutan telah memberikan motivasi hingga terselesaikannya program doktor.

3. Pimpinan dan Staf di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menempuh program doktor di IPB. Bapak Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta jajarannya yang telah memberikan ijin dan memberikan dukungan kepada Penulis untuk melaksanakan tugas belajar. Kepala Pusdiklat Kehutanan dan Staf atas dukungan yang diberikan selama Penulis melaksanakan tugas belajar.

4. Narasumber dalam penelitian, yaitu Pimpinan dan Staf BKSDA DKI Jakarta, Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, PT. Murindra Karya Lestari, Perum Perhutani KPH Bogor dan BKPH Ujung Krawang, Pimpinan dan Staf BAPPEDA DKI, BAPPEDA Kab. Bekasi, BPLHD DKI Jakarta, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Bekasi, BPLHD Kab. Bekasi, Camat dan Staf Kecamatan Penjaringan, Kecamatan Muara Gembong, Lurah, Staf dan Masyarakat Kelurahan Muara Angke, Kelurahan Kapuk Muara, Kelurahan Kamal Muara, dan Kecamatan Muara Gembong.

5. Rekan-rekan mahasiswa S3 IPH Angkatan 2010 yaitu: Yayuk Siswiyanti, Indra Gumay Febryano, Rahmat Safei, Bejo Slamet, Julijanti, Retno Maryani, Nurdin dan Asihing Kustanti, atas persahabatan dan dukungannya selama masa perkuliahan dan penyelesain disertasi.

(11)

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya. Akhirnya, penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan hutan mangrove di daerah perkotaan.

Bogor, Agustus 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Perumusan masalah 2

Tujuan penelitian 5

Manfaat penelitian 5

Batas istilah 5

Kerangka pemikiran penelitian 6

Kebaruan (Novelty) penelitian 9

2 METODE PENELITIAN 9

Paradigma dan konseptualisme penelitian 9

Lokasi dan waktu penelitian 13

Metode pengumpulan data 14

Jenis dan sumber data 16

Analisis data 17

3 FAKTOR EKSOGEN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE 22

Kondisi fisik 22

Proyek Reklamasi Teluk Jakarta 33

Kondisi Biologi 35

Kondisi sosial ekonomi 46

Aturan main 63

Simpulan 75

4 ARENA AKSI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE 76

Identifikasi para pihak 76

Pemetaan para pihak. 79

Situasi aksi 98

5 INTERAKSI DAN KINERJA PARA PIIHAK 118

Interaksi para pihak 118

Kinerja 123

Penataan peran 128

6 SIMPULAN DAN SARAN 139

Simpulan 139

Saran 140

Implikasi Teori 141

DAFTAR PUSTAKA 142

LAMPIRAN 149

(13)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan sumber data 18

2 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak 20 3 Hasil analisis laboratoriumsifat fisik dan kimia tanah Muara Angke 24 4 Luas kawasan hutan di BKPH Ujung Krawang/Muara Gembong 39 5 Kondisi penutupan hutan mangrove di Muara Gembong 30

6 Kewajiban pengembang reklamasi 34

7 Perubahan jumlah jenis tumbuhan yang teridentifikasi di beberapa lokasi

38

8 Kondisi tiap jenis mangrove di Muara Angke 39

9 Jenis-jenis mangrove yang dominan di setiap desa 44 10 Kondisi fisik dan biologi hutan mangrove di Teluk Jakarta 46 11 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan rumah tangga Provinsi

DKI Jakarta

46 12 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan runah tangga Kecamatan

Penjaringan

47 13 Luas, jumlah kepala keluarga RT dan RW Kecamatan Penjaringan 47 14 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin 48 15 Tingkat pendidikan penduduk kelurahan Kapuk Muara dan Pluit 48 16 Mata pencaharian penduduk sekitar hutan mangrove Muara Angke 49 17 Jumlah tempat peribadatan di Kecamatan Penjaringan 50

18 Jumlah RT dan RW di Kecamatan Penjaringan 51

19 Jenis dan jumlah sekolah di Kecamatan Penjaringan 51 20 Jumlah sarana perdagangan di Kecamatan Penjaringan 52 21 Tempat pelelangan ikan (TPI) dan jumlah transaksi pada tahun 2012

dan 2013 di Kecamatan Penjaringan

52 22 Jumlah sarana kesehatan di Kecamatan Penjaringan 52 23 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin 53 24 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio 53 25 Jumlah sekolah, guru dan murid di Kecamatan Muara Gembong 54 26 Kondisi masyarakat di Muara Angke dan Muara Gembong 63 27 Luasan kawasan hutan Mangrove Angke Kapuk berdasarkan

fungsinya tahun 1988

69 28 Luas kawasan hutan mangrove Angke Kapuk berdasarkan fungsinya

Tahun 1994

69 29 Hubungan antara status para pihak dengan tipe hak dalam pengelolaan

mangrove berdasarkan peraturan perundangan

73 30 Tindakan para pihak yang tidak sesuai dengan hak atau ttidak sejalan

dengan peraturan yang berlaku

74 31 Para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta 77 32 Kepentingan para pihak terhadap pengelolaan hutan mangrove di

Muara Angke

79 33 Pengaruh para pihak terhadap pengelolaan hutan mangrove di Muara

Angke

80 34 Kepentingan para pihak terhadap pengelolaan hutan mangrove di

Muara Gembong

(14)

35 Pengaruh para pihak terhadap pengelolaan hutan mangrove di Muara Gembong

85 36 Pembagian fungsi kawasan, luasan serta pengelolaan hutan mangrove

Muara Angke

89 37 Hutan mangrove di Muara Angke yang dikelola oleh Dinas KPKP

Provinsi DKI Jakarta

92 38 Hubungan antara tipe hak dan status kepemilikan sumberdaya 99 39 Status pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta 100 40 Pelaksanaan PHBM di Muara Gembong tahun 2014 108 41 Tingkatan (kadar) partisipasi menuju terwujudnya pengelolaan

bersama

117 42 Hasil pemetaan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove Muara

Angke

123 43 Perilaku dan kinerja para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove di

Muara Angke

124 44 Hasil pemetaan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove Muara

Gembong

126 45 Perilaku dan kinerja para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove di

Muara Gembong

126 46 Analisis kelembagaan dan penataan peran dalam pengelolaan hutan

mangrove di Teluk Jakarta

129 47 Hak dan kewajiban para pihak berdasarkan status dan strata dalam

hak kepemilikan

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 8

2 Peta lokasi penelitian 14

3 Kerangka analisis kelembagaan IAD 19

4 Matriks pengaruh dan kepentingan 21

5 Peta kawasan hutan mangrove Muara Angke 22

6 Peta Kecamatan Muara Gembong 28

7 Kondisi penutupan lahan di Muara Gembong 31

8 Penutupan lahan dan fungsi kawasan Teluk Jakarta Tahun 2014... 32

9 Rencana Reklamasi Teluk Jakarta 33

10 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke Tahun 2001

37

11 Kondisi Suaka Margasatwa Muara Angke 40

12 Kondisi TWA Angke Kapuk 42

13 Kegiatan rehabilitasi di Hutan Lindung Angke Kapuk 43

14 Kondisi hutan mangrove Muara Gembong 45

15 Kapal-kapal nelayan yang ditambatkan di tepi Sungai Angke 50 16 Persepsi Masyarakat Muara Angke terhadap kondisi hutan

mangrove berdasarkan tingkat pendidikan

57 17 Persepsi masyarakat Muara Angke terhadap kondisi hutan

mangrove berdasarkan mata pencaharian

57 18 Persepsi masyarakat Muara Angke terhadap kondisi hutan

mangrove berdasarkan pendapatan

58 19 Harapan masyarakat terhadap kawasan hutan mangrove Muara

Angke berdasarkan pendidikannya

58 20 Persepsi masyarakat Muara Gembong terhadap status dan

pengelolaan kawasan mangrove berdasarkan tingkat pendidikan

59 21 Persepsi masyarakat Muara Gembong terhadap status dan

pengelolaan kawasan mangrove berdasarkan mata pencaharian

59 22 Persepsi masyarakat Muara Gembong terhadap fungsi hutan

mangrove berdasarkan tingkat pedidikan

60 23 Persepsi masyarakat Muara Gembong terhadap fungsi hutan

mangrove berdasarkan tingkat pendapatan

60 24 Persepsi masyarakat Muara Gembng terhadap kondisi hutan

mangrove berdasarkan tingkat pendidikan

61 25 Harapan masyarakat terhadap kawasan hutan mangrove

berdasarkan mata pencahariannya

61 26 Peta perubahan fungsi sebagai kawasan hutan lindung menjadi

hutan produksi tetap Daerah Ujung Krawang (Muara Gembong) Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat

72

27 Grafik pengaruh dan kepentingan para pihak di Muara Angke 81 28 Matriks kepentingan dan pengaruh para pihak di Muara Angke 82 29 Grafik pengaruh dan kepentingan para pihak di Muara Gembong 86 30 Matriks kepentingan dan pengaruh para pihak di Muara

Gembong

87 31 Hubungan antara para pihak dengan hak dalam penguasaan

hutan dan kondisi riil di lapangan

(16)

32 Peta Tata Ruang Kecamatan Muara Gembong Tahun 2003 - 2013

104 33 Bagian dari hutan mangrove di Muara Gembong yang diklaim

sebagai milik perseorangan

106

34 Arah kerja co-management 114

35 Level hierarki co-management 114

36 Mekanisme hubungan antara para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta

120

DAFTAR LAMPIRAN

1 Blanko Rekapitulasi kondisi Muara Angke dan Muara Gembong

150 2 Peraturan Perundangan Terkait Pengelolaan Mangrove di

Teluk Jakarta

151 3 Status sungai di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan indeks

pencemar sungai tahun 2013

169 4 Hak dan kewajiban antara Perum Pehutani (principal) dan

penggarap (agent)

170 5 Dasar hukum pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta 172 6 Persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove Muara Angke 173 7 Persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove Muara

Gembong

174

8 Kualitas air laut di Teluk Jakarta 175

9 Klasifikasi Hutan Konservasi dan Hutan Lindung menurut peraturan yang berlaku

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut. Hutan ini memiliki sifat yang unik yang terletak pada keanekaragaman flora, fauna, dan habitat tempat hidupnya. Nybakken (1982) mendeskripsikan hutan mangrove sebagai sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Hutan mangrove memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi karena memiliki beragam fungsi, yaitu fungsi sosial, ekonomi maupun lingkungan. Hutan mangrove berfungsi sebagai habitat ikan, udang, kerang dan jenis biota lainnya untuk memijah dan daerah asuhan bagi jenis-jenis udang (Fauzi 2004). Hutan mangrove juga berfungsi menjaga stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, memfilter dan meremidiasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang melalui sistem perakarannya. Mangrove juga melindungi sempadan pantai, penahan gelombang, memperlambat arus pasang surut, menahan serta menjebak besaran laju sedimentasi.

Mangrove juga memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat sekitarnya, yaitu menyediakan ikan, ketam, kerang dan udang serta buah dari beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Kawasan mangrove juga dapat dipakai untuk budidaya tambak, dan kulit mangrove dapat dimanfaatkan dalam industri penyamakan, batik, dan pewarna jaring. Mangrove juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi, pendidikan dan penelitian.

Kerusakan hutan mangrove terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia, dengan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara siginifikan. Penyebab kerusakan mangrove sangat beragam dan secara umum dikelompokkan menjadi tiga faktor yaitu: (1) faktor internal seperti alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri dan adanya pencemaran limbah, pestisida dan logam berat, (2) faktor eksternal seperti kerusakan DAS hulu yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan akumulasi zat pencemar, dan (3) faktor lain yang belum diidentifikasi (Kusmana 2002).

(18)

berat dan bahan beracun berbahaya serta menurunnya jenis, jumlah dan kualitas flora dan fauna di ekosistem pesisir.

Hutan mangrove yang berada di perkotaan memiliki andil dalam mendukung keberlanjutannya melalui beragam fungsinya. Fungsi mangrove yang terkait dengan lingkungan antara lain adalah mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut ke wilayah daratan serta mampu menahan sampah yang dibawa aliran sungai dari daratan melalui sistem perakarannya. Mangrove juga merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berada di perkotaan.

Kondisi faktor-faktor eksogen seperti karakteristik sumberdaya, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan peraturan yang berlaku sangat mempengaruhi bentuk interaksi antar para pihak yang terkait dalam pengelolaan hutan mangrove. Kelestarian hutan mangrove berkaitan erat dengan bagaimana peranan dari para pihak yang terkait dalam pengelolaan hutan mangrove. Para pihak inilah melalui berbagai kegiatannya akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelestarian mangrove. Interaksi antara para pihak dalam melaksanakan pengelolaan hutan mangrove dan pelaksanaan peran dari setiap pihak akan menentukan hasil dari kegiatan pengelolaan

Hutan mangrove dengan beragam fungsi dalam pengelolaannya melibatkan banyak pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolannya. Kebijakan dalam pengelolaan kawasan hutan selama ini masih kurang mendengarkan aspirasi dari para pihak yang terkait sehingga seringkali keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak otoritas pengelola tidak sesuai dengan kepentingan para pihak lainnya. Hal tersebut mengakibatkan muncul konflik kepentingan yang mengakibatkan terjadinya degradasi sumberdaya alam. Upaya untuk mengatasi berbagai masalah dan mengantisipasi konflik telah diupayakan, namun dalam kenyataannya belum mampu mengatasi kerusakan yang terjadi.

Reed et al. (2004) juga menyatakan bahwa pelibatan secara aktif para pihak dalam pengelolaan hutan secara bersama-sama dan merupakan sarana untuk bertemunya berbagai kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari para pihak akan menentukan keberhasilan dalam bekerjasama. Kepentingan dan pengaruh para pihak akan menentukan peranannya dalam kegiatan pengelolaan hutan mangrove. Para pihak yang tidak menjalankan peranannya akan berakibat kegiatan pengelolan tidak optimal yang pada akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap hutan mangrove. Untuk itu, penataan peran para pihak sangat diperlukan agar hutan mangrove lestari.

Claridge dan O’Callaghan (1995); Fisher (1995); Nikijuluw (1999); Borrini-Feyerabend et al. (2000); dan Alikodra (2002) berpendapat bahwa banyak permasalahan yang perlu diselesaikan atas dasar kejelasan peran dan tanggung jawab para pihak, sehingga perlu dibangun pengelolaan bersama ( co-management) dengan melibatkan para pihak. Selanjutnya Alikodra (2012) juga menyatakan bahwa nilai (value) yang dianut oleh para pihak terkait sangat menentukan pandangan dan tidakannya dalam pengelolaan hutan mangrove.

Perumusan Masalah

(19)

yakni meningkatnya konversi lahan untuk permukiman, sarana dan prasarana dan kegiatan lainnya sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan pembangunan dan permukiman menimbulkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, yang pada kenyataannya belum memperhitungkan kerugian yang berdampak sosial, ekonomi dan ekologis. Demikian juga dengan pembangunan wilayah pesisir sekitar kawasan hutan mangrove, pemanfaatan untuk usaha tambak yang dilakukan secara tidak bijaksana telah membawa dampak penurunan luas hutan mangrove. Sebagai akibat dari degradasi dan deforestasi hutan mangrove, kota Jakarta harus menanggung berbagai akibat seperti terjadinya rob, intrusi air laut, abrasi, berkurangnya produksi perikanan dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan penelitian Parawansa (2007) yang menyatakan bahwa secara umum kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi baik fisik maupun habitat yang ditandai dengan terjadinya abrasi, intrusi air laut menurunkan kualitas air dan tanah untuk tambak yang ditandai rendahnya produktivitas tambak.

BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2014) menyatakan bahwa beberapa ancaman terhadap ekosistem pesisir Teluk Jakarta berasal dari pencemaran, sedimentasi, degradasi habitat, degradasi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang disebabkan kegiatan pembangunan infrastruktur dan reklamasi pantai. Noronha (2002) mengemukakan bahwa tekanan terhadap ekosistem pantai merupakan fungsi dari perkembangan penduduk, aktivitas utama masyarakat (ekonomi, sosial), kebijakan makro dan sektoral serta globalisasi. Kondisi yang sama juga dialami oleh ekosistem pantai di Jakarta Utara. Pertumbuhan penduduk dan bisnis yang semakin pesat yang dibarengi dengan pemanfaatan lahan di darat dan perairan yang semakin intensif untuk berbagai peruntukan menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem perairan yang semakin meningkat.

Pemanfaatan lahan darat menghasilkan limbah industri dan limbah rumah tangga, baik berupa limbah cair maupun limbah padat yang mencemari lingkungan pantai. BPLHD (2014) menyatakan bahwa pada umumnya kondisi air sungai di DKI Jakarta dari hulu menuju ke hilir yang berada di Teluk Jakarta telah buruk kualitasnya, baik kualitas fisik, kualitas kimia maupun kualitas biologi. Dahuri et al. (2001) menyatakan bahwa penyebab yang terbesar kerusakan hutan mangerove adalah konversi kawasan hutan mangrove untuk usaha tambak, permukiman, dan kawasan industri secara tak terkendali.

(20)

mendorong tidak harmonisnya pengelolaan karena lemahnya koordinasi dan tidak berjalannya integrasi, sinkronisasi dan sinergi pengelolaan, Hal ini telah mengakibatkan pengelolaan kawasan mangrove dilakukan secara parsial dan tidak terpadu.

Kawasan hutan mangrove Muara Angke memiliki fungsi penting sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau yang melindungi bagian utara Propinsi DKI Jakarta. Saat ini luasan RTH yang ideal terhadap populasi penduduk Jakarta masih jauh dari harapan. Kondisi RTH tahun 2001 seluas 6.191,86 ha atau hanya 9,06% dari luas wilayah DKI Jakarta yaitu 6.152 ha dan sasaran RTH tahun 2010 direncanakan sebesar 9.544,81 ha atau 13,94% dengan rencana ideal seluas 21.625 ha atau sekitar 30 % dari luas wilayah kota Jakarta. Ternyata sampai tahun 2015 luas RTH masih 9,98 % akibat adanya kendala pembebasan lahan yang sangat mahal.

Sumberdaya hutan, termasuk hutan mangrove, yang memiliki karakteristik sumberdaya milik bersama (CPRs / Common Pool Resources) cenderung mengalami kerusakan karena batas-batasnya yang kurang jelas dan cenderung menjadi bersifat open acces atau terbuka untuk umum. Sifat lainnya adalah tidak dapat mengeluarkan yang tidak berhak (non excludable) dan memerlukan persaingan (rivalry) untuk mendapatkannya. Hal ini berarti pemanfaatan oleh satu pihak akan mengurangi kesempatan pihak lain untuk memanfaatkannya. Berbagai pihak baik individu, kelompok maupun oleh pihak swasta mengambil manfaat dari hutan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Pengambilan manfaat ini apabila dilakukan secara berlebihan akan mengakibatkan terjadinya perubahan fisik dan fungsi kawasan yang pada akhirnya akan mengakibatkan hutan rusak.

Kerusakan yang terjadi pada hutan dengan karakteristik milik bersama terutama terjadi terkait dengan adanya masalah dalam penegakan hak kepemilikannya. Hutan mangrove yang merupakan sumberdaya alam milik negara (state property) cenderung bersifat open acces atau terbuka bagi siapa saja yang akan memanfaatkannya sehingga menimbulkan persaingan antar para pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan hutan mangrove. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Platteau (1996) bahwa pertumbuhan populasi dan kepentingan ekonomi telah menyebabkan terjadinya persaingan dalam pemanfaatannya.

Mermet (1994) serta Adger dan Luttrell (2000) menyatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove tidak bisa hanya dilakukan oleh satu aktor saja tetapi harus melibatkan banyak aktor untuk mengendalikan perencanaan, pengelolaan serta pemanfaatannya. Reed et al. (2004) menyebutkan bahwa adanya pelibatan secara aktif partisipatif dalam pengelolaan hutan secara multi pihak merupakan wahana dalam memfasilitasi kepentingan (interest) dan pengaruh (power) antar para pihak yang menunjang keberhasilan dalam bekerjasama. Kangas et al. (2006) juga menyatakan bahwa dalam perencanaan partisipatif atau pengambilan keputusan kelompok, kelompok kepentingan atau warga negara harus terlibat dalam proses perencanaan dan pengelolaan hutan secara aktif. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengelolaan hutan mangrove harus dengan melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan dan pengaruh masing-masing.

(21)

mengatasi masalah dan mengantisipasi kerusakan hutan mangrove di Teluk Jakarta lebih lanjut, dibutuhkan suatu konsep pengelolaan bersifat adaptive management yang diharapkan dapat mengakomodir aspirasi dan keinginan dari semua pihak. Konsep yang dimaksud pada intinya dibangun atas dasar partisipasi, komitmen, dan kerjasama dari seluruh pihak terkait yang dikenal dengan pengelolaan secara kolaborasi atau co-management.

Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana penataan peran para pihak yang paling sesuai dalam pengelolaan hutan mangrove yang lestari di Teluk Jakarta. Adapun pertanyaan penelitian antara yang mendukung pertanyaan penelitian utama adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi faktor-faktor eksogen yang berpengaruh terhadap hutan mangrove di Teluk Jakarta ?

2. Bagaimana arena aksi pengelolaan mangrove dimana terjadi pembagian peran dan hubungan antar para pihak ?

3. Bagaimanakah interaksi dan kinerja para pihak dalam pengelolaan mangrove?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah merumuskan suatu bentuk penataan peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove yang lestari di Teluk Jakarta. Adapun tujuan antara penelitian ini adalah :

1. Menganalisis faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi pengelolaan hutan mangrove

2. Menganalisis arena aksi pengelolaan hutan mangrove

3. Menganalisis interaksi dan kinerja pengelolaan hutan mangrove

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk Pemerintah mengenai pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta serta peranan masing-masing pihak. Dengan mengetahui para pihak terkait serta peran masing-masing pihak, Pemerintah dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan dalam pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta sehingga mendukung kelestariannya. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan untuk memperkaya ilmu yang terkait dengan pengelolaan kawasan lindung khususnya hutan mangrove yang berlokasi di kota metropolitan.

Batasan Istilah

Beberapa definisi penting yang menjadi batasan penelitian ini adalah : 1. Pengelolaan hutan mangrove dalam penelitian ini dibatasi dengan melihat

kinerja pengelolaan hutan mangrove berupa kondisi hutan mangrove sebagai indikator keberhasilan pengelolaan

2. Para pihak adalah pihak-pihak yang melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan maupun yang mempengaruhi dan terpengaruh oleh kegiatan pengelolaan hutan

(22)

Kerangka Pemikiran Penelitian

Hutan mangrove memiliki peranan yang penting bagi keberlanjutan kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainnya melalui berbagai fungsinya, baik fungsi fisik, ekologis, maupun sosial ekonomis. Pearce dan Turner (1990) mengemukakan bahwa hutan mangrove mempunyai manfaat langsung yang dapat dikonsumsi masyarakat. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berkaitan dengan fungsi ekologi dalam mencegah meluasnya abrasi, penahan angin dan badai, menjaga garis pantai, tempat pemijahan ikan, dan habitat flora dan fauna.

Kustanti (2011) menyatakan agar pengelolaan hutan mangrove berhasil diperlukan kerangka kerja kebijakan yang memperhatikan manfaat ganda hutan mangrove serta perencanaan pengelolaan yang tepat. Beberapa hal yang harus mendapat perhatian dalam penyusunan perencanaan adalah 1) sejarah perkembangan dan kejelasan lahan hutan mangrove yang meliputi: sejarah kepemilikan lahan, luasan, fungsi lahan, tipe hutan, wilayah administrasi dan perkembangan hutan; 2) kondisi bioekologi hutan mangrove, 3) kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan 4) dukungan pemerintah dan pihak terkait lainnya.

Kondisi hutan mangrove di berbagai penjuru dunia terus mengalami kerusakan.

Bakosurtanal (2009) menyebutkan bahwa luas hutan mangrove Indonesia adalah 3,2 juta ha sedangkan Ditjen RLPS (2007) menyebutkan bahwa luasan mangrove di Indonesia adalah 7,8 juta ha dimana 30,7% kondisi bagus; 27,4 % rusak sedang; dan 41,9% rusak berat. Kustanti (2014) mengemukakan beberapa penyebab terjadinya penurunan kualitas dan luasan hutan mangrove disebabkan beberapa hal, seperti: 1) belum jelas status lahannya apakah lahan negara ataukah lahan yang dimiliki; 2) merupakan lahan yang dinamis yang hilang dan muncul karena sesuatu hal; 3) belum jelasnya tata ruang yang mengatur mengenai keberadaan hutan mangrove; 4) belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar hutan mangrove dan para pihak terkait lainnya serta 5) upaya mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan non kehutanan.

Keberlanjutan pengelolaan pada sumberdaya milik bersama berkaitan dengan hubungan antara pemerintah lokal dengan masyarakat yang telah beradaptasi dengan perubahan ekologi atau lingkungan. Atribut masyarakat baik berupa etnis, pendidikan, ras, kesejahteraan maupun persepsi terhadap sumberdaya berpengaruh terhadap pandangannya akan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya milik bersama memerlukan pilihan pemanfaatan bersama, kebijakan bersama, dan aksi bersama dalam kelestarian pengelolaannya (Ostrom 1990).

(23)

diantara berbagai pihak yang berkepentingan dan menyetujui untuk berbagi fungsi/peran, wewenang dan tanggung jawab manajemen dalam mengelola sumberdaya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi. Pengelolaan kolaborasi merupakan pengelolaan berbasis kemitraan atau kerjasama antara pihak terkait melalui pembagian peran, wewenang, berbagi keuntungan serta pembangunan kapasitas melalui peningkatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan ada beberapa faktor pendukung manajemen kolaboratif (co-management) yaitu pembagian otoritas dan tanggung jawab, kerjasama, partisipasi, saling percaya dan menghargai, pembangunan kapasitas serta integrasi konservasi dan pembangunan. Di antara elemen penting yang terintegrasi dalam strategi pengelolaan kolaboratif adalah untuk tujuan sosial, budaya, dan ekonomi.

Dalam melakukan aksi bersama pengelolaan ekosistem hutan mangrove seperti yang disampaikan oleh Mermet (1994) serta Adger dan Lutrell (2000) bahwa pengelolaan hutan mangrove di lahan basah tidak hanya dilakukan oleh satu aktor saja tetapi perlu melibatkan banyak aktor untuk mengendalikan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang bersifat multimanfaat, baik manfaat ekonomi maupun ekologi. Pendekatan dan koordinasi pengelolaan diperlukan sesuai dengan kapasitas masyarakat lokal. Adanya pelibatan secara aktif partisipatif dalam pengelolaan hutan secara multipihak merupakan wahana dalam memfasilitasi kepentingan (interest) dan pengaruh (power) antar pihak terkait yang menunjang keberhasilan dalam bekerjasama (Reed et al. 2004). Adanya pihak yang bertindak tidak sesuai dengan peranannya telah mengakibatkan terjadinya kerusakan pada hutan mangrove, seperti terjadinya perambahan hutan oleh masyarakat.

Alikodra (2012) menyatakan bahwa keharmonisan antara kebutuhan manusia dengan kelestarian sumberdaya alam (SDA) secara keseluruhan sangat tergantung dengan tingkat keberhasilan dan kemampuan pemerintah bersama masyarakat dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan SDA terkait dengan value (nilai) yang dipahami oleh masyarakat terhadap SDA dan lingkungannya, apakah dilandasi oleh pemahaman terhadap ekologi dalam (deep ecology) atau pemahaman ekonomi jangka pendek semata. Selanjutnya Alikodra (2012) juga menyatakan bahwa manusia harus menyadari kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi untuk melindungi SDA dan lingkungan dari kerusakan.

Kerangka kerja analisis kelembagaan (Institutional Analysis Development/IAD) yang dikembangkan Ostrom (1999) merupakan metode yang sistematis dalam kegiatan analisis bidang sosial dan fisik. Metode tersebut membantu menganalisis dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang kompleks secara komprehensif dan memberikan alternatif pemecahan yang dapat dilaksanakan oleh praktisi di lapangan. Apabila analisis diterapkan secara tepat maka para analis dan partisipan akan terhindar dari kesalahan dalam pandangan berlebih dan penyederhanaan (Polski dan Ostrom 1999).

(24)

Faktor Eksogen Arena Aksi

digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu kondisi fisik, atribut-atribut kemasyarakatan serta aturan-aturan yang berlaku di dalam arena aksi. Dengan memahami arena aksi serta variabel-variabel yang mempengaruhinya, maka pola interaksi yang terjadi dan kinerja pun dapat diduga

Pendekatan penelitian penataan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove ini menggunakan kerangka IAD yang telah dimodifikasi, teori co-management serta pendekatan ecosophy terkait dengan nilai-nilai spiritualisme dari para pihak dalam pengelolaan SDA. Cara kolaboratif serta pengembangan nilai spiritualisme dipergunakan sebagai landasan untuk mengatasi berbagai permasalahan dengan memperhatikan berbagai aspek kelestarian hutan mangrove, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan para pihak (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pemikiran penataan peran para pihak (modifikasi dari Ostrom 1999)

1. Kondisi fisik 2. Kondisi biologi

Penataan peran para pihak dalam

Kerangka Co management

Spiritualisme para pihak terkait Aturan main

1. Formal 2. Informal Atribut masyarakat 1. Demografi 2. Sosial ekonomi 3. Persepsi

Analisis Para Pihak (Reed et al 2009) - Identifikasi - Pengelompokan

Perlu pebaikan pola pengelolaan

Up scaling Lesson learn

Berhasil Tidak berhasil

Outcome :

- Kelestarian Mangrove - Kesejahteraan masyarakat

Pola interaksi/ kerjasama para

pihak Situasi Aksi

1.Pemanfaatan SDA hutan mangrove 2.Regime hak

Kepemilikan 3.Hubungan antar

(25)

Kebaruan (Novelty) Penelitian

Kajian ilmiah mengenai penataan peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove khususnya yang berlokasi di perkotaan sampai saat ini belum banyak dilaksanakan. Kajian-kajian yang ada pada umumnya berkaitan dengan teknis pengelolaan serta kebijakan dan strategi pengelolaan mangrove secara umum untuk menjaga kelestariannya. Kajian mengenai peran para pihak ini diperlukan terutama dalam upaya untuk penguatan peran para pihak serta penegakan hak dan kewajiban berdasarkan peranannya masing-masing.

(26)

2

METODE PENELITIAN

Paradigma dan Konseptualisasi Penelitian

Sumberdaya alam terbatas jumlah dan kualitasnya, sedang kebutuhan manusia tidak terbatas, Adanya kesenjangan ini, apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan sumberdaya alam termasuk hutan akibat adanya pemanfaatan yang berlebihan. Kelestarian hutan akan berhasil apabila pengaturan dalam pengelolaannya dilaksanakan secara tepat.. Pengaturan tersebut adalah berupa kebijakan. Pada prinsipnya tata kelola hutan adalah landbase.

Persoalan deforestasi dan degradasi hutan yang ada lebih kepada perebutan akses terhadap lahan hutan dan akses hutan. Berbagai kepentingan para pihak akan lahan hutan dan hasil hutan menimbulkan degradasi hutan dan deforestasi. Dalam penelitian ini persoalan kerusakan hutan dipandang sebagai persoalan interaksi manusia, sehingga dengan berdasarkan pada pemikiran Creswell (2003), analisis penelitian ini mengangkat permasalahan sosial, yaitu interaksi antar manusia. Pengaturan interaksi manusia adalah pengaturan tentang kelembagaan, sehingga analisis yang digunakan adalah kerangka analisis IAD yang dikemukakan oleh Ostrom (1999).

Konsep IAD sebagaimana dikemukakan oleh Ostrom (1999) dipakai sebagai kerangka analisis penyelesaian permasalahan dalam penelitian ini dan bukan konsep atau teori kelembagan lainnya karena dalam melakukan analisis kebijakan suatu tata kelola hutan, IAD telah menyediakan perangkat analisis yang lengkap, dimulai dari analisis faktor eksogen yang menganalisis kondisi fisik, atribut masyarakat, dan aturan yang digunakan. Selain itu menganalisis situasi aksi dan aktornya. Keduanya kemudian dianalisis interaksinya, sehingga dapat mengungkap kinerjanya. Apabila IAD diterapkan secara tepat maka akan terhindar dari kesalahan dalam pandangan berlebihan maupun kesalahan karena penyederhanaan permasalahan (Polski dan Ostrom 1999).

Ostrom merupakan penganut aliran institusionalis. Aliran institusionalis memandang bahwa perilaku manusia senantiasa dibatasi oleh norma, konvensi, prosedur, hukum yang lebih lanjut dimaknakan sebagai lembaga (institution) sehingga kelembagaan ini sangat dekat dengan perilaku manusia. Kebijakan adalah salah satu dari kelembagaan. Lembaga yang mengendalikan orang berperilaku sesuai dengan tujuan yang bersangkutan. Hal ini dapat menjadi indikator keberhasilan, di mana jika perilaku seseorang menyimpang dari kebijakan, maka kebijakan dikatakan gagal. Institusionalis memandang bahwa kelestarian/kerusakan sumberdaya alam adalah sebuah resultan ekspresi yang tampak dari perilaku pelaku kebijakan, bukan indikator akan keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan.

(27)

kelembagaan yang kuat diharapkan dapat : (1) menekan free riding, rent seeking

dan opportunistic behavior; (2) memfasilitasi koordinasi, termasuk pertukaran (exchange); dan (3) menekan biaya koordinasi dan transaksi (coordination and transaction costs) sehubungan ketidaksepadanan informasi dan kekuasaan (asymmetric information and power).

Peranan dari kelembagaan adalah menentukan kesempatan-kesempatan ekonomi individu dan hasil akhir interaksi antar individu/organisasi terhadap kinerja ekonomi dan pengelolaan sumber daya agar tidak saling merugikan melalui aksi bersama (collective action); mengatur interdependensi antar manusia, kondisi atau situasi melalui inovasi hak pemilikan (property rights), batas jurisdiksi (jurisdiction boundary) dan aturan representasi (rules of representation); dan kelembagaan selalu disertai sanksi-sanksi (formal – informal) yang disepakati dan penegakannya. Kelembagaan tanpa adanya sanksi tidak akan berguna.

Pendekatan Polski dan Ostrom (1990) menjadi landasan analisis kritis. Kelembagaan sebagai sebuah konsep yang dipahami bersama oleh manusia di dalam berbagai situasi yang terjadi secara berulang yang dikendalikan oleh aturan-aturan (rules), norma-norma (norms) dan strategi-strategi (strategies). Yang dimaksud dengan aturan dalam hal ini adalah seperangkat pengertian yang dipahami secara bersama tentang apa yang harus (must), tidak boleh (must not)

atau boleh (may) dilakukan oleh seseorang atau kelompok dimana aturan tersebut dianggap dapat ditegakkan dan dipantau pelaksanaannya oleh agen atau organisasi tertentu yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada setiap pelanggar aturan tersebut. Norma diartikan sebagai aturan-aturan dimana penegakannya dilakukan oleh masing-masing individu atau kelompok secara internal dan eksternal melalui paksaan atau stimulus/insentif tertentu. Strategi diartikan sebagai rencana-rencana yang teratur yang diciptakan oleh individu di dalam struktur insentif berdasarkan aturan, norma dan perilaku yang diharapkan dari pihak atau individu lain di dalam situasi tertentu yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Ostrom juga menjelaskan bahwa kinerja (outcomes) dari suatu sistem kelembagaan merupakan produk dari pola interaksi para aktor yang terdapat di dalam sistem kelembagaan tersebut.

(28)

dan manfaat dari tindakan para pelaku. Variabel aktor di dalam arena aksi adalah anggapan sifat-sifat intrinsik dari para aktor, yang antara lain meliputi sifat ekonomis (homo economicus), selalu belajar dari kesalahan (failable learners), memberikan respon yang tergantung dari sikap pihak lain (reciprocity) dan bersikap oportunistik (memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan diri sendiri).

Arena aksi dipengaruhi oleh faktor eksogen yang digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi fisik atau materi dari sistem (physical/material condition), atribut-atribut kemasyarakatan (attributes of community) dan aturan-aturan yang digunakan (rules in use). Kondisi fisik suatu sistem menjelaskan seberapa jauh tingkat kompleksitas sistem tersebut untuk dapat dikendalikan, sehingga pemanfaatannya dapat diarahkan kepada target-target tertentu, serta bagaimana pengaruh model pemanfaatan seseorang atas suatu sistem terhadap tingkat pemanfaatan sistem oleh pihak lainnya. Atribut kemasyarakatan berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di dalam suatu kelompok tertentu. Aturan-aturan yang digunakan adalah seperangkat aturan yang mengikat para pelaku di dalam sistem tersebut yang menjadi dasar mereka dalam melakukan tindakan-tindakan. Polski dan Ostrom (1990) merinci aturan-aturan ini menjadi tujuh aspek, yaitu aturan yang mengatur aktor untuk masuk ke atau keluar dari suatu sistem (entry and exit rules), aturan yang menciptakan posisi-posisi tertentu di dalam sistem (position rules), aturan yang mengatur ruang lingkup dampak tindakan aktor (scope rules), aturan yang mengatur otoritas atau pilihan yang menentukan bentuk dari hierarki keputusan (authority or choice rules), aturan yang mempengaruhi tingkat pengendalian terhadap tindakan-tindakan pelaku (aggregation rules), aturan informasi (information rules) yang mempengaruhi tingkat akses pelaku terhadap informasi dan aturan ganjaran atau hukuman (payoff rules) yang mempengaruhi tingkat manfaat yang akan diterima atau biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku atas tindakan atau dampak yang dihasilkan.

Kinerja sebuah kelembagaan (institusion) ditentukan oleh pola-pola interaksi di antara para aktor. Pola-pola interaksi antar aktor tersebut merupakan hasil dari suatu keadaan dimana para aktor tersebut bertemu dan berinteraksi di dalam suatu kondisi yang disebut sebagai arena aksi (action arena). Arena aksi tersebut dipengaruhi oleh seperangkat kumpulan variabel yang digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi-kondisi fisik sistem tersebut, atribut-atribut kemasyarakatan yang terdapat di dalam sistem tersebut dan aturan-aturan yang berlaku di dalam arena aksi. Kebijakan merupakan salah satu aspek yang termasuk ke dalam arena aksi dan atribut-atribut yang mempengaruhi arena aksi tersebut.

Dalam penelitian ini, karena kerusakan hutan mangrove sangat terkait dengan hak kepemilikan, maka penelitian ini juga menganalisis tentang hak kepemilikan, meliputi distribusi, pengaturan dan konflik yang terjadi (Schlager dan Ostrom 1992). Untuk mengidentifikasi dan menganalisis peranan berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove, maka penelitian ini menganalisis peta pengaruh dan kepentingan para pihak (Reed et al 2008).

(29)

keadaan alamiah (Creswell 2003). Dalam penelitian kualitatif prosedur penelitian yang dilaksanakan akan menghasilkan data deskriptif dalam bentuk tertulis atau lisan dari para pihak yang diamati tindakannya sehingga dapat diperoleh latar belakang yang menyeluruh dari para pihak maupun fenomena yang terjadi. Moleong (2007) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan atau eksplorasi. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu langkah kerja, formula suatu resep, pengertian-pengertian tentang suatu konsep yang beragam, karakteristik suatu barang dan jasa, gambar-gambar, gaya-gaya, tata cara suatu budaya, model fisik suatu artifak dan lain sebagainya. Penelitian kualitatif deskriptif merupakan langkah kerja untuk mendiskripsikan suatu obyek, fenomena, atau setting sosial yang kemudian diwujudkan dalam suatu tulisan yang bersifat naratif. Artinya, data dan fakta yang dihimpun berbentuk kata atau gambar daripada angka-angka. mendeskripsikan sesuatu berarti menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu kejadian terjadi.

Pendekatan secara kualitatif dalam penelitian ini dilaksanakan dengan wawancara untuk diperoleh gambaran deskriptif mengenai masalah-masalah faktual yang dihadapi di lokasi penelitian. Wawancara dilakukan mengenai sejarah pengelolaan, kondisi fisik hutan mangrove, dan pengelolaan yang dilaksanakan saat ini.

Pendekatan penelitian lainnya yang dipergunakan adalah pendekatan kuantitatif. Irawan (2009) menyebutkan bahwa pendekatan kuantitatif dalam penelitian sosial lebih mengacu kepada keakuratan deskripsi setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya serta memiliki daerah aplikasi yang luas. Sebagian dari pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Dalam metode survei, data dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara aktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir 2009). Dalam penelitian ini, pendekatan kuantitatif dilakukan dalam analisis para pihak, dimana untuk mengetahui pengaruh dan kepentingan para pihak dilakukan melalui pengisian kuesioner oleh responden yang ditentukan secara purposive. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dipetakan dalam matriks pengaruh dan kepentingan untuk menentukan peran setiap pihak (Reed et al. 2008).

(30)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove Muara Angke, yang berada di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara dan hutan mangrove Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Kawasan hutan mangrove Muara Angke terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Provinsi DKI Jakarta. Secara geografis terletak di antara 05° 10` - 05° 15` Lintang Selatan serta antara 106° 07` -106° 21` Bujur Timur. Kecamatan Muara Gembong terletak di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak pada posisi 06º 02' 07'' Lintang Selatan dan 107º 4' 45''Bujur Timur.

[image:30.595.113.529.343.768.2]

Kedua lokasi tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut : (1) Hutan mangrove di Muara Angke dan Muara Gembong merupakan hutan mangrove yang masih tersisa di Teluk Jakarta, (2) Karakteristik permasalahan yang dihadapi di kedua lokasi tersebut berbeda sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran menyeluruh tentang permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta, dan (3) Hutan mangrove di Muara Angke dan Muara Gembong memiliki peranan yang penting sebagai kawasan lindung. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai dengan Desember 2014. Adapun peta lokasi penelitian adalah sebagaimana Gambar 5 berikut.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian. Sumber: Kementerian LHK (2015)

Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapangan, pengisian kuesioner dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat dan para pihak

Muara Gembong

(31)

yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke dan Muara Gembong. Data sekunder diperoleh dari studi terhadap dokumen berupa peraturan perundangan, peta, laporan penelitian, buku, laporan hasil kegiatan, dan laporan lainnya yang dipublikasikan oleh berbagai pihak terkait.

Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat keputusan, laporan hasil penelitian, foto, peta dan lain sebagainya yang tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Menurut Bungin (2003) metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data sejarah. Dalam penelitian ini, dokumen yang dikumpulkan meliputi data-data kondisi lingkungan hidup, data kondisi demografi masyarakat, peta, foto, dan peraturan perundangan. Dokumen diperoleh dari instansi serta pihak-pihak terkait lainnya.

Wawancara Mendalam (In-depth Interview)

Wawancara mendalam merupakan salah satu metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Bungin (2003) menyatakan bahwa kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Secara umum wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama.

Bungin (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara (interviewer), tujuan wawancara, peran informan dan cara melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya. Sesuatu yang amat berbeda dengan metode wawancara yang lainnya adalah bahwa wawancara mendalam dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian, hal yang tidak dilakukan pada metode wawancara yang lain. Dalam penelitian ini, wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data mengenai sejarah pengelolaan hutan mangrove, kebijakan dan kegiatan pengelolaan yang dilaksanakan.

Observasi

(32)

Dalam penelitian ini observasi atau pengamatan lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi riil di lapangan. Observasi dilakukan terhadap kondisi hutan mangrove, kondisi lingkungan hidup di lokasi penelitian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Pengambilan Contoh

Purposive Sampling

Dalam pendekatan kualitatif, unit contoh yang digunakan adalah key informan atau informan kunci sebagai sumber informasi dalam penelitian ini. Penentuan informan kunci dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu penentuan key informan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian. Informan kunci ditentukan berdasarkan keahlian, pengetahuan, kapasitas, kewenangan, keterlibatan dan kebersediaan informan kunci yang berhubungan dengan implementasi kebijakan pengelolaan mangrove. Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan sampling : 1) lokasi penelitian, 2) aktor yang terlibat, 3) kejadian yang akan diamati, dan 4) proses alamiah yang terjadi.

Dalam penelitian ini, informan kunci menjadi sumber informasi untuk mendapatkan data sejarah pengelolaan hutan mangrove, kebijakan dan kegiatan pengelolaan yang dilaksanakan.

Snowball Sampling

Snowball sampling adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi, hasil penelitian dan pengetahuan, dari asosiasi yang diperpanjang, melalui kenalan sebelumnya. Seorang individu atau kelompok menerima informasi dari tempat yang berbeda melalui perantara bersama. Hal ini disebut sebagai snowball sampling, merupakan metaforis yang berarti hubungan yang lebih dibangun melalui asosiasi bersama, lebih banyak koneksi dapat dilakukan melalui hubungan-hubungan baru dan sejumlah besar informasi dapat dibagi dan dikumpulkan, seperti gulungan bola salju dan peningkatan ukuran seperti itu akan mengumpulkan lebih banyak salju dalam bentuk bola yang semakin besar. Selanjutnya Neuman (2000) menyatakan bahwa bidang-bidang penelitian kualitatif menggunakan teknik snowball sampling termasuk ke dalam non-probability sampling dengan menggunakan informan kunci.

Dalam penelitian ini snowball sampling dilakukan dalam mengidentifikasi para pihak untuk selanjutnya mengumpulkan data pengaruh dan kepentingan untuk memetakan para pihak dengan menggunakan analisis para pihak sebagaimana dikemukakan oleh Reed et al. (2008).

Jenis dan Sumber Data

(33)

Data primer untuk analisis para pihak digali dari informan kunci yang merupakan para pihak dari lembaga-lembaga yang terlibat langsung dalam proses pengelolaan hutan mangrove. Penentuan informan kunci diperoleh dengan teknik

purposive sampling. Informan kunci merupakan para pihak yang terkait dalam pengelolaan hutan mangrove.

Data persepsi masyarakat diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Data persepsi yang dikumpulkan adalah persepsi masyarakat terhadap status dan pengelolaan hutan mangrove, fungsi hutan mangrove, kondisi hutan mangrove, serta harapan masyarakat terkait keberadaan kawasan mangrove Muara Angke dan Muara Gembong.

Sedangkan data sekunder akan diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kawasan lindung, pengelolaan hutan mangrove, dokumen-dokumen dan laporan-laporan perusahaan maupun instansi pemerintah terkait, buku atau laporan hasil penelitian maupun sumber pustaka lain yang relevan dan terpercaya.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini lebih banyak bergantung pada diri peneliti itu sendiri sebagai alat pengumpulan data. Peneliti sebagai suatu instrumen memiliki kemampuan yang dapat menilai situasi dan kondisi saat penelitian dan memutuskan secara luwes. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas agar mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti dengan jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai.

Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan Selain peneliti, dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang dipakai untuk mengumpulkan data adalah kuesioner, pedoman wawancara, alat rekam dan kamera. Data, Parameter, Teknik pengumpulan data dan Analisis data disajikan pada Tabel 1.

Rekapitulasi Data

Dalam rangka mempermudah analisis data, maka dilakukan pengelompokkan terhadap data kuantitatif dan kualitatif berdasarkan posisinya dalam kerangka IAD. Analisis yang dilakukan akan menggunakan analisis kualitatif yang didukung data kuantitatif. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh oleh Gautam dan Shivakoti (2005) dalam melakukan penilaian terhadap pengelolaan hutan dengan krakteristik sumberdaya milik publik di India. Hasil rekapitulasi data disajikan dalam blanko penelitian sebagaimana Lampiran 1.

Analisis Data Analisis Deskriptif

(34)

memberikan gambaran umum tentang arena aksi pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dan penataan peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove.

Analisis Kelembagaan

[image:34.595.99.557.309.792.2]

Analisis kelembagaan dilakukan dengan menggunakan kerangka IAD (Institution Analysis and Development Framework) oleh Ostrom (1999). IAD ini merupakan metode yang sistematis dalam kegiatan analisis bidang sosial dan fisik. IAD membantu menganalisis dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang kompleks secara komprehensif dan memberikan alternatif pemecahan yang dapat dilaksanakan oleh para praktisi di lapangan. Analisis kelembagaan ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai pola interaksi antara para pihak yang terkait dalam pengelolaan mangrove di Muara Angke dan Muara Gembong. Apabila hasil analisis diterapkan secara tepat maka para analis dan partisipan akan terhindar dari kesalahan dalam pandangan yang berlebihan dan penyederhanaan (Polski dan Ostrom 1999).

Tabel 1 Jenis dan Sumber Data

Tujuan penelitian Data Parameter

Teknik pengumpulan

data

Analisis data Penentuan Responden

Tujuan Utama

Memperoleh suatu bentuk penataan peran para pihak dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Teluk Jakarta

-Kondisi fisik dan biologi -Atribut masy. -Aturan yang

berlaku

-Identifikasi para pihak

-Pengelompokan para pihak -Situasi aksi -Interaksi para

pihak

Sesuai dengan tujuan antara Sesuai dengan tujuan antara Deskriptif , analisis para pihak, analisis isi peraturan Purposive sampling, snowball sampling Tujuan Antara Menganalisis faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi pengelolaan hutan mangrove Kondisi fisik dan biologi

Data tutupan lahan, jenis dan kondisi flora fauna, Observasi lapangan Studi literatur / dokumen Analisis deskriptif Atribut masyarakat Kondisi sosial ekonomi dan persepsi terhadap hutan mangrove Studi literatur/ dokumen, kuesioner/ wawancara Analisis deskriptif Random sampling Aturan yang berlaku Peraturan perundangan norma-norma dalam masy.

Studi literatur, wawancara Purposive sampling Menganalisis arena aksi pengelolaan hutan mangrove Identifikasi para pihak

Data pihak terkait pengelolaan hutan mangrove di Teluk

Wawancara , studi literatur

Analisis Para Pihak (Reed et al. 2009),

(35)

Tujuan penelitian Data Parameter

Teknik pengumpulan

data

Analisis data Penentuan Responden

Jakarta analisis

deskriptif Pengelompokan

para pihak

Data pengaruh dan kepentingan

Wawancara , pengisian kuesioner

Analisis Para Pihak (Reed et al. 2009), analisis deskriptif Purposive sampling Situasi aksi pengelolaan Informasi tentang permasalahan peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta Wawancara, Studi literatur Analisis deskriptif Purposive sampling Interaksi para pihak

Informasi ttg hubungan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove Wawancara Studi literatur Analisis deskriptif Purposive sampling

[image:35.595.78.556.79.813.2]

IAD telah secara luas digunakan untuk menganalisis kinerja pada sumberdaya alam dengan karakteristik sumberdaya milik bersama (Common Pool Resources). Dalam bidang kehutanan, kinerja pengelolaan hutan ditentukan oleh pola interaksi antara para aktor, arena aksi, kondisi fisik dan aturan main yang berlaku dalam pengelolaan. Dengan memahami arena aksi dan variabel-variabel yang mempengaruhinya maka akan dapat diduga pola interaksi yang terjadi serta kinerja yang akan diperoleh. Kerangka analisis kelembagaan IAD adalah sebagaimana yang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Kerangka analisis kelembagaan IAD (Ostrom 1999) Faktor Eksogen

(36)

Terdapat beberapa tahapan dalam melaksanakan analisis kelembagaan dalam kerangka IAD. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Menentukan tujuan analisis kelembagaan yang akan dilakukan, 2) Menganalisis kondisi fisik dan materi, 3) Menganalisis atribut yang ada di masyarakat seperti kondisi demografi, norma-norma yang berlaku, persepsi, nilai-nilai, dan kepercayaan, 4) Menganalisis aturan main (rule in use) : aturan main yang digunakan untuk menjelaskan kebijakan pelaksanaan, interaksi, dan kinerja (outcome), 5) Mengintegrasikan analisis: arena aksi adalah fokus dalam perencanaan dan analisis kebijakan. Arena aksi adalah ruang bagi aktor pengelolaan, mempertimbangkan aksi alternatif bahasan, pengambilan keputusan, pengambilan tindakan, dan pengalaman atas konsekuensi tindakan yang telah diambil. Siapa pun aktor yang ada dalam arena aksi, peran yang diberikan, tindakan, dan lain sebagainya dipengaruhi oleh faktor-faktor material dan fisik, masyarakat, dan aturan main (rule-in-use). Arena aksi mempunyai dua aspek yaitu situasi aksi dan aktor pengelolaan sumberdaya alam, 6) Menganalisis pola interaksi: pola interaksi mengarah kepada karakteristik struktural situasi aksi dan pelaksanaannya oleh partisipan hasil dari struktur, 7) Menganalisis outcome:

menganalisis performa sistem kelembagaan.

Berdasarkan hasil analisis akan diperoleh sejauh mana kepentingan para pihak, peran dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan aktivitas yang telah direncanakan, identifikasi sumber masalah, identifikasi konflik kepentingan, serta mengidentifikasi hubungan yang akan dibangun antar para pihak dalam upaya mencapai kerjasama yang saling menguntungkan.

Analisis Para Pihak

Analisis para pihak dilakukan dalam kerangka IAD untuk mendapatkan pemahaman mengenai pola interaksi antara para pihak yang terkait dalam pengelolaan mangrove di Muara Angke dan Muara Gembong. Analisis para pihak dilakukan dengan metode yang dikemukaan oleh Reed et al. (2009) yang bersifat deskriptif kuantitatif. Analisis spara pihak ini dilaksanakan untuk mengetahui kepentingan dan pengaruh para pihak, untuk memahami sinergi dan konflik antara para pihak dan permintaan mereka untuk fungsi dan jasa ekosistem dari hutan mangrove di Muara Angke dan Muara Gembong.

Reed et al. (2009) menyatakan analisis para pihak dilakukan dengan cara: (1) melakukan identifikasi para pihak dan kepentingannya; (2) mengelompokkan dan mengkategorikan para pihak terkait; dan (3) menyelidiki hubungan antara para pihak. Data dan informasi dikumpulkan dengan metode wawancara semi terstruktur dengan berpedoman kepada daftar topik yang telah disusun sebelumnya. Selanjutnya data dan informasi tersebut dianalisis.

(37)
[image:37.595.92.490.94.794.2]

Tabel 2 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak

Skor Nilai Kriteria Kete

Gambar

Gambar 2.  Peta lokasi penelitian.
Tabel 1  Jenis dan Sumber Data
Gambar 3  Kerangka analisis kelembagaan IAD (Ostrom 1999)
Tabel 2  Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada periode 1980-1990 lahan hutan telah diubah menjadi hak kepemilikan privat menjadi areal pertambakan udang tradisional, pada tahun 1990 areal pertambakan udang hilang

perumusan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat dilakukan melalui penentuan indikator-indikator ekosistem hutan

Partisipasi masyarakat pesisir di Teluk Kotania dalam pengelolaan kawasan mangrove yaitu 30,7% sangat mendukung atau sangat berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove menunjukan angka yang positif dimana 88,49% dalam melestarikan dan mempertahankan

Persentase TKG Scylla paramamosain Estampador di hutan mangrove Teluk Buo Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Padang dalam satu musim. Grafik Persentase TKG

Partisipasi masyarakat pesisir di Teluk Kotania dalam pengelolaan kawasan mangrove yaitu 30,7% sangat mendukung atau sangat berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan

SIMPULAN Spesies yang menyusun hutan mangrove di Teluk Betung Kecamatan Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan didapatkan 6 spesies yaitu, Rhizophora apiculata, Sonneratia casiolaris,

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam melakukan analisis dan mendeskripsikan pengelolaan Ekowisata Mangrove Kampung Teluk Semanting, peneliti menggunakan teori Good Tourism Governance yang