• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evolusi hak kepemilikan dan penataan peran para pihak pada pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan kemunculan tanah gembul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evolusi hak kepemilikan dan penataan peran para pihak pada pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan kemunculan tanah gembul"

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus pada Tanah Timbul Hutan Mangrove

di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung)

ASIHING KUSTANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

(Kasus pada Tanah Timbul Hutan Mangrove

di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung)

ASIHING KUSTANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS

Dr. Ir. Yulius Hero, MSc

Pengujia Luar Komisi Ujian Terbuka : Prof.Dr.Ir. Sugeng P. Harianto, MS

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Evolusi Hak Kepemilikan dan Penataan Peran Para Pihak pada Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove dengan Kemunculan Tanah Timbul (Kasus pada Tanah Timbul Hutan Mangrove di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Asihing Kustanti NIM 161100011

(5)

ASIHING KUSTANTI. The Evolution of Property Rights and the Stakeholder Role in Mangrove Forest Ecosystem Management with the Land Emerging (A Case on Land Emerging in East Lampung Lampung Province). Supervised by BRAMASTO NUGROHO, CECEP KUSMANA, DUDUNG DARUSMAN, and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Mangrove forests in protected area is a common pool resources (CPRS). Characteristics of the forest resource is very dynamic, i.e. exposed to abrasion can be lost and could form arise with widespread forest land toward to the ocean. This phenomenon occurs virtually all coastal in Indonesia. It meets difficulties in determining policy granting ownership rights. This study aims to obtain a model of granting land emerged rights and stakeholder role of the institutional approach to the evolution of property rights to various factors that influence it. Institutional dynamics in the evolution of mangrove forest right was a path dependence as long for 23 years (1977-2010). It showed that the privatization effort by converting mangrove forest into shrimp farming did not guarantee the sustainability of its management. The reappearance of the mangrove forest with land emerged through forest rehabilitation, community awareness to maintain the mangrove forest, land regulations as state land has spawned a three-party cooperation (tripartite). Community initiative as the source of power of mangroves management and the college tridharma (education, research, and community services) of University of Lampung had been capable as a locomotive of sustainable mangrove forest management. The model of granting ownership rights of 700 ha of mangrove forest with the land emerged was stated. It was granting by East Lampung Regency to Lampung University by the right types are access and withdrawal, management, exclusion, and non right-without giving perfection to the extent of selling. It is an appropriate model for sustainability management. Tripartite cooperation based on the duties and functions had been conducting between East Lampung Regency-Lampung University-Community by enhancing the role of the stakeholders in mangrove forest management.

(6)

Role in Mangrove Forest Ecosystem Management with The Land Emerging (A Case on Land Emerging in East Lampung Lampung Province). Supervised by BRAMASTO NUGROHO, CECEP KUSMANA, DUDUNG DARUSMAN, and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Mangrove forest in the protection area is a pure common property. Characteristics of the forest resource is very dynamic, ie exposed to abrasion can be lost and could emerge land with widespread forest land toward to the ocean. This phenomenon occurs in almost all coastal Indonesia. It met difficulties in determining policy for granting the ownership rights. Evolution of land right and the role of the stakeholder also occur in in Lampung Mangrove Center (LMC) East Lampung Regency of Lampung Province. It was necessary to know the various factors that led to the evolution of property rights and the role of the stakeholder in support of the sustainability management of mangrove forests. The purpose of this study was to obtain model of right and stakeholder role in the mangrove forest ecosystem management with the land emerged.

This research was conducted in the LMC, which was one example of mangrove forest that was initiated by the community and University of Lampung in implementing integrated management. Time studies conducted six months (March-September 2012). The data collected are primary and secondary data. Primary data include: a) key informant and b) the organization of data. While secondary data include: a) historical data mangrove forest management, b) programs of mangrove forest management by stakeholders, c) population, d) data from various government agencies and civil society organizations, and e) literature study. Stakeholder analysis carried out in the Department of Policy and Nature Conservation University of Goettingen, Germany, and its produced a scientific paper titled "Actors, Interest and Conflict in Sustainable Mangrove Forest Management-A Case From Indonesia". Descriptive analysis of the research data. The purpose of this analysis is to provide an overview of the evolution of property rights and management of stakeholder role of the mangrove forest in the LMC. Institutional analysis of sustainable mangrove forest management is done by using a framework Institution Analysis Design (IAD) by Ostrom (1999).

(7)

pond and widespread mangrove forested land emerged a driving external factor and institutional regulation implementation inertia (2005-2010) drove next right change. Change of ownership to the University of Lampung in the period 2005-2010 has changed ownership type as presented by Schlager and Ostrom (1992) which has 3 types of ownership: 1) access and withdrawal, 2) the management, and 3) exclution. The process of transfer of ownership rights from East Lampung Regency to University of Lampung followed the administration rules.

(8)

pada Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove dengan Kemunculan Tanah Timbul (Kasus pada Tanah Timbul Hutan Mangrove di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung). Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO, CECEP KUSMANA, DUDUNG DARUSMAN, dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Ekosistem hutan mangrove di kawasan lindung merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat mengeluarkan yang tidak berhak (non-excludable) dan merupakan barang yang memerlukan persaingan (rivalry) atau sumberdaya alam yang menghasikan barang dan jasa murni milik bersama (public good and service). Karakteristik sumberdaya hutan tersebut sangat dinamis, yaitu bisa hilang terkena abrasi dan bisa membentuk tanah timbul disertai meluasnya hutan ke arah lautan. Fenomena ini hampir terjadi di semua pesisir di Indonesia. Hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam penentuan kebijakan pemberian hak kepemilikannya. Evolusi kepemilikan lahan dan peran para pihak juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove di Lampung Mangrove Center (LMC) Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung. Oleh karena itu, perlu dikaji faktor-faktor terjadinya berbagai macam faktor yang mendorong terjadinya evolusi hak kepemilikan dan peran para pihak dalam mendukung pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh model pemberian hak dan penataan peran para pihak dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan kemunculan tanah timbul.

Penelitian ini dilaksanakan di LMC yang merupakan salah satu contoh pengelolaan hutan mangrove yang diinisiasi oleh masyarakat dan perguruan tinggi Universitas Lampung dalam melaksanakan pengelolaan terpadu. Waktu penelitian dilaksanakan selama enam bulan (Maret—September 2012). Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan sekunder. Data primer meliputi: a) informan kunci dan b) data organisasi. Sedangkan data sekunder meliputi: a) data sejarah pengelolaan hutan mangrove, b) program-program pengelolaan hutan mangrove oleh stakeholder, c) kependudukan, d) data dari berbagai instansi pemerintahan dan organisasi sosial masyarakat dan e) studi pustaka (jurnal nasional dan internasional dan pustaka).

Analisis stakeholder memberikan gambaran umum tentang evolusi hak kepemilikan dan penataan peran para pihak pengelolaan hutan mangrove di LMC. Analisis kelembagaan pengelolaan hutan mangrove lestari dilakukan dengan menggunakan kerangka Institution Analysis Design ( IAD) oleh Ostrom (1999).

(9)

mangrove-bahkan menginduksi munculnya lahan baru (tanah timbul) meluas ke arah lautan. Tambak-tambak yang dulu hilang muncul kembali (1998-2004). Kemunculan kembali lahan tambak dan meluasnya tanah timbul berhutan mangrove merupakan faktor pendorong luar (external factor) dan kelembaman implementasi aturan kelembagaan (institutional regulation implementation inertia) (2005-2010) mendorong perubahan hak kepemilikan berikutnya. Perubahan kepemilikan kepada pihak Universitas Lampung pada periode 2005-2010 telah mengubah tipe hak kepemilikan menjadi 3 tipe kepemilikan: 1) hak memasuki (access & withdrawal), 2) hak mengelola (management), dan 3) hak mengeluarkan (exclution). Proses pemindahan hak kepemilikan dari Kabupaten Lampung Timur ini mengikuti kaidah administrasi dengan memohon areal hutan mangrove.

Model pemberian hak kepemilikan tanah timbul berhutan mangrove oleh Kabupaten Lampung Timur kepada Universitas Lampung merupakan lembaga yang dipercaya (trusted institution) dan diterima (acceptability) di masyarakat. Untuk keberlanjutan (long enduring) pengelolaan hutan mangrove, Universitas Lampung merupakan pengelola di tingkat tapak dan tridharma perguruan tingginya (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) telah melakukan upaya meningkatkan peran para pihak (pemerintah daerah, lembaga nasional, dan internasional); tetap mempertahankan keberadaan hutan mangrove; dan tidak membatasi akses masyarakat. Adanya konsep kerjasama tiga pihak (tripartit) (masyarakat-Universitas Lampung-Kabupaten Lampung Timur) dimana Universitas Lampung sebagai koordinator dan

liaison dalam penyusunan program, masyarakat sebagai pengguna atau pengambil manfaat, dan pemerintah daerah Kabupaten Lampung sebagai fasilitator pembangunan, telah menempatkan pengelolaan hutan mangrove sebagai model yang sesuai bagi pengelolaan hutan mangrove dengan kemunculan tanah timbul.

(10)

(Kasus pada Tanah Timbul Hutan Mangrove

di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung)

ASIHING KUSTANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

(Kasus pada Tanah Timbul Hutan Mangrove

di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung)

ASIHING KUSTANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS Dr. Ir. Yulius Hero, MSc

(13)

Tanah Timbul Hutan Mangrove di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung)

Nama : Asihing Kustanti

NIM : E161100011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Bramasto Nugroho, MS

Ketua Anggota

Prof.Dr.Ir.H.Dudung Darusman, MA

Anggota

Prof.Dr.Ir.H.Cecep Kusmana, MS

Anggota

Dr.Ir.Dodik R.Nurrochmat, MSc, FTrop

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof,Dr.Ir.Hariadi Kartodihardjo, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(14)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(15)

karunianya sehingga kegiatan penyusunan disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan.

Naskah artikel sebagian dari disertasi ini telah diterbitkan di jurnal nasional terakreditasi Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI), Journal of Coastal Development ISSN: 1410-5217 Volume 15 Nomor 2 Tahun 2012 halaman 209-216 Universitas Diponegoro Semarang dan naskah jurnal “Actors, Interest and Conflict in Sustainable Mangrove Forest Management-A Case From Indonesia telah didaftarkan di

Wetlands Journal Springer Netherlands pada Juni 2013.

Penulis mengucapkan sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian disertasi ini, sebagai berikut:

1. Komisi Pembimbing, yaitu: Bapak Dr.Ir. Bramasto Nugroho, MS (Ketua Komisi Pembimbing); Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS; Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA; dan Dr.Ir. Dodik R. Nurrochmat, MSc.F.Trop. (Anggota Komisi Pembimbing) atas bimbingan, arahan, dan saran yang diberikan kepada penulis. Bimbingan, arahan, dan saran yang diberikan sangat menginspirasi penulis bagaimana menulis ilmiah bidang kelembagaan dengan baik.

2. Narasumber Penelitian, yaitu: Prof.Dr.Ir. Sugeng P. Harianto, MS (Rektor Universitas Lampung); Ir. Anshory Djausal, MT (Mantan Pembantu Rektor IV Unila); Dr.Ir. Eng. Admi Syarif (Ketua Lembaga Penelitian Unila); Nyoto (Kepala Desa Margasari); Nanang (Sekdes Margasari); Azhari, Yani, Darlis, dan Subak (Tokoh Masyarakat); Asep (Ketua Badan Permusyawaratan Desa); Erwin Arifin SH, MH (Bupati Lampung Timur); Ir. Merah Djuarsa, MM (Kepala Badan Lingkungan Hidup Lampung Timur); Edwin Bangsaratoe, SE (Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lamtim); Ir. Puji Riyanto, MM (Kepala BAPPEDA Lamtim); Ir. Yudinal, MM (Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan); Ir. Warsito (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung); Ir. Wiyogo (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung); Ir. Murdoko, MM (Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove II); Yuni Wiratini (JICA); Dr. Yosuke Okimoto (Saga University Japan); Prof. Kaneko Nobuhiro (Yokohama University Japan); Prof. Yamazhaki (Kyoei University); Hendri (LSM Watala); Herza (LSM Mitra Bentala); Farid (LSM Garuda Sylva); Mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Unila atas data, pemikiran, dan informasi yang berhubungan dengan sejarah dan keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di Lampung Mangrove Center Kabupaten Lampung Timur.

(16)

penyelesaian sebagian penulisan disertasi.

5. Universitas Goettingen Jerman, yaitu Bapak Prof.Dr.Ir. Maximillian Krott (Head of Forest Policy and Nature Conservation) Bagian Kebijakan Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Alam Fakultas Kehutanan Universitas Goettingen Jerman dan Dr. Carsten Schusser (Community Forestry Group) atas penerimaan yang bersahabat, diskusi, dan arahan dalam pembahasan dan penulisan draft jurnal internasional sebagian disertasi penulis selama mengikuti Program Sandwich-Like

2012 di Jerman dengan judul “Actors, Interest and Conflict in Sustainable Mangrove Forest Management-A Case From Indonesia”.

6. Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, yaitu Bapak Prof.Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS (Ketua Mayor); Dr.Ir. Didik Suhardjito, MS (Ketua DMNH); dan Achmad Fatoni (DMNH) terima kasih atas dukungan selama penulis melaksanakan studi Program Doktor di IPB.

7. Penguji Luar Disertasi, yaitu: Bapak Dr.Ir. Nyoto Santoso, MS dan Dr.Ir. Yulius Hero, MSc (Ujian Tertutup).

Bapak Prof.Dr.Ir. Sugeng P. Harianto, MS dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT (Ujian Terbuka)

8. Rekan-rekan mahasiswa S3 IPH yaitu: Yayuk Siswiyanti, Maya Ambinari, Edi Sulistyo Heri, Yano, Rahmat Safei, Bejo, Julijanti, Retno Maryani, Eva Achmad, dan Nurdin.

9. Keluarga Penulis, yaitu: Suami Ir. Asep Kusdinar, MH; anak-anakku Inge Sylvarosa Kusdinar dan Iqbal Firdaus Kusdinar; kakak-kakak dan adik penulis atas dukungan dan doa selama penulis menjalani Program Doktor di IPB.

Akhirnya, penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan hutan mangrove khususnya pada ilmu kelembagaan pengelolaannya ke depan.

Bogor, Oktober 2013

(17)

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Perumusan Masalah ………...……….. 8

1.3 Tujuan Penelitian ………...……….. 8

1.4 Batasan Istilah …..……… 9

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian ………... 9

1.6 Kebaharuan (novelty) Penelitian …..……… 14

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hak Kepemilikan (Property Right) …….……… 17

2.2 Evolusi Hak kepemilikan (Evolution of Property Right)..……. 22

2.3 Karakteristik Hutan Mangrove ………... 28

2.4 Model Pemberian Hak Tanah Timbul …..……….. 31

2.5 Aksi Bersama (Collective Action)……….. 34

2.6 Kapasitas Aktor Pengelolaan Hutan ……….. 39

2.7 Kerangka Analisis Kelembagaan IAD (Ostrom, 1999) ………. 40

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………..……… 42

3.2 Variabel, Indikator, Metode Pengambilan Data dan Metode Analisis ………... 42

3.3 Pengumpulan Data dan Informasi ……… 42

3.3.1 Penentuan Person Kunci……….……… 47

3.4 Analisis Data dan Informasi ……… 47

3.4.1 Analisa Deskriptif ………. 47

(18)

3.4.2.3 Rekapitulasi Pengumpulan Data ……… 53

3.4.2.4 Kriteria Evaluasi ………. 54

3.4.2.4 Kinerja ……….………. 57

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian ……… 58

4.1.1 Potensi Umum Desa ………...……... 58

4.1.2 Potensi Sumber Daya Manusia ……….……... 59

4.1.2.1 Jumlah Penduduk ……...……….……... 59

4.1.2.2 Tingkat Pendidikan ...……….……... 59

4.1.2.3 Mata Pencaharian ……...……….……... 59

4.1.2.4 Suku dan Agama .……...……….……... 60

4.1.3 Potensi Kelembagaan …...…...……….……... 60

4.1.4 Potensi Prasarana Dan Sarana …..……….……... 61

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Konversi Hutan Mangrove: Tawaran Budidaya Tambak Udang Tradisional (1977—1990) ………... 64

5.2 Eksternal Faktor Mendorong Diskontinuitas Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove (1991—1997)……….. 72

5.3 Fenomena Tanah Timbul Mendorong Perubahan Kepemilikan Lahan dan Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove (1998— 2004)……… 76

5.4 Ketidakjelasan Implementasi Regulasi Pemanfaatan tanah Timbul Hutan Mangrove Mendorong Lahirnya Peran Multipara pihak dalam Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove (2005—2010) ………. 79

5.5 Evolusi Hak Kepemilikan Hutan Mangrove dengan Kemunculan Tanah Timbul ……… 104

5.6 Model Pemberian Hak Kepemilikan dan Penataan Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove dengan Kemunculan Tanah Timbul……… 118

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………...….……..…. 126

(19)
(20)

2 Entitas yang terlibat dalam system ekologi-sosial di lokasi penelitian

49

3 Hubungan yang terlibat dalam system ekologi-sosial di lokasi penelitian dikembangkan dari metode Anderies et al (2004)

50

4 Kepentingan dan pengaruh stakeholder 51 5 Rekapitulasi pengumpulan data kuantitatif 53 6 Rekapitulasi pengumpulan data kualitatif 54 7 Delapan prinsip Ostrom (1990) pengelolaan lestari sumberdaya

alam milik bersama

55

8 Pengaturan ulang prinsip desain Ostrom untuk CPR Kehutanan 56 9 Persentase tingkat pendidikan penduduk Desa Margasari 59 10 Persentase jenis mata pencaharian penduduk Desa Margasari 60 11 Persentase jenis dan jumlah alat transportasi yang dimiliki

penduduk Desa Margasari

62

12 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove 90 13 Keberadaan burung di ekosistem hutan mangrove 90 14 Ringkasan peran aktor, kepentingan, dan konflik dalam

pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan periode 2005—2010

92

15 Penataan peran para pihak berdasarkan strata, tipe kepemilikan, dan kewajiban pengelolaan ekosistem hutan mangrove

112

16 Analisis kelembagaan evolusi hak kepemilikan dan penataan peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove dengan kemunculan tanah timbul (Ostrom 1990)

(21)

2 Kerangka analisis kelembagaan IAD (Ostrom 1999) 41 3 Analisis kelembagaan evolusi hak kepemilikan dan penetaan

peran para pihak dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove

47

4 Konsep model analisis kekuatan sistem ekologi-sosial pengelolaan sumberdaya alam yang dimodifikasi dari Anderies et al (2004)

48

5 Pemetaan peran para pihak berbasis agen perubahan (change agen) (DFID 2003 & Nugroho 2008)

52

6 Pemetaan peran para pihak berbasis peran kunci (keyplayers) (Reed et al 2004)

52

7 Pembukaan hutan mangrove sebagai jalur hijau pada tahun 1977 67 8 Pemetaan para pihak pada periode 1977—1990 70 9 Peran para pihak pada periode 1977—1990 71 10 Hutan Mangrove sebagai jalur hijau terkena abrasi pada tahun

1991

73

11 Pemetaan para pihak periode 1991—1997 74

12 Peran para pihak periode 1991—1997 75

13 Kemunculan tanah timbul ber-hutan mangrove pada tahun 1999 76 14 Pemetaan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove 77 15 Peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove 78 16 Kemunculan tanah timbul berhutan mangrove meluas pada

Tahun 2009

84

17 Matrik kepentingan para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Lampung Timur

91 18 Pemetaan para pihak pada periode 2005—2010 93 19 Peran para pihak pada Periode 2005—2010 94 20 Batas-batas areal pengelolaan hutan mangrove 98 21 Evolusi Hak Kepemilikan Pengelolaan Ekosistem Hutan

Mangrove

105

(22)

(Tim Terpadu Hutan Mangrove 2005)

2 Pelaksanaan magang penelitian S3 melalui Program Sandwich-Like

DIKTI 2012 di Universitas Gottingen Jerman (September-November 2012)

149

3 Peta pemanfaatan lahan hutan mangrove 155 4 Lampiran Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor

B.303/22/SK/2005

156

(23)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya hutan yang mempunyai karakteristik sumberdaya milik bersama (Common Pool Resources/CPRs) cenderung mengalami kerusakan dari waktu ke waktu. Hal tersebut diduga disebabkan belum terdefinisi dengan baik sumberdaya hutan dan pengelolaannya sehingga mengarah kepada sumberdaya yang sulit ditegakkan hak-haknya (ill defined). Kondisi tersebut terjadi pada hutan-hutan di hampir seluruh dunia dengan berbagai fungsi hutan. Sumberdaya hutan di negara-negara Asia, Afrika, Amerika, Eropa telah banyak mengalami kerusakan dengan adanya pemanfaatan yang berlebihan.

Pemenuhan kebutuhan dalam pemanfaatan hasil hutan dapat dilakukan baik oleh individu, kelompok, maupun oleh swasta. Upaya pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan akan menyebabkan gangguan terhadap kondisi fisik dan fungsi hutan. Permasalahan lain yang sering terjadi adalah belum adanya penataan kelembagaan pengelolaan hutan yang dapat memberikan keamanan dalam pemanfaatan jangka panjang. Pranata kelembagaan merupakan aturan main dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dalam menekan perilaku-perilaku manusia yang merugikan yaitu penunggang gratis (free rider), pencari keuntungan (rent seeker), dan perilaku memanfaatkan kesempatan (opportunistic behaviour) dalam memaksimalkan keuntungannya. Perilaku-perilaku tersebut apabila tidak terkendali dapat menyebabkan hilangnya sumberdaya hutan.

(24)

habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut (Kusmana 2009; Aksornkoae 1993).

Pearce dan Turner (1990) menyatakan bahwa nilai manfaat hutan, dalam hal ini hutan mangrove, dapat dibedakan menjadi manfaat langsung (direct benefit) dan tidak langsung (indirect benefit). Manfaat langsung yaitu manfaat yang dapat dikonsumsi langsung dan manfaat tidak langsung merupakan manfaat dari adanya fungsi ekologi hutan mangrove yaitu sebagai penahan abrasi, penahan angin, tempat pemijahan ikan, dan habitat flora fauna. Manfaat langsung dari keberadaan hutan mangrove meliputi manfaat yang dapat dikonsumsi langsung yaitu hasil-hasil mangrove meliputi ikan, kepiting, dan kerang, madu, udang, dan kayu untuk memancing (Sathirathai dan Erward 2001).

Ekosistem hutan mangrove di kawasan lindung merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat mengeluarkan yang tidak berhak (non-excludable) dan memerlukan persaingan (rivalry) atau sumberdaya alam yang menghasikan barang dan jasa murni milik bersama (public good and service). Implikasi dari barang yang bersifat non-excludable adalah adanya penyediaan dan pemanfaatannya perlu aksi bersama secara partisipatif/non-alineasi. Untuk memanfaatkannya tidak ada insentif bagi swasta untuk membangun penyediaannya. Sebagai hutan yang mempunyai karakteristik milik bersama, maka hutan mangrove di kawasan lindung merupakan sumberdaya yang memerlukan persaingan dalam mendapatkan atau menggunakan hasil-hasilnya (Kasper dan Streit 1998). Lebih jauh Zhang et al. (2000), Mendelsohn (1994), Deacon (1994), Besley (1995) dan Laarman (1996) menyatakan bahwa kepemilikan lahan mempunyai dua isu utama yaitu mengenai keamanan dan kategori kepemilikan dalam mendapatkan insentif atau manfaat pengelolaan hutannya.

(25)

mengakibatkan adanya perubahan kepemilikan lahan dan kebijakan dalam pengelolaannya. Tanah timbul yang muncul memberikan harapan baru bagi masyarakat. Adanya proses sedimentasi tersebut akan mempengaruhi kehidupan baik secara lingkungan maupun sosial (Nagle et al. 1999). Selanjutnya Turisno dan Sudaryatni (2004) mengemukakan bahwa munculnya tanah timbul di wilayah pesisir adalah karena adanya erosi tanah di hulu sungai sehingga menyebabkan sedimentasi di muara sungai atau pun di tepi pantai. Tanah timbul tersebut mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi bagi masyarakat. Namun, bagi pemilik lahan pada lahan yang semula belum muncul tanah timbul, kemudian terabrasi dan hilang, dan setelah dilakukan rehabilitasi hutan mangrove muncul kembali maka mereka tidak mempunyai hak kepemilikan lagi seperti semula.

Menurut aturan yang ada pada masa kolonial Belanda yaitu Hukum Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 telah dimuat mengenai keberadaan tanah timbul adalah milik negara. Sedangkan menurut pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 410-1293 tanggal 9 Mei 1996 maka bidang-bidang tanah yang telah bersertifikat yang terkena abrasi dinyatakan hilang haknya atau hapus dengan sendirinya. Pemegang hak tanah yang terkena abrasi tidak dapat meminta ganti rugi kepada siapa pun dan tidak berhak menuntut apabila di kemudian hari di atas bekas tanah tersebut dilakukan reklamasi/penimbunan dan/atau pengeringan. Selanjutnya apabila lahan sudah jelas statusnya sebagai lahan negara, maka pengelola lahan hutan mangrove dapat mengajukan pengelolaan kepada pemerintah daerah sesuai tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan tata ruang wilayah (Kustanti 2011).

Di berbagai daerah di wilayah pesisir di Indonesia fenomena kemunculan tanah timbul tersebut banyak menimbulkan klaim kepemilikan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Cilacap kemunculan tanah timbul menimbulkan konflik antara Perusahaan Umum Perhutani dan warga (Suara Merdeka 2012), juga di Kabupaten Cirebon dimana sudah terjadi pematokan pada calon kemunculan tanah timbul karena mereka yakin akan terjadinya tanah timbul (Anonim 2011).

(26)

setempat, pemerintah, dan swasta. Adanya fenomena berbagai kepentingan terhadap keberadaan tanah timbul dapat menyebabkan perubahan kepemilikan lahan. Perubahan kepemilikan pada hutan mangrove membawa implikasi pada perubahan terhadap para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutannya. Areal tersebut merupakan areal yang unik dalam kepemilikan lahannya, berkaitan dengan karakteristik sumberdaya yang multifungsi, memerlukan perijinan/persaingan (divisible), dan siklus alam dan iklim pada sumberdaya alam yang berbeda.

Armitage (2002) menyatakan bahwa beberapa hambatan dalam pengelolaan hutan mangrove di tanah timbul adalah: 1) belum diketahuinya dengan jelas karakteristik hutan dan hak kepemilikan (Glück 2002) serta pengelolaan hutan dengan adanya transfer kepemilikan dan; 2) kapasitas para aktor dimana adanya perbedaan sistem dan peran aktor berpengaruh terhadap perubahan lingkungan, pengendalian, dan konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya berkelanjutan baik secara politik, sosial ekonomi dan ekologi (Scoones 1999; Buckles 1999); dan 3) belum memperhatikan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat.

Kasus-kasus pengelolaan hutan dengan karakteristik milik bersama banyak menemui hambatan dalam keberlanjutan pengelolaannya, terutama berkaitan dengan adanya perubahan hak kepemilikan. Semula hutan mangrove merupakan sumberdaya yang dimiliki oleh negara (state property) yang cenderung open access atau terbuka bagi siapa saja yang mau memanfaatkannya. Pertumbuhan populasi dan kepentingan ekonomi (Platteau 1996; Dachang 1995) menyebabkan persaingan dalam pemanfaatannya. Seiring dengan adanya keinginan peningkatan insentif dalam memanfaatkan, maka terjadilah perubahan hak kepemilikan menjadi kepemilikan privat (privat property) pada sumberdaya tersebut.

(27)

Cecilia (2000) menyatakan bahwa pemberian hak kepemilikan privat dalam pengelolaan hutan mangrove yang ada di Indonesia dan Vietnam menunjukkan bahwa hutan mangrove merupakan sumberdaya alam dengan karakteristik milik bersama sehingga pemberian hak kepemilikan tersebut cenderung mengalami kerusakan karena konversi hutan mangrove ke peruntukan lainnya—menjadi areal pertambakan udang. Memperkuat pendapat di atas, Barbier (2006) menyatakan kasus pengelolaan hutan mangrove di Thailand dengan memberikan privatisasi hak kepemilikan tambak udang menyebabkan kerusakan hutan mangrove mencapai 65% akibat konversi peruntukan menjadi pertambakan udang secara intensif dan semi intensif. Akibat konversi hutan mangrove tersebut, upaya rehabilitasi hutan tidak dapat dikembalikan seperti semula, lebih kurang 11.000 ha areal yang telah diupayakan untuk dihutankan kembali tidak menemui keberhasilan dalam program penanamannya.

Memperhatikan hal tersebut, pemberian hak kepemilikan privat pada ekosistem hutan mangrove ternyata tidak menemui keberhasilan dalam menjamin lama pengelolaan (long enduring) dan kelestarian sumberdaya hutan (sustainability of forest resources management) yang menjamin kelestarian insentif di masa yang akan datang. Ostrom (1990) juga mempertanyakan apakah pemberian hak privat pada pengelolaan sumberdaya alam milik bersama akan menjamin keberlangsungannya dan produktivitasnya. Sumberdaya milik bersama tersebut akan dibagi-bagi berdasarkan kepemilikannya dan bebas untuk dikuasai, dimanfaatkan, dan ditransfer sesuai keinginan pemiliknya (otonomi penuh). Hal tersebut tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang tidak statis atau dinamis (air dan perikanan)—seperti di ekosistem hutan mangrove yang keberadaannya sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan. Sehingga kepemilikan privat perlu dipertanyakan kelestarian sumberdaya dan produktivitasnya.

Pada dasarnya setiap orang akan bertindak memaksimumkan keinginannya dalam memanfaatkan sumberdaya alam, tetapi bila ini tidak dipahami karakteristik sumberdaya tersebut dan ditetapkannya aturan main akan menimbulkan pengurasan sumberdaya karena adanya sifat non-excludable.

(28)

faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hak kepemilikan privat yang semula diperkirakan akan menjamin kelestarian usaha dan sumberdaya. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan hak kepemilikan dalam rasionalisasi sumberdaya dan insentif ke depan.

Evolusi hak kepemilikan privat menjadi hak kepemilikan lainnya yang lebih mempertimbangkan kelestarian sumberdaya menjadi pertimbangan kebijakan ke depan. Perubahan hak kepemilikan privat kembali lagi menjadi hak kepemilikan bersama (common right) apabila ada pengaruh dari perubahan sosial masyarakat, permasalahan pilihan bersama, dan pilihan-pilihan kebijakan (Kasper dan Streit 1998).

Selanjutnya, Scott (2008) dan Ostrom (1990) menyatakan bahwa ternyata tidak hanya faktor ekonomi saja yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, tetapi juga karakteristik dan kelestarian sumberdaya alam perlu juga dipertimbangkan. Di India, telah terjadi perubahan hak kepemilikan dari kepemilikan negara, berubah kepemilikan komunal, dengan berbagai latar belakang timbulnya pemindahan hak (transfer of right). Pemindahan hak bertujuan untuk penetapan posisi dan tanggung jawab para pihak dalam pengelolaan hutan. Perubahan pengelolaan dengan kepemilikan komunal dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dengan adanya kebijakan dan implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama (Joint Forest Management System)—suatu bentuk pengelolaan bersama (Co-Management).

(29)

Dalam melakukan aksi bersama pengelolaan ekosistem hutan mangrove seperti yang disampaikan oleh Mermet (1994) dan Adger dan Cecilia (2000) bahwa pengelolaan hutan mangrove di lahan basah tidak hanya dilakukan oleh satu aktor saja tetapi perlu melibatkan banyak aktor untuk mengendalikan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang multimanfaat. Pendekatan dan koordinasi pengelolaan diperlukan sesuai dengan kapasitas masyarakat lokal.

Adanya partisipatif aktif dalam pengelolaan hutan secara multistakeholder merupakan wahana dalam memfasilitasi kepentingan (interest) dan pengaruh (power) para pihak (stakeholder) yang menunjang keberhasilan dalam bekerjasama (Reed et al. 2004). Kompleksitas pilihan bersama dipengaruhi antara lain: 1) perlunya memperhatikan kesepakatan multipihak, 2) penyamarataan aspirasi dari banyaknya aspirasi yang perlu dipertimbangkan, 3) waktu yang lama untuk dapat merasakan manfaat kerjasama sehingga dapat menimbulkan perilaku kerusakan moral (moral hazard) dan pengurasan sumberdaya milik bersama, dan 4) adanya hambatan dalam menyampaikan pilihan pengelolaan karena biaya keterwakilan yang mahal dan banyak kepentingan dan kekuatan yang mempengaruhi dalam penentuan pilihan pengelolaan bersama (Ostrom 1990).

Evolusi kepemilikan lahan dan peran para pihak juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove di Lampung Mangrove Center. Ekosistem hutan tersebut adalah hutan yang telah mengalami perubahan kepemilikan. Pada periode 1980-1990 lahan hutan telah diubah menjadi hak kepemilikan privat menjadi areal pertambakan udang tradisional, pada tahun 1990 areal pertambakan udang hilang karena abrasi laut, tahun 1991-1997 dilakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove oleh pemerintah, 1998-2004 telah muncul tanah timbul dan jenis mangrove pionir (Avicennia marina) seluas 200 ha dengan status kepemilikan negara dengan tanpa menimbulkan konflik kepemilikan seperti yang terjadi di daerah lainnya, dan tahun 2005-2010 areal ekosistem hutan mangrove bertambah luas secara alami menjadi 700 ha dengan hak kepemilikan tipe hak pengelolaan oleh Universitas Lampung melalui sistem pengelolaan terpadu.

(30)

mangrove berkelanjutan. Penelitian ini diarahkan dalam upaya untuk dapat lebih mengetahui karakteristik sumberdaya hutan mangrove, kondisi sosial ekonomi masyarakat, terjadinya evolusi hak kepemilikan, dan penataan peran para pihak.

1.2 Perumusan Masalah

Dari beberapa hal yang telah diungkapkan di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana perubahan karakteristik ekosistem hutan mangrove dan evolusi hak kepemilikan dengan fenomena kemunculan tanah timbul?

2. Bagaimana perubahan kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, dan pendapat masyarakat dalam mempertahankan/melestarikan ekosistem hutan mangrove.

3. Bagaimana isi peraturan & undang-undang dalam melestarikan hutan mangrove?

4. Bagaimana peran para pihak dan pengelolaan hutan mangrove yang efektif di ekosistem hutan mangrove dengan fenomena kemunculan tanah timbul?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah:

Memperoleh model pemberian hak dan penataan peran para pihak dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan kemunculan tanah timbul.

Tujuan antara penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik, sejarah ekosistem hutan mangrove, dan evolusi hak kepemilikan dengan kemunculan tanah timbul.

2. Mengkaji aturan/undang-undang, kondisi dan interaksi sosial ekonomi, dan lingkungan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan kemunculan tanah timbul.

(31)

1.4 Batasan Istilah

Beberapa definisi penting yang menjadi batasan penelitian ini antara lain adalah: 1) Ekosistem hutan mangrove adalah hutan mangrove sekunder yang tumbuh

kembali setelah dilakukan rehabilitasi dengan diiringi fenomena kemunculan tanah timbul hutan mangrove.

2) Tanah timbul adalah akumulasi lumpur akibat terjadinya erosi di daerah hulu, pengendapan di sungai, danau, dan pantai yang terjadi secara alami maupun buatan (Turisno dan Sudaryatni 2003; Perda Propinsi Jawa Barat No.6 Tahun 2011).

3) Evolusi hak kepemilikan lahan adalah perubahan kelembagaan hak kepemilikan dengan tujuan efisiensi dan kelestarian sumberdaya ekosistem hutan mangrove.

4) Stakeholder adalah para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan sehubungan dengan adanya periode perubahan kepemilikan lahan.

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Keberadaan ekosistem hutan mangrove mempunyai peran penting bagi pembangunan dan keberlangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Diperlukan sebuah kebijakan dan perencanaan pengelolaan untuk keberlanjutan pengelolaan dan kelestarian hutan mangrove itu sendiri. Kerangka kerja kebijakan adalah dengan memperhatikan manfaat ganda hutan mangrove dan perencanaan pengelolaan dengan memperhatikan : 1) sejarah perkembangan dan kejelasan lahan hutan mangrove yang meliputi: sejarah kepemilikan lahan, luasan, fungsi lahan, tipe hutan, wilayah administrasi dan perkembangan hutan; 2) kondisi bioekologi hutan mangrove, 3) kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan 4) dukungan pemerintah dan stakeholder lainnya (FAO 1994; Kustanti 2011).

Sesuai yang disebutkan oleh Pearce dan Turner (1990) bahwa hutan mangrove mempunyai manfaat langsung yang dapat dikonsumsi masyarakat. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berkaitan dengan fungsi ekologi dalam mencegah meluasnya abrasi, penahan angin dan badai, menjaga garis pantai, tempat pemijahan ikan, dan habitat flora dan fauna.

(32)

status lahan apakah lahan negara ataukah lahan yang dimiliki; 2) merupakan lahan yang dinamis yang hilang dan muncul karena sesuatu hal; 3) belum jelasnya tata ruang yang mengatur mengenai keberadaan hutan mangrove dengan kemunculan tanah timbul; 4) belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar hutan mangrove; dan yang lebih parah adalah adanya 5) upaya mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya yang cenderung menggantikan tegakan hutan yang ada tanpa ada pembelajaran untuk mempertahankan keberlanjutannya.

Kerusakan dan ketidakberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang memiliki karakteristik milik bersama memerlukan suatu aturan dalam pengelolaannya agar tidak terjadi pengurasan dan perusakan terhadap sumberdayanya. Disamping untuk dalih berbagai keperluan ekonomi, sangat perlu dipertimbangkan faktor ekologi bagi keberlanjutan pembangunan hutan yang sangat dinamis ini. Perubahan pengelola sumberdaya sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan jenis hak kepemilikan. Hal ini seringkali kurang mendapatkan prioritas dalam pengambilan kebijakan. Bahkan Yustika (2006), menyatakan bahwa hak kepemilikan di negara berkembang seperti di Indonesia memerlukan pencermatan bagaimana hak kepemilikan diregulasi dan ditegakkan sehingga dapat membantu proses pembangunan.

Hak kepemilikan lahan memberikan implikasi tanggung jawab dan hak pemiliknya. Konsep hak kepemilikan itu sendiri memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah (Fernandez 2006). Hak kepemilikan lahan merupakan kelembagaan karena di dalamnya ada aturan main berupa batas yurisdiksi dan pengakuan dari orang lain atau masyarakat.

(33)

terbengkalainya kegiatan pengelolaan yang dilakukan di antara para pihak atau aktor yang terlibat.

Dalam perjalanan pengelolaan tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan yang mengarah kepada evolusi hak kepemilikan dengan berbagai macam faktor pendorong, antara lain kondisi/cuaca, aturan main (Kasper dan Streit 1998). Evolusi hak kepemilikan lahan hutan memberikan pengaruh pada keberlanjutan pengelolaan hutan.

Proses evolusi hak kepemilikan pada sumberdaya milik bersama dimulai dengan tidak dapat mengeluarkan yang tidak berhak (non-excludable) sehingga individu yang memanfaatkan sumberdaya tersebut lebih kepada memaksimumkan keuntungan tanpa mementingkan keberlangsungan sumberdaya tersebut. Lama kelamaan menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya sehingga sumberdaya tersebut rusak dan menyebabkan tidak lestarinya produk yang dihasilkan. Salah satu alternatif perubahan hak kepemilikan adalah pemberian hak kepemilikan privat dalam meningkatkan insentif mengelola sumberdaya (Platteau 1996; Balland dan Platteau 1996; Ghate 2003; Zhang et al. 2000; dan Dachang 1995).

Namun, keberlanjutan hak kepemilikan privat pada ekosistem hutan mangrove di Indonesia dan Vietnam untuk pertambakan udang dengan cara mengkonversinya menurut Adger dan Cecilia (2000) menimbulkan kerusakan sumberdaya dan tidak lestarinya sumberdaya tersebut. Diperkuat dengan penelitian Barbier (2006) bahwa pengelolaan hutan mangrove di Thailand dengan memberikan privatisasi hak kepemilikan dengan usaha pertambakan udang menyebabkan kerusakan hutan mangrove mencapai 65% dengan cara mengkonversi hutan mangrove. Pada akhirnya telah ditinggalkan areal seluas 11.000 ha yang gagal untuk dihutankan kembali.

(34)

pemiliknya (otonomi penuh). Hal tersebut tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang tidak statis atau dinamis (air dan perikanan)-seperti pada ekosistem hutan mangrove yang keberadaannya sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan. Hal ini karena pada dasarnya setiap orang akan memaksimalkan keinginannya dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Tetapi apabila dalam memanfaatkan tersebut tidak memahami karakteristik dan aturan mainnya maka akan menimbulkan pengurasan sumberdaya.

Adanya fenomena kerusakan sumberdaya milik bersama dan ketidaklestarian sumberdaya menimbulkan pemahaman kepada masyarakat bahwa ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hak kepemilikan privat yang semula diperkirakan akan menjamin kelestarian usaha dan sumberdaya. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan hak kepemilikan dalam rasionalisasi sumberdaya dan insentif ke depan. Evolusi hak kepemilikan menjadi hak kepemilikan lainnya yang lebih mempertimbangkan kelestarian sumberdaya menjadi pertimbangan kebijakan ke depan. Scott (2008) dan Ostrom (1990) menyatakan bahwa ternyata tidak hanya faktor ekonomi saja yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, tetapi juga karakteristik dan kelestarian sumberdaya alam perlu juga dipertimbangkan.

Keberlanjutan pengelolaan pada sumberdaya milik bersama berkaitan dengan hubungan antara pemerintah lokal dengan masyarakat yang telah beradaptasi dengan perubahan ekologi atau lingkungan. Anggota masyarakat biasanya mempunyai kesamaan etnis, pendidikan, ras, dan kesejahteraan. Kesamaan tersebut dapat membatasi terjadinya konflik. Pengelolaan sumberdaya milik bersama memerlukan pilihan pemanfaatan bersama, kebijakan bersama, dan aksi bersama dalam kelestarian pengelolaannya (Ostrom 1990).

(35)

multistakeholder merupakan wahana dalam memfasilitasi kepentingan (interest) dan pengaruh (power) antar stakeholder yang menunjang keberhasilan dalam bekerjasama (Reed et al. 2004).

Hubungan pemberi-penerima keprcayaan (principals-agents) dalam aksi bersama merupakan hubungan yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan. Hubungan tersebut tergantung pada subyek dan obyek haruslah jelas sehingga tidak ada informasi yang tidak tersampaikan di antara kedua pelaku hubungan tersebut. Pihak pemberi kepercayaan dalam hal ini masyarakat secara luas adalah meliputi masyarakat baik yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai penerima manfaat dari keberadaan hutan, pihak swasta, LSM, dan lain sebagainya. Sedangkan pihak penerima kepercayaan adalah pihak pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Keterlibatan para aktor sebagai pemberi kepercayaan di sini mempunyai karakteristik masing-masing yang tentunya mempunyai keragaman latar belakang kehidupan, sosial, ekonomi, tujuan, keahlian, dan lain sebagainya. Kapasitas yang ada di masyarakat merupakan potensi yang ada yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan dengan karakteristik milik bersama yang melekat. Sementara pihak penerima kepercayaan dalam hal ini pihak pemerintah merupakan pihak yang melaksanakan pengelolaan secara legal formal dalam mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat. Kapasitas pemerintahan juga sangat menentukan dalam keberhasilan pengelolaan hutan tersebut. Pihak penerima kepercayaan juga seharusnya mengetahui apa yang diinginkan oleh pihak pemberi kepercayaan dan memegang profesionalisme dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan sesuai dengan karaketeristik sumberdaya dan keinginan pihak pemberi kepercayaan.

Memperhatikan berbagai hal seperti yang telah diuraikan di atas, maka untuk mengetahui terjadinya evolusi hak kepemilikan lahan dan peran para pihak di lokasi penelitian, akan dilakukan analisis kelembagaan dengan menggunakan

(36)

1.6 Kebaharuan (

novelty

) Penelitian

Sampai saat ini masih belum ada kajian ilmiah khususnya mengenai pengaruh hak kepemilikan terhadap kelestarian sumberdaya hutan mangrove dengan fenomena kemunculan tanah timbul. Kajian-kajian yang ada masih pada tataran teknis pengelolaan dan peran para pihak dalam periode pendek dan belum dapat menggambarkan proses perubahan secara keseluruhan yang merupakan alur perubahan yang dipengaruhi oleh proses sebelumnya. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penentuan kebijakan pemberian hak kepemilikan lahan tanah timbul pada ekosistem hutan mangrove. Salah satu faktor yang menyebabkan beragamnya kebijakan pemberian hak tanah timbul adalah ketidakjelasan aturan dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yang bersifat dinamis tersebut. Turisno dan Sudaryatni (2003) menyatakan masih diperlukan sebuah aturan dalam pemberian hak atas tanah timbul sekitar hutan mangrove dalam bentuk peraturan daerah (perda).

Perubahan hak kepemilikan berimplikasi kepada perubahan strata dan tipe hak, kewajiban dan tanggung jawab pemegang hak dan peran para pihak. Barber (2006) menyatakan bahwa hak kepemilikan negara yang cenderung open access

pada hutan mangrove di Thailand telah menimbulkan kerusakan. Sementara itu Adger & Cecillia (2000) menyatakan bahwa hak kepemilikan privat juga telah menimbulkan kerusakan hutan mangrove di Indonesia dan Vietnam.

Penelitian evolusi hak kepemilikan dan peran para pihak pada pengelolaan ekosistem hutan mangrove kemunculan tanah timbul ini merupakan penelitian pemula mengetahui karakteristik sumberdaya, perubahan hak kepemilikan, berbagai faktor yang mendorong, dan peran para pihak.

(37)

Kepala Desa berinisiasi memberikan areal kelolanya kepada Universitas Lampung. Inisiasi ini dilakukan dengan bentuk surat dukungan kepada pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Kemudian Universitas Lampung menginisiasi adanya kerjasama tiga pihak (Masyarakat—Kabupaten Lampung Timur—Universitas Lampung) dengan universitas sebagai pemegang hak kelola. Hak kepemilikan tetap sebagai kepemilikan negara dengan kerjasama tiga pihak.

Evolusi kepemilikan yang terjadi di atas adalah sebuah pengayaan fenomena perubahan hak kepemilikan yang digambarkan oleh Kasper & Streit (1998) bahwa evolusi kepemilikan dapat terjadi karena adanya perubahan waktu dan teknologi. Tetapi, dalam penelitian ini ada satu hal yang dapat ditambahkan yaitu perubahan hak kepemilikan juga disebabkan oleh perubahan sumberdaya itu sendiri. Sehingga bila ditambahkan maka faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan hak kepemilikan adalah: waktu, teknologi, dan karakteristik sumberdaya alam.

(38)

Teori Evolusi Kepemilikan

Hutan mangrove

berkelanjutan

Ekosistem Hutan Mangrove (Hutan & Tanah Timbul)

Hutan

Evolusi Kepemilikan Lahan dan Penataan Peran Para Pihak di Ekosistem Hutan Mangrove

Perubahan

1. Bagaimana perubahan karakteristik ekosistem hutan mangrove dan evolusi hak kepemilikan dengan fenomena kemunculan tanah timbul?

2. Bagaimana perubahan kondisi sosial, ekonomi dan valuasi masyarakat dalam mempertahankan ekosistem hutan mangrove.

3. Bagaimana isi peraturan & undang-undang dalam melestarikan hutan mangrove?

4. Bagaimana peran para pihak dan pengelolaan hutan mangrove yang efektif di ekosistem hutan mangrove dengan fenomena kemunculan tanah timbul?

Tujuan Penelitian:

Model Penentuan hak ekosistem hutan mangrove & tanah timbul, karakteristik dan sejarah hutan, evolusi hak kepemilikan, aturan dan undang2, kondisi sosial ekonomi lingkungan, peran stakeholder, bentuk efektif pengelolaan ekosistem hutan mangrove

Penataan Kelembagaan &

Kebijakan pemberian hak kepemilikan

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

(39)
(40)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak Kepemilikan (Property Right)

Hak kepemilikan (property right) merupakan hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan, bahkan untuk merusaknya (North 1990). Hak kepemilikan merupakan sebuah kelembagaan karena hak kepemilikan mengandung implikasi hubungan antara sumberdaya dengan aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya, artinya apabila aktor berdiri sendiri tanpa ada sumberdaya yang dimanfaatkan, atau sumberdaya yang tersedia tanpa ada aktor yang memanfaatkannya, maka pendefinisian hak kepemilikan tidak diperlukan.

Hak kepemilikan ini merupakan kumpulan hak-hak (bundle of rights) yang diatur melalui aturan tertentu, sehingga North (1990) menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah.

Susunan kelembagaan hak kepemilikan (institutional arrangement of property regime) atas hak kepemilikan dapat bermacam-macam, yaitu (1) hak milik pribadi (private property), (2) milik negara (state property), (3) hak milik komunal/ adat/ulayat (communal property), (4) milik umum (public property), (5) hak atas manfaat (user rights), dan (6) tidak berpemilik (open access property or no property right). Terdapat empat tipe kepemilikan, yaitu : tidak ada pemilik (open access), milik bersama (communal property), milik negara (state property) dan milik pribadi (private property) (Kissling-N¨af & Kurt Bisang 2001). Bromley (2009) menyatakan bahwa tipe kepemilikan yang open access

menimbulkan kerusakan sumberdaya karena tidak ada aturan main dalam penegakan haknya. Lebih jauh, tipologi kepemilikan barang dan jasa menurut Kasper & Streit (1998) terdiri dari private property, free good, pure public good, dan common property yang terdiri dari open group-commons or club good dan

(41)

Sedangkan syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjual belikan (tradable), (2) dapat dipindah-tangankan (transferable); (3) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (4) dapat ditegakkan hak-haknya (enforceable). Hak memindah-tangankan (transferable right) di Indonesia dapat dipilah lagi menjadi 2 (dua) hak yaitu hak untuk memperjual-belikan dan untuk mewariskan termasuk menghibahkan. Dengan menggabungkan kedua konsep tersebut, untuk konteks Indonesia, maka hak-hak tersebut dapat dipilah menjadi enam hak yaitu hak untuk memperjual-belikan, mewariskan/menghibahkan, mengeksklusi, mengelola, memanfaatkan dan memasuki/akses (Nugroho 2012).

Suatu barang (property) yang dapat diperjualkan belikan, maka akan mendorong pemilik barang tersebut untuk mengelolanya dengan baik. Apabila dia gagal mengelola dengan baik, maka harga barang tersebut akan merosot. Begitu pula dengan sifat dapat dipindah-tangankan misalnya melalui pewarisan. Tata nilai masyarakat akan mendorong untuk memberikan warisan yang baik kepada penerima warisan. Sementara sifat excludable dan enforceable mengindikasikan bahwa apabila suatu barang (walaupun dimiliki oleh seseorang, kelompok ataupun negara) dapat dimanfaatkan oleh individu/kelompok lain atau siapa saja yang tidak berhak, maka insentif untuk penghematan dan/atau pengelolaan yang baik akan hilang. Di lain pihak, asset tersebut juga harus mendapat perlindungan baik oleh masyarakat maupun oleh entitas pelindung hak-hak warga. Akan menjadi sia-sia apabila kepemilikan seseorang/kelompok tidak dihormati oleh orang/kelompok lain.

(42)

Penegakan hak kepemilikan mempengaruhi kelestarian sumberdaya dan efektivitas pengelolaan hutan mangrove. Seperti yang dilaporkan Barbier (2006) untuk kasus pengelolaan hutan mangrove di Thailand, pengelolaan hutan di negara tersebut telah mengalami kerusakan mencapai 65% akibat konversi peruntukan menjadi pertambakan udang secara intensif dan semi intensif. Hal ini didorong oleh membaiknya harga udang di pasaran dunia, yaitu negara Jepang sebagai pengimpor udang segar. Konversi hutan mangrove tersebut tidak dapat dikembalikan seperti semula, lebih kurang 11.000 ha areal yang telah dihutankan kembali tidak menemui keberhasilan dalam program penanamannya. Terlebih lagi ada tiga hal permasalahan dalam kepemilikan hutan mangrove di Thailand antara lain adalah: 1) hutan tersebut adalah milik negara tetapi secara faktual cenderung bersifat terbuka bagi semua orang (open-access) sehingga sulit dalam penegakan hak-haknya. Kondisi tersebut membuka peluang konversi hutan mangrove menjadi pertambakan udang seiring membaiknya harga dan keuntungan usaha budidaya udang; 2) ketidakjelasan hak kepemilikan mengakibatkan pembukaan hutan menjadi areal pertambakan meluas melebihi kebutuhan sehingga terjadi menurunnya produktivitas dan sulitnya menerapkan metode budidaya tambak udang yang lebih baik; dan 3) status hutan yang terbuka bagi semua orang lebih cepat mengalami kerusakan dan dikonversi menjadi peruntukan lain yang lebih menguntungkan yaitu pertanian dan penggunaan komersial lainnya.

(43)

pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari untuk diberikan hak kelola secara

communal dengan mekanisme pengaturan secara communal merupakan solusi yang potensial dalam memecahkan persoalan pengelolaan sumberdaya hutan dengan karakteristik tersebut di atas.

Kartodihardjo (1999) menyatakan bahwa pemerintah memegang peranan penting untuk menjaga dan melindungi fungsi hutan, karena karakteristik sumberdaya hutan yang cenderung bersifat open access maka kepedulian pemerintah sendiri tidak mungkin dapat mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Satu-satunya cara adalah dengan memberlakukan sistem “pemilikan” (property-right regimes) yang tepat sehingga dapat menjadi insentif bagi lainnya untuk menjalankan misi pemerintah lebih lanjut. Lebih lanjut, Irimie & Essmann (2009) menekankan bahwa pengelolaan hutan berkelanjutan tidak hanya ditentukan oleh property-right regimes tetapi ditunjang juga berdasarkan

interest, phsycal capacity, dan status sumberdaya hutan itu sendiri. Interest pengelolaan lebih ditekankan pada multimanfaat hutan yang dapat memberikan manfaat bagi publik; physical capacity melibatkan administrasi organisasi negara dalam mengalokasikan pengelolaan sumberdaya alam dan penerapan skala ekonomi; posisi adalah melihat bagaimana kedudukan kepemilikan lahan dalam arena politik.

Kelestarian/keberlanjutan hak kepemilikan didukung oleh aspek legal (de jure rights). Sedangkan hak yang belum mendapatkan pengakuan pemerintah disebut hak de facto rights. Hak yang legal (de jure rights) penting untuk kondisi tertentu, misalnya untuk: 1) menghindari in-efisiensi dan alasan kepunahan SDA; 2) dapat disesuaikan dengan pasti dengan kondisi SDA sebenarnya; 3) pengguna akan lebih efektif mengadopsi regulasi yang dibuat sendiri (de facto); dan 4) ongkos monitoring dan exclusion ditanggung oleh beneficiaries (pemanfaat sumberdaya alam).

(44)

pemerintah (Fernandez 2006). Konsekuensinya diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu agar hak dapat ditegakkan, yaitu:

1) Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak hal hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat atau pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, hak seseorang harus mampu menumbuhkan kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak seseorang harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang dimaksud.

2) Memperoleh perlindungan komunitas dan negara. Konsep pengakuan dan penghormatan hak perlu diikuti dengan tindakan perlindungan atas hak oleh komunitas dan negara melalui pemberian sanksi-sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang sanksi-sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak (transaction and enforcement costs) yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia-sia. Kasper dan Streit (1998) mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya (institution without sactions is useless).

3) Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi (exclusion costs). Semakin mahal biaya-biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu asset/sumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus.

(45)

2.2 Evolusi Hak Kepemilikan (Evolution of Property Right)

Sumberdaya alam milik bersama (Common Pool Resources) mempunyai karakteristik tidak dapat mengeluarkan yang tidak berhak (non-excludable) dan memerlukan persaingan untuk mendapatkannya (rivalry). Dengan karakteristik sumberdaya seperti tersebut di atas memungkinkan kemunculan penunggang gratis, pengambil keuntungan dan pencari kesempatan. Perilaku-perilaku tersebut apabila tidak ada mekanisme pengaturan akan menyebabkan pengurasan atau kerusakan sumberdaya alam. Keberhasilan pengelolaan sumberdaya dengan karakteristik yang demikian ditentukan oleh interaksi di antara sumberdaya alam, penguasaan hak kepemilikan, kelembagaan, dan sosial ekonomi masyarakat (Feeny et al. 1990). Selanjutnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu karakteristik barang dan jasa sumberdaya, kelembagaan masyarakat, dan lingkungan sosial ekonomi (Kisling dan Kurt 2001).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terjadi perubahan-perubahan kepemilikan lahan yang dilatar-belakangi berbagai hal dalam mencapai efisiensi sumberdaya dan kemauan pihak-pihak yang menginginkan adanya perubahan. Perubahan-perubahan tersebut yang membawa kepada terjadinya evolusi kepemilikan lahan.

(46)

mengkonservasi menurun dan hilangnya manfaat sosial karena ketidakjelasan hak kepemilikan yang mengatur mengenai insentif dalam mencapai keseimbangan internalisasi ekternalitas. Oleh karena itu seiring dengan peningkatan nilai lahan dan besarnya biaya penegakan hak maka terjadilah perubahan kepemilikan lahan salah satunya menjadi hak privat yang secara ekonomis lebih efisien. Perubahan hak kepemilikan tersebut merupakan respon terhadap interaksi individu untuk mendapatkan manfaat yang lebih menguntungkan. Atau dengan kata lain, hak kepemilikan berkembang menuju kepada manfaat internalisasi yang lebih besar daripada biaya ekternalisasi.

Selanjutnya setelah terjadinya klaim hak kepemilikan privat yang menimbulkan biaya untuk melindungi hak aksesnya, maka meningkatlah biaya untuk meregistrasi atau mendaftarkan hak kepemilikannya kepada lembaga yang berwenang dalam upaya mencegah terjadinya konflik kepemilikan. Upaya peningkatan keamanan lahan, realokasi lahan, konsolidasi di antara pemilik lahan, dan peningkatan investasi dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sumberdaya, keadilan sosial, dan stabilitas politik (Platteau 1996).

(47)

Selanjutnya Kasper dan Streit (1998) menjelaskan bahwa evolusi hak kepemilikan dipengaruhi oleh perubahan waktu dan perkembangan teknologi. Ketika kehidupan manusia masih tidak memerlukan persaingan dalam mendapatkan hasil-hasil sumberdaya alam maka masih belum memerlukan aturan main dalam mendapatkannya. Tetapi setelah pertumbuhan populasi menyebabkan persaingan dalam mendapatkan hasil sumberdaya alam maka diperlukan suatu aturan main atau perangkat kelembagaan dalam pemanfaatannya. Dalam pemanfaatan secara berkelompok akan dapat mengeluarkan orang yang tidak termasuk dalam kelompoknya. Setelah pertumbuhan kelompok dan aturan informal dalam rasionalisasi pemanfaatan menemui kegagalan, maka sumberdaya dibagi dan dipagari menjadi hak kepemilikan privat, merupakan sebuah alternatif yang dapat dilakukan. Perubahan hak kepemilikan dari kelompok menjadi hak privat dilatarbelakangi adanya pertumbuhan populasi, sumberdaya dibagi dan dibatasi, kemunculan penunggangan gratis, adanya aturan eksternal, kesulitan pendanaan, mengurangi kerumitan administrasi, dan pengurangan subsidi. Tetapi, dalam perkembangannya hak kepemilikan privat kembali lagi menjadi hak kepemilikan bersama (common right) apabila ada pengaruh dari perubahan sosial masyarakat, permasalahan pilihan bersama, dan pilihan-pilihan kebijakan.

Evolusi hak kepemilikan dipengaruhi rasionalisasi dan efisiensi pengelolaan hutan yang lebih kompleks yang mengarah kepada perubahan status sumberdaya hutan itu sendiri (Irimie dan Essmann 2008). Pemindahan pengelolaan sumberdaya dan hak pengelolaan dari penguasaan negara kepada masyarakat lokal atau kepada communal tertentu telah berlangsung lebih dari dua dekade. Hal tersebut merupakan alat kebijakan politik di beberapa negara berkembang (Behera dan Stefanie 2006).

(48)

Pada awalnya-sebelum penjajahan Inggris pengelolaan hutan dilakukan oleh komunitas masyarakat (common property regime) dan tidak terjadi klaim individu masyarakat atas pengaturan hak pengelolaan tersebut (Ghate 2003). Pada masa penjajahan Inggris pengurusan hutan dilakukan oleh negara (by state). Setelah India memerdekakan diri, pengelolaan hutan tidak mengalami perubahan tetap dikuasai oleh negara bahkan lebih ketat daripada masa penjajahan Inggris (Balland dan Platteau 1996). Situasi tersebut tidak malah menjadikan lebih baik, tetapi malah terjadi kerusakan dimana-mana. Akhirnya pada tahun 1988 di India terjadi konflik antara negara dengan komunitas desa tentang pengelolaan hutan. Pada tahun 1990 terjadi perubahan pengelolaan yang mengakomodir kepentingan masyarakat dengan adanya kebijakan dan implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama (Joint Forest Management System)-suatu bentuk pengelolaan bersama (Co-Management).

Pengelolaan bersama adalah hak mengatur pola penggunaan dan mengubah sumberdaya dengan membuat perbaikan (Ostrom dan Schlager 1996)- aktor tunggal atau kelompok indvidu atau kerjasama di antara kelompok. Selain hal tersebut di atas, menurut Schlager dan Ostrom (1992) perubahan kepemilikan lahan hutan dengan adanya mekanisme transfer memiliki empat status hak kepemilikan yaitu hak memasuki dan memanfaatkan (access and withdrawal right), hak pengelolaan (management right), hak mengeluarkan (exclusion right), dan hak memindahtangankan (alienation right).

Di China juga telah reformasi pengelolaan hutan yang dipengaruhi oleh penguasaan lahan dan pasar kayu. Akibat dari reformasi tersebut telah terjadi perubahan penguasaan lahan dari kepemilikan negara atau kolektif kepada kepemilikan privat. Pemindahan hak kepemilikan lahan ke hak privat dalam pengelolaan hutan tidak menyebabkan kerusakan hutan (Zhang et al. 2000).

(49)

jual dan tingginya upah buruh. Pengubahan pengaturan hak kepemilikan di China dimulai pada periode tahun 1950-1958 dengan pengaturan sebagai berikut: 1) 1950-1955: hak kepemilikan pribadi (privat right); 2) 1956-1980: hak kepemilikan kolektif (collective right); 3) 1980: hak pengaturan bersama rumah tangga inisiatif sendiri (self initiative share-house holding). Mekanisme pengaturan hak kepemilikan dan pengelolaan hutan ternyata lebih efektif pada pengelolaan bersama rumah tangga inisiatif sendiri. Hal ini karena hak tersebut memberikan keleluasaan dalam menentukan perencanaan, kegiatan pengelolaan, pemanfaatan produk, dan distribusi pendapatan sebagai inti dari pengelolaan hutan. Pengaturan dengan sistem pengaturan hak bersama dengan pemerintah kurang efektif karena tidak melibatkan petani hutan dalam perencanaan, pengelolaan, dan distribusi manfaat.

Evolusi kepemilikan lahan ke arah privatisasi dengan berbagai latar belakang tekanan penduduk dan pengaruh pasar (Platteau 1996; Dachang 1995); pertumbuhan populasi, kondisi, demokratisasi, teknologi, sosial budaya, dan aturan main (Kasper dan Streit, 1999); efisiensi alokasi sumberdaya, pemindahan posisi dan tanggung jawab para pihak (Irime dan Essman 2008); dan pemindahan hak kepemilikan kepada privat tidak menimbulkan kerusakan (Zhang et al. 2000). Ostrom (1990) dan Devlin dan Grafton (1998) yang menyampaikan bahwa pada karakteristik sumberdaya milik bersama yang cenderung mengalami kerusakan karena tidak dapat ditegakkan hak-haknya, tidak dapat memastikan kelestarian sumberdaya dalam jangka lama bila diberikan secara privat. Lebih jauh Devlin dan Grafton (1998) menyatakan bahwa belum ditemukan aturan main yang terbaik dalam penguasaan pengelolaan lahan sementara itu kasus kerusakan lingkungan ditemukan pada hampir semua penguasaan lahan.

(50)

memanfaatkan sumberdaya alam, tetapi bila ini tidak ada aturan main yang ditetapkan akan menimbulkan pengurasan sumberdaya tersebut. Untuk memberikan alternatif penyelesaiannya maka perlu dipertimbangkan sampai sejauh mana individu-individu dalam memperoleh manfaat bersama berdasarkan konsep tragedy of the common, prisoner dilemma, dan logika aksi bersama -sehingga meminimalkan kehadiran penunggangan gratis yang merupakan masalah dalam pemanfaatan sumberdaya milik bersama. Keberlanjutan pengelolaan pada sumberdaya milik bersama berkaitan dengan hubungan antara pemerintah lokal dengan masyarakat yang telah beradaptasi dengan perubahan ekologi. Anggota masyarakat biasanya mempunyai kesamaan etnis, pendidikan, ras, kesejahteraan. Kesamaan tersebut dapat membatasi terjadinya konflik.

(51)

Selanjutnya, Kisling dan Kurt (2001) menyatakan bahwa perubahan kelembagaan hak kepemilikan bukan hanya dipicu oleh faktor eksternal tetapi juga oleh proses pembelajaran logis dan peran aktor dalam jejaring kerja.

2.3 Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove merupakan bagian dari wilayah pesisir yang mencakup 8% bumi (Birkeland 1983; Ray dan Mc Cormick 1994; Clark 1996). Dari keseluruhan mangrove dunia, Indonesia memiliki kawasan mangrove terluas (4,255 juta hektar), kemudian Brazil (1,340 juta hektar), Australia (1,150 juta hektar), dan Nigeria (1,0515 juta hektar). Hutan mangrove di Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Sekitar 61.250 km2 atau sepertiga mangrove dunia terdapat di Asia Tenggara, dimana 42.550 km2

Saat ini luas mangrove telah mengalami degradasi karena berbagai sebab dan permasalahan yang dihadapinya yaitu: 1) terbatasnya data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pemanfaatan yang lestari, perlindungan, dan rehabilitasi; 2) belum jelasnya tata ruang wilayah pesisir dan tata guna mangrove yang mengakibatkan banyak terjadi tumpang tindih kepentingan peruntukan lahan dalam pemanfaatannya; dan 3) kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan mangrove. Menurut Bengen dan Andrianto (1998) dalam Soemartono (2002), selama kurun waktu 11 tahun telah terjadi degradasi hutan mangrove sebesar 47,92% dari tahun 1982 sampai tahun 1993.

terdapat di Indonesia (Spalding et al. 1997). Luas mangrove Indonesia sekitar 23% dari total mangrove dunia (Spalding, Blasco, dan Field 1997). Sedangkan di pustaka yang lain (FAO 1994), menyatakan bahwa luas mangrove terbesar di dunia adalah di Sundarbans yang terletak di Teluk Bengal. Data luas hutan mangrove Indonesia terbaru adalah 3,2 juta ha (Bakosurtanal 2009) dan 7,8 juta ha (30,7% kondisi bagus; 27,4 % rusak sedang; dan 41,9% rusak berat) (Ditjen RLPS 2007).

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2.  Kerangka Analisis Kelembagaan IAD (Ostrom, 1999).
Tabel 1.  Jenis dan Teknik Pengumpulan Data menurut Tujuan Penelitian
Tabel 1.  Jenis dan Teknik Pengumpulan Data menurut Tujuan Penelitian (lanjutan).
+7

Referensi

Dokumen terkait