• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan ekosistem hutan mangrove mempunyai peran penting bagi pembangunan dan keberlangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Diperlukan sebuah kebijakan dan perencanaan pengelolaan untuk keberlanjutan pengelolaan dan kelestarian hutan mangrove itu sendiri. Kerangka kerja kebijakan adalah dengan memperhatikan manfaat ganda hutan mangrove dan perencanaan pengelolaan dengan memperhatikan : 1) sejarah perkembangan dan kejelasan lahan hutan mangrove yang meliputi: sejarah kepemilikan lahan, luasan, fungsi lahan, tipe hutan, wilayah administrasi dan perkembangan hutan; 2) kondisi bioekologi hutan mangrove, 3) kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan 4) dukungan pemerintah dan stakeholder lainnya (FAO 1994; Kustanti 2011).

Sesuai yang disebutkan oleh Pearce dan Turner (1990) bahwa hutan mangrove mempunyai manfaat langsung yang dapat dikonsumsi masyarakat. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berkaitan dengan fungsi ekologi dalam mencegah meluasnya abrasi, penahan angin dan badai, menjaga garis pantai, tempat pemijahan ikan, dan habitat flora dan fauna.

Namun, akhir-akhir ini terjadi penurunan kualitas dan luasan hutan mangrove diakibatkan beberapa hal, antara lain: 1) belum terdefinisi dengan jelas

status lahan apakah lahan negara ataukah lahan yang dimiliki; 2) merupakan lahan yang dinamis yang hilang dan muncul karena sesuatu hal; 3) belum jelasnya tata ruang yang mengatur mengenai keberadaan hutan mangrove dengan kemunculan tanah timbul; 4) belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar hutan mangrove; dan yang lebih parah adalah adanya 5) upaya mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya yang cenderung menggantikan tegakan hutan yang ada tanpa ada pembelajaran untuk mempertahankan keberlanjutannya.

Kerusakan dan ketidakberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang memiliki karakteristik milik bersama memerlukan suatu aturan dalam pengelolaannya agar tidak terjadi pengurasan dan perusakan terhadap sumberdayanya. Disamping untuk dalih berbagai keperluan ekonomi, sangat perlu dipertimbangkan faktor ekologi bagi keberlanjutan pembangunan hutan yang sangat dinamis ini. Perubahan pengelola sumberdaya sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan jenis hak kepemilikan. Hal ini seringkali kurang mendapatkan prioritas dalam pengambilan kebijakan. Bahkan Yustika (2006), menyatakan bahwa hak kepemilikan di negara berkembang seperti di Indonesia memerlukan pencermatan bagaimana hak kepemilikan diregulasi dan ditegakkan sehingga dapat membantu proses pembangunan.

Hak kepemilikan lahan memberikan implikasi tanggung jawab dan hak pemiliknya. Konsep hak kepemilikan itu sendiri memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah (Fernandez 2006). Hak kepemilikan lahan merupakan kelembagaan karena di dalamnya ada aturan main berupa batas yurisdiksi dan pengakuan dari orang lain atau masyarakat.

Tipe-tipe hak kepemilikan (bundles of right) yang melekat pada hak kepemilikan belum secara keseluruhan diketahui oleh pihak yang memiliki lahan. Banyak terjadi kesimpangsiuran pengelolaan hutan akibat tidak dipahaminya hak- hak tersebut. Lebih jauh lagi, ketidakpahaman akan hak-hak akan menyebabkan

terbengkalainya kegiatan pengelolaan yang dilakukan di antara para pihak atau aktor yang terlibat.

Dalam perjalanan pengelolaan tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan yang mengarah kepada evolusi hak kepemilikan dengan berbagai macam faktor pendorong, antara lain kondisi/cuaca, aturan main (Kasper dan Streit 1998). Evolusi hak kepemilikan lahan hutan memberikan pengaruh pada keberlanjutan pengelolaan hutan.

Proses evolusi hak kepemilikan pada sumberdaya milik bersama dimulai dengan tidak dapat mengeluarkan yang tidak berhak (non-excludable) sehingga individu yang memanfaatkan sumberdaya tersebut lebih kepada memaksimumkan keuntungan tanpa mementingkan keberlangsungan sumberdaya tersebut. Lama kelamaan menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya sehingga sumberdaya tersebut rusak dan menyebabkan tidak lestarinya produk yang dihasilkan. Salah satu alternatif perubahan hak kepemilikan adalah pemberian hak kepemilikan privat dalam meningkatkan insentif mengelola sumberdaya (Platteau 1996; Balland dan Platteau 1996; Ghate 2003; Zhang et al. 2000; dan Dachang 1995).

Namun, keberlanjutan hak kepemilikan privat pada ekosistem hutan mangrove di Indonesia dan Vietnam untuk pertambakan udang dengan cara mengkonversinya menurut Adger dan Cecilia (2000) menimbulkan kerusakan sumberdaya dan tidak lestarinya sumberdaya tersebut. Diperkuat dengan penelitian Barbier (2006) bahwa pengelolaan hutan mangrove di Thailand dengan memberikan privatisasi hak kepemilikan dengan usaha pertambakan udang menyebabkan kerusakan hutan mangrove mencapai 65% dengan cara mengkonversi hutan mangrove. Pada akhirnya telah ditinggalkan areal seluas 11.000 ha yang gagal untuk dihutankan kembali.

Pertanyaan kembali dimunculkan oleh Devlin dan Grafton (1998) dan Ostrom (1990) tentang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya (sustainability management resources) milik bersama apabila diberikan secara privat. Tidak seorangpun dapat menjamin bahwa dengan dialokasikannya sumberdaya secara privat akan memastikan keberhasilan pengelolaan dalam jangka panjang. Sumberdaya milik bersama tersebut akan dibagi-bagi berdasarkan kepemilikannya dan bebas untuk dikuasai, dimanfaatkan, dan ditransfer sesuai keinginan

pemiliknya (otonomi penuh). Hal tersebut tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang tidak statis atau dinamis (air dan perikanan)-seperti pada ekosistem hutan mangrove yang keberadaannya sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan. Hal ini karena pada dasarnya setiap orang akan memaksimalkan keinginannya dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Tetapi apabila dalam memanfaatkan tersebut tidak memahami karakteristik dan aturan mainnya maka akan menimbulkan pengurasan sumberdaya.

Adanya fenomena kerusakan sumberdaya milik bersama dan ketidaklestarian sumberdaya menimbulkan pemahaman kepada masyarakat bahwa ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hak kepemilikan privat yang semula diperkirakan akan menjamin kelestarian usaha dan sumberdaya. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan hak kepemilikan dalam rasionalisasi sumberdaya dan insentif ke depan. Evolusi hak kepemilikan menjadi hak kepemilikan lainnya yang lebih mempertimbangkan kelestarian sumberdaya menjadi pertimbangan kebijakan ke depan. Scott (2008) dan Ostrom (1990) menyatakan bahwa ternyata tidak hanya faktor ekonomi saja yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, tetapi juga karakteristik dan kelestarian sumberdaya alam perlu juga dipertimbangkan.

Keberlanjutan pengelolaan pada sumberdaya milik bersama berkaitan dengan hubungan antara pemerintah lokal dengan masyarakat yang telah beradaptasi dengan perubahan ekologi atau lingkungan. Anggota masyarakat biasanya mempunyai kesamaan etnis, pendidikan, ras, dan kesejahteraan. Kesamaan tersebut dapat membatasi terjadinya konflik. Pengelolaan sumberdaya milik bersama memerlukan pilihan pemanfaatan bersama, kebijakan bersama, dan aksi bersama dalam kelestarian pengelolaannya (Ostrom 1990).

Dalam melakukan aksi bersama pengelolaan ekosistem hutan mangrove seperti yang disampaikan oleh Mermet (1994) dan Adger dan Cecilia (2000) bahwa pengelolaan hutan mangrove di lahan basah tidak hanya dilakukan oleh satu aktor saja tetapi perlu melibatkan banyak aktor untuk mengendalikan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang multimanfaat. Pendekatan dan koordinasi pengelolaan diperlukan sesuai dengan kapasitas masyarakat lokal. Adanya pelibatan secara aktif partisipatif dalam pengelolaan hutan secara

multistakeholder merupakan wahana dalam memfasilitasi kepentingan (interest) dan pengaruh (power) antar stakeholder yang menunjang keberhasilan dalam bekerjasama (Reed et al. 2004).

Hubungan pemberi-penerima keprcayaan (principals-agents) dalam aksi bersama merupakan hubungan yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan. Hubungan tersebut tergantung pada subyek dan obyek haruslah jelas sehingga tidak ada informasi yang tidak tersampaikan di antara kedua pelaku hubungan tersebut. Pihak pemberi kepercayaan dalam hal ini masyarakat secara luas adalah meliputi masyarakat baik yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai penerima manfaat dari keberadaan hutan, pihak swasta, LSM, dan lain sebagainya. Sedangkan pihak penerima kepercayaan adalah pihak pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Keterlibatan para aktor sebagai pemberi kepercayaan di sini mempunyai karakteristik masing-masing yang tentunya mempunyai keragaman latar belakang kehidupan, sosial, ekonomi, tujuan, keahlian, dan lain sebagainya. Kapasitas yang ada di masyarakat merupakan potensi yang ada yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan dengan karakteristik milik bersama yang melekat. Sementara pihak penerima kepercayaan dalam hal ini pihak pemerintah merupakan pihak yang melaksanakan pengelolaan secara legal formal dalam mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat. Kapasitas pemerintahan juga sangat menentukan dalam keberhasilan pengelolaan hutan tersebut. Pihak penerima kepercayaan juga seharusnya mengetahui apa yang diinginkan oleh pihak pemberi kepercayaan dan memegang profesionalisme dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan sesuai dengan karaketeristik sumberdaya dan keinginan pihak pemberi kepercayaan.

Memperhatikan berbagai hal seperti yang telah diuraikan di atas, maka untuk mengetahui terjadinya evolusi hak kepemilikan lahan dan peran para pihak di lokasi penelitian, akan dilakukan analisis kelembagaan dengan menggunakan

Institutional Analysis Development (IAD) yang dikembangkan oleh Ostrom (1999). Adapun kerangka pikir penelitian secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.