• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contestation of science with farmers’ local knowledge on South Kalimantan Tidal Swampland

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contestation of science with farmers’ local knowledge on South Kalimantan Tidal Swampland"

Copied!
279
0
0

Teks penuh

(1)

KON TESTASI SAI N S D EN GAN PEN GETAH UAN

LOKAL PETAN I D ALAM PEN GELOLAAN

LAH AN RAW A PASAN G SURUT

KALI M AN TAN SELATAN

TAUFI K H I D AYAT

SEKOLAH PASCASARJAN A

I N STI TUT PERTAN I AN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Juni 2010

(3)

TAUFIK HIDAYAT. Contestation of Science with Farmers’ Local Knowledge on South Kalimantan Tidal Swampland. Under direction of NURMALA K. PANDJAITAN, ARYA HADI DHARMAWAN, and WAHYU.

Tidal swampland is a marginal land that has two main constraints if reclaimed as agricultural land. These constraints are the high level of acidity and deep flooding. Local farmers with their local knowledge has been successfully manage tidal swamp land to provide their food needs. Science and technology in agriculture through the green revolution has been developed with the aim to fulfill the government's food needs. The program is implemented through increasing agricultural production and business efficiency. Introduction of agricultural science and technology at the tidal swampland has also an extensive social impact, especially with regard to the existence of local knowledge of farmers in tidal swamp land management. Contestation process between science with local knowledge on tidal swampland affected by the tidal swampland system of biophysical and social systems. This study was aimed to analyze the existence of local knowledge in the management of tidal swampland when contestation with science that became basic of recent modern agriculture system. This research is a case study on tidal swampland types A, B, C, and D. Data was collected by triangulation methods through in-depth interviews, life history and secondary data obtained from reports and historical records. The results showed that the forms of owned farmers’ local knowledge on the tidal swampland include: 1) knowledge on rice cultivation; 2) knowledge on land management; 3) knowledge about the maintenance and land conservation; and 4) knowledge on farming equipment. Local knowledge is always a process of change and evolve depending on outside forces that exist. Local knowledge that evolution was mainly driven by contestation with the science that introduced in the farming systems in tidal swampland. In the contestation proces, just a few science in type A tidal swampland can be applied especially in high yielding variety. Local knowledge society about the local rice farming systems still exist, but social institutions have been dominated by the presence of farmers' groups (‘kelompok tani’) that the government introduced as a supporting institution in modern agricultural systems. In the tidal swampland types B, C and D occurred science dominance in the application of agricultural technology such as the use of chemical fertilizers, pesticides and lime for agriculture (‘dolomit’). So was the case with local institutions of farmers (‘handil’) has been replaced by institutional role of farmer groups. Form of hybridization that occured between science and local knowledge in the form of high yielding variety-local rice farming systems called 'sawit dupa' numerous in the tidal swampland type B. Social system response may take the form of receipt of science in their agricultural systems through of adjustment process in fitting together (coadaptation) or otherwise suffered rejection because of not correspond with the biophysical environments and social systems

(4)

TAUFIK HIDAYAT. Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN, ARYA HADI DHARMAWAN, dan WAHYU.

Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh petani di lahan rawa pasang surut terbentuk dari pengalaman dan pemahaman mereka terhadap kondisi lingkungan spesifik setempat. Melalui pengetahuan inilah sumberdaya alam yang termasuk kategori lahan marjinal tersebut dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup secara berkelanjutan. Merubah lahan rawa pasang surut menjadi sebuah areal pertanian yang subur bukan hanya memerlukan pengetahuan dan keterampilan teknis semata, tetapi juga pola hubungan sosial spesifik dalam kehidupan masyarakat. Bertolak dari kondisi inilah penelitian dilakukan dengan tujuan untuk melihat eksistensi pengetahuan lokal tersebut dalam menghadapi era globalisasi dan modernisasi pertanian saat ini. Penelitian ini juga menganalisis bagaimana terjadinya kontestasi antara pengetahuan lokal dan sains yang menjadi dasar dalam pertanian modern serta respon sistem sosial terhadap proses kontestasi tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma teori kritis untuk mengungkap struktur yang mendominasi sehingga membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. Penelitian ini dilaksanakan di Kalimantan Selatan dengan lokasi utama di Kabupaten Barito Kuala yang mencakup wilayah lahan rawa pasang surut tipe A, B, C dan D Kegiatan penelitian ini menggunakan triangulasi data, yakni penggunaan beragam sumber data yang meliputi komunikasi dialogis, diskusi (FGD), riwayat hidup topikal, serta data sekunder dalam bentuk penelusuran dokumen, laporan, catatan sejarah dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan melalui informan petani, tokoh petani, aparat desa, petugas pertanian dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan metode snowball sampling. Pengambilan informan dengan metode ini merupakan pendekatan untuk menempatkan informasi yang kaya dari informan kunci atau kasus kritis. Analisis data dilakukan dalam bentuk pengkodean (coding) yang merupakan proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru.

Sejarah pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut tidak terlepas dari sejarah pembukaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan. Pembukaan lahan rawa pasang surut ditujukan untuk tanaman padi didorong oleh kebijakan pemerintah waktu itu untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Pengetahuan lokal petani untuk mengelola lahan rawa pasang surut terbentuk dari interaksi mereka untuk mengatasi dua kendala spesifik, yakni genangan air dan tingkat kemasaman yang relatif tinggi (berupa tanah sulfat masam). Bentuk-bentuk pengetahuan lokal ini mencakup pengetahuan dalam hal: a) sistem budidaya pertanian berbasis padi lokal; b) sistem pengelolaan lahan; c) sistem peralatan peranian tradisional; dan d) sistem pemeliharaan dan pelestarian lingkungan.

(5)

padi beserta seluk beluk lahan rawa pasang surut. Begitu juga halnya dengan struktur sosial masyarakat yang umumnya relatif homogen sebagai petani padi memungkinkan transmisi pengetahuan berlangsung dalam kondisi tanpa hambatan dan dominasi.

Proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal ini dapat menghasilkan bentuk koeksistensi, dominasi, dan hibridisasi. Bentuk-bentuk kontestasi yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan sistem sosial masyarakat, termasuk berbagai bentuk intervensi pemerintah melalui program pembangunan pertanian. Dalam konteks ini, aspek kepentingan dan proses komunikasi merupakan bagian penting yang akan membawa ke mana arah kontestasi tersebut akan terbentuk.

Lahan rawa pasang surut tipe A dengan kondisi genangan air yang relatif dalam kurang sesuai untuk pengembangan padi unggul. Hal ini merupakan faktor utama petani yang menyebabkan petani setempat hanya menerapkan sistem pertanian padi lokal. Sains dan teknologi pertanian modern hanya sedikit yang diterapkan masyarakat dalam sistem pertanian mereka. Teknologi pertanian seperti pupuk dan pestisida sudah dikenal dan digunakan masyarakat dalam sistem pertanian padi lokal mereka. Walaupun demikian, dalam sistem sistem sosial masyarakatnya terjadi perubahan-perubahan yang cukup berarti. Khusus untuk aspek organisasi dan kelembagan sosial, kelembagaan kelompok tani menjadi dominan dan menggeser peranan handil sebagai lembaga lokal petani setempat. Transfer pengetahuan lebih banyak didominasi melalui proses penyuluhan pertanian, dan peranan kepala handil juga semakin berkurang. Eksistensi pengetahuan lokal dalam sistem pertanian masih tetap dipertahankan masyarakat, sebaliknya pada aspek kelembagaan dan organisasi sosial ternyata telah didominasi oleh perkembangan sains melalui rekayasa sosial yang dintroduksi pemerintah dalam program pembangunan pertanian.

Pada lahan rawa pasang surut tipe B yang kondisi ekosistem biofisiknya memungkinkan untuk pengembangan sains dan teknologi pertanian tidak menghilangkan eksistensi pengetahuan lokal petani, namun, terjadi perpaduan pengetahuan lokal dengan sains. Perpaduan dalam bentuk hibridisasi ini berupa pola tanam baru penanaman padi dua kali setahun (unggul-lokal yang disebut pola sawit dupa). Sains dan teknologi penggunaan pupuk kimia, pestisida dan kapur pertanian telah meluas penggunaannya bukan hanya untuk padi unggul, tetapi juga dalam pertanian padi lokal. Menyangkut aspek organisasi dan kelembagaan sosial, keberadaan sistem gotong royong, pola kepemilikan lahan, dan tolong menolong tetap ada walaupun masuknya pola baru sistem upah, sistem sewa dan kredit usahatani melalui lembaga keuangan resmi. Kelembagaan handil yang ada tidak beberda jauh dengan kondisi di lahan rawa pasang surut tipe A, dimana telah digantikan peranannya dengan munculnya kelembagaan kelompok tani. Kelembagaan kelompok tani ini muncul sebagai konsekuensi dari modernisasi pertanian yang lebih berorientasi pada produktivitas pertanian.

(6)

Pada aspek kelembagan sosial, kelompok tani juga mendominasi keberadaan kelembagaan handil seperti halnya di tipe A dan B, namun pada lahan rawa pasang surut tipe C ini terdapat bentuk perpaduan antara kegiatan kelompok tani dengan kelompok arisan menjadi bentuk lumbung kelompok. Kelembagaan lumbung kelompok ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi, terutama dalam pengadaan pupuk kimia.

Kontestasi antara sains dan pengetahuan lokal yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe D juga menghasilkan bentuk dominasi sains dan teknologi pertanian dalam penggunaan bahan kimia, pupuk pestisida dan kapur seperti halnya di C. Begitu juga halnya dengan pengetahuan tentang budidaya padi lokal tetap eksis walaupun sistem pertanian padi unggul telah diintroduksi pemerintah melalui program penyuluhan pertanian. Menyangkut aspek organisasi dan kelembagaan sosial, tidak berbeda dengan kondisi pada tipe lahan rawa pasang surut lainnya, dimana peranan kelembagaan handil mulai digeser oleh kelompok tani. Model-model kegiatan kelompok tani dan sekolah lapang juga mendominasi kegiatan penyuluhan pertanian dibandingkan dengan kegiatan petani dalam suatu handil.

Masuknya sains yang diimplementasikan dalam sistem pertanian modern melalui pengembangan padi unggul mendapat respon dari sistem sosial petani setempat. Respon ini berupa perubahan yang mengarah pada penyesuaian sistem sosial terhadap masuknya pertanian modern ini. Perubahan pada sistem sosial yang terjadi meliputi perubahan bentuk organisasi dan kelembagaan sosial yang dominan, peranan organisasi dan lembaga sosial tersebut, pola dan bentuk kerjasama petani, pola kepemilikan lahan, tokoh atau elit masyarakat yang berperan, serta nilai dan norma sosial yang berlaku. Respon sistem sosial yang terjadi menunjukkan pola yang berbeda pada beberapa tipe lahan rawa pasang surut.

Pada lahan rawa pasang surut tipe A, masuknya sains yang terwujud dalam sistem pertanian modern berbasis padi unggul tidak banyak merubah pola dan teknik pertanian yang ada. Bahkan sistem sosial memberikan respon yang tetap mempertahankan keberadaan pengetahuan lokal melalui sistem pertanian padi lokal. Perkembangan yang cukup berbeda terjadi di lahan rawa pasang surut tipe B, di mana sistem sosial memberikan respon yang lebih dinamis terhadap perubahan yang terjadi pada sistem pertanian padi. Proses koadaptasi antara sistem sosial dengan ekosistem biofisik akibat masuknya sains dan teknologi pertanian modern terjadi secara luas dalam kehidupan masyarakat. Bahkan pada tahap selanjutnya, proses ini berkembang menjadi bentuk koevolusi yang menghasilkan perubahan-perubahan baik pada ekosistem biofisik maupun sistem sosial masyarakat. Respon sistem sosial yang terjadi pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D terutama menyangkut perkembangan sains dan teknologi sarana produksi dan peralatan pertanian. Penggunaan peralatan pertanian modern (sabit dan mesin perontok) mendorong berkembangnya sistem upah dalam kegiatan panen. Penggunaan penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida) mendorong berkembangnya kelembagaan penyedia saprodi baik berupa kios sarana produksi maupun sistem kredit oleh petani kaya (pedagang pengumpul) dalam penyediaan pupuk.

(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

KONTESTASI SAI NS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL

PETANI DALAM PENGELOLAAN LAHAN RAWA

PASANG SURUT KALI MANTAN SELATAN

TAUFI K HI DAYAT

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, M.S

Dr. Rilus A. Kinseng, M.A

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Irsal Las, M.S

(10)

Nama : Taufik Hidayat

NIM : I361060021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S., DEA. Ketua

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Prof. Dr. H. Wahyu, M.S.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sosiologi Pedesan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2009 ini adalah pengetahuan lokal (local knowledge), dengan judul Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA, Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, serta Bapak Prof Dr. H. Wahyu, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. M.T Felix Sitorus, M.S yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan hingga ke jenjang Ujian Tertutup. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS atas saran serta masukannya yang disampaikan dalam Ujian Kualifikasi Program Doktor serta Dr. Ir. Rilus Kinseng, M.A dan Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, M.S atas masukan dan arahannya pada Ujian Tertutup. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS dan Prof. Dr. Ir. Kedi Suradisastra yang telah bersedia menjadi penguji pada saat Ujian Terbuka. Begitu juga terima kasih disampaikan kepada semua staf dosen KPM, khususnya Program Studi Sosiologi Pedesaan yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis mengikuti kegiatan akademik di IPB Bogor. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Rektor Universitas Lambung Mangkurat dan Dekan Fakultas Pertanian Unlam Banjarmasin atas bantuan dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarja IPB Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Nursani) dan ibu (Nur Hamidah), isteri (Maulidah Annazmi) dan anak-anak serta seluruh keluarga atas segala doa dan pengorbanannya selama ini.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh informan tanpa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak bantuan selama pengumpulan data baik yang ada di Kabupaten Barito Kuala, Banjarbaru, maupun di Banjarmasin. Ketulusan dan keterbukan serta tanpa pamrih kepada penulis telah membuka jalan untuk penulisan karya ilmiah ini.

(12)

masukan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan disertasi ini. Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi pengembangan pengetahuan lokal dalam era modernisasi pertanian di lahan rawa pasang surut.

Bogor, Juni 2010

(13)

Penulis dilahirkan di Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan pada tanggal 31 Agustus 1966 sebagai anak sulung dari pasangan Nursani dan Nur Hamidah. Pendidikan sarjana ditempuh Program Studi Penyuluhan Pertanian, Fakultas Pertanian Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kekhususan Sosiologi dan Penyuluhan Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar dan menamatkannya pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru sejak tahun 1993 dan mengampu mata kuliah Ilmu Sosial Dasar, Sosiologi Pedesaan, dan Ekologi Manusia. Sejak tahun 2002 hingga 2006 ditugaskan sebagai Pengelola Program Studi Ekonomi Pertanian pada Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru.

Selama mengikuti program S3, beberapa artikel ilmiah pernah dihasilkan, antara lain: Modal Sosial dalam Sistem Perekonomian Masyarakat Persawahan: Kasus Petani Padi di Jawa dan Petani Lahan Rawa Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Mimbar Demokrasi Vol.8:1, Oktober 2008 Jurusan ISP, FIS UNJ Jakarta), Pengetahuan Lokal dalam Pembangunan: Analisis Ekologi Politik (Jurnal Spatial Vol7:1, Maret 2009 Jurusan Geografi FIS, UNJ Jakarta), Bentuk dan Makna Pengetahuan Lokal Petani Lahan Rawa Pasang Surut (Jurnal Spatial Vol.8:1, Maret 2010 Jurusan Geografi FIS, UNJ Jakarta). Artikel lain dengan judul Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut akan diterbitkan pada Jurnal Sodality, KPM IPB, Bogor Vol 4:2, Agustus 2010)

(14)

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 9

1.6 Kebaruan (Novelty) ... 9

II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Interaksi Sistem Sosial dengan Ekosistem... 11

2.2 Sistem Sosial dan Ekosistem Petani di Lahan Rawa Pasang Surut ... 12

2.3 Pengetahuan Lokal ... 15

2.3.1 Makna Pengetahuan Lokal ... 15

2.3.2 Perkembangan Pengetahuan Lokal ... 17

2.3.3 Kendala Pengembangan Pengetahuan Lokal ... 20

2.3.4 Perpaduan Pengetahuan Lokal dengan Sains ... 23

2.4 Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan ... 26

III METODOLOGI ... 29

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.2 Paradigma Peneltian ... 29

3.3 Kerangka Pemikiran ... 32

3.4 Hipotesis Pengarah ... 35

3.5 Strategi Penelitian ... 35

3.6 Langkah Penelitian ... 36

3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 37

3.8 Analisis Data ... 43

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 44

4.1 Provinsi Kalimantan Selatan ... 44

4.2 Kabupaten Barito Kuala ... 46

(15)

4.3.1 Desa Tabunganen Muara ... 49

4.3.2 Desa Sungai Tunjang ... 53

4.3.3 Desa Tinggiran Darat ... 56

4.3.4 Desa Simpang Nungki ... 60

4.4 Ikhtisar: Perbandingan Desa Peneltian ... 63

V SISTEM PERTANIAN PADI LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ... 71

5.1 Sejarah Pembukaan Lahan Rawa Pasang Surut ... 71

5.2 Budidaya Padi Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut ... 76

5.2.1 Pembukaan lahan ... 77

5.2.2 Pengolahan tanah ... 79

5.2.3 Pemilihan varietas padi ... 82

5.2.4 Persemaian ... 84

5.2.5 Proses penanaman padi ... 87

5.2.6 Pemeliharaan tanaman... 90

5.2.7 Pemanenan ... 92

5.2.8 Pascapanen ... 94

5.3 Ikhtisar: Sistem Pertanian Padi yang Adaptif dengan Lingkungan ... 98

VI PENGETAHUAN LOKAL PETANI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ... 105

6.1 Bentuk dan makna pengetahuan lokal ... 105

6.1.1 Pengetahuan tentang budidaya tanaman padi ... 106

6.1.2 Pengelolaan tentang pengelolaan lahan ... 110

6.1.3 Pengetahuan tentang pemeliharan dan kelestarian lingkungan ... 114

6.1.4 Pengetahuan tentang peralatan usahatani ... 117

6.2 Proses pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal ... 124

6.3 Peranan dan eksistensi pengetahuan lokal ... 131

6.4 Pengaruh sistem sosial dalam pengembangan Pengetahuan lokal ... 134

6.5 Kendala dalam pengembangan pengetahuan lokal ... 140

(16)

VII KONTESTASI SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL

DI LAHAN RAWA PASANG SURUT... 156

7.1 Sejarah Perkembangan Pertanian Modern di Lahan Rawa Pasang Surut ... 156

7.1.1 Lahan rawa pasang surut tipe A ... 159

7.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B ... 162

7.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C ... 166

7.1.4 Lahan rawa pasang surut tipe D ... 168

7.2 Bentuk-Bentuk Kontenstasi Sains dengan Pengetahuan Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut ... 170

7.2.1 Bentuk Koeksistensi ... 171

7.2.2 Bentuk Dominasi ... 178

7.2.3 Bentuk Hibridisasi ... 188

7.3 Ikhtisar: Dinamika kontestasi sains dan Pengetahuan Lokal ... 193

VIII RESPON SISTEM SOSIAL TERHADAP KONTESTASI ANTARA SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL ... 200

8.1 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut ... 200

8.1.1 Lahan rawa pasang surut tipe A ... 200

8.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B ... 208

8.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C ... 213

8.1.4 Lahan rawa pasang surut tipe D ... 217

8.2 Bentuk-bentuk Respon Sistem Sosial dan Sistem Biofisik Di Lahan Rawa Pasang Surut ... 225

8.3 Ikhtisar: Dinamika Respon Sistem Sosial Di Lahan Rawa Pasang Surut ... 228

IX SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 231

9.1 Simpulan ... 231

9.2 Implikasi ... 233

DAFTAR PUSTAKA ... 235

(17)

No Teks Halaman 1 Topik dan paradigma penelitian yang digunakan dalam

beberapa penelitian terkait dengan pengetahuan lokal ... 10

2 Pertautan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan ... 27

3 Keterkaitan topik permasalahan, tujuan, hipotesis, konsep utama/hubungan antar konsep, informasi atau data yang

dikumpulkan, teknik pengumpulan data, dan sumber data ... 39

4 Perkembangan penanaman padi sawah di Kalimantan

Selatan periode 1995 2008 ... 45

5 Proporsi penduduk Kabupaten Barito Kuala menurut jenis

pekerjaan tahun 2008 ... 47

6 Luas lahan pertanian berdasarkan jenis penggunaannya tahun

2008 .... ... 48

7 Kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Barito

Kuala .... ... 49

8 Ikhtisar perbandingan empat desa lokasi penelitian di lahan

rawa pasang surut ... 65

9 Pertumbuhan penduduk dan pangan di Kabupaten Barito

Kuala selama duapuluh lima tahun terakhir ... 75

10 Perbandingan sistem usahatani padi unggul dan padi lokal di lahan rawa pasang surut Kabupaten Barito Kuala Provinsi

Kalimantan Selatan ... 97

11 Bentuk-bentuk pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan

lahan rawa pasang surut ... 120

12 Perbandingan bentuk serta proses transmisi antara

pengetahuan lokal dengan sains ... 129

13 Perbandingan ekonomi usahatani padi lokal dengan padi

unggul di lahan rawa pasang surut per hektar lahan ... 153

14 Perbandingan perkembangan teknologi modern di lahan rawa

pasang surut ... 170

15 Perbandingan antara sistem handipan dengan sistem upah

(18)

16 Bentuk-bentuk koeksistensi antara sains dengan pengetahuan

lokal di lahan rawa pasang surut ... 176

17 Perbandingan antara penentuan tanam dengan sistem

perbintangan dan penyusunan RDK dan RDKK... 180

18 Perbandingan antara Lembaga handil dengan kelompok tani .... 183

19 Perbandingan antara sistem lumbung dengan sistem jual beli ... 185

20 Bentuk-bentuk dominasi yang terjadi dalam sistem pertanian

padi di lahan rawa pasang surut ... 186

21 Perbandingan antara sistem pertanian padi lokal dengan

sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut ... 190

22 Bentuk-bentuk hibridisasi sains dengan pengetahuan lokal di

lahan rawa pasang surut ... 192

23 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut

tipe A ... ... 207

24 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut

tipe B ... ... 212

25 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut

tipe C ... ... 216

26 Perkembangan sistem sosial di lahan rawa pasang surut

tipe D ... ... 219

27 Perbandingan perubahan sistem sosial di lahan rawa pasang

(19)

No Teks Halaman 1 Kerangka pemikiran studi pengetahuan lokal ... 34

2 Kedudukan handil terhadap sungai ... 72

3 Sawah yang dicetak diantara dua buah handil ... 73

4 Proses dan waktu persemaian hingga panen padi di lahan

rawa pasang surut ... 87

5 Proses koadaptasi sistem sosial dengan ekosistem lahan

rawa pasang surut ... 99

6 Sistem budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut ... 103

7 Pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan

hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem

sosial di lahan rawa pasang surut ... 109

8 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang

surut .... ... 114

9 Pengetahuan tentang pemeliharaan kelestarian lingkungan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem

sosial di lahan rawa pasang surut ... 117

10 Pengetahuan tentang peralatan pertanian hubungannya

dengan sistem sosial di lahan rawa pasang surut ... 119

11 Taksonomi pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan

lahan rawa pasang surut ... 123

12 Mekanisme pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal

di lahan rawa pasang surut ... 127

13 Mekanisme pengaruh komponen sistem sosial terhadap

pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut

... ... 139

14 Faktor-faktor yang menyebabkan petani kurang berminat

mengadopsi usahatani padi unggul ... 154

15 Peranan sains dan pengetahuan lokal dalam sistem

pertanian padi di lahan rawa pasang surut ... 198

16 Respon sistem sosial dan sistem biofisik pada sistem

(20)

No Teks Halaman 1 Langkah-langkah analisis data dalam grounded theor ... 244

2 Peta Provinsi Kalimantan Selatan ... 246

3 Peta Administrasi Kabupatn Barito Kuala ... 247

4 Luas lahan sawah (hektar) berdasarkan jenis sawah dan frekuensi penanaman padi di Kalimantan Selatan, tahun

2008 ... ... 248

5 Luas lahan sawah (hektar) berdasarkan jenis sawah dan

kabupaten di Kalimantan Selatan, tahun 2008 ... 249

6 Luas lahan sawah (hektar) pasang surut berdasarkan frekuensi penanaman padi di Kalimantan Selatan, tahun

2007 ... ... 250

7 Potensi tanaman pangan di Kabupaten Barito Kuala tahun

2008 ... ... 251

8 Tanaman buah-buahan utama di Kabupaten Barito Kuala

tahun 2008 ... 251

9 Tanaman perkebunan utama di Kabupaten Barito Kuala

tahun 2008... 251

10 Potensi tanaman kehutanan di Kabupaten Barito Kuala

tahun 2008 ... 252

11 Populasi ternak di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 ... 252

12 Produksi perikanan di Kabupaten Barito Kuala tahun 2008 ... 252

13 Perbandingan bentuk serta proses transmisi antara

pengetahuan lokal dengan sains ... 253

14 Analisis biaya dan keuntungan usahatani padi lokal di lahan

rawa pasang surut ... 254

15 Analisis biaya dan keuntungan usahatani padi unggul di

lahan rawa pasang surut ... 255

16 Analisis biaya dan keuntungan usahatani padi unggul di

lahan rawa pasang surut (sistem sawit dupa) ... 256

17 Perbandingan analisis ekonomi usahatani padi lokal dan

(21)

Gambut. Merupakan material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, tidak mampat dan hanya sedikit mengalami perombakan.

Gumbaan. Alat untuk memisahkan gabah yang bernas dengan gabah hampa. Prinsip kerja alat ini menggunakan mekanisme hembusan angin yang berasal dari kipas yang diputar sehingga gabah yang berisi (bernas) dan gabah yang ringan (hampa) terpisah keluarnya pada tempat yang berbeda.

Handil. Secara teknis berarti saluran yang dibuat tegak lurus dengan sungai atau anak sungai untuk keperluan pengaliran air pasang dan surut. Secara sosial bermakna sebagai kelembagaan petani yang tergabung dalam saluran pengairan tersebut.

Handipan/baharian.Merupakan bentuk kegiatan gotong royong dalam kegiatan penanaman atau pengolahan tanah yang dilakukan secara bergantian antar petani yang mengikutinya.

Kakakar. Alat sejenis garu untuk menarik sisa-sisa rumput/gulma yang telah dipotong dengan alat tajak agar proses pembusukannya berlangsung sempurna

Sawit dupa. Singkatan dari satu kali mewiwit (menanam) dua kali panen, yang artinya penyemaian padi unggul dan lokal dilakukan serentak sehingga lahan dapat ditanami dua kali setahun dengan padi lokal dan padi unggul.

Sundak. Alat tradisional yang berfungsi untuk menggali tanah di lahan rawa pasang surut

Tabat. Bendungan sederhana yang dibangun pada handil atau anak sungai untuk menahan agar air hujan tidak keluar(tipe C dan D) dan sekaligus menahan masuknya air asin (tipe A) agar tidak masuk ke areal persawahan.

Tajak. Alat pengolahan tanah tradisional, sejenis parang tetapi pada bagian ujungnya diberi tangkai agak panjang yang membengkok ke atas sebagai pegangan. Prinsip kerja alat tajak ini adalah memotong atau memangkas rumput-rumputan, gulma maupun sisa tanaman padi tahun sebelumnya dengan mengupas tipis lapisan tanah (kurang dari 5 cm) Tatajuk/tutujah. Alat bantu dalam kegiatan tanam yang berfungsi membantu

membuat lubang agar bibit mudah ditancapkan di tanah.

Tembokan atau Surjan. Bagian lahan di persawahan yang ditinggikan dengan cara menimbun tanah berbentuk memanjang di persawahan.

(22)

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan di Indonesia telah banyak membawa perubahan dalam kemajuan kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan. Berkembangnya sarana infrastruktur perekonomian, transportasi, komunikasi, industri dan infrastruktur pembangunan lainnya menjadi bukti keberhasilan pembangunan. Khusus di sektor pertanian, kemajuan yang dicapai dalam peningkatan produksi telah membawa Indonesia menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangan utamanya, yakni beras pada tahun 1985 dari sebelumnya sebagai pengimpor beras terbesar di dunia. Walaupun kemudian prestasi besar ini tidak bisa dipertahankan dan Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras.

Pembangunan pertanian, terutama di wilayah pedesaan berimplikasi terhadap berbagai perubahan sosial terutama dengan adanya pengembangan mekanisasi dan modernisasi pertanian. Menurut Abbas (1999), walaupun pengembangan teknologi modern melalui revolusi hijau di bidang pertanian memberikan dampak terhadap peningkatan produksi tetapi juga memunculkan dampak ikutan lainnya. Dampak ikutan tersebut meliputi aspek ekonomi (struktur biaya dan risiko yang tinggi), keadilan (ketimpangan dalam penerimaan keuntungan relatif antar golongan petani), kesempatan kerja (pengurangan kesempatan kerja karena mekanisasi), konsumsi energi yang meningkat (peningkatan sarana produksi), dan kerusakan ekologi. Bahkan menurut Fakih (2000), revolusi hijau dinilai selain berdampak buruk terhadap lingkungan secara terselubung bersifat hegemoni kapitalistik yang mengarah kepada pemiskinan masyarakat petani. Begitu juga dengan Sutanto (2001), yang menganggap revolusi hijau telah mereduksi sistem pertanian tradisional dan mengubur pengetahuan lokal yang bernuansa ramah lingkungan. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak yang terjadi merambah luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di pedesaan.

(23)

menurut Goldsmith (1996), kerusakan lingkungan dan sumberdaya pertanian, erosi lahan, pencemaran bahan kimia, kerusakan keanekaragaman genetika, ledakan serangan hama penyakit serta penurunan produktivitas padi merupakan dampak akibat pengembangan pertanian modern. Hasil penelitian Prasodjo (2005) tentang pengetahuan lokal masyarakat di DAS Citanduy menunjukkan bahwa pada beberapa desa yang menerapkan pola pertanian sawah dengan teknologi revolusi hijau dan orientasi pasar atau ekonomi semata ternyata telah menimbulkan dampak ekologis dan sosial. Dampak ekologis berupa menurunnya keamanan ekologis seperti kesuburan tanah yang berkurang, ledakan hama dan penyakit tanaman, erosi, longsor dan penurunan kualitas air sungai. Dampak sosial yang muncul adalah hilangnya ketahanan pangan akibat penurunan keanekaragaman hayati, ketergantungan dengan input produksi dari luar dan gagal panen. Dampak sosial lainnya berupa lunturnya ikatan sosial dan tradisi pertanian karena kuatnya intervensi industri benih, pupuk, pestisida, dan alat pengolahan tanah.

Selain berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan, penggunaan bahan kimia berupa pupuk buatan juga memiliki batas-batas untuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian padi. Hasil kajian Darwis (2007) di Desa Growok Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa produktivitas padi yang rendah (rata-rata 4,38 ton/ha pada musim hujan dan 2,68 ton/ha pada musim kemarau, sedangkan produktivitas normal 6-7 ton/ha pada musim hujan dan 4-5 ton/ha pada musim kemarau) salah satunya karena penggunaan pupuk kimia (Urea: 356 kg, TSP: 214 kg dan ZA: 189 kg per hektar) yang jauh di atas rekomendasi pemupukan berimbang (Urea: 300 kg, TSP: 150 kg, dan ZA: 100 kg per hektar).

(24)

Sawah rawa pasang surut luasnya mencapai 196.419 hektar atau sekitar 29,60% dari luas sawah di Kalimantan Selatan. Lahan jenis ini merupakan tipe lahan yang khas yang memerlukan pengelolaan khusus karena sifatnya yang sangat rentan terhadap kerusakan (fragile). Tipe lahan ini terutama terdapat di wilayah Kabupaten Barito Kuala 106.629 hektar (54,29%), Kabupaten Banjar 36.088 hektar (18,37%), Kabupaten Tapin 25.380 hektar (12,92%), sedangkan sisanya 28.322 hektar (14,42%) terdapat di kabupaten lainnya (BPS Kalsel 2009).

Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian di Kalimantan Selatan oleh petani banjar telah dimulai sejak tahun 1900 (Sutikno dan Noor 1998). Kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut ini dilakukan dengan sistem tradisional melalui pengaturan tata air. Reklamasi lahan rawa pasang surut menjadi lahan pertanian yang dikembangkan oleh petani Banjar merupakan bentuk adaptasi kehidupan mereka terhadap kondisi lingkungan yang ada. Melalui pengalaman dan pengetahuan lokal (local knowledge) yang mereka miliki petani Banjar menerapkan sistem pertanian yang disesuaikan dengan kondisi lahan yang ada. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Soetomo (1997), bahwa perkembangan teknik bertani pada masyarakat tradisional merupakan hasil proses belajar secara alamiah dari mereka sendiri. Alam dan lingkungan berkembang menjadi guru yang baik bagi masyarakat setempat untuk terus mencari cara merekayasa hambatan-hambatan dan potensi yang ada di sekitarnya.

(25)

surut. Sistem surjan ini juga memungkinkan petani melakukan diversifikasi antara tanaman padi dengan tanaman keras seperti rambutan, mangga, atau jeruk. Oleh karena itulah dalam pandangan Hardiyoko dan Saryoto (2005), sistem pertanian tradisional ini mendasarkan diri pada pengetahuan tentang ekosistem pertanian mikro, di mana kondisi lahan pertanian suatu daerah selalu memiliki keistimewaan sendiri.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, keperluan akan lahan pemukiman dan pertanian pun semakin bertambah. Pengembangan dan reklamasi lahan rawa pasang surut saat ini tidak hanya dilakukan oleh petani Banjar secara tradisonal saja, tetapi juga oleh pemerintah untuk keperluan pemukiman transmigrasi. Reklamasi lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan untuk keperluan transmigrasi sudah dirintis sejak masa pemerintahan orde lama sekitar tahun 1962, dan dilanjutkan oleh pemerintahan orde baru secara intensif pada tahun 1970-an hingga saat ini. Reklamasi dan pengembangan lahan rawa pasang surut yang dilakukan secara besar-besaran dan dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan terjadinya perubahan secara drastis pada ekosistem lahan rawa pasang surut. Menurut Dahuri (1997), jika dikaji secara holistik dampak negatif proyek ini adalah menurunnya nilai dan fungsi ekonomis maupun ekologis dari ekosistem lahan basah rawa gambut yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kasus Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah merupakan contoh kerusakan ekosistem akibat eksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan keterbatasan dan karakteristik khas dari lahan rawa pasang surut terutama tanah gambut yang sangat peka terhadap perubahan yang drastis.

(26)

terkait dengan kegagalan dalam pengembangan sawah pasang surut dan kualitas lahan yang rendah. Periode tahun 1969-1973 telah ditempatkan sebanyak 160 KK transmigran dari etnis Sunda di lahan rawa pasang surut Barambai, dan pada tahun 1999 yang masih bertahan hanya sebanyak 15 KK.

Pembukaan lahan rawa pasang surut yang diintegrasikan dengan program transmigrasi ini semuanya mengalami kegagalan terutama dalam pengembangan pertaniannya. Terdapat beberapa lokasi pemukiman transmigrasi di lahan rawa pasang surut (seperti UPT Danda Jaya, UPT Tarantang, dan beberapa UPT lainya di Kabupaten Barito Kuala) yang berhasil mengelola lahan tersebut untuk keperluan pertanian. Walaupun demikian, pada tahap-tahap awal penempatan mereka banyak menemui kendala dan hambatan teknis terkait dengan sistem pengelolaan air dan sifat fisik tanah yang khas. Usaha yang gigih dan belajar dari pengalaman petani setempat dalam mengelola lahan rawa pasang surut merupakan kunci sukses keberhasilan para transmigran di wilayah ini (Hidayat 2000).

Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat terutama dalam bidang pertanian terbukti telah membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi mereka. Produktivitas padi di lahan rawa pasang surut tipe A rata-rata mencapai 3,1 ton/ha, tipe B mencapai 2,5 ton/ha dan di tipe C rata-rata-rata-rata hanya 1,8 ton/ha (Hidayat 2000). Berdasarkan analisis Rina Y dan Noorginayuwati (2007), tentang usahatani padi di lahan rawa pasang surut bergambut, rata-rata produktivitas padi lokal sebesar 1,8 ton/ha dengan keuntungan Rp 1.270.000/ha (nilai R/C 1,38) dan padi unggul 2,3 ton/ha dengan keuntungan rata-rata Rp 1.144.743/ha (nilai R/C 1,32). Selain itu pengembangan sistem tukungan dan surjan dengan penerapan sistem tumpang sari padi dengan tanaman hortikultura seperti jeruk, rambutan atau mangga di lahan rawa pasang surut ternyata mampu meningkatkan pendapat petani secara signifikan (Rasmadi 2007; Noor et.al. 2007). Walaupun secara nasional tingkat produktivitas ini tergolong rendah, tetapi jika ditinjau dari aspek kondisi lahannya yang bersifat marjinal kondisi ini justeru menunjukkan bahwa dengan segala keterbatasan sumberaya alam yang ada, petani setempat mampu memanfaatkannya untuk keberlanjutan kehidupan mereka.

(27)

era globalisasi. Hal ini juga terkait dengan eksistensi pengetahuan lokal itu sendiri ketika sains dan teknologi modern dalam bidang pertanian dianggap sebagai jawaban atas permasalahan pangan umat manusia saat ini dan di masa mendatang.

1.2 Perumusan Masalah

Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat berkembang sebagai proses adaptif terhadap kondisi lingkungan sekitar. Lahan rawa pasang surut yang dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan pertanian berpengaruh terhadap pembentukan sistem pengetahuan mereka. Melalui pengalaman dan berbagai percobaan yang bersifat trial and error mereka akhirnya mampu menyesuaikan dengan kondisi spesifik tersebut. Kemampuan adaptasi terhadap kondisi setempat membuat pengetahuan lokal ini mampu bertahan dalam kehidupan petani di pedesaan Kalimantan Selatan. Sifat spesifik lahan lahan rawa pasang surut yang memerlukan penanganan khusus serta varietas padi yang adaptif untuk kondisi tersebut telah menjadikan pengetahuan lokal tersebut sebagai aset yang sangat berharga dalam praktik-praktik pertanian padi di pedesaan Kalimantan Selatan.

Sistem pertanian yang didasarkan atas pengetahuan lokal ini terbukti ramah lingkungan dan mampu menjaga kestabilan ekosistem di lahan rawa pasang surut, tetapi dari sisi produktivitas padi yang dihasilkan masih tergolong rendah (berkisar antara 1,8-3,1 ton/ha). Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan pangan, terutama yang berasal dari padi mendorong pemerintah memacu produksi padi di lahan-lahan marjinal seperti lahan rawa pasang surut melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas. Introduksi teknologi pertanian modern yang dilakukan ternyata berdampak terhadap kerusakan ekologis dan sosial.

(28)

produksi yang memang tidak bisa mereka buat atau ciptakan sendiri (seperti pupuk organik, pestisida dan benih unggul).

Introduksi berbagai benih varietas unggul nasional yang dianggap memiliki potensi produktivitas tinggi untuk menggantikan varietas lokal ternyata bukan hanya berdampak pada perubahan sistem pengelolaan sawah di lahan rawa pasang surut tetapi juga berbagai pengetahuan lokal masyarakat yang terbukti mampu beradaptasi dengan kondisi spesifik tersebut. Hilangnya sejumlah varietas lokal yang adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat serta pengetahuan petani tentang varietas tersebut dan teknik budidayanya merupakan kehilangan yang besar dalam hal pengetahuan lokal. Menurut Noor (2004) jumlah varietas padi lokal di lahan rawa pasang surut mencapai ratusan, tetapi kini varietas lokal yang masih ditanam hanya seperti Siam, Unus, Pandak, dan Bayar. Dengan kata lain, introduksi sistem pertanian modern yang berbasiskan bahan-bahah kimia dan mekanisasi pertanian telah mengancam eksistensi pengetahuan lokal yang telah menyatu dalam sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut.

Di sisi lain, pengetahuan lokal juga memiliki keterbatasan dalam menghadapi tantangan globalisasi, tekanan penduduk dan peningkatan kebutuhan masyarakat. Hanya berharap dengan pengetahuan lokal saja untuk pengembangan pertanian bukanlah hal yang dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut. Menurut Durning (1995), pengetahuan lokal ini juga bersifat rawan terhadap tekanan-tekanan ekonomi, teknologi modern yang merambah cepat, serta pertumbuhan penduduk yang cepat. Ini berarti diperlukan suatu model kombinasi antara pengetahuan lokal dengan sains dalam suatu perpaduan yang harmonis dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

(29)

pertanian modern saat ini?” Untuk menelaah permasalahan ini maka disusun pertanyaan penelitian yang bersifat khusus, yakni :

1. Bagaimana komunitas petani padi sawah di lahan rawa pasang surut mengembangkan sistem pengetahuan lokal dari dulu hingga sekarang terutama dalam menghadapi era modernisasi pertanian?

2. Bagaimana terjadinya proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal komunitas petani padi sawah di lahan rawa pasang surut?

3. Bagaimana sistem sosial merespon terjadinya kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis eksistensi pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut ketika berkontestasi dengan sains yang menjadi basis dalam pertanian modern saat ini. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Menganalisis sejarah pengembangan sistem pengetahuan lokal, termasuk sejarah lokal perkembangan pertanian padi sawah di lahan rawa pasang surut.

2. Menganalisis proses kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal. 3. Menganalisis respon sistem sosial terhadap kontestasi antara sains dengan

pengetahuan lokal.

1.4 Manfaat Penelitian

(30)

produksi padi dalam mengatasi tantangan kebutuhan pangan yang semakin meningkat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan dalam studi pengetahuan lokal petani yang memiliki dimensi luas, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut :

1. Pengetahuan lokal petani yang dikaji meliputi pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian dalam arti luas.

2. Secara spesifik, kasus ini mengkaji pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut pada empat tipe luapan air pasang, yakni lahan rawa pasang surut tipe A, B, C dan D.

3. Modernisasi pertanian mencakup berbagai program pemerintah untuk mengembangkan usahatani padi di lahan rawa pasang surut yang terutama kegiatan intensifikasi pertanian melalui teknologi benih unggul dan mekanisasi pertanian.

1.6 Kebaruan (Novelty)

Kebaruan dari penelitian ini menyangkut topik dan metode penelitian yang digunakan. Topik penelitian tentang proses pembentukan pengetahuan lokal petani serta kontestasinya dengan sains di bidang pertanian, khususnya di lahan rawa pasang surut belum pernah dilakukan. Proses pembentukan pengetahuan lokal ini dianalisis hingga membentuk sebuah anatomi pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal memberikan analisis kritis tentang eksistensi pengetahuan lokal dalam menghadapi era modernisasi dan globalisasi saat ini. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan hanya terbatas pada identifikasi bentuk-bentuk kearifan lingkungan dalam praktik-praktik pertanian di lahan rawa pasang surut seperti disajikan pada Tabel 1.

(31)

Jayapura Provinsi Papua. Penelitian tentang pengetahuan lokal juga dilakukan oleh Prasodjo (2005) yang mencoba menganalisis kaitannya dengan tatapemerintahan dan desentralisasi perngelolaan sumberdaya alam. Penelitian di wilayah lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dilakukan oleh A. Jumberi dan A. Supriyo (2007) terkait dengan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam budidaya padi serta penelitian Noorginayuwati, A.Rafieq, M.Noor, dan A. Jumberi tentang karifan budaya lokal dalam pemanfaatan gambut untuk pertanian. Penelitian yang dilakukan ini juga terkait erat dengan yang telah penulis teliti pada tahun 2000 yang memfokuskan pada bentuk-bentuk kearifan budaya dan analisis tingkat pengelolaan lingkungan hidup oleh petani suku Banjar di lahan rawa pasang surut Kabupaten Barito Kuala.

Tabel 1. Topik dan paradigma penelitian yang digunakan dalam beberapa penelitian terkait dengan pengetahuan lokal

Peneliti Tahun Topik Pendekatan

paradigma Taufik Hidayat 2000 Kearifan budaya dalam

pengelolaan LRPS

Postpositivis

M. Shohibuddin, 2003 Artikulasi kearifan tradisional dalam pengelolaan SDA

Konstruktivis

W. Yorisetou 2003 Bentuk pengetahuan lokal masyarakat pesisir

Konstruktivis

N.W Prasodjo 2005 Pengetahuan lokal kaitannya dengan tatapemerintahan dan

2007 Bentuk-bentuk kearifan budaya lokal dalam budidaya padi di lahan rawa paang surut

Konstuktivis

Noorginayuwati, A.Rafieq,

M.Noor, dan A. Jumberi

2007 Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan gambut

Konstuktivis

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Sistem Sosial dengan Ekosistem

Hubungan manusia dengan alam terbentuk sebagai upaya manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup dan mempertahankan eksistensinya melalui eksploitasi terhadap alam. Eksploitasi atas sumberdaya alam ini telah berlangsung selama ribuan tahun, dan manusia dengan kemampuan ilmu pengetahuannya juga semakin merasa berkuasa atas alam. Pada kondisi seperti ini berkembanglah hubungan dominasi manusia atas alam dan sebagai penyedia segala kebutuhan manusia alam dianggap tidak memiliki otonomi sedikitpun untuk mengatur dirinya sendiri. Bahkan pada perkembangan selanjutnya manusia semakin berupaya untuk meningkatkan dominasinya terhadap alam. Meningkatnya berbagai kerusakan dan bencana alam yang mengancam eksistensi kehidupan umat manusia telah memunculkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Pandangan bahwa lingkungan juga mempunyai hak-hak untuk mengatur hidupnya sendiri dan eksploitasi yang berlebihan terhadap alam justeru dapat berdampak negatif bagi semua kehidupan mendorong berkembangnya pandangan ecocentric globality. Pandangan ini menganggap perlunya upaya-upaya mempertahankan bumi tanpa kompromi dari aktivitas degradatif yang berlanjut (Duarte 2001).

(33)

manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling tinggi kedudukannya di muka bumi ini mempunyai kewajiban utama untuk menjaga kelestarian ekosistem tersebut.

Terkait dengan adanya dikotomi antara masyarakat modern dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, masyarakat lokal dianggap lebih mengetahui kondisi lingkungannya secara lebih baik. Mereka mengatur dan mengelola alam dengan cara yang mereka anggap sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menggunakan rasionalitas dengan caranya sendiri yang dalam pandangan masyarakat modern sering dianggap tidak rasional. Dalam pandangan mereka terdapat hubungan saling ketergantungan antara manusia dan alam/lingkungan dan menganggap bahwa alam merupakan dunia kehidupan bagi mereka, sehingga merusak alam berarti merusak kehidupan mereka (Little 2000). Oleh karena itu dalam segala tindakannya selalu mengarah pada strategi bertahan hidup dan hidup selaras dengan alam. Pemaknaan terhadap alam dengan cara demikian melahirkan bentuk pengetahuan yang disebut pengetahuan lokal (local knowledge).

2.2 Sistem Sosial dan Ekosistem Petani Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa pasang surut merupakan wilayah yang tergenang dan berhubungan dengan adanya pengaruh pasang surut tinggi muka air laut. Lahan rawa pasang surut umumnya berada pada daerah dataran, dimana air pasang surut masih cukup mempunyai pengaruh terhadap tinggi rendahnya permukaan air di daerah tersebut (Suhardjono 1994).

Widjaja Adhi (1986)

mengelompokkan lahan pasang surut menjadi empat tipologi utama

menurut macam dan tingkat masalah fisiko-kimia tanahnya, yaitu : (1)

lahan potensial, (2) lahan sulfat masam (bisa berupa sulfat masam

potensial dan sulfat masam aktual, (3) lahan gambut (bisa berupa lahan

bergambut, gambut dangkal, gambut sedang, gambut dalam dan gambut

sangat dalam), dan (4) lahan salin. Selain pembagian menurut tipologi di

atas, lahan rawa pasang surut juga dibedakan menurut tipe luapan

airnya.

Berdasarkan tipe luapan atau jangkauan air pasang, lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi empat tipe, yakni (Suhardjono 1994; Noor 1996): a) Tipe A , yakni lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar

(34)

b) Tipe B, yakni lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar.

c) Tipe C, yakni lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar. Air pasang mempengaruhi secara tidak langsung, air tanah berada dekat permukaan tanah kurang dari 50 cm.

d) Tipe D, yakni lahan yang tidak terluapi air pasang dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari permukaan tanah.

Menurut Noor (1996) hampir semua lahan rawa pasang surut yang terdapat di Kalimantan, Sumatera, dan Irian Jaya mempunyai faktor pembatas berupa kendala tata air yang sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan lahan yang rendah. Sifat kimia tanah berupa kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0 - 4,5), kahat hara makro, pada lahan gambut kahat hara mikro (Cu dan Zn), adanya ion atau senyawa yang meracuni (Al, Fe, dan SO4), dan bahan organik

atau gambut yang mentah merupakan faktor yang menghambat bagi pertumbuhan tanaman. Kendala dan faktor pembatas ini berupa tata air yang sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan lahan yang rendah akibat adanya tanah sulfat masam dan gambut (Sarwani 1994; Noor 1996; Widjaya Adi 1997). Karena itulah, memanfaatkan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian membutuhkan ketekunan dan usaha yang sungguh-sungguh.

Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian merupakan salah satu bentuk adaptasi masyarakat petani terhadap kondisi biofisik lahan rawa pasang surut yang spesifik. Proses ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan telah melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Melalui pengalaman dan berbagai uji coba (trial and error) dalam menangani kendala dan keterbatasan lahan rawa pasang surut, para petani mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dan hidup selaras dengan alam. Petani setempat juga mengembangkan kelembagaan sosial spesifik sebagai bentuk adaptasi sistem sosial dengan ekosistem terutama dalam upaya mengatasi kendala pengaturan tata air. Kondisi seperti inilah yang digambarkan oleh Marten (2001) sebagai bentuk koadaptasi (fitting together) antara sistem sosial dengan ekosistem.

(35)

menyesuaikan dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut. Terbentuknya kelompok handil merupakan bentuk adaptasi sistem sosial agar mereka mampu menjalin kerjasama dalam mengelola lahan tersebut. Kelompok petani yang tergabung dalam suatu handil ini selanjutnya berkembang sebagai sebuah kelembagaan sosial yang bukan hanya mengatur aspek-aspek teknis dalam bidang pertanian, tetapi juga nilai dan norma kehidupan petaninya.

Koadaptasi antara sistem sosial dengan ekosistem lahan rawa pasang surut juga terlihat dalam model pengelolaan lahan yang berbeda pada masing-masing tipe luapan lahan. Pengembangan pola usahatani yang mengarah pada sistem tanaman campuran antara padi dengan tanaman tahunan (multiple cropping) dengan sistem surjan (tembokan) merupakan suatu bentuk pengetahuan mereka dalam upaya mengurangi resiko kegagalan dalam usahatani. Sistem tanaman campuran antara padi dengan tanaman kelapa merupakan model dominan di lahan rawa pasang surut tipe A, sedang di tipe B dan C tanaman tahunannya seperti jeruk, rambutan dan mangga (Hidayat 2000; Suhardjono 1994).

Faktor lainnya menyangkut penanganan gambut, yang memiliki kandungan bahan organik tinggi dan selalu dijenuhi air. Gambut memiliki sifat khas yakni ’kering tak balik’ dan penyimpan air yang besar. Artinya apabila terjadinya drainase berlebihan akan menyebabkan hilangnya kemampuan daya dukung gambut bagi pertanian dan sebagai penyuplai air yang besar bagi pertanian sekitarnya (Hardjowegeno 1997; Azwar 1997). Berdasarkan hal ini, petani setempat sangat berhat-hati dalam menangani lahan yang mengandung gambut dan tidak melakukan pembakaran habis lapisan gambut tersebut. Pengelolaan lahan sawah dilakukan dengan menanam padi lokal yang toleran dan telah beradaptasi dengan kondisi ekosistem setempat. Padi varietas lokal ini umumnya berumur panjang (9-11 bulan) dan produksi yang relatif rendah (2-3 ton/ha) tetapi rasa nasinya sesuai dengan selera masyarakat setempat.

(36)

kelangsungan hidupnya dalam mengatasi berbagai kendala dan faktor pembatas di lahan rawa pasang surut.

2.3 Pengetahuan Lokal

2.3.1 Makna Pengetahuan Lokal

Menurut Forsyth (2004), makna lokal dalam pengertian pengetahuan lokal merujuk pada pengetahuan yang dibatasi ruang dalam suatu wilayah tertentu, atau mungkin juga didasarkan pada aspek budaya dan etnis tertentu. Ini berarti bahwa pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang secara khusus terikat dengan orang atau tempat tertentu. Menurut Chamber (1987), pengetahuan lokal sering juga disebut sebagai ilmu rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang menggunakan istilah ilmu pengetahuan teknis asli. Tidak ada definisi tunggal tentang terminologi pengetahuan lokal (local knowledge). Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti : pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan tradisional (traditional knowledge), pengetahuan teknis yang berasal dari pribumi (indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge system). Beberapa pengertian dari masing-masing terminologi ini antara lain (Muyungi and Tillya 2003) :

a. Vlaenderen (1999) menggambarkan indigenous knowledge sebagai suatu koleksi gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk memandu, mengendalikan dan menjelaskan tindakan-tindakan di dalam suatu pengaturan yang spesifik berdasar pada sistim nilai (religi dan kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib) dan epistemologi. Ia selanjutnya juga memberikan tentang pengertian indigenous knowledge system sebagai pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat asli/pribumi dengan cara yang sistematis.

(37)

c. Kajembe (1999) mendeskripsikan indigenous technical knowledge meliputi pengetahuan tentang perkakas dan teknik-teknik untuk penilaian/penaksiran, kemahiran, perubahan bentuk dan pemanfaatan sumber daya yang spesifik untuk lokasi tertentu.

Terkait dengan karakteristik pengetahuan lokal ini, Ellen and Bicker (2005) menyebutkan beberapa hal, diantaranya :

a) merupakan sekumpulan pengalaman, dan berakar serta dihasilkan oleh orang-orang yang tinggal pada suatu tempat tertentu

b) ditransmisikan secara oral, melalui peniruan dan demontrasi

c) merupakan konsekuensi dari praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari dan terus menerus serta diperkuat melalui pengalaman dan trial and error d) cenderung empiris daripada pengetahuan teoretis dalam arti sempit. e) pengulangan merupakan ciri khas dari tradisi, bahkan ketika pengetahuan

baru ditambahkan.

f) selalu berubah, diproduksi serta direproduksi, ditemukan juga hilang, sering direpresentasikan sebagai sesuatu yang statis

g) bersifat khas

h) terdistribusi tidak merata secara sosial i) bersifat fungsional

j) holistik, integratif dan terdapat di dalam tradisi budaya yang lebih luas

Sistem pengetahuan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan keputusan, yang diterapkan melalui organisasi-organisasi lokal, dan menyediakan pondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem pengetahuan lokal berupa keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui "tradisi-tradisi lisan" dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi. Oleh karena itulah dalam pandangan Kalland (2005), pengetahuan lokal sebenarnya bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris (menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik (pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial).

(38)

lokal melalui akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang pengetahuan lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan). Menurut Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan dialektika diperlukan untuk memahami tentang pengetahuan lokal ini karena pengertian ‘benar’ dan ‘salah’ haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal tersebut Warren dan Rajasekaran (1993), menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat.

Dalam konteks antropologi, Wahyu (2007) menggunakan konsep kearifan lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Dengan kata lain, merupakan pengetahuan lokal yang unik, berasal dari budaya masyarakat setempat serta menjadi dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan lokal meliputi tradisi-tradisi dan praktik-praktik sudah berlangsung lama dan berkembang di wilayah tertentu, asli berasal dari tempat tersebut atau masyarakat-masyarakat lokal yang terwujud dalam kebijaksanaan, pengetahuan, dan pembelajaran masyarakat. Dalam banyak hal pengetahuan lokal ini disampaikan antar generasi secara lisan dari orang ke orang dan dapat berbentuk kisah-kisah, legenda-legenda, dongeng-dongeng, upacara agama, lagu-lagu, dan bahkan hukum.

2.3.2 Perkembangan Pengetahuan Lokal

(39)

bahwa pengetahuan masyarakat tentang lingkungan lokalnya berkembang dari pengalaman sehari-hari. Berdasarkan sistem pengetahuan lokal ini, kebudayaan mereka beradaptasi dan berkembang dalam menjawab berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi. Kedalaman penghayatan masyarakat tradisional terhadap prinsip-prinsip konservasi alam tercermin dari sistem budaya dan sosial mereka yang memiliki rasa hormat kepada alam sehingga menjadi bagian darinya. Prinsip ini juga tercermin dalam perangkat sistem pengetahuan dan daya adaptasi penggunaan teknologi yang sesuai dengan kondisi alam serta nilai distribusi dan pengalokasian hasil alam yang menjamin kepuasan kepada semua pihak tanpa berlebihan. Melalui sifat dinamis dari pengetahuan lokal ini, masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di dalam lingkungan mereka dan menyerap dan mengasimilasi gagasan-gagasan dari bermacam sumber yang berbeda.

Pengetahuan lokal berkembang dari kemampuan masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti pandangan teori koevolusi (coevolution) yang menyatakan bahwa pengetahuan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah dan umat manusia. Teori koevolusi menunjukkan bagaimana sistem sosial (terutama sistem pengetahuan), dan ekosistem saling berhubungan, dan bagaimana mereka mempengaruhi satu sama lain (FAO 2004). Terkait dengan koevolusi antara sistem sosial dan ekosistem dari pertanian tradisional ke arah pertanian modern digambarkan oleh Marten (2001) sebagai perubahan bersama (changing together) kedua sub sistem tersebut dalam menanggapi proses modernisasi. Perubahan dalam sistem sosial, terutama pengetahuan lokal masyarakat terjadi sebagai tanggapan atas perubahan pada sistem pertanian, seperti perubahan dari sistem pertanian polikultur menjadi monokultur, skala usaha dan orientasi produksi, mekanisasi, serta pandangan tentang dunia pertanian sebagai sebuah bisnis (agribisnis).

(40)

memiliki kearifan (farmerwisdom) tertentu dalam mengelola sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat (Mulyoutami dkk. 2007)

Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal (Mulyoutami dkk. 2007). Banyak praktik sistem pertanian lokal yang dapat memberikan ide potensial dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya secara lestari. Petani mengembangkan pengetahuan baru dari pengetahuan dasar yang sudah mereka miliki ditambah dengan masukan eksternal. Apabila ada inovasi baru yang diperkenalkan kepada petani, maka mereka akan melakukan serangkaian penelitian sederhana untuk menguji efektivitas dan manfaat dari inovasi baru tersebut. Berdasarkan uji-coba yang mereka lakukan, kemudian mereka membuat keputusan apakah akan menerapkan inovasi baru tersebut atau tidak. Jika hasilnya seperti yang mereka harapkan maka mereka akan mengadopsi pengetahuan tersebut. Untuk memantapkan keberlanjutan pengembangan pengetahuannya, masyarakat dapat menyerap pengetahuan luar, memahaminya, dan menginterpretasikannya serta menyesuaikan dengan kebutuhan lokal dan selanjutnya menghasilkan pengetahuan lokal yang bersesuaian dengan hal tersebut. Oleh karena itu menurut Hans-Dieter Evers dan Gerke (2003), dalam interaksi dengan pengetahuan luar maka akan terjadi penyesuaian dengan persyaratan-persyaratan lokal sehingga menjadi suatu pengetahuan yang dapat diterima oleh masyarakat. Proses ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

(41)

Kabupaten Simeulue sebagai sebuah organisasi lokal berfungsi sebagai pengatur masalah pertanian dan mediator antara petani dengan pemerintah untuk mengangkat permasalahan lokal dalam kebijakan pembangunan daerah. Hal ini bertujuan agar pembangunan pertanian yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerah.

Adanya mekanisme kerja yang tumpang tindih antara sistem dan kelembagaan sosial lokal dengan kelembagaan sosial modern, misalnya antara sistem pemerintahan desa dengan pemerintahan adat dapat menyebabkan terjadinya konflik. Menurut Achadiyat (1995), konflik ini dapat dihindarkan melalui penggabungan subsistem-subsistem dalam masyarakat ke dalam suatu kesatuan yang utuh (crafting institutions), yaitu menjalin hubungan sosial menjadi satuan yang utuh. Upaya-upaya ini dapat berupa penggabungan institusi-institusi lokal dengan institusi-institusi yang berlaku dalam kehidupan bernegara. Senada dengan hal tersebut, Kusumaatmadja (1995) menyatakan bahwa untuk menjembatani agar pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat berfungsi dalam kehidupan modern salah satunya dengan membuat padanan organisasi-organisasi adat dengan organisasi modern.

2.3.3 Kendala Pengembangan Pengetahuan Lokal

Ketika munculnya dikotomi antara tradisional dengan modern, maka sebenarnya terdapat pandangan yang berbeda mengenai alam. Bagi masyarakat tradisional umumnya mereka menganut pikiran harmoni dengan alam sekitar, sedangkan masyarakat modern dibentuk oleh jalan pikiran yang menyatakan bahwa manusia mempunyai hak untuk memanipulasikan dan mengubah alam. Sistem pengetahuan lokal sebagai bagian dalam kehidupan masyarakat tradisional sering diabaikan atau dianggap jelek oleh agen perubahan yang mengintrodusir inovasi. Kepercayaan yang kuat terhadap keuntungan relatif dari ide baru sering membimbing para teknokrat untuk berasumsi bahwa dalam kenyataan praktis mereka dapat menanggulangi untuk mengatasi berbagai kekurangan tersebut. Padahal dalam kenyataannya berbagai inovasi tersebut diambil atau diperoleh dari praktik-praktik dalam kehidupan masyarakat tradisional (Rogers 2003).

(42)

karakteristik dasar antar kedua jenis pengetahuan tersebut. Agrawal (1995) melihat perbedaan ini baik dari aspek substansi, metodologis dan kontekstual. Secara substansi pengetahuan lokal dalam kehidupan masyarakat sangat terkait dengan adaptasi mereka untuk hidup berinteraksi dengan alam dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan sains lebih menekankan pada konstruksi dan eksplanasi atas fenomena yang terjadi secara global. Secara metodologis jelas tergambar bahwa pengetahuan lokal berkembang melalui pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam sehingga lebih banyak menggunakan cara trial and error dan tidak berdasarkan logika deduktif, lebih holistik daripada analitis, nonsistematis, dan relatif tertutup. Sains justru sebaliknya diperoleh melalui kerangka ilmiah yang objektif analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus sebelumnya, sistematis, dan terbuka. Secara kontekstual pengetahuan lokal sangat terkait dengan kondisi lingkungan sosial biofisik dengan konteks spesifik lokal, sedangkan sains atau sains lebih menekankan pada pengetahuan global dengan batasan-batasan epistemologi dalam mencapai validitasnya secara universal.

Pengaruh luar terhadap masyarakat tradisional di Indonesia mencapai puncaknya ketika bangsa Indonesia menerapkan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Dove (1985), pembangunan di Indonesia diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai keterbelakangan, termasuk kebudayaan tradisional yang dipandang sebagai penghalang proses pembangunan. Pada konteks ini pembangunan diartikan sebagai modernisasi, sehingga semua yang tradisional harus disingkirkan Padahal menurut Dove (1985), budaya tradisional tidak harus ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan atau modernisasi, tetapi dalam batas-batas tertentu dapat berperan positif untuk mendorong terjadinya laju modernisasi di dalam kehidupan masyarakat

(43)

pembangunan yang serba sama dan tersentralistik mungkin benar diperlukan untuk mendukung kelancaran tugas birokrasi. Namun campur tangan negara yang cenderung otoriter dan bersifat sangat sentralistis dalam pelaksanaan kebijaksanaan dikhawatirkan di saat yang bersamaan juga akan melahirkan berbagai masalah. Upaya penyeragaman kegiatan pembangunan nasional yang melalaikan eksistensi adat istiadat, kepercayaan, dan budaya lokal cenderung akan menimbulkan ketegangan daripada kelancaran pelaksanaannya. Bahkan menurut Sundar (2005), pengetahuan mereka akan terpinggirkan oleh retorika pembangunan melalui proses sosial ekonomi.

Perspektif klasik pembangunan yang mendasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan hanya akan berlangsung kalau masyarakat desa dipenetrasi dari luar, yaitu dari kota, sektor industri atau dari sektor modern lainnya (Maliki 1999). Pembangunan atau modernisasi dalam hal ini dilihat sebagai proses yang berasal dari luar, yakni dari kota atau sektor modern. Desa digambarkan sebagai kelompok tradisional sehingga dengan demikian ditempatkan sebagai pihak yang harus menerima kekuatan perubahan. Masyarakat desa secara konstan ditempatkan sebagai masyarakat statik, marginal dan didominasi oleh kekuatan negara. Oleh karena itu dalam pandangan Fakih (1995), proses bagaimana modernisasi berhadapan dengan tradisi adalah proses penjinakan dan dominasi. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan dalam konteks modernisasi melahirkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi ternyata juga disertai berbagai persoalan kesenjangan bagi masyarakat di pedesaan. Keberhasilan modernisasi pertanian ternyata tidak banyak dinikmati oleh masyarakat petani di pedesaan, melainkan justru dinikmati oleh mereka yang terlibat proyek industrialisasi substitusi impor (Maliki 1999). Bahkan dalam perkembangannya tidak mengubah bargaining position para petani, baik secara ekonomi maupun politik dan petani tetap saja diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, tidak siap menerima inovasi.

Gambar

Tabel 1.   Topik dan  paradigma penelitian yang digunakan dalam beberapa penelitian terkait dengan pengetahuan lokal
Tabel 2  Pertautan antara  ilmu pengetahuan dan kepentingan
Gambar 1   Kerangka pemikiran studi pengetahuan lokal.
Tabel 4 Perkembangan penanaman  padi sawah di Kalimantan Selatan  periode 1995-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan lima varietas lokal lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan yang akan diradiasi untuk mendapatkan mutan yang berumur lebih pendek

Faktor lain yang juga turut berpengaruh adalah banyaknya kegiatan penelitian dan uji coba sistem pertanian modern dengan pola terpadu di lahan rawa pasang surut tipe yang

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi optimalisasi produksi padi di lahan rawa pasang surut melalui perbaikan teknik budidaya dengan pendekatan penggunaan

Di Kalimantan Selatan terdapat lahan sawah pasang surut yang cukup luas, namun sebagian besar masih ditanami dengan padi varietas lokal. Eksistensi padi varietas

Beberapa jenis temak ruminansia terutama sapi dan unggas terbukti cocok dikembangkan di wilayah lahan rawa pasang surut dengan dukungan sumber daya lokal berupa pakan hijauan,

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi pada lahan pasang surut dan tingkat efisiensi teknis serta

Modal sosial berperan sangat penting dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya pada pertanian di lahan rawa pasang surut yang berkelanjutan dan dapat diterapkan di

Pada penelitian ini berdasarkan hasil uji t-student menunjukan bahwa pertumbuhan lilit batang dan produksi tanaman karet di lahan rawa pasang surut nyata lebih tinggi pada