REHABILITASI SAWAH RAWA PASANG SURUT SULFAT MASAM AKTUAL DENGAN PEMBERIAN AMELIORAN, SALURAN CACING DAN
EMPAT VARIETAS PAD1 (Oms
sativa,
L )Oleh:
SINTO R. NOEHAN
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
SINTO R. NOEHAN. The Rehabilitation of Actual Acid Sulphate Soils of Tidal Swamp Rice Fields by Using Ameliorant, Intensive Shallow Drainage System and Four Rice (Olyza sativa, L.) Varieties. Under supervision of Amris Makmur, Sri Setyati Ha jadi, Didy Sopandie, Hajrial Aswidinnoor, A. Syarifuddin Karama and IPG Widjaja-Adhi.
Many sulphate acid tidal swamp rice fields are abandoned by farmers.
The main constraint of sulphate acid soils for agriculture is soil acidity
(pH <3.5), low nutrient content, iron and sulphate toxicity from the oxidation of
pyrite. Some approaches to rehabilitate the rice fields are through soil
amelioration, apropriate water management and improved agronomic practices
of rice. The objective of this research is to study the methods to rehabilitate rice
soils in sulphate acid tidal swampland through soil amelioration with dolomite
and rock phosphate, the use of intensive shallow drainage system and the
cultivation of four rice varieties.
The results of this study showed that rehabilitation of rice soils in
sulphate acid tidal swampland areas through the use of ameliorant (dolomite
and rock phosphate) was the best which resulted in rice production in the
planting season 1 higher than the average of rice production in the Province of
Central Kalimantan. Without ameliorant, rehabilitation of rice soils in the type C
swampland, resulted in very low productivity during both planting season 1 and
planting season 2, and in the type B swampland during planting season 1.
Ameliorant increases Mg content of soil, P and K content of leaves, decreases
Fe content of soil in the type B swampland. In the type C swampland, the
ameliorant increases P-potential, K-potential, available P, Ca and Mg, Cation
Exchange Capacity, Base Saturation, decreases Fe content of soil. The soil
soil was still high, improvement in the root zone area had been progressed, as
shown by better growth and yield of the rice plants.
The low rice yield in the type C swampland compared to type B
swampland was mostlikely due to a difference in water supply between the two
locations. The second planting was grown in the dry season. During that
season, the water supply in type C swampland location was mainly from rain
water, whereas in type B swampland location the supply was not only from
rainwater but also from the high tidal waves. The main constraint in the type B
swampland location was iron toxicity, while in the type C swampland location
was shortage of water supply. The other contributing difference was the depth
of pyrite layer. In the type B swampland location, the site of pyrite is shallow
i.e. 20
-
40 cm from soil surface, whereas in type C swampland location isdeeper, 60 - 80 cm from the surface. Therefore, it is recommended that in the
type B swampland location, land preparation is minimum tillage, whereas in the
type C swampland location deep ploughing could be applied.
Appropriate water management will prevent oxydation of pyrite and if the
oxydation occured the materials will be leached out through intensive shallow
drainage system. For soil with high pyrite content, the most densed canals
(3 m) is the most effective in reducing soil Fe and fero ion in the water, leading
to the best improvement of growth and yield of the rice plant.
Rice varieties shows differential adaptation to different type swampland
location. The most adaptive variety for type B swampland is Banyuasin, while
for type C swampland is Lalan. Adaptation of rice variety has shown a sufficient
K content of the leaves, whereas for non adaptive. Siam Unus variety has a
of ameliorant and rice variety resulted in further improvement of agronomic and
physiological charateristics of the rice plants and resulted the best combination
in increasing the rice yield under iron stress. The interaction of ameliorant and
intensive shallow drainage system increased the grain weight per hill, Ca leave
content, and improved soil characteristics. The interaction of intensive shallow
drainage system and rice variety under high Fe stress only increased the
number of productive tiller. Rice varieties that tolenrant to Fe, showed low Fe
toxicity scoring and long roots and high agronomicly characters. The result of
the plant planed input-output of duwitripa showed higher income than traditional
ABSTRAK
SINTO R. NOEHAN. Rehabilitasi Sawah Rawa Pasang Surut Sulfat Masam Aktual Dengan Pemberian Amelioran, Saluran Cacing dan Empat Varietas Padi (Oryza sativa, L.). Dibawah bimbingan Amris Makmur, Sri Setyati Ha jadi, Didy Sopandie, Hajrial Aswidinnoor, A. Syarifuddin Karama, dan
IPG
Widjaja-Adhi.Banyak lahan sawah rawa pasang surut sulfat masam aktual yang
ditinggalkan terlantar oleh petani. Kendala utama tanah sulfat masam aktual
untuk pertanian adalah tingginya kemasaman tanah (pH
<3.5),
rendahnyakadar hara serta keracunan besi dan sulfat akibat teroksidasinya pirit.
Salah satu pendekatan untuk merehabilitasi lahan sawah pada tanah sulfat
masam rawa pasang surut yang sudah menjadi lahan bongkor adalah dengan
ameliorasi tanah, menerapkan teknik pengelolaan air dan teknik budidaya
tanaman padi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari cara rehabilitasi
sawah rawa pasang surut sulfat masam yang terlantar antara lain dengan
pemberian amelioran, penggunaan saluran cacing dan empat varietas padi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi sawah rawa pasang surut
sulfat masam yang paling baik adalah dengan penggunaan amelioran (dolomit
dan fosfat alam) yang tidak hanya dapat menghasilkan gabah pada MT1,
bahkan hasilnya melebihi rata-rata produksi padi sawah propinsi Kalimantan
Tengah. Tanpa amelioran, rehabilitasi sawah pada lokasi tipe luapan C
menghasilkan gabah sangat rendah (gagal panen) pada MTl dan MT2,
sedangkan gagal panen pada lokasi tipe luapan B hanya te qadi pada MTl saja.
Pemberian amelioran dolomit atau fosfat secara tunggal kurang efektif untuk
merehabilitasi sawah pada MTl. Perbaikan sifat-sifat tanah sudah terjadi sejak
perbaikan lingkungan perakaran sehingga tanaman padi mampu mencapai
pertumbu han dan hasil yang cukup tinggi. Pemberian amelioran meningkatkan
Mg tanah dan kandungan PI K daun, serta menurunkan kandungan Fe tanah
untuk lokasi tipe luapan B, sedangkan untuk tipe luapan C meningkatkan P-
potensial, K-potensial, PI Ca, Mg, KTK dan KB, serta menurunkan kandungan
Fe tanah.
Rendahnya hasil gabah pada tipe luapan C dibanding tipe luapan B
kemungkinan disebabkan oleh ketersediaan air yang berbeda antara kedua
lokasi tersebut. Penanaman MT2 dilakukan pada musim kemarau. Pada lokasi
tipe luapan C hanya mendapatkan air yang berasal dari hujan, sedangkan untuk
tipe luapan B selain dari air hujan juga dari air pasang besar. Perbedaan
lainnya adalah kedalaman letaknya pirit. Pada tipe luapan B, letak pirit
dangkal 20-40 cm dibawah permukaan tanah, sedangkan pada tipe luapan C
pada kedalaman 60-80 cm. Oleh karena itu pada lokasi tipe luapan B
sebaiknya menerapkan cara olah tanah minimum (OTM) dan pada tipe luapan C
boleh dilakukan olah tanah bajak dalam.
Pembuatan saluran cacing mempercepat proses pencucian
/
pengurangan kandungan Fe tanah dan ion fero air tanah, memperbaiki
lingkungan perakaran sehingga tanaman padi mampu mencapai pertumbuhan
dan hasil yang cukup tinggi. Oleh karena tanah tetap dalam keadaan anaerob,
maka penggunaan jarak saluran cacing yang paling rapat (3 m) paling efektif
mencegah proses oksidasi pirit dan mengendalikan keracunan besi.
Varietas padi yang paling adaptif untuk tipe luapan B adalah Banyuasin,
lokasi tipe luapan B dan tipe luapan C memiliki sifat-sifat fisiologi berbeda.
Varietas padi yang adaptif memilki serapan K cukup, sebaliknya yang kurang
adaptif memiliki serapan K rendah. Varietas Siam Unus memilki serapan K
cukup pada lokasi tipe luapan B dan tipe luapan C. Varietas padi tenggang Fe
menunjukkan skor gejala keracunan Fe lebih rendah dan akar yang lebih
panjang dibanding varietas padi peka Fe, penampilan agronomi (jumlah anakan
produktif, persentase gabah isi, bobot gabah per rumpun dan hasil) lebih tinggi.
Varietas padi berinteraksi dengan amelioran. Semua varietas padi dengan tanpa
amelioran menghasilkan gabah paling rendah, dan tinggi pada amelioran
lengkap dolomit dan fosfat alam. Namun bila diberi dolomit saja atau fosfat
alam saja, maka varietas Banyuasin di tipe luapan B dan varietas Lalan di tipe
luapan C mampu menunjukkan hasil gabah yang cukup tinggi. Berdasarkan
hitungan masukan-hasil, maka sistem tanam Duwitripa dapat meningkatkan
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang be judul :
"Rehabilitasi Sawah Rawa Pasang Surut Sulfat Masam Aktual Melalui Pemberian
Amelioran, Saluran Cacing dan Studi Agronomi Empat Varietas Padi (Oryza
sativa, L.)".
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
15
pril 2003 /P
Yan buat pernyataan,
REHABILITASI SAWAH RAWA PASANG SURUT SULFAT MASAM AKTUAL
DENGAN PEMBERIAN AMELIORAN, SALURAN CACING DAN
EM PAT VARIETAS PAD1 (Oryza sativa, L.).
(The rehabilitation of actual acid sulphate soils on tidal swamp rice fields by using ameliorant, intensive shallow drainage system and
four rice ( O w a sativa, L.) varieties)
Oleh :
SINTO R. NOEHAN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Pascasa jana Institut Pertanian Bogor
PROGRAM PASCASARJANA
INSrITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Rehabilitasi Sawah Rawa Pasang Surut Sulfat Masam Aktual
dengan Pemberian Amelioran, Saluran Cacing dan Empat
Varietas Padi (Oryza sativa, L.).
Nama Mahasiswa: Sinto R. Noehan
Nomor Pokok : 95563 Program Studi : Agronomi
Menyetujui :
1. Komisi Pembimbing,
Prof.Dr.Ir. Amris Makmur, MSc
Ketua
~ k t f . ~ r . ~ r . Sri Setvati Hariadi, MSc Dr.Ir. Didv So~andie. MAar
Anggota
'\ /
Anggota
Dr.d. A. ~+arifuddin Karama, MSc
\
Dr.Ir. Hairial Aswidinnoor, MScAng g ota Ang g ota
Dr.Ir. IPG Widiaia-Adhi. MSq
Anggota
2. Program Studi Agronomi
-. -r a I '
Penulis dilahirkan di Tewang Pajangan, Kalimantan Tengah, pada tanggal 15 Pebruari 1954, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah Rasad Noehan dan ibu Eunike Rintuh. Penulis menikah dengan Ir. Nyelong I. Simon pada tahun 1981 dan telah dikaruniai empat orang anak.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat di Tewang Pajangan tahun 1966, Sekolah Menengah Pertama Negeri I1 di Kuala Kapuas tahun 1969 dan Sekolah Menengah Atas Negeri I di Kuala Kapuas tahun 1972. Tahun 1981 menyelesaikan pendidikan sa rjana pada Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Pada tahun 1986-1989 mengikuti program Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pasca Panen, Fakultas Pascasarjana IPB, dan sejak 4 September 1995 mengikuti program Doktor pada Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana IPB.
DAFTAR
IS1
Halaman
...
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR
...
xvDAFTAR LAMPIRAN
...
xviPENDAHULUAN ... 1
...
Latar Belakang 1
...
Kerangka Pemikiran 4
...
Tujuan Penelitian 9
Hipotesis
...
9...
TINJAUAN PUSTAKA 12
...
Pengertian dan Potensi Tanah Sulfat Masam 12
Beberapa Karakter Rawa Pasang Surut Sulfat Masam
...
15Peranan Amelioran pada Tanah Sulfat Masam
...
17...
Pengelolaan Air pada Tanah Sulfat Masam 19
Respon Tanaman Padi Terhadap Keracunan Besi ...
26
...BAHAN DAN METODE 32
Waktu dan Tempat
...
32...
Bahan dan Alat 33
Metode ... 33
...
HASIL DAN PEM BAHASAN 44
...
Pengaruh Amelioran 44
Pengaruh Saluran Cacing
...
51...
PEMBAHASAN UMUM
...
73Ketersediaan Hara ... 73 Model Usa ha Pertanian dan Teknologinya
...
77Peranan Sarana dan Prasarana Tata Air
...
83Peranan Varietas Tenggang
...
87KESIMPULAN DAN SARAN
...
89...
Kesimpulan 89
...
Saran 90
DAFTAR PUSTAKA
No
.
Halaman1 Tipologi Lahan Rawa di Sumatera. Kalimantan. Sulawesi dan
Papua
...
132
.
Pengaruh Pemberian Amelioran Terhadap Komponen Agronomi pada MT1 dan MT2 di Lokasi Tipe...
Luapan B dan Tipe Luapan C
3
.
Hasil Analisis Tanah Sebelum Penelitian dan Pengaruh PemberianAmelioran Terhadap Hasil Analisis Tanah Setelah MT2
...
494
.
Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Hasil (t GKG/ha)...
525
.
Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Persentase Gabah Isi...
dan Bobot Gabah per Rumpun 53
6
.
Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Skor Gejala KeracunanFe
...
577
.
Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Panjang Akar TanamanPadi
...
578
.
Pengaruh Interaksi Amelioran dengan Jarak Saluran CacingTerhadap Bobot Gabah per Rumpun pada MTl
...
589
.
Pengaruh Interaksi Amelioran dengan Jarak Saluran CacingTerhadap Kandungan Ca Daun di Lokasi Tipe Luapan C
...
59...
10
.
Pengaruh Varietas Padi Terhadap Komponen Agronomi 61...
11.Hasil Analisis Hara Jaringan Daun di Lokasi Tipe Luapan B 62
...
12.Hasil Analisis Hara Jaringan Daun di Lokasi Tipe Luapan C 63
13.Kriteria Status Kandungan Hara Daun Empat Varietas Padi
...
(Jones. 1998) di Lokasi Tipe Luapan B 64
14.Kriteria Status Kandungan Hara Daun Empat Varietas Padi
...
(Jones. 1998) di Lokasi Tipe Luapan C 64
...
15.Pengaruh Varietas Padi Terhadap Skor Gejala Keracunan Fe 66
17.Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Amelioran Terhadap
Hasil (t GKG/ha) pada MT2
...
6818. Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Amelioran Terhadap
Komponen Agronomi pada MT2 di Lokasi Tipe Luapan C ... 69 19.Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Amelioran pada Fase
Vegetatif Terhadap Kandungan Mg Daun
...
702O.Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Amelioran pada Fase
...
Vegetatif Terhadap Kandungan S dan Fe Daun 7 1
21.Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Jarak Saluran Cacing Terhadap Jumlah Anakan Produktif pada MT2 di Lokasi Ttpe
DAFTAR GAMBAR
No
.
Halaman1
.
Kerangka Penelitian...
2
.
Penempatan Blok Percobaan pada Lokasi Tipe Luapan B ...3
.
Penempatan Blok Percobaan pada Lokasi Tipe Luapan C ......
.
4 Rancangan Lapangan pada Blok Percobaan
.
...5 Pola Tanam Duwitripa
...
6
.
Konstruksi Galangan dan Saluran7
.
Pengaruh Amelioran Terhadap Hasil Gabah ...8
.
Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Kandungan Ion Fero Air Tanah Selama MT2 di LokasimTipe Luapan B ...9
.
Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Kandungan Ion Fero Air Tanah Selama MT2 di LokasimTipe Luapan C ...10
.
Pengaruh Perlakuan Saluran Cacing Terhadap Kandungan Fe...
Tanah pada MT2 di Lokasi Tipe Luapan B
...
11
.
Hasil Gabah Berbagai Varietas Padi12
.
Penampang Melintang Akar Tanaman Padi IR-64 pada Fase...
Vegetatif
13
.
Panjang Akar Berbagai Varietas Padi ...14
.
Hubungan Anatar Kandungan Fe Jaringan Daun dengan Hasil Gabah Kering Giling Tanaman Padi ...15
.
Kurva Regresi Kandungan Ion Fero Air Tanah Selama MT2 di Lokasi Tipe Luapan B ...DAFTAR LAMPIRAN
No
.
Halaman1 Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam pada MTl dan MT2 di Lokasi Lokasi Luapan Pasang Tipe B
...
2
.
Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam pada MTl dan MT2 di Lokasi Lokasi Luapan Pasang Tipe C ...3
.
Skor Gejala Keracunan Fe pada Tanaman Padi...
4
.
Metode Analisis Besi(II1) pada Jaringan Akar Padi Varietas IR-64...
5
.
Deskripsi Varietas Padi Unggul Lalan...
6
.
Deskripsi Varietas Padi Unggul Banyuasin...
7
.
Deskripsi Varietas Padi Unggul Introduksi IR-64...
8
.
Deskripsi Varietas Padi Lokal Siam Unus ...PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk. Sementara itu areal pertanian produktif di daerah padat penduduk
terutama di Jawa terus menyusut akibat perluasan pemukiman, perindustrian
dan jaringan transportasi. Rawa-rawa yang semula dirasakan kurang menarik
dan dianggap kurang memberikan manfaat, akhir-akhir ini mulai dikembangkan
untuk mengatasi kekurangan pangan.
Menurut Mulyadi (1977) dan Widjaja-Adhi (1987), di Indonesia terdapat
39.42 juta hektar lahan rawa, dan sebagian besar dari lahan rawa tersebut
(24.71 juta hektar) merupakan rawa pantai yang dipengaruhi oleh pasang
surutnya air laut. Lahan rawa pantai umumnya didominasi oleh gambut dan
tanah sulfat masam. Luas tanah sulfat masam di Indonesia kurang lebih
6.7 juta hektar, sementara di Kalimantan diperkirakan mencapai 1.9 juta hektar
(Nugroho et al., 1992).
Pengembangan pertanian lahan rawa hingga sekarang telah dibuka
sekitar satu juta hektar melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang
Surut (1969-1994), Swamps I1 (1985-1993), Pengembangan Lahan Gambut
(PLG) dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Moderen (SUP) tahun 1997.
Namun beberapa kendala tanah menyebabkan pengembangan pertanian di
lahan rawa tersebut mengalami hambatan. Kendala yang sering muncul pada
tanah sulfat masam yang umumnya terdapat di daerah pasang surut adalah pH
rendah, keracunan besi, alumunium, sulfat, kahat hara seperti P, K, Ca dan Zn
Tanah sulfat masam akan bermasalah bagi pengembangan tanaman
pertanian jika horizon sulfurik atau pirit teroksidasi. Jika te rjadi oksidasi, maka
kemasaman tanah akan meningkat, yang kemudian menciptakan kondisi
kimiawi tanah lainnya yang tidak mendukung untuk pertumbuhan tanaman.
Tanah sulfat masam yang piritnya teroksidasi menjadi tidak dapat ditanami,
sehingga lahan tersebut disebut bongkor atau mati suri (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1998).
Lahan rawa pasang surut dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian
produktif apabila dikelola secara hati-hati dan benar dengan memperhatikan
sifat dan karakteristik tanah secara rinci. Pengelolaan air sangat penting
dalam memperbaiki kualitas tanah dan menanggulangi atau mengurangi
degradasi tanah sebagai akibat salah pengelolaan. Konsep dasar dan strategi
pengelolaan air didasarkan pada sifat tanah dan tipe luapan pasang surut.
Pemanfaatan yang sesuai, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan
yang serasi dengan karakteristik, sifat dan kelakuan tanah dan air dapat
mengubah tanah di daerah rawa pasang surut dan pantai menjadi lahan
pertanian berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan (Widjaja-Adhi, 1987;
Subagyono, Vadari dan Widjaja-Adhi, 1998).
Pada pengembangan lahan rawa pasang surut untuk sawah, karena
kondisi tergenang dan kering yang silih berganti mengakibatkan adanya
perubahan kondisi reduktif dan oksidatif yang silih berganti juga. Pada saat
tergenang (reduktif), banyak Fe3+ yang ditransformasikan ke dalam bentuk
Fe2+ sehingga dapat mendesak kedudukan kation-kation lain seperti K, Ca, Mg
kering (oksidatif), Fe2+ teroksidasi menghasilkan Fe3+ yang dapat meracuni
tanaman (Siuta, 1962; Brinkman, 1970).
Untuk mengatasi kendala kimiawi tanah pada lahan sawah tanah sulfat
masam antara lain dengan pemberian kapur untuk menurunkan kernasaman
tanah, dan penggunaan varietas padi yang tenggang terhadap keracunan besi.
Selain cara tersebut adalah pengelolaan air untuk mengurangi kandungan
unsur-unsur yang bersifat racun dan menghindari proses pemasaman lanjut.
Teknik yang telah dikembangkan adalah pengelolaan tata air mikro dengan
menggunakan sistem drainase dangkal intensif (saluran cacing) (Widjaja-Adhi,
1998; Subagyono et a/., 1998).
Sistem tanam padi sawah di Kalimantan Tengah pada umumnya satu kali
setahun menanam varietas lokal yang pemeliharaannya kurang intensif, hasil
gabahnya rendah tetapi nasinya disukai masyarakat. Untuk itu pada Operasi
Khusus Simpei Karuhei 1990-1991 dan Miniatur Proyek Pengembangan Lahan
Gambut 1 juta hektar 1996-1998 telah diintroduksi sistem tanam Sawitdupa
(Satu kali mewiwit/menyemai dua kali panen), yaitu pada musim tanam
penghujan (Oktober-Maret) ditanam padi varietas unggul dan selanjutnya pada
musim tanam kemarau (April-September) ditanam padi varietas lokal (Diperta
Kalteng, 1999).
Lokasi lahan rawa pasang surut yang digunakan pada penelitian ini
adalah pada luapan pasang tipe B dan tipe C. Dipilihnya lokasi tipe C atas
dasar pertimbangan untuk menambah luas tanam dan intensitas pertanaman
yang biasanya sekali setahun (IP-100) menjadi dua kali setahun (IP-200).
pengembangan sawah yang sudah ada sehingga produktivitasnya tinggi. Kedua tipe tersebut berbeda dalam ha1 sistem tata air dan ketersediaan sumber air irigasinya.
Reklamasi tanah sulfat masam dengan mengkombinasikan pengelolaan tanah, pengelolaan tata air dan pemberian amelioran (kapur) di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan telah menunjukkan hasil yang memadai (Vadari et al., 1992; Subagyono et al., 1998). Namun penelitian yang dilakukan pada tanah dengan tipe luapan yang berbeda masih belum dilakukan. Masing- masing tanah dengan tipe luapan pasang seyogianya mempunyai teknik pengelolaan tanah dan air serta perbaikan hara tanah yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini menilai tentang rehabilitasi sawah pada tanah sulfat masam di lahan rawa pasang surut melalui pemberian amelioran (dolomit dan fosfat alam) dan penggunaan saluran cacing yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman padi ditinjau dari sifat-sifat fisiologi dan agronomi. Lokasi penelitian adalah tanah sulfat masam aktual, dimana pada tipe luapan B merupakan tanah sulfat masam dangkal (SMPl) dengan kriteria SMA2 dan pada tipe luapan C merupakan tanah sulfat masam dalam (SMP2) dengan kriteria SMA2 (Tabel 1).
Kerangka Pemikiran
Oleh karena itu perlu dilakukan masukan teknologi untuk merehabilitasi tanah
sawah sehingga menjadi lebih produktif.
Tanah sulfat masam potensial memiliki kedalaman lapisan pirit yang
berbeda. Pada tanah sulfat masam yang tergolong ke dalam sulfat masam
potensial 1 (SMP1) lapisan pirit berada pada kedalaman
<
50 cm sedangkanpada sulfat masam potensial 2 (SMP2) kedalaman lapisan pirit 50
-
100 cm.Kedua kriteria ini secara berturut-turut biasanya diwakili oleh lokasi tipe luapan
B dan tipe luapan C. Perbedaan kedalaman lapisan pirit menyebabkan
perbedaan dalam pengelolaan tanah terutama segi pengolahan tanah. Selain
itu kedua wilayah juga dibedakan dari segi tipe luapan pasang surut serta
ketersediaan air. Lokasi tipe luapan B dipengaruhi langsung oleh pasang surut
harian tetapi hanya terluapi oleh pasang besar saja dan tidak terluapi oleh
pasang kecil, sedangkan pada tipe luapan C air pasang berpengaruh melalui air
tanah oleh karena itu air tanahnya dangkal yaitu
<
50 cm dari permukaantanah. Pada musim penghujan lokasi tipe luapan C selalu terluapi oleh air
hujan.
Menurut Subagyo dan Widjaja-Adhi (1996) bahwa tata air mikro
dibangun pada lahan budidaya memperhatikan sifat tanah dan tipe luapan
pasang surut. Lahan pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat masam
potensial, maka penggenangan dilakukan dengan mempertahankan air tanah
diatas lapisan pirit. Dengan demikian diusahakan agar selalu membuat kondisi
dalam keadaan anaerob. Apabila bangunan saluran-saluran air di tingkat
sawah diperlukan, maka penggalian saluran tersebut hendaknya tetap diatas
diperhatikan sebab pirit yang terangkat tersebut akan teroksidasi dan tanah
galian menjadi masam. Kemasaman tersebut akan berbahaya bagi daerah di
sekelilingnya apabila terbawa air hujan. Sebagai contoh di daerah Barambai
Kalimantan Selatan, tanah galian yang mengandung pirit telah teroksidasi dan
menjadi masam, merusak tanaman yang berada disamping galangan-galangan
galian tersebut. Oleh karena itu pembuatan saluran-saluran disamping
galangan-galangan harus dilakukan hati-hati.
Pengembangan sawah pada lokasi tipe luapan C juga dimaksudkan
untuk memperluas areal tanam. Selama ini lokasi luapan tipe C tidak dijadikan
areal persawahan padahal kondisinya selalu tergenang pada musim hujan, dan
pada musim kemaraupun masih tersisa air dalam bentuk macak-macak.
Dengan demikian perlu dilakukan percobaan pada ke dua tipe luapan sehingga
dapat diketahui pola penanganan pada masing-masing tipe luapan.
Kendala lain pada tanah sulfat masam adalah tingginya kemasaman
tanah (pH <3.5), serta rendahnya kadar hara tanah. Pemberian amelioran
dalam bentuk kapur dan fosfat alam merupakan salah satu solusi yang terbaik.
Menurut Smilde (1990) bahwa pemberian kapur lebih ditujukan untuk
mengontrol alumunium dan pertumbuhan tanaman padi pada pH 4.5 - 5.0.
Penggunaan fosfat alam berkualitas tinggi untuk budidaya tanaman mempunyai
beberapa manfaat. Fosfat alam mempunyai sifat tidak larut dalam air, memiliki
kandungan P dan Ca cukup tinggi, unsur P mengurainya lambat serta
mempunyai efek residu jangka panjang. Pemberian amelioran fosfat alam pada
lebih baik dibanding pupuk TSP, dan mempunyai efek residu hingga musim tanam ketiga (Vadari etal., 1992).
Penelitian tentang penggelontoran/pencucian air lahan pada tanah sulfat masam di lapang juga telah banyak dilakukan. Pencucian tanah sulfat masam yang disawahkan dengan saluran cacing berukuran lebar 20 cm, kedalaman 30 cm, dan jarak antar saluran cacing 6 m meningkatkan pH tanah sebesar 0.55 pada musim tanam tahun pertama dan 0.99 pada musim tanam kemarau (Subiksa e t al., 1991). Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pencucian dengan air pasang lebih efektif dibanding air hujan (Didi Ardi e t al., 1995). Dalam penelitian ini dibuat saluran cacing (saluran dangkal intensif = Intensive Shallow Drainage System) dengan konstruksi: lebar 15
-
20 cm, kedalaman 15 - 20 cm, dan jarak antar saluran cacing adalah 3 m, 6 m, 9 m, 12 m, dan panjang 25 m. Penentuan jarak saluran cacing 3 m adalah karena tingkat kandungan Fe pada lokasi penelitian cukup tinggi. Adanya saluran cacing akan mempercepat pencucian unsur-unsur yang bersifat racun yang mungkin terbentuk khususnya di lapisan tanah atas, dan memberikan pengaruh yang positif terhadap perbaikan kualitas tanah dan air dalam peningkatan hasil padi (Subagyono et al., 1998).(Jayawardhana, 1989). Bronzing pada daun adalah tipe penyakit yang
berhubungan dengan hara dalam padi disebabkan oleh keracunan besi, maka
daun dapat mengandung 700 mg Fe/kg berat kering atau lebih tinggi lagi
(Yamauchi, 1989).
Sampai saat ini petani pada wilayah pasang surut Kalimantan Tengah
sedikit sekali yang menanam varietas padi unggul. Hal ini disebabkan karena
rasa nasinya kurang disukai dan pengelolaan varietas unggul terlalu intensif
sehingga menyita banyak waktu dan tenaga. Sebagian besar petani menanam
varietas padi lokal dan hanya mampu panen sekali dalam satu tahun (IP 100).
Oleh karena itu dilakukan percobaan dengan mengembangkan pola
Sawitdupa (Satu kali mewiwit dua kali panen) menjadi Duwitripa (Dua kali
mewiwit tiga kali panen), yaitu menanam dua kali varietas padi unggul tanpa
meninggalkan varietas padi lokal. Dengan pola ini diharapkan akan terjadi
perangsangan minat petani untuk mengusahakan padi sawah serta peningkatan
intensitas panen menjadi IP 200.
Beberapa penelitian yang dilakukan selama ini hanya dilakukan dalam
skala kecil dan terbatas (skala petak percobaan). Teknik pengelolaan tata air
dan teknik budidaya padi sawah rawa pasang surut sulfat masam secara
ekonomis dapat diterapkan apabila dikejakan minimal pada satu hamparan
yang luas dan terkendali, yaitu dalam satu petak tersier atau dalam satu petak
handel (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1996; Vadari et al, 1992). Pada penelitian
ini dilakukan dalam skala yang lebih luas (skala hamparan petakan tersier dan
Hasil penelitian yang sudah dilakukan selama ini oleh proyek-proyek di
lingkungan Departemen Pertanian terhadap peranan pengelolaan air dan teknik
budidaya anjuran pada sawah pasang surut terhadap penampilan agronomi
padi sawah belum cukup dipelajari.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menilai hasil rehabilitasi sawah rawa
pasang surut sulfat masam aktual ditinjau dari sifat-sifat fisiologi dan
agronomi, melalui:
1 Pemberian amelioran (dolomit dan/atau fosfat alam).
2. Penggunaan saluran cacing.
3. Adaptasi beberapa varietas padi.
4. Interaksi antar faktor pemberian amelioran (dolomit dan fosfat alam),
penggunaan saluran cacing dan varietas padi.
Hipotesis
Pemberian amelioran (dolomit dan/atau fosfat alam) akan memperbaiki
reaksi dan ketersediaan hara tanah sawah. Dolomit akan mengurangi
kemasaman tana h sehingga sebagian hara yang sebelumnya teri kat secara
kimiawi dalam koloid tanah dapat tersedia dan diserap oleh tanaman.
Hara P pada tanah sulfat masam secara pedologis sangat rendah dan
terikat oleh Fe, sehingga pemberian fosfat alam akan menambah suplai P
2. Penggunaan saluran cacing (intensive shallow drainage system) di dalam petakan sawah pasang surut sulfat masam dapat mengendalikan keracunan besi karena akan mencegah proses oksidasi pirit. Kalaupun te qadi oksidasi sebagian hasil oksidasinya cepat tercuci.
3. Varietas padi yang berbeda ketenggangannya memberi respon berbeda terhadap kondisi tanah.
Kendala
Tanah Sulfat Masam pada Lahan Rawa Pasang Surut
A
TANAH : pH <~.o,F~~',AI~', ~0~~-,kahat P,K,Ca,Mg, Zn, kematangan gam- but rendah, bongkor / mati suri
4
AIR:
pH <4.0,~e~+, AL~+,
~0~~-,tersedia (tipe B), terbatas (tipe C)
.
TANAMAN:Penyakit "bronzing", varietas lokal, inten- sitas rendah, produk- si rendah atau gagal panen
---r
METODE REHABIUTASI SAWAH :
Kondisi Tanah Tipe luapan B Tipe luapan C MTI, MT2 (Uji lapang, pola tanam duwitripa, uji laboratorium, uji statistika)
Hasil Penelitian:
I. Perbaikan lingkungan akar 2. Perbaikan proses fisiologi
3. Perbaikan adaptasi varietas (penampilan agronomi) 4. Interaksi antar faktor
Kesimpulan:
I. Hara tanah tersedia
2. Pengelolaan air yang tepat
3. Produktivitas lahan meningkat
4. Produksi tanaman padi cukup tinggi dan berkelanjutan
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Potensi Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfat masam umumnya bertekstur liat, berada di lahan rawa
pantai serta memiliki lapisan gambut tipis <20 cm dan memiliki lapisan pirit
yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horizon sulfidik)
pada kedalaman 0-50 cm. Lapisan pirit atau sulfidik, adalah lapisan tanah
yang mengandung pirit >2%, sedangkan horizon sulfidik adalah horizon tanah
yang terbentuk oleh adanya proses oksidasi pirit yang pada umumnya dicirikan
oleh terdapatnya jarosite dan pH tanah <3.5 (Widjaja-Adhi, 1992).
Tipologi lahan rawa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, disajikan
pada Tabel 1.
Berdasarkan identifikasi dan karakteristik tanah, maka tanah sulfat
masam terdapat dua macam (Soil Survey Staff, 1996), yaitu (1) Sulfat masam
potensial, dimana pirit masih berupa bahan sulfidik dalam status reduksi pada
kedalaman 0-50 cm dan pH >4.0, termasuk dalam klasifikasi tanah Entisols:
Histic Sulfaquents, Haplic Sulfaquents, Typic Sulfaquents, dan (2) Sulfat masam
aktual, dimana memiliki horizon sulfurik atau pirit yang telah teroksidasi pada
kedalaman 0-50 cm dan pH <3.5, termasuk dalam klasifikasi tanah Inceptisols:
Typic Sulfaquepts, Sulfic Tropaquepts.
Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan lapisan sulfidik secara lebih rinci,
yaitu lapisan tanah yang memiliki pH >3.5 dimana jika diinkubasi pada kondisi
kapasitas lapang dengan ketebalan lapisan tanah 1 cm selama 8 minggu, maka
Tabel 1. Tipologi Lahan Rawa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua
I
SimbolI
Karakter/
Kriteria Berdasarkan kedalaman gambut:G1
[
Gambut danqkal, 50 - 100 cm G2G3 G4
1
Berdasarkan kedalaman dan lama qenanqan: Gambut sedang, 100 - 200 cm Gambut dalam, 200 - 300 cm Gambut sanqat dalam, >300 cmBerdasarkan kedalaman letak lapisan pirit dan oksidasi pirit: SMPl SMP2 SMP3 SMAl SMA2 SMA3
Luas lahan bertanah sulfat masam di seluruh dunia kurang lebih 12 juta Lahan sulfat masam potensial danqkal, kedalaman lapisan pirit <50cm Lahan sulfat masam potensial dalam, kedalaman lapisan pirit 50-100 cm Lahan sulfat masam potensial sangat dalam, kedalaman lapisan pirit
100 - 150 cm
Lahan sulfat masam aktual, oksidasi pirit telah terjadi tetapi belum menunjukkan adanya horizon sulfidik (adanya jarosite, pH ~ 5 . 5 ) Lahan sulfat masam aktual, telah terlihat ciri horizon sulfidik dan kedalaman bercak berpirit 50 - 100 cm
Lahan sulfat masam aktual, horizon sulfidik telah terlihat (adanya iarosite. DH ~ 3 . 5 ) dan kedalaman bercak ber~irit >I00 cm
R1 R2 R3
hektat- (Dent, 1986). Beek et al. (1980) dalam Konsten et al (1990) Rawa dangkal, kedalaman <50 cm, lama genanqan < 3 bulan
Rawa tenqahan, kedalaman 50-100 cm, lama qenanqan 3-6 bulan Rawa dalam, kedalaman >I00 cm, lama genangan
>6
bulanmemperkirakan luas tanah sulfat masam di dunia lebih besar lagi, 12
-
14 juta Sumber: Widjaja-Adhi, 1987; Ritzema et al., 1992hektar. Dari luasan tersebut, menurut Nugroho et al, (1992) yang terdapat di Indonesia kurang lebih 6.7 juta hektar. Lahan bertanah sulfat masam memiliki topografi datar sehingga sesuai untuk berbagai jenis penggunaan.
memungkinkan oksigen masuk ke dalam tanah dan selanjutnya akan
mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan besi feri. Apabila
oksidasi pirit berlangsung cepat, maka akan terbentuk mineral jarosite berupa
bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986).
Ketersediaan air di lahan pasang surut sulfat masam dari segi kuantitas
umumnya tidak menjadi masalah. Disamping itu, kenyataan menunjukkan
bahwa daerah tanah sulfat masam umumnya memiliki iklim yang sesuai untuk
berbagai jenis tanaman terutama tanaman pangan. Ditinjau dari sifat tanah,
tanah sulfat masam memiliki potensi yang rendah untuk budidaya tanaman.
Drainase tanah sulfat masam umumnya buruk, sehingga bila tanpa perbaikan
drainase, tidak banyak tanaman yang dapat dikembangkan. Namun perbaikan
drainase yang terlalu dalam melampaui kedalaman lapisan pirit dapat
mengakibatkan sifat tanah memburuk. Konsten et al. (1990) menyatakan
bahwa pengelolaan tanah sulfat masam sering memerlukan masukan teknologi
cukup mahal sehingga sampai saat sekarang banyak yang belum termanfaatkan
atau kalaupun sudah termanfaatkan ditinggalkan oleh petani setelah budidaya
tanamannya gagal. Lebih lanjut ditegaskan bahwa salah satu faktor penentu
keberhasilan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan pada tanah sulfat
masam adalah pengelolaan air, khususnya untuk mengendalikan kemasaman
Beberapa Karakter Rawa Pasang Surut Sulfat Masam
Menurut Direktorat Rawa (1992) dan Noorsyamsi et al. (1984), rawa
pasang surut dibedakan rnenjadi 4 tipe berdasarkan kernarnpuan air pasang
rneluapi lahan, yaitu :
1. Tipe A adalah lahan rawa di bagian paling rendah dipengaruhi oleh pasang
surut harian. Selalu terluapi air pasang harian, pasang besar dan pasang
kecil, sepanjang tahun selama musim penghujan dan rnusim kemarau.
Pasang surut harian rnendominasi neraca air, dan profil tanah selalu jenuh
air. Wilayahnya terletak diantara surut terendah rata-rata dan pasang
kecil rata-rata.
2. Tipe B adalah lahan rawa di bagian agak lebih tinggi (antara lain ke arah
tanggul sungai atau ke arah kubah), dipengaruhi langsung oleh pasang
surut harian tetapi hanya terluapi oleh pasang besar saja dan tidak terluapi
oleh pasang kecil atau pasang harian tertinggi. Air menggenang selama
pasang besar, dan air tanah berada di bawah permukaan tanah selama
pasang kecil. Wilayahnya terletak diantara pasang kecil rata-rata dan
pasang besar rata-rata.
3. Tipe C adalah lahan pasang surut yang relatif kering, tidak dipengaruhi oleh
pasang surut harian. Tidak pernah terluapi air pasang walaupun pasang
besar. Air pasang berpengaruh melalui air tanah, dan oleh karena itu air
tanahnya dangkal
<
50 crn dari permukaan tanah. Pada rnusim penghujan dapat terluapi oleh air hujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.4. Tipe D adalah lahan pasang surut yang tergolong kering. Lahan tidak
>
50 cm dari permukaan tanah. Air pengairan semata-mata datang dari airhujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.
Ritzema et al: (1992) mengklasifikasi lahan pasang surut berdasarkan
tipe luapan pasang surut dan jenis tanah sulfat masam, yaitu lahan tipe luapan
A didominasi oleh tanah sulfat masam potensial, lahan tipe luapan B didominasi
oleh tanah sulfat masam aktual, lahan tipe luapan C didominasi oleh tanah
sulfat masam aktual, dan lahan tipe luapan D didominasi oleh tanah sulfat
masam potensial atau aktual. Lokasi-lokasi dimana kondisi hidrologi sangat
dipengaruhi oleh iklim, maka konsep tersebut harus didasarkan pada musim
(musim penghujan atau musim kemarau).
Menurut Subagyo dan Widjaja-Adhi (1996) bahwa tata air mikro
dibangun pada lahan budidaya memperhatikan sifat tanah dan tipe luapan
pasang surut. Untuk lahan pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat
masam potensial, maka penggenangan atau mempertahankan air tanah diatas
lapisan pirit merupakan strategi yang sangat penting. Apabila saluran-saluran
air diperlukan, maka penggalian saluran tersebut hendaknya tetap diatas
lapisan pirit. Pembuangan tanah galian yang mengandung pirit harus
diperhatikan sebab pirit yang terangkat tersebut akan teroksidasi dan tanah
galian menjadi masam. Kemasaman tersebut akan berbahaya bagi daerah di
sekelilingnya apabila terbawa air hujan. Sebagai contoh di daerah Barambai
Kalimantan Selatan, tanah galian yang mengandung pirit telah teroksidasi dan
Oleh karena itu pembuatan saluran-saluran disamping tanggul-tanggul harus
dilakukan hati-hati.
Peranan Amelioran pada Tanah Sulfat Masam
Pemberian amelioran kapur pada tanah sulfat masam dapat memperbaiki
sifat fisik, kimia dan meningkatkan aktivitas biologi tanah. Salah satlr pengaruh
terpenting dari pengapuran adalah menurunkan aktivitas Al yang berlebihan
dan menurunkan kemasaman tanah, serta untuk menyediakan unsur hara bagi
tanaman. Kalsium dari bahan kapur dapat memperbaiki struktur tanah (Baver,
1960 dan Soepardi, 1983). Sumbangan ion ca2+ dapat rneningkatkan
terjadinya flokulasi di dalam tanah sehingga memperbaiki struktur tanah yang
lebih stabil. Arsyad (1980) menyatakan bahwa Ca berperan dalam pengikatan
butir-butir liat secara kimia melalui ikatan antara bagian negatif liat dengan
gugus negatif senyawa organik berantai panjang dengan pertautan basa dan
ikatan hidrogen. Pengaruh lain adalah peningkatan serapan P melalui
pertumbu han dan perkembangan akar tanaman dengan teratasinya keracunan
Al, Fe dan Mn, serta memperbaiki serapan Ca, Mg dan Mo oleh tanaman
(Soepardi, 1983).
Menurut Smilde (1990) bahwa pemberian kapur lebih ditujukan untuk
mengontrol alumunium dan pertumbuhan tanaman padi pada pH 4.5 - 5.0.
Tanah pada umumnya mengandung sejumlah kecil fosfor tersedia secara
alamiah, dan kegiatan pertanian mengangkut fosfor tersebut sebanding dengan
sangat tercuci memberikan hasil semakin menurun dan akhirnya tidak
menghasilkan apabila fosfor tidak ditambahkan (Cathcart, 1987).
Penggunaan fosfat alam berkualitas tinggi untuk budidaya tanaman
mempunyai beberapa manfaat. Fosfat alam mempunyai sifat tidak larut dalam
air, kadar P dan Ca cukup tinggi, unsur P tersedia lambat, mempunyai efek
residu jangka panjang. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka fosfat alam
sangat sesuai apabila digunakan sebagai sumber P untuk tanah sulfat masam
yang mempunyai reaksi tanah masam dengan kemampuan menyerap P dan
kadar sulfat yang tinggi (Khasawneh dan Doll, 1978; Hammond, 1978;
Hammond dan Diamond, 1987).
Sebagai bagian yang penting di dalam tanah, fosfor terdapat dalam
bentuk P-organik dan P-anorganik. Dalam kondisi tanah yang tergenang, P-
anorganik lebih berperan dalam penyediaan P untuk tanaman (Patrick dan
Mahapatra, 1968).
Hasil penelitian Mahapatra dan Patrick (1969) menunjukkan bahwa
penggenangan kontinyu mempengaruhi distribusi P-anorganik. Bentuk AI-P dan
Fe-P menurun akibat penggenangan, sedangkan bentuk Ca-P relatif stabil.
Pada penggenangan tanah yang sedikit masam kadar Ca-P dan Fe-P
meningkat, sedangkan AI-P menurun.
Pemberian amelioran fosfat alam pada tanah sulfat masam di Karang
Agung Sumatera Selatan memberikan hasil gabah lebih baik dibanding pupuk
TSP, dan mempunyai efek residu hingga musim tanam ketiga (Subiksa etal.,
Kombinasi pemberian fosfat alam 50 kg P205/ha dengan kapur 6.25
ton/ha pada tanah sulfat masam di Thailand menghasilkan gabah tertinggi 3.04
ton/ha (Attanandana dan Vacharotayan, 1984).
Pengelolaan Air pada Tanah Sulfat Masam
Pengelolaan air makro dan mikro pada tanah sulfat masam selain
sebagai air irigasi adalah bertujuan untuk mencuci sumber kemasaman yang
larut air dan yang dapat dipertukarkan. Prinsipnya, air bersih efisien untuk
mencuci asam sulfat bebas, besi terlarut serta garam alumunium tanah.
Pencucian dengan air payau atau air laut dapat mencuci Al-dd melalui
pertukaran Na, Ca atau Mg dari air yang ditambahkan. Pencucian dengan air
payau secara efisien mengusir Al-dd apabila dilakukan dalam kondisi oksidatif.
Apabila dalam kondisi reduktif, Al akan mengendap sebagai AI(OH)3 atau
AIOHS04 (van Mensvoort et al., 1991).
Penggenangan petakan sawah melalui pemberian air irigasi secara
berangsur-angsur akan mengubah sifat-sifat tanah sawah melalui proses
reduksi. Ponnamperuma et al. (1977) menyatakan bahwa reduksi tanah akibat
penggenangan akan mempengaruhi pH, ketersediaan hara, atau munculnya
bahan-bahan yang meracuni tanaman. Menurut Tan (1982) bahwa setelah
tanah sulfat masam yang aerobik digenangi air, maka nitrat pada tanah
tersebut akan segera direduksi diikuti kemudian dengan direduksinya Mn dan
Fe. Akibat reduksi ini konsentrasi ~ ndan ~ ~ e ~ + + akan meningkat. Tetapi
kemudian setelah reduksi berlangsung beberapa lama, maka konsentrasi ~ n ~ +
digenangi air sampai 90 hari secara terus menerus tetapi apabila bahan organik
tanah tersebut sangat rendah atau hampir tidak ada, maka proses reduksi
dapat terhambat sehingga peracunan logam berat sulit untuk dihindari.
Dent (1986) mengemukakan bahwa proses oksidasi pirit pada tanah
sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses kimia serta
mikrobiologis. Mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat
dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fez+) dan belerang dengan reaksi sebagai
beri kut :
FeS2
+
1/2 0 2+
2 H+-
Fe2++ 2 S
+
HzO...
(1)
Oksidasi belerang secara kimia terjadi sangat lambat, tetapi dapat juga
berlangsung cepat apabila ada bakteri autotrop yang berperan sebagai
katalisator. Proses oksidasi be rjalan dengan reaksi sebagai berikut :
S
+
312 0 2+ HZ 0
-
sod2-
+
2 H+...
(2)Pada pH kurang dari 3.5 perubahan tersebut melalui proses kimia
berlangsung lambat. Bakteri 7hiobacill.s ferrooxidan yang hidup pada pH
rendah dan banyak terdapat pada tanah sulfat masam, mengoksidasi Fe2+
menjadi ~ e ~ + dengan cepat dan selanjutnya Fe3+ yang dihasilkan terlibat
kembali dalam proses oksidasi pirit. Reaksi adalah sebagai berikut :
Fe2+ +
o2
+ H+ T;hiobacillus fermxidan~ e ~ +
+
l/2 H20 (3).
...
Sebagian besar kemasaman (H') yang dihasilkan dalam proses oksidasi
pirit oleh Fe3+, digunakan dalam proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan
ba ntua n Thiobacillus ferrooxidan seperti persamaan reaksi di atas. Reaksi
oksidasi pirit yang terjadi dalam beberapa tahap dengan hasil akhir feri
Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam akibat drainase telah banyak
diperlajari. Drainase tanah meningkatkan potensi reduksi-oksidasi. Pengaruh
oksidasi pirit akibat drainase terhadap pH tanah bervariasi, tergantung sifat
tanah yang bersangkutan. Tanah sulfat masam di Pulau Petak Kalimantan
Tengah, pH-nya menurun dengan cepat segera setelah penerapan perlakuan
drainase. Adanya karbonat menahan terjadinya penurunan pH, dan tanah di
Pulau Petak mengandung karbonat sedikit (Ritzema et al., 1992).
Akibat oksidasi pirit mengakibatkan perubahan kandungan ion-ion di
dalam larutan tanah dan di kompleks jerapan. Selama proses oksidasi, SO$'
dalam larutan tanah meningkat cepat dan sebaliknya ~ e ~ + dan ~ e ~ + menurun.
Penurunan kandungan besi tersebut karena te rjadinya presipitasi besi dalam
bentuk jarosite. Setelah periode oksidasi, kompleks jerapan didominasi oleh
A I ~ + yang menggantikan ca2+ dan ~ g(Ritzema ~ + et al., 1992). Hasil penelitian Yuliana (1998) menunjukkan bahwa drainase tanah sulfat masam selama 8
minggu dengan kedalaman air bawah tanah sedalam 20 cm dari permukaan
lapisan pirit meningkatkan Al-dd dari 7.61 menjadi 18.21 mef100g tanah,
menurunkan besi fero dari 49.34 menjadi 26.06 ppm, meningkatkan besi
feri dari 420.77 menjadi 444.05 ppm. Sedangkan pada kedalaman air bawah
tanah 40 cm dari permukaan lapisan pirit, Al-dd meningkat dari 7.61 menjadi
20.42 me/lOOg tanah, besi fero menurun dari 49.34 menjadi 21.59 ppm, dan
Penggenangan tanah sulfat rnasam yang telah mangalami oksidasi akan rnengubah kondisi oksidatif menjadi reduktif. Dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
Reaksi reduksi tersebut berlangsung dengan bantuan bakteri anaerob. Oleh sebab itu dibandingkan dengan yang te qadi pada tanah biasa, kecepatan reduksi tanah sulfat masam yang digenangi lebih lambat karena kemasarnan yang tinggi, rendahnya ketersediaan hara dan bahan organik yang mudah terdekornposisi, atau kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut yang mengakibatkan bakteri anaerob kurang rnampu berkembang. Reaksi reduksi tersebut rnengakibatkan peningkatan pH dan menurunkan tingkat aktivitas
AP+.
Penurunan aktivitas A13+ akan menurunkan tingkat toksisitasnya, tetapi dilain pihak kondisi reduktif tersebut dapat mengakibatkan tirnbulnya unsur atau senyawa lain yang juga bersifat racun bagi tanaman, yaitu ~ e ~ + , H2S dan C02 yang terlarut dalam jumlah tinggi dalam larutan tanah (Dent, 1986). Timbulnya
H2S tersebut menurut Dent (1986) dan Konsten (1990) karena proses reduksi
~
0
dengan reaksi sebagai berikut~
~
-
:bahwa penggenangan 300 hari pada tanah sulfat masam di Pulau Petak
setelah didrainase 450 hari mengakibatkan kandungan Fe2+ pada tanah
tersebut meningkat dengan cepat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peningkatan
tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya proses reduksi Fe3+ yang
berbentuk amorf menjadi ~ e ~ + .
Penelitian pencucian pada tanah sulfat masam di lapang juga telah
banyak dilakukan. Pencucian tana h sulfat masam yang disawahkan dengan
jarak saluran cacing berukuran lebar 20 cm, dalam 30 cm, dan jarak antar
saluran cacing 6 m meningkatkan pH tanah sebesar 0.55 pada musim tanam
tahun pertama dan 0.99 pada musim tanam kedua (Subiksa et al., 1991).
Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pencucian dengan air pasang
lebih efektif dibanding air hujan (Didi Ardi etal., 1995).
Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi
lain muncul masalah keracunan besi ferro (Fez+), hidrogen sulfida,
C&
danasam-asam organik. Masalah fisik tanah yang sering dijumpai adalah
terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horizon sulfurik karena
tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase
tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan
aktivitas mikroorganisme tanah terhambat sehingga penyediaan hara dan
bahan organik lambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh baik akan sangat
terbatas dengan hasil rendah. Tanaman padi dapat beradaptasi dengan baik
pada tanah sulfat masam karena ia tumbuh pada kondisi tanah yang
Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air dibedakan ke
dalam pengelolaan air makro, yaitu penguasaan air pada tingkat kawasan
reklamasi, dan pengelolaan air mikro yaitu pengelolaan air di tingkat lahan
sawah. Pengelolaan air makro bertujuan agar berfungsinya kawasan retarder,
kawasan sempadan dan saluran intersepsi serta jaringan drainase irigasi.
Pengelolaan air di tingkat tersier terkait dengan pengelolaan air makro dan
pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi, 1995).
Dalam penelitian ini dibuat saluran cacing (saluran dangkal intensif =
Intensive Shallow Drainage System) dengan konstruksi: lebar 15 - 20 cm,
kedalaman 15 - 20 cm, dan jarak antar saluran cacing adalah 3 m, 6 m, 9 m, 12 m, dan panjang 25 m. Penentuan jarak saluran cacing 3 m adalah karena
tingkat kandungan Fe pada lokasi percobaan cukup tinggi. Adanya saluran
cacing akan mempercepat pencucian unsur-unsur yang bersifat racun yang
mungkin terbentuk khususnya di lapisan tanah atas, dan memberikan pengaruh
yang positif terhadap perbaikan kualitas air dalam peningkatan hasil padi
(Subagyono et a/, 1998).
Dalam musim kemarau kemungkinan muka air tanah turun di bawah
lapisan pirit, maka ha1 ini harus dicegah dengan mempertahankan selalu
adanya air dalam saluran cacing. Saluran cacing ini berfungsi juga untuk
mempertahankan keadaan anaerob. Walaupun saluran cacing telah diusahakan
terisi air, proses pemasaman masih tetap berlangsung hanya tidak sekuat
apabila air di saluran cacing tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu pada
permulaan musim hujan sebelum tanam, air dibiarkan menggenang beberapa
dilakukan 2 - 3 kali sebelum menanam padi. Perlakuan jarak saluran cacing
3 m, 6 m, 9 m dan 12 m adalah berdasarkan petunjuk bahwa semakin rapatnya
jarak saluran cacing, maka proses pencucian air lahan semakin intensif.
Untuk tingkat kandungan Fe tanah yang tinggi diperlukan jarak saluran cacing
yang lebih rapat.
Petani di delta sungai Mekong Vietnam mempraktekkan penggunaan
saluran dangkal intensif dengan lebar 40 cm, kedalaman 40 - 50 cm, dan jarak
antara saluran 9 m (Nguyen van Luat, 1984).
Subagyono et al. (1998) menyatakan bahwa jarak saluran cacing 12 m
memberikan kualitas air dan kontribusi terhadap hasil padi yang terbaik di Unit
Tatas Kalimantan Tengah. Pada MT.1992 memberikan hasil padi (IR-64)
tertinggi yaitu 3.64 ton GKP/ha berbeda nyata dengan hasil padi pada jarak
24 m. Sedangkan menurut Ismail et al. (1993), untuk budidaya sawah sulfat
masam potensial dengan lokasi luapan pasang tipe B dan tipe C pada Proyek
Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa
-
Swamps 11 dianjurkanjarak saluran cacing 6 m dan 9 m.
Didi Ardi et al. (1995) menyatakan pada tanah sulfat masam potensial di
Karang Agung Ulu bahwa jarak saluran cacing 6 m dengan sistem
penggenangan dan pencucian oleh air pasang yang ada memberika