• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rehabilitasi sawah rawa pasang surut sulfat masam aktual dengan pemberian amelioran, saluran cacing, dan empat varietas padi (Oryza sativa, L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rehabilitasi sawah rawa pasang surut sulfat masam aktual dengan pemberian amelioran, saluran cacing, dan empat varietas padi (Oryza sativa, L.)"

Copied!
294
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)
(152)
(153)

REHABILITASI SAWAH RAWA PASANG SURUT SULFAT MASAM AKTUAL DENGAN PEMBERIAN AMELIORAN, SALURAN CACING DAN

EMPAT VARIETAS PAD1 (Oms

sativa,

L )

Oleh:

SINTO R. NOEHAN

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(154)
(155)

ABSTRACT

SINTO R. NOEHAN. The Rehabilitation of Actual Acid Sulphate Soils of Tidal Swamp Rice Fields by Using Ameliorant, Intensive Shallow Drainage System and Four Rice (Olyza sativa, L.) Varieties. Under supervision of Amris Makmur, Sri Setyati Ha jadi, Didy Sopandie, Hajrial Aswidinnoor, A. Syarifuddin Karama and IPG Widjaja-Adhi.

Many sulphate acid tidal swamp rice fields are abandoned by farmers.

The main constraint of sulphate acid soils for agriculture is soil acidity

(pH <3.5), low nutrient content, iron and sulphate toxicity from the oxidation of

pyrite. Some approaches to rehabilitate the rice fields are through soil

amelioration, apropriate water management and improved agronomic practices

of rice. The objective of this research is to study the methods to rehabilitate rice

soils in sulphate acid tidal swampland through soil amelioration with dolomite

and rock phosphate, the use of intensive shallow drainage system and the

cultivation of four rice varieties.

The results of this study showed that rehabilitation of rice soils in

sulphate acid tidal swampland areas through the use of ameliorant (dolomite

and rock phosphate) was the best which resulted in rice production in the

planting season 1 higher than the average of rice production in the Province of

Central Kalimantan. Without ameliorant, rehabilitation of rice soils in the type C

swampland, resulted in very low productivity during both planting season 1 and

planting season 2, and in the type B swampland during planting season 1.

Ameliorant increases Mg content of soil, P and K content of leaves, decreases

Fe content of soil in the type B swampland. In the type C swampland, the

ameliorant increases P-potential, K-potential, available P, Ca and Mg, Cation

Exchange Capacity, Base Saturation, decreases Fe content of soil. The soil

(156)

soil was still high, improvement in the root zone area had been progressed, as

shown by better growth and yield of the rice plants.

The low rice yield in the type C swampland compared to type B

swampland was mostlikely due to a difference in water supply between the two

locations. The second planting was grown in the dry season. During that

season, the water supply in type C swampland location was mainly from rain

water, whereas in type B swampland location the supply was not only from

rainwater but also from the high tidal waves. The main constraint in the type B

swampland location was iron toxicity, while in the type C swampland location

was shortage of water supply. The other contributing difference was the depth

of pyrite layer. In the type B swampland location, the site of pyrite is shallow

i.e. 20

-

40 cm from soil surface, whereas in type C swampland location is

deeper, 60 - 80 cm from the surface. Therefore, it is recommended that in the

type B swampland location, land preparation is minimum tillage, whereas in the

type C swampland location deep ploughing could be applied.

Appropriate water management will prevent oxydation of pyrite and if the

oxydation occured the materials will be leached out through intensive shallow

drainage system. For soil with high pyrite content, the most densed canals

(3 m) is the most effective in reducing soil Fe and fero ion in the water, leading

to the best improvement of growth and yield of the rice plant.

Rice varieties shows differential adaptation to different type swampland

location. The most adaptive variety for type B swampland is Banyuasin, while

for type C swampland is Lalan. Adaptation of rice variety has shown a sufficient

K content of the leaves, whereas for non adaptive. Siam Unus variety has a

(157)

of ameliorant and rice variety resulted in further improvement of agronomic and

physiological charateristics of the rice plants and resulted the best combination

in increasing the rice yield under iron stress. The interaction of ameliorant and

intensive shallow drainage system increased the grain weight per hill, Ca leave

content, and improved soil characteristics. The interaction of intensive shallow

drainage system and rice variety under high Fe stress only increased the

number of productive tiller. Rice varieties that tolenrant to Fe, showed low Fe

toxicity scoring and long roots and high agronomicly characters. The result of

the plant planed input-output of duwitripa showed higher income than traditional

(158)

ABSTRAK

SINTO R. NOEHAN. Rehabilitasi Sawah Rawa Pasang Surut Sulfat Masam Aktual Dengan Pemberian Amelioran, Saluran Cacing dan Empat Varietas Padi (Oryza sativa, L.). Dibawah bimbingan Amris Makmur, Sri Setyati Ha jadi, Didy Sopandie, Hajrial Aswidinnoor, A. Syarifuddin Karama, dan

IPG

Widjaja-Adhi.

Banyak lahan sawah rawa pasang surut sulfat masam aktual yang

ditinggalkan terlantar oleh petani. Kendala utama tanah sulfat masam aktual

untuk pertanian adalah tingginya kemasaman tanah (pH

<3.5),

rendahnya

kadar hara serta keracunan besi dan sulfat akibat teroksidasinya pirit.

Salah satu pendekatan untuk merehabilitasi lahan sawah pada tanah sulfat

masam rawa pasang surut yang sudah menjadi lahan bongkor adalah dengan

ameliorasi tanah, menerapkan teknik pengelolaan air dan teknik budidaya

tanaman padi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari cara rehabilitasi

sawah rawa pasang surut sulfat masam yang terlantar antara lain dengan

pemberian amelioran, penggunaan saluran cacing dan empat varietas padi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi sawah rawa pasang surut

sulfat masam yang paling baik adalah dengan penggunaan amelioran (dolomit

dan fosfat alam) yang tidak hanya dapat menghasilkan gabah pada MT1,

bahkan hasilnya melebihi rata-rata produksi padi sawah propinsi Kalimantan

Tengah. Tanpa amelioran, rehabilitasi sawah pada lokasi tipe luapan C

menghasilkan gabah sangat rendah (gagal panen) pada MTl dan MT2,

sedangkan gagal panen pada lokasi tipe luapan B hanya te qadi pada MTl saja.

Pemberian amelioran dolomit atau fosfat secara tunggal kurang efektif untuk

merehabilitasi sawah pada MTl. Perbaikan sifat-sifat tanah sudah terjadi sejak

(159)

perbaikan lingkungan perakaran sehingga tanaman padi mampu mencapai

pertumbu han dan hasil yang cukup tinggi. Pemberian amelioran meningkatkan

Mg tanah dan kandungan PI K daun, serta menurunkan kandungan Fe tanah

untuk lokasi tipe luapan B, sedangkan untuk tipe luapan C meningkatkan P-

potensial, K-potensial, PI Ca, Mg, KTK dan KB, serta menurunkan kandungan

Fe tanah.

Rendahnya hasil gabah pada tipe luapan C dibanding tipe luapan B

kemungkinan disebabkan oleh ketersediaan air yang berbeda antara kedua

lokasi tersebut. Penanaman MT2 dilakukan pada musim kemarau. Pada lokasi

tipe luapan C hanya mendapatkan air yang berasal dari hujan, sedangkan untuk

tipe luapan B selain dari air hujan juga dari air pasang besar. Perbedaan

lainnya adalah kedalaman letaknya pirit. Pada tipe luapan B, letak pirit

dangkal 20-40 cm dibawah permukaan tanah, sedangkan pada tipe luapan C

pada kedalaman 60-80 cm. Oleh karena itu pada lokasi tipe luapan B

sebaiknya menerapkan cara olah tanah minimum (OTM) dan pada tipe luapan C

boleh dilakukan olah tanah bajak dalam.

Pembuatan saluran cacing mempercepat proses pencucian

/

pengurangan kandungan Fe tanah dan ion fero air tanah, memperbaiki

lingkungan perakaran sehingga tanaman padi mampu mencapai pertumbuhan

dan hasil yang cukup tinggi. Oleh karena tanah tetap dalam keadaan anaerob,

maka penggunaan jarak saluran cacing yang paling rapat (3 m) paling efektif

mencegah proses oksidasi pirit dan mengendalikan keracunan besi.

Varietas padi yang paling adaptif untuk tipe luapan B adalah Banyuasin,

(160)

lokasi tipe luapan B dan tipe luapan C memiliki sifat-sifat fisiologi berbeda.

Varietas padi yang adaptif memilki serapan K cukup, sebaliknya yang kurang

adaptif memiliki serapan K rendah. Varietas Siam Unus memilki serapan K

cukup pada lokasi tipe luapan B dan tipe luapan C. Varietas padi tenggang Fe

menunjukkan skor gejala keracunan Fe lebih rendah dan akar yang lebih

panjang dibanding varietas padi peka Fe, penampilan agronomi (jumlah anakan

produktif, persentase gabah isi, bobot gabah per rumpun dan hasil) lebih tinggi.

Varietas padi berinteraksi dengan amelioran. Semua varietas padi dengan tanpa

amelioran menghasilkan gabah paling rendah, dan tinggi pada amelioran

lengkap dolomit dan fosfat alam. Namun bila diberi dolomit saja atau fosfat

alam saja, maka varietas Banyuasin di tipe luapan B dan varietas Lalan di tipe

luapan C mampu menunjukkan hasil gabah yang cukup tinggi. Berdasarkan

hitungan masukan-hasil, maka sistem tanam Duwitripa dapat meningkatkan

(161)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang be judul :

"Rehabilitasi Sawah Rawa Pasang Surut Sulfat Masam Aktual Melalui Pemberian

Amelioran, Saluran Cacing dan Studi Agronomi Empat Varietas Padi (Oryza

sativa, L.)".

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah

dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor,

15

pril 2003 /

P

Yan buat pernyataan,

(162)

REHABILITASI SAWAH RAWA PASANG SURUT SULFAT MASAM AKTUAL

DENGAN PEMBERIAN AMELIORAN, SALURAN CACING DAN

EM PAT VARIETAS PAD1 (Oryza sativa, L.).

(The rehabilitation of actual acid sulphate soils on tidal swamp rice fields by using ameliorant, intensive shallow drainage system and

four rice ( O w a sativa, L.) varieties)

Oleh :

SINTO R. NOEHAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Pascasa jana Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

INSrITUT PERTANIAN BOGOR

(163)

Judul Disertasi : Rehabilitasi Sawah Rawa Pasang Surut Sulfat Masam Aktual

dengan Pemberian Amelioran, Saluran Cacing dan Empat

Varietas Padi (Oryza sativa, L.).

Nama Mahasiswa: Sinto R. Noehan

Nomor Pokok : 95563 Program Studi : Agronomi

Menyetujui :

1. Komisi Pembimbing,

Prof.Dr.Ir. Amris Makmur, MSc

Ketua

~ k t f . ~ r . ~ r . Sri Setvati Hariadi, MSc Dr.Ir. Didv So~andie. MAar

Anggota

'\ /

Anggota

Dr.d. A. ~+arifuddin Karama, MSc

\

Dr.Ir. Hairial Aswidinnoor, MSc

Ang g ota Ang g ota

Dr.Ir. IPG Widiaia-Adhi. MSq

Anggota

2. Program Studi Agronomi

-. -r a I '

(164)

Penulis dilahirkan di Tewang Pajangan, Kalimantan Tengah, pada tanggal 15 Pebruari 1954, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah Rasad Noehan dan ibu Eunike Rintuh. Penulis menikah dengan Ir. Nyelong I. Simon pada tahun 1981 dan telah dikaruniai empat orang anak.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat di Tewang Pajangan tahun 1966, Sekolah Menengah Pertama Negeri I1 di Kuala Kapuas tahun 1969 dan Sekolah Menengah Atas Negeri I di Kuala Kapuas tahun 1972. Tahun 1981 menyelesaikan pendidikan sa rjana pada Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Pada tahun 1986-1989 mengikuti program Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pasca Panen, Fakultas Pascasarjana IPB, dan sejak 4 September 1995 mengikuti program Doktor pada Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana IPB.

(165)

DAFTAR

IS1

Halaman

...

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR

...

xv

DAFTAR LAMPIRAN

...

xvi

PENDAHULUAN ... 1

...

Latar Belakang 1

...

Kerangka Pemikiran 4

...

Tujuan Penelitian 9

Hipotesis

...

9

...

TINJAUAN PUSTAKA 12

...

Pengertian dan Potensi Tanah Sulfat Masam 12

Beberapa Karakter Rawa Pasang Surut Sulfat Masam

...

15

Peranan Amelioran pada Tanah Sulfat Masam

...

17

...

Pengelolaan Air pada Tanah Sulfat Masam 19

Respon Tanaman Padi Terhadap Keracunan Besi ...

26

...

BAHAN DAN METODE 32

Waktu dan Tempat

...

32

...

Bahan dan Alat 33

Metode ... 33

...

HASIL DAN PEM BAHASAN 44

...

Pengaruh Amelioran 44

Pengaruh Saluran Cacing

...

51

...

(166)

PEMBAHASAN UMUM

...

73

Ketersediaan Hara ... 73 Model Usa ha Pertanian dan Teknologinya

...

77

Peranan Sarana dan Prasarana Tata Air

...

83

Peranan Varietas Tenggang

...

87

KESIMPULAN DAN SARAN

...

89

...

Kesimpulan 89

...

Saran 90

DAFTAR PUSTAKA

(167)

No

.

Halaman

1 Tipologi Lahan Rawa di Sumatera. Kalimantan. Sulawesi dan

Papua

...

13

2

.

Pengaruh Pemberian Amelioran Terhadap Komponen Agronomi pada MT1 dan MT2 di Lokasi Tipe

...

Luapan B dan Tipe Luapan C

3

.

Hasil Analisis Tanah Sebelum Penelitian dan Pengaruh Pemberian

Amelioran Terhadap Hasil Analisis Tanah Setelah MT2

...

49

4

.

Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Hasil (t GKG/ha)

...

52

5

.

Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Persentase Gabah Isi

...

dan Bobot Gabah per Rumpun 53

6

.

Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Skor Gejala Keracunan

Fe

...

57

7

.

Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Panjang Akar Tanaman

Padi

...

57

8

.

Pengaruh Interaksi Amelioran dengan Jarak Saluran Cacing

Terhadap Bobot Gabah per Rumpun pada MTl

...

58

9

.

Pengaruh Interaksi Amelioran dengan Jarak Saluran Cacing

Terhadap Kandungan Ca Daun di Lokasi Tipe Luapan C

...

59

...

10

.

Pengaruh Varietas Padi Terhadap Komponen Agronomi 61

...

11.Hasil Analisis Hara Jaringan Daun di Lokasi Tipe Luapan B 62

...

12.Hasil Analisis Hara Jaringan Daun di Lokasi Tipe Luapan C 63

13.Kriteria Status Kandungan Hara Daun Empat Varietas Padi

...

(Jones. 1998) di Lokasi Tipe Luapan B 64

14.Kriteria Status Kandungan Hara Daun Empat Varietas Padi

...

(Jones. 1998) di Lokasi Tipe Luapan C 64

...

15.Pengaruh Varietas Padi Terhadap Skor Gejala Keracunan Fe 66

(168)

17.Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Amelioran Terhadap

Hasil (t GKG/ha) pada MT2

...

68

18. Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Amelioran Terhadap

Komponen Agronomi pada MT2 di Lokasi Tipe Luapan C ... 69 19.Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Amelioran pada Fase

Vegetatif Terhadap Kandungan Mg Daun

...

70

2O.Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Amelioran pada Fase

...

Vegetatif Terhadap Kandungan S dan Fe Daun 7 1

21.Pengaruh Interaksi Varietas Padi dengan Jarak Saluran Cacing Terhadap Jumlah Anakan Produktif pada MT2 di Lokasi Ttpe

(169)

DAFTAR GAMBAR

No

.

Halaman

1

.

Kerangka Penelitian

...

2

.

Penempatan Blok Percobaan pada Lokasi Tipe Luapan B ...

3

.

Penempatan Blok Percobaan pada Lokasi Tipe Luapan C ...

...

.

4 Rancangan Lapangan pada Blok Percobaan

.

...

5 Pola Tanam Duwitripa

...

6

.

Konstruksi Galangan dan Saluran

7

.

Pengaruh Amelioran Terhadap Hasil Gabah ...

8

.

Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Kandungan Ion Fero Air Tanah Selama MT2 di LokasimTipe Luapan B ...

9

.

Pengaruh Jarak Saluran Cacing Terhadap Kandungan Ion Fero Air Tanah Selama MT2 di LokasimTipe Luapan C ...

10

.

Pengaruh Perlakuan Saluran Cacing Terhadap Kandungan Fe

...

Tanah pada MT2 di Lokasi Tipe Luapan B

...

11

.

Hasil Gabah Berbagai Varietas Padi

12

.

Penampang Melintang Akar Tanaman Padi IR-64 pada Fase

...

Vegetatif

13

.

Panjang Akar Berbagai Varietas Padi ...

14

.

Hubungan Anatar Kandungan Fe Jaringan Daun dengan Hasil Gabah Kering Giling Tanaman Padi ...

15

.

Kurva Regresi Kandungan Ion Fero Air Tanah Selama MT2 di Lokasi Tipe Luapan B ...
(170)

DAFTAR LAMPIRAN

No

.

Halaman

1 Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam pada MTl dan MT2 di Lokasi Lokasi Luapan Pasang Tipe B

...

2

.

Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam pada MTl dan MT2 di Lokasi Lokasi Luapan Pasang Tipe C ...

3

.

Skor Gejala Keracunan Fe pada Tanaman Padi

...

4

.

Metode Analisis Besi(II1) pada Jaringan Akar Padi Varietas IR-64

...

5

.

Deskripsi Varietas Padi Unggul Lalan

...

6

.

Deskripsi Varietas Padi Unggul Banyuasin

...

7

.

Deskripsi Varietas Padi Unggul Introduksi IR-64

...

8

.

Deskripsi Varietas Padi Lokal Siam Unus ...
(171)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan

penduduk. Sementara itu areal pertanian produktif di daerah padat penduduk

terutama di Jawa terus menyusut akibat perluasan pemukiman, perindustrian

dan jaringan transportasi. Rawa-rawa yang semula dirasakan kurang menarik

dan dianggap kurang memberikan manfaat, akhir-akhir ini mulai dikembangkan

untuk mengatasi kekurangan pangan.

Menurut Mulyadi (1977) dan Widjaja-Adhi (1987), di Indonesia terdapat

39.42 juta hektar lahan rawa, dan sebagian besar dari lahan rawa tersebut

(24.71 juta hektar) merupakan rawa pantai yang dipengaruhi oleh pasang

surutnya air laut. Lahan rawa pantai umumnya didominasi oleh gambut dan

tanah sulfat masam. Luas tanah sulfat masam di Indonesia kurang lebih

6.7 juta hektar, sementara di Kalimantan diperkirakan mencapai 1.9 juta hektar

(Nugroho et al., 1992).

Pengembangan pertanian lahan rawa hingga sekarang telah dibuka

sekitar satu juta hektar melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang

Surut (1969-1994), Swamps I1 (1985-1993), Pengembangan Lahan Gambut

(PLG) dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Moderen (SUP) tahun 1997.

Namun beberapa kendala tanah menyebabkan pengembangan pertanian di

lahan rawa tersebut mengalami hambatan. Kendala yang sering muncul pada

tanah sulfat masam yang umumnya terdapat di daerah pasang surut adalah pH

rendah, keracunan besi, alumunium, sulfat, kahat hara seperti P, K, Ca dan Zn

(172)

Tanah sulfat masam akan bermasalah bagi pengembangan tanaman

pertanian jika horizon sulfurik atau pirit teroksidasi. Jika te rjadi oksidasi, maka

kemasaman tanah akan meningkat, yang kemudian menciptakan kondisi

kimiawi tanah lainnya yang tidak mendukung untuk pertumbuhan tanaman.

Tanah sulfat masam yang piritnya teroksidasi menjadi tidak dapat ditanami,

sehingga lahan tersebut disebut bongkor atau mati suri (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1998).

Lahan rawa pasang surut dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian

produktif apabila dikelola secara hati-hati dan benar dengan memperhatikan

sifat dan karakteristik tanah secara rinci. Pengelolaan air sangat penting

dalam memperbaiki kualitas tanah dan menanggulangi atau mengurangi

degradasi tanah sebagai akibat salah pengelolaan. Konsep dasar dan strategi

pengelolaan air didasarkan pada sifat tanah dan tipe luapan pasang surut.

Pemanfaatan yang sesuai, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan

yang serasi dengan karakteristik, sifat dan kelakuan tanah dan air dapat

mengubah tanah di daerah rawa pasang surut dan pantai menjadi lahan

pertanian berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan (Widjaja-Adhi, 1987;

Subagyono, Vadari dan Widjaja-Adhi, 1998).

Pada pengembangan lahan rawa pasang surut untuk sawah, karena

kondisi tergenang dan kering yang silih berganti mengakibatkan adanya

perubahan kondisi reduktif dan oksidatif yang silih berganti juga. Pada saat

tergenang (reduktif), banyak Fe3+ yang ditransformasikan ke dalam bentuk

Fe2+ sehingga dapat mendesak kedudukan kation-kation lain seperti K, Ca, Mg

(173)

kering (oksidatif), Fe2+ teroksidasi menghasilkan Fe3+ yang dapat meracuni

tanaman (Siuta, 1962; Brinkman, 1970).

Untuk mengatasi kendala kimiawi tanah pada lahan sawah tanah sulfat

masam antara lain dengan pemberian kapur untuk menurunkan kernasaman

tanah, dan penggunaan varietas padi yang tenggang terhadap keracunan besi.

Selain cara tersebut adalah pengelolaan air untuk mengurangi kandungan

unsur-unsur yang bersifat racun dan menghindari proses pemasaman lanjut.

Teknik yang telah dikembangkan adalah pengelolaan tata air mikro dengan

menggunakan sistem drainase dangkal intensif (saluran cacing) (Widjaja-Adhi,

1998; Subagyono et a/., 1998).

Sistem tanam padi sawah di Kalimantan Tengah pada umumnya satu kali

setahun menanam varietas lokal yang pemeliharaannya kurang intensif, hasil

gabahnya rendah tetapi nasinya disukai masyarakat. Untuk itu pada Operasi

Khusus Simpei Karuhei 1990-1991 dan Miniatur Proyek Pengembangan Lahan

Gambut 1 juta hektar 1996-1998 telah diintroduksi sistem tanam Sawitdupa

(Satu kali mewiwit/menyemai dua kali panen), yaitu pada musim tanam

penghujan (Oktober-Maret) ditanam padi varietas unggul dan selanjutnya pada

musim tanam kemarau (April-September) ditanam padi varietas lokal (Diperta

Kalteng, 1999).

Lokasi lahan rawa pasang surut yang digunakan pada penelitian ini

adalah pada luapan pasang tipe B dan tipe C. Dipilihnya lokasi tipe C atas

dasar pertimbangan untuk menambah luas tanam dan intensitas pertanaman

yang biasanya sekali setahun (IP-100) menjadi dua kali setahun (IP-200).

(174)

pengembangan sawah yang sudah ada sehingga produktivitasnya tinggi. Kedua tipe tersebut berbeda dalam ha1 sistem tata air dan ketersediaan sumber air irigasinya.

Reklamasi tanah sulfat masam dengan mengkombinasikan pengelolaan tanah, pengelolaan tata air dan pemberian amelioran (kapur) di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan telah menunjukkan hasil yang memadai (Vadari et al., 1992; Subagyono et al., 1998). Namun penelitian yang dilakukan pada tanah dengan tipe luapan yang berbeda masih belum dilakukan. Masing- masing tanah dengan tipe luapan pasang seyogianya mempunyai teknik pengelolaan tanah dan air serta perbaikan hara tanah yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini menilai tentang rehabilitasi sawah pada tanah sulfat masam di lahan rawa pasang surut melalui pemberian amelioran (dolomit dan fosfat alam) dan penggunaan saluran cacing yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman padi ditinjau dari sifat-sifat fisiologi dan agronomi. Lokasi penelitian adalah tanah sulfat masam aktual, dimana pada tipe luapan B merupakan tanah sulfat masam dangkal (SMPl) dengan kriteria SMA2 dan pada tipe luapan C merupakan tanah sulfat masam dalam (SMP2) dengan kriteria SMA2 (Tabel 1).

Kerangka Pemikiran

(175)

Oleh karena itu perlu dilakukan masukan teknologi untuk merehabilitasi tanah

sawah sehingga menjadi lebih produktif.

Tanah sulfat masam potensial memiliki kedalaman lapisan pirit yang

berbeda. Pada tanah sulfat masam yang tergolong ke dalam sulfat masam

potensial 1 (SMP1) lapisan pirit berada pada kedalaman

<

50 cm sedangkan

pada sulfat masam potensial 2 (SMP2) kedalaman lapisan pirit 50

-

100 cm.

Kedua kriteria ini secara berturut-turut biasanya diwakili oleh lokasi tipe luapan

B dan tipe luapan C. Perbedaan kedalaman lapisan pirit menyebabkan

perbedaan dalam pengelolaan tanah terutama segi pengolahan tanah. Selain

itu kedua wilayah juga dibedakan dari segi tipe luapan pasang surut serta

ketersediaan air. Lokasi tipe luapan B dipengaruhi langsung oleh pasang surut

harian tetapi hanya terluapi oleh pasang besar saja dan tidak terluapi oleh

pasang kecil, sedangkan pada tipe luapan C air pasang berpengaruh melalui air

tanah oleh karena itu air tanahnya dangkal yaitu

<

50 cm dari permukaan

tanah. Pada musim penghujan lokasi tipe luapan C selalu terluapi oleh air

hujan.

Menurut Subagyo dan Widjaja-Adhi (1996) bahwa tata air mikro

dibangun pada lahan budidaya memperhatikan sifat tanah dan tipe luapan

pasang surut. Lahan pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat masam

potensial, maka penggenangan dilakukan dengan mempertahankan air tanah

diatas lapisan pirit. Dengan demikian diusahakan agar selalu membuat kondisi

dalam keadaan anaerob. Apabila bangunan saluran-saluran air di tingkat

sawah diperlukan, maka penggalian saluran tersebut hendaknya tetap diatas

(176)

diperhatikan sebab pirit yang terangkat tersebut akan teroksidasi dan tanah

galian menjadi masam. Kemasaman tersebut akan berbahaya bagi daerah di

sekelilingnya apabila terbawa air hujan. Sebagai contoh di daerah Barambai

Kalimantan Selatan, tanah galian yang mengandung pirit telah teroksidasi dan

menjadi masam, merusak tanaman yang berada disamping galangan-galangan

galian tersebut. Oleh karena itu pembuatan saluran-saluran disamping

galangan-galangan harus dilakukan hati-hati.

Pengembangan sawah pada lokasi tipe luapan C juga dimaksudkan

untuk memperluas areal tanam. Selama ini lokasi luapan tipe C tidak dijadikan

areal persawahan padahal kondisinya selalu tergenang pada musim hujan, dan

pada musim kemaraupun masih tersisa air dalam bentuk macak-macak.

Dengan demikian perlu dilakukan percobaan pada ke dua tipe luapan sehingga

dapat diketahui pola penanganan pada masing-masing tipe luapan.

Kendala lain pada tanah sulfat masam adalah tingginya kemasaman

tanah (pH <3.5), serta rendahnya kadar hara tanah. Pemberian amelioran

dalam bentuk kapur dan fosfat alam merupakan salah satu solusi yang terbaik.

Menurut Smilde (1990) bahwa pemberian kapur lebih ditujukan untuk

mengontrol alumunium dan pertumbuhan tanaman padi pada pH 4.5 - 5.0.

Penggunaan fosfat alam berkualitas tinggi untuk budidaya tanaman mempunyai

beberapa manfaat. Fosfat alam mempunyai sifat tidak larut dalam air, memiliki

kandungan P dan Ca cukup tinggi, unsur P mengurainya lambat serta

mempunyai efek residu jangka panjang. Pemberian amelioran fosfat alam pada

(177)

lebih baik dibanding pupuk TSP, dan mempunyai efek residu hingga musim tanam ketiga (Vadari etal., 1992).

Penelitian tentang penggelontoran/pencucian air lahan pada tanah sulfat masam di lapang juga telah banyak dilakukan. Pencucian tanah sulfat masam yang disawahkan dengan saluran cacing berukuran lebar 20 cm, kedalaman 30 cm, dan jarak antar saluran cacing 6 m meningkatkan pH tanah sebesar 0.55 pada musim tanam tahun pertama dan 0.99 pada musim tanam kemarau (Subiksa e t al., 1991). Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pencucian dengan air pasang lebih efektif dibanding air hujan (Didi Ardi e t al., 1995). Dalam penelitian ini dibuat saluran cacing (saluran dangkal intensif = Intensive Shallow Drainage System) dengan konstruksi: lebar 15

-

20 cm, kedalaman 15 - 20 cm, dan jarak antar saluran cacing adalah 3 m, 6 m, 9 m, 12 m, dan panjang 25 m. Penentuan jarak saluran cacing 3 m adalah karena tingkat kandungan Fe pada lokasi penelitian cukup tinggi. Adanya saluran cacing akan mempercepat pencucian unsur-unsur yang bersifat racun yang mungkin terbentuk khususnya di lapisan tanah atas, dan memberikan pengaruh yang positif terhadap perbaikan kualitas tanah dan air dalam peningkatan hasil padi (Subagyono et al., 1998).
(178)

(Jayawardhana, 1989). Bronzing pada daun adalah tipe penyakit yang

berhubungan dengan hara dalam padi disebabkan oleh keracunan besi, maka

daun dapat mengandung 700 mg Fe/kg berat kering atau lebih tinggi lagi

(Yamauchi, 1989).

Sampai saat ini petani pada wilayah pasang surut Kalimantan Tengah

sedikit sekali yang menanam varietas padi unggul. Hal ini disebabkan karena

rasa nasinya kurang disukai dan pengelolaan varietas unggul terlalu intensif

sehingga menyita banyak waktu dan tenaga. Sebagian besar petani menanam

varietas padi lokal dan hanya mampu panen sekali dalam satu tahun (IP 100).

Oleh karena itu dilakukan percobaan dengan mengembangkan pola

Sawitdupa (Satu kali mewiwit dua kali panen) menjadi Duwitripa (Dua kali

mewiwit tiga kali panen), yaitu menanam dua kali varietas padi unggul tanpa

meninggalkan varietas padi lokal. Dengan pola ini diharapkan akan terjadi

perangsangan minat petani untuk mengusahakan padi sawah serta peningkatan

intensitas panen menjadi IP 200.

Beberapa penelitian yang dilakukan selama ini hanya dilakukan dalam

skala kecil dan terbatas (skala petak percobaan). Teknik pengelolaan tata air

dan teknik budidaya padi sawah rawa pasang surut sulfat masam secara

ekonomis dapat diterapkan apabila dikejakan minimal pada satu hamparan

yang luas dan terkendali, yaitu dalam satu petak tersier atau dalam satu petak

handel (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1996; Vadari et al, 1992). Pada penelitian

ini dilakukan dalam skala yang lebih luas (skala hamparan petakan tersier dan

(179)

Hasil penelitian yang sudah dilakukan selama ini oleh proyek-proyek di

lingkungan Departemen Pertanian terhadap peranan pengelolaan air dan teknik

budidaya anjuran pada sawah pasang surut terhadap penampilan agronomi

padi sawah belum cukup dipelajari.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menilai hasil rehabilitasi sawah rawa

pasang surut sulfat masam aktual ditinjau dari sifat-sifat fisiologi dan

agronomi, melalui:

1 Pemberian amelioran (dolomit dan/atau fosfat alam).

2. Penggunaan saluran cacing.

3. Adaptasi beberapa varietas padi.

4. Interaksi antar faktor pemberian amelioran (dolomit dan fosfat alam),

penggunaan saluran cacing dan varietas padi.

Hipotesis

Pemberian amelioran (dolomit dan/atau fosfat alam) akan memperbaiki

reaksi dan ketersediaan hara tanah sawah. Dolomit akan mengurangi

kemasaman tana h sehingga sebagian hara yang sebelumnya teri kat secara

kimiawi dalam koloid tanah dapat tersedia dan diserap oleh tanaman.

Hara P pada tanah sulfat masam secara pedologis sangat rendah dan

terikat oleh Fe, sehingga pemberian fosfat alam akan menambah suplai P

(180)

2. Penggunaan saluran cacing (intensive shallow drainage system) di dalam petakan sawah pasang surut sulfat masam dapat mengendalikan keracunan besi karena akan mencegah proses oksidasi pirit. Kalaupun te qadi oksidasi sebagian hasil oksidasinya cepat tercuci.

3. Varietas padi yang berbeda ketenggangannya memberi respon berbeda terhadap kondisi tanah.

(181)

Kendala

Tanah Sulfat Masam pada Lahan Rawa Pasang Surut

A

TANAH : pH <~.o,F~~',AI~', ~0~~-,kahat P,K,Ca,Mg, Zn, kematangan gam- but rendah, bongkor / mati suri

4

AIR:

pH <4.0,~e~+, AL~+,

~0~~-,tersedia (tipe B), terbatas (tipe C)

.

TANAMAN:

Penyakit "bronzing", varietas lokal, inten- sitas rendah, produk- si rendah atau gagal panen

---r

METODE REHABIUTASI SAWAH :

Kondisi Tanah Tipe luapan B Tipe luapan C MTI, MT2 (Uji lapang, pola tanam duwitripa, uji laboratorium, uji statistika)

Hasil Penelitian:

I. Perbaikan lingkungan akar 2. Perbaikan proses fisiologi

3. Perbaikan adaptasi varietas (penampilan agronomi) 4. Interaksi antar faktor

Kesimpulan:

I. Hara tanah tersedia

2. Pengelolaan air yang tepat

3. Produktivitas lahan meningkat

4. Produksi tanaman padi cukup tinggi dan berkelanjutan

(182)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Potensi Tanah Sulfat Masam

Tanah sulfat masam umumnya bertekstur liat, berada di lahan rawa

pantai serta memiliki lapisan gambut tipis <20 cm dan memiliki lapisan pirit

yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horizon sulfidik)

pada kedalaman 0-50 cm. Lapisan pirit atau sulfidik, adalah lapisan tanah

yang mengandung pirit >2%, sedangkan horizon sulfidik adalah horizon tanah

yang terbentuk oleh adanya proses oksidasi pirit yang pada umumnya dicirikan

oleh terdapatnya jarosite dan pH tanah <3.5 (Widjaja-Adhi, 1992).

Tipologi lahan rawa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, disajikan

pada Tabel 1.

Berdasarkan identifikasi dan karakteristik tanah, maka tanah sulfat

masam terdapat dua macam (Soil Survey Staff, 1996), yaitu (1) Sulfat masam

potensial, dimana pirit masih berupa bahan sulfidik dalam status reduksi pada

kedalaman 0-50 cm dan pH >4.0, termasuk dalam klasifikasi tanah Entisols:

Histic Sulfaquents, Haplic Sulfaquents, Typic Sulfaquents, dan (2) Sulfat masam

aktual, dimana memiliki horizon sulfurik atau pirit yang telah teroksidasi pada

kedalaman 0-50 cm dan pH <3.5, termasuk dalam klasifikasi tanah Inceptisols:

Typic Sulfaquepts, Sulfic Tropaquepts.

Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan lapisan sulfidik secara lebih rinci,

yaitu lapisan tanah yang memiliki pH >3.5 dimana jika diinkubasi pada kondisi

kapasitas lapang dengan ketebalan lapisan tanah 1 cm selama 8 minggu, maka

(183)

Tabel 1. Tipologi Lahan Rawa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua

I

Simbol

I

Karakter

/

Kriteria Berdasarkan kedalaman gambut:

G1

[

Gambut danqkal, 50 - 100 cm G2

G3 G4

1

Berdasarkan kedalaman dan lama qenanqan: Gambut sedang, 100 - 200 cm Gambut dalam, 200 - 300 cm Gambut sanqat dalam, >300 cm

Berdasarkan kedalaman letak lapisan pirit dan oksidasi pirit: SMPl SMP2 SMP3 SMAl SMA2 SMA3

Luas lahan bertanah sulfat masam di seluruh dunia kurang lebih 12 juta Lahan sulfat masam potensial danqkal, kedalaman lapisan pirit <50cm Lahan sulfat masam potensial dalam, kedalaman lapisan pirit 50-100 cm Lahan sulfat masam potensial sangat dalam, kedalaman lapisan pirit

100 - 150 cm

Lahan sulfat masam aktual, oksidasi pirit telah terjadi tetapi belum menunjukkan adanya horizon sulfidik (adanya jarosite, pH ~ 5 . 5 ) Lahan sulfat masam aktual, telah terlihat ciri horizon sulfidik dan kedalaman bercak berpirit 50 - 100 cm

Lahan sulfat masam aktual, horizon sulfidik telah terlihat (adanya iarosite. DH ~ 3 . 5 ) dan kedalaman bercak ber~irit >I00 cm

R1 R2 R3

hektat- (Dent, 1986). Beek et al. (1980) dalam Konsten et al (1990) Rawa dangkal, kedalaman <50 cm, lama genanqan < 3 bulan

Rawa tenqahan, kedalaman 50-100 cm, lama qenanqan 3-6 bulan Rawa dalam, kedalaman >I00 cm, lama genangan

>6

bulan

memperkirakan luas tanah sulfat masam di dunia lebih besar lagi, 12

-

14 juta Sumber: Widjaja-Adhi, 1987; Ritzema et al., 1992

hektar. Dari luasan tersebut, menurut Nugroho et al, (1992) yang terdapat di Indonesia kurang lebih 6.7 juta hektar. Lahan bertanah sulfat masam memiliki topografi datar sehingga sesuai untuk berbagai jenis penggunaan.

(184)

memungkinkan oksigen masuk ke dalam tanah dan selanjutnya akan

mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan besi feri. Apabila

oksidasi pirit berlangsung cepat, maka akan terbentuk mineral jarosite berupa

bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986).

Ketersediaan air di lahan pasang surut sulfat masam dari segi kuantitas

umumnya tidak menjadi masalah. Disamping itu, kenyataan menunjukkan

bahwa daerah tanah sulfat masam umumnya memiliki iklim yang sesuai untuk

berbagai jenis tanaman terutama tanaman pangan. Ditinjau dari sifat tanah,

tanah sulfat masam memiliki potensi yang rendah untuk budidaya tanaman.

Drainase tanah sulfat masam umumnya buruk, sehingga bila tanpa perbaikan

drainase, tidak banyak tanaman yang dapat dikembangkan. Namun perbaikan

drainase yang terlalu dalam melampaui kedalaman lapisan pirit dapat

mengakibatkan sifat tanah memburuk. Konsten et al. (1990) menyatakan

bahwa pengelolaan tanah sulfat masam sering memerlukan masukan teknologi

cukup mahal sehingga sampai saat sekarang banyak yang belum termanfaatkan

atau kalaupun sudah termanfaatkan ditinggalkan oleh petani setelah budidaya

tanamannya gagal. Lebih lanjut ditegaskan bahwa salah satu faktor penentu

keberhasilan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan pada tanah sulfat

masam adalah pengelolaan air, khususnya untuk mengendalikan kemasaman

(185)

Beberapa Karakter Rawa Pasang Surut Sulfat Masam

Menurut Direktorat Rawa (1992) dan Noorsyamsi et al. (1984), rawa

pasang surut dibedakan rnenjadi 4 tipe berdasarkan kernarnpuan air pasang

rneluapi lahan, yaitu :

1. Tipe A adalah lahan rawa di bagian paling rendah dipengaruhi oleh pasang

surut harian. Selalu terluapi air pasang harian, pasang besar dan pasang

kecil, sepanjang tahun selama musim penghujan dan rnusim kemarau.

Pasang surut harian rnendominasi neraca air, dan profil tanah selalu jenuh

air. Wilayahnya terletak diantara surut terendah rata-rata dan pasang

kecil rata-rata.

2. Tipe B adalah lahan rawa di bagian agak lebih tinggi (antara lain ke arah

tanggul sungai atau ke arah kubah), dipengaruhi langsung oleh pasang

surut harian tetapi hanya terluapi oleh pasang besar saja dan tidak terluapi

oleh pasang kecil atau pasang harian tertinggi. Air menggenang selama

pasang besar, dan air tanah berada di bawah permukaan tanah selama

pasang kecil. Wilayahnya terletak diantara pasang kecil rata-rata dan

pasang besar rata-rata.

3. Tipe C adalah lahan pasang surut yang relatif kering, tidak dipengaruhi oleh

pasang surut harian. Tidak pernah terluapi air pasang walaupun pasang

besar. Air pasang berpengaruh melalui air tanah, dan oleh karena itu air

tanahnya dangkal

<

50 crn dari permukaan tanah. Pada rnusim penghujan dapat terluapi oleh air hujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.

4. Tipe D adalah lahan pasang surut yang tergolong kering. Lahan tidak

(186)

>

50 cm dari permukaan tanah. Air pengairan semata-mata datang dari air

hujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.

Ritzema et al: (1992) mengklasifikasi lahan pasang surut berdasarkan

tipe luapan pasang surut dan jenis tanah sulfat masam, yaitu lahan tipe luapan

A didominasi oleh tanah sulfat masam potensial, lahan tipe luapan B didominasi

oleh tanah sulfat masam aktual, lahan tipe luapan C didominasi oleh tanah

sulfat masam aktual, dan lahan tipe luapan D didominasi oleh tanah sulfat

masam potensial atau aktual. Lokasi-lokasi dimana kondisi hidrologi sangat

dipengaruhi oleh iklim, maka konsep tersebut harus didasarkan pada musim

(musim penghujan atau musim kemarau).

Menurut Subagyo dan Widjaja-Adhi (1996) bahwa tata air mikro

dibangun pada lahan budidaya memperhatikan sifat tanah dan tipe luapan

pasang surut. Untuk lahan pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat

masam potensial, maka penggenangan atau mempertahankan air tanah diatas

lapisan pirit merupakan strategi yang sangat penting. Apabila saluran-saluran

air diperlukan, maka penggalian saluran tersebut hendaknya tetap diatas

lapisan pirit. Pembuangan tanah galian yang mengandung pirit harus

diperhatikan sebab pirit yang terangkat tersebut akan teroksidasi dan tanah

galian menjadi masam. Kemasaman tersebut akan berbahaya bagi daerah di

sekelilingnya apabila terbawa air hujan. Sebagai contoh di daerah Barambai

Kalimantan Selatan, tanah galian yang mengandung pirit telah teroksidasi dan

(187)

Oleh karena itu pembuatan saluran-saluran disamping tanggul-tanggul harus

dilakukan hati-hati.

Peranan Amelioran pada Tanah Sulfat Masam

Pemberian amelioran kapur pada tanah sulfat masam dapat memperbaiki

sifat fisik, kimia dan meningkatkan aktivitas biologi tanah. Salah satlr pengaruh

terpenting dari pengapuran adalah menurunkan aktivitas Al yang berlebihan

dan menurunkan kemasaman tanah, serta untuk menyediakan unsur hara bagi

tanaman. Kalsium dari bahan kapur dapat memperbaiki struktur tanah (Baver,

1960 dan Soepardi, 1983). Sumbangan ion ca2+ dapat rneningkatkan

terjadinya flokulasi di dalam tanah sehingga memperbaiki struktur tanah yang

lebih stabil. Arsyad (1980) menyatakan bahwa Ca berperan dalam pengikatan

butir-butir liat secara kimia melalui ikatan antara bagian negatif liat dengan

gugus negatif senyawa organik berantai panjang dengan pertautan basa dan

ikatan hidrogen. Pengaruh lain adalah peningkatan serapan P melalui

pertumbu han dan perkembangan akar tanaman dengan teratasinya keracunan

Al, Fe dan Mn, serta memperbaiki serapan Ca, Mg dan Mo oleh tanaman

(Soepardi, 1983).

Menurut Smilde (1990) bahwa pemberian kapur lebih ditujukan untuk

mengontrol alumunium dan pertumbuhan tanaman padi pada pH 4.5 - 5.0.

Tanah pada umumnya mengandung sejumlah kecil fosfor tersedia secara

alamiah, dan kegiatan pertanian mengangkut fosfor tersebut sebanding dengan

(188)

sangat tercuci memberikan hasil semakin menurun dan akhirnya tidak

menghasilkan apabila fosfor tidak ditambahkan (Cathcart, 1987).

Penggunaan fosfat alam berkualitas tinggi untuk budidaya tanaman

mempunyai beberapa manfaat. Fosfat alam mempunyai sifat tidak larut dalam

air, kadar P dan Ca cukup tinggi, unsur P tersedia lambat, mempunyai efek

residu jangka panjang. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka fosfat alam

sangat sesuai apabila digunakan sebagai sumber P untuk tanah sulfat masam

yang mempunyai reaksi tanah masam dengan kemampuan menyerap P dan

kadar sulfat yang tinggi (Khasawneh dan Doll, 1978; Hammond, 1978;

Hammond dan Diamond, 1987).

Sebagai bagian yang penting di dalam tanah, fosfor terdapat dalam

bentuk P-organik dan P-anorganik. Dalam kondisi tanah yang tergenang, P-

anorganik lebih berperan dalam penyediaan P untuk tanaman (Patrick dan

Mahapatra, 1968).

Hasil penelitian Mahapatra dan Patrick (1969) menunjukkan bahwa

penggenangan kontinyu mempengaruhi distribusi P-anorganik. Bentuk AI-P dan

Fe-P menurun akibat penggenangan, sedangkan bentuk Ca-P relatif stabil.

Pada penggenangan tanah yang sedikit masam kadar Ca-P dan Fe-P

meningkat, sedangkan AI-P menurun.

Pemberian amelioran fosfat alam pada tanah sulfat masam di Karang

Agung Sumatera Selatan memberikan hasil gabah lebih baik dibanding pupuk

TSP, dan mempunyai efek residu hingga musim tanam ketiga (Subiksa etal.,

(189)

Kombinasi pemberian fosfat alam 50 kg P205/ha dengan kapur 6.25

ton/ha pada tanah sulfat masam di Thailand menghasilkan gabah tertinggi 3.04

ton/ha (Attanandana dan Vacharotayan, 1984).

Pengelolaan Air pada Tanah Sulfat Masam

Pengelolaan air makro dan mikro pada tanah sulfat masam selain

sebagai air irigasi adalah bertujuan untuk mencuci sumber kemasaman yang

larut air dan yang dapat dipertukarkan. Prinsipnya, air bersih efisien untuk

mencuci asam sulfat bebas, besi terlarut serta garam alumunium tanah.

Pencucian dengan air payau atau air laut dapat mencuci Al-dd melalui

pertukaran Na, Ca atau Mg dari air yang ditambahkan. Pencucian dengan air

payau secara efisien mengusir Al-dd apabila dilakukan dalam kondisi oksidatif.

Apabila dalam kondisi reduktif, Al akan mengendap sebagai AI(OH)3 atau

AIOHS04 (van Mensvoort et al., 1991).

Penggenangan petakan sawah melalui pemberian air irigasi secara

berangsur-angsur akan mengubah sifat-sifat tanah sawah melalui proses

reduksi. Ponnamperuma et al. (1977) menyatakan bahwa reduksi tanah akibat

penggenangan akan mempengaruhi pH, ketersediaan hara, atau munculnya

bahan-bahan yang meracuni tanaman. Menurut Tan (1982) bahwa setelah

tanah sulfat masam yang aerobik digenangi air, maka nitrat pada tanah

tersebut akan segera direduksi diikuti kemudian dengan direduksinya Mn dan

Fe. Akibat reduksi ini konsentrasi ~ ndan ~ ~ e ~ + + akan meningkat. Tetapi

kemudian setelah reduksi berlangsung beberapa lama, maka konsentrasi ~ n ~ +

(190)

digenangi air sampai 90 hari secara terus menerus tetapi apabila bahan organik

tanah tersebut sangat rendah atau hampir tidak ada, maka proses reduksi

dapat terhambat sehingga peracunan logam berat sulit untuk dihindari.

Dent (1986) mengemukakan bahwa proses oksidasi pirit pada tanah

sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses kimia serta

mikrobiologis. Mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat

dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fez+) dan belerang dengan reaksi sebagai

beri kut :

FeS2

+

1/2 0 2

+

2 H+

-

Fe2+

+ 2 S

+

HzO

...

(1)

Oksidasi belerang secara kimia terjadi sangat lambat, tetapi dapat juga

berlangsung cepat apabila ada bakteri autotrop yang berperan sebagai

katalisator. Proses oksidasi be rjalan dengan reaksi sebagai berikut :

S

+

312 0 2

+ HZ 0

-

sod2-

+

2 H+

...

(2)

Pada pH kurang dari 3.5 perubahan tersebut melalui proses kimia

berlangsung lambat. Bakteri 7hiobacill.s ferrooxidan yang hidup pada pH

rendah dan banyak terdapat pada tanah sulfat masam, mengoksidasi Fe2+

menjadi ~ e ~ + dengan cepat dan selanjutnya Fe3+ yang dihasilkan terlibat

kembali dalam proses oksidasi pirit. Reaksi adalah sebagai berikut :

Fe2+ +

o2

+ H+ T;hiobacillus fermxidan

~ e ~ +

+

l/2 H20 (3)

.

...

Sebagian besar kemasaman (H') yang dihasilkan dalam proses oksidasi

pirit oleh Fe3+, digunakan dalam proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan

ba ntua n Thiobacillus ferrooxidan seperti persamaan reaksi di atas. Reaksi

oksidasi pirit yang terjadi dalam beberapa tahap dengan hasil akhir feri

(191)

Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam akibat drainase telah banyak

diperlajari. Drainase tanah meningkatkan potensi reduksi-oksidasi. Pengaruh

oksidasi pirit akibat drainase terhadap pH tanah bervariasi, tergantung sifat

tanah yang bersangkutan. Tanah sulfat masam di Pulau Petak Kalimantan

Tengah, pH-nya menurun dengan cepat segera setelah penerapan perlakuan

drainase. Adanya karbonat menahan terjadinya penurunan pH, dan tanah di

Pulau Petak mengandung karbonat sedikit (Ritzema et al., 1992).

Akibat oksidasi pirit mengakibatkan perubahan kandungan ion-ion di

dalam larutan tanah dan di kompleks jerapan. Selama proses oksidasi, SO$'

dalam larutan tanah meningkat cepat dan sebaliknya ~ e ~ + dan ~ e ~ + menurun.

Penurunan kandungan besi tersebut karena te rjadinya presipitasi besi dalam

bentuk jarosite. Setelah periode oksidasi, kompleks jerapan didominasi oleh

A I ~ + yang menggantikan ca2+ dan ~ g(Ritzema ~ + et al., 1992). Hasil penelitian Yuliana (1998) menunjukkan bahwa drainase tanah sulfat masam selama 8

minggu dengan kedalaman air bawah tanah sedalam 20 cm dari permukaan

lapisan pirit meningkatkan Al-dd dari 7.61 menjadi 18.21 mef100g tanah,

menurunkan besi fero dari 49.34 menjadi 26.06 ppm, meningkatkan besi

feri dari 420.77 menjadi 444.05 ppm. Sedangkan pada kedalaman air bawah

tanah 40 cm dari permukaan lapisan pirit, Al-dd meningkat dari 7.61 menjadi

20.42 me/lOOg tanah, besi fero menurun dari 49.34 menjadi 21.59 ppm, dan

(192)

Penggenangan tanah sulfat rnasam yang telah mangalami oksidasi akan rnengubah kondisi oksidatif menjadi reduktif. Dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

Reaksi reduksi tersebut berlangsung dengan bantuan bakteri anaerob. Oleh sebab itu dibandingkan dengan yang te qadi pada tanah biasa, kecepatan reduksi tanah sulfat masam yang digenangi lebih lambat karena kemasarnan yang tinggi, rendahnya ketersediaan hara dan bahan organik yang mudah terdekornposisi, atau kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut yang mengakibatkan bakteri anaerob kurang rnampu berkembang. Reaksi reduksi tersebut rnengakibatkan peningkatan pH dan menurunkan tingkat aktivitas

AP+.

Penurunan aktivitas A13+ akan menurunkan tingkat toksisitasnya, tetapi di

lain pihak kondisi reduktif tersebut dapat mengakibatkan tirnbulnya unsur atau senyawa lain yang juga bersifat racun bagi tanaman, yaitu ~ e ~ + , H2S dan C02 yang terlarut dalam jumlah tinggi dalam larutan tanah (Dent, 1986). Timbulnya

H2S tersebut menurut Dent (1986) dan Konsten (1990) karena proses reduksi

~

0

dengan reaksi sebagai berikut

~

~

-

:
(193)

bahwa penggenangan 300 hari pada tanah sulfat masam di Pulau Petak

setelah didrainase 450 hari mengakibatkan kandungan Fe2+ pada tanah

tersebut meningkat dengan cepat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peningkatan

tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya proses reduksi Fe3+ yang

berbentuk amorf menjadi ~ e ~ + .

Penelitian pencucian pada tanah sulfat masam di lapang juga telah

banyak dilakukan. Pencucian tana h sulfat masam yang disawahkan dengan

jarak saluran cacing berukuran lebar 20 cm, dalam 30 cm, dan jarak antar

saluran cacing 6 m meningkatkan pH tanah sebesar 0.55 pada musim tanam

tahun pertama dan 0.99 pada musim tanam kedua (Subiksa et al., 1991).

Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pencucian dengan air pasang

lebih efektif dibanding air hujan (Didi Ardi etal., 1995).

Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi

lain muncul masalah keracunan besi ferro (Fez+), hidrogen sulfida,

C&

dan

asam-asam organik. Masalah fisik tanah yang sering dijumpai adalah

terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horizon sulfurik karena

tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase

tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan

aktivitas mikroorganisme tanah terhambat sehingga penyediaan hara dan

bahan organik lambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh baik akan sangat

terbatas dengan hasil rendah. Tanaman padi dapat beradaptasi dengan baik

pada tanah sulfat masam karena ia tumbuh pada kondisi tanah yang

(194)

Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air dibedakan ke

dalam pengelolaan air makro, yaitu penguasaan air pada tingkat kawasan

reklamasi, dan pengelolaan air mikro yaitu pengelolaan air di tingkat lahan

sawah. Pengelolaan air makro bertujuan agar berfungsinya kawasan retarder,

kawasan sempadan dan saluran intersepsi serta jaringan drainase irigasi.

Pengelolaan air di tingkat tersier terkait dengan pengelolaan air makro dan

pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi, 1995).

Dalam penelitian ini dibuat saluran cacing (saluran dangkal intensif =

Intensive Shallow Drainage System) dengan konstruksi: lebar 15 - 20 cm,

kedalaman 15 - 20 cm, dan jarak antar saluran cacing adalah 3 m, 6 m, 9 m, 12 m, dan panjang 25 m. Penentuan jarak saluran cacing 3 m adalah karena

tingkat kandungan Fe pada lokasi percobaan cukup tinggi. Adanya saluran

cacing akan mempercepat pencucian unsur-unsur yang bersifat racun yang

mungkin terbentuk khususnya di lapisan tanah atas, dan memberikan pengaruh

yang positif terhadap perbaikan kualitas air dalam peningkatan hasil padi

(Subagyono et a/, 1998).

Dalam musim kemarau kemungkinan muka air tanah turun di bawah

lapisan pirit, maka ha1 ini harus dicegah dengan mempertahankan selalu

adanya air dalam saluran cacing. Saluran cacing ini berfungsi juga untuk

mempertahankan keadaan anaerob. Walaupun saluran cacing telah diusahakan

terisi air, proses pemasaman masih tetap berlangsung hanya tidak sekuat

apabila air di saluran cacing tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu pada

permulaan musim hujan sebelum tanam, air dibiarkan menggenang beberapa

(195)

dilakukan 2 - 3 kali sebelum menanam padi. Perlakuan jarak saluran cacing

3 m, 6 m, 9 m dan 12 m adalah berdasarkan petunjuk bahwa semakin rapatnya

jarak saluran cacing, maka proses pencucian air lahan semakin intensif.

Untuk tingkat kandungan Fe tanah yang tinggi diperlukan jarak saluran cacing

yang lebih rapat.

Petani di delta sungai Mekong Vietnam mempraktekkan penggunaan

saluran dangkal intensif dengan lebar 40 cm, kedalaman 40 - 50 cm, dan jarak

antara saluran 9 m (Nguyen van Luat, 1984).

Subagyono et al. (1998) menyatakan bahwa jarak saluran cacing 12 m

memberikan kualitas air dan kontribusi terhadap hasil padi yang terbaik di Unit

Tatas Kalimantan Tengah. Pada MT.1992 memberikan hasil padi (IR-64)

tertinggi yaitu 3.64 ton GKP/ha berbeda nyata dengan hasil padi pada jarak

24 m. Sedangkan menurut Ismail et al. (1993), untuk budidaya sawah sulfat

masam potensial dengan lokasi luapan pasang tipe B dan tipe C pada Proyek

Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa

-

Swamps 11 dianjurkan

jarak saluran cacing 6 m dan 9 m.

Didi Ardi et al. (1995) menyatakan pada tanah sulfat masam potensial di

Karang Agung Ulu bahwa jarak saluran cacing 6 m dengan sistem

penggenangan dan pencucian oleh air pasang yang ada memberika

Gambar

Gambar  I.  Kerangka Penelitian
Tabel  1.  Tipologi Lahan Rawa di Sumatera,  Kalimantan, Sulawesi dan Papua

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: Penerapan akuntansi untuk pembiayaan daerah pada pemerintah daerah kabupaten Minahasa Tenggara telah sesuai berdasarkan PP

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa Penggunaan metode Discovery Learning Berbasis Schoology (1) dapat meningkatkan pemahaman konsep matematis siswa MA; (2) dapat

Pada pengolahan bentuk landmark , secara khusus terdapat empat tahap utama yaitu pengolahan tata masa umum, pemilihan aspek formal bangunan yang akan diterapkan, pengolahan

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik (logistic regression), yaitu dengan melihat pengaruh pergantian manajemen, opini audit,

Memang penerapan sistem REMUNERASI sampai saat ini sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur untuk itu adalah sebuah keharusan.. Tetapi, tentunya masih banyak cara yang lebih

3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang telah disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh

Model terdiri dari 3 buah langkah yaitu Notasi CNF dan string input, yang berupa grammar (context free grammar) yang sudah dalam bentuk CNF serta string input yang

Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah ”. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1)