• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muatan Tindak Kekerasan Laki-Laki terhadap Perempuan dalam Film (Analisis Isi Film "Taken" Karya Pierre Morel)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Muatan Tindak Kekerasan Laki-Laki terhadap Perempuan dalam Film (Analisis Isi Film "Taken" Karya Pierre Morel)"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

MUATAN TINDAK KEKERASAN LAKI-LAKI TERHADAP

PEREMPUAN DALAM FILM

(Analisis Isi Film ”Taken” Karya Pierre Morel)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana ( S-1)

Oleh :

ALISAR LESMANA NIM : 05220030

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, sumber segala kebenaran, Allah Subhanahu WaTaala. Shalawat serta salam teruntuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan rahmat dan pencerahan kepada penulis sehingga dapat mengilhami terselesaikannya skripsi ini yang berjudul Muatan Tindak Kekerasan Laki-Laki Terhadap Perempuan Dalam Film (Analisis Isi Film “Taken” Karya Pierre Morel)

Di balik terselesaikannya Skripsi ini sebagai syarat untuk memperole gelar sarjana, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak ynag telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa terima kasih ini penulis sampaikan kepada:

1. Bapak dan ibukku tercinta yang telah memberikan segalanya melebihi apapun. Semangat, dorongan, nasehat dan kasih sayang yang tidaklah cukup tergambarkan hanya melalui ucapan terima kasih, I luv u all.

2. Adikku si Ndut Ayu ma Sofi Terimakasih atas semangatnya dan kiriman serta doanya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

3. Bapak Dr. Wahyudi, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

(4)

bimbingan dan arahannya.

6. Drs. Abdullah Masmuh, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahannya.

7. Lukita Purnamasari, thanx 4 everything. Dukungan, semangat dan doa yang telah diberikan.

8. Si Agus Purnomo dari Lumajang telah membantuku selama ini

Penulis hanya berdoa semoga seluruh bantuannya mendapatkan balasan yang berlimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa salah dan khilaf adalah milik manusia dan kesempurnaan sepenuhnya adalah milik Allah SWT, namun disini penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan manfaat serta menambah wacana dan wawasan bagi semua pihak.

Malang, Januari 2011

(5)

DAFTAR ISI

1. Film Sebagai Medium Komunikasi Massa ... 2. Film Sebagai Industri ... 3. Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan ... 4. Media Massa dalam Relasi Gender …... 5. Laki-laki dalam Media Massa ... 6. Analisis Isi …………...

(6)

BAB II GAMBARAN UMUM FILM TAKEN………... 38

A. Perusahaan Pembuat Film Taken ... 38

B. Distribusi Film ... 39

(7)

DAFTAR TABEL

TABEL 1.1 Perbedaan Seks dan Gender... 24 TABEL 1.2 Contoh Lembar Koding... 36 TABEL 1.3 Contoh tabel distribusi frekuensi... 37 TABEL 3.1 Muatan kekerasan terhadap perempuan dalam film

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara fisik

scene 23... 53 Gambar 2 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara fisik

scene 27... 54 Gambar 3 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara fisik

scene 32... 55 Gambar 4 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara fisik

scene 40... 55 Gambar 5 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara fisik

scene 43... 56 Gambar 6 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara fisik

scene 54... 57 Gambar 7 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara psikis

scene 10... 58 Gambar 8 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara psikis

scene 23... 58 Gambar 9 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara psikis

scene 27... 59 Gambar 10 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara psikis

scene 32... 60 Gambar 11 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara psikis

scene 43... 60 Gambar 12 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara psikis

scene 54... 61 Gambar 13 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara psikis

scene 55... 61 Gambar 14 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara seksual

scene 33... 62 Gambar 15 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara ekonomi

scene 20... 63 Gambar 16 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara ekonomi

scene 32... 64 Gambar 17 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara ekonomi

scene 33... 65 Gambar 18 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara ekonomi

scene 41... 65 Gambar 19 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara ekonomi

(9)

Gambar 20 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara sosial budaya scene 20... 67 Gambar 21 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara sosial budaya

scene 48... 68 Gambar 22 Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara sosial budaya

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan, 2001. Metode Penelitian kualitatif, Rajawali Pers, Bandung. Fakih, Masour, 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Fromm, Erich, 2001. Akar-akar Kekerasan Analisis Sosio-psikologi Atas Watak Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti, 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender, UMM Press, Malang.

Krippendorf, Klaus, 1991, (Content analysis: introduction to this Theory and Methodology) Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metodologi, Rajawali Press,

Jakarta.

Mufidah Ch, 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, UIN Malang Press, Malang

Mulyana, Deddy, 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

Munir Mulkan, Abdul, dkk. 2002. Membongkar Praktek Kekerasan – Menggagas Kultur Nir-Kekerasan, PSIF UMM & Sinergi, Yogyakarta.

Nasir, Moch, 2009. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Pandjaitan & Aryani, 2001. Kertas Posisi Kebijakan Perfilman di Indonesia, Indonesia Media Law and Policy Center.

(11)

_______________, 2002, Metode Penelitian Komunikasi, PT. Remadja Rosda Karya, Bandung.

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung. Sumarno, Marseli, 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film, Gramedia Widia Sarana

Indonesia, Jakarta.

Non Buku:

Diakses 7 Februari 2010

http://situskunci.tripod.com/teks/08hai.html http://www.mediaknowall.com/gender.html Diakses 1 April 2010

http://www.wikipedia.com

http://webcache.googleusercontent.com/search:atwarbajari.wordpress.com http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/artikel-sosial-budaya/potret-kekerasan-terhadap-perempuan/mrdetail/6619.html

Diakses 13 Mei 2010

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi merupakan kebutuhan yang hakiki bagi umat manusia, dikatakan kebutuhan yang hakiki karena dalam kehidupan manusia menjadi alat yang membantu dalam segala kegiatan yang ada. Hampir 70 persen waktu kehidupan manusia dalam sehari digunakan untuk berkomunikasi, sejak bangun tidur, hingga menjelang tidur, sehingga tidak heran jika komunikasi merupakan kebutuhan yang vital dalam kehidupan.

Media massa memiliki peran yang besar dalam membentuk pola pikir dan hubungan sosial di masyarakat, memberikan ilustrasi dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya, yang semua itu dikonstruksikan melalui media berita maupun media hiburan. Dalam konteks komunikasi massa, film dapat menjadi salah satu alat atau media atau saluran penyampaian pesan. Film dibuat dengan suatu tujuan tertentu yang kemudian hasilnya akan diproyeksikan ke sebuah layar lebar ataupun ditayangkan melalui media televisi sehingga dapat ditonton oleh publik. Sebagai suatu bentuk komunikasi massa, film memiliki kekuatan yang kompleks. Cara berkomunikasi dalam film adalah cara bertutur. Ada tema, tokoh, cerita, secara audio visual, yang pada akhirnya mengkomunikasikan suatu pesan eksplisit maupun implisit secara dramatik.

(13)

berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, humor dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Kehadiran film sebagian merupakan respon terhadap “penemuan” waktu luang diluar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga.

Film disini merupakan perwujudan dari seluruh realitas kehidupan dunia yang luas dalam masyarakat, oleh karena itu film mampu menumbuhkan imajinasi, ketegangan, ketakutan, dan benturan emosional khalayak penonton, seolah mereka ikut merasakan dan menjadi bagian dari cerita film tersebut. Film juga menggambarkan realita yang berlaku di masyarakat, termasuk halnya mengenai dominasi laki-laki.

Di dunia yang sebagian besar terdapat dominasi laki-laki, muncul budaya patriarkal atau sentris terhadap laki-laki. Dalam budaya patriarkal ini, laki-laki adalah kelas utama dan dapat dikatakan sebagai sosok yang mendominasi atas perempuan. Sedangkan perempuan hanya dianggap sebagai second class yang eksistensinya adalah tergantung pada laki-laki. Ini menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, diantaranya marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting dalam keputusan politik), stereotipe dan

(14)

atau yang populer dengan istilah trafficking. Perempuan disini dijual sebagai suatu komoditas.

Hal tersebut seolah sah adanya karena sebagian besar masyarakat masih menganut budaya patriarkal yang sangat berpusat pada eksistensi laki-laki. Apa yang diinginkan laki-laki seolah adalah suara mayoritas, demikian juga halnya dalam komersialisasi perempuan. Kesemua itu untuk memenuhi kebutuhan dasar dari pria dari perspektif gender.

Seperti halnya yang ingin digambarkan dalam film Taken karya Pierre Morrel. Dimana dalam dunia yang didominasi laki-laki, direpresentasikan karakter-karakter yang memiliki ciri khas masing-masing, seperti misalnya kelompok pedagang perempuan yang mewakili tipikal pria umum yang menunjukkan dominasinya atas perempuan, juga sosok ayah penyayang yang dengan segala cara berupaya menolong putrinya dari cengkeraman sindikat trafficking internasional yang mungkin tipikal dari minoritas laki-laki yang memiliki rasa hormat dan cinta kasih terhadap perempuan.

(15)

Albania dan sampai akhirnya pada organisasi pelacuran dan perdagangan wanita tingkat tinggi.

Dari gambaran film yang diungkap tersebut dapat diketahui bahwa film ini sekaligus memberikan pesan kepada audiens-nya, yaitu mengenai dominasi laki-laki yang diwujudkan dalam bentuk ’penguasaan’ terhadap perempuan. Perempuan dalam film ini digambarkan sebagai komoditi yang dapat dijual, dimanfaatkan, dan dipergunakan baik sebagai alat komersial maupun dengan tujuan seksual. Film ini memberikan gambaran mengenai bagaimana bentuk trafficking (perdagangan wanita) yang mana merupakan salah satu fenomena dunia global saat ini serta dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarkal. Hal ini menarik untuk dianalisis, karena secara umum dunia didominasi oleh budaya patriarki yang meletakkan laki-laki sebagai sosok sentral dan berpengaruh dalam perjalanan dunia secara umum. Sekaligus juga dalam film ini terdapat kritik terhadap maskulinitas laki-laki yang tergambar melalui berbagai karakter negatif dalam film yang mana cenderung menunjukkan dominasi dan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan dan dunia secara umum.

(16)

berjudul: Muatan Tindak Kekerasan Laki-Laki terhadap Perempuan dalam Film (Analisis Isi Film ”Taken” Karya Pierre Morel)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah seberapa banyak muatan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film dalam “Taken” karya Pierre Morel?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui dan menganalisis seberapa banyak kandungan muatan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film “Taken” karya Pierre Morel.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Praktis

Memberikan interpretasi tersendiri terhadap film untuk masyarakat luas sehingga menyumbangkan pemikiran kritis untuk kehidupan masyarakat berkaitan dengan representasi tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film.

2. Kegunaan Akademis

(17)

E. Tinjauan Pustaka

1. Film sebagai Medium Komunikasi Massa

Medium atau media adalah sarana yang dipergunakan oleh komunikator sebagai saluran untuk menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, apabila komunikan jauh tempatnya, banyak jumlahnya atau kedua-duanya.

Sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada manusia lain media merupakan bagian dari kehidupan. Selain itu juga menjadi sumber dominan untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial bagi individu, kelompok dan masyarakat. Ketergantungan manusia terhadap media begitu besar di dunia modern. Dalam menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita, opini, cerita pendek, kartun, film dan lain-lain.

Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk didalam ilmu komunikasi. Jadi jelas bahwa komunikasi massa merupakan salah satu bidang kajian dari sekian banyak bidang yang dipelajari dan diteliti oleh ilmu komunikasi.

Komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa baik cetak (surat kabar, majalah), atau elektronik (radio, televisi, film) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditunjukkan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (Mulyana, 2005:75).

(18)

dan membentuk masyarakat melalui muatan pesan-pesannya (message) (Sobur, 2006:127).

Film sebagai salah satu media massa, mempunyai kekuatan dan kemampuan dalam menjangkau banyak segmen sosial, karena film dipandang mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan. Selain sifat film itu sendiri adalah sebagai medium komunikasi massa yang dapat memproduksi secara massif dalam tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Oleh karenanya, film sebagai medium komunikasi massa bisa menjadi medium yang dapat melampaui batas teoritis dan batas sosial tertentu, sehingga dapat menjangkau dan menyentuh kesadaran pada setiap aspek masyarakat.

Dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai sebagai penyampai pesan yang dalam prosesnya akan menimbulkan berbagai efek bagi penikmat film, antara lain efek kognitif yang menyebabkan perubahan pada tingkat pengetahuan, efek afektif yang menyebabkan perubahan pada emosi atau sikap, dan efek konatif yang menyebabkan perubahan pada kebiasaan berprilaku dan efek perubahan sosial.

(19)

seolah-olah kejadian yang nyata, yang terjadi dihadapan matanya. Berbeda dengan membaca buku yang memerlukan daya pikir yang aktif, film tidak demikian.

Film sebagai suatu bentuk medium komunikasi massa juga dikelola menjadi suatu komoditi. Didalamnya teramat kompleks, dari produser, sutradara, pemain, dan seperangkat pendukung kesenian lainnya seperti musik, seni rupa, teater, seni suara, dll. Semua unsur tersebut terkumpul menjadi komunikator dan bertindak sebagai agen tranformasi budaya.

Film dapat memproduksi pesan yang akan dikomunikasikan lewat pemanfaatan teknologi kamera, warna, dialog, sudut pengambilan gambar, musik dan suara menjadi tampilan audio dan visual yang terekspresikan menjadi sebuah karya seni dan sastra yaitu bagaimana adegan satu dengan adegan yang lain dirangkai membentuk cerita film sehingga isi pesan dalam film yang disampaikan mudah dipahami oleh penikmat film.

Melihat keberadaan film yang memiliki daya tarik kemasan gambar bergerak, warna, bentuk dan suara dengan aspek alur cerita, pemeran dan setting, film mendapat tempat tersendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikan ke atas layar.

(20)

dan non cerita saling mempengaruhi dan melahirkan berbagai jenis film yang memiliki ciri , gaya, dan corak masing- masing, diantaranya adalah:

1. Film Cerita

Film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Contoh: film drama, film horror, film fiksi, ilmiah, komedi, laga, musical dan lain- lain.

2. Film Non Cerita

Film non cerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jadi merekam kenyataan daripada fiksi tentang kenyataan. Pada mulanya hanya ada dua tipe film non cerita ini yakni yang termasuk diantaranya adalah:

a. Film Faktual: pada umumnya hanya menampilkan fakta, kamera sekedar merekam peristiwa. Biasa hadir dalam bentuk sebagai film cerita dan film dokumentasi.

b. Film Dokumenter: wahana yang tepat untuk mengungkapkan realitas, menstimuli perubahan. Jadi, yang terpenting menunjukan realitas kepada masyarakat secara normal.

2. Film sebagai Industri

(21)

berhubungan dengan pembuatan, jasa, teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan, dan/atau penayangan film (Pandjaitan & Aryani, 2001). Industri film meliputi aspek teknologi dan komersial pembuatan film, misalnya studio film, sinematografi, produksi film, penulisan naskah, pra produksi, pasca produksi, festival film, distribusi, aktor, sutradara film, dan personilnya (www.wikipedia.com).

Industri merupakan suatu kegiatan pemrosesan barang/jasa hingga menuju ke arah barang/jasa tersebut siap untuk didistribusikan, sehingga film dapat dikatakan sebuah industri apabila film tersebut mengakomodasikan aspek ekonomi, aspek sosial dan politik. Ketiga aspek tersebut sebagai penunjang bagi film untuk menjadi sebuah industri yang besar. Aspek ekonomi dapat dilihat dari biaya produksi, sponsor, dll. Sedangkan aspek sosial dan politik didapat dari isi dan tujuan film tersebut, apakah film ditujukan sebagai media kritis atau hiburan dan apakah film tersebut hanya untuk konsumsi lokal maupun konsumsi internasional. Dalam hal ini film dimaksudkan untuk memperoleh income baik bagi pemain, kru, produser, sponsor, negara, dan bagi khalayak.

Pembuatan film adalah suatu industri. Dari pengertian di atas, sebuah film dapat menjadi industri yang besar, jika aspek ekonomi, sosial, dan politik yang terwujud dapat mengakomodasi tuntutan profesional orang-orang yang terlibat di dalamnya. Gambarannya, film sebagai sebuah industri tentunya tidak hanya menjadi komoditi lokal, tapi juga harus diprediksikan sebagai komoditi ekspor.

(22)

a. Bagaimana menghasilkan sebuah film sebagai barang dagangan yang dapat diterima oleh masyarakat.

b. Bagaimana menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya dari film Industri film raksasa Amerika yang telah menguasai pasar film dunia, tidak lain adalah adalah Hollywood. Bidang bisnis ini dibangun dengan basis kapitalistik yang kuat dan sempat mengalami pasang surut. Film yang diibaratkan sebagai barang dagangan tentunya harus dapat diterima oleh masyarakat agar mempunyai nilai jual. Hal ini perlu diperhatikan karena film yang bagus belum tentu memiliki nilai jual di masyarakat. Karena tentunya masyarakat pula yang menikmati film atau masyarakat sebagai konsumen dari film. Nilai jual yang tinggi terhadap suatu film dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi pula.

Keberlanjutan film sebagai industri tidak hanya berhenti sampai pada bagaimana film tersebut dapat diterima masyarakat dan dapat menghasilkan keuntungan tetapi bagaimana konteks film itu sendiri sebagai bagian dari kehidupan modern. Film yang berarti sebagai seni dapat memberikan pengaruh yang kuat dalam memperkaya pengalaman hidup seseorang melalui pencitraan dalam segi-segi kehidupan. Tidak hanya segi positif yang dimunculkan dari film, negatifnya dalah film dapat menjadi media destruktif potensial yang dapat memberikan efek pengaruh buruk yang mungkin dapat ditimbulkannya, seperti gaya hidup konsumerisme dan bermewah-mewahan.

(23)

hal ini, kondisi post modern menjadi lebih sulit untuk memilah antara ekonomi dengan budaya popular. Dengan kata lain masyarakat post modern (masa kini) melihat film dan perfilman sebagai sebuah kebutuhan (ekonomi) yang harus ataupun tidak harus terpenuhi. Namun melihat sudut pandang yang lain, film dan perfilman bisa dikatakan ’trend’ atau budaya yang pada akhirnya mengarah pada sifat konsumtif. Sifat konsumtif dalam hal ini adalah kebutuhan akan film itu sendiri ataupun kebutuhan yang didasarkan pada konstruksi realitas yang ada dalam film itu sendiri.

3. Tindak Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan dimaksudkan sebagai tindakan yang langsung bertentangan dengan kodrat manusia. Secara konkret, kekerasan menyentuh realitas kehadiran manusia dalam keseluruhannya. Tidak hanya kehadiran fisik tubuhnya, melainkan keseluruhan yang menjadi pemenuhan kehadirannya. Misalnya, menghancurkan rumah, toko, mobil, dan semacamnya. (Mulkan, 2002:4).

(24)

Tindakan kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan secara sadar, dipikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya karena di dorong oleh paksaan yang sangat kuat dan bisa juga secara tidak sadar, misalnya karena secara terpaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan, itulah tiga konsep yang mendasari orang melakukan tindakan kekerasan atau kriminalitas

Secara yuridis formal tindak kekerasan merupakan suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat a-sosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana

Dalam tinjauan sosiologis tindakan kekerasan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Tingkah laku atau tindak kekerasan yang im-moral dan anti-sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelasnya sangat merugikan umum.

(25)

Platform For Action and Beijing Declaration dalam Kholek 2010

(http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/artikel-sosial-budaya/potret-kekerasan-terhadap-perempuan/mrdetail/6619/) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hak-hak kebebasan, yang terjadi baik didalam rumah tangga atau keluarga (privat life), maupun di dalam masyarakat (public life) yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun fsikologis (United Nations Depertement of Public Relation 1986)

Berdasarkan uraian mengenai tindak kekerasan diatas, maka tindak kekerasan terhadap perempuan, merupakan salah satu dari banyak pelanggaran terhadap aturan atau norma dalam masyarakat, kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu permasalahan yang tidak pernah habis-habisnya dari masa tradisional sampai pada kehidupan modern sekarang ini, kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat, mungkin karena dosa turunan dari budaya patriarki, atau karena belum seriusnya dan belum intensifnya penggulangan yang dilakukan oleh berbagai pihak, walaupun banyak pihak yang di rugikan oleh fenomena tersebut

Kekerasan terhadap perempuan mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan kekerasan sosial budaya (Mulkan, 2002:165). Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kekerasan Fisik

(26)

kekerasan fisik merupakan pelampiasanemosi atau amarah dari pelaku. Mungkin disebabkan korban yang berbuat salah sehingga menyebabkan pelaku menjadi marah, namun salah disini sangat relatif. Bergantung pada penilaian pelaku, menganggap apa yang dilakukan korban salah atau tidak. Tetapi tak jarang korban hanya sebagai pelampiasan amarah pelaku terhadap sesuatu, dan kekerasan fisik ini merupakan bentuk ketakberdayaan pelaku menempatkan emosinya. Dalam hal ini korban merupakan orang yang tak berdaya atau pelaku mempunyai kuasa yang lebih tinggi dari pelaku, sehingga pelaku menjadi objek kekerasan fisik.

Kekerasan fisik terhadap perempuan merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, seperti pemukulan, penamparan, dan penendangan anggota tubuh perempuan, baik yang dilakukan secara kolektif atau individu-individu. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan terkadang ada yang menggunakan alat bantu dan ada yang menggunakan tangan kosong (Mulkan, 2002:166).

b. Kekerasan Psikis

(27)

penderitaan psikis berat pada seseorang seperti wujud kongkrit dari kekerasan ini adalah penggunaan kata-kata kasar, mempermalukan di depan orang lain, melontarkan kata-kata ancaman dan sebagainya.

Kekerasan psikologis berimplikasi pada penderitaan mental atau emosi. Ketika seseorang berperilaku yang mana menyebabkan ketakutan, derita mental atau menyakiti emosi atau distress kepada orang lain, tingkah laku tersebut bisa dipandang sebagai penganiayaan. Penganiayaan psikologis dapat berupa intimidasi, ancaman, diteror. Yang termasuk kekerasan psikologis lainnya adalah pengabaian atau isolasi korban dari keluarga, teman dan aktivitas umumnya – baik dengan kekuasaan, ancaman atau melalui manipulasi.

c. Kekerasan Seksual

Seksualitas didefinisikan secara luas sebagai suatu keinginan untuk menjalin kontak, kehangatan, kemesraan, atau mencintai. Respons seksual meliputi memandang dan berbicara, berpegangan tangan, berciuman, atau memuaskan diri sendiri, dan sama-sama menimbulkan orgasme. Seksualitas merupakan bagian dari perasaan terhadap diri yang ada pada individu secara menyeluruh.

(28)

1. Antara dua orang dewasa

2. Saling memuaskan individu yang terlibat

3. Secara fisik dan psikologis tidak berbahaya bagi kedua pihak 4. Tidak terdapat paksaan atau kekerasan

5. Dilakukan di tempat tertutup

Akan tetapi terkadang terdapat penolakan dari pasangan karena suatu alasan sehingga membuat pasangan yang lain merasa tertolak dan tidak terima dan berakibat pada pemaksaan yang cenderung berujung pada kekerasan seksual. Kekerasan seksual, adalah kekerasan yang bernuansa seksual termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual dan berbagai bentuk pemaksaan hubungan seks yang tidak dikehendaki salah satu pihak, seperti, diperkosa, dicabuli, dilecehkan.

d. Kekerasan Ekonomi

(29)

Ekonomi juga menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan biasanya di lakukan oleh lapisan sosial yang rendah, dimana mereka melakukan tindakan itu berdalihkan pada kebutuhan ekonomi yang mendesak mereka untuk melakukan perbuatan kekerasan terhadap perempuan, benar atau tidaknya. Alasan yang diungkapkan oleh sebagian besar pelaku kejahatan itu, menandakan bahwa peran serta sistem perekonomian juga terlibat dalam fenomena sosial tindak kekerasan terhadap perempuan, hal ini bisa menjadi landasan paradigma bahwa pemerataan pembangunan dalam bidang ekonomi akan bisa mengurangi fenomena sosial yang merugikan masyarakat tersebut.

(30)

Kekerasan ekonomi paling banyak dialami kaum perempuan. Simbol-simbol kemiskinan di perkotaan dan di pedesaan tetap berwajah perempuan. Bahkan para pengamat melihat adanya fenomena feminisasi kemiskinan (feminization of poverty) yaitu sistem perekonomian kita mempersulit perempuan untuk mengakses bidang-bidang produksi yang strategis, dengan alasan fungsi reproduksi. Fenomena neopatriarki yang tetap mempertahankan pembagian kerja secara seksual selalu mengkaitkan dengan fungsi reproduksi tadi. Laki-laki diasumsikan sebagai mahluk produktif dan perempuan sebagai mahluk reproduksi.

e. Kekerasan Sosial Budaya

Manusia merupakan mahluk individual sekaligus sebagai mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari individu yang lain, manusia selalu melakukan interaksi dengan individu lain dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan yang lebih luas lagi. Masyarakat diatur oleh norma, atau nilai, adat istiadat yang telah di sepakati bersama oleh masyarakat. Kendatipun demikian tidak berarti kehidupan sosial masyarakat akan selalu lancar stabil dan terintegrasi dengan baik, dan ternyata banyak sekali celah-celah yang mengakibatkan terjadi kesemerautan dalam masyarakat, salah satunya yaitu tindakan kekerasan terhadap perempuan, ini adalah suatu fenomena yang tak kunjung terselesaikan.

(31)

kekerasan, ia disebut sebagai faktor eksternal karena faktor itu berada di luar individu seperti budaya disekelilingnya.

Kebudayaan menurut E.B Taylor dalam Kholek 2010 (http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/artikel-sosial-budaya/potret-kekerasan-terhadap-perempuan/mrdetail/6619/), dalam bukunya primitive culture merumuskan definisi secara sistematis dan ilmiah, sebagai berikut

kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan yang di lakukan manusia sebagia anggota masyarakat.

Budaya patriarki telah menjadi unsur utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Budaya patriarki merupakan budaya dominan yang mendomisasi kebudayaan nasional, yang memperlihatkan pembedaan yang jelas antara laki-laki dengan perempuan terutama mengenai kekuasaan. Kekuasaan dominan yang di miliki oleh laki-laki dianggap merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mutlak serta baku. Dimana laki-laki menempati posisi sebagai pimimpin, dan penguasa, sedangkan perempuan sebagai pekerja yang harus melayani kaum laki-laki.

(32)

4. Media Massa dalam Relasi Gender

Media massa sebagai salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender dalam masyarakat, di samping itu media massa juga memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Menurut Nugroho (2008:2) istilah ‘gender’ pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa gender dipahami sebagai jenis kelamin sosial, artinya adanya pembedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berbuah sesuai dengan perkembangan zaman (Mufidah Ch, 2008:3). Misalnya dalam keluarga, peran perempuan hanya dalam lingkup domestik, yaitu sebagai ibu rumah tangga (memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak, dan melayani suami). Sedangkan peran suami lebih banyak di luar rumah, karena sebagai pencari nafkah untuk istri dan anak. hal tersebut yang mengakibatkan kebanyakan laki-laki lebih banyak terjun dalam lingkup publik daripada kaum perempuan.

(33)

peran, sifat maupun watak perempuan dan laki-laki dapat dipertukarkan, berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya. Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial.

Dengan demikian, perilaku manusia yang baik dan buruk, pola pikir, sikap dan perilaku yang seharusnya atau sepantasnya dilakukan oleh perempuan dan laki-laki atau perbedaan gender tidak datang secara tiba-tiba atau dibawa sejak lahir, tetapi terbentuk melalui proses belajar yang sangat panjang di dalam keluarga, masyarakat dan Negara melalui berbagai media seperti sekolah, media massa, pendidikan, keluarga, adat-istiadat seperti interaksi langsung antar individu, belajar di sekolah, buku dan lain-lain.

(34)

Tabel 1.1

Perbedaan Seks dan Gender

No. KARAKTERISTIK SEKS GENDER

1 Sumber Pembeda

Tuhan Manusia ( masyarakat)

2 Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan

3 Unsur Pembeda Biologis(alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)

4 Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan

Harkat, martabat dapat dipertukarkan

5 Dampak Tercipta nilai-nilai : Kesempurnaan,

6 Ke-berlaku-an Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas

Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas

Sumber: Handayani dan Sugiarti (2008:6)

(35)

Lebih lanjut menurut Mansour Fakih, ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, diantaranya marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting

dalam keputusan politik), stereotipe dan diskriminasi (pelabelan negatif), violence (kekerasan), beban kerja lebih banyak atau lebih panjang, serta

sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 2008:13). Ketidakadilan inilah yang digugat ideologi feminisme yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, apakah itu ditempat kerja ataupun dalam konteks makro, serta tindakan sadar baik oleh perempuan atau laki-laki dalam mengubah keadaan tersebut.

Kaum feminisme dalam gerakannya banyak mengkritik media massa ikut memelihara dan mengukuhkan pandangan bahwa wanita merupakan warga kelas kedua setelah laki-laki. Mereka melihat bahwa dalam memberitakan suatu peristiwa, apalagi yang bersangkutan dengan perempuan, media cenderung mengeksploitasi perempuan. Seperti dalam pengisahan berita (news stories) yang berisikan pengalaman wanita, kultur wanita, hingga kehidupan wanita digeneralisasikan dan didefinisikan dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara sosial, yang digenderkan dan tentu saja di hadapan kaum pria. Dalam hal ini media massa juga ikut andil dalam melanggengkan budaya patriarki dalam masyarakat.

5. Laki-laki dalam Media Massa

(36)

hidup tanpa laki-laki. Laki-laki dalam media massa memiliki karakter sebagai mahluk rasional, asertif, agresif, suka mendominasi, dan sifat lainnya yang menjadikan laki-laki selalu terdepan.

Menurut Wood (1996) media massa telah membangun makna tentang pria dan perempuan serta hubungan antara pria dan perempuan. Wood berdasarkan hasil risetnya secara gamblang menguraikan bahwa stereotif yang berkembang yaitu; secara umum pria dalam media ditampilkan sebagai aktif, petualang, kuat, agresif secara seksual, dan sebagian besar tidak tampil dalam hubungan yang bersifat manusiawi. Sementara itu, makna tentang perempuan yang didasarkan pada pandangan budaya secara konsisten, digambarkan sebagai objek seks yang selalu langsing, cantik, pasif, tergantung (dependen), dan sering tidak kompeten, serta dungu. Selaras dengan ungkapan Wood, Doyle menyimpulkan dari hasil pengamatannya, bahwa citra yang dibentuk oleh media mengenai laki-laki adalah sebagai mahluk yang agresif, dominan dan ditempatkan dalam aktivitas yang menggairahkan, di mana dari citra yang terbentuk itu mereka menerima ganjaran dari orang lain untuk prestasi yang didapatkan dari kemaskulinitasannya (http://webcache.googleusercontent.com/search:atwarbajari.wordpress.com).

(37)

sakit yang ada pada laki-laki saat mereka diharuskan mengikuti ideologi maskulinitas masyarakat.

Di sisi lain, seperti yang banyak ditampilkan media, berbagai jenis olahraga juga sering diasosiasikan dengan sifat-sifat maskulin: kuat, memiliki jiwa bertempur, kasar, percaya diri, agresif, kompetitif, serta memiliki perhatian tinggi atas bentuk tubuh yang kekar dan berotot. Tidak hanya dunia olahraga, tetapi kehidupan militer juga menawarkan hal yang sama. Sifat-sifat militer di media diidentikkan dengan sesuatu yang berbau maskulin: macho, kuat, sadis, kejam, kasar, tidak memiliki emosi, pantang menyerah, setia, keras kepala, patriotik, dan banyak lainnya.

Ini membentuk citra tersendiri terhadap diri laki-laki yang kemudian turut serta mempengaruhi pola pikir laki-laki secara umum terhadap konsep maskulinitas.

(38)

tidak boleh cengeng, tidak boleh menangis, tidak boleh bersifat pengecut, merupakan nilai-nilai dan kode-kode sifat kejantanan yang identik dengan laki-laki. Maka tampaknya tabu bagi laki-laki jika menangis atau bersikap halus. Karena hal-hal tersebut “bukan” sifat dari laki-laki (http://situskunci.tripod.com/teks/08hai.html). Dan seperti juga yang digambarkan oleh Jallaludin Rahmat dalam bukunya psikologi komunikasi, pria digambarkan sebagai sosok yang kuat, rasional, dominasi, pandai dan berkuasa (Rahmat, 1996:254).

Representasi laki-laki di media cenderung mengarah pada karakter seperti: kuat (baik secara fisik maupun intelektual), berkuasa, menarik secara seksual, fisik serta independen. Karakter laki-laki sering digambarkan sangat mandiri, hingga tidak membutuhkan atau bergantung pada orang lain. Karakter laki-laki semacam ini dapat dilihat secara jelas melalui gambaran tokoh film di era 1980-1990an, seperti: John Matrix (dalam Commando), John Mclane (dalam Die Hard), Rambo dan Rocky Balboa (www.mediaknowall.com/gender.html).

Dalam media, potret seorang laki-laki cenderung lebih beragam dari pada perempuan. Peran yang biasanya dilekatkan pada karakter laki-laki adalah atlet, pegawai negeri, profesi bidang hukum dan kesehatan, juru bicara, pengusaha, aktivis, politisi dan lain sebagainya.

6. Analisis Isi

(39)

sumber informasi yang lain secara objektif dan sistematis. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui tentang representasi tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film”Taken” karya Phillip Morel.

Analisis isi bisa diartikan sebagai metode untuk menganalisis semua bentuk komunikasi : Surat kabar, buku puisi, lagu, cerita rakyat, lukisan, pidato, surat, undang-undang, musik, teater, dan sebagainya (Rakhmat,2002:89).

Stone dalam Klaus krippendorf (1991:17) mengemukakan analisis isi adalah sebuah teknik penelitian untuk membuat inferensi dengan mengidentifikasikan secara sistematik dan objektif, karakteristik khusus dalam sebuah teks selanjutnya meyakini karakter inferensial pengkodean unit-unit teks.

F. Definisi Konseptual

1. Muatan Tindak Kekerasan

Muatan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan adalah banyaknya tindakan yang dilakukan laki-laki dengan sengaja kepada perempuan yang bertentangan dengan kodrat manusia.

2. Film

(40)

G. Struktur Kategori

Struktur kategori ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari definisi konsep yang dalam suatu penelitian sering kali disebut dengan istilah definisi operasional.

Batasan dalam penelitian ini adalah sebuah tayangan dalam film pada adegan-adegan yang berhubungan langsung dengan representasi tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Berdasarkan aspek-aspek tersebut peneliti menentukan struktur kategori sebagai berikut:

a. Kekerasan Fisik

Dalam film yang termasuk kategorisasi kekerasan fisik ini adalah tindakan laki-laki yang melakukan kekerasan fisik mencakup pemukulan, penamparan, dan penendangan anggota tubuh perempuan, baik yang dilakukan secara kolektif atau individu-individu. Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut:

1) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan pemukulan terhadap perempuan

2) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menendang tokoh perempuan.

3) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menjambak rambut perempuan

(41)

5) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan melukai perempuan.

6) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menampar perempuan.

7) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan membenturkan kepala perempuan.

8) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan mendorong perempuan.

b. Kekerasan Psikis

Dalam film, wujud kekerasan psikis adalah penggunaan kata-kata kasar, mempermalukan di depan orang lain, melontarkan kata-kata ancaman dan sebagainya. Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut:

1) Adegan dimana tokoh laki-laki mengucapkan kata-kata kasar terhadap perempuan

2) Adegan dimana tokoh laki-laki menunjukkan tindakan mengancam terhadap perempuan.

3) Adegan dimana tokoh laki-laki mempermalukan perempuan di muka umum dengan menjadikannya tontonan atau bahan ejekan.

c. Kekerasan Seksual

(42)

1) Adegan yang menunjukkan tokoh laki-laki melakukan tindak perkosaan terhadap perempuan yaitu memaksa perempuan untuk melakukan hubungan seksual disertai ancaman atau upaya menyakiti perempuan.

2) Adegan yang menunjukkan tokoh laki-laki melakukan pelecehan seksual yang meliputi tindakan meraba, menyentuh, atau memeluk dengan tujuan melakukan agresivitas seksual.

d. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi menunjukkan pengabaian perempuan secara ekonomi yang menjadikan perempuan menjadi kesulitan secara ekonomi. Ini termasuk tindakan menjual dan memperdagangkan perempuan. Dalam film hal ini ditunjukkan oleh indikator tokoh laki-laki memperjual belikan perempuan dengan imbalan yang menguntungkan baginya.

e. Kekerasan Sosial Budaya

Kekerasan sosial budaya ditunjukkan melalui aktivitas yang menggambarkan laki-laki melemahkan posisi perempuan dengan menggunakan konsep-konsep patriarkal dimana laki-laki adalah penguasa sedang perempuan lebih memiliki kedudukan di bawah laki-laki. Dalam film, indikator dari kategorisasi ini adalah:

(43)

2) Tokoh laki-laki melemahkan posisi perempuan dengan menganggap perempuan merupakan sosok yang tidak berharga.

H. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi yang bersifat kuantitatif, dengan menggunakan perangkat statistik sebagai analisis, hal ini dapat mempermudah penelitian membuat kesimpulan secara ringkas dan obyektif. Tujuan dari analisis isi adalah merepresentasikan kerangka pesan secara akurat. Untuk itu, kuantifikasi menjadi penting dalam upaya memperoleh obyektifitas yang dimaksud. Kuantifikasi juga mempermudah peneliti untuk membuat kesimpulan dan laporan secara lebih ringkas dan menarik.

Stone dalam Klaus krippendorf (1991:17) mengemukakan analisis isi adalah sebuah teknik penelitian untuk membuat inferensi dengan mengidentifikasikan secara sistematik dan objektif, karakteristik khusus dalam sebuah teks selanjutnya meyakini karakter inferensial pengkodean unit-unit teks.

1. Tipe Penelitian

(44)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah film “Taken“ yang tersaji dalam bentuk audio visual, yang berupa rekaman data VCD dengan durasi 89 menit yang difokuskan pada adegan-adegan yang bertemakan kekerasan berdasarkan kategorisasi yang ada.

3. Unit Analisis dan Satuan Ukur

Unit analisis film adalah pembahasan per-scene terhadap keseluruhan film untuk mengetahui jumlah kemunculan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film ”Taken”.

Satuan ukur dalam penelitian ini adalah durasi per detik setiap scene yang mengandung unsur muatan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film ”Taken” karya Pierre Morel.

4. Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini adalah film ”Taken” versi VCD yang diproduksi oleh EuropaCorp. EuropaCorp adalah studio film Perancis. Peneliti memilih untuk mempergunakan sumber data berupa VCD karena versi VCD dapat memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian.

(45)

5. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Untuk langkah pertama yang dilakukan adalah melihat dan mengamati dari film Taken tersebut dan untuk memperoleh data muatan kekerasan yang terdapat dalam tiap scene. Kemudian data dimasukkan ke dalam kategorisasi kekerasan yang telah ditetapkan. Selanjutnya untuk mempermudah pengkategorisasian, maka dibuat lembar koding seperti contoh berikut:

Tabel 1.2

Contoh Lembar Koding Kategorisasi

Fisik Psikis Seksual Ekonomi Sosial Budaya Scene

1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 1 2 1 1 2

Jumlah

Durasi

Sebagai contoh dalam satu scene terdapat indikasi adanya kekerasan, maka peneliti akan mendistribusikan data tersebut dengan mengisi jumlah durasi per detik pada masing-masing tabel.

(46)

Tabel 1.3

Contoh tabel distribusi frekuensi Muatan kekerasan terhadap perempuan

dalam film ”Taken” (Semua Kategori)

Kategorisasi Durasi Persentase

1

Keterangan Muatan kekerasan terhadap perempuan dalam film ”Taken” (Semua Kategori):

Kategori Kekerasan Fisik:

1)Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan pemukulan terhadap perempuan

2)Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menendang tokoh perempuan.

3)Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menjambak rambut perempuan

4)Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menyerang perempuan. 5)Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan melukai perempuan. 6)Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menampar perempuan. 7)Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan membenturkan kepala

perempuan.

8)Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan mendorong perempuan. Kategori Kekerasan Psikis:

1) Adegan dimana tokoh laki-laki mengucapkan kata-kata kasar terhadap perempuan

(47)

3) Adegan dimana tokoh laki-laki mempermalukan perempuan di muka umum dengan menjadikannya tontonan atau bahan ejekan.

Kategori Kekerasan Seksual:

1) Adegan yang menunjukkan tokoh laki-laki melakukan tindak perkosaan terhadap perempuan yaitu memaksa perempuan untuk melakukan hubungan seksual disertai ancaman atau upaya menyakiti perempuan. 2) Adegan yang menunjukkan tokoh laki-laki melakukan pelecehan seksual

yang meliputi tindakan meraba, menyentuh, atau memeluk dengan tujuan melakukan agresivitas seksual.

Kategori Kekerasan Ekonomi:

1) Tokoh laki-laki memperjual belikan perempuan dengan imbalan yang menguntungkan baginya.

Kategori Kekerasan Sosial Budaya:

1) Tokoh laki-laki mengungkapkan konsep bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya di bawah laki-laki.

2) Melalui tindakan verbal dan non-verbal, tokoh laki-laki melemahkan posisi perempuan dengan menganggap perempuan merupakan sosok yang tidak berharga.

6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Agar data yang di dapat valid maka penelitian ini dibantu oleh dua orang coder (orang yang melakukan pengkodingan) dalam pengkodingan data. Pada dua

orang koder yang telah dipilih diberikan definisi struktur kategori, unit analisis, bahan yang akan dikoding (film “Taken”) dan tabel kerja koding.

(48)

Coefisien Reliability = N1 = total jumlah coding dari peneliti.

N2 = total jumlah coding dari koder.

Hasil selanjutnya kemudian menurut Scott dikembangkan dalam ‘Index of Reliability” yang bukan hanya mengoreksi dalam suatu kelompok kategori, tetapi juga kemungkinan frekuensi yang timbul. Rumus Scott adalah sebagai berikut:

Observed Agreement: Jumlah persetujuan nyata antar pengkode yaitu CR.

Expected Agreement: Jumlah persetujuan yang diharapkan karena peluang.

Dari uji statistik tersebut, dapat diketahui kesepakatan para juri. Nilai kesepakatan yang dianggap reliabel menurut Lasswell (Bungin, 2001) menyebutkan kesepakatan antar juri 70 % - 80 % sudah cukup handal.

Gambar

Tabel 1.1 Perbedaan Seks dan Gender
Tabel 1.2 Contoh Lembar Koding
Tabel 1.3 Contoh tabel distribusi frekuensi

Referensi

Dokumen terkait

 Kurva LM menunjukkan kombinasi tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang konsisten dengan ekuilibrium dalam pasar keseimbangan uang riil..  Kurva LM digambar untuk

In order to achieve this ambitious goal, the description of work lists four main technological research and development areas, namely, adaptive data acquisition, automated

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar, di antaranya (1) guru masih menggunakan metode ceramah untuk pembelajaran keterampilan berbahasa, khususnya menyimak;

Metode yang digunakan adalah metode sejarah yakni Heuristik (pengumpulan sumber), Kritik Sumber (intern dan ekstern), Interpretasi sejarah, dan tahap akhir dalam

[r]

[r]

[r]

Indri melakukan percobaan tentang sifat – sifat cahaya dengan sebuah senter seperti pada gambar. Dari percobaan tersebut terbentuklah sebuah bayang – bayang benda. cahaya