• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias Di Sibolga (1971-2000)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias Di Sibolga (1971-2000)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI SIBOLGA (1971-2000)

SKRIPSI

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA :LILISDA HUTAGALUNG

NIM : 110706015

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

2

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI SIBOLGA (1971-2000)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

LILISDA HUTAGALUNG 110706015

Pembimbing

NIP. 196709081993032002 Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

3

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI SIBOLGA (1971-2000)

Yang Diajukan Oleh: Nama: Lilisda Hutagalung

NIM : 110706015

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing

Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si NIP. 196709081993032002

Tanggal……….. ….

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum. NIP. 196409221989031001

Tanggal:………...

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

4

LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen:

(5)

5

LEMBAR PENGESAHAN DEKAN DAN PANITIA UJIAN

PENGESAHAN:

Diterima oleh:

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya, dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada Tanggal : Senin, 31 Agustus 2015

waktu : 09.00 WIB - Selesai

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum. (………)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si. (………)

3. Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si. (………)

4. Drs. Samsul Tarigan. (………)

(6)

6

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penulisan skripsi ini

dengan baik.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar sarjana pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam hal ini, skripsi yang di berjudul “ Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias di Sibolga 1971-2000” berisi tentang fenomena Sejarah tentang sosial budaya

masyarakat Nias di Sibolga,

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca untuk memperbaiki skripsi ini nantinya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat bagi kita semua. Terimakasih.

Medan, juli 2015 Penulis,

(7)

7

UCAPAN TERIMAKASI

Penulisan skiripsi ini tidak akan telaksana dan selesai tanpa bantuan, dorongan, layanan dan semangat baik moral maupun moril dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak R. Hutagalung dan Ibu L. Hutauruk atas semua kasih sayang, pengorbanan tulus, dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. M. Husnan Lubis, M,A, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Samsul Tarigan, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Budaya

Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Drs. Yuddi Adrian M.,M.A, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Budaya Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum, selaku Ketua Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

(8)

8

8. Ibu Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si,selaku dosen Pembimbing penulis yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. 9. Seluruh Dosen Departemen Ilmu Sejarah yang telah memberikan

bimbingannya kepada penulis.

10.Teristimewa pada abang penulis, Dian Jubdi Hutagalung, Arwan Swandy

Hutagalung dan Rinarto Hutagalung serta adik Penulis Lidya Defega Hutagalung dan Hot Mangatur Hutagalung yang sangat saya sayangi. Terimakasih atas doa, bantuan dan dukungannya.

11.Buat teman-teman Sejarah stambuk 2011, Vennica, Erikson, lamzar, Adi, Dores, Wendi, Jan, Josia, Putri, Rani, Evelida dan semua teman-teman yang

tidak bisa saya sebut namanya satu per satu.

12.Kepada semua informan dalam penelitian ini terimakasih atas bantuan dan dukungannya.

13.Kepada semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu.

.

Medan Penulis,

(9)

9 Daftar isi

Lembar Pengesahaan Dosen Pembimbing Lembar Pengesahan Ketua Departemen Lembar pengesahan Dosen Penguji

Kata Pengantar ….………..…...i

Ucapan Terimakasih……….………...ii

Daftar Isi………...………...…iii

Abstrak ………..….………...…….iv

BAB I Pendahuluan 1.1 Latarbelakang Masalah……….….………..1

1.2 Rumusan Masalah……….………8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….………9

1.4 Tinjauan Pustaka……….………..9

1.5 Metode Penelitian………...…12

BAB II Gambaran Umum Lokasi Penelitian 2.1 Letak Georafis……….……15

2.2 Penduduk……….. …………..18

2.3 Budaya………...23

BAB III Gambaran Umum Masyarakat Nias di Sibolga tahun 1971-2000 3.1 Sejarah Migrasi Masyarakat Nias di Sibolga Sebelum tahun 1971....26

(10)

10

3.3 Pemukiman………..37

3.4 Mata Pencaharian………39

3.5 Budaya dan Bahasa……….40

BAB IV INTERAKSI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI SIBOLGA 4.1 Komunitas Etnis Nias di Sibolga………..…47

4.2 Interaksi Masyarakat Nias di Sibolga ………...47

4.1.1 Interaksi Antar Sesama Etnis Nias………49

4.1.2 Interaksi Etnis Nias dengan Etnis Lain di Sibolga…………52

4.1.3 Faktor Penghambat Interaksi……….55

4.3 Partisipasi Masyarakat Nias dalam Budaya Sumando di Sibolga….57 4.4 Tradisi Pernikahan Etnis Nias Di Sibolga………..59

BAB V Kesimpulan dan Saran 5.1Kesimpulan………63

5.2Saran………..65

Daftar Pustaka……….67

Daftar Informan………..69

(11)

11 Abstrak

Penelitian ini berjudul “Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias Di Sibolga”. Keberadaan masyarakat Nias di Kota Sibolga telah berlangsung semenjak masa penjajahan Belanda. Mereka dipekerjakan oleh Belanda dengan sistem kontrak. Ketika masa kontraknya selesai kemudian mereka mendirikan pemukiman-pemukiman di Kota Sibolga. Oleh Belanda mereka dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan yang menggunakan kekuatan fisik. Sebagai kelompok minoritas di Kota Sibolga, Etnis Nias berusaha untuk mempertahankan identitas dirinya seperti: bahasa, agama dan adat istiadat. Dengan dipertahankannya identitas diri ini mereka berusaha untuk memahami makna identitas dirinya sebagai Etnis Nias. Makna ke-Nias-an bagi orke-Nias-ang Nias juga dipengaruhi keberadake-Nias-annya di luar lingkungke-Nias-an masyarakat suku bangsanya.

Interaksi sosial dan budaya Masyarakat Nias di Sibolga dipengaruhi oleh adanya kelompok dominan, perspepsi terhadap masyarakat yang menimbulkan streotip buruk terhadap Etnis Nias akibat dari faktor dari pihak mereka ataupun dari pihak etnis lain.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang bersifat kualitatif melaluibeberapa tahapan yakni heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Tujuan dari penelitiian ini adalah menemukan dan mendeskripsikan dan secara analisis tentang kehidupan sosial budaya masyarakat Nias yang berada di Sibolga.

(12)

12 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang banyak memiliki pulau yang disatukan oleh lautan yang menyebabkan kekayaan budaya Indonesia. Kebudayaan Indonesia adalah

kebudayaan yang terdapat di seluruh suku yang ada dari Sabang sampai Merauke. Setiap suku memiliki ciri-ciri yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan keragaman budaya. Keragaman budaya Indonesia sering sekali mengalami benturan-benturan

yang menyebabkan munculnya budaya baru ataupun adanya konflik antar etnis. Etnis merupakan golongan sosial yang dibedakan dari golongan sosial lainnya

karena memiliki ciri paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal-usul atau tempat asal dan kebudayaannya. Ciri sebuah etnis antara lain bersifat tertutup dari kelompok lain, memiliki nilai-nilai dasar yang tercermin dalam kebudayaan, memiliki

komunitas dan interaksi. Etnis yang terbesar di Indonesia adalah Suku Jawa (Pulau Jawa), Batak dan Nias (Sumatera Utara), Minangkabau (Sumatera Barat), Sunda (Jawa Barat) dan masih banyak lagi. Pada masa masuknya kolonial Belanda terjadi

kolonisasi etnis di Indonesia.1

Sejak diterapkannya politik Etis terjadi migrasi besar-besar dari berbagai

daerah yang berdampak pada adanya benturan-benturan budaya. Salah satunya, migrasi Etnis Nias ke Sibolga. Hal ini dimulai sejak dibukanya Sibolga sebagai kota

1

(13)

13

pelabuhan. Mereka datang berbarengan dengan orang-orang dari berbagai daerah dan memiliki latar belakang budaya yang berbeda menjadikan daerah tersebut menjadi daerah yang majemuk. Orang-orang dari latar budaya yang berbeda tersebut saling

berbaur, dan saling beradaptasi hingga akhirnya bisa membentuk budaya baru. Di Sibolga sendiri dikenal dengan budaya Sumando.2

Nias terletak ± 85 mil laut dari Sibolga (daerah Provinsi Sumatera Utara). Nias merupakan daerah kepulauan yang memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 27 buah. Dipulau ini terdapat etnis Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan

diri mereka Ono Niha (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai Tanö Niha (Tanö = tanah). Etnis Nias adalah masyarakat yang hidup dalam

lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö.3

Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik. Hal ini dibuktikan oleh

peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini. Etnis Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Tingkatan kasta yang tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini

seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Bukan hanya itu,

2

Budaya Sumando adalah budaya Sibolga yang mendapat pengaruh dari Budaya Batak, Minang dan Pesisir Sibolga. Budaya Sumando yang berlaku dalam masyarakat pesisir berkonsep pada adat bersendikat syarak (adat yang berlaku berdasarkan Agama Islam).

3

Fondrakö adalah hukum adat Etnis Nias yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari

kelahiran sampai kematian.(baca: F. Telambanua,dkk, Sejarah Perjuangan Sejarah Nias, Laporan

(14)

14

dalam pernikahan juga dikenal dengan sistem bowo4yaitu pemberian mahar oleh pihak lagi-laki. Dalam bowo pihak laki-laki harus menyediakan sejumlah hadiah bagi orang-orang yang memiliki peranan dalam pernikahan tersebut. Mereka adalah

seluruh keluarga dari pihak mempelai wanita dan masyarakat kampung juga harus mendapatkan hadiah sekurang-kurangnya 1 ekor ternak bawi (ternak babi). Paling

sedikit 25 ekor bawi harus tersedia hanya dalam pernikahan saja. Pada masa sistem perekonomian masih menggunakan sistem barter pelaksanaan sistem bowo masih masuk akal, karena nilainya dihitung pada satuan babi dan bukan uang.5

Hingga tahun 1970-an Budaya Nias seperti dijelaskan di atas masih dilaksanakan. Dimasa itu perekonomian sudah dinilai dengan uang maka pelaksanaan

sistem ini sebenarnya sudah tidak efesien lagi karena berdampak pemiskinan bagi masyarakat Nias. Tidak heran jika dalam pelaksanaan pernikahan saja membutuhkan dana hingga puluhan juta. Mata pencaharian utama di Nias adalah

bersawah/berladang dan menyadap karet. Persawahan di Nias tidak menggunakan irigasi hanya tergantung pada turunnya hujan, Sementara jika turun hujan orang tidak dapat menyadap karet. Jadi dapat dikatakan untuk mengumpulkan uang puluhan juta

membutuhkakn waktu yang cukup lama. Pada akhirnya jika ingin melaksanakan

4Bowo merupakan hadiah, pemberian yang cuma-Cuma. Bowo dapat berupa uang, emas,

babi, tanah . Masyarakat Nias sangat menjunjung tinggi dab menghormati bowo bahkan menjadi suatu kewajiban dalam adat perkawinan. Bowo menjadi suatu kesempatan dalam menjalin hubungan kekeluargaan yang sangat erat antara kedua belah pihak mempelai. Bowo terjadi pada saat mulai pertunangan hingga pesta pernikahan berakhir. Bowo sebagai tuntunan atau syarat yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak mempelai.

5

(15)

15

penikahan tidak jarang masyarakat Nias harus menjual tanah atau bahkan berhutang. Setelah pernikahan mereka harus bekerja untuk membayar hutang. pernikahan dalam budaya Nias berdampak pada kemiskinan dan pemiskinan.6

Migrasi masyarakat Nias diberbagai daerah tidak lepas dari kurang mendukungnya perekonomian di Nias. Di samping itu juga penekanan budaya oleh

orang-orang tua yang masih memegang teguh adat istiadatnya memaksa pemuda-pemudinya harus pergi merantau. Alasaan untuk memperoleh hidup yang lebih baik, dan juga mendapatkan jodoh dari etnis lain adalah alasan utama mereka merantau.7

Migrasi Masyarakat Nias ke Sibolga dimulai sejak dibukanya kota Pelabuhan Sibolga. Mereka dibawa berbarengan dengan para migran dari daerah lainnya oleh

Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh untuk membuka hutan dan membangun pemukiman masyarakat, jalan raya dan infrastruktur lainnya yang mendukung pelabuhan Sibolga.8

6

Ibid, hlm. 106

7

Wawancara dengan bapak. Wr.Warasi, tanggal 12 Maret 2015

8

S. Budhisantono,dkk, Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Barus

dan Sibolga, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1994, hlm.60

Banyak buruh dari Nias ini yang akhirnya tinggal menetap.

(16)

16

mobilitas penduduk Nias ke Sibolga. Informasi mengenai sudah adanya orang Nias yang sukses di Sibolga semakin menarik migrasi Nias ke Sibolga.9

Etnis Nias yang melakukan migrasi ke Sibolga tentunya membawa

kebudayaan mereka. Di tempat perantauan mereka masih sering melaksanakan adat istiadat mereka terutama pada saat acara pernikahan. Akan tetapi, Sibolga merupakan

daerah yang sangat majemuk, beragam budaya ada di Sibolga, dengan kata lain orang-orang Nias juga harus mampu beradaptasi dengan budaya setempat. Budaya asli Sibolga adalah budaya sumando. Sudah menjadi peraturan di Kota Sibolga, jika

ada orang yang datang ke Sibolga harus mau menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Menyesuaikan diri dalam artian menghargai dan bila penting ikut serta

dalam kegiatan budaya yang ada di Sibolga, namun bukan berarti mereka harus menanggalkan indentitas mereka.10

Di Sibolga terdapat 15 etnis yang diakui, diantaranya adalah Etnis Batak,

Minang, Nias, Bugis, Cina, India. Etnis Nias menjadi salah satunya dan bukti keberadaan mereka di Sibolga yaitu dengan adanya replika hombo batu yang berada di Sibolga Julu.11

9 Simanihuruk,dkk,”Migrasi Orang Nias ke Medan: Studi Kasus Tukang Becak di Kampus

USU Medan”, Laporan penelitian , Medan: lembaga penelitian USU, 1997,hlm. 1

10

Wawancara dengan Bapak Radjoki Nainggolan , Maret 2015

11Wawancara dengan bapak Wr.Warasi, tanggal 12 Maret 2015

Budaya Nias di Sibolga masih tetap mereka terapkan. Terlihat jelas

(17)

17

Nias. Tari Maena, Tari perang, Pergelaran Hombo Batu, penetapan bowo (mahar) dalam pernikahan tetap mereka terapkan, namun nilainya dikurangi. Dalam artian nilainya di kurangi adalah menyesuaikan dengan budaya setempat dan juga kondisi

ekonomi dari masing-masing individu.

Dalam pernikahan campuran antara Etnis Nias dengan etnis lain, mereka

cenderung menanggalkan budaya mereka. Walaupun ada yang menyertakan kedua budaya dari kedua etnis tersebut, namun dalam kegiatan yang terpisah atau dilakukan dua kali resepsi pernikahan. Bagi orang Nias yang beragama muslim mereka

cenderung mengikuti budaya pesisir. Kalaupun ada mereka hanya menggunakan pakaian adat mereka saja dan tarian Maiena yang diiringi dengan musik rebana.

Adaptasi Orang Nias diawal kedatangan mereka ke Sibolga bukan hal yang mudah. Perbedaan karater budaya sudah jelas menjadi penghambat interaksi mereka, terutama dalam berkomunikasi. Sering terjadi konflik antara orang Nias dengan Etnis

lain yang disebabkan adanya saling ejek. Di daerah Ketapang Sibolga pernah terjadi konflik antara orang Nias dengan Etnis Batak. Etnis Batak merasa mendominasi tempat tersebut. Hal ini menimbulkan suatu kecemburuan sosial bagi Etnis Nias.

Akibat adanya konflik ini maka di lakukan musyawara antara kedua Etnis tersebut, dimana jika masih ada yang mengejek etnis lain maka akan terjadi hukum rimba

(orang yang mengejek tersebut akan dibunuh).

Komunitas Masyarakat Nias (Ono Niha) di daerah Sibolga dan sekitarnya sudah ada sejak lama. Belum ada data yang pasti menceritakan sejak kapan persis

(18)

18

Sibolga dan sekitarnya. Komunitas merupakan suatu wadah bagi Etnis Nias di tanah rantau untuk mengenal dan mempererat hubungan kekerabatannya. Dari waktu ke waktu jumlah komunitas Etnis Nias ini terus bertambah dan berkembang bahkan

menjadi desa. Budaya dan bahasa juga di pertahankan dan diturunkan ke gemerasi berikutnya. Mereka menghadirkan adat istiadat di Nias di tempat perantauan yang

baru. Kedati begitu adat dan budaya tersebut sudah di sesuaikan dengan budaya dan adat dimana mereka tinggal.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menelaah lebih dalam lagi mengenai

bagaimana kehidupan masyarakat Nias dari aspek sosial budaya sebagai masyarakat pendatang di Sibolga. Ada satu hal yang menarik untuk dikaji dalam kehidupan

masyarakat Nias di Sibolga. Masyarakat Nias sebagai salah satu masyarakat pendatang di Sibolga selalu mengalami diskriminasi. Hal inilah menurut penulis menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti. Masyarakat Nias yang tinggal

di Sibolga tentunya bersentuhan dengan masyarakat setempat. Masyarakat Nias beradaptasi dengan masyarakat setempat dengan berbagai pendekatan. Tujuan pendekatan yang dilakukan adalah agar dapat diterima dan bisa bertahan hidup di

lingkungan baru.

Perbedaan kebudayaan menjadi salah satu penghambat masyarakat Nias

berinteraksi dengan masyarakat Sibolga yang majemuk. Perbedaan itu meliputi adat-istiadat, bahasa, maupun segala kebiasaan yang dimiliki setiap kebudayaan masing-masing. Keragaman etnis di Sibolga semakin menambah keragaman pendekatan yang

(19)

19

Berdasarkan uraian di atas penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI SIBOLGA 1971-2000. Penulis mengambil batasan waktu 1971-2000.

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa pada tahun 1961eksistensi pelabuhan Sibolga yang sempat turun kembali ramai tahun 1971 dalam bongkar muat ikan dan

pengangkutan. Banyak Etnis Nias yang datang ke Sibolga untuk memperoleh pekerjaan. Tahun 2000 ada terlihat partisipasi Etnis Nias dalam kegiatan Magure Lawik (pesta laut budaya pesisir Sibolga). keterlibatan Etnis Nias menunjukkan

terjadinya interaksi budaya. Sementara sebelumnya mereka belum pernah dilibatkan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, untuk mempermudah penulis dalam penulisan dan menghasilkan penelitian yang objektif, maka penulis perlu membatasi

masalah yang akan dibahas. Adapun masalah dari penelitian ini adalah: 1. Apa latar belakang masuknya Etnis Nias ke Sibolga?

2. Bagaimana kehidupan Sosial Budaya masyarakat Nias di Sibolga

1971-2000 ?

3. Apa hambatan masyarakat Nias dalam interaksinya di Sibolga

(20)

20

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah penulis menentukan rumusan masalah sebagai fokus penelitiannya penulis juga menyadari bahwa penelitian yang akan dilakukan juga harus mampu

memberikan tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut. Maka penulis juga akan menentukan fokus tujuan dan manfaat yang akan dicapai penulis nantinya. Pada

dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Ada pun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang masuknya Etnis Nias ke Sibolga.

2. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan Masyarakat Nias di Sibolga 1971-2000.

3. Untuk mengetahui hambatan Masyarakat Nias dalam interaksinya di Sibolga 1971-2000.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat:

1. Untuk menambah referensi dan khasanah dalam penelitian mengenai kehidupan Masyarakat Nias di Sibolga.

2. Aspek praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah referensi

dalam mengubah cara padang masyarakat terhadap keberadaan para migran Nias.

1.4 Tinjauan Pustaka

Informasi mengenai masyarakat Nias telah banyak ditemukan di berbagai

(21)

21

hanya sekilas membahas mengenai kehidupan masyarakat Nias di Sibolga. Belum ada yang secara khusus membahas mengenai kehidupan sosial budaya Etnis Nias di Sibolga.

Untuk itu penulis juga menggunakan beberapa tulisan sebagai pendukung tulisan ini diantaranya Tesis Muba Simanihuruk yang berjudul “Adaptasi Migran

dalam Konteks Perkembangan Kota di Indonesia: Studi Migran Nias yang Bekerja di

Sektor Informal di Kota Medan”, tahun 1999. Tulisan ini menjelaskan tentang faktor

yang menyebabkan penduduk Nias menjatuhkan pilihan untuk bermigrasi ke Kota

Medan. Medan adalah Kota menjadi faktor penarik migrasi Nias sementara keadaan sosial ekonomi pedesaanlah yang mendorong terjadinya migrasi Nias ke kota Medan.

Fenomena migrasi Nias ke Medan semakin masif ketika perkembangan kota Medan semakin pesat, sebagaimana layaknya kota utama Jakarta. Kota Medan sebagai melting pot beragam etnis yang sebelumnya juga telah didiami migran dari dalam

penjuru tanah air. Penulis menggunakan Tesis ini sebagai salah satu informasi karena fenomena ini sama dengan di Sibolga. Sibolga merupakan kota yang masyarakatnya majemuk. Kemajuan kota Sibolga sebagai kota pelabuhan menjadi faktor penarik

migrasi ke Sibolga.

Tali Jazaro Gulo dalam tesisnya yang berjudul “Kebijakan dalam Upaya

Memerangi Kemiskinan Di Nias”,tahun 2004menjelaskan pelaksanan pembangunan

di Nias berjalan sedikit lambat dibandingkan daerah-daerah lain penyebab utama kemiskinan masyarakat di Nias. Beliau menjelaskan banyak pemuda Nias yang

(22)

22

formal dengan tingkat pendapatan yang rendah. Penulis menggunakan tesis ini sebagai bahan referensi dimana Etnis Nias yang bermigrasi ke Sibolga adalah orang-orang yang berusia produktif, karena tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan

pekerjaan. Kemiskinan di Nias mendorong masyarakat mencari daerah-daerah yang mampu meningkatkan. taraf hidup mereka sehingga kota Sibolga menjadi salah satu

tujuan migrasi Etnis Nias. Tesis ini juga membahas sedikit tentang keberadaan Etnis Nias di Sibolga.

Sianturi dalam skripsinya yang berjudulPolaAdaptasi Budaya Penduduk Asli

Dan Pendatang Antara Masyarakat Pakpak Dairi dengan Batak Toba, mengatakan

bahwa pada masyarakat di Panji Sitinjo adaptasinya sampai saat ini masih

membuahkan hubungan sosial yang harmonis dan saling menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari terciptanya akulturasi, asimilasi dan adanya perkawinan campuran antara etnik Pakpak Dairi dan Batak Toba di Panji Sitinjo. Penulis melihat adanya

persamaan kasus dimana etnis Nias di Sibolga juga merupakan pendatang yang perlu melakukan adaptasi terhadap Etnis lain di Sibolga. maka itu penulis menjadikan buku ini sebagai bahan reverensi.

Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul De Atjehers,tahun 1895. Dalam buku ini Snouck menceritakan tentang masyarakat Aceh dan adat istiadatnya.

Ia mencerikan bagaimana Aceh senang memelihara budak. Dalam buku ini memiliki cerita yang menarik tentang budak-budak yang didatangkan dari berbagai daerah ke Aceh. Snouck menggambarkan bagaimana orang Mante yang tak mau makan, orang

(23)

23

Batak Karo yang keras kepala dan budak Afrika yang melupakan daerah asalnya. Dalam bagian buku ini menjelaskan bagaimana orang Nias dengan cerita mitos tentang asal usul orang Nias yang merupakan keturunan anjing. Akibatnya dalam

percakapan sehari-hari, mereka dikatakan keturunan anjing dan babi. Bahkan ada sajak yang mengejek orang Nias atau keturunan campuran orang Nias yang bunyinya,

“ Nieh kumudee; uroe bee buy, malam bee asee.’’ Artinya orang Nias yang makan buah mengkudu; bau seperti babi disiang hari, seperti bau anjing dimalam hari. berdasarkan itu penulis menjadikan buku ini sebagai reverensi untuk menggambarkan

munculnya streotip-streotip buruk tentang orang Nias.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian mengenai “Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias di Sibolga 1971-2000”, merupakan suatu penelitian historis. Penelitian ini diarahkan untuk

meneliti, mengungkapkan dan menjelaskan peristiwa masa lampau sehingga jelas diarahkan kepada metode sejarah yang bersifat kualitatif. Tujuan dari penelitian historis ini yaitu menemukan dan mendeskripsikan secara analisis serta menapsirkan

tentang Kehidupan Sosial Budaya Etnis Nias di Sibolga. Penelitian yang saya lakukan termasuk dalam penelitian sejarah lokal yang bersifat sosial budaya. Dalam

penelitian akan dibahas mengenai suatu hubungan yang terjalin antara masyarakat Nias dengan masyarakat Sibolga yang majemuk.

Dalam penulisan sejarah pemakaian metode sejarah sangat penting. Metode

(24)

24

menghasilkan suatu karya ilmiah yang bernilai. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa lampau12

Setelah memperoleh sumber-sumber yang diperlukan, tahap berikutnya adalah kritik Sumber. Pada tahap ini sumber-sumber relevan yang telah diperoleh

. Ada beberapa tahapan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

tahapan heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.

Tahap pertama adalah heuristik. Tahapan ini merupakan proses pengumpulan

sumber-sumber historis yang berhubungan dengan topik yang di teliti. Dalam hal ini penuli menggunakan studi pustaka dan pengumpulan data-data primer melalui wawancara. Dalam studi pustaka penulis akan mengumpulkan data-data sekunder

yang berhubungan dengan topik ini baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan lainnya. Untuk mengumpulkan sumber pustaka maka penulis melakukan

kunjungan ke Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, Perpustakaan Tengku Lukman Sinar dan Perpustakaan daerah Kota Sibolga. Untuk mendukung data-data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka

yang telah dilakukan maka penulis juga akan melakukan pengumpulan data-data primer melalui wawancara. Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap orang-orang yang dianggap dapat memberi masukan

terhadap topik yang diteliti, baik dari masyarakat, pemerintahan, tokoh masyarakat dan orang Nias yang ada di Sibolga.

12

(25)

25

diverifikasi kembali untuk mengetahui keabsahannya. 13

Tahap selanjutnya adalah tahap interpretasi. Merupakan tahapan penafsiran-penafsiran terhadap sumber yang telah dikritik. Dalam tahap ini penulis melakukan

analisis dan sintesa. Analisis berarti menguraikan. Dari proses analisis telah diperoleh fakta-fakta. Kemudian data-data yang diperole disintesakan sehingga memperoleh

sebuah kesimpulan

Agar memperoleh kredibilitas maka kritik sumber dilakukan dalam dua tahap yaitu kritik eksternal dan internal. Kritik eksternal dilakukan mencakup seleksi dokumen, apakah dokumen

tersebut dapat digunakan atau tidak dalam penelitian. Kemudian juga menyoroti tampilan fisik dokumen, mulai dari ejaan yang digunakan, jenis kertas, stempel atau

apakah dokumen tersebut telah diubah atau masih asli.

14

. Historigrafi atau penulisan sejarah merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian dari metode penelitian sejarah. Dari tahapan-tahapan sebelumnya maka diakhiri dengan penulisan fakta-fakta secara kronologis dan dituangkan dalam

bentuk skripsi.

13 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995, hlm.

99

(26)

26 BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA TAHUN 1971-2000

2.1 Letak Geografi

Letak geografis adalah letak suatu daerah dilihat dari kenyataannya di bumi atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain. Letak

geografis ditentukan pula oleh segi astronomis, geologis, fisiografis dan sosial budaya. Kota Sibolga terletak di Pantai Barat Sumatera. Posisi Pantai Barat Sumatera dari Singkil di Utara hingga Indrapura di Selatan. Di sebelah Utara daerah ini terdapat

kerajaan Aceh, Sebelah Timur terdapat Daerah Batak, Kerajaan Siak dan Indragiri. Sebelah Selatan terdapat Daerah Kerincidan Bengkulu, di sebelah Barat terhampar

Samudera Hindia. Ciri utama topografi kawasan pantai Barat adalah berbukit-bukit. Salah satu wilayah dari gugusan pegunungan ini adalah teluk Sibolga.15

Secara astronomi, Sibolga terletak pada 10 44-10 46 LU dan 980 44-980 48

BT. Batas Kota Madya Sibolga disebelah utara dan timur adalah kecamatan Sibolga, di sebelah Selatan adalah Kecamatan Pandan dan di sebelah Barat adalah Teluk Tapian Nauli. Kotamadya Sibolga merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang

berada dalam wilayah daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara. Jaraknya lebih kurang 344 km dari Kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Bentuk Kota

15 Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2007,

(27)

27

memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti garis pantai. Sebelah Timur terdiri dari gunung dan sebelah Barat adalah lautan. Lebar kota yaitu jarak dari garis pantai ke pegunungan sangat sempit hanya lebih kurang 500 meter 25sedangkan panjangnya

adalah 8. 520 km.Karena sempitnya daratan yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk, akhirnya banyak tepian pantai yang ditimbun menjadi daratan untuk

dijadikan lahan pemukiman. Bahkan sebagian pemukiman didirikan di atas laut.16 Kota Sibolga mempunyai wilayah seluas 1077,00 Ha yang terdiri dari 889,16 Ha (82,5%) daratan, 187,84 Ha (17,44%) daratan kepulauan dan 2.171,6 luas lautan.

Beberapa pulau-pulau yang tersebar di sekitar Teluk Tapian Nauli yang termasuk kedalam wilayah administratif kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau

Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yang berada pada daratan pantai, lereng dan pegunungan.Wilayahnya terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter.

Keadaan alamnya relatif kurang beraturan. Kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 % sampai dengan 40%. Sebagian besar (69%) wilayah kota madya ini merupakan perairan dan pulau-pulau yang tersebar di Teluk Tapian Nauli sebagian

lagi merupakan dataran bekas rawa dipantai dataran Sumatera yang ditimbun, membujur dari barat Laut ke tenggara dengan ukuran 5,6 kali 0,5 km. dataran ini

merupakan tempat pemukiman penduduk.17

16S. Budhisantoso,dkk ,Op. Cit., hlm.11 .

(28)

28

Bentuk Kota Sibolga memanjang dengan arah barat laut–tenggara dengan luas sekitar 2,8 km2. Panjang kota sekitar 5,6 km. Batas ko kea rah Tarutung pada kilometer 3,9; ke arah Padang Sidempuan pada kilometer 3,4; dan ke arah Barus pada

kilometer 2.

Fasilitas jalan di dalam Kota Sibolga pada umumnya lurus-lurus dan sudah di

aspal. Lebar jalan utama sekitar 4-6 m, sedangkan jalan-jalan cabang hanya sekitar 3 m. Panjang jalan kota sekitar 40 km. di kota ini terdapat 21 buah jembatan dengan kondisi empat jembatan Beton, 16 jembatan kayu, dan 1 satu jembatan besi karena

adanya sungai-sungai kecil.18

Iklim kota Sibolga termasuk panas dengan suhu maksimum mencapai 32° C

dan minimum 621.6° C. Sementara curah hujan Sibolga cenderung tidak teratur

disepanjang tahunnya.19 Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dengan jumlah 798 mm, sedangkan hujan terbanyak terjadi pada Desember yakni 26 hari. Jika dibandingkan curah hujan di Nias yang mencapai 2.927,6 mm pertahun dengan

jumlah hari hujan setahun 200-250 hari.20

Secara geografis Sibolga terletak ± 85 mil laut dari Nias. Hal ini

membutuhkan sedikitnya waktu 10 jam perjalanan dari Nias ke Sibolga dengan Lokasi Sibolga lebih mendukung untuk perkebuanan karet dan juga pertanian di bandingkan dengan di Nias.

18 Budhisantono,dkk, Op .Cit., hlm. 13 19

Ibid,.hlm. 12.

20

(29)

29

menggunakan kapal pengangkutan. Hingga pada tahun 1970 Sibolga merupakan satu-satunya akses untuk menghubungan Nias dengan daerah lain di Sumatera Utara. Lokasi Sibolga yang begitu dekat dengan Nias menyebabkan Sibolga menjadi lokasi

migrasi yang cukup strategis bagi Etnis Nias.

2.2 Budaya

Kejayaan Sibolga sebagai Kota Pelabuhan di masa lampau mewarnai corak sosial budaya masyarakat Sibolga. Pada abad ke-19, pulau ini sudah dikuasai

Belanda. Selain para pedagang yang bermukim, Belanda mendirikan pula rumah tahanan untuk orang hukuman yang dikenal dengan nama orang rantai21

Kegiatan perdagangan dan pelayaran di Sibolga menyebabkan sebagian besar penduduknya merupakan pencampuran antara sesama orang perantau. Penataan

penduduk oleh pemerintah Belanda bukan berdasarkan teritorial tetapi berdasarkan pada suku bangsa. Setiap kelompok etnis dipimpin oleh seorang penghulu, yaitu Etnis

yang

sengaja didatangkan dari berbagai daerah ( Nias, Jawa, Batak, Madura, Bugis dan lain-lain). Mereka dipekerjakan untuk membuka hutan, membangun jalan dan perkampungan. Dalam perkembangan pelabuhannya, Sibolga berhasil menarik

orang-orang dari dalam maupun luar negeri untuk ikut andil dalam aktifitas pelabuhan baik itu sebagai pedagang, pekerja buruh pelabuhan, maupun perkerjaan lainnya yang bersangkutan dengan kegiatan pelabuhan.

21

Orang rantai adalah sebutan orang yang tinggal di sekitar Sibolga terhadap budak -budak

(30)

30

Batak dipimpin oleh penghulu Toba, Etnis Minang diatur oleh Penghulu Darek, Etnis Nias dipimpin oleh Penghulu Nias dan demikian juga dengan etnis lokal lainnya. Berbeda dengan kelompok masyarakat asing, mereka dipimpin oleh seorang kapitan

seperti Kapitan Keling, Kapitan Cina, Kapitan Arab untuk mengatur masyarakat. Akan tetapi, jumlah masyarakat Etnis Batak yang lebih mendominasi.22

Dalam upacara perkawinan dengan adat sumando biasanya diikuti kesenian khas pesisir yaitu sikambang.23 Kesenian Sikambang yang berasal dari Barus ini berakar dari cerita rakyat yang mengisahkan percintaan antara sikambang dengan

putri Intan. Kesenian sikambang ini berkembang hampir diseluruh Pantai Barat Sumatera Utara bahkan sampai ke Pantai Sumatera Barat dan Pantai Bengkulu.

Sementara itu masyarakat Batak dalam pesta selalu menyertakan kesenian Tortor dan Tumba.24

Tidak ada data statistik mengenai berapa jumlah penduduk berdasarkan Etnis.

Akan tetapi dalam Buku Profil Sibolga tercatat. Selain keberagaman dari kelompok etnis, kota Sibolga juga memiliki keragaman agama. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, mayoritas penduduk Sibolga beragama Islam. Jumlah penganut agama

22Pemko Sibolga, Keberagaman Etnik Kota Sibolga, Sibolga : Tanpa Penerbit, 2007, hlm. 17 23Sikambang adalah kesenian yang memadukan musik, tarian, senandung, pantun yang paling

populer di Kota Sibolga. kesenian Sikambang ini biasa dipertunjukkan pada saat upacara pernikahan, penyambutan, dan hari-hari besar.

(31)

31

Islam mencapai 47,763 jiwa, yaitu sebesar (58,48%) dari total penduduk. kemudian yang terbesar selanjutnya adalah agama protestan 26,436(32, 36%), Katolik 4.259 jiwa(5,21%), Budha 3.000 jiwa (2,67%) , Hindu 115 jiwa (0,14%). Masyarakat yang

beragama protestas dan katolik cenderung bertempat tinggal di daerah pedalaman sementara yang beragama Islam berada di bagian pesisir Sibolga.25

Keragaman penduduk terlihat jelas pula pada adat istiadat yang berlaku

ditengah masyarakat. Pada Etnis Batak berlaku adat jujuran,

Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam pergaulan adalah bahasa Pesisir dan Bahasa Batak. Bahasa pesisir adalah bahasa penduduk asli yang berdiam disekitaran pantai. Bahasa ini memiliki lagam sendiri, yakni perpaduan antara bahasa Melayu,

Pesisir dan Batak Toba dan bahasa pendatang lainnya. Dalam masyarakat Nias pengunaan bahasa pesisir bertujuan untuk menjalin komunikasi yang baik bagi

masyarakat etnis lain di Sibolga. Sementara Bahasa Nias digunakan pada sesama Etnis Nias. Akan tetapi, sama dengan bahasa dari etnis lain di Sibolga, Bahasa Nias juga ada yang diserap ke bahasa pesisir seperti, godo-godo dalam bahasa pesisir

Godok-godok, ini juga merupakan makanan khas Nias yang berbahan baku ubi yang

juga makanan ini di kenal di Sibolga.

26

25

Budhisantono,dkk, Op .Cit.,

26

Adat jujuran adalah pemberian mahar yang dalam adat batak mahar di tentukan dalam acara pertunangan (martuppol)

sedangkan pada masyarakat pesisir berlaku adat Sumando Adat sumando berasal dari Minang, tetapi

(32)

32

dikalangan masyarakat Sibolga.27

Masyarakat yang datang ke Sibolga memang diwajibkan untuk menyesuaikan diri dengan budaya asli Sibolga, namun bukan berarti budaya asli mereka tidak boleh

di laksanakan di Sibolga. Semua Etnis di Sibolga dengan bebas menampilkan budaya mereka di Sibolga asal masih dalam aturan budaya Sumando yang telah di tetapkan. Etnis Nias tidak mengunakan budaya Sumando dalam pernikahan sesama Etnis Nias.

Akan tetapi, Etnis Nias yang menikah dengan etnis pesisir justru meninggalkan budaya mereka dan mengikuti budaya Sumando.Hanya saja mereka yang sudah beragama Islam dari daerah asalnya menyajikan budaya Nias berupa tari

maena

Etnis lain yang bukan bagian dari budaya sumando bukan berarti tidak memiliki pengaruh terhadap budaya Sumando. Budaya dari Etnis lain juga sering ikut berpartisipasi dalam kegiatan budaya Sumando, misalnya dalam

pesta laut masyarakat pesisir, Etnis Nias juga ikut berpatisipasi. Setidaknya dengan menampilkan tarian Maena. Demikian juga Etnis bugis, Etnis Jawa, Etnis Cina, dan

India juga ikut serta dalam kegiatan budaya di Sibolga. Budaya Sumando menjadi alat untuk menyatukan seluruh perbedaan yang ada di Sibolga dalam satu kegiatan kebudayaan.

28

27

Pemko Sibolga, Keberagaman Etnis Kota Sibolga, Sibolga : Tanpa Penerbit, 2007, hlm. 17

28

Tari Maena adalah tari yang di iringi dengan alat music tradisional Nias. Namun oleh

masyarakat Nias Barat yang mayoritas Muslim tarian ini dipengaruhi budaya Arab Sehingga tarian ini

dalam penampilannya diiringi dengan musik rebana.

(33)

33

pihak yang melakukan pesta harus menyediakan makanan untuk parsubang.29

Kebersamaan dan toleransi yang ditunjukkan mereka dalam kehidupan

bermasyarakat yang plural dapat dilihat dalam berbagai kegiatan-kegiatan kebudayaan dan kegiatan kalender yang dilaksanakan pemerintah Kota Sibolga, seperti Mangure lawik,

Hal ini juga berlaku untuk etnis lainnya di Sibolga.

Sebelum adanya pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dengan slogan

Bhineka Tunggal Ika. Sibolga telah terlebih dahulu menginplementasikannya dalam kehidupan kehari-hari dari masyarakatnya. Sibolga dihuni oleh berbagai etnis dan

agama dengan berbagai ragam budaya dan adat istiadat dari setiap etnis yang ada. Sibolga merupaka negeri berbilang kaum perekat umat beragama adalah Kalimat yang mengisyaratkan tentang sebuah “kebersamaan dan toleransi” yang dibangun

oleh masyarakat Sibolga dari sejak dahulu.

30

MTQ, pemilihan Ogek dan Uning,31

29

Parsubang adalah makanan khusus bagi mereka yang tidak memakan daging babi.

30

Mangure Lawik adalah acara budaya yang dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur

sekaligus memanjatkan doa untuk kelestarian laut. Biasanya dilaksanakan pada saat nelayan akan memulai musim penangkapan ikan, beragam acara budaya dari semua etnis di Sibolga juga ditampilkan pada kegiatan ini.

31Ogek dan Uning adalah sebutan untuk laki-laki dan perempuan dalam budaya pesisir.

Pemilihan ogek dan uning sama dengan pemilihan putra-putri di daerah lain, seperti jaka dan dara di

Medan, udo dan uni di Sumatera Barat atau abang dan nonedi Jakarta. Tujuan dari pemilihan ogek dan

uning ini adalah untuk mempertahankan dan menumbuh kembangkan seni dan budaya dan

pengetahuan kepariwisataan kepada generasi muda Kota Sibolga.

(34)

34

Sibolga, hari kemerdekaan dan sebagainya yang melibatkan seluruh Etnis yang ada di Sibolga tampa terkecuali. 32

Pada tahun 1930-1961 perkembangan penduduk Sibolga mencapai rata-rata

8,7% per tahun. Selanjutnya hingga tahun 1980 rata-rata itu adalah 3,8% pertahun.Hingga tahun 1970-1982 jumlah penduduk Sibolga bisa mencapai 61.527 sekitar 3,8% pertahun lebih besar dari laju pertambahan penduduk provinsi Sumatera

Utara yang besarnya 2,6% pertahun. Sementara itu laju pertumbuhan penduduk Indonesia antara tahun 1971-1980 menunjukkan angka 2,32% pertahun.

2.3 Penduduk

33

Penduduk usia 0-15 tahun berjumlah 26.792 jiwa, dengan penduduk usia SD berjumlah 9.606 jiwa. Penduduk usia belum sekolah (0-4 tahun) berjumlah 9.814

jiwa. Sementara jumlah penduduk tingkat usia TK (5-6 tahun) dan penduduk tingkat usia SMTP (13-15 tahun) berjumlah 7.372 jiwa dan usia SMTA (15-24 tahun) 13.429

jiwa. Untuk memenuhi pendidikan TK tersedia 7 buah STK, 59 buah SD, 9 buah untuk SMTP dan 7 buah SMTA. Dalam hal pendidikan Sibolga menjadi pusat Pada tahun 1980, penduduk Kota Sibolga berjumlah 59,466 jiwa yang terdiri dari 50,9% penduduk laki-laki dan 49,1% penduduk perempuan. Dari jumlah penduduk itu hanya sekitar 2% berwarga Negara asing (WNA Cina 1,5% dan sisanya

SNA lain). Rata-rata kepadatan penduduk Kota Sibolga adalah 21.000 jiwa/km2.

32Wawancara dengan Bapak Radjoki Nainggolan, tanggal 12 Maret 2015

(35)

35

pendidikan bagi daerah belakang seperti Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan juga Nias.34

34Ibid.,

Hal ini mendorong tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kota Sibolga pada tahun 1980-an.

Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Sibolga disebabkan Pelabuhan Sibolga mulai ramai disektor perikanan dan pengangkutan. Disektor perikanan

banyak menyerap tenaga kerja dalam hal menyortir ikan, sebagai anggota kapal trawl, pengangkut ikan dan lain sebagainya. Semakin tersedianya transportasi pengangkutan terutama pengangkutan. Para penumpang umumnya pergi dan datang dari pulau Nias,

Pulau Banyak, Aceh Barat dan Selatan. Sekitar 60 % penumpang itu berkaitan dengan Pulau Nias. Selama tahun 1976-1980 arus penumpang meningkat, yaitu

14,8% pertahun yang turun dan 10% untuk yang naik melalui pelabuhan Sibolga. perkembangan kota Sibolga menyebabkan kota ini menjadi daerah pilihan migrasi orang-orang dari berbagai daerah seperti Padang, Aceh, dan termasuk juga dari Nias

yang dimana angka migrasi dari Nias cukup tinggi ke Sibolga.

Sejak merosotnya pelabuhan Sibolga ditahun 1961 hingga 1971 masyarakat Sibolga banyak yang beralih menjadi nelayan. Pada tahun 1970-an makin banyak

tenaga yang bekerja di bidang perikanan,baik sebagai penangkap ikan juga sebagai buruh penyortir ikan. Hingga pada tahun 1980 terbuka lagi kesempatan kerja di

(36)

36

Menurut kegiatan ekonomi, sebagian besar (50%) penduduk hidup di bidang perikanan, 30% di bidang kariwan dan buruh, 30% yang lain di bidang perdagangan dan jasa. Nelayan pribumi pada umumnya masih menggunakan peralatan tradisional,

termasuk bagan. Budaya peralatan bagan diterima dari nelayan pendatang. Mekanisasi masih terbatas pada pemilik modal dan umumnya adalah orang Cina.

Sebagian kecil masyarakat hidup sebagai petani di daerah pedalaman Sibolga yakni sebagai penyadap karet dan penebang kayu.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, mayoritas penduduk Sibolga

beragama Islam. Jumlah penganut Agama Islam mencapai 47.763 jiwa, yaitu sebesar 58,48% dari total penduduk. kemudian yang terbesar selanjutnya adalah agama

protestan 26.436(sekitar 32.36%), Katolik 4.259 jiwa (5,21%), Budha 3.000 jiwa (2,67%)dan Hindu 115 jiwa (0,14%).35 Untuk memenuhi kebutuhan keagamaan Sibolga memiliki fasilitas tempat peribadatan seperti mesjid, gereja dan kelenteng.

Sementara itu, untuk menunjang kehidupan bermasyarakat juga terdapat organisasi-organisasi,seperti organisasi suku, organisasi marga, organisasi keagamaan, Serikat Tolong Menolong (STM) dan organisasi pemuda.

(37)

37 BAB III

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI

SIBOLGA(TAHUN 1971-2000)

3.1 Sejarah Migrasi Etnis Nias ke Sibolga

Nias atau tanÖ niha adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai Barat Sumatera menghadap Samudra Hindia. Tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang

dihuni yaitu Pulau Nias, Pulau Tanah Bala, Pulau Tanah Masa, Pulau Tello dan Pulau Pini. Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Nias merupakan yang berpenghuni paling

padat dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Pulau yang terkenal dengan budaya megalitiknya ini menyimpan beberapa misteri dan keunikan, termasuk mengenai asal-usul leluhur orang Nias. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya

sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak tertua di Nusantara.36

Etnis Nias memiliki masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan

kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebutfondraköyang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.37

36Tuanku Lukman Sinar, Mengenang Kewiraan Pemuka Adat dan Masyarakat Adatnya di

Sumatera Utara Menentang Kolonialisme Belanda, FORKALA, Medan: 2007, hlm. 10

37

Ibid.,

(38)

38

Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini.Etnis Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Tingkatan kasta yang

tertinggi adalah Balugu.38

Pulau Nias bukan daerah yang cukup subur. Mata pencaharian di sana adalah bertani. Hasil pertanian di Nias seperti padi, ubi, kelapa dan hasil perkebunan seperti

karet. Dalam pertanian tidak menggunakan irigasi yang baik, hanya mengandalkan turunya hujan sementara dalam perkebunan karet jika hujan turun tidak dapat

menyadab karet. Jadi dapat di katakan perekonomian masyarakat Nias tidak begitu mendukung terhadap budaya mereka yang menuntut biayacukup besar. Boleh dikatakan budaya Nias merupakan suatu proses pemiskinan bagi masyarakat Nias itu

sendiri.

Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan

ekor ternak babi selama berhari-hari.

39

38Balugu merupakan simbol sosial dikalangan masyarakat Nias. Proses untuk mendapatkan

gelar balugu sangat lama dan ketat. Khusus di Nias Utara, Tengah, dan Barat, dimulai dar Strata7 hingga ke-9 (ada yang menetapkan strata ke-12). Seorang yang akan di beri gelar balugu, harus melaksanakan upacara adat yang dikenal dengan “osawa’ (pesta adat menaikkan status sosial sekaligus untuk mendapatkan gelar balugu). Dalam pesta osawa ini seorang calon balugu harus mempersiapkan segalanya seperti mempersiapkan perhiasan yang nantinya dikenakan sang istri, mempersiapkan rumah adat, mendirikan gowe (patung), menyusun formasi pengikutnya (semacam kabinet), mempersiapkan putra yang kelak akan meneruskan kekuasaannya, mempersiapkan alat music dan hal-hal lain yang bertalian dengan gelar yang akan disandangnya.

39

Wawancara dengan Bapak Wr.Warasi ,tanggal 14 Maret 2015

(39)

39

manfaatkan oleh para pedagang-pedagang dari Aceh, Sumatera barat, Cina dan Eropa untuk untuk mendapatkan budak-budak dari Nias.40

Menurut sejarahnya, Etnis Nias sudah melakukan migrasi ke berbagai daerah

sejak zaman kejayaan Aceh di abad ke-17 atau sebelumnya.41

40

Lukas Partanada Koestoro, dkk, Tradisi Megalitik di Pulau Nias, Medan: Badan Arkeologi, 2005 hlm. 27

41Sultan Iskandar Muda membentuk Aceh menjadi kerajaan yang kuat di Nusantara bagian

Barat. Deli dikuasainya pada tahun 1612, Aru diduduki pada tahun1613. Kemudian pada tahun 1624/1625 ia berhasil menjadikan Nias dibawah pengaruhnya.(baca: Rickles, MC, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono hardjowidjono, 1998).

Kaum bangsawan pantai Barat Sumatera seperti di Padang dan Sibolga mengolah tanah mereka dengan

bantuan tenaga budak, yang umumnya didatangkan dari Pulau Nias. Menurut J.T. Nieuwenhuisen dan H.C.B. Rosenberg (1863) tradisi bekerja untuk orang lain penebus hutang, gadai atau jadi budak sudah merupakan tradisi dalam kehidupan

orang Nias di kampung halaman mereka. Dalam kebudayaan Nias dikenal dengan sawuyu (perbudakan dalam konsep Nias). Ada tiga macam sawuyu di zaman kuno.

Pertama, sondrara hare yaitu orang yang terlilit hutang pada rentenir (orang kaya atau raja). Seorang yang bekerja pada rentenir dan gajinya di potong untuk melunasi hutang. Bila sudah lunas dibebaskan. Kedua, holitoyaitu orang yang dihukum mati

menurut adat, namun jika ada yang membayar holi-holi (penebus jiwa) si terhukum akan di bebaskan. Status sawuyu ini bersifat turun temurun hingga ke anak cucu. Ketiga, sawuyu tawanan perang yang menjadi budak raja. Status budak ini juga turun

(40)

40

kata kunci hutang, kriminal dan tawanan.42

Beberapa surat dari raja-raja lokal di pantai barat Sumatra (seperti Singkil, Susoh,Sibolga dll)menunjukkan bahwa orang Aceh sering menggarong perkampungan orang Nias di Pulau Nias dan secara paksa membawa penduduknya ke

Tanah Tepi untuk dijual kepada orang-orang kaya guna dipekerjakan di pelabuhan, di perkebunan dan sebagai jongos dan babu.

Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Nias, hingga kebiasaan ini dimanfaatkan oleh orang luar, seperti orang Aceh untuk mendapatkan budak dari Nias. Banyak diantara mereka menjadi orang

yang tergadai karena tak mampu membayar utang (pandeling), semacam perbudakan terselubung.

43

Bagi KolonialBelanda (VOC)orang Nias dibutuhkan untuk melakukan

pekerjaan yang menggunakan kekuatan fisik. Pada masa itu mereka dipekerjakan Di Sibolga sendiri masuknya Etnis Nias diawali dari mulai dibukanya Sibolga sebagai kota pelabuhan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, secara masif migrasi Nias dimulai pada tahun1970-an. Mereka dibawa dari pelabuhan Nias

ke Pelabuhan Sibolga dan dipekerjakan oleh Belanda dengan sistem kontrak. Jika masa kontraknya habisbanyak diantara mereka yang memilih untuk tidak kembali kekampung halamannya. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar pesisir pantai

atau daerah pegunungan Sibolga.

42 Viktor Zebua, Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian Kritis Mitologis, Yogyakarta: 2006,

hlm. 59

(41)

41

sebagai budak, pengerajin atau pembuat atap rumbia. Selain itu mereka juga melakukan pekerjaan sebagai petani, buruh bangunan dan pekerjaan kasar lainnya. Budak-budak ini biasanya disebut warga setempat sebagai orang rantai, karena

budak-budak ini adalah tahanan pemerintah Hindia Belanda yang bukan hanya orang Nias namun orang-orang dari berbagai daerah bahkan luar negeri. Kebanyakan orang

rantai yang berasal dari Nias biasanya adalah orang-orang yang berada pada posisi paling rendah dalam sistem pengkastaan Etnis Nias dan juga orang-orang yang melanggar hukum adat serta tawanan-tawanan perang.

Perkembangan Kota Pelabuhan Sibolga begitu pesat pada tahun 1930 hingga tahun 1961. Hal ini menarik orang-orang dari berbagai daerah untuk bermigrasi ke

Sibolga seperti Etnis Batak, Mandailing, Karo, Simalungun, Angkola, Padang Lawas, Aceh, Nias, Minang, Melayu, Jawa, Bugis, Keling dan Cina. Tahun 1961-1971 merupakan masa penurunan Pelabuhan Sibolga. Banyak orang memilih

meninggalkan kota Sibolga. Akan tetapi, ada juga yang memilih tetap tinggal dan membangun pemukiman. Salah satu yang memilih tinggal menetap adalah mereka yang memiliki modal termasuk orang Cina, Batak, Bugis dan Minang. Etnis Nias

sendiri juga banyak yang tinggal menetap dikarenakan malu untuk kembali ke kampung halaman jika masih dalam keadaan miskin.44

44Wawancara dengan Bapak Muklis Gea, tanggal 23 Mei 2015

Mereka tersebar dibeberapa

(42)

42

Sejarah perkembangan kota maritim sangat mewaranai corak kehidupan masyarakat dan kebudayaan kota Sibolga. Gaya hidup sehari-hari dan pola hubungan antar masyarakat menggambarkan budaya dan norma yang dianut dan diyakini oleh

masyarakat. Karena didiami oleh beragam etnis, maka kebudayaan yang berkembang di daerah ini masing-masing membawa budaya dari daerah asalnya dan berpadu

dalam kota ini serta menyesuaikan pada kondisi setempat. Etnis Nias juga sebagai pendatang melakukan adaptasi dengan kondisi setempat. Mereka membawa kebudayaan mereka yang khas dan ikut berbaur dengan kebudayaan-kebudayaan

lainnya di Sibolga.

Diawal kedatangan Etnis Nias ke Sibolga, mereka mengalami kesulitan dalam

beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Hal ini karena karakter budaya yang berbeda dan juga bahasa. Adanya streotip-streotip buruk melekat pada Etnis Nias oleh Etnis lain di Sibolga menyebabkan sering terjadi konflik ditengah-tengah masyarakat.

Salah satu konflik yang pernah terjadi antara Etnis Nias dengan Etnis Batak Toba di daerah Ketapang kelurahan Sibolga Ilir pada tahun 1970-an. Konflik ini terjadi karena seorang dari Etnis Batak mengejek Etnis Nias dengan mengatakan “dasar

keturunan anjing”. Konflik ini memang tidak sampai berdampak pada perkelahian antar kelompok. Akan tetapi, dilakukan musyawarah antar kepala Etnis yang ada

(43)

43

yang mengandung menjelek-jelekkan Etnis Nias, warga tidak akan segan-segan melakukan hukuman rimba.45

Dalam perkembangan berikutnya di tahun 1980 sudah banyak Etnis Nias yang

meningkatkan pendidikannya. Seiring dengan perkembangan pendidikan di Sibolga juga menarik banyak orang Nias datang ke Sibolga untuk bersekolah. Hampir setiap

desa di Sibolga telah tersedia sarana pendidikan baik itu sekolah TK, SD, SMTP,SMTA. Sarana pendidikan sudah lebih dari cukup untuk menampung anak-anak dari dalam maupun yang datang dari luar daerah Sibolga termasuk dari Pulau

Nias. Anak-anak dari Etnis Nias juga tidak pernah dibatasi untuk memperoleh pendidikan. Hak bersekolah mereka miliki. Karekter mereka yang ulet, rajin, cerdas

dan juga terbuka terhadap budaya lain membantu mereka beradaptasi dengan cepat dan baik terhadap lingkungan sekitar mereka. Banyak dari mereka yang telah berpendidikan akhirnya sukses. Hal ini dibuktikan mulai tahun 1980 mereka sudah

mulai ada yang bekerja di pemerintahan dan di pekerjaan formal lainnya. Salah satu mantan menteri pernerangan Kota Sibolga adalah keturunan Etnis Nias kelahiran Sibolga, Beliau bermarga Mendrofa.46

Sibolga sebagai negeri berbilang kaum, menampung orang-orang dari berbagai daerah dan mengikatnya dalam satu kebudayaan yaitu budaya Sumando.

Peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat pribumi maupun pendatang

45

Wawancara dengan Bapak Wr.Warasi, tanggal 24 Mei 2015

(44)

44

ditetapkan oleh Penguasa-penguasa Sibolga terdahulu. Masyarakat mematuhi peraturan tersebut sehingga sangat jarang ada konflik yang mengandung SARA di dalam kehidupan bermasyarakatnya. Etnis Nias sebagai Etnis Minoritas mampu

beradaptasi dengan budaya sumando dan mematuhi segala peraturan yang ada sehingga mereka juga hidup dengan damai dengan masyarakat dari etnis lain.

3.2 Kepercayaan

kepercayaan asli Etnis Nias sebelum masuknya agama di Pulau Nias adalah

anismisme dan dinamisme, serta kepercayaan terhadap adanya dewa besar yang melebihi dewa-dewa yang lain. Menurut kepercayaan itu, seorang yang meninggal

rohnya tetap hidup dan bertempat tinggal dimana-mana. Roh tersebut dapat mendatangkan sakit bagi manusia. Untuk menjauhkan diri dari hal itu seorang dukun (ere) melepas seekor ayam putih yang masih hidup di bawah pohon, pecahan periuk

diletakkan di bawahnya agar roh yang ada di pohon (saho bela) menjauhkan mereka dari malapetaka.

Kepercayaan ini juga memperngaruhi kebudayaan di Nias. Etnis Nias sebelum

masuknya agama mengenal kebiasaan berburu kepala manusia. Dalam kepercayaan dinamisme dan animisme kebiasaan memenggal kepala manusia memiliki mengertian

(45)

45

diletakkan disamping kuburan tuhenori, salawa, atau balugu sebagai pendampingnya di dunia arwah.

Pengaruh Agama Islam di Nias diyakini melalui kegiatan perdagangan.

Awalnya pengaruh Islam dibawah oleh pedagang-pedagang Arab, selanjutnya dibawah oleh Aceh dan Minang. Setelah pengaruh Aceh berhasil masuk ke Nias oleh

Sultan Iskandar Muda. Pernikahan Tuanku Polem Putra Sultan Iskandar Muda dengan Putri Nias, Bowo Ana’a, putri Balugu Harimou Harefa memperkuat Asimilasi dengan masyarakat Nias terutama dalam memasukkan pengaruh Islam di

sana.47

Agama Kristen dimulai sejak datangnya misi Katolik yang dibawa oleh

misionaris dari Prancis oleh Missions Etragers de Parisyang berlangsung cukup singkat yaitu dari tahun 1832-1835.

Demikian pengaruh Islam yang dibawah oleh Datuk Raja Ahmad dari Pariangan, Padang Panjang (Sumatera Barat). Datuk Raja Ahmad pertama sekali

datang ke Teluk Belukar dan memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat dan pembangunan mesjid pertama berada di sana.

48

Masuknya berita Injil melalui misi protestan dimulai pada 27 September 1865 oleh penginjil Jerman, E. Ludwig Denninger dari

Rheinsche Missionsgesellschaft(RMG), setiap tanggal 27 September ditetapkan juga

sebagai hari Jubelium BNKP. Badan misi ini dibawa dari Kalimantan.49

47Ibid.,

48Internet, http://id.m.wikipedia.org/

Hingga tahun

49Hammerle, P. Johannes, Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi, Gunung Sitoli:

(46)

46

1900, ketika Pemerintah Kolonial Belanda masuk pertumbuhan gereja disana berlangsung sangat lambat. Babtisan pertama dilakukan pada 1874. Sekitar 15 tahun kemudian (1890) jumlah orang Kristen yang dibabtis baru mencapai 706 orang

jumlah ini bertambah hingga 20.000 orang pada tahun1915. Pada tahun 1915-1920 komunitas krisrten di Nias mengalami peningkatan yang besar, sehingga terjadilah

pertumbuhan yang sangat pesat. Pada tahun 1921 sudah 60.000 orang yang dibabtiskan pertambahan sejumlah 40.000 orang hanya dalam waktu 5 tahun.

Pada tahun 1936 sinode BNKP pertama dibentuk dan hingga tahun 1940

dipimpin oleh missionaries dari Jerman. Sementara itu di Nias berkembang juga gereja Advent dan Katolik Roma. Akan tetapi BNKP tetap merupakan gereja terbesar

yang mencakup 60 persen dari seruluh penduduk. BNKP merupakan yang sangat penting dalam berbagai segi kehidupan masyarakat di pulau itu. Gereja ini beoleh dikatakan sebagai pemersatu masyarakat Nias menjadi satu kesatuan Etnik dan

bahasa. Bahasa Nias Utara dijadikan bahasa Alkitab dan Gereja. Alkitab lengkap dalam bahasa Nias diterbitkan pada 1913. Perkembangan agama di Indonesia hampir merangkul semua Masyarakat Nias. Hingga tahun 1900an Etnis Nias sudah meilliki

agama yakni: 73 persen beragama Kristen Protestan, 18 persen Katolik Roma, dan 7 persen beragama Islam sementara sisanya memeluk agama leluhur.

Dalam sejarah migrasi Nias yang sudah dijelaskan sebelumnya etnis Nias yang melakukan migrasi diabad ke-16 mereka menganut agama Kristen atau Islam setelah berada ditempat rantau. Akan Tetapi, Etnis Nias di abad ke-19 migrasi Nias

(47)

47

hampir semua sudah memiliki agama baik itu Kristen protestan, Katolik Roma ataupun Islam.50

Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya suatu

wilayah, dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat mempengaruhi berkembangnya permukiman. Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan harkat hidup manusia, faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan permukiman cukup banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan, faktor kelembagaan, faktor swadaya dan peran serta masyarakat, Adapun yang masih memeluk kepercayaan leluhur pada akhirnya mereka akan memeluk sebuah agama. Mereka yang beragama Kristen Protestan

ataupun Kristen Katolik biasanya datang dari Nias Selatan, Gunung Sitoli, dan Nias Utara. Sementara mereka yang beragama muslim mereka kebanyakan dari Nias

Barat.

Etnis Nias yang tersebar di Sibolga didominasi oleh mereka yang beragama Kristen Protestan. Pembangunan Gereka GNKP ditahun 1974 di kota Sibolga

menjadi salah satu bukti keberadaan mereka dan BNKP menjadi lambang pemersatu Etnis Nias Di Sibolga.

3.3 Pemukiman

(48)

48

faktor keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan, faktor ekonomi dan moneter. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat.

Persebaran permukiman mempunyai kaitan erat dengan persebaran penduduk. Persebaran penduduk membentuk persebaran permukiman, dengan pola-pola

persebaran permukiman yang bervariasi. Persebaran migrasi Nias di Sibolga pada tahun 1970-an di pergaruhi oleh bagaimana mereka di daerah asal mereka. Etnis Nias yang berasal dari Nias selatan akan memilih bermukim kedaerah pedalam Sibolga di

karenakan mata pencaharian yang ada disana sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki dari daerah asal mereka yaitu sebagai penyadap karet, penebang kayu,

dan petani. Sementara mereka yang berasal dari daerah pesisir Nias yaitu Nias Barat mereka cenderung bermukim di daerah pesisir Sibolga.

Persebaran migrasi Nias di daerah pedalaman Sibolga semakin besar di tahun

1961. Hal ini karena hilangnya mata pencaharian di daerah pelabuhan Sibolga. Mereka beralih kepedalaman Sibolga karena tersedianya mata pencaharian yang sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki yaitu sebagai penyadap karet dan

juga sebagai penebang kayu. Persebaran penduduk Nias di daerah pendalam cukup pesat hingga akhirnya mereka bisa membentuk Perkampungan Nias. Salah satu

Perkampungan Nias di Sibolga terdapat di Sibolga Julu kecamatan Sibolga Utara. Perkampungan ini dibuka pada tahun 1970-an oleh bapak Halawa. Awal perkampungan Nias ini hanya di huni oleh bapak Halawa dan keluarga, secara

(49)

49

kurang lebih 50 kepala keluarga Etnis Nias bermukim di daerah tersebut. Pada tahun 1980 bapak halawa di angkat menjadi kepala lingkungan di perkampungan tersebut.

Selain faktor di atas persebaran pemukiman etnis Nias juga di pengaruh oleh

agama. Etnis Nias yang beragama Kristen memilih bermukim di daerah Sibolga Utara yang banyak dihuni masyarakat Kristen sementara Etnis Nias yang beragama

Islam banyak terdapat di Sibolga kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam.Jika dilihat dari segi bentuk rumah Etnis Nias di Sibolga sama saja dengan bentuk rumah orang Sibolga lainnya. Bentuk perumahan Etnis Nias di Sibolga tidak

ada sedikitpun dipengaruhi dari daerah asal mereka. Pola pemukiman cenderung terpusat51

Bentuk rumah mereka mengikuti bentuk rumah masyarakat setempat. Mereka yang berekonomi menengah kebawah bentuk rumah cukup sederhana, berbahan dasar

kayu, pondasi rumah, tiang sampai lantai terbuat dari kayu. Terdiri dari satu atau 2 kamar bahkan ada yang tidak memiliki kamar. Mereka yang sudah membangun rumah dari beton, cenderung memilih membangun rumah dengan bentuk rumah di

Eropa. Kebiasaan mereka yang hidup berkelompok, tidak jarang terlihat dalam satu rumah tinggal 2-3 keluarga. Biasanya hanya ada satu keluarga yang berhak atas bagi mereka yang tinggal di pegunungan sementara yang tinggal di daerah

pesisir pemukimananya dibangun mengikuti garis pantai.

51 Pola pemukiman terpusat mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar,

(50)

50

rumah itu, selebihnya hanya penumpang sementara, menunggu ada rumah yang akan ditempati. Akan tetapi tidak jarang mereka tinggal dalam waktu yang lama, satu tahun bahkan dua tahun.52 Hal ini dipicu oleh rasa persaudaraan mereka yang tinggi,

merasa senasib diperantauan mendorong mereka untuk tidak segan-segan membantu sesama mereka. Kebersamaan inilah yang patut dicontoh dari Etnis Nias.53

Pada masa peralihan fungsi pelabuhan Sibolga, Orang Nias yang terlibat dalam kegiatan pelabuhan banyak yang beralih ke Pedalaman Sibolga. Mereka

bekerja sebagai penyadap karet, penebang kayu, dan bertani di kebun-kebun milik

3.4 Matapencaharian

Sejarah migrasi Etnis Nias ke Sibolga dibawah oleh Kolonial Belandamereka

dipekerjakan sebagai budak dengan sistem kontrak. Mereka diperkerjakan dipelabuhan sebagai kuli angkut di pelabuhan, membuka hutan untuk membangun

jalan, perumahan masyarakat dan sarana lain yang mendukung kegiatan pelabuhan Sibolga. Di tahun 1971 adalah masa peralihan pelabuhan Sibolga yang biasanya pelabuhan Sibolga sebagai transit barang ekspor-import beralih pada sektor

perikatanan. Orang Nias yang biasanya terlibat dalam kegiatan pelabuhan akhirnya kehilangan pekerjaan mereka. Mereka tidak berkeinginan untuk kembali kekampung halaman mereka. Mereka lebih memilih untuk tinggal menetap di Sibolga.

52

Wawancara dengan ibu Melda Mendrofa, tanggal 14 Mei 2015

(51)

51

masyarakat setempat. Sementara mereka yang tetap tinggal di pesisir Sibolga mereka bermata pencaharian sebagai buruh penyortir ikan dipelabuhan, tukang becak dayung, kuli bangunan dan sebagainya. Mereka sangat jarang bekerja sebagai nelayan mereka

tidak memiliki keterampilan dibidang itu. Hingga ada istilah bagi mereka “anak pulo yang tak bisa berenang”.54

Dalam penjelasan sebelumnya bagaimana Etnis Nias datang ke Sibolga. banyak di antara mereka yang datang karena memiliki hutang adat, pelanggar hukum

Hingga tahun 1970-an sangat jarang dari mereka yang bekerja pada bidang formal. Hal ini disebabkan masih banyak mereka yang belum berpendidikan dan masih adanya streotip-streotip buruk mengenai Etnis Nias. Adanya anggapan bahwa

mereka yang berwatak keras, pemarah dan jahat. Pandangan seperti itu menyebabkan mereka sedikit disisihkan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu ada pula kelompok

etnis yang merasa mendominasi. Meraka merasa etnisnya lebih banyak, lebih maju, sehingga merasa lebih pantas mendominasi pada segala bidang tata kehidupan di sibolga. Hal ini mengakibatkan sangat jarang Etnis Nias yang berkerja di bidang

formal. Setelah tahun 1980 mereka sudah banyak yang berpendidikan dan bekerja sebagai pegawai dipemerintahan maupun di perusahaan swasta, dibidang medis, dan bekerja di bidang pertahanan atau keamanan.

3.5 Budaya dan Bahasa

54

(52)

52

adat, tawanan perang dan lain sebagainya. Akan tetapi kedatangan mereka ke Sibolga bukan berarti ingin menghapus kebududayaan itu di tempat rantau. Mereka dengan membawa budaya mereka menjalankan adat budaya secara bebas di Sibolga. Budaya

Nias terdiri dari tarian, musik, pakaian tradisonal dan adat istiadat mereka membawah dan melaksanakannya di Sibolga.

Tari maena55

Di perkampungan Nias yang terdapat di Sibolga Julu juga sering dilaksanakan

fahombo (lompat batu). Replika fahombo yang dibangun tahun 1980 dijadikan

sebagai akon atau bukti keberadaan orang Nias di Sibolga. Pelakasanaannya memang hanya di tujukan untuk alat olahraga pemuda Nias di perkampungan itu. Jika di Nias

lombat batu bertujuan untuk menunjukkan kedewasaan seorang laki-laki namun di perkampungan ini hanya untuk olahraga dan jika ada yang berhasil melompat batu

tersebut maka akan dipotong seekor ayam jago oleh masyarakat setempat.

merupakan salah satu seni tari yang sering mereka bawakan dalam resepsi pernikahan. Dalam setiap event yang dilaksana pemeritah Sibolga baik itu kegiatan kebudayaan maupun hari besar Sibolga seperti pesta manguri lawik,

pemilihan ogek uning Sibolga, hari jadi Kota Sibolga, hari kemerdekaan, dan kegitan keagamaan seperti MTQ bagi masyarakat muslim dan kegiatan kekeristenan seperti

KKR, Natal bersama dan OIKUMENE. Selain tarian maena juga ditampilakan tari perang, tari fataele/faluaya (tari perang), dan tari Moyo.

55 Tari maena merupakan symbol suka cita masyarakat Nias. tarian ini juga menjadi symbol

(53)

53

Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias . Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketah

Gambar

Gambar: Peta Kota Sibolga
gambar : Alat musik Tradisional Nias
Gambar; Pakaian adat pernikahan Nias

Referensi

Dokumen terkait

BIDANG DATA, INFORMASI PELAYANAN UMUM, & PENGADUAN DAN BIDANG PENGOLAHAN & PENERBITAN PERIZINAN & NON PERIZINAN NAMA SOP : Pelayanan Izin Pendirian Perusahaan

In this paper, a new unsupervised change detection approach is proposed using DWT image fusion and BSA clustering for multi-temporal optical data. The performance of

BIDANG DATA, INFORMASI PELAYANAN UMUM, & PENGADUAN DAN BIDANG PENGOLAHAN & PENERBITAN PERIZINAN & NON PERIZINAN NAMA SOP : Pelayanan Izin Pendirian Cucian

In this study, spatio-temporal urban sprawl analyses was performed in the city of Istanbul, during the time period of 1972 – 2040, through the evaluation of the

PELAYANAN IZIN PENDIRIAN RUMAH SAKIT SWASTA SETARA RUMAH SAKIT KELAS C DAN D DILINGKUNGAN BADAN PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU..

Pada hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut; Dominasi penggunaan kategori headline pada iklan produk sabun mandi di majalah Femina periode Januari 2014 –

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah tanāzu’ (frase koordinatif) dan mengenal posisi amil dalam tanāzu’ yang terdapat pada surah Al-Baqarah dan Ali-'Imr ā

memiliki presentase yang berbeda karena siswa siswi tidak. semua membiasakan untuk sarapan sebelum