• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Parodi Kebijakan Kehutanan Sesuai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB I Parodi Kebijakan Kehutanan Sesuai"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Parodi Kebijakan Kehutanan

Sesuai Pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam praktiknya Negara hanya menjalankan sebagian pasal 33, yakni penguasaan Negara atas hutan, namun mengabaikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

Salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh Negara untuk penyelenggaraan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah pengaturan hak atas hutan.

Masalah yang perlu diperhatikan adalah alokasi lahan hutan. Alokasi lahan hutan tidak hanya mencerminkan fungsi dan luasan hutan, tetapi lebih dari juga merefleksikan tanggung jawab dan otoritas atas lahan hutan.

Pengaturan yang baik atas pola kepemilikan hutan, akses dan pengawasan dapat menjadi faktor pendorong (insentive) yang cukup efektif untuk pengelolaan hutan yang lestari, namun sebaliknya kesalahan dalam ketiga factor tersebut dapat mengakibatkan kehancuran sistem hutan.

Dari sisi pembangunan wilayah, kegiatan sektor kehutanan memberikan sumbangan yang nyata dalam pembukaan wilayah terpencil dan peningkatan akses antar daerah melalui pembangunan jaringan jalan dan jembatan.

Selain berperan dalam menyangga fungsi ekologis dan sosial, hutan juga memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Berikut merupakan gambaran prestasi kehutanan selama tiga dekade (Orde Baru) :

No

. Tahun Prestasi Kehutanan

1. 1980-an Memulai sebagai produsen kayu lapis

2. 1988-an Produk kayu lapis Indonesia menguasai hampir 50% kayu lapis dunia dan menjadi pemimpin pasar yang sangat sampai dengan dibubarkan Badan Pemasaran Bersama (BPB) Apkindo awal tahun 1988

3. Awal 1990-an Memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional kedua terbesar setelah migas

4. Medio 1990-an Urutan ketiga dibawah migas dan tekstil dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional

(2)

Setelah Orde Lama tumbang, untuk mengatasi kesulitan rezim Orde Baru berupaya menggenjot perumbuhan devisa melalui eksploitasi sumber daya alam termasuk eksploitasi sumber daya hutan. Kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 Tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan, hal ini merangsang pertumbuhan usaha bidang kehutanan khususnya dalam bentuk HPH di Indonesia. Sejak saat itulah sektor kehutanan menjadi “sapi perah” andalan dalam menggenjot devisa Negara. (Sapi perah yang tidak hanya diperas, tetapi juga terawat baik dan sehat, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pemiliknya (bangsa Indonesia) secara berkelanjutan).

Setelah kejatuhan rezim Orde Baru, di bidang pengusahaan hutan dikeluarkan beberapa kebijakan. Berikut merupakan gambaran singkat beberapa perubahan dasar hukum kehutanan di Indonesia dan beberapa kebijakan operasional sektor kehutanan paskar eformasi :

Tahun Capaian / Proses

1967 Ditetapkan UU Pokok Kehutanan No.5 Tahun 1967

1990 Berbagai pihak menimbang untuk perlu revisi terhadap UU Pokok Kehutanan

1993 Menteri Kehutanan Menyerahkan Naskah Akademik Rancangan UU Pokok Kehutanan No.5 Tahun 1967

1993-1198 Penyusunan konsep Rancangan UU Kehutanan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai kelompok masyarakat. Selama kurun waktu lima tahun, tidak kurang dari 11 konsep RUU Kehutanan

1998-1999 Rapat antar department untuk mwnyempurnakan UU

April 1999 RUU Kehutanan diterima Presiden dan disampaikan kepada DPR

April – Sep 1999

Proses pembahasan di DPR

30 Sep 1999 UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 disahkan

Dibandingkan dengan Undang-Undang Kehutanan No. 5 Tahun 1967 yang hanya menekankan pada aspek produksi, Undang-Undang Kehutanan N0.41 Tahun 1999 juga memberi perhatian yang cukup pada aspek konservasi dan partisipasi masyarakat.

(3)

Adapun perubahan kebijakan “operasional” penting yang dikeluarkan di era reformasi: Kebijakan Operasional Dampak Positif Negatif Kebijakan pertama, Pembatasan luas kepemilikan HPH

1. Kebijakan Pertama, pembatasan luas kepemilikan HPH. Hal ini merupakan suatu disinsentif nontarif bagi pengusahaan hutan skala besar, yang dikeluarkan untuk merespon keinginan masyarakat agar tidak ada monopoli di bidang pengusahaan hutan oleh beberapa pengusaha besar saja. 2. Memenuhi rasa keadilan

bagi masyarakat.

1. Dalam jangka panjang, implementasi dari kebijakan ini sangat potensial menimbulkan permasalahan baru seperti kesulitan metode pengaturan hasil untuk pengelolaan hutan lestari dan semakin kuat kesan ketidakpastian iklim berusaha di Indonesia.

Kebijakan kedua, Pemberian HPH kepada koperasi dan pengusaha kecil

1. Pemerataan kesempatan berusaha dan mendorong pembangunan kekuatan ekonomi daerah.

1. Terkesan terlalu

terburu-buru karena

kenyataannya banyak diantara koperasi dan pengusaha kecil banyak penerima HPH yang sebenarnya belum siap untuk mengelola HPH, yang menyebabkan adanya jual-beli saham yang marak terjadi antara koperasi / pengusaha kecil dan kontraktor yang mayoritas pengusaha besar, bahkan banyak diantaranya adalah pemilik eks-HPH.

(4)

perambahan hutan dan penebangan kayu illegal semakin bertambah. Kebijakan ketiga, Pembubaran Badan Pemasaran Bersama

1. Pembubaran BPB memberikan keuntungan bagi sebagian perusahaan yang bebas mengekspor produknya tanpa batasan kuota.

1. Sebagian perusahaan juga menghadapi kesulitan besar dalam menembus pasar ekspor.

Kebijakan keempat, pembebasan ekspor kayu bulat

1. Mampu mendekatkan harga jual log domestic terhadap harga jual internasional.

1. Penjualan besar-besaran kayu bulat ke luar negeri (karena harganya jauh lebih tinggi) sehingga industri perkayuan dalam negeri semakin sulit mendapatkan bahan baku, yang berarti lonceng kematian bagi industri pengolahan kayu dalam negeri.

Produktifitas sektor hulu, terutama pada tahap pemanenan masih jauh dari memuaskan, sementara efisiensi sektor hilir (pabrik) pada umumnya sudah cukup baik.

Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan produktifitas untuk mengatasi kelangkaan kayu, diperlukan suatu tolak ukur silvikultur yang memastikan permudaan telah berjalan dengan baik, meliputi: pengaturan komposisi jenis-jenis pohon, pengaturan struktur / densitas tegakan optimum, konservasi tanah dan air, dan fungsi hutan secara umum.

Sistem budidaya hutan di Indonesia yang secara teoritis diakui cukup baik bahkan oleh pakar asing ialah sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).

Tahap-tahap implementasi dari TPTI ialah penyiapan areal kerja, inventarisasi tegakan sebelum penebangan, pembukaaan wilayah hutan, penebangan, pembebasan, inventarisasi tegakan tinggal, pembibitan/persemaian, penanaman/pengayaan, pemeliharaan, pemeliharaan lanjutan, serta perlindungan hutan dan penelitian.

(5)

sebagai pohon inti Ø 20-50 cm, Annual Allowable Cut (AAC), kegiatan paska penebangan (ITT, pemeliharaan pohon inti, pemeliharaan anakan, pembebasan, serta penanaman dan pengayaan).

Secara sederhana dapat diperkirakan berapa seharusnya luas areal virgin forest (areal hutan yang sama sekali belum pernah ditebang). Menurut TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) ialah sebagai berikut:

Masa konsesi pengelolaan hutan: 20 tahun Keseluruhan kaw. Hutan : ± 63 juta Ha

Penataan areal kerja : keseluruhan areal ÷ 35 blok Rencana Karya Tahunan : 1 blok per tahun

Sisa hutan setelah masa konsesi: 35 – 20 = 15 blok

Sisa hutan produksi seharusnya : 15/35 x 63 juta Ha = ± 27 Ha

Namun kenyataannya jauh lebh kecil dari angka perhitungan ini, dikarenakan faktor alam dan pembalakan liar.

Kondisi yang terjadi sekarang adalah ketimpangan pasok dan permintaan, di mana permintaan jauh melebihi persediaan.

Persediaan log tidak cukup kecuali dengan menciptakan proyek Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan tentu tidak mungkin terus dilakukan karena sangat menggangu fungsi ekologis.

(6)

BAB II Pertarungan Kepentingan Atas Hutan

Desentralisasi berarti relokasi fungsi administrative dari pusat ke daerah, baik dalam relokasi ini ada perubahan dalam strata pengambilan keputusan dalam hal ini penyerahan (sebagian) kewenangan pemerintahan kepada daerah.

Devolusi berarti relokasi kekuasaan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintahan kepada daerah atau entitas tertentu.

Dekonsentrasi berarti penyerahan tugas di daerah administrative kepada aparat pusat di daerah.

Privatisasi berarti penyerahan kewenangan kepada sektor swasta atau individu.

Tiga aspek yang didesentralisasikan adalah administrasi, fiskal, dan politik.

Beberapa kemungkinan desentralisasi kehutanan berdasarkan pada entitas mana kewenangan pengelolaan sumber daya hutan dari pemerintah pusat diberikan, yakni:

1. Kewenangan dierikan kepada kantor wilayah kehutanan di daerah (Kanwil), ini dikategorikan sebagai desentralisasi tanpa devolusi.

2. Kewenangan diberikan kepada otoritas daerah di daerah (Bupati atau Dinas Kehutanan), sebagai desentralisasi dengan muatan devolusi. 3. Kewenangan diberikan kepada kelompok masyarakat lokal, sebagai

desentralisasi dengan devolusi sepenuhnya.

Konflik kepentingan di sektor kehutanan muncul karena ada perbedaan peran dan tujuan di antara berbagai pihak kepentingan (stakeholder).

(7)

Dampak negatif dari beragam kepentingan ialah adanya pertarungan antara kelompok kepentingan atas sumber daya hutan mengandung risiko atas semakin tingginya laju kerusakan hutan.

Pemberian sebagian kewenangan fiskal kepada daerah merupakan implementasi desentralisasi yang mengamanatkan kepada pusat untuk menyerahkan sebagian kewenangan dan tanggungjawab pemerintah otoitas fiskal kepada lembaga keuangan (lingkungan pemerintah daerah, lembaga otonom, swasta, atau organisasi kemasyarakatan. Kenyataannya, sering terjadi ketidaksesuaian antara apa yang tertera dalam peraturan perundangan dengan praktik desentralisasi fiskal di lapangan.

Di sektor kehutanan, pemerintah pusat telah menentukan besaran tarif dasar untuk pungutan kehutanan diantaranya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). sedangkan pemerintah daerah memiliki kewenangan menarik pungutan kehutanan lainnya.

Devolusi kehutanan dapat berjalan dengan baik hanya jika pengelola di tingkat lokal memiliki kapasitas yang memadai dalam pengelolaan hutan dan dengan kewenangan yang dimiliki dapat membuat keputusan melaksanakan kebijakan pengelolaan hutan denga baik.

Persyaratan utama desentralisasi (dan devolusi) kehutanan adalah keterbangunan saling percaya diantara berbagai pihak.

Masa transisi dari sistem pemerintahan terpusat ke otonomi daerah memunculkan berbagai ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kesulitan dalam mengimplimentasikan berbagai kebijakan kehutanan secara konsisten.

Realitas pengelolaan hutan yang melenceng dari komitmen nasional juga disebabkan karena perbedaan preferensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam beberapa hal yang berkitan dengan pengelolaan hutan.

Komposisi saham perusahaan patungan terdiri dari: BUMN maksimum 49%, perusahaan swasta minimum 49%, dan koperasi minimum 2%.

(8)

Hal-hal yang mengundang investor untuk mendirikan HPH patungan ialah:

1. Sesungguhnya industri perkayuan adalah industri yang sangat rapuh tanpa penyangga kuat.

2. Keterkaitan historis HPH patungan dengan pengusaha pemilik eks-HPH yang dicabut atau tidak diperpanjang.

BAB III Dialektika Pembangunan Kehutanan

2 (dua) hal pokok dalam dialektika pengelolaan sumber daya alam (termasuk rotan) yakni: pertama,masalah antroposentrisme dan ekosentrisme dengan berbagai variannya; serta kedua,pendekatan moral dan rasional termasuk di dalamnya short-term self-interest dan positivistic.

Paham antroposentrisme → acuan kubu developmentalist sedangkan paham ekosentrisme → acuan kubu deep green ekologi.

Pendukung paham antroposentrisme : Worl Bank, ADB, ITTO, FAO dan semacamnya (kalangan intelektual birokrat).

Pendukung paham ekosentrisme : LSM lingkungan dan ecological scientist (kalangan deep ecologist).

Tolak ukur pembangunan berkelanjutan harus memenuhi tiga criteria, “economically feasible”, “sosially acceptable”,“ecologically sustainable”.

Kalangan developmentalist : melihat keberhasilan pembangunan dari indicator ekonomi konvensional.

Kalangan deep ecologist : aktif bergerak dalam penyelamatan lingkungan.

Susah untuk meggabungkan dua paham ini karena memiliki pandangan yang berbeda. Namun upaya kompromi perlu dilakukan. Ide kompromi tersebut bias dilihat pada pembagian zona (zonasi) Taman Nasional, yang meliputi : zona inti, yang tidak boleh dijamah; zona rimba, diperuntukkan bagi kepentingan penyelidikan; buffer zone, kawasan penyangga; zona pemanfaatan, boleh dilakukan pemanfaatan ekonomi secara terbatas.

Mengelola sumber daya alam dengan mengedepankan pendekatan moral saja tidak cukup Karena setiap komunitas atau bahkan setiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda terhadap sumber daya alam. Jelas disini bahwa positivistic mutlak diperlukan untuk mengendalikan self interest yang saling berbenturan.

(9)

1. Jika kapabilitas Negara rendah dan modal sosial juga rendah, sistem kotrak pengelolaan sumber daya alam seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah institusi yang baik.

2. Jika kapabilitas Negara tinggi sementara modal sosial rendah, BUMN dan sejenisnya adalah institusi yang terbaik.

3. Jika kapabilitas Negara rendah namun modal sosial tinggi, community based management adalah institusi terbaik.

4. Jika kapabilitas Negara tinggi dan modal sosial juga tinggi, co-management adalah solusi kelembagaan terbaik.

Berdasarkan potensi hutan kita saat ini, sulit bagi industri kehutanan memenuhi keperluan bahan bakunya apabila hanya mengandalkan bahan baku legal. Dan inilah yang menjadi pemicu terjadinya pencurian kayu.

Tiga cara yang mungkin ditempuh agar mesin industri tetap berputar (pencurian kayu) yaitu menadah kayu curian, perusahaan HPH menebang kayu di atas AAC (Annual Allowed Cut), melakukan penebangan di luar batas areal konsesi yang dimiliki, merambah areal lindung.

Langkah-langkah yang dapat digunakan untuk meminimalisasi pencurian kayu ialah segera dilakukan rekonsolidasi kelembagaan, penertiban aparat, dan penerapan peraturan secara tegas.

Salah satu penyebab utama carut marut masalh pengelolaan hutan di Indonesia (terutama paskareformasi) bersumber dari ketidakjelasan property right akibat program retribusi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Salah satu program pengelolaan partisipatif yang dikenal luas dan telah lama dipraktikkan di Indonesia adalah Perhutanan Sosial (PS).

Tujuan PS jangka panjang ialah memperbaiki kondisi lahan kritis, partisipatif masyarkat lokal dari dalam hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, dan konservasi sumber daya alam.

Tujuan PS jangka pendek ialah pembentukan kelompok Tani Hutan (KTH), peningkatan keberhasilan tanaman, dan peningkatan pendapatan anggota KTH. Capaian utama yang hendak dituju program PS:

1. Program PS harus melibatkan penduduk yang miskin dari yang miskin sebagai peserta program,

2. Meningkatakan pendapatan peserta PS.

Kalangan yang skeptic terhadap program program partisipatif hanyalah bersifat normative yag dalam praktiknya (hampir) pasti gagal. Alasannya, setiap program yang dilaksanakan atas dasar keinginan masyarakat mayoritas (yang awam) adalah buruk.

(10)

lebih pada volume produksi tanpa terlalu memerhatikan aspek pasar dari komoditas yang dihasilkan.

Ada enam paradox tentang pelaksanaan program PS:

1. Kelompok masyarakat termiskin justru terlewatkan 2. Kesenjangan ekonomi yang semakin melebar

3. Semakin lama mengikuti program kehutanan justru terjadi penurunan pendapatan

4. Pemberian insentif justru menurunkan motivasi berusaha

5. Pranata sosial menjadi terganggu akibat proyek pengentasan masyarakat miskin yang kurang tepat

6. Penyuluh pertanian (kehutanan) justru tidak memiliki lahan garapan. BAB IV Tarif dan Strategi Pemasaran Hasil Hutan

Dana Reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) melalui pengusaha Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) dalam rangka reboisasi, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan rehabilitasi lahan hutan. Dana Reboisasi dulu dikenal dengan Dana Jaminan Reboisasi

Dasar pemikiran Dana Reboisasi : Kesulitan mengharapkan pengusaha dengan suka rela menyisihkan dana untuk menanam kembali hutan yang telah ditebang. Dengan adanya DR, akan menjamin pengusaha hutan benar-benar melaksanakan reboisasi di areal konsesinya.

Dana Reboisasi bukan “pendapatan” negara, tetapi sebagai cost perusahaan yang dititipkan pada negara.

Dana Reboisasi adalah salah salah satu penerimaan negara yang masuk ke APBN, sehingga penggunaannya dapat dilihat secara transparan oleh rakyat melalui DPR.

Jika Dana Reboisasi masuk APBN dan dimanfaatkan untuk kepentingan bujet (budget), maka hal itu sama dengan meminjam dana masyarakat, yang artinya pemerintah menerapkan sistem defisit bujet.

Banyak pihak mengkhawatirkan bila Dana Reboisasi masuk ke APBN, dana tidak dapat turun dengan cepat dan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan bagi kepentingan non reboisasi. Kekhawatiran ini disebabkan karena APBN merupakan anggaran milik “umum” dengan proses pengalokasian dana yang lebih panjang rantai birokrasinya.

(11)

Indonesia mendapat tekanan IMF untuk memenuhi butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intent (Lol), terutama butir penting yang harus dilaksanakan adalah menaikan nilai tariff di bidang pengusahaan hutan minimal 60 % dari nilai rente ekonomi.

Penentuan besar tarif DR dan PSDH bila nilai tarif rendah berarti pemasukan bagi negara yang sedang mengalamai krisis ekonomi juga rendah namun jika terlalu maka bisnis (legal) kehutanan terancam gulung tikar yang bermuara pada keruntuhan perekonomian nasional.

Kontribusi sektor kehutanan sangat besar ( Kartodihardjo dan Nurrochmat, 2000).

DR adalah kewajiban (biaya) yang diperuntukkan bagi rehabilitasi hutan, sedangkan PSDH merupakan provisi atau ongkos atas peran/penggunaan sumber daya hutan.

Sebagian besar pakar dari perguruan tinggi dan LSM berpendapat agar tarif DR dan PSDH disesuaikan (dinaikkan) sehingga pemerintah mendapatkan nilai rente ekonomi yang wajar.

Kelebihan dari tarif yang tinggi (termasuk DR dan PSDH):

1. Semakin tinggi tarif (termasuk DR dan PSDH), semakin tidak ekonomis menebang pohon berdiameter kecil sehingga penebangan hutan dapat lebih terkendali dan sumber daya hutan terjaga kelestariannya.

2. Tarif tinggi akan memaksa pengusaha meningkatkan efisiensi, karena dengan tarif tinggi tanpa ada peningkatan efisiensi akan semakin sulit memperoleh keuntungan yang memadai.

3. Mendorong kenaikan harga kayu bulat dalam negeri sehingga mendekati harga kayu bulat internasional ( selama ini harga kayu bulat dalam negeri hanya 30%-50% dari harga kayu bulat internasional), sehingga tarif yang tinggi merupakan natural ban bagi ekspor kayu bulat.

4. Menghambat ekspor secara alami dan masih dimungkinkan dalam era perdagangan bebas (WTO, GATT).

5. Melindungi industri pengolahan kayu dalam negeri, dari kemungkinan kelangkaan pasok bahan baku akibat ekspor kayu bulat.

Beberapa alasan kenaikan tariff sulit dilaksanakan:

1. Pengeluaran (costs) di dalam “bisnis riil” jauh lebih tinggi dari angka perhitungan bisnis matematis.

2. Masalah kayu illegal yang saat ini marak (pasca reformasi) beredar begitu leluasa dan jumlahnya tidak kalah dari jumlah kayu legal.

Tiga faktor yang menyebabkan perusahaan merasa bahwa tarif DR dan PSDH terlalu tinggi:

1. Harga kayu bulat domestik yang terlalu rendah.

(12)

Menaikkan tarif DR/PSDH kemungkinan besar akan meningkatkan aktivitas illegal logging (yang tidak perlu membayar kewajiban).

Menurunkan pungutan berarti hanya (seolah-olah) menyelesaikan permasalahan (jangka pendek) tetapi membiarkan tiga faktor mendasar, yakni (1) harga domestik kayu bulat yang rendah, (2) harga ekspor kayu lapis yang rendah, dan (3) efisiensi pengolahan kayu yang rendah menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah (dipaksa)untuk diselesaikan.

Berdasarkan kondisi perekonomian nasional saat ini tarif terakhir DR (US$ 16/M3)

dan PSDH (10% dari harga jual), nilai economic rent yang diperoleh negara sudah lebih dari 60% (sesuai dengan persyaratan World Bank).

Perlu kiranya disadari bahwa kenaikan tariff (DR/PSDH) tidak selalu berarti menurunkan profit, asalkan masalah harga kayu bulat domestik rendah, harga ekspor kayu lapis yang rendah dan efisiensi industri kayu yang rendah sudah teratasi, maka dalam waktu bersamaan dapat dipastikan pendapatan negara akan naik dan profit pengusaha juga naik.

[image:12.595.69.520.412.519.2]

Analisis market growth relative market share adalah salat satu jenis analisis portofolio yang output-nya biasa disajikan dalam bentuk diagram sederhana yang lazim dikenal dengan istilah matriks Boston (BCG matrix).

Tabel Pangsa Pasar Relatif dan Pertumbuhan Pasar Produk Perkayuan Indonesia Jenis Produk Relatif Market

Share (… x)

Pertumbuhan

(%) Posisi Produk

Kayu Bulat 0.785 6,07 Question Mark

Kayu Gergajian 0.397 -0.09 Dog

Kayu Lapis 2.291 3.04 Cash Cow

Wood Furniture 0.610 39.53 Question Mark

Pulp dan Kertas >>> 7.10 Star

Produk perkayuan Indonesia pada pasar internasional berada posisi star adalah pulp dan kertas.

Produk yang berada diposisi star merupakan produk yang mempunyai pangsa pasar relatif besar di satu sisi, didukung oleh potensi pertumbuhan pasar yang cukup tinggi.

Dalam posisi lemah ada dua kemungkinan untuk kembali ke posisi star :

1. Pangsa pasar pulp dan kertas dapat kembali ditingkatkan hingga melebihi pangsa pasar kompetitor.

2. Produksi kompetitor menurun sehingga Pangsa Pasar Relatif pulp dan kertas Indonesia meningkat dengan sendirinya.

(13)

Posisi Question Mark kayu bulat Indonesia di pasar internasional merupakan dampak logis dari kebijakan nasional sehingga bukan merupakan permasalahan pemasaran secara khusus.

Produk Cash Cow tidak selalu berarti sebagai penghasil uang terbesar, meskipun dalam kasus kayu lapis ini Indonesia memperoleh devisa yang sangat besar dibandingkan komoditas perkayuan lainnya.

Dalam ilmu pemasaran, Cash Cow menggambarkan tingkat penguasaan produk terhadap pasar dan dominasinya terhadap kompetitor.

Produk kayu gergajian berada dalam posisi lemah (dog).

Kayu gergajian menempati posisi lemah dalam perdagangan internasional karena policy pemerintah yang tidak mengarahkan kayu gergajian sebagai prioritas ekspor.

Salah satu pendekatan yang relatif sederhana dalam menyusun perencanaan dan strategi pemasaran adalah memperhitungkan empat unsure utama pemasaran, yakni Product Planning, Placing, dan Promoting. Keempat unsur tersebut di dalam ilmu pemasaran dikenal dengan marketing mix (bauran pemasaran).

Harga kayu bulat internasional mengacu pada harga fob di negara-negara Asean (ITTO, 1996 dalam Anonim,1997).

Harga kayu bulat internasional berkisar US$ 200-235/m3, sedangkan harga kayu

bulat pasar domestik sampai pertengahan 1997 untuk kelompok Meranti rata-rata US$ 112.5/m3 dan jenis Rimba Campuran berkisar rata-rata US$ 81/m3

[image:13.595.64.522.553.652.2]

(Anonim, 1997). Awal tahun 2000, harga kayu bulat domestik jatuh hingga di bawah US$ 80/ m3.

Tabel Prediksi Aspek Bauran Pemasaran Produk Kayu Bulat.

Aspek Prediksi

Jangka Pendek Jangka Panjang Produksi Tidak ada ekses Ekses permintaan Harga Tetap/turun Naik

Distribusi Domestik > ekspor Domestik > ekspor Promosi Personal dan

Institusional Institusional

Bila dibandingkan harga domestik, harga ekspor lebih besar 16%-200%.Perbedaan harga ini salah satunya diakibatkan oleh perbedaan kualitas. Tabel Prediksi Aspek Bauran Pemasaran Produk Kayu Gergajian.

Aspek Prediksi

(14)

Produksi Tidak ada ekses Ekses permintaan Harga Tetap/turun Naik

Distribusi Domestik > ekspor Domestik > ekspor Promosi Personal dan

Institusional Institusional

Pada Bulan Oktober 1984, pemerintah menunjuk Apkindo untuk membentuk Joint Marketing Bodies (JMB) atau Badan Pemasaran Bersama (BPB) untuk menangani pemasaran kayu lapis Indonesia ke luar negeri.

Sistem pemasaran kayu lapis melalui Apkindo ditempuh melalui regulasi antara lain setiap produsen/eksportir yang tercatat sebagai anggota mendapat kuota ekspor kayu lapis yang ditentukan berdasarkan performa tahun sebelumnya dan kemampuan eksportir untuk memasuki pasar-pasar baru.

Apkindo membentuk Tim Stabilisasi Harga (Price Stabilization Team) yang berfungsi memantau dan mengevaluasi perkembangan harga ekspor kayu lapis setiap tiga bulan.

Dalam sistem distribusi dan pemasaran kayu lapis internasional, Apkindo membentuk agen-agen pemasaran di luar negeri, seperti Nippindo (Jepang), Fendi Wood Pte. Ltd. (Singapura), Fendy Indah (Asia Tengah), Indocor (Korea Selatan), dan Plywood Indah Panelindo (Hongkong).

Ada beberapa factor yang menyebabkan sisi produksi diperkirakan tidak terjadi ekses permintaan maupun penawaran.

1. Kemerosotan posisi tawar Indonesia akibat krisis ekonomi berkepanjangan dan terutama menyusul pembubaran Badan Pemasaran Bersama (BPB) kayu lapis.

[image:14.595.60.518.71.142.2]

2. Kebangkitan industri kayu lapis competitor terutama Jepang dan Malaysia.

Tabel Prediksi Aspek Bauran Pemasaran Produk Kayu Gergajian.

Aspek Prediksi

Jangka Pendek Jangka Panjang Produksi Tidak ada ekses Ekses permintaan Harga Tetap/turun Naik

Distribusi Ekspor > domestik Ekspor > domestik Promosi Personal dan sistem

(15)

BAB V Industri Kehutanan Menjelang Ajal

Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebagai salah satu sistem pengelolaan hutan alam di Indonesia yang secara konsep cukup baik bahkan salah satu aturan sistem tebang pilih yang terlengkap di dunia (Lamprecht, 1989).

(16)

BAB VI Membangun Kehutanan Masa Depan

Biodiversity atau keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman jenis makhluk hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Semakin luas ruang dan semakin panjang waktu yang tersedia, maka semakin besar pula jumlah kumulatif makhluk hidup.

Bioteknologi diharapkan dapat menjawab tantangan pembangunan kehutanan dan lingkungan di masa datang, ada baiknya jika pemerintah mengalokasikan sebagian dana reboisasi untuk pengembangan dan penelitian bioteknologi.

Tingkat keanekaragaman hayati erat kaitannya dengan kemantapan ekosistem abiotik yang mendukungnya. Dalam hal ini mikoriza berperan besar untuk meningkatkan kemantapan ekosistem secara alami.

Kendala utama yang dihadapi dalam penerapan teknologi mikoriza adalah keterbatasan penelitian-penelitian yang sifatnya terapan.

Satah satu alternatif usaha kehutanan pasca matinya industri kehutanan adalah wisata alam

Wisata alam di Indonesia memiliki prospek cerah dan banyak nilai tambah, namun dalam pelakasanaannya perlu lebih berhati-hati dan bijaksana, agar diperoleh hasil yang memuaskan.

Alam yang merupakan pabrik sekaligus produk jasa rekreasi merupakan komoditas yang sangat sensitive, bila pabrik rusak maka produk yang ditawarkan akan berkurang mutunya. Karena itu daya dukung dari kawasan terhadap tekanan jumlah pengunjung harus diperhatikan.

(17)

disertai oleh peningkatan pendapatan per kapita yang kontinu, sehingga akan menggeser pola konsumsi ke arah konsumsi jasa rekreasi, pendidikan, dan penelitian (Darusman, 1981).

Salah satu hutan yang kaya akan potensi wisata alamnya adalah Taman Nasional, namun untuk pemanfaatannya harus melalui pengelolaan dan pengawasan yang ketat dan hanya diperkenankan di zona pemanfaatan. Belum lagi pendapatan yang diterima dari tiket masuk tidak akan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, sehingga sangat sulit mengharapkan keuntungan finansial dari Taman Nasional.

Dibandingkan Taman Nasional akan lebih menguntungkan secara finansial bila mengembangan potensi wisata di Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alan, dan Wana Wisata.

Kebijakan penetapan tarif wisata alam harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang sebab pengendalian tariff (harga karcis) merupakan instrument penting dalam pengelolaan wisata alam, yang tidak saja berpeluang terhadap keuntungan pengelola, melainkan juga kelestarian lingkungan dan pemerataan kesempatan rekreasi.

Hasil penelitian Fakultas Kehutanan IPB menunjukan bahwa hampir seluruh tempat wisata alam di Indonesia pada saat ini memungut tarif masuk dibawah tarif optimal secara finansial (Nurrochmat, 1995b).

Penerapan tarif yang terlalu rendah akan memacu pertumbuhan jumlah pengunjung yang pada gilirannya dapat membahayakan ekosistem, ketika jumlah pengunjung melampaui daya dukung kawasan.

Bila orientasi pengelola hanya profit, maka ada dua hal yang mungkin terjadi : 1.Pengelola selalu berupaya memaksimalkan jumlah pengunjung sehingga

keselamatan lingkungan dan kenyamanan konsumen (pengunjung) hanya menjadi prioritas kesekian.

2.Wisata alam menjadi suatu kegiatan eksklusif yang hanya terjangkau golongan berduit.

Investasi proyek wisata alam sebenarnya bukanlah merupakan suatu pilihan investasi yang sangat menarik karena di samping risk & uncertainity faktor alam sangat besar, juga sangat banyak aturan yang mesti ditaati dan biaya lingkungan yang harus ditanggung pengelola sering kali sangat besar.

Kunci dari keberhasilan pengelolaan wisata alam adalah kreativitas dan kejelian memanfaatkan setiap potensi alam untuk dikemas dalam paket wisata yang menarik

(18)

Idealnya, setiap kawasan wisata alam terbagi atas:

1.Kawasan wisata massal diperuntukkan bagi wisata keluarga dan masyarakat umum.

2.Kawasan wisata terbatas hanya diperuntukkan bagi pengunjung khusus yang jumlahnya harus dibatasi dengan cara menyekat kawasan dengan tarif masuk tinggi.

Pengembangan wisata alam harus mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat sekitar.

BAB VII Refleksi Kebijakan dan Rekomendasi Strategi Pembangunan

Sektor Kehutanan

Kerusakan hutan menjadi masalah serius sejak pembukaan investasi pengusahaan hutan yang dikenal dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) awal tahun 1970-an.

Target pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai indicator terpenting, adalah salah satu factor yang menyebabkan over eksploitasi terhadap sumber daya alam termasuk hutan.

Praktik pembangunan berasaskan keadilan dan pemerataan yang top down, manipulatif, dan diskriminatif, melahirkan tuntutan paradigm pembangunan kehutanan yang baru, yakni pembangunan yang partisipatif, adil dan proporsional.

Konsep keadilan yang proporsional berarti daerah penghasil memperoleh bagian yang (lebih) besar dari pemanfaatan sumber daya alam.

Kondisi produksi dan pemasaran hasil hutan secara umum menunjukkan kecenderungan sebagai berikut:

1. Produksi kayu bulat dan kayu olahan di negara-negara produsen kayu cenderung menurun.

(19)

3. Volume kayu bulat di pasar internasional cenderung semakin menurun akibat peningkatan jumlah industri pengolahan kayu di negara-negara produsen kayu bulat, yang menyebabkan permintaan kayu bulat domestik meningkat.

4. Laju Deforestasi yang sangat cepat, terutama setelah euphoria reformasi pertengahan tahun 1997 menyebabkan tingkat kerusakan hutan yang sangat mengkhawatirkan.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam menyusun strategi pembangunan sector kehutanan adalah sebagai berikut :

1. Pembenahan dan pengaturan kembali masalah property right atas hutan. 2. Perlu segera dilakukan penertiban terhadap berbagai peraturan kehutanan

yang tumpang tindih.

3. Harus ada mekanisme insentif dan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam hal kesungguhannya mengelola hutan secara lestari.

4. Kebijakan pembebasan (kembali) ekspor kayu bulat dan kayu gergajian diperkirakan tidak akan mengubah alokasi pemasaran kayu bulat.

5. Perlu dikaji strategi pemenuhan bahan baku kayu bulat secara tepat untuk mengatasi ketimpangan penawaran-permintaan kayu bulat yang semakin membesar.

6. Perlu diperhatikan keberadaan sifat fleksibilitas searah di dalam ekonomi produksi kayu, dimana pasar sulit untuk mengarahkan jenis kayu yang harus dihasilkan.

7. Peningkatan industry pengolahan kayu hulu di negara-negara produsen kayu tropis dunia, seperti Malaysia dan PNG, melahirkan competitor baru bagi industri pengolahan kayu Indonesia khususnya kayu lapis.

8. Harus dipertimbangkan pembentukan kembali sistem pemasaran bersama untuk mendukung strategi pemasaran internasional sebagai suatu bentuk semacam “ Indonesia incorporated”.

9. Mengingat kondisi sumber daya hutan Indonesia yang terus terdegradasi, jenis industry pengolahan kayu yang mempunyai peluang bertahan di masa mendatang adalah industri-industri dengan efisiensi tinggi dan berbasis pada bahan baku kayu kecil, limbah pembalakan, atau produk daur ulang.

10. Kenyataan bahwa kejayaan industri berbasis kayu mulai meredup bahkan terancam gulung tikar akibat bahan baku yang semakin berkurang, (hendaknya) dapat membuka kesadaran baru dan menggerakan motivasi untuk (lebih) memerhatikan pemanfaatan hasil hutan nonkayu, baik manfaat tangible (madu, buah, rotan, tumbuhan obat, dan aneka hasil hutan nonkayu lainnya) serta manfaat intangible misalnya melalui pengembangan wisata alam secara optimal.

(20)

Gambar

Tabel Pangsa Pasar Relatif dan Pertumbuhan Pasar Produk Perkayuan Indonesia
Tabel Prediksi Aspek Bauran Pemasaran Produk Kayu Bulat.
Tabel Prediksi Aspek Bauran Pemasaran Produk Kayu Gergajian.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah, penggabungan media pembelajaran K3 perlatan kerja housekeeping dan handphone berbasis android (mobile phone) dapat

Adopsi teknologi perangkap kuning (Yellow Trap) baik di Kabupaten sambas mupun di kabupaten Ponorogo masih sangat rendah. Menurut keterangan petani responden,

Kepemimpinan Spiritual yang dimiliki akan menjadikan organisasi yang dipimpinnya akan terus berkembang, lebih maju, berdaya saing, serta menjadikan orang-orang yang

Dalam rapat koordinasi yang dilaksanakan pada tanggal 7 September 2015, antara Komisi Pemilihan umum Kabupaten Sarolangun dengan Tim Kampanye pasangan calon Gubernur dan

banyak cara untuk menyimpan citra digital di dalam memori, cara penyimpanan menentukan jenis citra digital yang berbentuk, beberapa jenis citra digital yang sering digunakan

Variabel-variabel dengan karakteristik tertentu yang memberikan pengaruh pada produktivitas yang sulit diukur dengan algoritma matematis dapat diukur lebih mudah dengan

Peningkatan Kinerja Pajak Melalui Kecerdasan Emosional (EQ), OrganizationalCitizenship Behavior (OCB), dan Motivasi Kerja Di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak wajib pajak badan pada UMKM di Kota Malang. Sampel dalam penelitian