• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Bank

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Bank"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG PADA BANK SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 060200160 IKA RAHAYU

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG PADA BANK SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH: NIM: 060200160

IKA RAHAYU

DISETUJUI OLEH:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP. 196107021989031001 Abul Khair, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abul Khair, SH, M.Hum

NIP. 196107021989031001 NIP. 196209071988112001 Nurmalawaty, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA BANK”

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Kompol K. Nainggolan dan Ibunda D br Sarumpaet, yang telah membesarkan dan mendidik saya tanpa pamrih sehingga saat ini saya mampu menyelesaikan perkuliahan saya di Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

4. Bapak Muhammad Husni, SH M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Dosen Pembimbing I yang berkenan membantu dan memperhatikan mahasiswa Hukum Pidana.

6. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Dosen Pembimbing II yang banyak menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi yang dengan kesabaran menuntun penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai.

7. Bapak Prof. Dr. M.Yamin, SH, MS, CN selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah mendukung dan membimbing selama perkuliahan

8. Bapak dan Ibu Dosen pengajar Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

9. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 10. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua kebaikan yang telah diberikan.

(5)

Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sehat yang bersifat membangun demi kesempurnaan isi skripsi ini, namun demikian penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Medan, Mei 2010

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Keaslian Penulisan... 8

F. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Prinsip Mengenal Nasabah ... 8

2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ... 9

3. Pengertian Bank dan Hukum Perbankan ... 11

G. Metode Penulisan ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sejarah dan Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 19

B. Objek dan Tujan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 25

C. Modus Operandi Tindak Pidana Pencucian Uang ... 28

D. Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ... 33

(7)

BAB III KAJIAN UMUM TENTANG PRINSIP MENGENAL NASABAH A. Latar Belakang Lahirnya Prinsip Mengenal Nasabah ... 47 B. Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Bagian Dari Prinsip

Kehati-hatian (Prudential Principle) Pada Bank ... 53 C. Peraturan Hukum Tentang Penerapan Prinsip Mengenal

Nasabah……….58 BAB IV PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER

PRINCIPLE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA BANK

A. Tujuan dan Orientasi Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah...68 B. Kerjasama Bank dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK) Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang Berkaitan Dengan Prinsip Mengenal Nasabah ... 73 C. Penguatan Prinsip Mengenal Nasabah Didalam Pelaksanaanny ... 91 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(8)

ABSTRAK

Ika Rahayu * Abul Khair, SH, M.Hum **

Nurmalawaty, SH, M.Hum ***

Perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, menjadikan bank sebagai sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang. Hal ini disebabkan karena bank sebagai penyedia jasa keuangan banyak menawarkan jasa–jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal–usul suatu dana. Melihat begitu pentingnya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang tersebut, maka di dalam negara sendiri haruslah dibentuk peraturan yang tegas. Berkenaan dengan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang pada bank, maka dikeluarkanlah “Prinsip Mengenal Nasabah”. Dimana “Prinsip Mengenal Nasabah ini dilaksanakan dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank. Dalam pelaksanaan “Pinsip Mengenal Nasabah” yang bertujuan dan berorientasi pada pencegahan tindak pidana pencucian uang ini, bank juga bekerjasama dengan PPATK dalam memantau transaksi keuangan mencurigakan.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library research) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti perundang–undangan, buku–buku, majalah dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini

Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC Principle) diterapkan dalam rangka pemberantasan pencucian uang serta

prudential bank, yang bertujuan dan berorientasi sebagai instrumen pencegahan pencucian uang agar bank dapat mengenali nasabah dan karakteristik transaksi nasabah, bank juga bekerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK berfungsi sebagai ”pengawas” terhadap transaksi mencurigakan yang disampaikan oleh bank kepada PPATK. Oleh karena itu, seluruh bank di Indonesia harus memiliki pedoman/prinsip yang sama mengenai Prinsip Mengenal Nasabah, untuk mengenali nasabahnya dan juga mengetahui transaksi yang dilakukan oleh nasabah, serta meningkatkan kerjasamanya dengan PPATK dalam memantau dan menganalisis transaksi mencurigakan tersebut sehingga dapat ditindaklanjuti.

* Mahasiswa

(9)

ABSTRAK

Ika Rahayu * Abul Khair, SH, M.Hum **

Nurmalawaty, SH, M.Hum ***

Perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, menjadikan bank sebagai sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang. Hal ini disebabkan karena bank sebagai penyedia jasa keuangan banyak menawarkan jasa–jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal–usul suatu dana. Melihat begitu pentingnya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang tersebut, maka di dalam negara sendiri haruslah dibentuk peraturan yang tegas. Berkenaan dengan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang pada bank, maka dikeluarkanlah “Prinsip Mengenal Nasabah”. Dimana “Prinsip Mengenal Nasabah ini dilaksanakan dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank. Dalam pelaksanaan “Pinsip Mengenal Nasabah” yang bertujuan dan berorientasi pada pencegahan tindak pidana pencucian uang ini, bank juga bekerjasama dengan PPATK dalam memantau transaksi keuangan mencurigakan.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library research) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti perundang–undangan, buku–buku, majalah dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini

Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC Principle) diterapkan dalam rangka pemberantasan pencucian uang serta

prudential bank, yang bertujuan dan berorientasi sebagai instrumen pencegahan pencucian uang agar bank dapat mengenali nasabah dan karakteristik transaksi nasabah, bank juga bekerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK berfungsi sebagai ”pengawas” terhadap transaksi mencurigakan yang disampaikan oleh bank kepada PPATK. Oleh karena itu, seluruh bank di Indonesia harus memiliki pedoman/prinsip yang sama mengenai Prinsip Mengenal Nasabah, untuk mengenali nasabahnya dan juga mengetahui transaksi yang dilakukan oleh nasabah, serta meningkatkan kerjasamanya dengan PPATK dalam memantau dan menganalisis transaksi mencurigakan tersebut sehingga dapat ditindaklanjuti.

* Mahasiswa

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi semakin maju dan pesat, membawa pengaruh terhadap perkembangan di berbagai sektor baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Masalah kriminalitas merupakan salah satu hal yang turut berkembang dengan pesat, namun perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas itu sendiri belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai jenis kejahatan baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun korporasi dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar. Kejahatan–kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain sehingga sering disebut transnasional crime.1

Dalam kejahatan transnasional, harta kekayaan dari hasil kejahatan biasanya oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah–olah dari hasil legal. Hal inilah yang lebih sering dikenal dalam dunia internasional dengan istilah pencucian uang atau money laundering. Dalam perkembangannya, pencucian uang tidak hanya melibatkan lembaga keuangan, badan hukum, atau lembaga lainnya. Namun parahnya, saat ini kasus pencucian uang sudah merambah atau melibatkan lembaga keagamaan yang menurut orang–orang merupakan tempat yang suci dan sakral. Mereka tidak mengecek dari mana asal

1

(11)

uang tersebut, yang penting diberikan ke tempat suci tersebut. Tetapi sadarkah kita, bisa saja tempat ibadah kita yang katanya “suci” itu menjadi tempat pencucian uang haram. Ini merupakan salah satu fakta yang menunjukkan bahwa pencucian uang sudah tidak mengenal tempat yang akan dituju untuk mencuci uang haram tersebut. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pelaku pencucian uang memiliki perilaku moral yang tidak beretika, seolah–olah mereka buta karena uang tersebut.

Berdasarkan statistic Internasional Monetary Fund (IMF), hasil kejahatan yang dicuci melalui bank diperkirakan hampir mencapai nilai sebesar US$ 1.500 miliar per tahun. Sementara itu, menurut Associated Press, kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius, prostitusi, korupsi dan kejahatan lainnya sebagian besar diproses melalui perbankan untuk kemudian dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600 miliar per tahun. Ini berarti sama dengan 5% GDP dunia. Selain itu, menurut

Financial Action Task Force (FATF), perkiraan atas jumlah uang yang dicuci setiap tahun di seluruh dunia dari perdagangan gelap narkotika berkisar antara US$ 300 miliar sampai US$ 500 miliar.2

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan–badan usaha swasta, badan–badan usaha milik negara, bahkan lembaga–lembaga pemerintahan menyimpan dana–dana yang dimilikinya. Melalui jasa–jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta

2

(12)

melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang. Hal ini disebabkan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa–jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal–usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan, hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yuridiksi suatu negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Melalui mekanisme ini, maka dana hasil kejahatan bergerak dari suatu negara ke negara lain yang belum mempunyai sistem hukum yang cukup kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara ketat.

(13)

publik kepada sistem financial semakin berkurang. Keadaan seperti ini dapat mendorong kenaikan tingkat resiko dan ketidakstabilan sistem perekonomian dan pada akhirnya angka pertumbuhan ekonomi dunia semakin menurun.3

Melihat begitu pentingnya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang tersebut, maka di dalam negara sendiri haruslah dibentuk peraturan yang tegas. Dalam konteks kepentingan nasional diterapkannya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa pemerintah dan sektor swasta bukan bagian dari masalah, melainkan bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi, keuangan maupun perbankan. Undang–undang yang telah terbentuk harus dapat dilaksanakan oleh perangkat hukum yang ada, perangkat hukum akan dapat berjalan melaksanakan penegakan hukum, ditentukan oleh

Akibat–akibat tersebut diataslah yang membuat praktik pencucian uang menjadi pusat perhatian negara–negara di dunia, terlebih–lebih lagi dana yang digunakan dalam praktik pencucian uang adalah dana yang dihasilkan dari kejahatan–kejahatan serius seperti korupsi, terorisme, perdagangan narkotika dan kejahatan kehutanan, sehingga telah menjadi kesepakatan bersama untuk saling mendukung dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dengan menjalin kerjasama internasional. Adanya kerjasama internasional ini dengan sendirinya memberikan nilai tambah karena penyelidikan aliran dana tidak terbatas hanya kepada lembaga penyedia jasa keuangan yang beroperasi di wilayah negara tertentu saja, tetapi juga sampai pada lembaga penyedia jasa keuangan di negara lain.

3

(14)

masalah pokok yang sangat dominan yaitu “kebenaran” bahwa telah terjadi sesuatu kejahatan atau tindak pidana yang harus dibuktikan oleh perangkat hukum baik oleh manusianya maupun oleh undang–undangnya. Maka yang menjadi masalah utama adalah ”kebenaran terjadinya suatu kejahatan” atau tindak pidana yang dibuktikan oleh perangkat hukum yang ada, sehingga diperlukan memberikan kepastian yang layak menurut akal tentang apa hal tertentu itu sungguh–sungguh terjadi dan apa sebab demikian halnya.

Indonesia merupakan surga bagi pelaku pencucian uang. Hal ini disebabkan antara lain ketentuan deposito dari nasabah yang tidak boleh diusut asal–usulnya dan kerahasiaan nasabah yang begitu ketat. Sebagai salah satu entry

bagi masuknya uang hasil tindak pidana, bank harus mengurangi resiko digunakannya sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mecurigakan yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank. Berkenaan dengan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang pada penyedia jasa keuangan, salah satunya dalam hal ini yng dilakukan oleh pihak bank, adalah dengan diterapkannya “Prinsip Mengenal Nasabah”.4

B. Perumusan Masalah

Problematika pencucian uang atau biasa disebut money laundering, semakin menarik perhatian dan menjadi pembahasan. Ternyata problematik uang haram yang berhubungan dengan perbankan ini meminta perhatian dunia

4

(15)

internasional karena dimensinya. Dilihat dari dimensi ruang, pencucian uang ini tidak terbatas pada tempat tertentu saja, bisa melewati batas–batas teritorial suatu negara. Begitu pula dilihat dari dimensi waktu, pencucian uang dapat berlangsung seketika namun dapat juga berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut, terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime” ternyata ada pihak–pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalu-lintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal ini adalah dunia perbankan, yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun satu pihak dapat menjadi alat bagi pencucian uang. Untuk menunjukkan kredibilitasnya, maka bank selaku penyedia jasa keuangan berusaha untuk membuktikan bahwa bank merupakan instrumen dari bagian pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, bukan bagian dari pencucian uang tersebut. Salah satunya dengan melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah atau KnowYour Customer Principle. Penerapan prinsip mengenal nasabah ini didasari pertimbangan bahwa prinsip mengenal nasabah tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, tetapi juga dalam rangka penerapan prudential

bank, untuk melindungi bank dari berbagai resiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter–party.

Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah :

1. Apa yang menjadi latar belakang lahirnya prinsip mengenal nasabah?

(16)

3. Bagaimana pelaksanaan kerja sama antara bank dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam mencegah tindak pidana pencucian uang berkaitan dengan prinsip mengenal nasabah?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan utama penulisan ini adalah untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana hukum. Namun berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan lain yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui sebab lahirnya prinsip mengenal nasabah.

2. Untuk mengetahui tujuan dan orientasi dari prinsip mengenal nasabah.

3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kerjasama antara bank dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam mencegah tindak pidana pencucian uang berkaitan dengan prinsip mengenal nasabah.

D. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum.

(17)

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini adalah hasil karya penulis sendiri, yang penulis susun dengan cara membaca dan mengutip data–data yang ada pada buku serta peraturan perundang–undangan yang berkaitan dengan judul skripsi penulis.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Prinsip Mengenal Nasabah

Prinsip Mengenal Nasabah atau yang lebih dikenal dengan istilah Know Your Customer Principle (KYC) merupakan prinsip ke-15 dari 25 Core Principles for Effective Banking Supervision dan Basel Committe. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang perubahan kedua atas peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 tentang perubahan pertama atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) dalam pasal 1 ayat (2) mengartikan Prinsip Mengenal nasabah sebagai :

“Prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.”5

Nasabah di dalam prinsip ini diartikan sebagai pihak yang menggunakan jasa bank, baik meliputi perorangan, perusahaan, lembaga pemerintah, perwakilan negara asing serta bank.

5

(18)

2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Kata “tindak” mengandung arti “perbuatan”. Sedangkan “pidana” mengandung arti penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat–syarat tertentu. Menurut Moeljanto, menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, dimana larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan yang dilakukan oleh kelakuan orang dan ancamannya ditujukan pada orang yang melakukan perbuatan tersebut.6

Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni “money laundering”. Apa yang dimaksud dengan money laundering memang tidak ada defenisi yang universal, karena baik negara–negara maju maupun negara–negara dari dunia ketiga, masing–masing mempunyai defenisi sendiri–sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan “pencucian uang”.7

Pengertian pencucian uang, telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Menurut Welling, “money laundering” adalah “Money laundering is the process by wich one counceals the existence, illegal source, or illegal application

6

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kanca Peranda Media Group, 2008, hal. 148

7

(19)

of income and than disguises that income to make it appear legitimate”.8

(Pencucian uang adalah suatu proses, dimana salah satu bentuknya dapat berupa sumber-sumber ilegal atau penempatan pendapatan secara ilegal kemudian menyamarkan pendapatan tersebut sehingga kelihatan sebagai pendapatan yang sah). Sedangkan Faser mengemukakan bahwa money laundering adalah ”quite simple the process through with dirty money proceed of crime, is washed through

clean or legitimate sources and interprises so that the bad guys may more safe

enjoy their ill gotten gains”9

“perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, mengibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan, atau menyamarkan asal–usul harta kekayaan sehingga seolah–olah menjadi harta kekayaan yang sah”.

(Proses sederhana dari uang kotor yang didapat dari tindak pidana, dicuci atau dimasukkan ke dalam sumber yang sah/legal, sehingga pelaku tindak pidana dapat lebih aman menikmati keuntungan yang didapat dari kejahatan mereka).

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, pengertian money laundering adalah :

10

Dari beberapa defenisi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau oleh organisasi-organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari

8

Ibid, hal.13

9

The World Bank, Reference Guide To Anti-Money Laundering and Combating The Financing of Terorism, Washington DC, The World Bank, 2006, hal. 1-2

10

(20)

tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal-usul tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang untuk melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system), sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka keuangan tersebut telah berubah menjadi uang yang sah. Secara umum, pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotik dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan.

Money laundering pada intinya melibatkan aset yang disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjai aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.

3. Pengertian Bank dan Hukum Perbankan a. Pengertian Bank

(21)

dana yang dimilikinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah usaha dibidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama pemberian kredit dan jasa di lalu-lintas pembayaran dan peredaran uang

Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, pasal 1 butir 2, diterangkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.11

G.M. Verryn stuart, dalam bukunya Bank Politik berpendapat bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat–alat pembayaran sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.12

Hukum dapat dikatakan sebagai suatu sistem kaidah. Dimana sistem merupakan suatu pemikiran bulat yang di dalamnya terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dengan serasi dan saling mengusung dan tidak

Berdasarkan dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak–pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

b. Pengertian Hukum Perbankan

11

Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

12

(22)

bertentangan satu sama lain. Kaidah merupakan ketentuan mengenai baik buruk perilaku manusia di tegah pergaulannya dengan menentukan perangkat-perangkat yang bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan, sehingga dapat dikatkan bahwa kaidah tersebut merupakan patokan pedoman dalam bertindak.13

13

Soedjono Didrjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 36-37

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum perbankan sebagai hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan. Tentu untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai pengertian hukum perbankan tidaklah cukup hanya dengan memberikan suatu rumusan yang demikian. Oleh karena itu, perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum perbankan dari para ahli hukum perbankan.

(23)

Dari rumusan tersebut, terungkap bahwa pengaturan di bidang perbankan menyangkut diantaranya: 14

1. Dasar-dasar perbankan yaitu menyangkut asas-asas kegiatan perbankan, seperti norma efisiensi, keefektivan, kesehatan bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga perbankan serta hubungan hak dan kewajibannya.

2. Kedudukan pelaku di bidang perbankan, misalnya kaidah-kaidah mengenai pengelolaannya, seperti dewan komisariat, direksi, karyawan. Juga mengenai bentuk badan hukum, pegelolannya serta kepemilikannya.

3. Kaidah-kaidah perbankan yang secara khusus yang memperhatikan kepentingan umum, seperti kaidah-kaidah yang mencegah persaingan tidak wajar, perlindungan terhadap konsumen dan lain-lain.

4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi yang mendukung kebijakan ekonomi dan moneter dari pemerintah.

5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan kehidupan perekonomian yang berupa dasar-dasar untuk perwujudan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya melalui penetapan sanski, insentif dan sebagainya.

6. Keterkaitan satu sama lainnya dari ketentuan dan kaidah-kaidah hukum tersebut sehingga tidak mungkin berdiri sendiri, malahan keterkaitannya merupakan hubungan logis dari bagian-bagian lainnya.

Beranjak dari beberapa pengertian hukum perbankan di atas, dengan mengacu pada pengertian perbankan sebagai segala sesuatu yang berkaitan

14

(24)

dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta acara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya, maka pada prinsipnya dapat dirumuskan bahwa hukum perbankan adalah keseluruhan norma–norma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya. Berkaitan dengan pengertian ini, maka yang dimaksud dengan norma- norma tertulis dalam pengertian di atas adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bank, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktik perbankan.15

2. Data dan Sumber Data G. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas–asas hukum serta mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang–undangan.

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut: 16

1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar

15

Hermansayah, Op cit, hal. 40

16

(25)

c. Peraturan perundang–undangan yang terkait

2 Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel, hasil–hasil penelitian, laporan–laporan dan sebagainya. 3 Bahan hukum tersier yang mencakup bahan yang memberi petunjuk– petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah serta bahan–bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode penelitian kepusatakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti perundang–undangan, buku–buku, majalah dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun secara sistematis dan dibagi dalam lima (5) bab yang secara garis besarnya akan digambarkan sebagai berikut:

(26)

Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Di dalam bab ini dibahas mengenai sejarah dan perkembangan tindak pidana pencucian uang, objek dan tujuan tindak pidana pencucian uang, modus operandi tindak pidana pencucian uang, pengaturan hukum tentang tindak pidana pencucian uang dan dampak tindak pidana pencucian uang

BAB III KAJIAN UMUM TENTANG PRINSIP MENGENAL NASABAH Di dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang lahirnya prinsip mengenal nasabah, prinsip mengenal nasabah sebagai bagian dari prinsip kehati–hatian (Prudential Principle) pada bank dan pengaturan hukum tentang penerapan prinsip mengenal nasabah.

BAB IV PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER

PRINCIPLE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG PADA BANK SEBAGAI SALAH SATU PENYEDIA JASA KEUANGAN

(27)

pencucian uang berkaitan dengan prinsip mengenal nasabah dan penguatan prinsip mengenal nasabah.

BAB V PENUTUP

(28)

BAB II

KAJIAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Sejarah dan Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang

Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Money Laundering, sekarang mulai banyak dibahas dalam buku-buku teks, baik dibidang hukum pidana, ekonomi maupun kriminologi. Ternyata problematika uang haram ini telah menyita perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara.

Pencucian uang atau money laundering, bukan suatu tindak pidana yang baru. Kejahatan ini sudah berlangsung cukup lama dan mencakup ke berbagai bidang kehidupan. Pencucian uang (money laundering) dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, dimana munculnya istilah ini erat kaitannya dengan perusahaan laundry. Pada saat itu kejahatan ini dilakukan oleh organisasi kejahatan mafia melalui pembelian perusahaan–perusahaan yang sah dan resmi. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian (laundry) yang ketika itu sangat terkenal di Amerika, yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat pencucian uang yang dihasilkan dari kegiatan illegal atau hasil kejahatan. 17

Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakan terakhirnya merompak kapal

17

(29)

Portugis berisi berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp. 5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat.

Istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats

(30)

milyar rupiah), dimana Al Capone sendiri sebagai pelaku kejahatan dipenjara bukan karena keterlibatannya dalam pembunuhan, pemerasan, penjualan obat bius, namun semata-mata karena menghasilkan uang dan tidak melaporkannya.

Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian digunakan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.18

18

Tb. Irman, Op cit, hal. 39

(31)

Paling sedikit ada sembilan (9) faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan pencucian uang yakni:19

1. Globalisasi sistem keuangan.

Pino Arlacchi, Executive Director UN Offices for Drug Control and Crime Prevention menyatakan bahwa, "Globalization has turned the international financial system into a money launderer`s dream, and this criminal process

siphons away billions of dollars per year from economic growth at a time

when the financial health of every country affects the stability of the global

marketplace." (Perkembangan global mengarahkan sistem keuangan internasional kepada pelaku pencucian uang, dan proses kejahatan ini mengalirkan miliaran dollar per tahun dari pertumbuhan ekonomi dalam satu waktu ketika kesehatan keuangan di setiap negara mempengaruhi kestabilan dari pasar global).

2. Kemajuan di bidang teknologi.

Dalam hal ini, yang paling mendorong maraknya pencucian uang adalah teknologi di bidang informasi. Salah satunya adalah kemunculan internet di dunia maya (cyber space). Dengan kemajuan teknologi informasi tersebut, batas-batas negara menjadi tidak berarti lagi. Dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Akibatnya, kejahatan-kejahatan terorganisasi (organized crime) yang diselenggarakan organisasi-organisasi kejahatan (criminal organizations) menjadi mudah dilakukan secara lintas batas negara-negara.

(32)

kejahatan tersebut kemudian berkembang menjadi kejahatan-kejahatan transnasional.

3. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat pada suatu negara.

Berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakan (tax reforms), Uni Eropa baru-baru ini mengimbau negara-negara anggotanya meniadakan ketentuan-ketentuan yang menyangkut rahasia bank. Menurut delegasi Inggris, Uni Eropa hanya dapat secara serius memerangi tax evasion (sebagai kejahatan asal pencucian uang) apabila Uni Eropa mempertimbangkan mengenai dihapuskannya ketentuan rahasia bank.

4. Ketentuan perbankan di suatu negara yang memperbolehkan penggunaan nama samaran atau anonim bagi nasabah (individu dan korporasi) yang menyimpan dana di suatu bank.

5. Munculnya jenis uang baru yang disebut electronic money (e-money),

(33)

6. Dimungkinkannya praktik pencucian uang dilakukan secara layering

(pelapisan).

Dengan cara layering, pihak yang menyimpan dana di bank (nasabah penyimpan dana atau deposan bank) bukanlah pemilik yang sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang itu di sebuah bank. Sering pula terjadi bahwa pihak lain tersebut juga bukan pemilik yang sesungguhnya dari dana itu, tetapi hanya menerima amanah atau kuasa dari seseorang atau pihak lain yang menerima kuasa dari pemilik yang sesungguhnya.

7. Karena berlakunya ketentuan hukum terkait kerahasiaan hubungan antara lawyer dan kliennya, dan antara akuntan dan kliennya.

Dalam hal ini, dana simpanan di bank-bank sering diatasnamakan suatu kantor pengacara. Menurut hukum di kebanyakan negara yang telah maju, kerahasiaan hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Para lawyer yang menyimpan dana simpanan di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapkan identitas kliennya.

8. Pemerintah dari suatu negara kurang bersungguh-sungguh untuk memberantas praktik pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan.

(34)

memperoleh keuntungan dengan penempatan uang-uang haram di industri perbankan untuk membiayai pembangunan.

9. Tidak dikriminalisasikannya perbuatan pencucian uang di suatu negara. Dengan kata lain, negara tersebut tidak memiliki undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana.

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang disebabkan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa–jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yuridiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Melalui mekanisme ini maka dana hasil kejahatan bergerak dari suatu negara ke negara lain yang belum mempunyai sistem hukum yang cukup kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara sangat ketat.

(35)

pencucian uang sebagai tindak pidana, dan pada saat ini telah ada UU No.15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

B. Objek dan Tujuan Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Objek Tindak Pidana Pencucian Uang

Menurut Sarah N. Welling, money laudering dimulai dengan adanya uang haram (dirty money). Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara: 20

a. Melalui cara penggelapan pajak (tax evasion)

Yang dimaksud dengan penggelapan pajak ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan penghitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh.

b. Melalui cara melanggar hukum

Uang menjadi kotor dengan cara-cara melawan hukum, teknik-teknik yang biasanya dilakukan dengan cara penjulan obat-obat terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drug sales), penjualan gelap (illegal gambling), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitusion), perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupan minuman keras, tembakau dan pornografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco and pornography), penyelundupan imigran gelap (illegal imigration rackets/people smuggling) dan kejahatan kerah putih (white collar crime).

20

(36)

Praktik-praktik money laundering memang pada mulanya hanya dilakukan terhadap uang yang diperoleh dari lalu lintas perdagangan narkotik dan obat-obat sejenis itu atau yang lebih dikenal dengan illegal drug trafficking. Namun kemudian money laundering diperlukan pula untuk dilakukan terhadap uang yang diperoleh dari sumber-sumber kejahatan yang lain, seperti yang dikemukakan di atas. Sebenarnya diantara beberapa kegiatan yang bersangkutan dengan pengumpulan uang haram secara internasionla yang berasal dari drug trafficking

bukanlah sumber utama. Porsi utama dari uang haram itu berasal dari tax evision,

flight capital, dan dari irregular or hiden economies yang dibedakan dari overly criminal economies. Flight capital termasuk flight capital atas uang yang disediakan oleh negara maju (developed countries) dalam bentuk bantuan keuangan (financial aid), yang tidak dibelanjakan atau diinvestasikan di negara yang bersangkutan, tetapi kemudian kembali pada negara-negara berkembang tersebut sebagai illegal exported capital. Uang inilah yang sering ditempatkan di bank luar negeri yang justru telah memberikan kredit tersebut.

2. Tujuan Tindak Pidana Pencucian Uang

Sering kali lahir pertanyaan mengapa uang hasil kejahatan perlu dicuci. John C. Keeney, deputy Assistant Attorney General, Criminal division, United States departement of justice , menjelaskan sebagai berikut: 21

“ If the money can be gotten into the bank or other financial institusion, it

can be wired to any place in the world in a matter of seconds, coverted to

any other currency, and used to pay expenses and recapitalize the corrupt

21

(37)

bussines. The problem for the drug trafficker, aims merchant or tax evader

then, is how to get his monet into a form in which it can be moved and

used most efficiently without creating a paper trail that will lead law

enforcement authorities to the illegal bussines. The process of doing that is

what we call money laundering. There are many ways in which it is done.” (Jika uang kotor dapat dimasukkan ke bank atau lembaga keuangan lain, uang tersebut dapat dikirim ke berbagai temapat di dunia ini dalam beberapa detik, terselubung dalam mata uang asing dan digunakan untuk membiayai dan merekapitulasi bisnis kejahatan. Yang menjadi permasalahan bagi penjual obat-obat terlarang atau penghindar/penggelap pajak, adalah bagaimana untuk mendapatkan uangnya ke dalam suatu keadaan dimana uang tersebut dapat dipindahkan dan digunakan dengan efisien tanpa membuat surat-surat yang sah dimana hal ini akan mengarahkan penegak hukum kepada bisnis ilegal tersebut. Proses dalam melakukan hal tersebutlah yang disebut sebagai pencucian uang. Ada banyak cara untuk melakuk pencucian uang tersebut.)

(38)

C. Modus Operandi Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam melaksanakan pencucian uang, modus operandi yang biasa dilakukan dengan beberapa cara yakni: 22

1. Melalui kerja sama modal

Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa ke luar negeri. Uang tersebut masuk kembali dalam bentuk kerjasama modal (Joint Venture Project). Keuntungan inventasi tersebut harus diinventasikan lagi dalam berbagai usaha lain. Keuntungan usaha lain ini dinikmati sebagai uang yang sudah bersih karena tampaknya diolah secara legal, bahkan dikenakan pajak.

2. Melalui agunan kredit

Uang tunai diselundupkan ke luar negeri. Lalu disimpan di bank negara tertentu yang prosedur perbankannya termasuk lunak. Dari bank tersebut ditransfer ke Bank Swiss dalam bentuk deposito. Kemudian dilakukan peminjaman ke suatu bank di Eropa dengan jaminan deposito tersebut. Uang hasil kredit ditanamkan kembali ke asal uang haram tadi.

3. Melalui perjalanan luar negeri

Uang tunai ditransfer ke luar negeri melalui bank asing yang berada di negaranya. Lalu uang tersebut dicairkan kembali dan dibawa kembali ke negara asalnya oleh orang tertentu. Seolah–olah uang tersebut berasal dari luar negeri.

22

(39)

4. Melalui penyamaran usaha dalam negeri

Dengan usaha tersebut maka didirikanlah perusahaan samaran, tidak dipermasalahkan apakah uang tersebut berhasil atau tidak, tetapi kesannya uang tersebut telah menghasilkan uang bersih.

5. Melalui penyamaran perjudian

Dengan uang tersebut didirikan usaha perjudian. Tidak menjadi masalah apakah menang atau kalah. Akan tetapi akan dibuat kesan menang, sehingga ada alasan asal usul uang tersebut. Seandainya di Indonesia masih ada lottre atau sejenisnya yang lain, kepada pemilik uang haram dapat ditawarkan nomor menang dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian uang tersebut memberikan kesan kepada yang bersangkutan sebagai hasil kemenangan kegiatan perjudian tersebut.

6. Melalui penyamaran dokumen

Uang tersebut secara fisik tidak kemana-mana, tetapi keberadaannya didukung oleh berbagai dokumen palsu atau yang diadakan, seperti membuat double invoice dalam jual beli dan ekspor impor, agar ada kesan uang tersebut sebagai hasil kegiatan luar negeri

7. Melalui pinjaman luar negeri

(40)

8. Melalui rekayasa pinjaman luar negeri

Uang secara fisik tidak kemana-mana, tetapi kemudian dibuat suatu dokumen seakan-akan ada bantuan atau pinjaman luar negeri. Jadi pada kasus ini sama sekali tidak ada pihak pemberian pinjaman, yang ada hanya dokumen pinjaman yang kemungkinan besar adalah dokumen palsu.

Didasarkan pada tipologinya dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang terdapat beberapa modus: 23

1. Tipologi dasar

a. Modus orang ketiga, yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dapat dengan menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang berlainan. Ciri-cirinya adalah orang ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya nama palsu dalam dokumen, orang ketiga biasanya menyadari ia dipergunakan, orang ketiga tersebut merupakan orang kepercayaan yang bisa dikendalikan, dan hubungannya dengan pelaku sangat dekat sehingga dapat berkomunikasi setiap saat. b. Modus topeng usaha sederhana, merupakan kelanjutan modus orang

ketiga, dimana orang tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan menggunakan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana.

c. Modus perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua, namun juga dapat berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan

23

(41)

sistem transaksi tunai yang berubah dalam bentuk cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain dalam deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian aset-aset. Modus ini banyak meninggalkan jejak melalui dokumen rekening koran, cek, dan data-data lain yang mengarah pada nasabah itu, serta keluar masuknya dari proses transaksi baik yang menuju pada seseorang maupun pada aset-aset, atau pun pada pembayaran-pembayaran lain.

d. Modus kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang menguasai suatu usaha dengan memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk kemudian ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau pendirian usaha-usaha lain.

2. Tipologi ekonomi

(42)

b. Model perusahaan rangka, disebut demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak menjalankan kegiatan usaha apapun, melainkan dibentuk agar rekening perusahaannya dapat digunakan untuk memindahkan sesuatu atau uang. Perusahaan rangka dapat digunakan untuk penempatan

(placement) dana sementara sebelum dipindah atau digunakan lagi. Perusahaan rangka dapat terhubung satu dengan yang lain misal saham PT A dimiliki oleh PT B yang berada di daerah atau negara lain, sementara saham PT B sebagian dimiliki oleh PT A, PT B, PT C, dan/atau PT D yang berada di daerah atau negara lain

c. Modus pinjaman kembali, adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha. Contohnya, pelaku pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana kepada A (orang ketiga), dan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank B dan sebagian dana juga didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank D. Dengan bunga deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari bank D. Dari segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga pinjaman namun uang illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang bersih dengan dokumen yang lengkap.

d. Modus under invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar daripada yang dicantumkan dalam faktur.

(43)

f. Modus over invoicing II, dimana sebenarnya tidak ada barang yang diperjualbelikan, yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif) sebab penjual dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang.

g. Modus pembelian kembali, dimana pelaku menggunakan dana yang telah dicuci untuk membeli sesuatu yang telah dia miliki.

3. Tipologi IT

a. Modus E-Bisnis, menggunakan sarana internet.

b. Modus scanner merupakan tindak pidana pencucian uang dengan

predicate crime berupa penipuan dan pemalsuan atas dokumen-dokumen transaksi keuangan.

4. Tipologi hitek

Dimana suatu bentuk kejahatan terorganisir secara skema namun orang-orang kunci tidak saling mengenal, nilai uang relatif tidak besar tetapi bila dikumpulkan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Dikenal dengan nama modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan dengan menembus sistem data base suatu bank.

D. Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Didalam pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang ada beberapa peraturan perundang-undang dan peraturan lain yang terkait, yakni:24

24

(44)

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

4. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan

Sistem Nilai Tukar

6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia

(45)

(46)

kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.25

Di dala

kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana:26

1. Korupsi 2. Penyuapan

3. Penyelundupan barang 4. Penyelundupan tenaga kerja 5. Penyelundupan imigran 6. Di bidang perbankan 7. Di bidang pasar modal 8. Di bidang suransi 9. Narkotika

10. Psikotropika

11. Perdagangan manusia 12. Perdagangan senjata gelap 13. Penculikan

14. Terorisme 15. Pencurian 16. Penggelapan

25

Arief Amrullah, Money Laundering, Malang, Bayumedia Publishing, 2004, hal. 103

26

(47)

17. Penipuan

18. Pemalsuan uang 19. Perjudian 20. Prostitusi

21. Di bidang perpajakan 22. Di bidang kehutanan

23. Di bidang lingkungan hidup 24. Di bidang kelautan atau

25. Tindak pidana lainnnya yang diancam dengan pidana penjara empat (4) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia

Di dalam ayat (2) dinyatakan bahwa harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kejahatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf n (terorisme).

(48)

lama lima belas (15) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar)”. Pola yang diterapkan oleh pembentuk undang-undang adalah pola minimal maksimal, dan dalam penjatuhan pidananya menganut sistem kumulatif. dengan pola minimal maksimal tersebut, berarti hakim dalam menjatuhkan pidana akan berkisar antara lima (5) sampai dengan lima belas (15) tahun dan denda antara Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), sehingga akan mengurangi terjadinya disparitas pidana.27

Sementara itu, Pasal 3 ayat (2)

pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dianggap sebagai delik selesai. Ketentuan itu sama halnya dengan yang diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Artinya pidana yang diancamkan sama beratnya dengan ancaman pidana terhadap tindak pidana di luar kategori percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat tersebut. Penjelasan Pasal 15 Undang-undang Republik Indonesia No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2001 menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana, pada umumnya dikurangi 1/3 dari ancaman pidananya. Sementara itu ketentuan yang sama dalam Pasal 3 ayat (2)

27

(49)

Disamping rumusan delik di atas, Pasal menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara minimal lima (5) tahun dan maksimal lima belas (15) tahun dan denda minimal Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan maksimal Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliiar rupiah). Pengecualian terhadap ketentuan pidana tersebut adalah penyedia jasa keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan. Ancaman pidana yang diletakkan dalam Pasal 6 sama dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1), hanya saja pembentuk undang-undang tidak mencantumkan ketentuan seperti dalam Pasal 3 ayat (2) di atas.

(50)

Undang-undang No. 25 tahun 2003 bahwa terhadap korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporsi yang diikuti dengan likuidasi. Sanksi tersebut merupakan sanksi administratif yang diintegrasikan dalam hukum pidana.

E. Dampak Tindak Pidana Pencucian Uang

Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan oleh para penjahat idividual sangat merugikan masyarakat. Karena itu banyak negara berupaya untuk memerangi kejahatan ini. Beberapa dampak dari kejahatan pencucian uang ini adalah:28

1. Pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup, dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya pengobatan dan perawatan kesehatan bagi korban atau pecandu narkotik.

2. Kegiatan pencucian uang mempunyai potensi untuk merongrong keuangan masyarakat (financial community) sebagai akibat sedemikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat besar.

28

(51)

3. Pencucian uang mengurangi pendapatan dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.

John Mc Dowell dan Gary Novis dari Bureau of Internasional Narcotics and Law Enforcement Affairs, US Departement of State mengemukakan bahwa:

Money laundering has potentially devastating economic, security, and social consequence

Selanjutnya dijelaskan pula beberapa dampak kegiatan pencucian uang sebagai berikut: 29

1. Merongrong sektor swasta yang sah (Undermining the legitimate private sector)

Untuk menyembunyikan dan mengaburkan hasil-hasil kejahatannya, para pencuci uang sering kali menggunakan perusahaan-perusahaan tertentu untuk mencampur adukkan uang haram dengan uang yang sah. Perusahaan-perusahaan yang diciptakan untuk melakuakan pencucian uang mengelola dana dalam jumlah besar, yang digunakan untuk mensubsidi barang-barang dan jasa-jasa yang akan dijual dibawah harga pasar. Bahkan perusahaan-perusahaan tersebut dapat menawarkan barang-barang pada harga dibawah biaya produksi. Dengan demikian perusahaan-perusahaan tersebut memiliki

competitive advantage terhadap perusahaan-perusahaan sejenis yang bekerja secara sah. Sebagai konsekuensinya, bisnis yang sah kalah bersaing dengan

29

(52)

perusahaan tersebut sehingga dapat mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang sah menjadi bangkrut atau gulung tikar.

2. Merongrong integritas pasar-pasar keuangan (Undermining the integrity of financial markets)

Likuiditas dari lembaga-lembaga keuangan (financial institusions), seperti bank, akan menjadi buruk bila dalam operasionalnya cenderung mengandalkan dana hasil kejahatan. Misalnya hasil kejahatan pencucian uang dalam jumlah besar yang baru saja ditempatkan pada suatu bank, tetapi tiba-tiba ditarik dari bank tersebut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Akibatnya, bank tersebut mengalami masalah likuiditas yang cukup serius (liquidity risk). 3. Hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi (Loss of control

economis policy)

(53)

menyulitkan otoritas dalam mewujudkan nilai mata uang dan suku bunga yang stabil sesuai dengan yang diharapkan. Dalam pada itu, pencucian uang dapat meningkatkan ancaman terhadap ketidakstabilan moneter sebagai akibat terjadinya misalokasi sumber daya (misallocation of resources) karena distorsi-distorsi aset dan harga-harga komunitas banyak direkayasa. Singkatnya, pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan (financial crime) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya terhadap jumlah permintaan terhadap uang (money demand) dan meningkatkan votatilitas dari arus modal internasional (internasional capital flows), suku bunga dan nilai tukar mata uang. Sifat pencucian uang yang tidak dapat diduga tersebut menyebabkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya sehingga kebijakan ekonomi yang sehat sulit tercapai.

4. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (Economis distortion and instability)

(54)

oleh adanya kepentingan-kepentiangan jangka pendek. Dalam hal pencuci uang merasa terganggu kepentingannya, setiap saat mereka dapat menarik investasinya yang pada akhirnya mengakibatkan sektor-sektor usaha tersebut ambruk dan memperparah kondisi ekonomi negara bersangkutan.

5. Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak (Loss of revenue)

Pendapatan pajak pemerintah dapat berkurang karena kaburnya dana hasil kejahatan. Biasanya pemerintah setiap tahun telah menargetkan pendapatan pajaknya. Dalam hal harta kekayaan yang menjadi objek pajak dipindahkan ke luar yurisdiksi, mengakibatkan target perolehan pajak tidak teracapai. Untuk memenuhi target ini, pemerintah membuat kebijakan untuk meningkatkan tarif pengenaan pajak yang dapat merugikan wajib pajak lainnya (higher tax rates). 6. Resiko pemerintah dalam melaksanakan program privatisasi (Risks to

privatization efforts)

(55)

7. Merusak reputasi negara(Reputation risk)

Maraknya kegiatan pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan (financial crime) di suatu negara, dapat mengakibatkan hilangnya peluang-peluang bisnis yang sah. Hal tersebut pada gilirannya dapat menggangu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

8. Menimbulkan biaya social yang tinggi (Social cost)

Hasil-hasil kejahatan yang telah dicuci oleh pelaku kejahatan, besar kemungkinan akan dimanfaatkan kembali untuk memperluas aksi-aksi kejahatan mereka. Sebagai konsekuensinya, pemerintah akan mengeluarkan biaya tambahan untuk kegiatan penegakan hukum dan dampak-dampak lain yang ditimbulkannya. Apabila hasil kegiatan pencucian uang itu besar, dapat dimanfaatkan oleh pelaku pencuci uang atau mengalihkan kekuatan ekonomi, bahkan mengendalikan atau mengambil alih pemerintah berkuasa.

Sementara itu, Internasional Monetary Fund (IMF) juga mencatatkan beberapa implikasi makro ekonomi sebagai akibat dari pencucian uang yang dapat menyebabkan terjadinya:30

1. Kesalahan kebijakan karena kesalahan pengukuran data statistik makro ekonomi.

2. Volatilitas pada nilai tukar dan tingkat suku bunga karena besarnya transfer dana secara cross-border.

(56)

3. Perkembangan liability base yang tidak stabil dan sturktur-struktur aset lembaga keuangan yang tidak sehat telah menimbulkan resiko sistemik yang pada gilirannya akan mengakibatkan ketidakstabilan moneter.

4. Dampak buruk dari pengumpulan pajak dan juga dari pembelanjaan publik karena terjadinya pelaporan yang direkayasa dan pelaporan mengenai pendapatan yang dibuat lebih rendah dari yang semestinya.

5. Misalokasi sumber-sumber daya karena terjadinya distorsi nilai aset dan harga-harga komoditas.

(57)

BAB III

KAJIAN UMUM TENTANG PRINSIP MENGENAL NASABAH

A. Latar Belakang Lahirnya Prinsip Mengenal Nasabah

Sebagai salah satu entry bagi masuknya uang hasil tindak kejahatan, bank harus mengurangi resiko digunakannya sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank.

(58)

lembaga keuangan lainnya sehingga asal usul uang tersebut sulit untuk dilacak oleh penegak hukum.31

Apabila melihat ke belakang, lahirnya Prinsip Mengenal Nasabah di Indonesia sekitar tanggal 18 Juni tahun 2002 dimana Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah. Latar belakang bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tersebut adalah karena semakin berkembangnya kegiatan usaha perbankan sehingga bank dihadapkan pada berbagai resiko, baik resiko operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, maupun resiko reputasi. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal dengan istilah Know Your Customer Principle (KYC Principle) ini, didasari pada pertimbangan bahwa Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, tetapi juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai resiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter party. Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank harus mengenali para nasabah agar bank tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang.

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ini merupakan rekomendasi dari FATF, yang merupakan prinsip ke-15 dari 25 Core Principles for Effective Banking Supervision dan Basel Committee. Pengenalan terhadap nasabah harus dilakukan mulai dari identitas nasabah, prosedur penerimaan nasabah, memonitoring nasabah secara continue dan melaporkan kepada pihak yang berwenang.

31

(59)

Ketidakcukupan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dapat memperbesar resiko yang dihadapi bank. Juga dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan bagi bank, baik di sisi aktiva maupun pasiva.32

1. Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah, prosedur dalam mengidentifikasi nasabah, prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah, dan prosedur manajemen resiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah

Menurut Peraturan Bank Indonesia tersebut, Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Yang dimaksud dengan nasabah disini adalah pihak yang menggunakan jasa bank dan meliputi perorangan, perusahaan, lembaga pemerintah, lembaga internasional dan perwakilan negara asing serta bank.

Untuk penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ini, bank wajib menetapkan beberapa hal, yakni :

2. Melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada PPATK

3. Menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang berlaku di suatu negara bagi kantor cabang yang berada di luar negeri sepanjang standard Prinsip Mengenal Nasabahnya sama atau lebih ketat dengan yang diatur Bank Indonesia

4. Bank wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah dan wajib melakukan pengkinian data base nasabah yang telah ada

32

(60)

5. Penerapan sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik mengenai transaksi nasabah.

Agar penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dapat berjalan efektif, maka direksi bank diwajibkan membentuk unit kerja khusus atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab untuk itu. Berdasarkan PBI tersebut, sebelum melakukan hubungan dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai:

1. Identitas calon nasabah

2. Maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan nasabah dengan bank

3. Informasi lain untuk dapat mengetahui profil calon nasabah

4. Identitas pihak lain dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain

(61)

sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening. Bank dilarang melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah yang tidak memenuhi persyaratan atau bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas calon nasabah.

Setelah seseorang atau suatu badan diterima menjadi nasabah, maka bank diwajibkan memantau rekening dan transaksi nasabah yang dimaksud. Oleh karena itu bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah. Bank juga harus memelihara profil nasabah sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai:

1. Pekerjaan atau bidang usaha 2. Jumlah penghasilan

3. Rekening lain yang dimiliki 4. Aktivitas transaksi normal 5. Tujuan pembukaan rekening

Jika terjadi transaksi yang mencurigakan, bank wajib melaporkannya kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah diketahui bank. Dengan demikian bank harus cermat dan harus selektif dalam menerima seseorang atau badan untuk menjadi calon nasabah. Bank juga dituntut untuk mengenal pola transaksi keuangan nasabah sehinga dapat segera mengidentifikasi jika terdapat transaksi yang mencurigakan.

(62)

identitasnya secara lengkap dan benar. Namun, ketentuan ini memerlukan kemampuan pegawai bank untuk lebih jeli dan mengetahui identitas nasabah yang sesungguhnya karena kemungkinan nasabah akan melakukan duplikasi nama, pemalsuan nama, dan cara lainnya untuk mengelabui pegawai bank.

(63)

B. Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Bagian Dari Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle) Pada Bank

Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan itu, hukum harus mampu mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Memang, dalam satu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan-kepentingan pihak lain.

Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan kekuasaan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah disebut dengan “hak” Dengan demikian tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu, bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.33

Bahwa antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat. Salah satu mencerminkan yang la

Referensi

Dokumen terkait

Margin trading , praktik yang biasa dilakukan dalam Pasar Modal, adalah transaksi dimana pemodal dapat melakukan transaksi lebih besar dari dana yang dimiliki nasabah

Objek penelitian dalam skripsi ini adalah Penerapan Mengenal Nasabah ( Know Your Customer ) terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang

aner

Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai, baik melalui penyeludupan uang tunai dan suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari

Kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik untuk mengungkap tindak pidana, dapat dilihat kembali dalam Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat (1) huruf

Sebagaimana terlihat dalam Pasal 2 ayat 1 (huruf a) dalam UU TPPU di atas, bahwa penempatan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime),

Upaya-upaya yang dilakukan oleh setiap bank dalam melaksanakan prinsip ini pada prinsipnya adalah sama, yaitu harus sesuai dengan pedoman standar yang telah

Korporasi sebagai subjek tindak pidana pencucian uang juga dijelaskan dalam pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan seterusnya, di mana dalam pasal 1 ayat 9