• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN

DALAM LISENSI WAJIB

NASKAH PUBLIKASI

Oleh

AMELYA ZUHARNI

067011016/MKn

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN

DALAM LISENSI WAJIB

NASKAH PUBLIKASI

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AMELYA ZUHARNI

067011016/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB

Nama : Amelya Zuharni

NIM : 067011016

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum) Ketua

(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota

(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum) Anggota

Mengetahui:

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N)

(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal: 13 September 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.

Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum.

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.

(5)

ABSTRAK

Dalam Pasal 1 angka 13 UU Paten dirumuskan lisensi sebagai izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi darisuatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Selain melalui perjanjian lisensi, pengalihan paten dapat dilakukan melalui lisensi wajib yang sesuai Pasal 74 sebagai lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan untuk melaksanakan paten yang telah dilindungi. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib, syarat-syarat dan tata cara peralihan hak paten melalui lisensi wajib, dan perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu melakukan studi kepustakaan atau kajian terhadap UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dalam hal perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib terbatas pada jangka waktu yang ditetapkan Direktorat Jenderal HKI. Hak eksklusif paten bagi lisensi wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan yang tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal HKI untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Lisensi-wajib dilaksanakan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HKI atas dasar permohonan dari setiap pihak kepada Direktorat Jenderal untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten dengan membayar biaya, dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten. Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh pemegang Paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. Namun, sampai saat ini belum pernah dilaksanakan lisensi wajib di Indonesia. Selain peraturan pemerintah yang belum ada, juga masih terbatasnya kemampuan atau fasilitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan lisensi wajib atas produk yang dibutuhkan tersebut. Perlindungan hukum hak eksklusif pemegang Paten terhadap lisensi wajib di dalam ketentuan UU Paten ditegaskan lisensi wajib dapat berakhir sesuai Pasal 84 karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan, atau penerima lisensi-wajib menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Dengan berakhirnya lisensi-wajib, maka menurut Pasal 85 berakibat pulihnya hak pemegang atas Paten terhitung sejak tanggal pencatatannya. Selain itu, dalam hal lisensi wajib pemegang paten tidak setuju terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka sesuai ketentuan Pasal 102 pemegang paten dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga.

Dalam rangka melindungi pemegang paten, maka tindakan tegas dari pemerintah dalam mencegah terjadinya pelanggaran hak paten itu berupa ganti kerugian bagi pemegang paten yang telah digunakan oleh pihak lain tanpa seizin pemegang paten, dan memerintahkan si pelanggar menghentikan kegiatannya memproduksi barang yang telah dipatenkan, dan juga pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan lisensi paten. Kemudian, kepada para pihak yang melakukan pengalihan atas paten, walaupun dalam Pasal 66 UU Paten tidak secara tegas ditentukan perjanjian pengalihan paten harus dituangkan dalam akta notaris, maka demi kesempurnaan dari perjanjian itu sebaiknya dilakukan di hadapan notaris sebagai pejabat umum pembuat akta otentik.

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah terlebih dahulu dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT,

berkat rahmat-Nya penulis dapat menyusun tesis dengan judul ”PERLINDUNGAN

HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB”. Penulisan tesis ini merupakan

salah satu syarat yang hatis dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan

(MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dimana penulisan

ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan dan bantuan semua pihak, sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Pada kesemparan ini penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Komisi Pembimbingan yang terhormat Bapak Prof. Dr.

Runtung Sitepu, SH, MHum, Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, dan Ibu Dr. T.

Keizerina Devi A, SH, CN, MHum yang berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang

diberikan kepada penulis sehingga diperoleh hasil yang maksimal.

Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Dosen Penguji diluar

Komisi Pembimbing Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, Bapak Prof. Dr. Budiman

Ginting, SH, MHum, yang telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan arahan yang

konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap seminar proposal,

seminar hasil dan hingga selesainya penulisan tesis ini.

Selanjutnya penulis mengucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., (Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktur beserta seluruh Staf atas

bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan yang diberikan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan pendidikan.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan,

yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan penulisan tesis ini

4. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya

(7)

memberikan ilmu pengetuahuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

perkuliahan dengan baik, atas jasa dan budi Bapak dan Ibu dosen, saya ucapkan

terima kasih banyak.

5. Para Staf/Pegawai Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya di

lingkungan Magister Kenotariatan, yang selalu membantuk penulis dalam

kelancaran manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara Angkatan 2006, khususnya kelas B yang selalu setia memberikan

bantuan semangat, dorongan, motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan

pendidikan.

Secara khusus penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada yang

sangat penulis muliakan kedua orang tua, Ayahanda H. Marfa Zuharmy, BBA dan Ibunda

Alm. Adliani semua ini penulis sembahkan untuk mereka serta kakak dan adik, yang

dengan ikhlas dan penuh perhatian telah banyak memberikan dukungan dan doa sejak

penulis kecil sampai sekarang. Akhir kata tesis ini dapat diselesaikan hanyalah karena

izin ALLAT SWT semata, karena itu dengan memohon izin-Nya juga penulis berharap

tesis ini dapat bermanfaat untuk penulis kemasa depan maupun masyarakat.

Medan, September 2008

Penulis

AMELYA ZUHARNI

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka teori ... 11

2. Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II. HAK EKSKLUSIF ATAS PATEN BAGI PEMEGANG LISENSI WAJIB ... 24

A. Persyaratan Paten ... 24

B. Perolehan Hak dan Jangka Waktu Perlindungan Paten ... 41

C. Hak Substantif Paten ... 49

D. Hak Eksklusif Paten Bagi Pemegang Lisensi Wajib ... 51

(9)

A. Pengalihan Paten... 57

B. Permohonan Paten ... 59

C. Pengumuman Permohonan dan Pemeriksaan Substantif Paten .... 73

D. Syarat-syarat dan Tata Cara Peralihan Hak Paten Melalui Lisensi Wajib ... 87

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB ... 110

A. Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)... 110

1. Jurisdiksi Peradilan (Adjudicative jurisdiction)... 110

2. Prosedur Penegakan Hukum ... 113

B. Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 133

A. Kesimpulan ... 133

B. Saran ... 134

(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Amelya Zuharni

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 26 Juli 1983

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Garuda No. 82 Sei Sikambing B Medan – 20122

PENDIDIKAN

1989 – 1995 : SD Negeri 081234 Sibolga – Tapanuli Tengah

1995 – 1998 : SMP Swasta Harapan 2 Medan

1998 – 2001 : SMU Swasta Harapan Medan

2001 – 2005 : S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2006 – 2008 : S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Hormat Saya,

(11)
(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan berbagai temuan di antaranya dapat dijadikan komoditi perindustrian dan perdagangan yang tentu saja terkait dengan perkembangan pola perdagangan dunia yang cenderung mengarah pada terbukanya sekat-sekat pembatasan dalam jaringan perdagangan yang selama ini telah berlangsung.1

Sebagai upaya untuk melindungi berbagai temuan tersebut, Indonesia telah menetapkan berbagai regulasi di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade

Organization oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia). Konsekuensi Indonesia menjadi anggota WTO antara lain, adalah melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan WTO, termasuk yang berkaitan dengan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut TRIP’s-WTO). Persetujuan TRIPs-WTO memuat berbagai norma dan standar perlindungan bagi karya-karya intelektual. Di samping itu, TRIPs-WTO juga mengandung pelaksanaan penegakan hukum di bidang hak kekayaan intelektual (selanjutnya disebut HKI).2

Tujuan utama persetujuan TRIPs-WTO adalah untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap HKI dan untuk menjamin bahwa prosedur serta langkah-langkah penegakan hukum HKI itu sendiri tidak menjadi hambatan-hambatan terhadap perdagangan. Perlunya perlindungan hukum kepada individu terhadap hasil karyanya bermula dari teori hukum alam yang menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal.3

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Right merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap kekayaan intelektual dan menjamin seseorang

1

Adami Chazawi, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), BAyumedia Publishing, Malang, 2007, hal. v.

2

Ahmad Zen Umar Purba, “Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HKI Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.13, April 2001, hal. 8.

3

(13)

dari melanggar meniru atau ditiru karya intelektual dari pihak-orang lain. HKI bermanfaat untuk didapatkan karena nilai komersial yang dimiliki oleh karya intelektual yang dilindungi. Oleh sebab itu HKI menjadi penting ketika ada produk intelektual yang akan dikomersialkan dan oleh sebab itu pencipta karya intelekual membutuhkan perlindungan dalam periode tertentu guna memperoleh manfaat dari komersialisasi karya intelektual.

Presiden Nyrere pernah mengungkapkan, alih teknologi merupakan kewajiban hukum dari negara maju ke negara berkembang, jadi bukan atas dasar belas kasihan.4

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights sendiri

menekankan sistem HKI dimaksudkan untuk:

Contribute to the promotion of technology to he mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conductive to social and economic welfare, and to a balance of right and obligation (Art. 7).

(Terjemahan Penulis: Berperan untuk mempromosikan teknologi, pada keuntungan produsen dan pengguna ilmu pengetahuan teknologi dan hal-hal yang konduktif pada kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan pada keseimbangan hak dan kewajiban).

Jadi di samping amanat alih teknologi terdapat pula pesan, pembangunan itu juga berdimensi sosial. Salah satu cara alih teknologi adalah dengan cara peralihan hak atau lisensi. Perjanjian lisensi sangat erat kaitannya dengan bidang hak kekayaan intelektual, khususnya dalam hal paten.

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, disebutkan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang unuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.5 Hak paten merupakan insentif yang menjadi hak seorang penemu/pencipta suatu teknologi baru.6 Pemberian hak paten bersifat teritorial, yaitu mengikat hanya dalam lokasi tertentu. Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan hukum di beberapa negara atau wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi paten di masing-masing negara atau wilayah tersebut.

Dalam paktik di Indonesia secara kuantitatif permohonan paten hanya sedikit yang berasal dari dalam negeri, selainnya jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Hal

4

A. Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual dan Perjanjian Lisensi, http://www.dgp.go.id/eb.htm, dipublikasikan November 2001, diakses tanggal 29 Februari 2008.

5

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

6

(14)

ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia untuk menghasilkan invensi baru yang dapat diperoleh hak paten belum memperlihatkan angka yang menggembirakan.7 Dalam keadaan seperti ini, untuk menunjang dan mempercepat lahirnya berbagai perjanjian lisensi merupakan konsekuesi logis dari diundangkannya undang-undang paten.

Dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dirumuskan pengertian lisensi sebagai izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi darisuatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertntu. Hal ini berartai ”dengan adanya lisensi paten tersebut, seseorang atau badan hukum berdasarkan suatu perjanjian mempunyai hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang telah diberikan perlindungan hukum dalam jangka waktu dan dengan syarat-syarat tertentu pula”.8

Selain melalui perjanjian lisensi, pengalihan paten dapat pula dilakukan dengan melalui lisensi wajib atau lisensi paksa (compulsory licenses atau other use

without the authorization of the right holder). Istilah compulsory licenses

dipergunakan oleh Paris Convention, sebagaimana diatur dalam Pasal 5A Paris

Convention yang menentukan bahwa pemberian pemberian lisensi wajib untuk paten

dimungkinan, dengan ketentuan bahwa:9

1. Pemberian lisensi wajib tersebut bukan merupakan suatu keharusan, melainkan suatu hal yang diperbolehkan;

2. Lisensi wajib hanya diberikan untuk menghindari atau mencegah

terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran yang diakibatkan dari pelaksanaan hak-hak eksklusif yang telah diberikan oleh negara, misalnya tidak dilaksanakannya paten yang telah diberikan perlindungan tersebut; 3. Dalam hal ketiadalaksanakan paten, maka pembatalan paten hanya dapat

dilakukan sebelum berakhir masa dua tahun dari pemberian lisensi wajib yang pertama;

4. Pemberian lisensi wajib itu sendiri baru dapat diberikan dalam jangka waktu empat tahun terhitung sejak tanggal pengajuan permohonan paten atau tiga tahun terhitung sejak tanggal pemberian paten yang bersangkutan; 5. Lisensi wajib bersifat non-eksklusif dan tidak dapat dialihkan, bahkan ke

dalam bentuk pemberian sublisensi sekalipun.

7

Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan Dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 264.

8

Ibid., hal. 264.

9

(15)

Sedangkan istilah other use without the authorization of the right holder dipergunakan oleh Persetujuan TRIPs/GATT, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 31 yang secara khusus menyebutkan empat pertimbangan yang menjadi dasar pemberian lisensi wajib untuk paten adalah:10

1. Karena keperluan yang sangat mendesak (emergency and extreme urgency); 2. Demi kepentingan praktik persaingan usaha yang tidak sehat

(anti-competitive practices);

3. Daiam rangka penggunaan yang bersifat non-komersial untuk kepentingan umum (public non-commercial);

4. Adanya saling kebergantungan paten yang ada dengan yang sesudahnya

(dependent patents).

Mungkin justifkasi yang paling mendasar untuk HKI adalah bahwa seseorang yang telah mengeluarkan usaha ke dalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah mereka ciptakan. Pendekatan ini menekankan pada kejujuran dan keadilan. Dilihat sebagai perbuatan yang tidak jujur dan tidak adil jika mencuri usaha seseorng tanpa mendapatkan terlebih dahulu persetujuannya. Hal ini sama dengan seseorang menanam padai, dan selanjutnya orang lain ikut serta dan memanennya serta mengambil semua keuntungan dari penjualan pada tersebut tanpa izin.11

Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia se Dunia. ”Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusastraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta”. Argumen moral ini direfleksikan oleh tersedianya hak moral yang tidak dapat dicabut bagi para pencipta di banyak negara, misalnya Perancis dan Jerman.12

Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak semua ciptaan dilindungi oleh hukum. HaKI, hanya ciptaan yang memenuhi persyaratan sepeti diatur dalam undang-undang yang mendapat perlindungan. Adakalanya ciptaan dan invensi yang telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk mencipta, tidak dilindungi, tetapi ciptaan dan invensi tersebut tetap diproduksi (sebagai contoh penemuan ilmiah). Oleh karena itu, landasan pemikiran yang menyatakan bahwa HaKI didasarkan pada insentif tidak selalu benar.13

10

Rachmadi Usman, op. cit., hal. 273.

11

Tim Lindsey, dkk., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alian Law Group Pty Ltd. Bekerjasama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2002, hal. 12.

12

Ibid., hal. 14.

13

(16)

Hampir tidak ada satupun yang dapat menghentikan seorang pencipta menetapkan harga yang sangat tinggi untuk produk atau sesuatu yang dia ciptakan, karena dia memiliki hak eksklusif untuk melakukan segala sesuatu dengan karyanya. Ini berarti bahwa produk atau ciptaan dapat diserahkan kepada publik dengan harga yang ditetapkan. Seorang produsen dapat menetapkan harga yang berarti bahwa kebanyakan orang tidak akan memperoleh keuntungan dari invensi atau ciptaan yang baru. Orang sering menemukan ssuatu (termasuk obat) untuk memperoleh keuntungan. Para inventor atau pencipta ingin mendapatkan pengembalian uang atau apa yang telah mereka keluarkan untuk peneliian dan pengembangan, dan juga untuk keuntungan. Karena mereka memiliki hak monopoli atas invensi tersebut, mereka dapat menetapkan harga yang akan menjadi keuntungan mereka.14

Jika seseorang atau perusahaan memunculkan sebuah ide, orang atau perusahaan tersebut dapat memiliki hak untuk meunda pengembangan lebih lanjut ide tersebut. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut ingin dilakukan. Sebagai contoh, pemilik ide tersebut mungkin melihat beberapa keuntungan dengan menyimpan rapat-rapat hal tersebut, dan tidak ingin memberikan keuntungan kepada para pesaingnya yang memiliki posisi lebih baik untuk memanfaatkan ide tersebut. Pada pencipta juga mungkn ingin mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari produk yang telah ada sebeum memperkenalkan invensi yang baru yang aka membuat produk-produk lama tidak bernilai lagi.15

Kemudian juga, jika hukum HaKI ditegakkan para pencipta akan memperoleh imbalan atas ciptaan yang mereka buat. Ini berarti bahwa harga barang yang mengandung HaKI (seperti VCD dan keset) akan meningkat, dan akan menjadi lebih mahal daripada jika HaKI itu tidak ada. Setiap buku baru, film dan produk-produk lainnya akan menjadi lebih langka dan lebih mahal. Hal ini tidak akan terjadi jika insentif yang lebih efisien diberlakukan. Artinya, informasi dan tekonologi mungkin tidak dapat menjankau sebagian besar masysarakat. Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk dicatat bahwa banyak sekali buku-buku yang diperbanyak dengan cara difotocopy di Indonesia adalah buku-buku bacaan wajib di tingkat sekolah dasar.16

Dengan demikian dari pendapat di atas, dapat dipahami suatu hak paten memberikan hak monopoli atas invensi tersebut yang dapat mengakibatkan harga tinggi. Kemudian juga perusahaan-perusahaan mungkin tidak sepenuhnya

14

Ibid., hal. 17.

15

Ibid., hal. 17-18.

16

(17)

memanfaatkan ciptaan-ciptaan penting mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari produk yang telah ada sebelum memperkenalkan invensi yang baru yang akan membuat produk-produk lama tidak bernilai lagi. Demikian juga royalti akan mengakibatkan harga yang lebih tinggi dan akan mencegah aliran ilmu pengetahuan. Sehingga permasalahan atau kerugian-kerugian lainnya dari sistem HaKI dapat dikurangi atau dihilangkan melalui lisensi wajib atas paten tersebut.

Di Indonesia, ketentuan mengenai lisensi wajib untuk paten diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasat 87 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pasal 74 memberikan rumusan pengertian lisensi wajib sebagai lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan. Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ini, lisensi wajib hanya akan diberikan bila sebelumnya terdapat permohonan suatu pihak kepada Direktorat Jenderal HKI untuk melaksanakan paten yang telah dilindungi. Pengajuan permohonan lisensi wajib tersebut dapat dilakukan oleh setiap pihak setiap saat atau setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten dengan membayar biaya dan diajukan kepada Direktorat Jenderal HKI. Keputusan pemberian lisensi wajib harus dilakukan atau diberikan oleh Direktorat Jenderal.

Dari uraian latar belakang mengenai hak eksklusif pemilik paten dalam lisensi wajib diatas, maka dilakukan penelitian tentang perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib?

2. Bagaimana syarat-syarat dan tata cara peralihan hak paten melalui lisensi wajib? 3. Bagaimana perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib?

2. Untuk mengetahui syarat-syarat dan tata cara peralihan hak paten melalui lisensi wajib

(18)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang hak kekayaan intelekual serta menambah khasanah perpustakaan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang peralihan hak paten, khususnya bagi para notaris, demikian juga bagi para akademisi, pengacara, mahasiswa dan masyarakat umum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian dengan judul ”Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib” Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori

Kerangka teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori perlindungan yang dikemukakan Rachmadi Usman:17

Paten merupakan hak istimewa (eksklusif) yang diberikan kepada seseorang penemu (inventor) atas hasil penemuannya (invention) yang dilakukannya di bidang teknologi, baik yang berbentuk produk atau proses saja. Atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk mendayagunakan hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya atau penemu sendiri melaksanakan hasil penemuannya. Hak istimewa ini diberikan untuk jangka waktu tertentu, setelah itu hasil penemuannya menjadi milik umum. Dengan demikian setiap hasil penemuan yang telah dipatenkan, penemunya akan mendapatkan hak monopoli untuk melaksanakan atau mendayagunakan hasil temuannya tersebut.

Dengan hak monopoli tersebut, penemu paten diwajibkan melaksanakan paten tersebut, yang berarti jika yang bersangkutan tidak melaksanakannya, patennya dicabut. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati hasil penemuan itu. Bagi penemu hak monopoli ini dapat dianggap sebagai suatu penghargaan bagi ide intelektualnya.18

17

Rachmadi Usman, op. cit., hal. 205.

18

(19)

Hak Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 dirumuskan pengertian paten sebagai berikut:

1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

2. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui ada dua istilah yaitu istilah ”invensi” dan istilah ”inventor”, yang perlu dijelaskan pengertan secara yuridis, istilah invensi adalah ide iventor yang dituangkan ke dalam suatu produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Sedangka inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.

Penjelasan undang-undang tentang paten menegaskan bahwa istilah invensi digunakan untuk penemuan dan istilah inventor digunakan untuk penemu. Istilah penemuan diubah menjadi invensi, dengan alasan istilah invensi berasal dari

invention yang secara khusus dipergunakan dalam kaitannya dengan Paten. Dengan

ungkapan lain, istilah invensi jauh lebih tepat dibandingkan dengan istilah penemuan sebab kata penemuan memilik aneka pengertian.

Ciri khas yang dapat dipatenkan adalah kandungan pengetahuan yang sistematis, yang dapat dikomunikasikan, dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah atau kebutuhan manusia yang timbul dalam industri, pertanian atau perdagangan.

M. Mochtar mengemukakan:19

Pengertian teknologi di sini adalah pengetahuan yang sistematis, artinya teorganisasi dan dapat memberikan penyelesaian masalah. Pengetahuan itu harus ada di suatu tempat, dalam bentuk tulisan atau dalam pikiran orang dan harus diungkapkan sehingga dapat dikomunikasikan dari orang yang satu ke yang lainnya. Serta pengetahuan itu harus terarah pada suatu hasil yaitu memberikan manfaa pada industri, pertanian atau perdagangan. Penemuan yang dimaksud merupakan pengetahuan yang sistematis, yang memberikan

19

(20)

jawaban atas suatu masalah dalam suatu bentuk tulisan. Tulisan ini merupakan hasil publikasi yang dimaksudkan sebagai cara mengkomunikasikan pengetahuan itu kepada orang lain. Harus dipahami bahwa publikasi dalam suatu prestasi ilmiah atau publikasi ilmiah. Publikasi tersebut dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk suatu penemuan yang mengandung aspek perlindungan hukum di dalamnya.

Dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten diatur siapa saja yang merupakan subjek paten. Pada dasarnya yang menjadi subjek paten adalah penemu atau yang di dalam undang-undang itu disebut inventor. Dalam undang-undang paten ditentukan bahwa yang berhak memperoleh paten adalah inventor yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan.20 Apabila suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.21

Ketentuan Pasal 10 ini menegaskan bahwa hanya inventor atau yng menerima lebih lanjut hak inventor yang berhak memperoleh paten atas invensi yang bersangkutan. Penerimaan lebih hak inventor tersebut dapat melalui pewarisan, hibah, wasiat, perjanjia tertulis atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.22

Invensi dapat saja dihasilkan oleh mereka yang berada dalam hubungan kerja atau karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya dan pada umumnya mereka dianggap pula sebagai subjek paten. Mengenai siapa yang dianggap sebagai pemilik paten diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, sebagai berikut:

(1) Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu Invensi yang dihasilkan dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap Invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya sekalipun perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk menghasilkan Invensi.

(3) Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari Invensi tersebut.

20

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

21

Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

22

(21)

(4) Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan: 1. dalam jumlah tertentu dan sekaligus;

2. persentase;

3. gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus;

4. gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus; atau 5. bentuk lain yang disepakati para pihak;

6. yang besarnya ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

(5) Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh Pengadilan Niaga.

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sama sekali tidak menghapuskan hak Inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Paten.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 itu, hak ekonomis atas suatu paten dapat dialihkan atau beralih kepada orang lain, karena inventor terikat dalam hubungan kerja atau inventor menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya. Terkecuali diperjanjikan lain, pihak yang berhak memperoleh patennya adalah pihak yang memberikan pekerjaan atau atasannya. Sebagai gantinya, inventornya berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomis yang diperoleh dari invensi tersebut.

Selain inventor atau mereka yang menerima lebih lanjut hak dari inventor yang bersangkutan, dikenal pula ”pemakai terdahulu” yang juga mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap pemakai terdahulu atas invensi yang sama ini, hanya akan diakui bila sebelumnya mengajukan permohonan untuk itu kepada Direktur Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual dan selanjutna akan diberikan surat keterangan pemakai terdahulu.

Dari pengertian paten yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, dapat diketahui bahw objek paten adalah hasil penemuan yang diistilahkan dengan invensi. Undang-undang ini menggunakan terminologi invensi untuk penemuan, dengan alasan istilah invensi berasal dari invention yang secara khusus dipergunakan dalam kaitannya dengan paten.23

Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah:24

Termasuk dalam pengertian penemuan misalnya menemukan benda yang tercecer, sedangkan istilah invensi dalam kaitannya dengan Paten adalah hasil serangkaian kegiatan sehingga tercipta sesuatu yang baru atau tadinya belum

23

Rachmadi Usman, op. cit., hl. 206.

24

(22)

ada (tentu dalam kaitan hubungan antara manusia, dengan kesadaran bahwa semuanya tercipta karena Tuhan). Dalam bahasa Inggris juga dikenal antara lain kata-kata to discover, to find, to get, kata-kata itu secara tajam berbeda artinya dari to invent dalam kaitannya dengan Paten.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, mengenai invensi yang dapat diberi Paten, mengadung 3 (tiga) unsur, yaitu: 1) Invensi yang baru, 2) Mengandun langkah inventif, dan 3) Bidang industri.

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) menyatakan suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapa diduga sebelumnya. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) ditentukan penilaian suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperlihatkan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan dengan hak prioritas.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten: (1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi

tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. (2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum:

a. Tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas.

(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.

Selanjutnya ditegaskan lagi dalam Pasal 7, bahwa Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang:

a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau

pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;

b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;

c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau d. i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;

(23)

Jangka waktu paten sesuai Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatatkan dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

Hak paten sebagai hak milik dapat dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian melalui pewarisan, hibah, wasiat, maupun dengan cara perjanjian atau dengan cara lain yang dibenarkan oleh undang-undang. Pengalihan hak paten dapat dilakukan kepada perorangan maupun kepada badan hukum.

Pengalihan hak dari pemegang paten kepada pihak lain adalah melalui lisensi, yaitu pemberi lisensi (licensor) memberikan hak kepada pihak penerima lisensi (licensee) untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh pemilik paten atau licensor melalui perjanjian lisensi.25 Dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten ditentukan bahwa pengalihan hak paten tidak menghapus hak penemu (hak inventor) untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya dalam paten yang bersangkutan. Hak tersebut merupakan hak moral (moral right).26

Ada kemungkinan licensee memiliki semua kewenangan yang dimiliki licensor melalui modifikasi pembuatan, penjualan dan penggunaan barang-barang yang diberi paten dengan perjanjian secara eksklusif atau perjanjian lisensi noneksklusif.

Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, pemegang paten wajib melaksanakan patennya di wilayah Republik Indonesia. Akan tetapi pemegang paten berhak mengalihkan kepemilikan patennya melalui lisensi. 27 Ada 3 (tiga) macam lisensi yang sering ditemui dalam praktek, yaitu:28

a. Lisensi eksklusif

Dalam perjanjian ini hanya pemegang lisensi yang boleh menjalankan atau menggunakan invensi yang dipatenkan. Setelah menyetujui perjanjian ini, pemegang paten pun tidak lagi berhak menjalankan invensinya. Inilah yang dimaksud dengan ”kecuali diperjanjikan lain”

25

Andirana Krisnawati dan Gazalba Saleh, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 21.

26

Muhammad Djumhana dan R. Djubedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2003, hl. 127.

27

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

28

(24)

b. Lisensi Tunggal

Dalam perjanjian ini pemegang paten mengalihkan patennya kepada pihak lain, tetapi pemegang paten tetap boleh menjalankan haknya sebagai pemegang paten.

c. Lisensi non eksklusif.

Melalui perjanjian ini pemegang paten mengalihkan kepemilikannya kepada sejumlah pihak dan juga tetap berhak menjalankan atau menggunakan patennya.

Di samping lisensi umum yang terbentuk karena kesepakatan antara licensor dengan lisensee, maka dalam dikenal pula lisensi wajib yang terjadi karena keputusan pemerintah atas dasar permohonan pihak lain.

Dalam ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten disebutkan, lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal atas dasar permohonan. Ketentuan lisensi ajib dikenal Konvensi Paris Pasal 5 ayat (2) Art of London yang menyatakan bahwa tiap negara anggota berhak untuk menentukan dalam perundang-undangan nasionalnya bahwa penyalahgunaan hak pemegang paten ini, misalnya karena tidak melakukan pelaksanaan hak patennya, dapat dihindarkan, antara lain dengan memberikan lisensi wajib kepada pihak lain. Akan tetapi ditentukan bahwa pemberian lisensi wajib itu tidak boleh diadakan lebih cepat dari 3 (tiga) tahun setelah hak paten ini diberikan dan pihak pemegang hak paten tidak dapat memberikan alasan yang sah mengapa tidak dapat menggunakannya.

Dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, ditentukan setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada Direktorat Jenderal untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten dengan membayar biaya. Permohonan lisensi-wajib hanya dapat dilakukan dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten. Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat.

2. Konsepsi

(25)

a. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.29

b. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.30

c. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi.31

d. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.32

e. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.33 f. Lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan

berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal atas dasar permohonan.34

g. Perlindungan hukum atas paten adalah perlindungan atas hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.35

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan jenis penelitian

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia, maka penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Penelitian ini dilakukan secara pendekatan yuridis

normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen

yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau

29

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

30

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

31

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

32

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

33

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

34

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

35

(26)

bahan hukum yang lain,36 mengenai perlindungan hukum pemegang hak eksklusif pemilik paten dalam lisensi wajib.

2. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian.37 Oleh karena itu, sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.38

1) Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang mengikat, yang terkait dengan objek penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan perlindungan hukum hak eksklusif pemilik paten dalam lisensi wajib di Indonesia.

3) Bahan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang berkaitan perlindungan hukum hak eksklusif pemilik paten dalam lisensi wajib di Indonesia.

3. Alat pengumpulan data

Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran akan hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dengan menggunakan alat pengumpulan data studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian.

4. Analisa data

Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif.39

36

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13

37

Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 24.

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal.39.

39

(27)

II. HAK EKSKLUSIF ATAS PATEN BAGI PEMEGANG LISENSI WAJIB

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai rezim kepemilikan dengan pemberian Hak eksklusif (exclusive right) bukan bersifat tanpa batas. Article 30 TRIP menetapkan adanya perkecualian dari hak eksklusif Paten yakni:

Member may provide limited exception to the exclusive rights conferred by a patent,provided that such exceptions do not unreasonably conflict with a normal exploitation of the patent and do not unreasonably prejudice the legitimate interests of the patent owner taking into account of the legitimate interests of third party.

Negara boleh mengatur perkecualian secara terbatas hak eksklusif yang lercakup dalam Paten, asalkan perkecualian tersebut tidak secara tanpa alasan yang sah bertentangan dengan eksploitasi normal Paten dan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang paten, serta dengan tetap memperhitungkan kepentingan pihak ketiga.

Salah satu wujud pembatasan hak eksklusif paten adalah aturan mengenai lisensi wajib (compulsory license). Lisensi wajib dalam hal ini dapat diberikan pada dua kategori pengguna yakni Pemerintah (atau badan Pemerintah atau pihak ketiga yang diberi kewenangan oleh Negara) dan pihak ketiga pribadi lainnya.

Perbedaannya didasarkan pada sifat alamiah lisensi dan bukan dari tujuan penggunaan. Sesungguhnya secara alamiah sangat tidak relevan menetapkan persyaratan untuk lisensi, seperti jangka waktu dan royalti, Pemerintah dapat membebankan adanya lisensi wajib pada situasi dan kondisi yang khusus dengan perkecualian dan apabila ada alasan yang serius untuk membenarkan adanya lisensi wajib.

Dalam kaitannya dengan ketentuan Article 7 TRIPs dan dengan memperhitungkan Paragraph 4 Preamble TRIPs, maka keseimbangan antara hak dan kewajiban tidak dapat diperoleh melalui pengurangan hak pemegang hak Paten tanpa penambahan kepentingan kolektif masyarakat luas. Artinya hak individual dari pemegang paten tidak boleh dikurangi untuk kemanfaatan individu yang lain, hanya kepentingan sosial dan kolektiflah yang dapat membenarkan pembebanan lisensi wajib.

Menurut Rahmi Jened:40

Persyaratan lisensi wajib, pertama, Article 27 TRIPs secara implisit mengisyaratkan bahwa Pemerintah tidak boleh membebankan lisensi wajib

40

(28)

berdasarkan alasan kurangnya pekerjaan di wilayah setempat atau lokal. Oleh karena itu, pemegang Paten dapat mengimpor produk yang dipatenkan, termasuk mengimpor produk yang dibuat dengan proses yang telah dipatenkan.

Kedua, lisensi wajib tidak boleh diberikan hanya karena alasan bahwa

pemegang Paten telah menolak memberikan lisensi pada pihak ketiga, karena esensi dari hak eksklusif Paten adalah memang untuk mengecualikan pihak ketiga yang tanpa seizinnya melaksanakan haknya dan menggunakan invensinya. Mengingkari hak ini berarti merusak hak eksklusif Paten tersebut dan hal ini bertentangan dengan tujuan dari standar yang ditetapkan dalam TRIPs. Jadi jika pemegang Paten tidak diberikan hak untuk menolak atau memberi izin pihak lain melalui perjanjian lisensi, maka kewajiban lisensi wajib tidak ada artinya. Justru aturan lisensi wajib ada karena penerima lisensi prospektif sebelumnya telah mencoba memperoleh lisensi secara sukarela (voluntary license), namun ditolak karena tidak sesuai dengan kehendak pemegang Paten. Untuk itu pihak ketiga ini dapat meminta intervensi pemerintah untuk dapat diberikan lisensi wajib. Namun pihak ketiga ini harus berupaya untuk memperoleh lisensi sukarela dahulu, sebelum mengajukan lisensi wajib. Pihak ini juga harus pernah menawarkan persyaratan perjanjian yang layak dalam jangka waktu yang layak dan dengan manfaat komersial yang layak. Waktu yang layak yang ditetapkan Negara anggota lazimnya 90 hari atau 6 (enam) bulan bagi pemegang Paten untuk menanggapi upaya pengajuan lisensi ini. Alasan khusus lisensi wajib adalah:41

a. Untuk memulihkan hak setelah proses hukum atau administratif yang menetapkan adanya praktik yang bersifat antipersaingan (Article 31 (k));

b. Untuk mengizinkan pengeksploitasian Paten yang tidak dapat

dieksploitasi tanpa melanggar paten pihak lain (Article 31(1));

c. Untuk mencegah penyalahgunaan hak pemegang Paten yang diakibatkan dari pelaksanaan hak eksklusifnya (Article 5A (2) dan (3) Paris

Convention);

d. Untuk mengurangi ketiadaan atau tidak tercukupinya pelaksanaan invensi yang dipatenkan (Article 5A(2) dan (3) Paris Convention);

e. Untuk kepentingan masyarakat antara lain, sesuai dengan kebutuhan mendesak suatu Negara atau situasi dan kondisi ekstrem lainnya atau kepentingan masyarakat yang tidak untuk penggunaan komersial (Article 31 (b) TRIPs).

Negara anggota WTO tidak diizinkan untuk menetapkan blanket license dalam ketentuan hukum nasional mereka. Oleh karena itu, lisensi wajib tidak dapat diberikan secara otomatis dan ex officio untuk bidang teknologi tertentu.

41

(29)

Beberapa Negara anggota menetapkan bahwa masalah kesehatan dan nutrisi merupakan area yang sejalan dengan kepentingan publik, sebenarnya tidak salah, namun menjadi masalah ketika dikaitkan dengan produk farmasi. Dalam Doha

Declaration sebagai tindak lanjut TRIPs yang terkait dengan Akses Kesehatan pada

tahun 2002, ditetapkan bahwa setiap Negara anggota memiliki hak untuk menetapkan apa yang dianggap sebagai "keadaan darurat (emergency)" atau "situasi dan kondisi lain yang bersifat amat mendesak (extreme urgency)". Hal yang dapat dianggap sebagai "darurat nasional” mencakup krisis kesehatan masyarakat, termasuk di dalamnya HIV/AIDS, TBCy malaria dan penyakit menular (epidemic) lainnya. Dengan

demikian, jika semua masalah krisis kesehatan masyarakat membenarkan adanya lisensi wajib karena hal itu menyangkut kepentingan publik. namun sebaliknya tidak semua krisis kesehatan publik membenarkan pengecualian persyaratan Article 31 (b) dari negosiasi lisensi sebelumnya. Dalam kasus penggunaan masyarakat untuk kepentingan yang bersifat non-komersial. pemegang Paten memiliki hak untuk diinformasikan penggunaan oleh pemerintah atau pihak lain hanya jika keberadaan Paten diketahui tanpa adanya kebutuhan penelusuran Paten.42

Hukum nasional suatu Negara dapat mensyaratkan agar invensi yang telah diberikan Paten wajib dilaksanakan di Negara yang bersangkutan. Namun demikian pemegang Paten harus diizinkan untuk dibebaskan dirinya dari kewajiban tersebut melalui importasi barang yang dipatenkan (termasuk barang yang dihasilkan dengan proses yang dipatenkan).

Sebagaimana halnya dengan undang-undang paten lainnya di dunia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten mengatur mengenai peralihan kepemilikan paten sebagai suatu kewajiban (lisensi wajib). Permohonan lisensi wajib paten dapat diajukan ke Dirjen HKI jika paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan di Indonesia oleh pemegang paten padahal kesempatan untuk melaksanakannya secara komersial sepatutnya ditempuh, atau telah dilaksanakan oleh pemegang paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat.43

Pasal 80 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten ditentukan bahwa pemberian lisensi wajib tersebut harus dicatat dalam Daftar Umum Paten dan kemudian diumumkan dalam Berita Resmi Paten, setelah dibayarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk itu. Pelaksanaan lisensi wajib dianggap sebagai pelaksanaan paten.

42

Ibid., hal. 143-144.

43

(30)

Selanjutnya pembatalan lisensi wajib untuk paten hanya dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI bila ada permohonan dari pemegang paten yang bersangkutan berdasarkan alasan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 83, yaitu:

(1) Atas permohonan Pemegang Paten, Direktorat Jenderal dapat

membatalkan keputusan pemberian lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab V Bagian Ketiga Undang-undang ini apabila:

a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi-wajib tidak ada lagi; b. penerima lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi-wajib

tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya;

c. penerima lisensi-wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian lisensi-wajib.

(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan diumumkan.

Menurut Pasal 84, lisensi wajib berakhir dengan selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan. Dengan berakhirnya lisensi wajib, penerima lisensi wajib berkewajiban untuk menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Selanjutnya, Direktorat Jenderal HKI akan mencatat dan mengumumkan lisensi wajib yang telah berakhir itu. Dengan demikian, berakhirnya suatu lisensi wajib karena selesainya jangka waktu pemberian lisensi wajib atau pemberian lisensi wajib dibatalkan oleh Direktorat Jenderal HKI. Pasal 85 menegaskan, bahwa berakhir atau batalnya lisensi wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 atau Pasal 84, maka berakibat pulihnya hak pemegang atas paten yang bersangkutan terhitung sejak tanggal pencatatannya.

Kemudian dalam Pasal 86 dinyatakan lisensi wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. Lisensi wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal HKI untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

III. SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PERALIHAN HAK PATEN MELALUI LISENSI WAJIB

(31)

berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Repubiik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 69 tersebut, lisensi paten memberikan hak kepada pihak lain selaku pemegang lisensi paten untuk:

a. dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,

menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produkyang diberi paten;

b. dalam hal paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud di atas;

c. melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan paten proses yang dimilikinya.

Pada dasarnya, perjanjian lisensi ini dimaksudkan sebagai salah satu sarana proses alih teknologi. Dengan adanya perjanjian lisensi, diharapkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia juga dapat menikmati kemajuan. Bahkan, dapat menguasai teknologi yang sama yang berkembang di negara maju. Karena itu, sudah seyogyanya dalam perjanjian lisensi dicantumkan pula klausula yang mewajibkan pemberi lisensi untuk melakukan alih teknologi kepada penerima lisensi.44

Paten diberikan untuk Invensi-invensi dalam bidang teknologi. Negara kita saat ini baru pada tahap pemanfaatan teknologi, belum pada tahap Invensi teknologi. Karena itu, salah satu cara untuk dapat menguasai teknologi adalah dengan melakukan proses alih teknologi. Ada tiga fase alih teknologi ini, yaitu:45

1. Transfer material. Dalam fase ini, alih teknologi seperti ilmu pengetahuan tidak dilakukan tetapi hanya hasil-hasil alih teknologi, misalnya mesin-mesin, bahan, alat-alat yang terkait dengan mesin-mesin dan bahan-bahan itu;

2. Transfer rancang bangun. Dalam fase ini, alih teknologi dilakukan dengan unsur-unsur rancang bangun, misalnya cetak biru (blue prints), desain, formula, dan Iain-Iain. Bahkan, jika penerima transfer dapat membuat barang-barang sesuai dengan rancang bangun ia masih harus mengimpor mesin-mesin, bahan-bahan, dan Iain-lain dari pemberi transfer dan kebergantungan kepada pemberi transfer masih kuat;

3. Alih kemampuan. Dalam fase ini, alih teknologi dilakukan melalui pengalihan ilmu pengetahuan, keahlian keterampilan, dan juga para pakar. Dengan fase ini, penerima transfer dapat membuat tidak hanya berdasar rancang bangun, formula, dan Iain-Iain, tetapi juga perbaikan dan diversifikasi produk.

44

Rachmadi Usman, op. cit., hal. 265.

45

(32)

Terdapat beberapa mekanisme yang banyak dilakukan dalam rangka alih teknologi tersebut, yaitu:46

1. sistem joint venture dengan minoritas asing, partner nasional mengadakan persetujuan know-how dengan partner asing pemegang lisensi asing; 2. pabrik dibangun dengan kontrak turn key antara pengusaha nasional dan

kontraktor asing, tetapi dilengkapi dengan persetujuan lisensi antara pengusaha nasional itu dengan pemegang lisensi melalui kontraktor asing tersebut;

3. pabrik dibangun oleh pengusaha nasional dengan bantuan dari lembaga peneliti riset nasional yang memberikan lisensi know-how atau paten asing yang biasanya masih dalam taraf laboratorium (pilot scale);

4. pabrik dibangun dengan desain dari biro teknik nasional sebagai licensing

agency dari pemegang lisensi teknologi;

5. pabrik dibangun oleh pengusaha nasional berdasarkan lisensi teknologi yang dibeli langsung dari pihak luar negeri yang memegang lisensinya. Di samping lisensi paten, dikenal pula pranata know-how transfer. Dua-duanya merupakan hal yang mirip-mirip, tetapi differensiasinya terletak pada tujuan dari masing-masing pranata tersebut. Dalam lisensi paten terdapat pemberian izin dari pemilik paten kepada pemegang lisensi, dengan suatu imbalan untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya tidak boleh digunakannya. Sedangkan dengan know-how

transfer, juga terdapat semacam pemberian izin (jadi sebenarnya bukan transfer

dalam arti menjual), juga dengan suatu imbalan untuk menggunakan sesuatu, yang sebelumnya pihak yang menerima transfer tidak mengetahui bagaimana cara menggunakannya, dan yang dengan alasan-alasan praktis tidak bermaksud mengembangkannya sendiri. Pengertian transfer di sini sebenarnya sejenis lisensi juga.47

Dengan pemberian lisensi tersebut, tidak menyebabkan pemegang paten kehilangan haknya untuk melaksanakan sendiri paten yang dipunyainya atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan paten yang dipunyainya tersebut. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 70 UU Paten, kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Umumnya, pemilik dan pemegang lisensi akan bernegosiasi dan mengadakan mufakat tentang pemberian pemanfaatan ekonomi HaKI dalam cakupan lisensi. Cakupan lisensi yaitu, batasan mengenai apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan

46

Amir Pamuntjak, Sistem Paten Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, 1994, hal. 13.

47

(33)

pemegang lisensi terhadap HaKI yang dialihkan dan biasanya diuraikan dalam perjanjian lisensi. Perjanjian lisensi atau konrak biasanya tertulis, yang mencakup paling tidak:48

1. Memerinci HaKI yang dilakukan haknya;

2. Mengidentifikasi pemilik HaKI dan hak-hak mereka;

3. Menjelaskan pemegang HaKI dan hak-hak mereka dalam menggunakan HaKI.

4. Menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk mendaftarkan dan melindungi HaKI (biasanya pemilik);

5. Menentukan jangka waktu lisensi (misalnya, satu tahun, tida gahun dan sebagainya);

6. Menentukan apakah lisensi tersebut dapat diperpanjang dan dengan persyaratan yang bagaimana;

7. Menguraikan tindakan atau kerjadian yang melanggar kesepakatan;

8. Menguraikan tindak atau kejadian yang secara otonomatis mengakhiri kontrak;

9. Memutuskn prosedur penyelesaian sengketa;

10.Menentukan hukum yang mengatur masalah kontrak ini.

Perjanjian lisensi bisa merupakan kontrak-kontrak yang sederhana, pendek, atau panjang sangat detil bagaikan sebuah buku. Seringkali perjanjian lisensi merupakan perjanjian standar, dimana licensor (pemilik HaKI) menguasai isi dari kontrak dan tidak ada kemungkinan tawar menawar bagi Penerima Lisensi. Di beberapa Negara, pemerintah akan meneliti apakah kontrak lisensi sesuai dengan: hokum perjanjian, undang-undang, undang-undang hak monopoli, undang-undang penanaman modal, dan kebijakan publik dan kepentingan umum.

Persyaratan dalam perjanjian lisensi merupakan hal yang cukup penting. Jika syarat-syarat dari lisensi tidak dinegosiasikan dan disetujui oleh pihak-pihak, hukum akan menyikapi (atau menganggap) bahwa pihak-pihak tadi tidak membuat persyaratan apapun dalam perjanjian mereka. Sebagai contoh:49

1. Kecuali suatu perjanjian lisensi secara eksplisit menyatakan lisensi tersebut eksklusif, hukum seringkali menganggap bahwa lisensi-lisensi tersebut adalah non-eksklusif.

2. Seorang pemegang lisensi HaKI dianggap mendapatkan semua hak-hak kepemilikan atas HaKI selama jangka waktu yang diperjanjian.

(34)

4. Kecuali perjanjian lisensi menentukan tanggal akhir perjanjian (atau jelas mengenai, berapa kali perjanjian dapat diperpanjang dan untuk berapa lama), hukum akan menganggap bahwa perjanjian lisensi tersebut secara otomatis bisa diperpanjang. Bahkan, jika ada sengketa tentang pemutusan perjanjian hukum akan menyikapi masa pemberitahuan yang panjang (misalnya, 3 bulan sampai 2 tahun) sebelum perjanjian tersebut dapat diakhiri secara hukum.

Di negara-negara tempat perjanjian lisensi harus didaftarkan sebelum diberlakukan, pendaftaran merupakan suatu hal yang penting.50 Pasal 72 UU Paten mewajibkan perjanjian lisensi dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensinya tidak dicatat di Direktorat Jenderal HaKI, perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Ketentuan ini sama dengan Undang-undang Paten yang lama, yang juga mewajibkan perjanjian lisensi untuk didaftarkan pada Kantor Paten dan dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan membayar biaya tertentu. Namun, dalam Undang-undang Paten yang lama, masih belum diatur akibat hukum seandainya perjanjian lisensi itu tidak dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI. Akan tetapi, kini dalam Undang-undang Paten yang baru, mengenai akibat hukum dart perjanjian lisensi yang tidak dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI diancam tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, bahwa perjanjian lisensi tersebut tidak mengikat terhadap pihak ketiga, karena belum dicatat dan diumumkan.

Kewajiban pencatatan dan pengumuman perjanjian paten ini dapat menangkal

restrictive business practice. Hal tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh Mexico,

yang mewajibkan setiap perjanjian lisensi harus didaftarkan. Dengan didaftarkannya perjanjian lisensi tersebut dapat ditangkal perjanjian yang mengandung persyaratan yang tidak adil dan tidak wajar.51

Dalam UU Paten tidak diatur lebih lanjut mengenai ruang lingkup isi dari peerjanjian lisensi paten, hanya Pasal 73 UU Paten mengamanatkan kalau ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi tersebut diatur dengan peraturan pemerintah. Sampai saat ini peraturan pemerintah yang dimaksud masih belum ada. Karena itu, pembuatan perjanjian lisensi tetap tunduk pada ketentuan umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Namun, secara khusus Pasal 71 UU Paten melarang dicantumkannya ketentuan dalam perjanjian lisensi paten yang berisikan ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan

50

Ibid., hal. 335.

51

(35)

bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. Dalam hal ini Direktorat Jenderal HaKI mempunyai hak menolak permohonan pencatatan perjanjian lisensi paten yang memuat ketentuan tersebut.52

Ketentuan Pasal 71 ini justru sebenarnya kembali kepada kesiapan bangsa Indonesia untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang timbul dari perjanjian lisensi itu. Kadang-kadang mungkin dalam kajian ekonomi mikro ada hal-hal yang terlihat merugikan, tetapi dalam kajian ekonomi makro, justru untuk jangka waktu yang panjang akan memberikan keuntungan sendiri. Oleh karena itu, dalam hal perjanjian lisensi ini pemerintah seyogyanya melibatkan para pakar ekonomi dan politik, khususnya pakar politik ekonomi internasional. Agar pilihan untuk perjanjian lisensi itu tidak semata-mata atas pertimbangan kepentingan ekonomi nasional yang bersifat sesaat, tetapi untuk jangka waktu yang panjang, sekaligus menjadikan negara ini berwibawa di masa dunia. Dengan demikian, untuk jangka panjang menarik minat para investor asing, untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Oleh karena itu pula, ketentuan tersebut perlu menghendaki pertimbangan yang benar-benar matang secara ekonomi, matang secara politik dan akhirnya dapat memberikan solusi juridis yang tepat.53

Pengalihan paten, selain melalui perjanjian lisensi (sukarela), dapat pula dilakukan dengan melalui lisensi wajib atau lisensi paksa (compulsory licenses atau

other use without the authorization of the right holder).

Istilah compulsory licenses dipergunakan oleh Paris Convention, dalam Pasal 5A Paris Convention disimpulkan bahwa pemberian lisensi wajib untuk paten dimungkinan, dengan ketentuan bahwa:54

1. pemberian lisensi wajib tersebut bukan merupakan suatu keharusan, melainkan suatu hal yang diperbolehkan;

2. lisensi wajib hanya diberikan untuk menghindari atau mencegah terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran yang diakibatkan dari pelaksanaan hak-hak eksklusif yang telah diberikan oleh negara, misalnya tidak dilaksanakannya paten yang telah diberikan perlindungan tersebut; 3. dalam hal ketiadalaksanakan paten, maka pembatalan paten hanya dapat

dilakukan sebelum berakhir masa dua tahun dari pemberian lisensi wajib yang pertama;

52

Rahmadi Usman, op. cit., hal. 268.

53

Saidin, op. cit., hal. 195.

54

(36)

4. pemberian lisensi wajib itu sendiri baru dapat diberikan dalam jangka waktu empat tahun terhitung sejak tanggal pengajuan permohonan paten atau tiga tahun terhitung sejak tanggal pemberian paten yang bersangkutan; 5. lisensi wajib bersifat non-eksklusif dan tidak dapat dialihkan,

bahkan ke dalam bentuk pemberian sublisensi sekalipun.

Kemudian mengenai lisensi wajib untuk paten juga disebutkan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 44 dan mengenai lisensi hak disebutkan dalam Pasal 45

Paris Convention, Model Law for Developing Countries on Inventions. Dari

pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa lisensi wajibnya juga akan bersifat non eksklusif dan pemberiannya didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:55

a. invensi yang telah mendapat perlindungan paten tersebut telah

dilaksanakan di dalam negeri, tetapi pelaksanaan belum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan;

b. pelaksanaan Invensi di dalam negeri tidak memenuhi syarat-syarat yang layak bagi permintaan akan produk;

c. pelaksanaan Invensi di dalam negeri terhambat atau dirintangi oleh kepentingan produk barang yang telah mendapat perlindungan paten; d. dengan alasan penolakan dari pemegang paten untuk memberikan

lisensi-lisensi atas dasar syarat-syarat yang layak, pengadaan atau pengembangan kegiatan-kegiatan perindustrian atau komersial di dalam negeri dipraduga secara tidak wajar dan dapat merugikan sekali;

e. paten produk dan paten proses tersebut dinyatakan penting sekali untuk pertahanan atau perekonomian negara atau untuk kesehatan masyarakat umum (publik);

f. jika invensinya digunakan untuk melayani tujuan-tujuan perindustrian yang berbeda dari tujuan-tujuan Invensi yang sebelumnya atau merupakan kemajuan teknik yang penting sehubungan dengan Invensi yang telah diberikan paten

Sedangkan istilah other use without the authorization of the right holder dipergunakan oleh Persetujuan TRIPs/GATT. Berdasarkan Pasal 31 Persetujuan TRIPs/GATT diketahui bahwa Persetujuan TRIPs/GATT secara khusus menyebutkan empat pertimbangan yang menjadi dasar pemberian lisensi wajib untuk paten, yaitu:56

1. Karena keperluan yang sangat mendesak (emergency and extreme urgency); 2. demi kepentingan praktik persaingan usaha yang tidak sehat

(anti-competitive practices);

3. Dalam rangka penggunaan yang bersifat non-komersial untuk kepentingan umum (public non-commercial);

4. Adanya saling kebergantungan paten yang ada dengan yang sesudahnya

(dependent patents).

55

Rahmadi Usman, op. cit., hal. 270-271.

56

Referensi

Dokumen terkait

apakah citra Kereta Api Prambanan Ekspres dimata Komunitas Pramekers Joglo sudah sesuai dengan citra yang diharapkan perusahaan mengenai Kereta Api Prambanan Ekspres

(1) Sistem mengimplementasikan fitur – fitur seperti Input data supplier dan Input bobot tiap kriteria data kriteria tiap – tiap supplier menggunakan metode AHP serta output

Tujuan penulis memilih game edukasi untuk memperkenalkan rumah adat yang ada di Indonesia karena dengan game edukasi maka remaja pun tidak akan merasa bosan karena game

Masalah yang timbul saat ini adalah kepala perusahaan kesulitan dalam mengetahui sepatu apa saja yang paling banyak dipesan, sering terjadinya pemesanan/pencarian

Komponen produksi pada tanaman jarak pagar diataranya adalah jumlah bunga betina, rasio bunga betina dan jantan, jumlah buah yang jadi, jumlah biji per buah dan bobot kering

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses klientisasi, yaitu: (a) Faktor ekonomi; petani mempunyai modal yang terbatas sehingga mereka sering melakukan pinjaman ke

Bobot Nilai Waktu Referen si 5-6 Keseimbangan Energi  Kandungan energi makanan  Nilai energi makanan  Kebutuhan energi  Cara menaksir kebutuhan energi Ceramah,

bahwa dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler