• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Abnormalitas Gambaran EKG (Peningkatan Dispersi QT) Dengan Luas Dan Lokasi Lesi Pada Penderita Stroke Akut Tanpa Riwayat Penyakit Jantung Sebelumnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Abnormalitas Gambaran EKG (Peningkatan Dispersi QT) Dengan Luas Dan Lokasi Lesi Pada Penderita Stroke Akut Tanpa Riwayat Penyakit Jantung Sebelumnya"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ABNORMALITAS GAMBARAN EKG

( PENINGKATAN DISPERSI QT ) DENGAN LUAS

DAN LOKASI LESI PADA PENDERITA STROKE

AKUT TANPA RIWAYAT PENYAKIT JANTUNG

SEBELUMNYA

T E S I S

Oleh

MOYA DEWI MARLENNY

Nomor Register CHS : 16313

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP.H. ADAM MALIK

MEDAN

(2)

HUBUNGAN ABNORMALITAS GAMBARAN EKG

( PENINGKATAN DISPERSI QT ) DENGAN LUAS

DAN LOKASI LESI PADA PENDERITA STROKE

AKUT TANPA RIWAYAT PENYAKIT JANTUNG

SEBELUMNYA

T E S I S

Untuk memperoleh spesialisasi dalam Program Studi

Ilmu Penyakit Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

MOYA DEWI MARLENNY

Nomor Register CHS : 16313

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP.H. ADAM MALIK

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : HUBUNGAN ABNORMALITAS GAMBARAN

EKG (PENINGKATAN DISPERSI QT ) DENGAN

LUAS DAN LOKASI LESI PADA PENDERITA

STROKE AKUT TANPA RIWAYAT PENYAKIT

JANTUNG SEBELUMNYA

Nama : Moya Dewi Marlenny

Nomor Register CHS : 16313

Program Studi : Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Yuneldi Anwar, SpS(K) Prof.Dr.Darulkutni Nasution, SpS(K)

Narasumber

Prof. dr. A. Afif Siregar, SpA(K),SpJP(K)

Mengetahui / mengesahkan

(4)

Tanggal lulus :

Telah diuji pada :

Selasa, 25 Mei 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, SpS(K)

2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, SpS(K)

3. Prof. A. Afif Siregar, SpA (K), SpJP(K)

4. Dr. Darlan Djali Chan, SpS

5. Dr. Yuneldi Anwar, SpS(K)

6. Dr. Rusli Dhanu, SpS(K)

7. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, SpS

8. Dr. Aldy S. Rambe, SpS

9. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS

10. Dr. Khairul P. Surbakti, SpS

11. Dr. Cut Aria Arina, SpS

12. Dr. Kiki M. Iqbal, SpS

13. Dr. Alfansuri Kadri, SpS

14. Dr. Dina Listyaningrum, SpS, Msi. Med

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa

atas segala berkah, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan

kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan

salah satu tugas akhir dalam program pendidikan spesialis di Bidang Ilmu

Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian

dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu

dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang

berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan

penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Dr.

H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan

fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K),

(Rektor Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS),

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. Dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K) (Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai

PPDS), yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program

pendidikan Dokter Spesialis Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

(6)

dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) (Kepala

Bagian Neurologi saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah

menerima saya untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan

selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. DR. Dr. Hasan

Sjahrir, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta

bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Dr. H. Hasanuddin Rambe, Sp.S(K), (Ketua

Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia

menerima penulis menjadi peserta didik serta memberi bimbingan dalam

menjalankan proses pendidikan.

Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. Rusli Dhanu,

Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan dan arahan

dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis

sampaikan kepada Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) dan Prof. Dr. Darulkutni

Nasution, Sp.S(K), selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah

mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari

perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis

sampaikan kepada Prof. Dr. A. Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K), selaku

narasumber dari Divisi Kardiologi yang dengan tulus membantu dan

mengarahkan penulis dalam pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

Kepada guru-guru saya, Dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K),

almarhum., Dr. LBM. Sitorus, Sp.S., Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S., Dr.

(7)

Ritarwan, MKT, Sp.S., Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S., Dr. Puji Pinta O. Sinurat,

Sp.S., Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S., Dr. Cut Aria Arina, Sp.S., Dr. Kiki M.

Iqbal, Sp.S, Dr. Alfansuri Kadri, SpS, Dr. Dina Listyaningrum, SpS,

Msi.Med, Dr. Aida Fitri, SpS dan lain-lain yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun

Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP. H. Adam

Malik Medan, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas

segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.

Kepada Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing statistik

yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktunya

dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya.

Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan

kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat

mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.

Direktur Rumah Sakit Tembakau Deli, Kepala Rumkit Putri Hijau,

Direktur RSU. Ferdinand Lumban Tobing Sibolga, Direktur RS. Sri Pamela

Tebing Tinggi yang telah menerima saya saat menjalani stase pendidikan

spesialisasi, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Ucapan terima kasih penulis kepada dr. Anggia C. Lubis dan

seluruh teman sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU /

RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dalam

pelaksanaan dan pembuatan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus,

Sukirman Ariwibowo dan Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan

kepada kedua orang tuaku, Dr. H. Anwarsjah Osmansjah dan H. Frieda

Siregar, yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan

(8)

serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti

pendidikan ini sampai selesai.

Ucapan terima kasih kepada kedua Bapak / Ibu mertua saya,

Kolonel (Purn) H. Nasrun Haruna dan Hj. Titiek Nasrun, yang selalu

memberikan dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus agar

tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

Teristimewa kepada suamiku tercinta Kapten Arh Ari Trisenta

Nursanto, dan ananda Arya Maulana Nursanto yang selalu dengan sabar

dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih

sayang dalam suka dan duka, saya ucapkan terimakasih yang

setulus-tulusnya.

Kepada kakakku Dr. Novriyanti D.A dan Novamira D.A, SS beserta

seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan,

pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini,

penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya

sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya

haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah

melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua. Akhirnya penulis

mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, Mei 2010

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Dr. Moya Dewi Marlenny

Tempat / tanggal lahir : Medan, 15 Maret 1978

Agama : Islam

Pekerjaan : -

Nama Ayah : Dr. H. Anwarsjah Osmansjah

Nama Ibu : Hj. Frieda Siregar

Nama Suami : Kapten Arh. Ari Trisenta Nursanto

Nama Anak : Arya Maulana Nursanto

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SD. Negeri Percobaan Medan tamat tahun 1990.

2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Medan tamat tahun

1993.

3. Sekolah Menengah Atas di SMA. Negeri 4 Medan tamat tahun 1996.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR SINGKATAN xi

DAFTAR LAMBANG xiii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

ABSTRAK xvii

ABSTRACT xviii

BAB I. PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Perumusan Masalah 6

I.3. Tujuan Penulisan 6

I.3.1. Tujuan Umum 6

I.3.2. Tujuan Khusus 7

I.4. Hipotesis 8

I.5. Manfaat Penelitian 8

(11)

HALAMAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 9

II.1. STROKE 9

II.1.1. Definisi 9

II.1.2. Epidemiologi 9

II.1.3. Klasifikasi 10

II.2. ELEKTROKARDIOGRAFI 11

II.2.1. EKG Normal 11

II.2.2. INTERVAL QT DAN DISPERSI QT 13

II.2.2.1. Definisi 13

II.2.2.2. Nilai Normal Interval QT dan Dispersi QT 14

II.2.2.3. Patofisiologi Perpanjangan Interval QT 14

II.2.2.4. Etiologi 16

II.2.2.5. Gambaran EKG Interval QT Memanjang 17

II.2.3. MEKANISME PERPANJANGAN INTERVAL QT

PADA STROKE 18

II.4. COMPUTED TOMOGRAPHY SCAN (CT-scan)

DAN VOLUME INFARK 22

II.5. OUTCOME STROKE DAN INSTRUMEN 23

II.6. KERANGKA KONSEPSIONAL 27

BAB III. METODE PENELITIAN 28

III.1. TEMPAT DAN WAKTU 28

III.2. SUBJEK PENELITIAN 28

(12)

HALAMAN

III.4. INSTRUMEN 34

III.4.1. Computer Tomography scan (CT Scan) 35

III.4.2. Elektrokardiografi (EKG) 35

III.4.2.1. Analisa Interval QT 35

III.4.2.2. Interpretasi pengukuran 36

III.4.3. Outcome Stroke 37

III.5. RANCANGAN PENELITIAN 38

III.6. PELAKSANAAN PENELITIAN 38

III.6.1. Teknik Pengambilan Sampel 38

III.6.2. Kerangka Operasional 40

III.6.3. Variabel Yang Diamati 41

III.6.4. Analisa Statistik 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 43

IV.1. HASIL PENELITIAN 40

IV.1.1. Karakteristik Penelitian 40

IV.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian 40

IV.1.3. Hasil Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) 46

IV.1.3.1. Gambaran Elektrokardiografi pada penderita

Stroke dan kelompok kontrol 46

IV.1.3.2. Abnormalitas gambaran EKG (peningkatan dispersi QTc) pada penderita stroke dan

(13)

HALAMAN

IV.1.4. Distribusi lokasi lesi berdasarkan hasil

Head CT- scan 48

IV.1.5. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS 49

IV.1.5.1. Rerata nilai NIHSS, BI dan mRS 49

IV.1.5.2. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS berdasarkan titik potong luas (volume)

lesi 50 cm3 52

IV.1.5.3. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS

berdasarkan lokasi lesi 53

IV.1.6. Hubungan antara nilai QTcd dengan luas

(volume) lesi dan lokasi lesi 55

IV.1.7. Hubungan antara nilai QTcd dengan tipe stroke 56

IV.1.8. Hubungan antara nilai QTcd dengan skor NIHSS,

BI dan mRS 57

IV.1.9. Hubungan antara nilai QTcd dengan faktor resiko 58

IV.2. PEMBAHASAN 59

IV.2.1. Karakteristik demografi subjek penelitian 60

IV.2.2. Gambaran Elektrokardiografi (EKG) dan Abnormalitas gambaran EKG (peningkatan

dispersi QTc) pada penderita stroke dan kelompok

kontrol 62

IV.2.3. Hubungan antara nilai QTcd dengan luas (volume)

lesi dan lokasi lesi 63

IV.2.4. Hubungan antara nilai QTcd dengan tipe stroke 65

(14)

HALAMAN

IV.2.6. Hubungan antara nilai QTcd dengan faktor resiko 66

IV.2.6. Hubungan skor NIHSS, BI dan mRS dengan

luas lesi dan lokasi lesi 66

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 69

V.1. KESIMPULAN 69

V.2. SARAN 70

DAFTAR PUSTAKA 71

(15)

DAFTAR SINGKATAN

BI : Barthel Index

CRP : C-reactive protein

CT : Computed Tomography

CVA : Cerebrovascular Accident

CVD : Cerebrovascular Disease

DM : Diabetes Mellitus

EKG : Elektrokardiografi

EADs : Early after depolarizations

mRS : Modified Rankin Scale

MI : Myocard Infarct

MVP : Mitral Valve Prolaps

NCCT : Non-Contrast Computed Tomography

NIHSS : National Institute of Health Stroke Scale

PIS : Perdarahan Intraserebral

PSA : Perdarahan Subarakhnoid

PJK : Penyakit Jantung Koroner

QTc : QT corrected

QTcd : QTcorrected Dispersion

SD : Standart Deviation

(16)

SKG : Skala Koma Glasgow

SKRT : Survey Kesehatan Rumah Tangga

SPSS : Statistical Product and Science Service

TIA : Transient Ischemic Attack

(17)

DAFTAR LAMBANG

α : alfa

β : beta

cm : Centimeter

d : Desi

L : Liter

mg : Miligram

mm : Milimeter

n : Besar sampel

p : Tingkat kemaknaan

O2 : Oksigen

r : Koefisien korelasi

Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai α (0,01) yang telah ditentukan

Æ 1,96

Zβ : Nilai baku berdasarkan nilai β (0,15) yang ditentukan oleh peneliti

Æ 1,036

(18)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian 45

Tabel 2. Gambaran EKG pada penderita stroke dan

kelompok kontrol 46

Tabel 3. Abnormalitas gambaran EKG pada penderita

stroke dan kelompok kontrol 47

Tabel 4. Rerata Dispersi QTc (QTcd) pada penderita stroke

akut dan kelompok kontrol 48

Tabel 5. Distribusi lokasi lesi berdasarkan hasil Head CT-scan 49

Tabel 6. Rerata nilai NIHSS, BI dan mRS 51

Tabel 7. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS

berdasarkan titik potong volume lesi 50 cm3 52

Tabel 8. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS berdasarkan

lokasi lesi 54

Tabel 9. Distribusi rerata nilai QTcd berdasarkan volume lesi 55

Tabel 10. Distribusi rerata nilai QTcd berdasarkan lateralisasi

Hemisfer 56

Tabel 11. Distribusi rerata nilai QTcd berdasarkan tipe stroke 56

Tabel 12. Hubungan antara nilai QTcd dengan skor NIHSS, BI

dan mRS 58

(19)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 1. EKG Normal 13

Gambar 2. Hubungan antara fase Potensial Aksi Jantung dan

EKG Permukaan 16

Gambar 3. EKG penderita dengan perdarahan subarkhnoid akut 18

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN

Lampiran 1. Surat Persetujuan Ikut dalam Penelitian 77

Lampiran 2. Lembar Pengumpul Data 78

Lampiran 3. National Institute of Health Stroke Scale 84

Lampiran 4. Barthel Index 86

Lampiran 5. Modified Rankin Scale 87

Lampiran 6. Surat Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan 88 FK-USU

Lampiran 7. Karakteristik Data Penelitian Penderita Stroke 89

(21)

ABSTRAK

Latar belakang : Pada kebanyakan negara-negara industri, penyakit jantung dan serebrovaskular masih merupakan penyebab morbiditas, kecacatan dan kematian terbanyak. Penderita stroke mengalami peningkatan resiko perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG). Abnormalitas EKG yang paling sering berhubungan dengan stroke adalah perpanjangan interval QT, dijumpai pada 71% penderita perdarahan subarakhnoid, 64% penderita perdarahan intraparenkim dan 38% penderita stroke iskemik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan abnormalitas gambaran ekg (peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita stroke akut .

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap 21 penderita stroke akut yang dirawat di Bangsal Neurologi dan 21 penderita non stroke (kontrol) yang datang di Poliklinik Neurologi FK-USU/RSUP.H.Adam Malik Medan periode Juni 2009 hingga Maret 2010. Diagnosis stroke dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan neurologik serta neuroimejing. Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan tiga kali pada penderita stroke (hari pertama,ketujuh dan keempatbelas. dan satu kali pada kelompok kontrol. Pengukuran outcome dilakukan dengan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index

(BI) dan Modified Rankin Scale (mRS) pada hari pertama, ketujuh dan keempat belas.

Hasil : Dua puluh satu orang penderita stroke akut dan 21 orang kelompok kontrol diteliti pada penelitian ini. Penderita stroke terdiri dari 15 orang (71,4%) laki-laki dan 6 (28,6%) orang perempuan dengan rerata umur 59,24 tahun. Tipe stroke yang terbanyak adalah stroke iskemik (SI) berjumlah 15 orang (71,4%) dan stroke hemoragik 6 orang (28,6%). Sebelas (52,4%) lesi berada di hemisfer kanan dan sepuluh (47,6%) lesi di hemisfer kiri, dimana 81% (n=17) dengan volume lesi < 50 cm3 dan sisanya 19% (n=4) dengan volume lesi ≥ 50 cm3. Diperoleh nilai rerata dispersi QTc pada penderita stroke sebesar 52,22 milidetik dan kelompok kontrol 29, 52 milidetik. Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara nilai dispersi QTc dengan luas lesi, lokasi lesi dan tipe stroke (p>0,05). Terdapat korelasi positif antara nilai dispersi QTc dengan skor NIHSS hari pertama (r=0,201, p=0,382), hari ketujuh (r=0,424, p=0,055),hari keempatbelas (r=0,451, p=0,04) dan mRS hari pertama (r=0,282, p=0,215), hari ketujuh (r=0,347, p=0,124), hari keempatbelas (r=0,398, p=0,074) ; serta berkorelasi negatif dengan skor BI hari pertama (r= -0,303, p=0,182), hari ketujuh (r= -0,464, p=0,034) dan hari keempatbelas (r=-0,477, p=0,029).

Kesimpulan :: Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara peningkatan dispersi QT dengan luas lesi, lokasi lesi dan tipe stroke. Namun peningkatan dispersi QT berhubungan bermakna dengan penurunan skor NIHSS dan peningkatan skor BI.

(22)

ABSTRACT

Background : Cerebrovascular disease and heart disease are still major causes of morbidity, disablitity and death in most industrialized countries. Subjects with stroke had a higher risk to have the abnormality in their electrocardiography features. The most common electrocardiographic changes associated with stroke was QT prolongation interval, which was found in 71% subarachnoid patients, 64% intraparenchyma haemorrhage and remaining 38% with ischemic stroke. The aim of this study is to investigate the relationship between electrocardiographic changes ( The increased of QT dispersion) with lesion size and lesion localization in acute stroke patients.

Methods : This was cross sectional study of 21 acute stroke patients and 21 control group admitted to Neurological ward at School of Medicine, University of Sumatera Utara / H.Adam Malik Hospital Medan, from June 2009 to March 2010. Diagnosis of stroke was established on history, physical and neurological examinations and neuroimaging. Electrocardiographic examination was done three times for acute stroke patients and once for the control group. Outcome was measured with National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index (BI) and Modified Rankin Scale (mRS) on first, seventh and fourteenth days.

Results : Twenty one stroke patients and 21 control were included in this study. The stroke patients consisted of 15(71,4%) male and 6 (28,6%) female, mean of age was 59,24 years old. The most common stroke type was ischemic stroke , was found in 15 patients (71,4%) and haemorrhagic stroke in 6 patients (28,6%). Eleven right hemispheric lesion (52,4%) and 10 left hemispheric lesión(47,6%) , which it was found in 81% (n=17) with lesión size < 50 cm3 dan others 19% (n=4) with lesión size ≥ 50 cm3. There were QTc dispersión value in acute stroke as 52,22 msec dan the control group as 29, 52 msec. There were no significant correlation between QTc dispersión value with lesión size, lesión localization and stroke type (p<0,05). There were positive correlation between QTc dispersión value with NIHSS score in first day (r=0,201, p=0,382), seventh day (r=0,424, p=0,055), fourteenth day (r=0,451, p=0,04) and mRS score in first day (r=0,282, p=0,215), seventh day (r=0,347, p=0,124), fourteen day (r=0,398, p=0,074) ; and negative correlation with BI score in first day (r= -0,303, p=0,182), seventh day (r= -0,464, p=0,034) and fourteen day (r=-0,477, p=0,029).

Conclusions: There were no significant correlation between the increased QT dispersion with lesion size, lesion localization and stroke type. However, the increased QT dispersion were significant correlation with decreased NIHSS score and increased BI score.

Key words : QTc dispersion – Acute Stroke – Lesion size and Lesion localization -Stroke type - Outcome

(23)

ABSTRAK

Latar belakang : Pada kebanyakan negara-negara industri, penyakit jantung dan serebrovaskular masih merupakan penyebab morbiditas, kecacatan dan kematian terbanyak. Penderita stroke mengalami peningkatan resiko perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG). Abnormalitas EKG yang paling sering berhubungan dengan stroke adalah perpanjangan interval QT, dijumpai pada 71% penderita perdarahan subarakhnoid, 64% penderita perdarahan intraparenkim dan 38% penderita stroke iskemik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan abnormalitas gambaran ekg (peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita stroke akut .

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap 21 penderita stroke akut yang dirawat di Bangsal Neurologi dan 21 penderita non stroke (kontrol) yang datang di Poliklinik Neurologi FK-USU/RSUP.H.Adam Malik Medan periode Juni 2009 hingga Maret 2010. Diagnosis stroke dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan neurologik serta neuroimejing. Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan tiga kali pada penderita stroke (hari pertama,ketujuh dan keempatbelas. dan satu kali pada kelompok kontrol. Pengukuran outcome dilakukan dengan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index

(BI) dan Modified Rankin Scale (mRS) pada hari pertama, ketujuh dan keempat belas.

Hasil : Dua puluh satu orang penderita stroke akut dan 21 orang kelompok kontrol diteliti pada penelitian ini. Penderita stroke terdiri dari 15 orang (71,4%) laki-laki dan 6 (28,6%) orang perempuan dengan rerata umur 59,24 tahun. Tipe stroke yang terbanyak adalah stroke iskemik (SI) berjumlah 15 orang (71,4%) dan stroke hemoragik 6 orang (28,6%). Sebelas (52,4%) lesi berada di hemisfer kanan dan sepuluh (47,6%) lesi di hemisfer kiri, dimana 81% (n=17) dengan volume lesi < 50 cm3 dan sisanya 19% (n=4) dengan volume lesi ≥ 50 cm3. Diperoleh nilai rerata dispersi QTc pada penderita stroke sebesar 52,22 milidetik dan kelompok kontrol 29, 52 milidetik. Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara nilai dispersi QTc dengan luas lesi, lokasi lesi dan tipe stroke (p>0,05). Terdapat korelasi positif antara nilai dispersi QTc dengan skor NIHSS hari pertama (r=0,201, p=0,382), hari ketujuh (r=0,424, p=0,055),hari keempatbelas (r=0,451, p=0,04) dan mRS hari pertama (r=0,282, p=0,215), hari ketujuh (r=0,347, p=0,124), hari keempatbelas (r=0,398, p=0,074) ; serta berkorelasi negatif dengan skor BI hari pertama (r= -0,303, p=0,182), hari ketujuh (r= -0,464, p=0,034) dan hari keempatbelas (r=-0,477, p=0,029).

Kesimpulan :: Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara peningkatan dispersi QT dengan luas lesi, lokasi lesi dan tipe stroke. Namun peningkatan dispersi QT berhubungan bermakna dengan penurunan skor NIHSS dan peningkatan skor BI.

(24)

ABSTRACT

Background : Cerebrovascular disease and heart disease are still major causes of morbidity, disablitity and death in most industrialized countries. Subjects with stroke had a higher risk to have the abnormality in their electrocardiography features. The most common electrocardiographic changes associated with stroke was QT prolongation interval, which was found in 71% subarachnoid patients, 64% intraparenchyma haemorrhage and remaining 38% with ischemic stroke. The aim of this study is to investigate the relationship between electrocardiographic changes ( The increased of QT dispersion) with lesion size and lesion localization in acute stroke patients.

Methods : This was cross sectional study of 21 acute stroke patients and 21 control group admitted to Neurological ward at School of Medicine, University of Sumatera Utara / H.Adam Malik Hospital Medan, from June 2009 to March 2010. Diagnosis of stroke was established on history, physical and neurological examinations and neuroimaging. Electrocardiographic examination was done three times for acute stroke patients and once for the control group. Outcome was measured with National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index (BI) and Modified Rankin Scale (mRS) on first, seventh and fourteenth days.

Results : Twenty one stroke patients and 21 control were included in this study. The stroke patients consisted of 15(71,4%) male and 6 (28,6%) female, mean of age was 59,24 years old. The most common stroke type was ischemic stroke , was found in 15 patients (71,4%) and haemorrhagic stroke in 6 patients (28,6%). Eleven right hemispheric lesion (52,4%) and 10 left hemispheric lesión(47,6%) , which it was found in 81% (n=17) with lesión size < 50 cm3 dan others 19% (n=4) with lesión size ≥ 50 cm3. There were QTc dispersión value in acute stroke as 52,22 msec dan the control group as 29, 52 msec. There were no significant correlation between QTc dispersión value with lesión size, lesión localization and stroke type (p<0,05). There were positive correlation between QTc dispersión value with NIHSS score in first day (r=0,201, p=0,382), seventh day (r=0,424, p=0,055), fourteenth day (r=0,451, p=0,04) and mRS score in first day (r=0,282, p=0,215), seventh day (r=0,347, p=0,124), fourteen day (r=0,398, p=0,074) ; and negative correlation with BI score in first day (r= -0,303, p=0,182), seventh day (r= -0,464, p=0,034) and fourteen day (r=-0,477, p=0,029).

Conclusions: There were no significant correlation between the increased QT dispersion with lesion size, lesion localization and stroke type. However, the increased QT dispersion were significant correlation with decreased NIHSS score and increased BI score.

Key words : QTc dispersion – Acute Stroke – Lesion size and Lesion localization -Stroke type - Outcome

(25)

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak yang ketiga di

Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker, demikian juga di

berbagai negara di dunia (Hacke dkk, 2003; Blecic, 2001; Sacco, 2001;

Caplan, 2000).

Di Indonesia, menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun 1995, stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan

kecacatan yang utama yang harus ditangani dengan segera, tepat dan

cermat (Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi,

1999).

Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional

dengan 20% penderita yang masih bertahan hidup membutuhkan

perawatan institusi setelah 3 bulan dan 15-30% menjadi cacat permanen

(Goldstein dkk, 2006).

Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat

dengan bertambahnya usia dan merupakan penyebab kecacatan yang

utama diantara semua orang dewasa dan kecacatan yang memerlukan

fasilitas perawatan jangka panjang diantara populasi usia tua (Johnson

dan Kubal, 1999; Ropper and Brown, 2005; Gilroy, 2000 ).

Berbagai komplikasi dapat terjadi setelah serangan stroke, salah

satu diantaranya adalah komplikasi kardiovaskular (Adams dkk, 2003).

(26)

penderita stroke akut harus dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi

(EKG) (Adams dkk, 2007; Khechinashvili dkk, 2002).

Elektrokardiografi merupakan alat yang sederhana, sangat berguna

dan tersedia untuk mendiagnosa kelainan jantung (Mieghem dkk, 2004;

Okin dkk, 2004). EKG yang dilakukan segera setelah penderita tiba di

rumah sakit dapat digunakan untuk mengidentifikasi penderita yang

memiliki resiko tinggi yang memerlukan penanganan segera (Savonitto

dkk, 2006).

Perubahan gambaran EKG pada fase akut stroke telah dilaporkan

sejak tahun 1947. Sejak saat itu, banyak penelitian yang mempublikasikan

perubahan gambaran EKG, seperti aritmia, abnormalitas hantaran dan

repolarisasi pada penderita akut stroke (Khechinashvili dkk, 2002).

Abnormalitas EKG paling sering terjadi pada penderita perdarahan

subarakhnoid, tetapi abnormalitas ini juga ditemukan pada penderita

stroke iskemik perdarahan intrakranial, trauma kapitis, prosedur bedah

saraf, meningitis akut, tumor intrakranial dan epilepsi (Mieghem dkk,

2004).

Abnormalitas EKG yang paling sering berhubungan dengan stroke

adalah perpanjangan interval QT, dimana dijumpai pada 71 % penderita

perdarahan subarakhnoid, 64 % penderita perdarahan intraparenkim dan

38 % penderita stroke iskemik (Familloni dkk, 2006).

Pada beberapa studi stroke iskemik, prognostik yang terpenting

(27)

perpanjangan interval QT telah dibuktikan. Namun, sedikit penelitian pada

dispersi QT dan dispersi QT corrected (QTc)(Familloni dkk, 2006).

Dispersi QT adalah perbedaan antara interval QT maksimal dan

minimal pada EKG 12 sadapan yang merupakan marker repolarisasi

ventrikel yang heterogen (Lazar dkk, 2003).

Studi yang telah dilakukan menunjukkan dispersi QT merupakan

prediktor outcome yang jelek pada berbagai penyakit jantung.

Peningkatan dispersi QT berhubungan dengan aritmia jantung dan

kematian mendadak penderita infark miokard, hipertrofi ventrikel kiri, gagal

jantung kongestif, penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan gagal

ginjal tahap akhir (Afsar dkk, 2003; Lazar dkk, 2008).

Beberapa studi juga telah meneliti bermaknasi pengukuran dispersi

QT pada penderita stroke (Randell dkk, 1999; Eckardt dkk, 1999; Afsar

dkk, 2003; Lazar dkk, 2003 ).

Menurut Jain dkk (2004), perubahan EKG yang paling sering

dijumpai pada penderita perdarahan subarakhnoid adalah prolongation

interval QT, ST segmen elevasi atau depresi, gelombang T inverted dan

prevalensinya berkisar antara 50-100%.

Randell dkk (1999) melaporkan studi pada 26 penderita

subarakhnoid dan 16 kontrol dimana terdapat peningkatan dispersi QT

pada penderita dengan perdarahan subarakhnoid dibandingkan kontrol.

Lazar dkk (2003) melakukan studi retrospektif pada 140 penderita

dengan kelainan neurologis akut dan menemukan bahwa rata-rata nilai

(28)

dibandingkan Cerebrovascular Accident (CVA) dan Transient Ischemic

Attack (TIA).

Familloni dkk (2006) menemukan 28 penderita stroke iskemik yang

mengalami perpanjangan interval QTc maksimal diatas 440 msec dan

interval dispersi QT secara bermakna lebih panjang pada penderita

tersebut daripada kontrol seperti halnya juga dengan interval dispersi QTc.

Afsar dkk (2003) meneliti 36 penderita stroke akut tanpa riwayat

penyakit jantung sebelumnya dan menemukan adanya korelasi dispersi

QTc dengan luas lesi pada pemeriksaan EKG 24 jam setelah onset

stroke, dimana nilai dispersi QTc secara bermakna sangat tinggi pada

penderita dengan luas (volume) lesi besar dibandingkan penderita dengan

luas (volume) lesi kecil.

Studi Taschl dkk (2006) secara prospektif pada 120 penderita

stroke akut menunjukkan bahwa perpanjangan QT kebanyakan pada

penderita dengan lesi kecil di daerah insular. Perbedaan hubungan

antara ukuran infark dengan perpanjangan QT dapat menggambarkan

perbedaan kontribusi pada daerah kortikal yang berbeda untuk regulasi

otonom dan menjelaskan fakta bahwa tidak dijumpai perpanjangan QT

pada penderita dengan lesi besar di daerah tersebut.

Perpanjangan interval QT lebih sering terjadi pada stroke hemisfer

kanan daripada hemisfer kiri karena beberapa tingkatan lateralisasi dari

fungsi otonom (Chalela dkk ,2006).

Eckardt dkk (1999) melakukan studi pada 40 penderita stroke

(29)

keterlibatan korteks insular , dispersi QT secara bermakna lebih panjang

dibandingkan dengan penderita tanpa keterlibatan insular.

Pada penelitian Afsar dkk (2003) tidak terdapat perbedaan yang

bermakna antara peningkatan Dispersi QT, QTcd dan lokasi stroke pada

pemeriksaan EKG 24 jam setelah onset namun dijumpai peningkatan nilai

QTcd lebih besar secara bermakna pada penderita dengan lesi kanan

daripada lesi kiri saat pemeriksaan EKG 72 jam setelah onset .

Dari penelitian Huang dkk (2004) secara bermakna terdapat nilai

dispersi QTc yang panjang pada penderita dengan keterlibatan batang

otak dibandingkan tanpa keterlibatan batang otak.

Perubahan EKG pada penderita stroke akut sering berhubungan

dengan peningkatan mortalitas, bahkan walaupun tidak dijumpai lesi pada

jantung (Kuntzer dan Waeber, 1996). EKG secara bermakna dan

independen dapat memprediksi mortalitas penderita (Okin dkk, 2004;

Fagard dkk, 2004).

Beberapa studi menyatakan bahwa perpanjangan interval QT

berhubungan dengan tingkat kematian pada penderita stroke (Familloni

dkk 2006). Dispersi QT merupakan suatu penanda dari repolarisasi

abnormal jantung yang dihubungkan dengan peningkatan tingkat

kematian pada penderita perdarahan intrakranial akut (Chalela dkk, 2006).

Lazar dkk (2003) dalam studinya memakai tiga skala fungsional

yaitu NIHSS, BI dan MRS yang berguna untuk mengevaluasi status

(30)

peningkatan dispersi QT berhubungan dengan outcome fungsional yang

rendah pada ketiganya.

Sedangkan pada studi Lazar dkk (2008) dijumpai peningkatan

dispersi QT berhubungan dengan outcome fungsional yang jelek dan

mortalitas yang meningkat pada penderita yang masuk rumah sakit

dengan kejadian neurologis akut. Pada kejadian ini, dispersi QT

mencerminkan injury neurologis seperti yang terjadi pada penyakit

jantung.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti

yang telah diuraikan diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah hubungan antara abnormalitas gambaran EKG

(peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita

stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya.

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan :

I.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG

(peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita

(31)

I.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui gambaran EKG dan abnormalitas EKG pada

penderita stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya

dan penderita kontrol yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik

Medan.

2. Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG

(peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada

penderita stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya

yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.

3. Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG

(peningkatan dispersi QT) dengan tipe stroke pada penderita stroke

akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya yang dirawat di

RSUP H. Adam Malik Medan.

4. Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG

(peningkatan dispersi QT) dengan outcome fungsional pada

penderita stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya

yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.

5. Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG

(peningkatan dispersi QT) dengan faktor resiko pada penderita

stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya yang

(32)

I.4. HIPOTESIS

Ada hubungan antara abnormalitas gambaran EKG (peningkatan

dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita stroke akut tanpa

riwayat penyakit jantung sebelumnya.

I.5. MANFAAT PENELITIAN

Dengan mengetahui adanya hubungan antara peningkatan dispersi

QT dengan luas dan lokasi lesi pada penderita stroke akut tanpa riwayat

penyakit jantung sebelumnya, maka dapat dilakukan penatalaksanaan

yang lebih komprehensif terhadap abnormalitas EKG tersebut sehingga

dapat menurunkan angka mortalitas penderita yang dirawat di bangsal

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. STROKE

II.1.1. Definisi

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian,

tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok Studi

Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi, 1999).

II.1.2. Epidemiologi

Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di

Amerika Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah

penyakit jantung dan kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat

mengalami stroke tiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak

150.000 (90.000 perempuan dan 60.000 laki-laki) mati akibat stroke. Di

China, kira-kira 1,5 juta penduduk mati setiap tahun oleh karena stroke

(Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).

Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang

kelompok usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses

patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa

penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli,

(34)

kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta

komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital

maupun degeneratif, atau akibat proses lain, seperti peradangan,

aterosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus (Misbach, 1999).

II.1.3. Klasifikasi Stroke

Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas

patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah)

(Misbach, 1999).

1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

a) Stroke iskemik

i) Transient Ischemic Attack (TIA)

ii) Trombosis serebri

iii) Emboli serebri

b) Stroke hemoragik

i) Perdarahan intraserebral

ii) Perdarahan subarakhnoid

2) Berdasarkan stadium:

a) Transient Ischemic Attack (TIA)

b) Stroke in evolution

c) Completed stroke

3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):

a) Tipe karotis

(35)

II.2. ELEKTROKARDIOGRAFI

II.2.1. EKG NORMAL

Elektrokardiografi adalah suatu alat yang sederhana, relatif murah,

praktis dan dapat dibawa kemana-mana, tetapi harus diingat bahwa

walaupun alat ini sangat berguna, banyak pula keterbatasannya. Dalam

usaha menginterpretasikan gambaran EKG normal belum tentu

menunjukkan jantung normal, sebaliknya gambaran EKG abnormal belum

tentu menunjukkan jantung yang tidak normal (Munawar dkk, 2002).

Banyak variasi mengenai EKG normal. Faktor-faktor yang

mempengaruhi adalah habitus tubuh, sumbu listrik jantung, ukuran dada

dan keadaan lain seperti obesitas dan penyakit paru. Kriteria yang dipakai

di bawah ini hanyalah sebagai pegangan, namun diagnosis akhir apakah

jantung normal atau abnormal harus dibuat berdasarkan gambaran klinis

secara keseluruhan (Munawar dkk,2002).

Kriteria (Munawar dkk,2002)

1). Gelombang P

Positif (keatas) di sandapan I, II,aVF dan V3 –V6. Di sandapan aVR

gelombang P selalu negatif (terbalik). Sedang di sandapan II, aVL,

V1 dan V2 gelombang P sangat bervariasi. Interval PR berkisar

antara 0,11 sampai dengan 0,20 detik.

2). Gelombang Q

Gelombang Q kecil (kurang dari 0,045 detik, kurang dari ¼

gelombang R) normal terlihat di I, V5 atau V6. Terjadinya

(36)

kanan atas dan muka. Olehkarena itu gelombang Q kecil atau

bahkan kadang-kadang tak terlihat di sandapan II, aVF dan V3. Di

sandapan III dan aVL terlihat kecil atau bahkan kadang-kadang tak

terlihat dan kadang-kadang tak terlihat cukup bermakna.

3). Gelombang R

Tergantung dari sumbu QRS. Biasanya sangat dominan di I dan II,

V5 dan V6. Di sandapan aVR, V1 dan V2 biasanya hanya kecil

atau tidak ada sama sekali.

4). Gelombang S

Tidak terlihat atau kurang dibanding gelombang R di sandapan I

atau II . Tetapi di sandapan III, aVF dan aVL biasanya lebih

menonjol atau justru tidak terlihat. Di sandapan aVR, V1 dan V2,

gelombang S terlihat lebih menonjol. Di V4-V6 kurang dibanding R.

5). Gelombang T

Positif di sandapan I, II, V3-V6. Terbalik di aVR. Di sandapan III,

aVF, aVL, V1 dan V2, gelombang T bervariasi.

6). Interval QT

Interval in akan memendek bila laju jantung bertambah cepat,

sebaliknya akan memanjang bila laju jantung lambat (interval QT

0,41 detik pada laju jantung 50/menit dan berubah menjadi 0,31

detik pada laju jantung 100/menit).

7). Segmen ST

Biasanya isoelektris. Bervariasi sampai +1 mm di sandapan

(37)

Gambar 1. EKG normal. Dikutip dari : Mirvis D.M, Goldberger A.L 2005. Electrocardiography. In : Brauwald E. Ed. Heart Disease : Textbook of Cardiovascular Medicine . 6th. Edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company.p. 107-118.

II.2.2. INTERVAL QT DAN DISPERSI QT

II.2.2.1. Definisi

Interval QT adalah jarak yang diukur pada rekaman EKG

permukaan , mulai dari defleksi pertama kompleks QRS sampai dengan

bagian terminal gelombang T (mm), yakni titik potong gelombang T

dengan garis isoelektrik (Okin dkk, 2000)

Dispersi QT adalah perbedaan antara interval QT maksimum dan

minimum pada rekaman EKG. (Afsar, 2003).

Dispersi QT ini merupakan marker dari adanya heterogenitas

repolasasi ventrikel. Dispersi QT dihitung dengan menggunakan

perbedaan antara nilai maksimum dan minimum interval QT. Biasanya

dispersi QT dikoreksi menggunakan rumus Bazzett’s sehingga

(38)

II.2.2.2. Nilai Normal Interval QT dan Dispersi QT

Secara umum nilai normal interval QTc kurang atau sama dengan

440 milidetik. Beberapa studi mengemukakan bahwa nilai tersebut

mungkin dapat memanjang 20 milidetik, dan sedikit memanjang pada

perempuan. Interval QTc memanjang jika nilai QTc lebih dari 440 milidetik

(Mirvis dkk,2005).

Nilai dispersi QT sangat bervariasi, berkisar dari 10 sampai 71

milidetik pada subjek normal. Suatu studi 8455 subjek kontrol dengan usia

yang bervariasi, termasuk anak-anak yang sehat, didapatkan nilai rerata

dispersi QT berkisar dari 11 sampai 71 milidetik. Nilai yang sama juga

dilaporkan pada studi yang besar dan beberapa tinjauan kepustakaan

yang menganggap bahwa batas atas normal dari dispersi QT pada subjek

normal adalah 65 milidetik. Nilai dispersi QT lebih dari 70 milidetik

dianggap memanjang, namun nilai normal belum ada kesepakatan (Malik

dan Bathcarov, 2000)

II.2.2.3. Patofisiologi Perpanjangan Interval QT

Perpanjangan interval QT disebabkan oleh peningkatan durasi

salah satu atau lebih komponen kompleks QRS, segmen ST dan

gelombang T. Interval QTc memanjang juga merupakan penanda

non-invasif substrat aritmogenik elektrofisiologis yang berkorelasi dengan

risiko tinggi terhadap kejadian aritmia ventrikel, sinkop dan kematian

(39)

bermuatan positif selama masa repolarisasi (Tan H.L dkk,1995; Rubart M

dkk, 2001; Ramaswamy dkk, 2000).

Gelombang depolarisasi (fase 0) jaringan ventrikel disebabkan oleh

pergerakan cepat ion natrium dari ruang ekstrasel ke intrasel, suatu

proses yang dikenal sebagai arus natrium cepat. Aliran keluar ion K dan

masuknya ion Ca2+ bertanggung jawab terhadap awal repolarisasi (fase

1). Kemudian diikuti fase plato (fase 2), yang merupakan penentu utama

durasi potensial aksi. Durasi fase plato ditentukan melalui keseimbangan

aliran kation ke dalam dan keluar secara kompetitif di kanal-kanal ion.

Termasuk inaktivasi lambat kanal natrium , kanal kalsium tipe-L dan kanal

kalium. Repolarisasi (fase 3) dihasilkan dari inaktivasi arus kalsium

bersamaan dengan peningkatan arus keluar kalium. Aliran masuk dari

kanal kalium selanjutnya bertanggungjawab terhadap pemeliharaan

potensial membran istirahat (fase 4) (Gambar 1) (Tan H.L dkk,1995;

Rubart M dkk, 2001; Ramaswamy dkk, 2000).

Kanal ion Kalium tertutup, terjadi penundaan pembukaan atau

membuka dalam waktu singkat, menyebabkan penurunan arus kalium ke

luar sel. Akibatnya, repolarisasi menjadi memanjang. Menetapnya arus ion

Na+ masuk ke dalam sel, juga berakibat repolarisasi memanjang (Tan HL

dkk, 1995; Rubart M dkk, 2001). Hal inilah yang menyebabkan interval QT

memanjang dan early afterdepolarizations (EADs) . Perpanjangan

repolarisasi ini selanjutnya juga akan memperlambat inaktivasi kanal Ca2+

(40)

yang akan memicu terjadinya aritmia ventrikel (Ramaswamy dkk, 2000;

Tan HL dkk, 1995 ; Rubart M dkk, 2001 ).

Gambar 2. Hubungan antara Fase Potensial Aksi Jantung dan EKG Permukaan. Dikutip dari : Tan HL dkk. Electrophysiologic Mechanisms of The Long Interval QT Syndromes and Torsade de Pointes. Ann Intern Med 1995; 122: 701-14.

II.2.2.4. Etiologi

Perpanjangan interval QT secara etiologis dikategorikan dalam

bentuk primer dan sekunder karena berbagai penyebab antara lain (

Akhtar M , 2003; Camm dkk, 2000; Victor dkk, 2004; Silvia dkk, 2003) :

a. Kongenital (primer) :

1. Sindrom Jervell- Lange Nielsen

2. Sindrom Romano- Ward

b. Didapat (sekunder) :

1. Induksi obat : digitalis, aritmia, antibiotik, antidepresan, anti

(41)

2. Abnormalitas metabolik /elektrolit : hipomagnesemia,

hipokalsemia, hipokalemi.

3. Hipertensi sistemik

4. Sirosis hati

5. Gangguan pada sistem saraf pusat atau otonom.

6. Lain-lain : iskemia dan infark miokard, prolaps katup mitral

(MVP), penyakit jantung koroner (PJK), kardiomiopati,dsb.

II.2.2.5. Gambaran EKG Interval QT memanjang

Interval QT memanjang sering berhubungan dengan perubahan

morfologi gelombang T, menjadi cekung, bifasik dan terdapat komponen

lain yang menampilkan distribusi heterogen repolarisasi ventrikel. Interval

QT mencakup dua komponen yaitu depolarisasi dan repolarisasi, dan

peningkatan salah satu atau keduanya akan menghasilkan perpanjangan

interval QT (gambar 3). Gelombang T terbentuk oleh repolarisasi pada

lapisan selain miokard (epikard, endokard, miokard). Proses repolarisasi

ini meluas dari apeks hingga basis ventrikel terutama diatur oleh

(42)

Gambar 3. EKG penderita dengan perdarahan subarachnoid akut, interval QT mengalami perpanjangan (QTc =613milidetik).

Dikutip dari : Mieghem C.V, Sabbe M, Knockaert D. 2004. The Clinical Value of the ECG in Noncardiac Conditions. Chest ; 125 : 1561-76.

II.3. MEKANISME PERPANJANGAN INTERVAL QT PADA STROKE

Peningkatan dispersi QT terutama sekali berkaitan dengan

inhomogenitas dari repolarisasi jantung. Akan tetapi, mekanisme dan

sistem regulasi berbeda yang mempengaruhi dispersi QT masih belum

dimengerti. (Perkiomaki dkk, 2001).

Telah lama diketahui bahwa lesi pada susunan saraf pusat dapat

menyebabkan perubahan EKG, aritmia jantung dan gangguan refleks

kardiovaskuler (Naver dkk, 1996). Dimana susunan saraf pusat

memegang peran penting dalam regulasi fungsi otonom. Batang otak,

pons, hipotalamus merupakan area utama yang berperan mengontrol

homeostasis vaskular. Tiap level otak tersebut memiliki bagian yang

(43)

(Kuntzer dan Waeber, 1996). Hubungan ini bisa dilihat pada gambar

berikut :

Gambar 4. Dikutip dari: Kuntzer T, Waeber B, 1996. Peripheral nerve, muscle, and autonomic changes. In: Bogousslavsky, J. Caplan, L. (eds). Stroke Syndrome. pp. 200-7. Cambridge University Press. Australia.

Secara bermakna, peningkatan dispersi QT merupakan kejadian

repolarisasi dan perpanjangan otot jantung sebagai akibat

ketidakseimbangan sistem saraf simpatis dan parasimpatis . Disfungsi

sistem otonom ini akan mengarah ke repolarisasi jantung abnormal , dan

dapat menyebabkan peningkatan dispersi QTc ( Huang dkk,2004).

Abnormalitas EKG, sebagaimana nekrosis sel miokard terjadi

setelah stroke paling sering disebabkan peningkatan aktifitas saraf

simpatis yang dimediasi dari sentral. Area difus atau fokal dari nekrosis

miokard mirip seperti yang diamati pada penderita pheochromocytoma

(44)

parasimpatis dapat dijumpai pada beberapa penderita dengan kejadian

supresi sinus node atau blok atrioventrikuler (Kuntzer dan Waeber, 1996).

Bagaimana patologi SSP berperan pada iskemik miokard, telah ada

hipotesa bahwa injury SSP dapat menimbulkan tonus simpatis yang

berlebihan dan produksi katekolamin. Tempat yang paling penting

mengontrol susunan saraf simpatis adalah pada korteks insular, amigdala

dan hipotalamus lateral (Mieghem dkk, 2004).

Brainin dan Gugging (2005) menyatakan bahwa pada penderita

stroke akut dengan lesi pada daerah insular berhubungan dengan

disfungsi jantung seperti QT prolongation.

Pada penderita stroke, dimana ada kecenderungan terjadi

bersamaan dengan penyakit arteri koroner adalah tinggi, diyakini bahwa

peningkatan tonus simpatis menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen

dan kadang-kadang kerusakan miokard. Korban kecelakaan lalu lintas

dan penderita perdarahan subarakhnoid juga menunjukkan kerusakan

miokard pada keberadaan arteri koroner normal. Penelitian klinis memberi

dukungan lebih lanjut terhadap hipotesa overaktivitas simpatis. Kerusakan

miokardial dapat dihasilkan secara eksperimental dengan pemberian

secara parenteral katekolamin atau dengan stimulasi elektrik pada daerah

tertentu di otak seperti pada hipotalamus dan insula. Lesinya mirip seperti

yang ditemukan pada penderita pheochromocytoma atau pecandu kokain.

Katekolamin mungkin memberi efek toksik secara langsung pada sel-sel

miokardial atau memediasi vasokonstriksi arteri koroner yang diikuti

(45)

Walaupun beberapa peneliti menyatakan bahwa disfungsi jantung

berhubungan dengan abnormalitas EKG dan edema pulmonum,

mekanisme pasti yang mendasari kerusakan jantung masih belum

diketahui. Salah satu dugaan penyebabnya adalah aktivasi yang terus

menerus dari sistem saraf simpatis, yang dikarakteristikkan dengan

sekresi katekolamin yang berlebihan dari terminal saraf simpatis ke

jaringan (Masuda dkk, 2002).

Pada suatu penelitian manusia dan binatang telah diketahui bahwa

terdapat asimetris anatomi dan fungsi pada persarafan otonom jantung.

Sistem parasimpatis dan simpatis yang mensarafi jantung mempunyai

beberapa paralel, pada sisi kanan bekerja untuk nodus sinus dan pada

sisi kiri untuk nodus ventrikuloatrial dan ventrikel (Naver dkk,1998 ;

Tokgozoglu dkk, 1999 ).

Adanya bukti dari lateralisasi kortikal pada regulasi fungsi

kardiovaskular mengindikasikan bahwa iskemik pada hemisfer kanan

mempunyai konsekuensi simpatis yang lebih besar daripada hemisfer kiri

(Strittmatter dkk, 2003).

Dispersi QT digunakan sebagai faktor prognostik

penderita-penderita dengan penyakit kardiovaskuler yang beresiko untuk takiaritmia

ventrikuler dan kematian mendadak. Stroke akut diketahui akan

mengakibatkan abnormalitas EKG termasuk perpanjangan QT (Lazar,

2008).

Randell menemukan bahwa pada 26 penderita dengan perdarahan

(46)

kontrol yang mempunyai aneurisma cerebral yang tidak ruptur (Randell,

1999).

Eckardt dkk, meneliti pada 40 penderita dengan stroke iskemik

hemisfer unilateral dan menemukan bahwa dispersi QT berhubungan

dengan lokasi lesi serebri (Eckardt, 1999).

Afsar dkk, juga menemukan bahwa perpanjangan nilai dispersi QT

pada 36 penderita dengan stroke akut bila dibandingkan kontrol (Afsar,

2003).

Dispersi QT memang berhubungan dengan mortalitas yang lebih

tinggi dan hasil akhir yang lebih jelek pada penyakit serebrovaskuler

(Lazar, 2008).

II.4. COMPUTED TOMOGRAPHY (CT) DAN VOLUME LESI

Sejak diperkenalkan tahun 1973, CT telah merubah pendekatan

akan diagnosa stroke. Dengan CT memungkinkan dengan jelas

membedakan iskemia otak dengan perdarahan dan menetukan ukuran

dan lokasi dari infark dan hemorhage (Furlan, 2001 ; Caplan, 2000). CT

sken tanpa kontras (Non-Contrast Computed Tomography / NCCT)

merupakan pemeriksaan radiologi rutin yang pertama di unit gawat darurat

untuk menilai penderita dengan stroke akut, dan masih tetap merupakan

pemeriksaan imejing stroke akut yang standart. Peran standart dari NCCT

dalam mendiagnosa stroke akut dengan cepat mendeteksi perdarahan

(47)

Pada infark otak akut menurut standart pendidikan bahwa CT

adalah normal dalam 24 jam pertama setelah onset stroke (Furlan, 2001).

Pada iskemia, pada stadium awal sering normal atau hanya sedikit

abnormalitas. Selama hari-hari pertama onset stroke, infark biasanya bulat

atau oval dan batasnya kurang tegas. Kemudian menjadi lebih hipodense

dan gelap, dan lebih seperti baji (wedge-like) dan berbatas. Sebagian

infark yang tadinya hipodens menjadi isodens setelah minggu kedua dan

ketiga onset. Hal ini yang disebut sebagai fogging effect kadang-kadang

dapat mengaburkan lesi (Caplan, 2000).

Pantano dkk (1998) melaporkan bahwa sekitar dua pertiga

penderita ukuran infark ditegakkan dalam 24-36 jam setelah onset stroke,

sedangkan sisanya perubahan volume lesi dapat terjadi sesudah 24-36

jam pertama.

II.5. OUTCOME STROKE DAN INSTRUMEN

Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan

sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat

batasan sebagai berikut (Caplan, 2000) :.

1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis

dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi,

fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.

2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk

(48)

seperti : tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh

stroke.

3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita

stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau

disability” tersebut .

Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified

Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah

digunakan, pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan

memperlihatkan interrater reliability (Sulter dkk, 1999 ; Weimar dkk, 2002).

Instrumen

Dalam uji klinik Barthel Index (BI) dan Modified Rankin Scale

(mRS) merupakan skala yang sering digunakan untuk menilai outcome

dan merupakan pengukuran yang dapat dipercaya yang memberi

penilaian yang lebih objektif terhadap pemulihan fungsional setelah stroke

(Sulter dkk, 1999).

Barthel Index telah dikembangkan sejak tahun 1965, dan kemudian

dimodifikasi oleh Granger dkk sebagai suatu tehnik yang menilai

pengukuran performasi penderita dalam 10 aktifitas hidup sehari-hari yang

dikelompokkan kedalam 2 kategori yaitu (Sulter dkk, 1999) :

- Kelompok yang berhubungan dengan self-care antara lain : makan,

membersihkan diri, mandi, berpakaian, perawatan buang air besar dan

(49)

- Kelompok yang berhubungan dengan morbiditas antara lain : berjalan,

berpindah dan menaiki tangga.

Skor maksimum dari BI ini adalah 100, yang menunjukkan bahwa

fungsi fisik penderita benar-benar tanpa bantuan, dan nilai terendah

adalah 0 yang menunjukkan ketergantungan total (Sulter dkk, 1999).

Skala mRS lebih mengukur ketergantungan daripada performasi

aktifitas spesifik, dalam hal ini mental demikian juga adaptasi fisik

digabungkan dengan defisit neurologi. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu

dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/

ketidakmampuan yang berat (Sulter dkk, 1999). Skala mRS adalah lebih

sensitif untuk penilaian pada penderita dengan disabilitas ringan dan

sedang (Weimar dkk, 2002). Meskipun kedua skala tersebut diatas

mudah digunakan dan dapat dipercaya, belum ada konsensus mengenai

bagaimana skala tersebut seharusnya digunakan untuk menentukan

outcome pada uji klinik (Sulter dkk, 1999).

Sulter dkk (1999) melakukan trial pada beberapa penelitian yang

menggunakan skala BI dan mRS pada stroke iskemik, dimana pada studi

Granger dkk menemukan bahwa skor 60 pada BI berhubungan dengan

pergeseran dari dependent menjadi independent. Dan skor 85

menunjukkan peralihan dari memerlukan bantuan minimal ke-tanpa

bantuan (independent).

Pengukuran National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)

untuk menilai impairment terdiri dari 12 item pertanyaan (tingkat

(50)

palsy, pemeriksaan lapangan pandang, fasial palsy, motorik, ataksia,

sensori, bahasa disartria, dan ekstensi/inattention). Skala ini telah banyak

digunakan pada penelitian-penelitian dalam terapi stroke akut dan

merupakan pemeriksaan standar dalam penelitian klinis. Nilai skor NIHSS

saat penderita mengalami stroke akan dapat digunakan sebagai prediksi

perawatan pada saat setelah masa akut, dimana setiap peningkatan 1

poin skor secara bermakna akan menambah lama rawatan di rumah sakit.

Ada 3 rentang skor NIHSS yang secara bermakna berhubungan dengan

perawatan penderita stroke, yaitu skor ≤ 5 (ringan) penderita dapat keluar

dari rumah sakit, skor 6-13 (sedang) penderita memerlukan rehabilitasi

dan > 13 (berat) akan memerlukan fasilitas perawatan yang lama (Meyer

(51)
(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK-USU/RSUP.H.Adam

Malik Medan dari tanggal 1 Juni 2009 s/d 31 Maret 2010.

III.2. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian diambil dari populasi penderita rumah sakit.

Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non

random secara konsekutif.

Populasi Sasaran

Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan pemeriksaan

klinis dan CT sken otak.

Populasi Terjangkau

Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap terpadu

(Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU/RSUP.H.Adam Malik

Medan.

Besar Sampel

Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Madiyono, 1995)

(Zα + Zβ) Sd 2

n1 = n2 ≥

d

Zα = nilai baku normal dari tabel Z, yang besarnya tergantung pada

(53)

Zβ = nilai baku normal dari tabel Z, yang besarnya tergantung pada

nilai β yang telah ditentukan ( β = 0,15) → Zβ = 1,036

Berdasarkan survey awal pada masing-masing 5 orang penderita stroke

Sd Stroke akut + Sd Kontrol

akut dan kontrol diperoleh nilai

d = tingkat ketepatan (presisi), ditetapkan oleh si peneliti

1. Semua penderita stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung

sebelumnya yang dirawat di Bangsal Neurologi Rindu A4 RSUP H.

Adam Malik Medan

2. Usia > 18 tahun.

3. Memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian ini.

Kriteria Eksklusi

1. Penderita stroke akut dengan onset serangan lebih dari 48 jam

pertama.

(54)

3. Penderita stroke yang tidak dikonfirmasi dengan pemeriksaan Head

CT scan.

4. Penderita stroke yang mengalami disritmia jantung, penyakit katup

jantung, penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan gangguan

kardiomiopati .

5. Penderita stroke yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis,

dan pemeriksaan laboratorium menderita gangguan elektrolit.

6. Penderita stroke yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis,

dan pemeriksaan laboratorium menderita anemia.

7. Penderita stroke yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis,

dan pemeriksaan laboratorium menderita hipoksia.

8. Penderita stroke yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis,

dan pemeriksaan laboratorium menderita gangguan fungsi hati.

9. Penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang dapat

mempengaruhi interval QT seperti : obat –obatan digitalis, anti

aritmia, antibiotik, antidepresan, anti jamur, anti alergi dan

penderita yang mengkonsumsi alkohol.

Penderita Non stroke (kontrol)

Kriteria inklusi

1. Semua penderita yang datang ke Poliklinik Neurologi RSUP H.

Adam Malik bukan penderita stroke dan tanpa riwayat pernah

menderita penyakit jantung.

(55)

Kriteria eksklusi

1. Penderita yang mengalami disritmia jantung, penyakit katup

jantung, penyakit jantung koroner, gagal jantung dan gangguan

kardiomiopati.

2. Penderita yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan

pemeriksaan laboratorium menderita gangguan elektrolit.

3. Penderita yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan

pemeriksaan laboratorium menderita anemia.

4. Penderita yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan

pemeriksaan laboratorium menderita hipoksia.

5. Penderita yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan

pemeriksaan laboratorium menderita gangguan fungsi hati.

6. Penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang dapat

mempengaruhi interval QT seperti obat –obatan digitalis, anti

aritmia, antibiotik, antidepresan, anti jamur, anti alergi dan

penderita yang mengkonsumsi alkohol.

III.3. BATASAN OPERASIONAL

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal (atau global, dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian,

tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler (Kelompok Studi

(56)

Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan

stroke berlangsung sampai 1 minggu (Misbach, 1999).

Tipe stroke dalam penelitian ini terdiri dari stroke iskemik dan

stroke hemoragik. (Caplan, 2000 ; Afsar, 2003).

Hipertensi dinyatakan ada jika ada riwayat memakan obat anti

hipertensi dan atau tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah

diastolic ≥90 mmHg (Bang dkk, 2007).

Diabetes mellitus dinyatakan ada jika terdapat riwayat

mengkonsumsi obat anti diabetes dan atau pemeriksaan gula darah jika

puasa ≥ 110 mg/dL (Bang dkk, 2007).

Dislipidemia dinyatakan ada jika terdapat riwayat mengalami

dislipidemia atau peningkatan kadar trigliserida > 200 mg/dL, kadar

kolesterol > 200 mg/dL (Bang dkk, 2007).

Merokok dinyatakan ada jika penderita pada saat penelitian

merokok atau telah berhenti merokok sejak 2 bulan sebelum penelitian

(Tan dkk, 2002).

Anemia ditetapkan jika kadar hemoglobin (Hb) darah < 14 gr/dL

atau hematokrit (Hct) < 42% pada laki-laki dewasa; Hb < 12 gr/dL atau Hct

< 39% pada wanita dewasa ( Braunwald dkk,2002).

Gangguan elektrolit (Braunwald dkk, 2002) :

- Hiponatremi ditetapkan jika kadar serum Na+ < 135 mmol/L

(Braunwald dkk,2002).

- Hipernatremi adalah peningkatan abnormal dari kadar serum

(57)

- Hipokalemi adalah penurunan abnormal dari kadar serum kalium,

ditetapkan jika kadar serum K+ < 2,5 mmol/L (Gilroy, 2000;

Braunwald dkk, 2002).

- Hiperkalemi adalah peningkatan abnormal dari kadar serum kalium

(Gilroy, 2000).

Gangguan fungsi hati ditetapkan bila pemeriksaankadar bilirubin

< 2 mg % atau > 3 mg % dan kadar SGPT (22 U/L) dua kali dari

normal(Sherlock dkk, 2002).

Penyakit Jantung dalam penelitian ini adalah distrimia jantung,

hipertrofi ventrikel, penyakit katup jantung, penyakit jantung koroner, gagal

jantung dan kardiomiopati(Afsar, 2003).

Luas (volume) lesi dalam penelitian ini, volume lesi akan

dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu kelompok dengan volume lesi < 50

cm3 dan kelompok dengan volume lesi ≥ 50 cm3 (Sjahrir, 2003).

Lokasi lesi dikelompokkan sebagai hemisfer kanan dan kiri

(Tokzogozlu,1999; Naver , 1996).

Abnormalitas gambaran EKG ditetapkan menurut kriteria berikut

ini (Berg dkk, 2004) :

Sinus bradikardi : jika denyut jantung < 60 menit

Sinus Takikardi : jika denyut jantung > 100 menit

PR interval memanjang : jika durasinya > 200 mili/detik

QRS melebar : jika durasinya >100 mili/detik

Gambar

Gambar 1. EKG normal.  Dikutip dari : Mirvis D.M, Goldberger A.L  2005. Electrocardiography
Gambar 2. Hubungan antara Fase Potensial Aksi Jantung dan EKG Permukaan.  Dikutip dari : Tan HL dkk
Gambar 3. EKG penderita dengan perdarahan subarachnoid akut, interval QT mengalami perpanjangan (QTc =613milidetik)
Gambar 4. Dikutip dari: Kuntzer T, Waeber B, 1996. Peripheral nerve, muscle, and autonomic changes
+7

Referensi

Dokumen terkait

luas lesi foto toraks dan kepositifan BTA pada sputum penderita tuberkulosis paru.

pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun 2016, bulan Oktober. ini juga dimana bulan ketika warga masyarakat Desa Traji yang

Light massage dapat diterapkan sebagai terapi komplementer pada penderita hipertensi primer untuk pengendalian tekanan darah. Effects of Swedish massage onblood

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kebijakan pendanaan, likuiditas dan profitabilitas terhadap keputusan investasi pada perusahaan food

Konlik tenure di wilayah KPH Produksi lebih sering terjadi bila dibanding KPH Lindung. Hal ini didasarkan pada dimungkinkannya banyak klaim penguasaan di kawasan hutan

Dalam Game GTA Shoot ini selain tampilan gambar yang sederhana tapi menarik dan juga menyegarkan dan didukung oleh sound atau suara agar

Dengan adanya website film-film animasi diharapkan pada kalangan user atau pengguna internet bisa mendapatkan informasi yang lebih luas dan mudah didapat. Internet memberikan

Jelas menunjukkan bahawa pengaruh Tamadun India terhadap perkembangan sains dalam Islam menjadi asas kepada perkembangan ilmu dalam bidang sains dan teknologi seperti