HUBUNGAN ABNORMALITAS GAMBARAN EKG
( PENINGKATAN DISPERSI QT ) DENGAN LUAS
DAN LOKASI LESI PADA PENDERITA STROKE
AKUT TANPA RIWAYAT PENYAKIT JANTUNG
SEBELUMNYA
T E S I S
Oleh
MOYA DEWI MARLENNY
Nomor Register CHS : 16313
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP.H. ADAM MALIK
MEDAN
HUBUNGAN ABNORMALITAS GAMBARAN EKG
( PENINGKATAN DISPERSI QT ) DENGAN LUAS
DAN LOKASI LESI PADA PENDERITA STROKE
AKUT TANPA RIWAYAT PENYAKIT JANTUNG
SEBELUMNYA
T E S I S
Untuk memperoleh spesialisasi dalam Program Studi
Ilmu Penyakit Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
MOYA DEWI MARLENNY
Nomor Register CHS : 16313
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP.H. ADAM MALIK
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : HUBUNGAN ABNORMALITAS GAMBARAN
EKG (PENINGKATAN DISPERSI QT ) DENGAN
LUAS DAN LOKASI LESI PADA PENDERITA
STROKE AKUT TANPA RIWAYAT PENYAKIT
JANTUNG SEBELUMNYA
Nama : Moya Dewi Marlenny
Nomor Register CHS : 16313
Program Studi : Ilmu Penyakit Saraf
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Yuneldi Anwar, SpS(K) Prof.Dr.Darulkutni Nasution, SpS(K)
Narasumber
Prof. dr. A. Afif Siregar, SpA(K),SpJP(K)
Mengetahui / mengesahkan
Tanggal lulus :
Telah diuji pada :
Selasa, 25 Mei 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, SpS(K)
2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, SpS(K)
3. Prof. A. Afif Siregar, SpA (K), SpJP(K)
4. Dr. Darlan Djali Chan, SpS
5. Dr. Yuneldi Anwar, SpS(K)
6. Dr. Rusli Dhanu, SpS(K)
7. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, SpS
8. Dr. Aldy S. Rambe, SpS
9. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS
10. Dr. Khairul P. Surbakti, SpS
11. Dr. Cut Aria Arina, SpS
12. Dr. Kiki M. Iqbal, SpS
13. Dr. Alfansuri Kadri, SpS
14. Dr. Dina Listyaningrum, SpS, Msi. Med
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa
atas segala berkah, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan
salah satu tugas akhir dalam program pendidikan spesialis di Bidang Ilmu
Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian
dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang
berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan
penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Dr.
H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
Yang terhormat Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K),
(Rektor Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS),
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
Yang terhormat Prof. Dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K) (Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai
PPDS), yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program
pendidikan Dokter Spesialis Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
Yang terhormat Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) (Kepala
Bagian Neurologi saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah
menerima saya untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan
selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. DR. Dr. Hasan
Sjahrir, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta
bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
Yang terhormat Dr. H. Hasanuddin Rambe, Sp.S(K), (Ketua
Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia
menerima penulis menjadi peserta didik serta memberi bimbingan dalam
menjalankan proses pendidikan.
Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. Rusli Dhanu,
Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan dan arahan
dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) dan Prof. Dr. Darulkutni
Nasution, Sp.S(K), selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah
mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari
perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis
sampaikan kepada Prof. Dr. A. Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K), selaku
narasumber dari Divisi Kardiologi yang dengan tulus membantu dan
mengarahkan penulis dalam pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
Kepada guru-guru saya, Dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K),
almarhum., Dr. LBM. Sitorus, Sp.S., Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S., Dr.
Ritarwan, MKT, Sp.S., Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S., Dr. Puji Pinta O. Sinurat,
Sp.S., Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S., Dr. Cut Aria Arina, Sp.S., Dr. Kiki M.
Iqbal, Sp.S, Dr. Alfansuri Kadri, SpS, Dr. Dina Listyaningrum, SpS,
Msi.Med, Dr. Aida Fitri, SpS dan lain-lain yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun
Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP. H. Adam
Malik Medan, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas
segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.
Kepada Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing statistik
yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktunya
dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan
kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat
mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.
Direktur Rumah Sakit Tembakau Deli, Kepala Rumkit Putri Hijau,
Direktur RSU. Ferdinand Lumban Tobing Sibolga, Direktur RS. Sri Pamela
Tebing Tinggi yang telah menerima saya saat menjalani stase pendidikan
spesialisasi, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Ucapan terima kasih penulis kepada dr. Anggia C. Lubis dan
seluruh teman sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU /
RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dalam
pelaksanaan dan pembuatan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus,
Sukirman Ariwibowo dan Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan
kepada kedua orang tuaku, Dr. H. Anwarsjah Osmansjah dan H. Frieda
Siregar, yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan
serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti
pendidikan ini sampai selesai.
Ucapan terima kasih kepada kedua Bapak / Ibu mertua saya,
Kolonel (Purn) H. Nasrun Haruna dan Hj. Titiek Nasrun, yang selalu
memberikan dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus agar
tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.
Teristimewa kepada suamiku tercinta Kapten Arh Ari Trisenta
Nursanto, dan ananda Arya Maulana Nursanto yang selalu dengan sabar
dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih
sayang dalam suka dan duka, saya ucapkan terimakasih yang
setulus-tulusnya.
Kepada kakakku Dr. Novriyanti D.A dan Novamira D.A, SS beserta
seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan,
pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini,
penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya
sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya
haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah
melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita
semua.
Medan, Mei 2010
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : Dr. Moya Dewi Marlenny
Tempat / tanggal lahir : Medan, 15 Maret 1978
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Nama Ayah : Dr. H. Anwarsjah Osmansjah
Nama Ibu : Hj. Frieda Siregar
Nama Suami : Kapten Arh. Ari Trisenta Nursanto
Nama Anak : Arya Maulana Nursanto
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar di SD. Negeri Percobaan Medan tamat tahun 1990.
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Medan tamat tahun
1993.
3. Sekolah Menengah Atas di SMA. Negeri 4 Medan tamat tahun 1996.
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR SINGKATAN xi
DAFTAR LAMBANG xiii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
ABSTRAK xvii
ABSTRACT xviii
BAB I. PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Perumusan Masalah 6
I.3. Tujuan Penulisan 6
I.3.1. Tujuan Umum 6
I.3.2. Tujuan Khusus 7
I.4. Hipotesis 8
I.5. Manfaat Penelitian 8
HALAMAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 9
II.1. STROKE 9
II.1.1. Definisi 9
II.1.2. Epidemiologi 9
II.1.3. Klasifikasi 10
II.2. ELEKTROKARDIOGRAFI 11
II.2.1. EKG Normal 11
II.2.2. INTERVAL QT DAN DISPERSI QT 13
II.2.2.1. Definisi 13
II.2.2.2. Nilai Normal Interval QT dan Dispersi QT 14
II.2.2.3. Patofisiologi Perpanjangan Interval QT 14
II.2.2.4. Etiologi 16
II.2.2.5. Gambaran EKG Interval QT Memanjang 17
II.2.3. MEKANISME PERPANJANGAN INTERVAL QT
PADA STROKE 18
II.4. COMPUTED TOMOGRAPHY SCAN (CT-scan)
DAN VOLUME INFARK 22
II.5. OUTCOME STROKE DAN INSTRUMEN 23
II.6. KERANGKA KONSEPSIONAL 27
BAB III. METODE PENELITIAN 28
III.1. TEMPAT DAN WAKTU 28
III.2. SUBJEK PENELITIAN 28
HALAMAN
III.4. INSTRUMEN 34
III.4.1. Computer Tomography scan (CT Scan) 35
III.4.2. Elektrokardiografi (EKG) 35
III.4.2.1. Analisa Interval QT 35
III.4.2.2. Interpretasi pengukuran 36
III.4.3. Outcome Stroke 37
III.5. RANCANGAN PENELITIAN 38
III.6. PELAKSANAAN PENELITIAN 38
III.6.1. Teknik Pengambilan Sampel 38
III.6.2. Kerangka Operasional 40
III.6.3. Variabel Yang Diamati 41
III.6.4. Analisa Statistik 41
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 43
IV.1. HASIL PENELITIAN 40
IV.1.1. Karakteristik Penelitian 40
IV.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian 40
IV.1.3. Hasil Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) 46
IV.1.3.1. Gambaran Elektrokardiografi pada penderita
Stroke dan kelompok kontrol 46
IV.1.3.2. Abnormalitas gambaran EKG (peningkatan dispersi QTc) pada penderita stroke dan
HALAMAN
IV.1.4. Distribusi lokasi lesi berdasarkan hasil
Head CT- scan 48
IV.1.5. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS 49
IV.1.5.1. Rerata nilai NIHSS, BI dan mRS 49
IV.1.5.2. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS berdasarkan titik potong luas (volume)
lesi 50 cm3 52
IV.1.5.3. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS
berdasarkan lokasi lesi 53
IV.1.6. Hubungan antara nilai QTcd dengan luas
(volume) lesi dan lokasi lesi 55
IV.1.7. Hubungan antara nilai QTcd dengan tipe stroke 56
IV.1.8. Hubungan antara nilai QTcd dengan skor NIHSS,
BI dan mRS 57
IV.1.9. Hubungan antara nilai QTcd dengan faktor resiko 58
IV.2. PEMBAHASAN 59
IV.2.1. Karakteristik demografi subjek penelitian 60
IV.2.2. Gambaran Elektrokardiografi (EKG) dan Abnormalitas gambaran EKG (peningkatan
dispersi QTc) pada penderita stroke dan kelompok
kontrol 62
IV.2.3. Hubungan antara nilai QTcd dengan luas (volume)
lesi dan lokasi lesi 63
IV.2.4. Hubungan antara nilai QTcd dengan tipe stroke 65
HALAMAN
IV.2.6. Hubungan antara nilai QTcd dengan faktor resiko 66
IV.2.6. Hubungan skor NIHSS, BI dan mRS dengan
luas lesi dan lokasi lesi 66
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 69
V.1. KESIMPULAN 69
V.2. SARAN 70
DAFTAR PUSTAKA 71
DAFTAR SINGKATAN
BI : Barthel Index
CRP : C-reactive protein
CT : Computed Tomography
CVA : Cerebrovascular Accident
CVD : Cerebrovascular Disease
DM : Diabetes Mellitus
EKG : Elektrokardiografi
EADs : Early after depolarizations
mRS : Modified Rankin Scale
MI : Myocard Infarct
MVP : Mitral Valve Prolaps
NCCT : Non-Contrast Computed Tomography
NIHSS : National Institute of Health Stroke Scale
PIS : Perdarahan Intraserebral
PSA : Perdarahan Subarakhnoid
PJK : Penyakit Jantung Koroner
QTc : QT corrected
QTcd : QTcorrected Dispersion
SD : Standart Deviation
SKG : Skala Koma Glasgow
SKRT : Survey Kesehatan Rumah Tangga
SPSS : Statistical Product and Science Service
TIA : Transient Ischemic Attack
DAFTAR LAMBANG
α : alfa
β : beta
cm : Centimeter
d : Desi
L : Liter
mg : Miligram
mm : Milimeter
n : Besar sampel
p : Tingkat kemaknaan
O2 : Oksigen
r : Koefisien korelasi
Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai α (0,01) yang telah ditentukan
Æ 1,96
Zβ : Nilai baku berdasarkan nilai β (0,15) yang ditentukan oleh peneliti
Æ 1,036
DAFTAR TABEL
HALAMAN
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian 45
Tabel 2. Gambaran EKG pada penderita stroke dan
kelompok kontrol 46
Tabel 3. Abnormalitas gambaran EKG pada penderita
stroke dan kelompok kontrol 47
Tabel 4. Rerata Dispersi QTc (QTcd) pada penderita stroke
akut dan kelompok kontrol 48
Tabel 5. Distribusi lokasi lesi berdasarkan hasil Head CT-scan 49
Tabel 6. Rerata nilai NIHSS, BI dan mRS 51
Tabel 7. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS
berdasarkan titik potong volume lesi 50 cm3 52
Tabel 8. Distribusi rerata nilai NIHSS, BI dan mRS berdasarkan
lokasi lesi 54
Tabel 9. Distribusi rerata nilai QTcd berdasarkan volume lesi 55
Tabel 10. Distribusi rerata nilai QTcd berdasarkan lateralisasi
Hemisfer 56
Tabel 11. Distribusi rerata nilai QTcd berdasarkan tipe stroke 56
Tabel 12. Hubungan antara nilai QTcd dengan skor NIHSS, BI
dan mRS 58
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
Gambar 1. EKG Normal 13
Gambar 2. Hubungan antara fase Potensial Aksi Jantung dan
EKG Permukaan 16
Gambar 3. EKG penderita dengan perdarahan subarkhnoid akut 18
DAFTAR LAMPIRAN
HALAMAN
Lampiran 1. Surat Persetujuan Ikut dalam Penelitian 77
Lampiran 2. Lembar Pengumpul Data 78
Lampiran 3. National Institute of Health Stroke Scale 84
Lampiran 4. Barthel Index 86
Lampiran 5. Modified Rankin Scale 87
Lampiran 6. Surat Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan 88 FK-USU
Lampiran 7. Karakteristik Data Penelitian Penderita Stroke 89
ABSTRAK
Latar belakang : Pada kebanyakan negara-negara industri, penyakit jantung dan serebrovaskular masih merupakan penyebab morbiditas, kecacatan dan kematian terbanyak. Penderita stroke mengalami peningkatan resiko perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG). Abnormalitas EKG yang paling sering berhubungan dengan stroke adalah perpanjangan interval QT, dijumpai pada 71% penderita perdarahan subarakhnoid, 64% penderita perdarahan intraparenkim dan 38% penderita stroke iskemik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan abnormalitas gambaran ekg (peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita stroke akut .
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap 21 penderita stroke akut yang dirawat di Bangsal Neurologi dan 21 penderita non stroke (kontrol) yang datang di Poliklinik Neurologi FK-USU/RSUP.H.Adam Malik Medan periode Juni 2009 hingga Maret 2010. Diagnosis stroke dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan neurologik serta neuroimejing. Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan tiga kali pada penderita stroke (hari pertama,ketujuh dan keempatbelas. dan satu kali pada kelompok kontrol. Pengukuran outcome dilakukan dengan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index
(BI) dan Modified Rankin Scale (mRS) pada hari pertama, ketujuh dan keempat belas.
Hasil : Dua puluh satu orang penderita stroke akut dan 21 orang kelompok kontrol diteliti pada penelitian ini. Penderita stroke terdiri dari 15 orang (71,4%) laki-laki dan 6 (28,6%) orang perempuan dengan rerata umur 59,24 tahun. Tipe stroke yang terbanyak adalah stroke iskemik (SI) berjumlah 15 orang (71,4%) dan stroke hemoragik 6 orang (28,6%). Sebelas (52,4%) lesi berada di hemisfer kanan dan sepuluh (47,6%) lesi di hemisfer kiri, dimana 81% (n=17) dengan volume lesi < 50 cm3 dan sisanya 19% (n=4) dengan volume lesi ≥ 50 cm3. Diperoleh nilai rerata dispersi QTc pada penderita stroke sebesar 52,22 milidetik dan kelompok kontrol 29, 52 milidetik. Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara nilai dispersi QTc dengan luas lesi, lokasi lesi dan tipe stroke (p>0,05). Terdapat korelasi positif antara nilai dispersi QTc dengan skor NIHSS hari pertama (r=0,201, p=0,382), hari ketujuh (r=0,424, p=0,055),hari keempatbelas (r=0,451, p=0,04) dan mRS hari pertama (r=0,282, p=0,215), hari ketujuh (r=0,347, p=0,124), hari keempatbelas (r=0,398, p=0,074) ; serta berkorelasi negatif dengan skor BI hari pertama (r= -0,303, p=0,182), hari ketujuh (r= -0,464, p=0,034) dan hari keempatbelas (r=-0,477, p=0,029).
Kesimpulan :: Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara peningkatan dispersi QT dengan luas lesi, lokasi lesi dan tipe stroke. Namun peningkatan dispersi QT berhubungan bermakna dengan penurunan skor NIHSS dan peningkatan skor BI.
ABSTRACT
Background : Cerebrovascular disease and heart disease are still major causes of morbidity, disablitity and death in most industrialized countries. Subjects with stroke had a higher risk to have the abnormality in their electrocardiography features. The most common electrocardiographic changes associated with stroke was QT prolongation interval, which was found in 71% subarachnoid patients, 64% intraparenchyma haemorrhage and remaining 38% with ischemic stroke. The aim of this study is to investigate the relationship between electrocardiographic changes ( The increased of QT dispersion) with lesion size and lesion localization in acute stroke patients.
Methods : This was cross sectional study of 21 acute stroke patients and 21 control group admitted to Neurological ward at School of Medicine, University of Sumatera Utara / H.Adam Malik Hospital Medan, from June 2009 to March 2010. Diagnosis of stroke was established on history, physical and neurological examinations and neuroimaging. Electrocardiographic examination was done three times for acute stroke patients and once for the control group. Outcome was measured with National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index (BI) and Modified Rankin Scale (mRS) on first, seventh and fourteenth days.
Results : Twenty one stroke patients and 21 control were included in this study. The stroke patients consisted of 15(71,4%) male and 6 (28,6%) female, mean of age was 59,24 years old. The most common stroke type was ischemic stroke , was found in 15 patients (71,4%) and haemorrhagic stroke in 6 patients (28,6%). Eleven right hemispheric lesion (52,4%) and 10 left hemispheric lesión(47,6%) , which it was found in 81% (n=17) with lesión size < 50 cm3 dan others 19% (n=4) with lesión size ≥ 50 cm3. There were QTc dispersión value in acute stroke as 52,22 msec dan the control group as 29, 52 msec. There were no significant correlation between QTc dispersión value with lesión size, lesión localization and stroke type (p<0,05). There were positive correlation between QTc dispersión value with NIHSS score in first day (r=0,201, p=0,382), seventh day (r=0,424, p=0,055), fourteenth day (r=0,451, p=0,04) and mRS score in first day (r=0,282, p=0,215), seventh day (r=0,347, p=0,124), fourteen day (r=0,398, p=0,074) ; and negative correlation with BI score in first day (r= -0,303, p=0,182), seventh day (r= -0,464, p=0,034) and fourteen day (r=-0,477, p=0,029).
Conclusions: There were no significant correlation between the increased QT dispersion with lesion size, lesion localization and stroke type. However, the increased QT dispersion were significant correlation with decreased NIHSS score and increased BI score.
Key words : QTc dispersion – Acute Stroke – Lesion size and Lesion localization -Stroke type - Outcome
ABSTRAK
Latar belakang : Pada kebanyakan negara-negara industri, penyakit jantung dan serebrovaskular masih merupakan penyebab morbiditas, kecacatan dan kematian terbanyak. Penderita stroke mengalami peningkatan resiko perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG). Abnormalitas EKG yang paling sering berhubungan dengan stroke adalah perpanjangan interval QT, dijumpai pada 71% penderita perdarahan subarakhnoid, 64% penderita perdarahan intraparenkim dan 38% penderita stroke iskemik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan abnormalitas gambaran ekg (peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita stroke akut .
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap 21 penderita stroke akut yang dirawat di Bangsal Neurologi dan 21 penderita non stroke (kontrol) yang datang di Poliklinik Neurologi FK-USU/RSUP.H.Adam Malik Medan periode Juni 2009 hingga Maret 2010. Diagnosis stroke dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan neurologik serta neuroimejing. Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan tiga kali pada penderita stroke (hari pertama,ketujuh dan keempatbelas. dan satu kali pada kelompok kontrol. Pengukuran outcome dilakukan dengan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index
(BI) dan Modified Rankin Scale (mRS) pada hari pertama, ketujuh dan keempat belas.
Hasil : Dua puluh satu orang penderita stroke akut dan 21 orang kelompok kontrol diteliti pada penelitian ini. Penderita stroke terdiri dari 15 orang (71,4%) laki-laki dan 6 (28,6%) orang perempuan dengan rerata umur 59,24 tahun. Tipe stroke yang terbanyak adalah stroke iskemik (SI) berjumlah 15 orang (71,4%) dan stroke hemoragik 6 orang (28,6%). Sebelas (52,4%) lesi berada di hemisfer kanan dan sepuluh (47,6%) lesi di hemisfer kiri, dimana 81% (n=17) dengan volume lesi < 50 cm3 dan sisanya 19% (n=4) dengan volume lesi ≥ 50 cm3. Diperoleh nilai rerata dispersi QTc pada penderita stroke sebesar 52,22 milidetik dan kelompok kontrol 29, 52 milidetik. Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara nilai dispersi QTc dengan luas lesi, lokasi lesi dan tipe stroke (p>0,05). Terdapat korelasi positif antara nilai dispersi QTc dengan skor NIHSS hari pertama (r=0,201, p=0,382), hari ketujuh (r=0,424, p=0,055),hari keempatbelas (r=0,451, p=0,04) dan mRS hari pertama (r=0,282, p=0,215), hari ketujuh (r=0,347, p=0,124), hari keempatbelas (r=0,398, p=0,074) ; serta berkorelasi negatif dengan skor BI hari pertama (r= -0,303, p=0,182), hari ketujuh (r= -0,464, p=0,034) dan hari keempatbelas (r=-0,477, p=0,029).
Kesimpulan :: Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara peningkatan dispersi QT dengan luas lesi, lokasi lesi dan tipe stroke. Namun peningkatan dispersi QT berhubungan bermakna dengan penurunan skor NIHSS dan peningkatan skor BI.
ABSTRACT
Background : Cerebrovascular disease and heart disease are still major causes of morbidity, disablitity and death in most industrialized countries. Subjects with stroke had a higher risk to have the abnormality in their electrocardiography features. The most common electrocardiographic changes associated with stroke was QT prolongation interval, which was found in 71% subarachnoid patients, 64% intraparenchyma haemorrhage and remaining 38% with ischemic stroke. The aim of this study is to investigate the relationship between electrocardiographic changes ( The increased of QT dispersion) with lesion size and lesion localization in acute stroke patients.
Methods : This was cross sectional study of 21 acute stroke patients and 21 control group admitted to Neurological ward at School of Medicine, University of Sumatera Utara / H.Adam Malik Hospital Medan, from June 2009 to March 2010. Diagnosis of stroke was established on history, physical and neurological examinations and neuroimaging. Electrocardiographic examination was done three times for acute stroke patients and once for the control group. Outcome was measured with National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index (BI) and Modified Rankin Scale (mRS) on first, seventh and fourteenth days.
Results : Twenty one stroke patients and 21 control were included in this study. The stroke patients consisted of 15(71,4%) male and 6 (28,6%) female, mean of age was 59,24 years old. The most common stroke type was ischemic stroke , was found in 15 patients (71,4%) and haemorrhagic stroke in 6 patients (28,6%). Eleven right hemispheric lesion (52,4%) and 10 left hemispheric lesión(47,6%) , which it was found in 81% (n=17) with lesión size < 50 cm3 dan others 19% (n=4) with lesión size ≥ 50 cm3. There were QTc dispersión value in acute stroke as 52,22 msec dan the control group as 29, 52 msec. There were no significant correlation between QTc dispersión value with lesión size, lesión localization and stroke type (p<0,05). There were positive correlation between QTc dispersión value with NIHSS score in first day (r=0,201, p=0,382), seventh day (r=0,424, p=0,055), fourteenth day (r=0,451, p=0,04) and mRS score in first day (r=0,282, p=0,215), seventh day (r=0,347, p=0,124), fourteen day (r=0,398, p=0,074) ; and negative correlation with BI score in first day (r= -0,303, p=0,182), seventh day (r= -0,464, p=0,034) and fourteen day (r=-0,477, p=0,029).
Conclusions: There were no significant correlation between the increased QT dispersion with lesion size, lesion localization and stroke type. However, the increased QT dispersion were significant correlation with decreased NIHSS score and increased BI score.
Key words : QTc dispersion – Acute Stroke – Lesion size and Lesion localization -Stroke type - Outcome
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak yang ketiga di
Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker, demikian juga di
berbagai negara di dunia (Hacke dkk, 2003; Blecic, 2001; Sacco, 2001;
Caplan, 2000).
Di Indonesia, menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995, stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan yang utama yang harus ditangani dengan segera, tepat dan
cermat (Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi,
1999).
Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional
dengan 20% penderita yang masih bertahan hidup membutuhkan
perawatan institusi setelah 3 bulan dan 15-30% menjadi cacat permanen
(Goldstein dkk, 2006).
Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat
dengan bertambahnya usia dan merupakan penyebab kecacatan yang
utama diantara semua orang dewasa dan kecacatan yang memerlukan
fasilitas perawatan jangka panjang diantara populasi usia tua (Johnson
dan Kubal, 1999; Ropper and Brown, 2005; Gilroy, 2000 ).
Berbagai komplikasi dapat terjadi setelah serangan stroke, salah
satu diantaranya adalah komplikasi kardiovaskular (Adams dkk, 2003).
penderita stroke akut harus dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi
(EKG) (Adams dkk, 2007; Khechinashvili dkk, 2002).
Elektrokardiografi merupakan alat yang sederhana, sangat berguna
dan tersedia untuk mendiagnosa kelainan jantung (Mieghem dkk, 2004;
Okin dkk, 2004). EKG yang dilakukan segera setelah penderita tiba di
rumah sakit dapat digunakan untuk mengidentifikasi penderita yang
memiliki resiko tinggi yang memerlukan penanganan segera (Savonitto
dkk, 2006).
Perubahan gambaran EKG pada fase akut stroke telah dilaporkan
sejak tahun 1947. Sejak saat itu, banyak penelitian yang mempublikasikan
perubahan gambaran EKG, seperti aritmia, abnormalitas hantaran dan
repolarisasi pada penderita akut stroke (Khechinashvili dkk, 2002).
Abnormalitas EKG paling sering terjadi pada penderita perdarahan
subarakhnoid, tetapi abnormalitas ini juga ditemukan pada penderita
stroke iskemik perdarahan intrakranial, trauma kapitis, prosedur bedah
saraf, meningitis akut, tumor intrakranial dan epilepsi (Mieghem dkk,
2004).
Abnormalitas EKG yang paling sering berhubungan dengan stroke
adalah perpanjangan interval QT, dimana dijumpai pada 71 % penderita
perdarahan subarakhnoid, 64 % penderita perdarahan intraparenkim dan
38 % penderita stroke iskemik (Familloni dkk, 2006).
Pada beberapa studi stroke iskemik, prognostik yang terpenting
perpanjangan interval QT telah dibuktikan. Namun, sedikit penelitian pada
dispersi QT dan dispersi QT corrected (QTc)(Familloni dkk, 2006).
Dispersi QT adalah perbedaan antara interval QT maksimal dan
minimal pada EKG 12 sadapan yang merupakan marker repolarisasi
ventrikel yang heterogen (Lazar dkk, 2003).
Studi yang telah dilakukan menunjukkan dispersi QT merupakan
prediktor outcome yang jelek pada berbagai penyakit jantung.
Peningkatan dispersi QT berhubungan dengan aritmia jantung dan
kematian mendadak penderita infark miokard, hipertrofi ventrikel kiri, gagal
jantung kongestif, penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan gagal
ginjal tahap akhir (Afsar dkk, 2003; Lazar dkk, 2008).
Beberapa studi juga telah meneliti bermaknasi pengukuran dispersi
QT pada penderita stroke (Randell dkk, 1999; Eckardt dkk, 1999; Afsar
dkk, 2003; Lazar dkk, 2003 ).
Menurut Jain dkk (2004), perubahan EKG yang paling sering
dijumpai pada penderita perdarahan subarakhnoid adalah prolongation
interval QT, ST segmen elevasi atau depresi, gelombang T inverted dan
prevalensinya berkisar antara 50-100%.
Randell dkk (1999) melaporkan studi pada 26 penderita
subarakhnoid dan 16 kontrol dimana terdapat peningkatan dispersi QT
pada penderita dengan perdarahan subarakhnoid dibandingkan kontrol.
Lazar dkk (2003) melakukan studi retrospektif pada 140 penderita
dengan kelainan neurologis akut dan menemukan bahwa rata-rata nilai
dibandingkan Cerebrovascular Accident (CVA) dan Transient Ischemic
Attack (TIA).
Familloni dkk (2006) menemukan 28 penderita stroke iskemik yang
mengalami perpanjangan interval QTc maksimal diatas 440 msec dan
interval dispersi QT secara bermakna lebih panjang pada penderita
tersebut daripada kontrol seperti halnya juga dengan interval dispersi QTc.
Afsar dkk (2003) meneliti 36 penderita stroke akut tanpa riwayat
penyakit jantung sebelumnya dan menemukan adanya korelasi dispersi
QTc dengan luas lesi pada pemeriksaan EKG 24 jam setelah onset
stroke, dimana nilai dispersi QTc secara bermakna sangat tinggi pada
penderita dengan luas (volume) lesi besar dibandingkan penderita dengan
luas (volume) lesi kecil.
Studi Taschl dkk (2006) secara prospektif pada 120 penderita
stroke akut menunjukkan bahwa perpanjangan QT kebanyakan pada
penderita dengan lesi kecil di daerah insular. Perbedaan hubungan
antara ukuran infark dengan perpanjangan QT dapat menggambarkan
perbedaan kontribusi pada daerah kortikal yang berbeda untuk regulasi
otonom dan menjelaskan fakta bahwa tidak dijumpai perpanjangan QT
pada penderita dengan lesi besar di daerah tersebut.
Perpanjangan interval QT lebih sering terjadi pada stroke hemisfer
kanan daripada hemisfer kiri karena beberapa tingkatan lateralisasi dari
fungsi otonom (Chalela dkk ,2006).
Eckardt dkk (1999) melakukan studi pada 40 penderita stroke
keterlibatan korteks insular , dispersi QT secara bermakna lebih panjang
dibandingkan dengan penderita tanpa keterlibatan insular.
Pada penelitian Afsar dkk (2003) tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara peningkatan Dispersi QT, QTcd dan lokasi stroke pada
pemeriksaan EKG 24 jam setelah onset namun dijumpai peningkatan nilai
QTcd lebih besar secara bermakna pada penderita dengan lesi kanan
daripada lesi kiri saat pemeriksaan EKG 72 jam setelah onset .
Dari penelitian Huang dkk (2004) secara bermakna terdapat nilai
dispersi QTc yang panjang pada penderita dengan keterlibatan batang
otak dibandingkan tanpa keterlibatan batang otak.
Perubahan EKG pada penderita stroke akut sering berhubungan
dengan peningkatan mortalitas, bahkan walaupun tidak dijumpai lesi pada
jantung (Kuntzer dan Waeber, 1996). EKG secara bermakna dan
independen dapat memprediksi mortalitas penderita (Okin dkk, 2004;
Fagard dkk, 2004).
Beberapa studi menyatakan bahwa perpanjangan interval QT
berhubungan dengan tingkat kematian pada penderita stroke (Familloni
dkk 2006). Dispersi QT merupakan suatu penanda dari repolarisasi
abnormal jantung yang dihubungkan dengan peningkatan tingkat
kematian pada penderita perdarahan intrakranial akut (Chalela dkk, 2006).
Lazar dkk (2003) dalam studinya memakai tiga skala fungsional
yaitu NIHSS, BI dan MRS yang berguna untuk mengevaluasi status
peningkatan dispersi QT berhubungan dengan outcome fungsional yang
rendah pada ketiganya.
Sedangkan pada studi Lazar dkk (2008) dijumpai peningkatan
dispersi QT berhubungan dengan outcome fungsional yang jelek dan
mortalitas yang meningkat pada penderita yang masuk rumah sakit
dengan kejadian neurologis akut. Pada kejadian ini, dispersi QT
mencerminkan injury neurologis seperti yang terjadi pada penyakit
jantung.
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti
yang telah diuraikan diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah hubungan antara abnormalitas gambaran EKG
(peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita
stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya.
I.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan :
I.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG
(peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita
I.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui gambaran EKG dan abnormalitas EKG pada
penderita stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya
dan penderita kontrol yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik
Medan.
2. Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG
(peningkatan dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada
penderita stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya
yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.
3. Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG
(peningkatan dispersi QT) dengan tipe stroke pada penderita stroke
akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya yang dirawat di
RSUP H. Adam Malik Medan.
4. Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG
(peningkatan dispersi QT) dengan outcome fungsional pada
penderita stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya
yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.
5. Untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas gambaran EKG
(peningkatan dispersi QT) dengan faktor resiko pada penderita
stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya yang
I.4. HIPOTESIS
Ada hubungan antara abnormalitas gambaran EKG (peningkatan
dispersi QT) dengan luas dan lokasi lesi pada penderita stroke akut tanpa
riwayat penyakit jantung sebelumnya.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
Dengan mengetahui adanya hubungan antara peningkatan dispersi
QT dengan luas dan lokasi lesi pada penderita stroke akut tanpa riwayat
penyakit jantung sebelumnya, maka dapat dilakukan penatalaksanaan
yang lebih komprehensif terhadap abnormalitas EKG tersebut sehingga
dapat menurunkan angka mortalitas penderita yang dirawat di bangsal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. STROKE
II.1.1. Definisi
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok Studi
Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi, 1999).
II.1.2. Epidemiologi
Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di
Amerika Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah
penyakit jantung dan kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat
mengalami stroke tiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak
150.000 (90.000 perempuan dan 60.000 laki-laki) mati akibat stroke. Di
China, kira-kira 1,5 juta penduduk mati setiap tahun oleh karena stroke
(Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).
Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang
kelompok usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses
patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli,
kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta
komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital
maupun degeneratif, atau akibat proses lain, seperti peradangan,
aterosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus (Misbach, 1999).
II.1.3. Klasifikasi Stroke
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas
patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah)
(Misbach, 1999).
1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
a) Stroke iskemik
i) Transient Ischemic Attack (TIA)
ii) Trombosis serebri
iii) Emboli serebri
b) Stroke hemoragik
i) Perdarahan intraserebral
ii) Perdarahan subarakhnoid
2) Berdasarkan stadium:
a) Transient Ischemic Attack (TIA)
b) Stroke in evolution
c) Completed stroke
3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
a) Tipe karotis
II.2. ELEKTROKARDIOGRAFI
II.2.1. EKG NORMAL
Elektrokardiografi adalah suatu alat yang sederhana, relatif murah,
praktis dan dapat dibawa kemana-mana, tetapi harus diingat bahwa
walaupun alat ini sangat berguna, banyak pula keterbatasannya. Dalam
usaha menginterpretasikan gambaran EKG normal belum tentu
menunjukkan jantung normal, sebaliknya gambaran EKG abnormal belum
tentu menunjukkan jantung yang tidak normal (Munawar dkk, 2002).
Banyak variasi mengenai EKG normal. Faktor-faktor yang
mempengaruhi adalah habitus tubuh, sumbu listrik jantung, ukuran dada
dan keadaan lain seperti obesitas dan penyakit paru. Kriteria yang dipakai
di bawah ini hanyalah sebagai pegangan, namun diagnosis akhir apakah
jantung normal atau abnormal harus dibuat berdasarkan gambaran klinis
secara keseluruhan (Munawar dkk,2002).
Kriteria (Munawar dkk,2002)
1). Gelombang P
Positif (keatas) di sandapan I, II,aVF dan V3 –V6. Di sandapan aVR
gelombang P selalu negatif (terbalik). Sedang di sandapan II, aVL,
V1 dan V2 gelombang P sangat bervariasi. Interval PR berkisar
antara 0,11 sampai dengan 0,20 detik.
2). Gelombang Q
Gelombang Q kecil (kurang dari 0,045 detik, kurang dari ¼
gelombang R) normal terlihat di I, V5 atau V6. Terjadinya
kanan atas dan muka. Olehkarena itu gelombang Q kecil atau
bahkan kadang-kadang tak terlihat di sandapan II, aVF dan V3. Di
sandapan III dan aVL terlihat kecil atau bahkan kadang-kadang tak
terlihat dan kadang-kadang tak terlihat cukup bermakna.
3). Gelombang R
Tergantung dari sumbu QRS. Biasanya sangat dominan di I dan II,
V5 dan V6. Di sandapan aVR, V1 dan V2 biasanya hanya kecil
atau tidak ada sama sekali.
4). Gelombang S
Tidak terlihat atau kurang dibanding gelombang R di sandapan I
atau II . Tetapi di sandapan III, aVF dan aVL biasanya lebih
menonjol atau justru tidak terlihat. Di sandapan aVR, V1 dan V2,
gelombang S terlihat lebih menonjol. Di V4-V6 kurang dibanding R.
5). Gelombang T
Positif di sandapan I, II, V3-V6. Terbalik di aVR. Di sandapan III,
aVF, aVL, V1 dan V2, gelombang T bervariasi.
6). Interval QT
Interval in akan memendek bila laju jantung bertambah cepat,
sebaliknya akan memanjang bila laju jantung lambat (interval QT
0,41 detik pada laju jantung 50/menit dan berubah menjadi 0,31
detik pada laju jantung 100/menit).
7). Segmen ST
Biasanya isoelektris. Bervariasi sampai +1 mm di sandapan
Gambar 1. EKG normal. Dikutip dari : Mirvis D.M, Goldberger A.L 2005. Electrocardiography. In : Brauwald E. Ed. Heart Disease : Textbook of Cardiovascular Medicine . 6th. Edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company.p. 107-118.
II.2.2. INTERVAL QT DAN DISPERSI QT
II.2.2.1. Definisi
Interval QT adalah jarak yang diukur pada rekaman EKG
permukaan , mulai dari defleksi pertama kompleks QRS sampai dengan
bagian terminal gelombang T (mm), yakni titik potong gelombang T
dengan garis isoelektrik (Okin dkk, 2000)
Dispersi QT adalah perbedaan antara interval QT maksimum dan
minimum pada rekaman EKG. (Afsar, 2003).
Dispersi QT ini merupakan marker dari adanya heterogenitas
repolasasi ventrikel. Dispersi QT dihitung dengan menggunakan
perbedaan antara nilai maksimum dan minimum interval QT. Biasanya
dispersi QT dikoreksi menggunakan rumus Bazzett’s sehingga
II.2.2.2. Nilai Normal Interval QT dan Dispersi QT
Secara umum nilai normal interval QTc kurang atau sama dengan
440 milidetik. Beberapa studi mengemukakan bahwa nilai tersebut
mungkin dapat memanjang 20 milidetik, dan sedikit memanjang pada
perempuan. Interval QTc memanjang jika nilai QTc lebih dari 440 milidetik
(Mirvis dkk,2005).
Nilai dispersi QT sangat bervariasi, berkisar dari 10 sampai 71
milidetik pada subjek normal. Suatu studi 8455 subjek kontrol dengan usia
yang bervariasi, termasuk anak-anak yang sehat, didapatkan nilai rerata
dispersi QT berkisar dari 11 sampai 71 milidetik. Nilai yang sama juga
dilaporkan pada studi yang besar dan beberapa tinjauan kepustakaan
yang menganggap bahwa batas atas normal dari dispersi QT pada subjek
normal adalah 65 milidetik. Nilai dispersi QT lebih dari 70 milidetik
dianggap memanjang, namun nilai normal belum ada kesepakatan (Malik
dan Bathcarov, 2000)
II.2.2.3. Patofisiologi Perpanjangan Interval QT
Perpanjangan interval QT disebabkan oleh peningkatan durasi
salah satu atau lebih komponen kompleks QRS, segmen ST dan
gelombang T. Interval QTc memanjang juga merupakan penanda
non-invasif substrat aritmogenik elektrofisiologis yang berkorelasi dengan
risiko tinggi terhadap kejadian aritmia ventrikel, sinkop dan kematian
bermuatan positif selama masa repolarisasi (Tan H.L dkk,1995; Rubart M
dkk, 2001; Ramaswamy dkk, 2000).
Gelombang depolarisasi (fase 0) jaringan ventrikel disebabkan oleh
pergerakan cepat ion natrium dari ruang ekstrasel ke intrasel, suatu
proses yang dikenal sebagai arus natrium cepat. Aliran keluar ion K dan
masuknya ion Ca2+ bertanggung jawab terhadap awal repolarisasi (fase
1). Kemudian diikuti fase plato (fase 2), yang merupakan penentu utama
durasi potensial aksi. Durasi fase plato ditentukan melalui keseimbangan
aliran kation ke dalam dan keluar secara kompetitif di kanal-kanal ion.
Termasuk inaktivasi lambat kanal natrium , kanal kalsium tipe-L dan kanal
kalium. Repolarisasi (fase 3) dihasilkan dari inaktivasi arus kalsium
bersamaan dengan peningkatan arus keluar kalium. Aliran masuk dari
kanal kalium selanjutnya bertanggungjawab terhadap pemeliharaan
potensial membran istirahat (fase 4) (Gambar 1) (Tan H.L dkk,1995;
Rubart M dkk, 2001; Ramaswamy dkk, 2000).
Kanal ion Kalium tertutup, terjadi penundaan pembukaan atau
membuka dalam waktu singkat, menyebabkan penurunan arus kalium ke
luar sel. Akibatnya, repolarisasi menjadi memanjang. Menetapnya arus ion
Na+ masuk ke dalam sel, juga berakibat repolarisasi memanjang (Tan HL
dkk, 1995; Rubart M dkk, 2001). Hal inilah yang menyebabkan interval QT
memanjang dan early afterdepolarizations (EADs) . Perpanjangan
repolarisasi ini selanjutnya juga akan memperlambat inaktivasi kanal Ca2+
yang akan memicu terjadinya aritmia ventrikel (Ramaswamy dkk, 2000;
Tan HL dkk, 1995 ; Rubart M dkk, 2001 ).
Gambar 2. Hubungan antara Fase Potensial Aksi Jantung dan EKG Permukaan. Dikutip dari : Tan HL dkk. Electrophysiologic Mechanisms of The Long Interval QT Syndromes and Torsade de Pointes. Ann Intern Med 1995; 122: 701-14.
II.2.2.4. Etiologi
Perpanjangan interval QT secara etiologis dikategorikan dalam
bentuk primer dan sekunder karena berbagai penyebab antara lain (
Akhtar M , 2003; Camm dkk, 2000; Victor dkk, 2004; Silvia dkk, 2003) :
a. Kongenital (primer) :
1. Sindrom Jervell- Lange Nielsen
2. Sindrom Romano- Ward
b. Didapat (sekunder) :
1. Induksi obat : digitalis, aritmia, antibiotik, antidepresan, anti
2. Abnormalitas metabolik /elektrolit : hipomagnesemia,
hipokalsemia, hipokalemi.
3. Hipertensi sistemik
4. Sirosis hati
5. Gangguan pada sistem saraf pusat atau otonom.
6. Lain-lain : iskemia dan infark miokard, prolaps katup mitral
(MVP), penyakit jantung koroner (PJK), kardiomiopati,dsb.
II.2.2.5. Gambaran EKG Interval QT memanjang
Interval QT memanjang sering berhubungan dengan perubahan
morfologi gelombang T, menjadi cekung, bifasik dan terdapat komponen
lain yang menampilkan distribusi heterogen repolarisasi ventrikel. Interval
QT mencakup dua komponen yaitu depolarisasi dan repolarisasi, dan
peningkatan salah satu atau keduanya akan menghasilkan perpanjangan
interval QT (gambar 3). Gelombang T terbentuk oleh repolarisasi pada
lapisan selain miokard (epikard, endokard, miokard). Proses repolarisasi
ini meluas dari apeks hingga basis ventrikel terutama diatur oleh
Gambar 3. EKG penderita dengan perdarahan subarachnoid akut, interval QT mengalami perpanjangan (QTc =613milidetik).
Dikutip dari : Mieghem C.V, Sabbe M, Knockaert D. 2004. The Clinical Value of the ECG in Noncardiac Conditions. Chest ; 125 : 1561-76.
II.3. MEKANISME PERPANJANGAN INTERVAL QT PADA STROKE
Peningkatan dispersi QT terutama sekali berkaitan dengan
inhomogenitas dari repolarisasi jantung. Akan tetapi, mekanisme dan
sistem regulasi berbeda yang mempengaruhi dispersi QT masih belum
dimengerti. (Perkiomaki dkk, 2001).
Telah lama diketahui bahwa lesi pada susunan saraf pusat dapat
menyebabkan perubahan EKG, aritmia jantung dan gangguan refleks
kardiovaskuler (Naver dkk, 1996). Dimana susunan saraf pusat
memegang peran penting dalam regulasi fungsi otonom. Batang otak,
pons, hipotalamus merupakan area utama yang berperan mengontrol
homeostasis vaskular. Tiap level otak tersebut memiliki bagian yang
(Kuntzer dan Waeber, 1996). Hubungan ini bisa dilihat pada gambar
berikut :
Gambar 4. Dikutip dari: Kuntzer T, Waeber B, 1996. Peripheral nerve, muscle, and autonomic changes. In: Bogousslavsky, J. Caplan, L. (eds). Stroke Syndrome. pp. 200-7. Cambridge University Press. Australia.
Secara bermakna, peningkatan dispersi QT merupakan kejadian
repolarisasi dan perpanjangan otot jantung sebagai akibat
ketidakseimbangan sistem saraf simpatis dan parasimpatis . Disfungsi
sistem otonom ini akan mengarah ke repolarisasi jantung abnormal , dan
dapat menyebabkan peningkatan dispersi QTc ( Huang dkk,2004).
Abnormalitas EKG, sebagaimana nekrosis sel miokard terjadi
setelah stroke paling sering disebabkan peningkatan aktifitas saraf
simpatis yang dimediasi dari sentral. Area difus atau fokal dari nekrosis
miokard mirip seperti yang diamati pada penderita pheochromocytoma
parasimpatis dapat dijumpai pada beberapa penderita dengan kejadian
supresi sinus node atau blok atrioventrikuler (Kuntzer dan Waeber, 1996).
Bagaimana patologi SSP berperan pada iskemik miokard, telah ada
hipotesa bahwa injury SSP dapat menimbulkan tonus simpatis yang
berlebihan dan produksi katekolamin. Tempat yang paling penting
mengontrol susunan saraf simpatis adalah pada korteks insular, amigdala
dan hipotalamus lateral (Mieghem dkk, 2004).
Brainin dan Gugging (2005) menyatakan bahwa pada penderita
stroke akut dengan lesi pada daerah insular berhubungan dengan
disfungsi jantung seperti QT prolongation.
Pada penderita stroke, dimana ada kecenderungan terjadi
bersamaan dengan penyakit arteri koroner adalah tinggi, diyakini bahwa
peningkatan tonus simpatis menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen
dan kadang-kadang kerusakan miokard. Korban kecelakaan lalu lintas
dan penderita perdarahan subarakhnoid juga menunjukkan kerusakan
miokard pada keberadaan arteri koroner normal. Penelitian klinis memberi
dukungan lebih lanjut terhadap hipotesa overaktivitas simpatis. Kerusakan
miokardial dapat dihasilkan secara eksperimental dengan pemberian
secara parenteral katekolamin atau dengan stimulasi elektrik pada daerah
tertentu di otak seperti pada hipotalamus dan insula. Lesinya mirip seperti
yang ditemukan pada penderita pheochromocytoma atau pecandu kokain.
Katekolamin mungkin memberi efek toksik secara langsung pada sel-sel
miokardial atau memediasi vasokonstriksi arteri koroner yang diikuti
Walaupun beberapa peneliti menyatakan bahwa disfungsi jantung
berhubungan dengan abnormalitas EKG dan edema pulmonum,
mekanisme pasti yang mendasari kerusakan jantung masih belum
diketahui. Salah satu dugaan penyebabnya adalah aktivasi yang terus
menerus dari sistem saraf simpatis, yang dikarakteristikkan dengan
sekresi katekolamin yang berlebihan dari terminal saraf simpatis ke
jaringan (Masuda dkk, 2002).
Pada suatu penelitian manusia dan binatang telah diketahui bahwa
terdapat asimetris anatomi dan fungsi pada persarafan otonom jantung.
Sistem parasimpatis dan simpatis yang mensarafi jantung mempunyai
beberapa paralel, pada sisi kanan bekerja untuk nodus sinus dan pada
sisi kiri untuk nodus ventrikuloatrial dan ventrikel (Naver dkk,1998 ;
Tokgozoglu dkk, 1999 ).
Adanya bukti dari lateralisasi kortikal pada regulasi fungsi
kardiovaskular mengindikasikan bahwa iskemik pada hemisfer kanan
mempunyai konsekuensi simpatis yang lebih besar daripada hemisfer kiri
(Strittmatter dkk, 2003).
Dispersi QT digunakan sebagai faktor prognostik
penderita-penderita dengan penyakit kardiovaskuler yang beresiko untuk takiaritmia
ventrikuler dan kematian mendadak. Stroke akut diketahui akan
mengakibatkan abnormalitas EKG termasuk perpanjangan QT (Lazar,
2008).
Randell menemukan bahwa pada 26 penderita dengan perdarahan
kontrol yang mempunyai aneurisma cerebral yang tidak ruptur (Randell,
1999).
Eckardt dkk, meneliti pada 40 penderita dengan stroke iskemik
hemisfer unilateral dan menemukan bahwa dispersi QT berhubungan
dengan lokasi lesi serebri (Eckardt, 1999).
Afsar dkk, juga menemukan bahwa perpanjangan nilai dispersi QT
pada 36 penderita dengan stroke akut bila dibandingkan kontrol (Afsar,
2003).
Dispersi QT memang berhubungan dengan mortalitas yang lebih
tinggi dan hasil akhir yang lebih jelek pada penyakit serebrovaskuler
(Lazar, 2008).
II.4. COMPUTED TOMOGRAPHY (CT) DAN VOLUME LESI
Sejak diperkenalkan tahun 1973, CT telah merubah pendekatan
akan diagnosa stroke. Dengan CT memungkinkan dengan jelas
membedakan iskemia otak dengan perdarahan dan menetukan ukuran
dan lokasi dari infark dan hemorhage (Furlan, 2001 ; Caplan, 2000). CT
sken tanpa kontras (Non-Contrast Computed Tomography / NCCT)
merupakan pemeriksaan radiologi rutin yang pertama di unit gawat darurat
untuk menilai penderita dengan stroke akut, dan masih tetap merupakan
pemeriksaan imejing stroke akut yang standart. Peran standart dari NCCT
dalam mendiagnosa stroke akut dengan cepat mendeteksi perdarahan
Pada infark otak akut menurut standart pendidikan bahwa CT
adalah normal dalam 24 jam pertama setelah onset stroke (Furlan, 2001).
Pada iskemia, pada stadium awal sering normal atau hanya sedikit
abnormalitas. Selama hari-hari pertama onset stroke, infark biasanya bulat
atau oval dan batasnya kurang tegas. Kemudian menjadi lebih hipodense
dan gelap, dan lebih seperti baji (wedge-like) dan berbatas. Sebagian
infark yang tadinya hipodens menjadi isodens setelah minggu kedua dan
ketiga onset. Hal ini yang disebut sebagai fogging effect kadang-kadang
dapat mengaburkan lesi (Caplan, 2000).
Pantano dkk (1998) melaporkan bahwa sekitar dua pertiga
penderita ukuran infark ditegakkan dalam 24-36 jam setelah onset stroke,
sedangkan sisanya perubahan volume lesi dapat terjadi sesudah 24-36
jam pertama.
II.5. OUTCOME STROKE DAN INSTRUMEN
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan
sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat
batasan sebagai berikut (Caplan, 2000) :.
1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis
dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi,
fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.
2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk
seperti : tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh
stroke.
3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita
stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau
“disability” tersebut .
Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified
Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah
digunakan, pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan
memperlihatkan interrater reliability (Sulter dkk, 1999 ; Weimar dkk, 2002).
Instrumen
Dalam uji klinik Barthel Index (BI) dan Modified Rankin Scale
(mRS) merupakan skala yang sering digunakan untuk menilai outcome
dan merupakan pengukuran yang dapat dipercaya yang memberi
penilaian yang lebih objektif terhadap pemulihan fungsional setelah stroke
(Sulter dkk, 1999).
Barthel Index telah dikembangkan sejak tahun 1965, dan kemudian
dimodifikasi oleh Granger dkk sebagai suatu tehnik yang menilai
pengukuran performasi penderita dalam 10 aktifitas hidup sehari-hari yang
dikelompokkan kedalam 2 kategori yaitu (Sulter dkk, 1999) :
- Kelompok yang berhubungan dengan self-care antara lain : makan,
membersihkan diri, mandi, berpakaian, perawatan buang air besar dan
- Kelompok yang berhubungan dengan morbiditas antara lain : berjalan,
berpindah dan menaiki tangga.
Skor maksimum dari BI ini adalah 100, yang menunjukkan bahwa
fungsi fisik penderita benar-benar tanpa bantuan, dan nilai terendah
adalah 0 yang menunjukkan ketergantungan total (Sulter dkk, 1999).
Skala mRS lebih mengukur ketergantungan daripada performasi
aktifitas spesifik, dalam hal ini mental demikian juga adaptasi fisik
digabungkan dengan defisit neurologi. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu
dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/
ketidakmampuan yang berat (Sulter dkk, 1999). Skala mRS adalah lebih
sensitif untuk penilaian pada penderita dengan disabilitas ringan dan
sedang (Weimar dkk, 2002). Meskipun kedua skala tersebut diatas
mudah digunakan dan dapat dipercaya, belum ada konsensus mengenai
bagaimana skala tersebut seharusnya digunakan untuk menentukan
outcome pada uji klinik (Sulter dkk, 1999).
Sulter dkk (1999) melakukan trial pada beberapa penelitian yang
menggunakan skala BI dan mRS pada stroke iskemik, dimana pada studi
Granger dkk menemukan bahwa skor 60 pada BI berhubungan dengan
pergeseran dari dependent menjadi independent. Dan skor 85
menunjukkan peralihan dari memerlukan bantuan minimal ke-tanpa
bantuan (independent).
Pengukuran National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)
untuk menilai impairment terdiri dari 12 item pertanyaan (tingkat
palsy, pemeriksaan lapangan pandang, fasial palsy, motorik, ataksia,
sensori, bahasa disartria, dan ekstensi/inattention). Skala ini telah banyak
digunakan pada penelitian-penelitian dalam terapi stroke akut dan
merupakan pemeriksaan standar dalam penelitian klinis. Nilai skor NIHSS
saat penderita mengalami stroke akan dapat digunakan sebagai prediksi
perawatan pada saat setelah masa akut, dimana setiap peningkatan 1
poin skor secara bermakna akan menambah lama rawatan di rumah sakit.
Ada 3 rentang skor NIHSS yang secara bermakna berhubungan dengan
perawatan penderita stroke, yaitu skor ≤ 5 (ringan) penderita dapat keluar
dari rumah sakit, skor 6-13 (sedang) penderita memerlukan rehabilitasi
dan > 13 (berat) akan memerlukan fasilitas perawatan yang lama (Meyer
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK-USU/RSUP.H.Adam
Malik Medan dari tanggal 1 Juni 2009 s/d 31 Maret 2010.
III.2. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian diambil dari populasi penderita rumah sakit.
Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non
random secara konsekutif.
Populasi Sasaran
Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis dan CT sken otak.
Populasi Terjangkau
Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap terpadu
(Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU/RSUP.H.Adam Malik
Medan.
Besar Sampel
Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Madiyono, 1995)
(Zα + Zβ) Sd 2
n1 = n2 ≥
d
Zα = nilai baku normal dari tabel Z, yang besarnya tergantung pada
Zβ = nilai baku normal dari tabel Z, yang besarnya tergantung pada
nilai β yang telah ditentukan ( β = 0,15) → Zβ = 1,036
Berdasarkan survey awal pada masing-masing 5 orang penderita stroke
Sd Stroke akut + Sd Kontrol
akut dan kontrol diperoleh nilai
d = tingkat ketepatan (presisi), ditetapkan oleh si peneliti
1. Semua penderita stroke akut tanpa riwayat penyakit jantung
sebelumnya yang dirawat di Bangsal Neurologi Rindu A4 RSUP H.
Adam Malik Medan
2. Usia > 18 tahun.
3. Memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian ini.
Kriteria Eksklusi
1. Penderita stroke akut dengan onset serangan lebih dari 48 jam
pertama.
3. Penderita stroke yang tidak dikonfirmasi dengan pemeriksaan Head
CT scan.
4. Penderita stroke yang mengalami disritmia jantung, penyakit katup
jantung, penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan gangguan
kardiomiopati .
5. Penderita stroke yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis,
dan pemeriksaan laboratorium menderita gangguan elektrolit.
6. Penderita stroke yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis,
dan pemeriksaan laboratorium menderita anemia.
7. Penderita stroke yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis,
dan pemeriksaan laboratorium menderita hipoksia.
8. Penderita stroke yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis,
dan pemeriksaan laboratorium menderita gangguan fungsi hati.
9. Penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang dapat
mempengaruhi interval QT seperti : obat –obatan digitalis, anti
aritmia, antibiotik, antidepresan, anti jamur, anti alergi dan
penderita yang mengkonsumsi alkohol.
Penderita Non stroke (kontrol)
Kriteria inklusi
1. Semua penderita yang datang ke Poliklinik Neurologi RSUP H.
Adam Malik bukan penderita stroke dan tanpa riwayat pernah
menderita penyakit jantung.
Kriteria eksklusi
1. Penderita yang mengalami disritmia jantung, penyakit katup
jantung, penyakit jantung koroner, gagal jantung dan gangguan
kardiomiopati.
2. Penderita yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan laboratorium menderita gangguan elektrolit.
3. Penderita yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan laboratorium menderita anemia.
4. Penderita yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan laboratorium menderita hipoksia.
5. Penderita yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan laboratorium menderita gangguan fungsi hati.
6. Penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang dapat
mempengaruhi interval QT seperti obat –obatan digitalis, anti
aritmia, antibiotik, antidepresan, anti jamur, anti alergi dan
penderita yang mengkonsumsi alkohol.
III.3. BATASAN OPERASIONAL
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global, dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler (Kelompok Studi
Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan
stroke berlangsung sampai 1 minggu (Misbach, 1999).
Tipe stroke dalam penelitian ini terdiri dari stroke iskemik dan
stroke hemoragik. (Caplan, 2000 ; Afsar, 2003).
Hipertensi dinyatakan ada jika ada riwayat memakan obat anti
hipertensi dan atau tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah
diastolic ≥90 mmHg (Bang dkk, 2007).
Diabetes mellitus dinyatakan ada jika terdapat riwayat
mengkonsumsi obat anti diabetes dan atau pemeriksaan gula darah jika
puasa ≥ 110 mg/dL (Bang dkk, 2007).
Dislipidemia dinyatakan ada jika terdapat riwayat mengalami
dislipidemia atau peningkatan kadar trigliserida > 200 mg/dL, kadar
kolesterol > 200 mg/dL (Bang dkk, 2007).
Merokok dinyatakan ada jika penderita pada saat penelitian
merokok atau telah berhenti merokok sejak 2 bulan sebelum penelitian
(Tan dkk, 2002).
Anemia ditetapkan jika kadar hemoglobin (Hb) darah < 14 gr/dL
atau hematokrit (Hct) < 42% pada laki-laki dewasa; Hb < 12 gr/dL atau Hct
< 39% pada wanita dewasa ( Braunwald dkk,2002).
Gangguan elektrolit (Braunwald dkk, 2002) :
- Hiponatremi ditetapkan jika kadar serum Na+ < 135 mmol/L
(Braunwald dkk,2002).
- Hipernatremi adalah peningkatan abnormal dari kadar serum
- Hipokalemi adalah penurunan abnormal dari kadar serum kalium,
ditetapkan jika kadar serum K+ < 2,5 mmol/L (Gilroy, 2000;
Braunwald dkk, 2002).
- Hiperkalemi adalah peningkatan abnormal dari kadar serum kalium
(Gilroy, 2000).
Gangguan fungsi hati ditetapkan bila pemeriksaankadar bilirubin
< 2 mg % atau > 3 mg % dan kadar SGPT (22 U/L) dua kali dari
normal(Sherlock dkk, 2002).
Penyakit Jantung dalam penelitian ini adalah distrimia jantung,
hipertrofi ventrikel, penyakit katup jantung, penyakit jantung koroner, gagal
jantung dan kardiomiopati(Afsar, 2003).
Luas (volume) lesi dalam penelitian ini, volume lesi akan
dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu kelompok dengan volume lesi < 50
cm3 dan kelompok dengan volume lesi ≥ 50 cm3 (Sjahrir, 2003).
Lokasi lesi dikelompokkan sebagai hemisfer kanan dan kiri
(Tokzogozlu,1999; Naver , 1996).
Abnormalitas gambaran EKG ditetapkan menurut kriteria berikut
ini (Berg dkk, 2004) :
Sinus bradikardi : jika denyut jantung < 60 menit
Sinus Takikardi : jika denyut jantung > 100 menit
PR interval memanjang : jika durasinya > 200 mili/detik
QRS melebar : jika durasinya >100 mili/detik