• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Prosedur Penelitian

1. Sifat Kimia Tanah

a. C-Organik

• Ditimbang 0,5 g tanah kering udara telah diayak dengan ayakan 10

mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml

• Ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 (menggunakan pipet), goncang dengan

tangan

• Ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat, kemudian digoncang 2 – 3 menit,

selanjutnya diamkan selama 30 menit

• Ditambahkan 200 ml air 10 ml H3PO4 85%, ditambahkan 20 tetes

difenilamin, goncang (larutan berwarna biru tua)

• Dititrasi dengan FeSO4 0,5 N dari burret hingga warna berubah

menjadi hijau

• Dibuat juga blanko dan titrasi

• Dihitung :

% C = 5 ( 1 – T ) X 0,78 --- untuk tanah 0,5 g S

Dimana : T = titrasi S = blanko %

(2)

b. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

1. Ditimbang 5 gr contoh tanah kering udara dan di masukkan ke dalam tabung sentrifuse 100 ml

2. Ditambahkan 20 ml larutan NH4OAC pH 7.0. Diaduk dengan pengaduk

gelas sampai merata dan dibiarkan selama 24 jam

3. Diaduk kembali lalu disentrifuse selama 10 menit samapi 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm

4. Ekstrak NH4OAC N pH 7.0 diulangi lewat saringan dan filtrat ditampung

dalam labu akar 100 ml

5. Penambahan NH4OAC pH 7.0 diulangi sampai 4 kali. Setiap kali

penambahan diaduk mereta, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi ke dalam labu ukur 100 ml samppai tanda tera. Ekstrak ini digunakan dalam penetapan kadar K, Na, Ca, Mg yang dapat dipertukarkan

6. Untuk pencucian NH4+ ditambahkan 20 ml alkohol 80% ke dalam tabung

sentrifuse yang berisi endapan tanah tersebut. Diaduk sampai merata, sentrifuse, dekantasi dan filtratnya dibuang. Pencucian NH4 dengan

alkohol ini dilakukan beberapa kali sampai bebas NH4. Hal ini dapat

diketahui dengan menambahakan beberapa tetes pereaksi Nessler pada filtrat tersebut. Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion NH4.

7. Setelah bebas dari NH4+, tanah dipindahkan secara kuantitatif dari tabung

sentrifuse ke dalam labu didih. Ditambahkan air kira-kira berisi 450 ml. 8. Pada labu didih ditambahkan beberapa butir batu didih, 5-6 tetes paraffin

(3)

9. Destilat ditampung dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H2SO4 0.1

N dan 5-6 tetes indikator Conwai. Destilasi dihentikan jika destilat yang ditampung mencapai kira-kira 150 ml.

10.Kelebihan asam dititrasi dengan NaOH 0.1 N. Titik air titrasi dicapai bilamana warna berubah menjadi hijau

11.Dilakukan destilasi tanpa tanah sebagai blanko 12.Besarnya KTK dihitung menurut rumus :

KTK (me/100gr)n= (ml Blanko-ml Contoh) x N NaOH x100

Bobot Sampel *)

*)

(4)

2. Sifat Biologi Tanah

Total Organisme Tanah

1. Dibuat 1 seri pengenceran dengan memasukkan 10 gr tanah ke dalam 90 ml larutan fisiologis pada erlenmeyer 250 ml, campuran ini sebagai pengenceran 10-1. Lalu dipipet 1,0 ml suspensi larutan 10-1 dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis pada tabung reaksi, campuran ini sebagai pengenceran 10-2 dan seterusnya sampai pengenceran 10-5

2. Setelah seri pengenceran dibuat, dipipet 1,0 ml dari suspensi dengan pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5, dipindahkan ke cawan petri steril. Pada setiap cawan petri dicantumkan informasi berupa nomor contoh/perlakuan, seri pengenceran, tanggal inkubasi, dan jenis media yang digunakan

3. Sediakan media (Nutrien Agar) tempat mikroorganisme yang diinkubasi. Cairkan media dengan cara memanaskan dengan autoclaf. Media yang yang telah disiapkan didinginkan sampai temperaturnya sekitar 40 – 45 0C. Jumlah media yang dituangkan ke cawan kira-kira 10 ml. Supaya suspensi tersebar merata maka setelah media dituangkan secara pelan-pelan cawan yang telah berisi media diputar kekanan tiga kali dan kekiri tiga kali

4. Setelah media benar-benar padat, diinkubasi pada temperatur ± 27 0C

5. Dilakukan pengamatan setelah tiga hari inkubasi.

(5)

3. Fungi Selulolitik

1. Diambil tanah sebanyak 50 gr untuk setiap contoh tanah. Kemudian dimasukkan ke dalam media Selulosa Agar cair dengan bubuk Alang-alang sebagai pengganti bahan selulosa untuk memancing perkembangbiakan mikroba

2. Diinkubasi selama 2 minggu

3. Diambil sebanyak 1 ml bahan dari masing-masing media Selulosa Agar Cair, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi air steril dan disentrifugasi

4. Diambil ose dari masing-masing media untuk digoreskan pada media Asparagine, lalu diinkubasi selama 2 minggu

(6)

Lampiran 2. Bahan-bahan dari media yang digunakan

1. Media Selulosa Agar (g/l)

Nama Bahan Jumlah

Tepung Selulosa

2. Media Asparagine (g/l)

Nama Bahan Jumlah

(7)

Lampiran 3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dan BPTP-Medan (2011)

(8)

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

A. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Bekas Kebakaran Tahun 2010

(9)

C. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Bekas Kebakaran Tahun 2013

(10)

E. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Yang Tidak Terbakar (Kontrol)

(11)

Lampiran 4. Lanjutan

G. Pengambilan Sampel Tanah

H. Pengambilan Sampel Tanah

(12)

Lampiran 4. Lanjutan

Isolasi dengan Media Selulosa Cair

Isolasi dengan Media Selulosa Agar

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1977. Intoduction to Soil Mycrobiology. 2nd Ed. John Wiley and Sons. New York.

Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor

Arief, M. 2010. Jenis-jenis Fungi Tanah di Lahan Terdegradasi di Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Besitang Kabupaten Langkat. Skripsi. USU e-Repository. Medan

BPTP. 2011. Sertifikat Pengujian Tanah Top Soil. Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Medan.

Buckle, K.A., R.A. Edward., G.H Fleet., and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah: Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Buckman, H.O. dan Nyle , C.B. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. Penerbit Bhrata Karya Aksara. Jakarta.

Damanik, M.M.M., B.E. Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin., H. Hanum. 2010. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.

Eriksson, K.E.L., R.A. Blanchette., and P.Ander. 1989. Microbial and enzymatic degradation of wood an wood components. Springer-Verlag Heildeberg. New York.

Gilman, J. C. 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press. USA.

Hakim, N.,M.Y.Nyakpa., A. M. Lubis.,S. G. Nugroho.,M. A. Diha..,Go Ban Hong., dan H.H. Bailey. 1986. Dasar- Dasar Ilmu Tanah. Unversitas Lampung. Lampung.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Ediyatama Sarana Perkasa.

Hatta, M. 2008. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat-Sifat Tanah di Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Skripsi. USU e-Repository. Medan.

Kusnadi.,Peristiwa.,A. Syulasmi.,W. Purwianingsih.,dan D. Rochintaniawati. 2003. Mikrobiologi. Repsitory UPI. Bandung.

(14)

Lidiawati. I. 2003. Penilaian Ekonomi Kerusakan Hutan dan Lahan Akibat Kebakaran. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Marjenah. 2007. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Kondisi Iklim Mikro di Hutan Penelitian Bukit Soeharto.

Neary, G. 2004. An overview of Fire Affects on Soil. Southwest Hydrologi Journal. http:/

Noor, M. 2004. Lahan Rawa, Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

www.swhydro.arizon.edu/archive/V3_N5/feature4.pdf.

Notohadiprawito, T. 1992. Kerangka Evaluasi Kemampuan Lahan. Kuliah Pelatihan Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Daya Lahan Kedua. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Rineka Cipta. Jakarta. Pyne, S. J.,P.L. Andrews.,dan R. D. Laven. 1996. Introduction to Wildland

Fire.Second Edition. Johm Wiley and Sons. USA.

Rao, N.S.S., 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Terjemahan Herawati Susilo. UI Press. Jakarta.

Saraswati,S.,E. Santoso.,dan E. Yuniarti. 2008. Organisme Perombak Bahan Organik. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2). Balai Besa Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 211-230. Sumardi dan Widyastuti, S.M. 2002. Bahan Ajar Pengantar Perlindungan Hutan.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Susanti, U. 2005. Isolasi dan Uji Potensi Mikroorganisme Selulolitik Dalam Dekomposisi Sisa Tanaman Tembakau Deli PTPN II Kebun Sampali. Skripsi. USU e-Repository. Medan.

Sutedjo, M. M., A. G. Kartasapoetra, dan R. D. S. Sastroatmodjo. 1996. Mokrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanain Bogor.

(15)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan contoh tanah dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Biologi dan Laboratorium Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu sampel tanah dari bekas kebakaran dan bahan – bahan yang digunakan untuk pengujian di laboratorium.

Sedangkan alat yang digunakan adalah plastik wrap dan kawat persegi, cawan petri, beaker glass dan tabung reaksi, parang dan pisau, sendok, pengaduk, jarum ose, timbangan analisis, bunsen, oven dan autoclaf, inkubator, gelas ukur, mikropskop cahaya, kaca objek dan gelas penutup dan kamera.

Metode Penelitian

A. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel

(16)

dengan syarat yang ditentukan sebagai sampel dalam penelitian yaitu, tanah bekas kebakaran yang mewakili setiap rentang waktu terjadinya kebakaran.

B. Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah bekas kebakaran diambil berdasarkan waktu terjadinya kebakaran. Berdasarkan waktu terjadinya, sampel dibedakan atas 5 kelompok, yaitu:

1. Tanah yang berasal dari lahan yang belum pernah terbakar sebagai kontrol 2. Tanah yang berasal dari lahan yang telah mengalami kebakaran pada tahun

2010

3. Tanah yang berasal dari lahan yang telah mengalami kebakaran pada tahun 2011

4. Tanah yang berasal dari lahan yang telah mengalami kebakaran pada tahun 2012

5. Tanah yang berasal dari lahan yang telah mengalami kebakaran pada tahun 2013

Pengambilan sampel tanah dari lahan bekas kebakaran dilakukan secara diagonal dengan membuat petak pengambilan sampel berukuran 20 x 20 meter dan titik pengambilan sampel tiap petak ada 5 titik. Tiap sampel tanah yang diambil adalah sebanyak 1 kg.

C.Parameter Pengamatan

1. Sifat Kimia Tanah

(17)

2. Sifat Biologi Tanah

Parameter yang diamati untuk biologi tanah yaitu total mikroorganisme tanah dengan metode agar cawan (Lampiran 1).

3. Fungi Selulolitik

Parameter yang diamati adalah adanya keberadaan mikroba selulolitik pada media Asparagine yang ditandai dengan adanya zona transparan pada goresan di permukaan media (Lampiran 1).

4. Identifikasi Fungi Selulolitik

(18)

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dapat dilihat pada lampiran 1. Prosedur penelitian secara ringkas dapat dilihat pada gambar 1:

Analisis Sifat Kimia Tanah

Analisis Sifat Biologi Tanah

Analisis Keberadaan Mikroba selulolitik

pH, C-Organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Total mikroorganisme tanah dengan metode agar cawan

Sampel tanah diinkubasi dengan Media Selulosa Agar selama 2

minggu

Diisolasi pada Media Asparagine, diinkubasi selama 2 minggu,

(19)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

A. Karakteristik Sifat Kimia Tanah Bekas Kebakaran

Keberadaan mikroorganisme di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia tanah. Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisi sifat kimia sampel tanah bekas kebakaran

Sampel pH Kritera C-Organik (%)

Kriteria KTK (m.e/100g)

Kriteria

Kontrol 6,24 Agak masam 1,19 Rendah 4,20 Rendah 2010 5,80 Agak masam 1,22 Rendah 4,60 Rendah 2011 5,90 Agak masam 2,71 Sedang 7,80 Rendah 2012 4,98 Masam 3,29 Tinggi 11,00 Rendah 2013 7,52 Netral 2,03 Sedang 13,00 Rendah Sumber kriteria : Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan

(20)

pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena endapan abu yang bersifat basa, abu terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor.

Keberadaan jasad renik sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Menurut Buckle (1987) setiap organisme memiliki kisaran pH tertentu yang masih memungkinkan bagi pertumbuhannya dan juga mempunyai pH optimum. Pada umumnya, mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,6-8,0.

Fungi cenderung lebih bisa beradaptasi pada berbagai pH, terutama pada pH yang rendah. Sedangkan bakteri tumbuh lebih baik pada pH yang lebih tinggi. Karena itu, pada pH yang rendah ditemukan banyak fungi. Pada pH yang tinggi, fungi harus bersaing dengan keberadaan bakteri dalam memperebutkan makanan. Dari hasil penelitian Susanti (2005) diperoleh data bahwa jumlah isolat jamur yang ditemukan pada pH yang rendah lebih banyak daripada bakteri. Faktor pH mempunyai pengaruh penting dalam populasi mikroba yang berperan dalam proses dekomposisi selulosa. pH optimum bagi bakteri dalah mendekati netral, yaitu 6,5 – 7,5, sedangkan bagi jamur kisaran pH nya lebih lebar dari bakteri yaitu 2,0 – 11,0 yang artinya jamur lebih toleran pada tempat yang masam daripada bakteri.

(21)

besar, hal ini menyebabkan banyaknya bahan organik yang terbawa oleh aliran permukaan pada saat hujan. Keberadaan C-Organik pada tanah sangat berpengaruh terhadap unsur-unsur kimia di dalam tanah, sekaligus keberadaan mikroorganisme di dalam tanah, khususnya mikroorganisme selulolitik. Menurut Soepardi (1983), bahwa keberadaan bahan orgnaik pada suatu tanah dapat diindikasikan dengan populasi mikroorganisme yang tinggi karena populasi tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup.

Kapasitas tukar kation pada tanah bekas kebakaran mempunyai nilai KTK lebih tinggi daripada nilai KTK tanah yang belum terjadi kebakaran (kontrol). Hal ini bisa terjadi karena pengaruh dari perubahan pH pada tanah tersebut. Menurut Hakim et al,. (1986), pada kebanyakan tanah ditemukan bahwa pertukaran kation berubah dengan berubahnya pH tanah. Dari hasil analisis KTK pada Tabel 1, terlihat bahwa sampel tanah termasuk dalam kategori rendah. Perubahan pH pada tanah bekas kebakaran mengakibatkan kation-kation yang dijerap atau dilepaskan dari permukaan koloid atau humus menjadi sedikit dibandingkan dengan kation-kation yang dijerap atau dilepaskan dari permukaan humus tanah yang tidak mengalami kebakaran.

(22)

B. Total Mikroorganisme Tanah

Parameter yang diamati dalam karakteristik sifat biologi tanah adalah total mikroorganisme tanah. Untuk mengetahui populasi mikroorganisme di dalam tanah sebagai salah satu acuan untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah dan pengaruhnya terhadap reaksi-reaksi kimia pada tanah. Pada analisis ini yang dihitung adalah semua jenis mikroorganisme. Jumlah mikroorgansime pada tanah bekas kebakaran dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis Total Mikroorgansime (x 103) SPK/ml

Sampel Jumlah Jamur Jumlah Bakteri

Kontrol P1 17,26 9,64

Kontrol P2 21,59 4,67

2010 P1 5,25 3,71

2010 P2 1,24 4,62

2011 P1 2,41 1,73

2011 P2 2,95 5,03

2012 P1 1,22 4,53

2012 P2 1,24 4,62

2013 P1 1,44 3,83

2013 P2 1,05 2,65

Total 55,65 45,03

(23)

yang masih hidup, sehingga persaingan makanan akan terjadi antar mikroorganisme. Dampak kebakaran pada periode 1 tahun setelah terjadi kebakaran mengalami penurunan dari kondisi kebakaran pada periode 2-4 tahun. Tetapi penurunan yang terjadi tidaklah besar nilainya karena diduga nilai total mikroorganisme tanah periode 2-4 tahun setelah kebakaran sudah mengalami peningkatan dari tanah periode 1 tahun setelah kebakaran. Hal ini disebabkan karena populasi mikroorganisme kembali menjadi banyak lagi dengan diikutinya peningkatan pada bahan organik dalam beberapa tahun. Seperti diketahui bahwa bahan organik dapat dijadikan sumber energi (bahan makanan) bagi mikroorganisme tanah. Menurut Pyne et al. (1996), kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk mikroorganisme menjadi sedikit, kebanyakan mikroorganisme mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme di dalam tanah.

Menurut hasil penelitian Hatta (2008), jumlah mikroorganisme yang berada pada tanah hutan utuh lebih banyak daripada jumlah mikroorganisme yang terdapat pada tanah bekas kebakaran. Total mikroorganisme tanah yang didapat pada penelitian ini adalah 100,68 x 103 SPK/ml. Hal ini bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya maka total mikroorganisme tanah pada penelitian ini termasuk rendah. Rao (1994) menyebutkan bahwa populasi mikroorganisme dalam tanah subur adalah 119 x 103 sel/gr.

(24)

fungi adalah persediaan makanan, maka jumlah cadangan makanan yang sedikit sangat besar dampaknya terhadap populasi fungi. Populasi mikroorganisme perombak bahan organik yang berkurang menyebabkan terhambatnya berbagai siklus hara di dalam tanah. Sebagaimana pernyataan Saraswati et al., (2008) bahwa perombak bahan organik memegang peranan penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dll) dan atmosfer (CH4 maupun CO2) sebagai hara yang dapat

digunakan kembali oleh tanaman. Karena populasinya menurun maka tanah menjadi tidak subur. Efek negatif ini biasanya sementara dan populasi mikroorganisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun.

C. Fungi Selulolitik

Pada pengisolasian untuk mencari fungi selulolitik, dilakukan pengayaan dengan menggunakan Median Selulosa Agar (MSA). Hal ini dilakukan untuk memperbanyak jumlah fungi selulolitik pada sampel supaya memudahkan dalam pengisolasian dan hasil lebih akurat. Semua sampel tanah dimasukkan ke dalam MSA lalu diinkubasi selama 2 minggu. Setelah diisolasi selama 2 minggu, sampel tersebut diisolasi lagi dengan media Asparagine dengan metode gores. Masing-masing sampel di goreskan pada media Asparagine lalu diinkubasi selama 2 minggu. Media yang digunakan untuk mengisolasi fungi selulolitik mempunya pH 6,8 (Media MSA) dan 6,2 (Media Asparagine).

(25)

dengan pernyataan Buckle (1987) bahwa pada umumnya, mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,6 – 8,0. Pada pengisolasian fungi selulolitik digunakan pH 6,2 atau termasuk dalam kategori agak masam, karena fungi selulolitik dapat tumbuh pada kisaran pH sangat masam sampai dengan agak masam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusnadi et al,.(2003) bahwa rentang pH fungi jauh lebih lebar. Dengan demikian medium pertumbuhan fungi yang digunakan di laboratotium juga harus bersifat masam. Pada pengisolasian dengan menggunakan media Asparagine ditambahkan senyawa antibakteri. Hal ini bertujuan untuk mengganggu pertumbuhan bakteri bahkan mematikan bakteri dengan cara menggangu pertumbuhan metabolismenya. Dengan menggunakan antibakeri maka pertumbuhan bakteri bisa ditekan, sehingga fungi bisa tumbuh dan diisolasi. Hasil isolasi pada media Asparagine dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Isolasi fungi selulolitik minggu ke-2 ( Kontrol T1P3)

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa yang tumbuh pada media Asparagine adalah fungi. Hal ini seperti terlihat dari permukaan media yang ditandai dengan adanya zona transparan pada permukaan media. Dari hasil penelitian, ditemukan

(26)

koloni-koloni fungi dengan ciri-ciri yaitu rata dengan permukaan media dan tekstur permukaannya seperti kapas atau beludru.

Fungi selulolitik ditandai dengan adanya zona transparan pada permukaan media. Fungi yang ditemukan dari 50 titik sampel penelitian, yang membentuk zona transparan pada permukaan media hanya terdapat 10 sampel dan diberi kode

K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12 T1P4. Jumlah koloni pada lahan yang tidak terbakar lebih

banyak di temukan fungi selulolitik dibandingkan dengan jumlah koloni yang terbentuk pada tanah yang sudah terbakar. Hal ini disebabkan kondisi tanah yang masih utuh yang memungkinkan fungi selulolitik dapat tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Hatta (2008), jumlah mikroorganisme yang berada pada tanah hutan utuh lebih banyak daripada jumlah mikroorganisme yang terdapat pada tanah hutan bekas kebakaran.

Tabel 3. Jumlah sebaran fungi selulolitik pada sampel tanah

Sampel Tanah Jumlah Fungi Selulolitik Kontrol (Tidak Terbakar) 4

2013 0

2012 1

2011 2

2010 3

(27)

semakin menurun. Tetapi penurunan yang terjadi tidak terlalu besar karena tanah bekas kebakaran pada periode 2-4 tahun setelah terjadi kebakaran telah mengalami perbaikan bahan organik yang memungkinkan suplay makanan bagi fungi selulolitik tercukupi. Sedangkan pada tanah pada periode 1 tahun setelah terjadi kebakaran tidak ditemukan fungi selulolitik diakibatkan fungi selulolitik tidak tahan terhadap api pada saat terjadi kebakaran dan hilangnya suplay energi bagi kebutuhan fungi tersebut. Keberadaan bahan organik juga sangat mendukung bagi kehidupan fungi, karena fungi tidak berklorofil sehingga hidupnya sangat tergantung pada keberadaan bahan organik.

D. Identifikasi Fungi Selulolitik

Identifikasi dilakukan pada fungi yang membentuk zona transparan pada permukaan media. Dilakukan pengamatan secara mikrokopis dimana fungi terlebih dahulu di pindahkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) . Fungi selulolitik diisolasi pada media PDA dan diinkubasi selama 3 hari. Fungi yang kemudian diamati secara mikrokopis yaitu K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12 T2P5.

(28)

Secara makrokopis, pada awal pertumbuhan koloni genus Aspergillus membentuk lapisan padat yang berwarna coklat kekuningan, kemudian setelah berumur 7 hari koloni berubah menjadi warna coklat kehitaman. Pengamatan mikrokopis menunjukkan bahwa hifa yang muncul diatas permukaan merupakan hifa fertil, koloninya berkelompok. Konidia berbentuk bulat dan berwarna hitam. Memilki tangkai konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman. Setelah dicocokkan dengan buku identifikasi jamur (Gilman, 1971), isolat yang didapat termasuk genus Aspergillus. Jenis fungi selulolitik paling banyak diteliti adalah Aspergillus. Hal ini disebabkan karena Aspergillus bersifat kosmopolit sehingga mampu bertahan hidup di berbagai kondisi.

Gambar 4. Penampakan Aspergillus dibawah mikroskop (perbesaran 100 kali) A. Spora, B. Tangkai Konidia (Konidiafor)

Genus Aspergillus memiliki miselium vegetatif yang terdiri dari hifa bercabang yang berseptat dan tidak berwarna. Bagian-bagian konidia terdiri dari batang dan kepala dari sel yang membesar dan berdinding tebal yang memproduksi

A

(29)

konidiafor sebagai cabang, tegak lurus pada sel kaki. Aspergillus tergolong mikroba mesofilik dengan pertumbuhan pada suhu 350C – 37 0C (Optimum), 60C – 80C (minimum), 450C – 470C (maksimum) (Gilman, 1971).

Taksonomi fungi Aspergillus

Kingdom : Myceteae (Fungi)

Divisio : Ascomycota

Kelas : Eurotiomycetes

Ordo : Eurotiales

Famili : Trchocommaceae

(30)

Penampakan Aspergillus secara makrokopis dan mikrokopis dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penampakan isolat fungi selulolitik secara makrokopis dan mikrokopis serta identifikasi

K T1P1 Terlihat tangkai

konidiafor dan

K T1P3 Terlihat tangkai

konidiafor dan

K T1P4 Terlihat tangkai

konidiafor dan

K T2P5 Terlihat tangkai

(31)

10 T1P1 Terlihat tangkai

10 T1P4 Terlihat tangkai

konidiafor dan

10 T2P3 Terlihat tangkai

konidiafor dan

11 T2P2 Terlihat tangkai

konidiafor dan

11 T2P5 Terlihat tangkai

konidiafor dan

12 T1P4 Terlihat tangkai

(32)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pada tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara ditemukan fungi selulolitik. Dari 50 sampel penelitian, ditemukan 10 sampel yang membentuk zona transparan pada media Asparagine yaitu sampel K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12 T2P5. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa fungi selulolitik tersebut termasuk genus Aspergillus. Sifat-sifat kimia dan biologi pada tanah bekas kebakaran termasuk dalam kategori rendah.

Saran

(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dan lahan biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa disengaja. Dengan kata lain terjadinya kabran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI), penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor kesengajaan (Purbowaseso, 2004).

Dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dapat berupa dampak ekologis yaitu musnahnya tumbuh-tumbuhan mulai dari tumbuhan tingkat bawah hingga pohon-pohon yang tinggi. Dampak kebakaran terhadap tumbuhan bawwah yaitu menyebabkan suksesi sekunder pada komunitas tumbuhan bawah meliputi perubahan komposisi jenis dan stuktur tumbuhan. Menurut McKinnon et al. (1996) dalam Purbowaseso (2004) kebakaran hutan kemungkinan dapat mengganggu proses ekologi hutan salah satunya adalah suksesi alami. Sedangkan dampak fisiologis kebakaran hutan yaitu terganggunya proses metabolisme dalam tumbuhan sebagai akibat dari pemanasan tinggi.

(34)

dengan kondisi lokasi dan cuaca sebelum dan sesudah terjadinya kebakaran. Api dengan kekuatan kecil walaupun bergerak dengan cepat tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi mikroorganisme, sedangkan api dengan kekuatan tinggi dengan jangka waktu lama mempunyai dampak yang besar terhadap populasi mikroorganisme. Penelitian yang dilakukan oleh Klopatek et al.(1988) diacu oleh Treseder, dkk (2004) menunjukkan sepuluh pembakaran susulan pada satu tahun, populasi mikoriza, hara tanah, dan tumbuh-tumbuhan yang terbakar sampai bagian kanopinya tidak dapat dikembalikan kondisinya pada keadaaan sebelum terjadinya kebakaran (Neary, 2004).

Tipe Kebakaran Hutan

Menurut Purbowaseso (2004), ada beberapa tipe kebakaran hutan yaitu:

1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api beerlangsung secara perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling merusak lingkungan.

2. Kebakaran Pemukaan (Surface Fire)

(35)

tumbuhan yang lebih tinggi. Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum, terjadi di hampr semua tegakan.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon lainnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api menjalar dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar dan terbawa angin.

Faktor Penyebab Timbulnya Kebakaran Hutan

Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan meliputi bahan bakar, cuaca, waktu dan topografi. Faktor bahan bakar yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan terdiri atas ukuran, susunan, volume, jenis dan kandungan kadar airnya. Kelima hal tersebut memiliki pengaruh yang saling mempengaruhi, sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (Purbowaseso, 2004).

(36)

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Mikroorgnisme Tanah

Kebakaran hutan dapat menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati dan bisa mengubah kekayaan fisika dan kimia tanah sehingga akan mempengaruhi komposisi mikroba tanah. Jamur tanah merupakan salah satu mikroba tanah yang mempunyai peranan besar pada siklus bahan makanan yang selanjutnya akan

menentukan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman (Lailan dan Sukmana,2008).

Kebakaran serasah akan secara langsung dapat menaikkan suhu tanah. Hasil pembakaran yang terbentuk arang dan berwarna hitam akan banyak menyerap sinar matahari sehingga suu tanah akan naik. Pemanasan tanah akan berakibat buruk pada organisme renik atau dapat mempercepat tumbuhnya gulma (Sumardi dan Widyastuti, 2002).

(37)

Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa yang bersifat kimia dan terjadi di dalam maupun di atas permukaan tanah sehingga akan menentukan sifat dan ciri tanah yang terbentuk dan berkembang seetelah peristiwa kimia tersebut. Peubah yang termasuk sifat kimia tanah yang mempengaruhi pertumbuhan, produksi dan kualitas tanaman antara lain pH tanah, ketersediaan unsur hara makro dan mikro serta kapasitas tukar kation (KTK). Komponen kimia tanah berperan dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Uraian kimia tanah bertujuan untuk menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang menyangkut maslah-masalah ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Hakim et al., 1986).

Setiap organisme memiliki kisaran pH tertentu tang masih memungkinkan bagi pertumbuhannya dan juga mempunyai pH optimum. Pada umumnya, mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,6-8,0 dan nilai pH luar pada kisaran 2,0-1,0 sudah bersifat merusak (Buckle et al., 1987).

(38)

lebih leluasa pada pH 3,0 – 9,5. Trichoderma (yang juga pendekomposisi selulosa) sanggup berkembang pada pH 2,1 – 2,5 (Sutedjo et al., 1996).

Tanah-tanah di daerah beriklim basah berkembang ada kondisi iklim dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun. Keadaan ini mendorong terjadinya penurunan kadar kation-kation basa tanah (seperti Ca, Mg, dan K) dan meningkatkan kemasaman tanah. Terdapatnya hidroksil Al dan Fe yang melapisi mineral liat secara nyata mempengaruhi retensi dari ketersediaan hara (kation dan anion) (Damanik et al., 2010).

Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi dari pada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir. Nilai KTK tanah sangat beragam serta tergantung pada sifat dan ciri tanah tersebut. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh : reaksi tanah, tekstuk atau jumlah liat, jenis

mineral liat, bahan organik dan pengapuran atau pemupukan (Hardjowigeno, 2003).

(39)

nitrogen, sekaligus dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber karbon (Kusnadi et al., 2003).

Pada umumnya kandungan N total pada tanah di lapisan 0 – 20 cm adalah antara 2000 – 4000 Kg/ha, namun yang tersedia bagi tanaman adalah kurang dari 3% dari keseluruhan jumlah tersebut. Nitrogen dalan tanah berasal dari bahan organik tanah (halus dan kasar), pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara, pupuk dan air hujan (Hardjowigeno, 1989).

Sifat Biologi Tanah

Mikroorganisme tanah mempunyai tanggung jawab atas pelapukan bahan organik dan pendauran unsur hara serta berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia, serta biologi tanah. Total mikroorganisme tanah dapat dijadikan indikator kesuburan tanah, yakni tanah yang subur mengandung sejumlah mikroorganisme. Keberadaan mikroorganisme pada suatu tanah dapat diindikasikan dengan populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup di tambah lagi dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup dan kondisi ekologi lainnya yang menyokong perkembangan mikroorganisme tanah tersebut (Soepardi, 1983).

(40)

subur adalah 400.000/gram tanah, sementara Rao (1994) menyebutkan bahwa populasi fungi dalam tanah yang subur adalah 119 x 103 sel/gram tanah. Namun sejatinya semakin banyak jumlah mikroba dalam tanah, kondisi tanah tersebut akan semakin baik (Arief, 2010).

Fungi Selulolitik

Mikroorganisme seperti jamur, bakteri, dan aktinomicetes banyak ditemukan pada tanah-tanah pertanian, hutan, dan dalam jaringan tumbuhan yang sudah membusuk. Beberapa diantaranya diketahui dengan mudah dan cepat merombak selulosa seperti penambahan inokulasi pada pembuatan kompos adalah bagian dari usaha mempercepat proses pengomposan (Alexander, 1977).

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman, di bangun oleh unit-unit D-glukosa dengan ikatan glukosida 1,4. Ikatan-ikatan ini membentuk mikrofibril selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang mudah dihidrolisir disebut bagian amorf selulosa. Secara alami selulosa dapat didegradasi oleh enzim-enzim selulase. Selulosa merupakan substansi dalam proses enzimatis (Rao, 1994).

(41)

Mikroorganisme perombak bahan orgnaik terdiri atas fungi dan bakteri. Pada kondisi aerob, mikroorganisme tanah terdiri atas fungi sedangkan pada kondisi anaerob sebagian besar perombak bahan organik terdiri atas bakteri (Noor, 2004).

Kelompok fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling nyata, yang dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi senyawa organik sederhana, yang berfungi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan hara di sekitar tanaman (Erikson et al., 1989).

Aktivitas fungi tidak saja terbatas pada penyediaan unsur hara, tetapi juga berperan aktif dalam mendekomposisi serasah dan bahkan secara bertahap dapat memperbaiki karakter struktur tanah. Rendahnya populasi dan aktivitas fungi tanah potensial pada lahan-lahan kritis, maka diperlukan usaha untuk memanipulasi ketersediaan populasi fungi potensial tersebut (Anas, 1989).

Di dalam ekosistem, organisme perombak bahan organik memegang peranan penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dll) dan atmosfer (CH4

maupun CO2) sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh tanaman. Adanya

(42)

dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah yang pada gilirannya merupakan keutuhan pokok untuk meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah (Saraswati et al., 2008).

Fungi berperan dalam perubahan susunan tanah. Fungi tidak berklorofil sehingga menggantungkan kebutuhan akan energi dan karbon dari bahan organik. Fungi dibedakan dalam tiga golongan yaitu ragi, kapang, dan jamur. Kapang dan jamur mempunyai arti penting bagi pertanian. Bila tidak karena fungi maka dekomposisi bahan organik dalam suasana masam tidak akan terjadi (Soeperdi, 1983).

(43)

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1. Kecamatan Pangururan

Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di Kawasan Hutan Lindung

Di Desa Siogung-ogung dan pada daerah Desa Sosor Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Status lahan yang terbakar di Desa Siogung-ogung merupakan Kawasan Hutan Lindung dengan luasan 0,5 Ha yagn terjadi pada tahun 2012. Kebakaran yang terjadi pada tahun 2013 di Desa Sosor Dolok status lahannya merupakan lahan masyarakat dan kawasan hutan dengan luasan 60 Ha. Letak geografis Kecamatan Pangururan berada pada koordinat 2032’ - 2045’ lintang utara, 98042’ - 98047’ bujur timur. Luasan wilayah Kecamatan Pangururan yaitu 121.43 km2 dan 50.37 meter diatas permukaan laut. Lokasi penelitian tersebut memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Simanindo

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Palipi

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sianjur Mulamula

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Ronggur Nihuta

(44)

Wilayah Kabupaten Samosir tergolong daerah yang beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 170C – 290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85,04 % termasuk Kecamatan Pangururan, yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Samosir. Sebaran jenis tanah di wilayah Pangururan didominasi oleh jenis tanah litosol, podsolik, dan regasol. Gambar lokasi pengambilan sampel tanah bekas kebakaran merujuk pada Lampiran 4 Gambar C dan D.

2. Kecamatan Simanindo

Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar dan areal yang tidak terbakar di Desa Sijambur Nabolak, Curaman Tomok, dan Desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Areal yang terbakar di Desa Sijambur Nabolak dan Curaman Tomok terjadi pada tahun 2010 dan 2011 dengan luasan 93 Ha untuk Desa Sijambur Nabolak dan 3 Ha pada daerah Curaman Tomok. Areal yang terbakar merupakan Kawasan Hutan Lindung. Letak geografis Kecamatan Simanindo berada pada koordinat 2032’ – 2045’ lintang utara, 98044’ - 98050' bujur timur. Luasan wilayah Kecamatan Simanindo yaitu 198.20 km2 dan 1539 – 1630 meter diatas permukaan laut.

Lokasi penelitian tersebut memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pengururan dan Ronggur Nihuta

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Danau Toba

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Onan Runggu, Palipi dan

(45)

- Sebelah Timur berbatasan dengan Danau Toba

(46)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Kebanyakan kebakaran tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dan dalam wilayah yang relatif luas. Kebakaran hutan merupakan gangguan bagi hutan dan lingkungan di sekitarnya. Kebakaran hutan dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan. Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam rangka pembukaan lahan, baik untuk usaha pertanian, kehutanan maupun perkebunan dan ditunjang oleh adanya fenomena alam (Purbowaseso, 2004).

(47)

Sifat biologi tanah adalah sebuah sifat yang dimiliki oleh tanah yang berhubungan erat dengan kondisi, jumlah dan jenis mikroorganisme tanah dan proses-proses mikrobiologi yang terjadi dalam tanah tersebut. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah akan mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun (Pyne et al., 1996).

Fungi berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik untuk semua jenis tanah. Faktor yang paling penting untuk aktivitas fungi adalah persediaan makanan. Fungi adalah mikroorganisme yang paling mudah menyesuaikan diri dan paling tahan dibandingkan dengan mikroorganisme yang lain, berdasarkan kemampuannya dalam mendekomposisi bahan organik. Selulosa, hemiselulosa, lignin maupun protein dan gula merupakan sumber makanan yang mudah didekomposisikan dan mudah tersedia untuk kehidupan dan aktivitas fungi (Buckman dan Brady, 1982).

Di dalam ekosistem, fungi selulolitik memegang peranan penting dalam merombak bahan organik. Sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dll) dan atmosfer (CH4 maupun CO2) sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh

(48)

Mengingat pentingnya peran mikroorganisme tanah, khususnya fungi selulolitik dalam proses dekomposisi bahan organik pada tanah bekas kebakaran dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran berdasarkan waktu terjadinya kebakaran di Kabupaten Samosir.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini:

1. Memberi informasi tentang keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Samosir.

(49)

ABSTRAK

RIONALDO MELVIN SILALAHI: Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Dibawah bimbingan DELVIAN dan DENI ELFIATI.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir serta sifat kimia dan biologi tanah yang mempengaruhi keberadaannya. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah dan Laboratorium Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dimulai dari Oktober 2013 sampai Januari 2014. Sampel diambil berdasarkan 5 kelompok yaitu: Kontrol (yang tidak terbakar), tanah dari bekas kebakaran tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013. Hasil analisis sifat kimia termasuk dalam kategori rendah dan jumlah dari total mikroorganisme tanah pada sifat biologi tanah yaitu 100,68 x 103 SPK/ml. Hasil pengamatan secara makrokopis dan mikrokopis yaitu pada sampel K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12 T2P5 menunjukkan bahwa fungi selulolitik termasuk dalam genus Aspergillus.

(50)

ABSTRACK

RIONALDO MELVIN SILALAHI: The Existence of Cellulolytic Mushroom on Land of Former Fires in Samosir Regency, North Sumatra. Under guidance of DELVIAN and DENI ELFIATI.

This research aims to study the presence of cellulolytic mushroom on land of fire in Samosir Regency as well as chemical and biological soil properties that affect its existence . The study was conducted at the Laboratory of Soil Biology and Central Laboratory , Agriculture Faculty, University of North Sumatra, starting from October 2013 until January 2014 . Samples were taken based on 5 groups: control ( unburned ), the land of the former fires in 2010 , 2011, 2012 , and 2013. The results of the analysis of chemical properties are included in the low category and the total number of soil microorganisms on the biological properties of the soil that is 100.68 x 103 SPK / ml . Observations in makrokopis and mikrokopis for the K sample T1P1 , T1P3 K , K T1P4 , T2P5 K , 10 T1P1 , T1P4 10 , 10 T2P3 , T2P2 11 , 11 T2P5 , and T2P5 12 showed that cellulolytic mushroom belonging to the genus Aspergillus .

(51)

KEBERADAAN FUNGI SELULOLITIK PADA TANAH BEKAS

KEBAKARAN DI KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI

OLEH :

RIONALDO MELVIN SILALAHI / 091201039

BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(52)

ABSTRAK

RIONALDO MELVIN SILALAHI: Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Dibawah bimbingan DELVIAN dan DENI ELFIATI.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir serta sifat kimia dan biologi tanah yang mempengaruhi keberadaannya. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah dan Laboratorium Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dimulai dari Oktober 2013 sampai Januari 2014. Sampel diambil berdasarkan 5 kelompok yaitu: Kontrol (yang tidak terbakar), tanah dari bekas kebakaran tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013. Hasil analisis sifat kimia termasuk dalam kategori rendah dan jumlah dari total mikroorganisme tanah pada sifat biologi tanah yaitu 100,68 x 103 SPK/ml. Hasil pengamatan secara makrokopis dan mikrokopis yaitu pada sampel K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12 T2P5 menunjukkan bahwa fungi selulolitik termasuk dalam genus Aspergillus.

(53)

ABSTRACK

RIONALDO MELVIN SILALAHI: The Existence of Cellulolytic Mushroom on Land of Former Fires in Samosir Regency, North Sumatra. Under guidance of DELVIAN and DENI ELFIATI.

This research aims to study the presence of cellulolytic mushroom on land of fire in Samosir Regency as well as chemical and biological soil properties that affect its existence . The study was conducted at the Laboratory of Soil Biology and Central Laboratory , Agriculture Faculty, University of North Sumatra, starting from October 2013 until January 2014 . Samples were taken based on 5 groups: control ( unburned ), the land of the former fires in 2010 , 2011, 2012 , and 2013. The results of the analysis of chemical properties are included in the low category and the total number of soil microorganisms on the biological properties of the soil that is 100.68 x 103 SPK / ml . Observations in makrokopis and mikrokopis for the K sample T1P1 , T1P3 K , K T1P4 , T2P5 K , 10 T1P1 , T1P4 10 , 10 T2P3 , T2P2 11 , 11 T2P5 , and T2P5 12 showed that cellulolytic mushroom belonging to the genus Aspergillus .

(54)

RIWAYAT HIDUP

Rionaldo Melvin Silalahi dilahirkan di Desa Pematang Panjang, Kabupaten Batubara pada tanggal 29 Mei 1991. Anak kedua dari empat bersaudara dari Ayahanda L. Silalahi, SP dan Ibunda R. Sidabutar, S.Pd.. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD.010221 Air Putih, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara. Pada tahun 2006 lulus dari SMP Negeri 2 Air Putih, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara. Pada tahun 2009 lulus dari SMA Swasta Methodist-8 Medan, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, pada tahun 2011 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Hutan Pendidikan USU TAHURA, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penulis juga melaksakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Garut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada bulan Februari sampai dengan Maret 2013.

(55)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian saya yang berjudul “ Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran di Kabupaten Samosir “ ini dengan baik.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan hasil penelitian ini:

1. Komisi Pembimbing penulis yaitu Dr. Delvian, SP, MP. sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Deni Elfiati, SP, MP. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan selama penelitian hingga penulisan hasil penelitian ini selesai.

2. Ayah dan Ibu serta keluarga yang telah membesarkan, mendidik, serta selalu mendukung penulis lewat doanya yang tulus.

3. Teman-teman di Program Studi Kehutanan khususnya stambuk 2009, serta seluruh pegawai di Program Studi Kehutanan.

(56)

DAFTAR ISI

Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel ... 16

Pengambilan Sampel Tanah……….. 17

Parameter Pengamatan ... 17

Prosedur Penelitian... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sifat Kimia Sampel Tanah Bekas Kebakaran…….. 20

Total Mikroorganisme Tanah... 23

Fungi Selulolitik... 25

Identifikasi Fungi Selulolitik. ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... ... 32

Saran... ... 32 DAFTAR PUSTAKA

Gambar

Tabel 1. Hasil analisi sifat kimia sampel tanah bekas kebakaran
Tabel 2. Hasil analisis Total Mikroorgansime (x 103) SPK/ml
Gambar 2. Isolasi fungi selulolitik minggu ke-2
Gambar 3. Isolasi Fungi selulolitik pada media PDA
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data puskesmas kecamatan tersebut, maka dilakukan analisis untuk mengetahui variasi data dari variabel jumlah penderita diare di Kecamatan Cakung,

Talvez essa seja a grande magia e o atrativo que o teatro, não só como obra, mas como exercício de criação, exerce sobre as pessoas: a oportunidade de experimentar, como jogo, o

De hecho, en todos los niveles de su desarrollo, en el concepto de persona se encuentra comprendida una polaridad —en la filosofía, entre cuerpo y alma; en el derecho, entre

Die 1890er Jahre waren für die australische Gesellschaft eine Periode vielfältiger sozialer und politi- scher Umbrüche, die mit dem Zusammenschluss der Kolonien

Keluarga Mahasiswa Muslim FTIP Senin, 25 Mei 2015. @Amphiteater

[r]

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas dan prestasi belajar siswa dalam menulis karangan narasi melalui

Dimensi f merupakan nilai yang bersifat nyata dari suatu kriteria yang dituliskan dalam fungsi, f : K → R dan tujuannya berupa prosedur optimasi untuk setiap alternatif