• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbandingan Nilai Iri Berdasarkan Variasi Rentang Pembacaan Naasra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perbandingan Nilai Iri Berdasarkan Variasi Rentang Pembacaan Naasra"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bolla, M.E. Tanpa Tahun. “Perbandingan Metode Bina Marga dan Metode PCI dalam Menilai Kondisi Perkerasan Jalan”.

Hardiyatmo,H.T.2009. “Pemeliharaan Jalan Raya”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Iskandar, H. 2011. “Kajian Standar Pelayanan Minimal Jalan Untuk Jalan Umum Non-Tol”. Pusat Litbang Jalan dan Jembatan.

Laporan Singkat Pelatihan NAASRA, Dipstick Z-250, ATC-M420 dan BB di Provinsi Kepulauan Riau.

Mulyono, A.T, dan Bambang Riyanto. 2005. “Telaah Teknis Terhadap Kinerja Mutu Perkerasan Jalan Nasional dan Propinsi”. Media Komunikasi Teknik Sipil.

Republik Indonesia. 2009. UU No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Jakarta: Kementrian Pekerjaan Umum.

Republik Indonesia.2004. Undang-Undang No 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Jakarta: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sinurat, D.2013. “Studi Perbandingan Penentuan Nilai Ketidakrataan Jalan berdasrkan Pengamatan Visual dan Alat Parvid”. Skripsi pada FTS USU Medan.

Situmorang, Satar.P.F., Ade Sjafruddin dan Aine Kusumawati. 2009. “Kajian Dampak Pemeliharaan Jalan Terhadap Penghematan Biaya Pengguna Jalan". Simposium XII, hal 1549-1550.

Suherman.2008. “Studi Persamaan Korelasi antara Ketidakrataan Permukaan Jalan dengan Indeks Kondisi Jalan Studi Kasus Ruas Jalan Labuan-Cibaliung”. Politeknik Negeri Bandung: Bandung.

Sukirman, S. 1999. “Perkerasan Lentur Jalan Raya”. Bandung: Nova.

Suswandi, A., Wardhani Sartono dan Hary Chritady H. 2008. “Evaluasi Tingkay Kerusakan Jalan Dengan Methode Pavement Condition Index (PCI) Untuk Menunjang Pengambilan Keputusan”. Forum Teknik Sipil.

Suwardo dan Sugiharto.2004. “Tingkat Kerataan Jalan Berdasarkan Alat Rolling Straight Edge untuk Mengestimasi Pelayanan Jalan”. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Tata Cara Survei Kerataan Permukaan Perkerasan Jalan dengan Alat Ukur Kerataan NAASRA. SNI 03-3426-1994

(2)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Tujuan Metodologi Penelitian

Tujuan metodologi ini adalah menjelaskan tata cara dalam mendapatkan

data-data pokok baik data primer maupun data lain yang diperlukan, yang

selanjutnya akan digunakan dalam pengolahan dan juga analisa data dalam rangka

mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan, yaitu menilai kondisi

perkerasan jalan untuk mengidentifikasikan jenis dan tingkat kerusakan jalan serta

mengukur ketidakrataan permukaan perkerasan jalan.

III.2 Bagian Alir

Berdasarkan studi pustaka yang sudah dibahas sebelumnya, maka untuk

memudahkan dalam pembahasan dan analisis maka dibuat suatu diagram alir atau

flowchart, seperti Gambar 3.1. Diagram alir ini merupakan tahapan studi yang

akan dilakukan dalam rangka menyelesaikan studi ini, sehingga dengan demikian

studi ini dapat diselesaikan dengan sistematis dan mendapat hasil yang valid serta

(3)

Gambar 3.1 : Bagan Alir (Flowchart) Penelitian Mulai

Identifikasi Permasalahan dan Tujuan Penelitian

Studi Pustaka

Pengumpulan Data

Data Primer :

1. Panjang Jalan 2. Nilai IRI dari Dipstick

3. Menentukan nilai IRI dengan menggunakan alat roughometer NAASRA

Data Sekunder:

1. Nama ruas jalan 2. Nomor ruas jalan 3. Status ruas jalan 4. Peta ruas jalan

Analisa Data

Hasil Perbandingan Nilai IRI

Kesimpulan dan Saran

(4)

III.3 Lokasi Penelitian

Gambar 3.2 Peta Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada ruas jalan nasional di Provinsi Sumatera

Utara : Parapat-Batas Kabupaten Tapanuli Utara (10,000 km), Batas Kabupaten

Simalungun-Silimbat (34,000 km) dan Silimbat- Batas Kabupaten Tapanuli Utara

(11,000 km) sehingga total panjang ruas jalan yang ditinjau adalah 55,000 km.

III.4 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan (survei

lapangan). Penelitian menggunakan indikator ketidakrataan permukaan jalan,

seperti metode IRI (International Roughness Index) dan metode NAASRA

(National Association of Australian State Road Authorities) dengan

(5)

m dengan ketentuan umumnya yaitu 100 m. Untuk mengkaji gambaran kinerja

maka metode yang digunakan adalah metode pengumpulan data, yang dimulai

dari data primer dan data sekunder kemudian dilakukan analisis.

III.4.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu cara atau proses yang sistematis

dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk mencapai tujuan

tertentu. Tujuan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh

nilai ketidakrataan perkerasan jalan dalam menentukan kinerja fungsional jalan.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa:

• Data Primer

Data yang dikumpulkan langsung dari lokasi penelitian. Data primer diperoleh

melalui alat NAASRA sebagai pengukur ketidakrataan permukaan jalan yang

didahuli oleh pendahuluan kalibrasi lewat dipstick.

1. Panjang ruas jalan

2. Nilai IRI dari Dipstick

3. Nilai IRi dari alat roughometer NAASRA • Data sekunder

Data yang didapat dari survei kondisi jalan Bina Marga sebelumnya yaitu:

1. Peta ruas jalan

2. Nama ruas jalan

3. Nomor ruas jalan

(6)

III.5 Metode International Roughness Index (IRI)

International Roughness Indes (IRI) dikembangkan oleh Bank Dunia pada

tahun 1980. IRI digunakan untuk menentukan karakteristik profil memanjang dari

jalur yang dilewati roda kendaraan untuk menentukan suatu pengukuran tingkat

kekasaran permukaan yang standar. Satuan yang biasanya digunakan adalah meter

per kilometer (m/km) atau millimeter per meter (mm/m). pengukuran IRI

didasarakan pada perbandingan akumulasi pergerakan suspense kendaraan standar

dengan jarak yang ditempuh oleh kendaraan selama pengukruan berlangsung.

Direktorat Jenderal Bina Marga menggunakan parameter International

Roughness Index (IRI) dlam menentukan kondisi konstruksi jalan, yang dibagi

atas empat kelompok. Berikut ditampilkan Tabel 2.4 penentuan kondisi ruas jalan

dan kebutuhan penanganannya:

Table 3.1 Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganan

Kondisi Jalan

IRI (m/km) Kebutuhan

Penanganan

IRI rata-rata > 12

Peningkatan jalan

Peningkatan Jalan

(7)

Untuk tugas akhir ini cara/metode yang digunakan untuk mengukur nilai

kerataan perkerasan jalan adalah Roughmeter NAASRA. NAASRA merupakan

salah satu metode survei jalan untuk mengetahui kekasaran permukaan jalan dan

dapat dipergunakan untuk menilai kondisi jalan. NAASRA merupakan

kepanjangan dari National Association of Australian State Road Authorities,

prinsip dasar alay ini adalah mengukur jumlah gerakan vertical sumbu roda

belakang terhadap tubuh kendaraan sewaktu berjalan pada kecepatan tertentu.

Gerakan sumbu roda belakang dalam arah vertical dipindahkan kepada alat

pengukur kekasaran melalui kabel pada batang NAASRA yang dipasang di

tengah-tengah sumbu roda belakang kendaraan dan selanjutnya dipindahkan

kepada rotary NAASRA. Dari rotary NAASRA maka nilai NAASRA akan

dikonversikan pada counter untuk kemudian mendapatkan nilai IRI. Dari nilai IRI

yang didapat maka kondisi permukaan jalan yang ditinjau dapat diketahui tingkat

kemantapannya.

Untuk mendapatkan hasil optimal sehingga hasil dari NAASRA ini

mendekati keadaan nyata di lapangan, maka dilakukan suatu kalibrasi terhadap

kendaraan survey dengan alat fase Dipstick Profiler sesuai standar yang berlaku.

Sebelum melaksanakan survey keksaran permukaan jalan harus dicari terlebih

dahulu grafik korelasi dari kendaraan dan alat NAASRA terhadap nilai BI (Bunp

Integrator) dan nilai IRI yang didapat dari Dipstick Profiler. Grafik korelasi ini

didapat dengan Seksi Percobaan (SP) kemudian melakukan pengukuran profil dan

menjalankan kendaraan untuk mendapatkan kekasaran permukaanya. Angka

korelasi yang didapat merupakan angka kalibrasi dari alat ukur NAASRA beserta

(8)

III.5.1 Kalibrasi Halda ( Jarak )

Setelah semua alat-alat terpasang pada mobil survei maka dilakukan

kalibrasi halda.

Segmen jalan untuk lokasi kalibrasi

• Ukur dengan Roll Meter, segmen dengan panjang 300 m dan pada bagian

jalan yang lurus.

• Ukur jalan dengan alat halda dan lakukan berkali-kali dengan mengganti

skala Rotary pada counter, hingga mencapai nilai panjang yang sesuai.

Pemberian tanda bantu dan rambu pengaman

• Di awal dan akhir lokasi pengukuran harus diberi tanda.

• Di jalur ban harus diberi tanda menggunakan cat piloks untuk

memudahkan pelaksanaan pengukuran.

Beri rambu lalu lintas berupa traffic cone pada saat melakukan kalibrasi

sebagai alat bantu keamanan.

Gambar 3.3 : Kalibrasi Sensor Jarak (Halda)

III.5.2 Praktek Dipstick/Kalibrasi NAASRA

Sebelum survei kerataan dapat dilakukan di lokasi penelitian, maka harus

terlebih dahulu dacari grafik korelasi dari kendaraan dan alat ukur NAASRA

terhadap nilai IRI yang diperoleh dari Dipstick Profiler. Garfik korelasi ini

(9)

profiler, selanjutnya menjalankan kendaraan survei untuk mencatat kerataan

permukaan, yang mengacu pada SNI 03-3426-1994.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam kalibrasi, mengacu pada laporan singkat

pelatihan NAASRA:

 Mencari sampel lokasi ( antara 6 s/d 8 lokasi) dengan kondisi jalan yang

berbeda (rusak berat, rusak ringan, sedang, dan baik).

 Melakukan praktek lapangan untuk melakukan percobaan alat Dipstick

dan alat NAASRA sepanjang 300 meter sebagai Seksi Percobaan (SP),

Seksi Percobaan dilakukan sebanyak minimal sampai 5 SP.  Pengecekan terhadap alat-alat survey

 Membuat tanda lintasan di aspal dengan cat piloks sejauh 300 meter, pada

SP kiri dan SP kanan.

 Pengambilan data kekasaran sampel jalan dengan Dipstick Profiler.

 Kemudian setelah selesai melakukan Dipstick, dilanjutkan dengan

melakukan percobaan alat NAASRA dengan mobil untuk bagian kiri dan

kanan sebanyak Seksi Percobaan, kemudian dicatat nilai hit NAASRA nya

setaip sampel.

 Pengolahan data kalibrasi ( membuat grafik trendline-least square method

antara nilai IRI yang didapat dari nilai Dipstick dengan nilai hit NAASRA

yang dihasilkan mobil ketika melewati masing-masing sampel).

 Titik-titik cross antara nilai IRI dan NAASRA untuk masing-masing

sampel membentuk grafik lurus dan dengan metode least square, akan

(10)

hal ini x adalah hit NAASRA) dan B adalah nilai konstanta garis yang

diperoleh.

Sketsa lokasi pengukuran Dipstick

300 m

1,35 m

Awal Akhir

Gambar 3.4 : Sketsa Kalibrasi NAASRA

HASIL KALIBRASI NAASRA SEMESTER II TAHUN 2013 10 OKTOBER - 25 OKTOBER 2013

Tabel 3.2

KENDARAAN : AVANZA TAHUN 2010; NOPOL : BK 1856 KI

LOKASI : SP - 1 Bacaan IRI dari Dipstick

Lintasan

HASIL KALIBRASI

Tanjung Anom

NAASRA

Left Right

Speed Kendaraan (Km)

35

Panjang (m) : 300 13.99 13.83 1 350

2 352

Tanggal :

……….. 3 358

4 349

5 350

(11)

LOKASI : SP - 2 Bacaan IRI

Jl. Bunga Cempaka

NAASRA

Jl. Bunga Cempaka (Depan Kantor Camat

(12)

LOKASI : SP - 5 Bacaan IRI dari Dipstick

Lintasan

HASIL KALIBRASI

Jl. Wijaya Kusuma, Padang bulan

Warna yang disamping adalah bagian yang untuk di input

0 500 1000 1500

(13)

y=0.01x + 2.1174

Setelah selesai dikalibrasi maka pengukuran nilai ketidakrataan permukaan

jalan sudah bisa dilakukan di lokasi penelitian dengan kecepatan 20-40 km/jam.

Grafik atau persamaan yang diperoleh diatas digunakan sebagai dasar untuk

menentukan besaran nilai IRI dari hasil pengukuran di lapangan. Hasil

ketidakrataan jalan didapat per segmen jalan, yaitu pada segemn jalan 50 m,

segmen 100 m dan segmen 200 m. Dalam proses pengambilan nilai kerataan

perkerasan maka kendaraan harus dijalankan dengan kecepatan 20 – 40 km/jam,

hal ini dilakukan agar data yang didapat dari pengukuran menjadi semakin akurat.

Kemudian setelah kerataan perkerasan selesai diambil, maka data hasil

survei bisa langsung di dapat dengan menghubungkannya ke alat laptop untuk

(14)
(15)

III.6 Alat yang digunakan 1. Batang NAASRA

Batang Naasra pemantau getaran kerusakan, setiap getaran sekecil apapun

akan ditangkap, dengan alat ini Rotary Pulsa 1000 satu putarannya yang akan

dikalikan dengan skala Naasra yag diinginkan, semakin besar skala Naasra

yang digunakan maka semakin besar sensitivitas alat Naasra ini dalam

mendeteksi getaran.

Gambar 3.6: Batang NAASRA

2. Rotary NAASRA dan Rotary Halda

Merupakan alat penangkap sensor yang mana plat sensor tersebut sudah

dirancang untuk 1000 pulsa (untuk Naasra) dan 50 pulsa (untuk Haldameter),

(16)

3. Counter NAASRA dan Counter Halda

Alat monitor pencatat Naasra meter yang bersifat display 6 digit angka,

merupakan kendali monitor pergerakan Naasra dan Halda meter. Nilai skala

kalibrasi Naasrameter dan Haldameter ini harus disesuaikan dengan skala

kalibrasi loger pada saat kalibrasi mobil dijalankan.

Gambar 3.8: Counter NAASRA dan Counter Halda

4. Power Inverter

Alat elektronik untuk mengubah Listrik DC (accu mobil) menjadi AC dengn

kapasitas volume 300 watt, alat ini juga berguna untuk pemakaian listrik

lainnya sperti Handycam, charger HP atau Laptop dll.

(17)

5. Loger

Loger ini digunakan untuk menyimpan berbagai data tanpa menggunakan

laptop secara terus menerus, kapasitas loger ini mencapai 1 Gigabyte,

selanjutnya data yang tersimpan di loger dipindahkan ke laptop melalui kabel

USB serial dan tersimpan dalam bentuk Microsoft Excel (.xls). Output yang

disimpan Loger adalah NAASRA meter yang menghasilkan nilai IRI.

Gambar 3.10: Loger

Tata Cara Pemakaian Loger.

a) Gunakan tombol “CAN” untuk cancel ( membatalkan perintah) b) Gunakan tombol “YES” untuk enter ( menyetujui perintah)

c) Jika Halda/Naara meter menampilkan angka yang bukan nol pada saat loger baru dinyalakan, maka tekan tombol “CAN” (cancel) untuk beberapa saat sampai display Halda dan Naasra kembali menjadi nol kembali, hal ini sering terjadi dikarenakan power listrik mobil tidaklah selalu dalam keadaan stabil.

(18)

e) Pastikan untuk menyesuaikan nilai skala Halda meter dan Naasra meter yang sesuai (nilai skala yang di dapat pada saat kalibrasi Halda meter mobil),

• Tekan tombol “MEN” 2 kali untuk memasukkan skala halda meter • Tekan tombol “MEN” 3 kali untuk memasukkan skala Naasra meter

(Catatan, penyesuaian Halda dan Naasra meter harus dilakukan ketika melakukan pergantian loger pada saat survei)

f) Penggunaan tombol “MEN” ( Menu )

• MEN ditekan 1x, menampilkan menu interval yang diinginkan “1”= 100 m “2 = 200 m “3”= 500 m “4”= 1000 m

• MEN ditekan 2x, digunakan untuk memasukkan skala halda (yang didapat pada saat kalibrasi mobil)

• MEN ditekan 3x, digunakan untuk memasukkan skala Naasra (ketelitian Getaran)

• MEN ditekan 4x, menampilkan Menu Identitas sesuai dengan permintaan.

g) Penggunaan tombol “COR” (Record)

• Tombol COR ditekan 1x, menampilkan menu untuk memulai survei (start record), dan tekan angka 1 untuk menyetujui memulai record. • Tombol COR ditekan 2x, mengirim data dari loger ke computer. • Tombol COR ditekan 3x, manghapus data rekaman yang terakhir. • Tombol COR ditekan 4x, menghapus data keseluruhan, dengan

catatan tekan tombol “ENT” selama 5 detik apabila disetujui. h) Penggunaan tombol panah

• “↑” dan “↓” untuk merubah tampilan display ketika berjalan. • Tombol panah ditekan 1x, display utama : menampilkan

Halsa-Naasra.

(19)

6. Haldameter

Haldameter merupakan penentu jarak dalam melakukan survei kerataan jalan

untuk menentukan tingkat kerataan untuk segmen jalan yang ditinjau, setiap

kendaraan survei seharusnya terlebih dahulu dikalibrasi sebelum survei

dilaksanakan. Umumnya survei haldameter/odometer dilakukan di antara titik

awal dan titik akhir, pendekatan yang umum digunakan sebagai titik awal dan

titik akhir adalah dengan menggunakan Data Titik Refeensi (DRP) atau juga

dikenal sebagai Survei Titik Referensi (STR). Pembacaan

haldameter/odometer didapat dari loger dan counter. Dari hasil tingkat

kerataan yang diperoleh maka dapat diketahui ruas segmen kondisi jalan pada

haldameter yang telah ditentukan sebagai acuan dasar dalam memprioritaskan

bentuk rekomendasi pemeliharaan.

II.7 Pengolahan Data

Data yang telah didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan, baik itu

nilai IRI dan Naasra dianalisa dengan bantuan Microsoft Excel yang kemudian

akan mendapatkan persamaan untuk mengetahui faktor kalibrasi. Dari hasil ini

maka dapat diinput ke data logger software 3.3 untuk mendapatkan nilai iri yang

(20)
(21)

BAB IV

ANALISIS DATA

IV.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di sepanjang ruas jalan Parapat-Batas

Kabupaten Tapanuli Utara-Silimat-Batas Kabupaten Tapanuli Utara (Simpang

Tiga Balige). Data yang diambil berupa data kondisi ruas jalan dan kerusakannya

berupa nilai kerataan permukaan perkerasan jalan / nilai IRI (International

Roughness Index).

Tahapan pengumpulan data ini telah mengikuti prosedur yang telah

disebutkan pada bab metodologi penelitian. Dari prosedur yang telah dirancang

tersebut maka akan didapat data-data yang akan digunakan untuk pengolahan data

guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penulisan tugas akhir ini.

IV.2 Data Kondisi Ruas Jalan

Data kondisi ruas jalan meliputi:

 Panjang ruas jalan yang dijadikan objek penelitian adalah sepanjang 55

kilometer, dimulai dari terminal Parapat sampai simpang tiga di Balige.  Ruas jalan nasional ini terdiri dari dua lajur dua arah tanpa adanya median.  Lajur yang ditinjau adalah arah normal.

 Untuk menganalisa kondisi kerataan jalan maka panjang jalan di bagi

(22)

IV.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan

IV.3.1. Hasil Nilai Ketidakrataan permukaan perkerasan jalan.

Dalam pengambilan nilai ketidakrataan permukaan perkerasan jalan

digunakan alat roughmeter NAASRA yang sebelumnya telah ddikombinasikan

dengan peralatan lainnya yaitu Dipstick melalui kalibrasi, seperti penjelasan yang

diberikan pada bab metodologi sebelumnya.

Berikut ini adalah keterangan data nilai IRI yang telah diukur.

a) Kelompok Halda 50 m ( sepanjang 55 km )

• Ruas jalan nasional 066 sepanjang 10 km, jumlah segmen 200

• Ruas jalan nasional 067 sepanjang 34 km, jumlah segmen 680

• Ruas jalan nasional 068 sepanjang 11 km, jumlah segmen 220

b) Kelompok Halda 100 m ( sepanjang 55 km )

• Ruas jalan nasional 066 sepanjang 10 km, jumlah segmen 100

• Ruas jalan nasional 067 sepanjang 34 km, jumlah segmen 340

• Ruas jalan nasioanl 068 sepanjang 11 km, jumlah segmen 110

c) Kelompok Halda 200 m ( sepanjang 55 km )

• Ruas jalan nasional 066 sepanjang 10 km, jumlah segmen 50

• Ruas jalan nasional 067 sepanjang 34 km, jumlah segmen 170

• Ruas jalan nasional 068 sepanjang 11 km, jumlah segmen 55

Dari data nilai ketidakrataan jalan yang diperoleh , maka dapat ditentukan

presentase nilai kerusakan jalan untuk masing-masing Halda yang ditinjau yang

(23)

3%

53% 31%

13%

Halda 100

Baik (300 m)

Sedang (5300 m)

Rusak Ringan (3100 m)

Rusak Berat (1300 m)

0%

78% 20%

2%

Halda 200

Baik

Sedang (7800 m)

Rusak Ringan (2000 m)

Rusak Berat (200 m) 12%

65% 16.5%

6.5%

Halda 50

Baik (1200 m)

Sedang (6500 m)

Rusak Ringan (1650 m)

(24)

4.76%

73.24% 17%

5%

Halda 50

Baik (1600 m)

Sedang (24900 m)

Rusak Ringan (5700 m)

Rusak Berat (1800 m)

0.6%

75% 20.6%

3.8%

Halda 100

Baik (200 m)

Sedang (25500 m)

Rusak Ringan (7000 m)

Rusak Berat (1300 m)

0%

82.35% 14.12%

3.53%

Halda 200

Baik

Sedang (28000 m)

Rusak Ringan (4800 m)

(25)

3.18%

53.64% 37.27%

5.91%

Halda 50

Baik (350 m)

Sedang (5900 m)

Rusak Ringan (4100 m)

Rusak Berat (650 m)

1.2%

61.8% 27%

10%

Halda 100

Baik (200 m)

Sedang (6800 m)

Rusak Ringan (2900 m)

Rusak Berat (1100 m)

0%

54.55% 40%

5.45%

Halda 200

Baik

Sedang (6000 m)

Rusak Ringan (4400 m)

(26)

Tabel 4.1 Panjang Jalan Berdasarkan Kondisi Fisik Perkerasan

Dan bila ditinjau dari hasil mantap tidaknya jalan berdasarkan ketidakratan, maka akan memberikan hasil seperti pada table 4.2 sebagai berikut:

Nilai Kemantapan Jalan

Mantap Tidak Mantap

(27)

Dari data yang diperoleh, dapat dilihat pada table 4.1 bahwa pada setingan

Halda 50 untuk ketiga ruas jalan Nasional akan menghasilkan panjang ruas jalan

kondisi baik lebih besar dibandingkan dengan setingan Halda 100 dan 200, yang

ditandai dengan panjang ruas jalan sepanjang 1200 m, 1600 m dan 350 m. Namun

pada kondisi sedang, rusak ringan, dan rusak berat, terdapat variasi yang tidak

didominasi pada setingan halda tersebut, seperti untuk ruas jalan 066. Panjang

ruas jalan dengan kondisi sedang akan dihasilkan oleh setingan Halda 200

sepanjang 7800 m, disusul setingan Halda 50 sepanjang 6500 m, dan terakhir

setingan Halda 100 sepanjang 5300 m. Variasi ini juga terdapat untuk ruas jalan

nasional 067 dan 068. Besarnya nilai ketidakrataan jalan yang ditinjau

dipengaruhi oleh besarnya nilai NAASRA yang didapat pada saat survei, dimana

semakin besar nilai NAASRA yang dihasilkan maka semakin besar pula nilai

ketidakrataan (IRI) jalan tersebut yang akan menghasilkan kondisi rusak ringan

dan rusak berat semakin panjang. Faktor penyebab nilai NAASRA bertambah

ialah kuantitas dan letak dari jenis kerusakan aspal yang semakin meluas, dimana

dengan tidak adanya penanganan serius maka tingkat kualitas dari jalan akan

menurun drastis yang disebabkan oleh lalu lintas harian yang membebani jalan

nasional cenderung dilewati oleh kendaraan berat, mengingat jalan nasional

merupakan jalan penghubung antar ibukota provinsi yang berfungsi dalam

pemenuhun kebutuhan akan barang dan jasa untuk masing-masing wilayah.

Hal dasar yang jadi pembeda pada pembacaan ialah setingan jarak, dimana

dengan jarak yang lebih kecil maka kuantitas kerusakan aspal yang terlingkup

akan semakin berkurang, yang menyebabkan perolehan nilai IRI cenderung

(28)

setingan Halda yang sebaiknya dipakai ialah yang lebih kecil karena akan

menghasilkan nilai kemantapan yang lebih dominan ( seperti terihat pada ruas 066

& 067). Hal ini juga sebenarnya dapat juga diperoleh dengan setingan Halda 200,

namun dalam pemberian kondisi jalan baik setingan Halda ini tidak memberikan

hasil. Kemantapan jalan yang diperoleh semata-mata hanya dari hasil kondisi

jalan sedang. Dari paparan tersebut didapat bahwa setingan Halda 50 cenderung

lebih baik dari setingan Halda 200. Dengan hasil kemantanpan yang diperoleh

dari kedua jenis setingan Halda tersebut, maka penanganan yang diberikan akan

semakin rendah karena hasil yang didapat. Hal ini berbeda dengan perolahan

setingan Halda 100, dimana hasilnya memberikan kondisi ketidakmantapan jalan

lebih besar, bila ditinjau dari hasil maka setingan ini akan memerlukan

penanganan yang lebih ekstra dibandingkan dengan kedua setingan sebelumnya.

Kondisi demikian didukung dari perolehan data yang didapat, bahwa

dengan menggunakan setingan Halda 50 dan 200 maka akan menghasilkan nilai

kemantapan yang lebih baik dari setingan Halda 100 yaitu pada no ruas 066 yang

menunjukkan nilai kemantapan sebesar 77% atau sepanjang 7700 m dan no ruas

067 sebesar 78% atau sepanjang 26500 m untuk setingan Halda 50 serta untuk

setingan Halda 200 akan menghasilkan nilai kemantapan sebesar 78% atau 7800

m untuk no ruas 066 dan sebesar 82.35% atau sebesar 28800 m untuk no ruas 067.

Namun untuk kedua ruas jalan tersebut kondisinya berbeda dengan setingan Halda

100 dimana pada setingan ini nilai ketidakmantapannya justru lebih besar.

Sehingga dari analisis tersebut didapat suatu hasil, dimana untuk memberikan

hasil yang lebih baik maka setingan Halda 50 dan 200 akan lebih dianjurkan

(29)

sensitivitas prioritas penanganan tehadapnya akan tereduksi. Hal ini berkebalikan

dengan setingan Halda 100 dimana hasil yang diberikan memang tidak sebaik

setingan Halda diatas, namun dengan hasil yang diperoleh maka prioritas terhadap

penanganannya akan lebih serius disbanding dengan kedua setingan Halda

sebelumnya. Hal ini dikarenakan dengan kondisi ketidakmantapan akan mengacu

pada kerusakan ringan dan berat dimana kondisi yang sedemikian maka kerusakan

akan lebih cepat meluas. Segmen dari ruas jalan untuk tiap-tiap kondisi akan

ditunjukkan pada grafik, sehingga dapat dilihat kondisi mana yang seharusnya

memerlukan penanganan.

IV.3.2. Prioritas Penanganan Jalan

Berdasarkan penjelasan diatas, maka prioritas tingkat penanganan jalan

dapat dilakukan dengan mengacu pada ruas jalan berdasarkan tinjauan yang

diproyeksikan berdasarkan grafik untuk masing-masing segmen untuk tiap

setingan Halda. Berikut hasil yang diperoleh:

Tabel 4.3 Prioritas Kebutuhan Penanganan Jalan Kondisi Ruas 066

Setingan Halda

Kebutuhan Penanganan

(30)

5450,5650,5800,5900,6050,

Panjang 1200 m Panjang 6500 m Panjang 2300 m

Setingan 100

3900,4100,7400 100,200,300,400,500,600, 700,800,900,1000,1100,1200

Panjang 300 m Panjang 530000 m Panjang 4400 m

Setingan 200

- 200,400,600,800,1000,1200, 1400,1600,1800,2000,2200,

Kondisi Ruas 067 Setingan

Halda

Kebutuhan Penanganan

(31)
(32)
(33)

29700,29750,29800,29850,

Panjang 1600 m Panjang 24900 Panjang 7500 m

Setingan 100

(34)

19800,19900,20000,20200,

Panjang 200 m Panjang 25500 m Panjang 8300 m

Setingan 200

(35)

22000,22200,23400,23600,

Kondisi Ruas 068 Setingan

Halda

Kebutuhan Penanganan

(36)

Panjang 350 m Panjang 5900 m Panjang 4750 m Setingan

100

1500,1800 100,200,300,400,500,600,700, 800,900,1000,1100,1200,1300

- 200,400,600,800,1000,1200, 1400,1600,1800,2000,3000,

 Pemeliharaan Rutin

Adalah pekerjaan ringan dan pekerjaan rutin umum, yang dilaksanakan

pada jangka waktu yang teratur dalam setahun. Dikatakan pekerjaan

ringan karena pekerjaan ini tidak membutuhkan alat berat namun

pekerjaannya tersebut dilakukan untuk jalan yang berkondisi baik yang

tersebar dalam suatu jaringan jalan.  Pemeliharaan Berkala

Adalah pekerjaan perbaikan dengan frekuensi yang direncanakan dalam

satu tahun atau lebih pada suatu lokasi,seperti pengaspalan atau pelapisan

(37)

kerikil serta pekerjaan drainase. Pekerjaan ini dilakukan untuk jalan

dengan kondisi sedang.  Peningkatan Jalan

Adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kondisi jalan yang

kemempuannya tidak mantap atau kritis, sampai suatu kondisi pelayanan

yang mantap sesuai dengan umur rencana yang ditetapkan. Kegiatan ini

merupakan kegiatan penanganan jalan yang dapat meningkatkan

kemantapan strukturalnya sesuai dengan umur rencana jalan tersebut.

Jika dikaitkan dengan sisitem manajemen mutu pembangunan jalan (dalam

Agus Taufik Mulyono& Bambang Riyanto, 2005), ada empat penyebab utama

mengapa kualiatas pekerjaan jalan belum mampu mencapai target mutu seperti

yang diharapkan, sementara biaya pemeliharaan maupun nilai investasi terus

bertambah, yaitu:

1) Pelaksana dan pengendali mutu jalan memang tidak mengerti sistem mutu

yang diterapkan (Bapekin,2003; Kibal,1996; Knapton,2000; Jahren &

Federle,1999)

2) Pelaksana lapangan tidak sengaja melaksanakan penyimpangan mutu

(Crist,2002; Jahren & Federle,1999)

3) Beberapa pihak yang terkait dalam pekerjaan konstruksi jalan tidak

melakukan pencapaian mutu yang tepat (Henry,2002; Deffenbaugh,1993)

4) Ada beberapa pelaku pengendali mutu yang sengaja tidak memenuhi

spesifikasi teknik, penyimpangan standard dan kode dengan tujuan yang

(38)

Adapun usulan perbaikan untuk jenis pemeliharaan dan peningkatan jalan

(menurut Agus Suswandi, Wardhani Sartono & Hary Christady H, 2008) dapat

dilakukan dengan langkah sebagai berikut

1. Penutupan Retak (crack sealing),

Penutupan retak adalah proses pembersihan dan penutupan atau penutupan

ulang retakan dalam perkerasan aspal, yang dimaksudkan untuk memperbaiki

kerusakan dengan penutupan retakan ialah meliputi: retak memanjang, retak

melintang, retak diagonal, retak reflektif, retak sambungan pelaksanaan, pelebaran

retakan dan retak pinggir. Menurut Asphalt Institute MS-16 mengenai penutupan

retak, cara yang disarankan adalah:

a. Retak rambut (hairline crack)

retak yang lebar celahnya kurang dari 6 mm dan terlalu kecil untuk diisi

secara efektif. Oleh karena itu, biasanya dibiarkan saja kecuali kalau sudah

meluas. Jika retak rambut dalam area perkerasan banyak, maka perawatan

permukaan semacam penutup larutan (slury seal) atau penutup keping

(chip seal) dapat digunakan.

b. Retak kecil (small crack)

retak yang lebar celahnya antara 6-20 mm, dan biasanya perbaikan dibuat

kira-kira 3 mm lebih besar dari lebar rata-rata retakan, dan kemudian

dibersihkan dan ditutup dengan penutup larutan (slury seal). Jika

kedalaman retakan lebih besar dari 20 mm, material penyangga (backer

rod) dapat dipasang untuk mengawetkan penutup.

(39)

retak yang lebar celahnya antara 20-25 mm, biasanya hanya membutuhkan

pembersihan dan penutupan dengan penutup larutan (slury seal). Jika

kedalaman retakan lebih besar dari 20 mm, material penyangga (backer

rod) dapat dipasang untuk mengawetkan penutup.

d. Retak besar (large crack)

retak yang lebar celahnya lebih besar dari 25mm. Perbaikan dilakukan

dengan larutan aspal emulsi atau campuran aspal panas (HMA) bergradasi

halus.

Adapun prosedur penutupan retak adalah, sebagai berikut:

- Retakan dibersihkan dengan menggunakan salah satu alat, seperti: alat

semprot bertekanan tinggi, ledakan pasir (sand blasting), sikat kawat,

ledakan udara panas (hot airblasting) atau air bertekanan tinggi.

- Sesudah pembongkaran bahan penutup lama pada retakan, dan atau

pembersihan retakan, lalu diukur kedalamannya. Jika kedalamannya lebih

dari 20 mm, dibutuhkan material penyangga (backer road) untuk menutup.

Material penyangga harus tidak mudah mampat, tidak susut, tidak

menyerap dengan titik leleh lebih besar dari titik leleh bahan penutup.

- Segera sesudah penutupan, periksa retakan untuk meyakinkan

kebersihannya, kering dan material penyangga telah terpasang dengan

baik.

- Penutupan harus dilakukan dari bawah keatas retakan untuk mencegah

udara terperangkap, supaya tidak terbentuk bagian yang lemah pada

penutup. Untuk mencegah adannya tanda bekas jejak roda, penutup harus

(40)

2. Perawatan Permukaan (Surface Treatment)

Perawatan permukaan adalah istilah yang mencakup beberapa tipe penutup

aspal dan ter batu bara (coal tar) atau gabungan agregate aspal. Perawatan

permukaan tebalnya umumnya tidak lebih dari 25 mm, dan dapat diletakan pada

sembarang permukaan perkerasan. Aspal untuk perawatan permukaan terdiri dari

lapis tipis beton aspal yang terbentuk dari penerapan emulsi aspal, cut back atau

pengikat aspal ditambah dengan agregat untuk melindungi atau memulihkan

kondisi permukaan perkerasan yang telah ada.

Tipe dan nama perawatan permukaan termasuk diantaranya adalah:

penutup pasir (sand seal), penutup keping (chip seal) atau kadang-kadang disebut

lapis penutup (seal coat). Menurut lavin 2003, perawatan permukaan dapat dibagi

kedalam sub kelompok: penutup perkerasan (pavement sealer), keping penutup

(chip seal) dan penutup larutan (slurry seal). Beda dari ketiganya adalah,

pavement sealer tidak mengandung agregate sedangkan chip seal dan slurry seal

berisi agregate dengan porsi yang signifikan.

a. Penutup Perkerasan (pavement sealer)

Penutup perkerasan dapat digunakan untuk pemeliharaan yang sifatnya

pencegahan atau perbaikan, seperti:

- Fog seal: Lapis penutup yang berupa fog seal adalah aspal emulsi tipis

dengan tipe ikatan lambat yang biasanya tanpa agregat penutup dan cocok

digunakan untuk memperbaharui permukaan aspal yang telah menjadi

kering dan menjadi getas oleh umur, mengisi retak kecil dan rongga

permukaan serta melapisi permukaan partikel aggregat agar tidak terjadi

(41)

- Penutup aspal (asphalt sealers) dan ter batu bara (coal tar) : Penutup aspal

(asphalt sealers) atau lapis penutup (seal coat) terdiri dari material dasar

seperti hasil penyulingan ter batu bara (coal tar) atau semen aspal dan air.

Lapisan ini tidak menambah kekuatan struktur perkerasan dan umumnya

digunakan untuk menutup retak rambut, mengikat bersama-sama

permukaan yang mengalami butiran lepas (raveling) ringan serta membuat

oksidasi dan memperlambat penetrasi air.

b. Keping Penutup (chip seal )

Keping Penutup (chip seal) adalah perawatan aspal yang disemprotkan

pada lapis pengikat aspal, emulsi atau cutback yang diikuti oleh

penyebaran agregat diatasnya. Istilah cheap menunjukan sifat ukuran

tunggal dari agregat, yang umumnya berupa agregat batu pecah. Chip seal

ini cocok digunakan pada jalan raya dengan volume rendah untuk

penanganan kerusakan pada area luas dengan retakan kecil yang rapat

(aligator cracking), pelapukan (weathering) atau butiran lepas (raveling),

agregate licin (polished aggregate), dan retak block (block cracking)

c. Penutup Larutan (slurry seal)

Penutup Larutan (slurry seal) adalah perawatan yang dapat digunakan

untuk pemeliharaan yang sifatnya pencegahan atau perbaikan. Penutup

larutan adalah suatu campuran yang terdiri dari aspal emulsi ikatan lambat,

agregate halus, mineral pengisi dan air. Dalam kasus khusus, dalam

larut-annya ditambahkan material tambah (additive) untuk memodifikasi

karakteristik lamanya waktu perawatan. Material ini biasanya

(42)

dan peletakan penutup larutan. Penghamparan larutan dilakukan satu

tahap, dengan ketebalan antara 3-10 mm. Karena tipisnya, ukuran

maksimum agregat umumnya tidak lebih dari 9-10 mm dan dapat sekecil

4.75 atau 5 mm. Penutup larutan berfungsi untuk: menutup retakan,

menghentikan pelepasan butiran, dan memperbaiki kekesatan permukaan.

3. Penambalan (patching)

Penambalan diseluruh kedalaman cocok untuk perbaikan permanen,

sedangkan perbaikan sementara cukup ditambal dikulit permukaan perkerasan

saja. Penambalan cocok untuk memperbaiki kerusakan: Aligator cracking,

pothole, patching, corrugation, shoving, depression, slippage cracking,dan

rutting.

a. Penambalan Permukaan

Penambalan permukaan umumnya hanya bersifat sementara untuk

memperbaiki kerusakan, shoving, corrugation, depression, weathering and

raveling dan alligator cracking. Penambalan permukaan dapat dilakukan

dengan tanpa melakukan penggalian untuk menyamakan permukaan yang

telah ada, atau dapat dilakukan dengan cara mengupas sebagian atau

seluruh campuran perkerasan aspal yang telah ada untuk memperbaiki

kerusakan. Penambalan permukaan dilakukan sebagai berikut:

- Tandai area yang akan diperbaiki. Jika yang akan diperbaiki berupa

kerusakan depresion atau ruting , perbaikan harus dikerjakan sedemikian

(43)

- Jika penambalan dilakukan dengan cara membongkar perkerasan, kupas

sampai kedalaman yang cukup untuk membongkar material yang rusak.

- Sesudah membongkar perkerasan, bersihkan area ini dengan semprotan

bertekanan udara tinggi, dan selanjutnya setelah kering, gunakan tack coat

pada bagian pinggir dan dasar dari area tambalan.

- Setelah tack coat dilakukan, segera letakan aspal panas dalam area yang

dibongkar atau keseluruh area yang ditambal.

- Untuk penambalan tanpa pengupasan pekerasan yang telah ada sebaiknya

menggunakan campuran aspal dan pasir halus

- Padatkan aspal dengan alat pemadat yang disesuaikan dengan ukuran

tambalan. Hal penting yang harus diperhatikan tambalan harus diratakan

sesuai dengan permukaan perkerasan disekitarnya.

b. Penambalan Diseluruh Kedalaman

Penambalan diseluruh kedalaman dilakukandengan cara membongkar

seluruh material yang berada diarea yang mengalami kerusakan dan

digantikan dengan campuran aspal yang masih segar. Perbaikan ini

bertujuan untuk memperbaiki kerusakan struktural dan material yang

terkait dengan kerusakanruting, alligator cracking dan corrugation.

Penambalan dilakukan sebagai berikut:

- Area tambalan sebaiknya dilebihkan sekitar 15-30 cm diluar area yang

rusak. Perkerasan digali sesuai kebutuhan termasuk lapis pondasi granuler

dan tanah dasar untuk memperoleh dukungan yang kuat. Untuk kerusakan

seperti retak akibat penggelinciran (slippage cracking) perbaikan hanya

(44)

alligator cracking perlu pembongkaran material pondasi granuler atau

tanah dasar yang lemah.

- Setelah penggalian, singkirkan material dari area yang digali dan ratakan

serta padatkan pondasi granuler atau tanah dasar agar menciptakan pondasi

yang kuat.

- Hamparkan tack coat untuk tepi vertikal galian dan prime coat atautack

coatuntuk dasar galian.

- Urug galian dengan campuran aspal dan tuangkan campuran lebih dahulu

pada tepi galian. Hamparkan campuran dengan hati-hati untuk

menghindari pemisahan campuran. Material untuk menambal harus cukup,

supaya setelah dipadatkan tidak menghasilkan cekungan atau cembungan

pada tambalan. Campuran aspal panas harus diletakan perlapis, untuk

menambah tahanan panas dan kepadatan yang cukup.

- Padatkan tiap lapis tambalan dengan baik dan setelah pemadatan,

(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil seluruh pembahasan yang telah diuraikan pada

penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Nilai ketidakrataan jalan (International Roughness Index) dengan setingan

Halda 100 untuk tiga ruas jalan nasional adalah sebagai berikut :

Parapat-Batas Kabupaten Tapanuli Utara dengan no ruas 066

Kondisi jalan baik yaitu sepanjang 300 m, ditunjukkan dengan nilai

IRI < 4 m/Km dengan persentase sebesar 3%.

Kondisi jalan sedang yaitu sepanjang 5.300 m, ditunjukkan dengan

nilai IRI (4 -8) m/Km dengan persentase sebesar 53%.

Kondisi jalan rusak ringan yaitu sepanjang 3.100 m, ditunjukkan

dengan nilai IRI (8 - 12) m/Km dengan persentase sebesar 31%.

Kondisi jalan rusak berat yaitu sepanjang 1.300 m, ditunjukkan

dengan nilai IRI > 12 m/Km dengan persentase sebesar 13%.

Batas Kabupaten Simalungun-Silimbat dengan no ruas 067

Kondisi jalan baik yaitu sepanjang 200 m, ditunjukkan dengan nilai

IRI < 4 m/Km dengan persentase sebesar 0.6%.

Kondisi jalan sedang yaitu sepanjang 25.500 m, ditunjukkan

(46)

Kondisi jalan rusak ringan yaitu sepanjang 7.000 m, ditunjukkan

dengan nilai IRI (8 - 12) m/Km dengan persentase sebesar 20.6%.

Kondisi jalan rusak berat yaitu sepanjang 1.300 m, ditunjukkan

dengan nilai IRI > 12 m/Km dengan persentase sebesar 3.8%.

Silimbat- Batas Kabupaten Tapanuli Utara (sampai simpang tiga

Balige) dengan no ruas 068

Kondisi jalan baik yaitu sepanjang 200 m, ditunjukkan dengan nilai

IRI < 4 m/Km dengan persentase sebesar 1.2%.

Kondisi jalan sedang yaitu sepanjang 6.800 m, ditunjukkan dengan

nilai IRI (4 -8) m/Km dengan persentase sebesar 61.8%.

Kondisi jalan rusak ringan yaitu sepanjang 2.900 m, ditunjukkan

dengan nilai IRI (8 - 12) m/Km dengan persentase sebesar 27%.

Kondisi jalan rusak berat yaitu sepanjang 1.100 m, ditunjukkan

dengan nilai IRI > 12 m/Km dengan persentase sebesar 10%.

2. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik yaitu nilai IRI yang relative

kecil, maka setingan halda 50 akan lebih baik digunakan. Namun dengan

tingkat yang lebih baik maka sensitivitas penanganan jalan akan cenderung

tereduksi. Hal ini berkebalikan dengan setingan halda 100 yang akan

menghasilkan nilai yang cenderung lebih besar, namun dengan hasil yang

didapat maka tingkatan prioritas penanganan akan lebih baik.

3. Prioritas penanganan jalan yang dapat dilakukan ialah:

(47)

Untuk Halda 50

Pemeliharaan Rutin sepanjang = 1200 m

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 6500 m

Peningkat Jalan sepanjang = 2300 m

Untuk Halda 100

Pemeliharaan Rutin sepanjang = 300 m

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 5300 m

Peningkat Jalan sepanjang = 4400 m

Untuk Halda 200

Pemeliharaan Rutin sepanjang = -

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 7800 m

Peningkat Jalan sepanjang = 2200 m

Ruas 067

Untuk Halda 50

Pemeliharaan Rutin sepanjang = 1600 m

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 24900 m

Peningkat Jalan sepanjang = 7500 m

Untuk Halda 100

Pemeliharaan Rutin sepanjang = 200 m

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 25500 m

Peningkat Jalan sepanjang = 8300 m

Untuk Halda 200

(48)

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 28000 m

Peningkat Jalan sepanjang = 6000 m

Ruas 068

Untuk Halda 50

Pemeliharaan Rutin sepanjang = 350 m

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 5900 m

Peningkat Jalan sepanjang = 4100 m

Untuk Halda 100

Pemeliharaan Rutin sepanjang = 200 m

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 6800 m

Peningkat Jalan sepanjang = 4000 m

Untuk Halda 200

Pemeliharaan Rutin sepanjang = -

Pemeliharaan Berkala sepanjang = 6000 m

Peningkat Jalan sepanjang = 5000 m

V.2 Saran

Adapun dari hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hasil sebgai

berikut

1. Untuk melakukan penelitian maka sebaiknya waktu pada saat dilaksanakan

tidak memberikan rentang waktu yang terlalu jauh antara setingan Halda.

2. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui setingan mana

(49)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1PENGERTIAN JALAN

Menurut Undang–Undang RI No.22 Tahun 2009 yang dimaksud

dengan jalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkapnya

yang diperuntukan bagi lalu lintas umum, yang berada dibawah permukaan

tanah, diatas pemukaaan tanah, dibawah permukaan air, serta diatas

pemukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. Jalan mempunyai peranan

untuk mendorong pembangunan semua satuan wilayah pengembangan, dalam

usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah. Jalan merupakan satu

kesatuan sistem jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan

pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah lainnya agar tercapai keseimbangan dan

pemerataan pembangunan antar daerah serta membentuk strukur ruang dalam

rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.

Jaringan jalan mempunyai peranan yang strategis dan penting dalam

pembangunan, untuk itu harus dikelola dengan baik agar dapat berfungsi

sebagaimana yang diharapkan. Sesuai dengan karakteristiknya, jaringan jalan

selalu cenderung mengalami penurunan kondisi yang diindikasikan dengan

terjadinya kerusakan pada perkerasan jalan. Maka untuk memperlambat kecepatan

penurunan kondisi dan mempertahankan kondisi pada tingkat yang layak, jaringan

jalan tersebut perlu dikelola pemeliharaannya dengan baik agar jalan tersebut

(50)

adalah merupakan masalah umum yang selalu dihadapi Negara-negara di dunia,

baik oleh Negara-negara sedang berkembang bahkan juga oleh Negara-negara

sudah berkembang. Menurut hasil studi Bank Dunia, disebutkan bahwa setiap

pengurangan US$1 terhadap biaya pemeliharaan jalan akan mengakibatkan

kenaikan biaya operasional kendaraan sebesar US$2 sampai US$3 karena jalan

menjadi lebih rusak. Kondisi ini akhirnya akan membebani perekonomian secara

keseluruhan.

II.2KLASIFIKASI JALAN

Menurut UU No.38 Tahun 2004 tentang jalan, sesuai dengan

peruntukannya jalan dibedakan atas:

A.Jalan Khusus

Jalan ini dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok

masyarakat untuk kepentingan sendiri dan bukan diperuntukkan bagi lalu lintas

umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkannya. Termasuk

jalan khusus tersebut antara lain adalah: jalan dalam kawasan pelabuhan, jalan

kehutanan, jalan perkebunan, jasa inspeksi pengairan, jalan di kawasan

industri, dan jalan di kawasan permukiman yang belum diserahkan kepada

pemerintah.

B.Jalan umum

Jalan ini diperuntukkan bagi lalu intas umum, jalan umum ini dapat

dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status, dan kelasnya.

(51)

Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang saling

menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang

berbeda dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hubungan hierarkis.

Penyusunan sistem jaringan jalan dilakukan dengan mangacu pada rencana tata

ruang wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan antar dan/atau di dalam

kawasan perkotaan, dan kawasan pedesaan. Sistem jaringan jalan ini dibedakan

atas :

II.2.1.1 Sistem Jaringan Jalan Primer

Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi

barang dan jasa untuk pembangunan semua wilayah di tingkat nasional, dengan

menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat

kegiatan. Penyusunan sistem jaringan jalan primer dilakukan mengikuti rencana

tata ruang dan memperhatikan keterhubungan antarkawasan perkotaan yang

merupakan pusat-pusat sebagai berikut:

• Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan

wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan, dan • Menghubungkan antar kegiatan nasional.

II.2.1.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi

barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Penyesuaian

sistem jaringan jalan sekunder ini dilakukan dengan mengikuti rencana tata ruang

(52)

yang mempunyai fungsi primer, fungus sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua,

fungi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.

II.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya

Berdasarkan sifat dan pergerakan lalu lintas serta angkutan, jalan dibedakan

atas :

• Jalan Arteri

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan

ciri perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan

masuk dibatasi dengan berdaya guna.

• Jalan Kolektor

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul

atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata

sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

• Jalan Lokal

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan

ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan

masuk tidak dibatasi. • Jalan Lingkungan

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan

(53)

Fungsi jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan yang terdapat

pada sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder dibedakan

lagi atas :

1. Jalan Arteri Primer

2. Jalan Kolektor Primer

3. Jalan Lokal Primer

4. Jalan Lingkungan Primer

5. Jalan Arteri Sekunder

6. Jalan Kolektor Sekunder

7. Jalan Lokal Sekunder

8. Jalan Lingkungan Sekunder

II.2.3Klasifikasi Jalan Menurut Status

Menurut statusnya, jalan umum dikelompokkan menjadi jalan nasional,

jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.

• Jalan Nasional

Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer

yang menghubungkan antaribukota provinsi dan jalan strategis nasional ,

serta jalan tol. Wewenang penyelenggaraan jalan nasional dilakukan oleh

pemerintah pusat melalui menteri pekerjaan umum. • Jalan Provinsi

Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang

(54)

ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. Wewenang

penyelnggaraan jalan ini dilakukan oleh pemerintah provinsi. • Jalan Kabupaten

Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak

termasuk pada jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan

ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan,

ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam

sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis

kabupaten. Kewenangan penyelenggaraan jalan ini dilakukan oleh

pemerintah kabupaten. • Jalan Kota

Merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang

menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat

pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil. Serta

menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.

Kewenangan penyelenggaraan jalan ini dilakukan oleh pemerintah kota. • Jalan Desa

Merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau

antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan. Kewenangan

penyelenggaraan jalan ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten.

II.2.4 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Kelas

Guna keperluan pengaturan penggunaan dan kelancaran lalu lintas, jalan

(55)

II.2.4.1 Berdasrkan Penggunaan

Pada penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan,

seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1993 tentang prasarana

dan lalu lintas jalan, yaitu:

• Jalan Kelas I

Yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor

termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran

panjang tidak melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan

muatan sumbu terberat sebesar 10 ton. • Jalan Kelas II

Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal ysng dspst dilalui kendaraan bermotor

dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak

melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu

terberat sebesar 8 ton. • Jalan Kelas III A

Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor

dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak

melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan

sumbu terberat sebesar 8 ton. • Jalan Kelas III B

Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor

(56)

melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan

sumbu terberat sebesar 8 ton. • Jalan Kelas III C

Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor

dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak

melebihi 9.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan sumbu

terberat sebesar 8 ton. • Jalan Khusus

Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal yang dapat dilalui kendaraan

bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 mm, ukuran panjang

melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu

terberat lebih dari 10 ton.

II.2.4.2 Berdasarkan Spesifikasi

Menurut undang-undang jalan yang ada, pengelompokan kelas jalan

berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan ini adalah sebagai berikut:

Jalan Bebas Hambatan (Freeway)

Yaitu jalan umum untuk lalu lintas menerus yang memberikan pelayanan

menerus/tidak terputus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh, dan

tanpa adanya persimpangan sebidang, serta dilengkapi dengan pagar ruang

milik jala, paling sedikit 2 lajur setiap arah, lebar lajur sekurang-kurangnya

(57)

Yaitu jalan umum bagi lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan

masuk terbatas dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 lajur setiap

arah, lebar lajur sekurang-kurangnya 3,5 meter. • Jalan Sedang (Road)

Yaitu jalan umum dengan lalu lintas sedang dengan pengendalian jalan

masuk tidak dibatasi, paling sedikit 2 lajur untuk 2 arah dengan lebar paling

sedikit 7 meter. • Jalan Kecil (Street)

Yaitu jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 lajur

2 arah dengan lebar paling sedikit 5,5 meter.

II.3 Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan adalah suatu konstruksi yang terdiri dari lapisan yang

diletakkan di atas lapisan tanah dasar yang berfungsi untuk memikul beban lalu

lintas. Struktur perkerasan harus mampu mereduksi tegangan yang terjadi pada

tanah dasar dengan cara menyebarkan pada lapisan perkerasan tanpa

menimbulkan lendutan pada lapis perkerasan yang dapat merusak struktur

perkerasan itu sendiri. Berdasarkan jenis bahan pengikatnya, struktur perkerasan

jalan dapat dibedakan atas tiga jenis meliputi, (Silvia Sukirman, 1999).

a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya

bersifat memikul dan menyebarkan baban lalu lintas ke tanah dasar.

b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang

(58)

dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa

lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat

beton.

c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku

yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan

lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.

Table 2.1 Perbedaan antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur.

No Perkerasan Kaku Perkerasan Lentur

1

Komponen perkerasan terdiri dari pelat beton yang terletak di tanah atau lapisan material granural pondasi bawah (subbase).

Kebanyakan digunakan untuk jalan kelas tinggi.

Pencampuran adukan beton mudah dikontrol.

Umur rencana dapat mencapai 40 tahun.

Lebih tahan terhadap drainase yang buruk.

Biaya awal pembangunan lebih tinngi.

Biaya pemeliharaan kecil.

Kekuatan perkerasaan lebih ditentukan oleh kekuatan pelat beton.

Tebal struktur perkerasan adalah tebal pelat betonnya.

Komponen perkerasan terdiri dari lapis aus, lapis pondasi (base) dan pondasi bawah (subbase).

Digunakan untuk semua kelas jalan dan tingkat volume lalu lintas.

Pengontrolan kualitas campuran lebih rumit.

Umur rencana lebih pendek, yaitu sekitar 20 tahun, jadi kurang dari perkerasan kaku.

Kurang tahan terhadap drainase buruk.

Biaya awal pembangunan lebih rendah.

Biaya pemeliharaan lebih besar.

Kekuatan perkerasan ditentukan oleh kerjasama setiap komponen lapisan perkerasan.

Tebal perkerasan adalah seluruh lapisan pembentuk perkerasan di atas tanah dasar.

(59)

Salah satu jenis perkerasanyang paling umum digunakan adalah

perkerasan lentur. Hampir 80% dari total pajang jalan di Indonesia merupakan

perkerasan lentur. Sebagaimana struktur perkerasan pada umumnya, perkerasan

lentur juga akan mengalami defisiensi atau penurunan kinerja akibat pengaruh

beban lalu lintas dan lingkungan seiring dengan berjalannya umur rencana

perkerasan. Sehingga struktur perkerasan akan membutuhkan upaya-upaya

pemeliharaan untuk menjaga kinerjanya.

Untuk mempertahankan kinerja perkerasan, diperlukan beberapa tindakan

perbaikan kerusakan, baik berupa pemeliharaan rutin yang dilakukan setiap tahun

maupun pemeliharaan berkala yang biasanya dilakukan setiap dua atau tiga tahun

sekali. Keseluruhan pemeliharaan tersebut bertujuan untuk menjaga kinerja

perkerasan agar dapat memberikan pelayanan sampai akhir umuur rencananya.

II.3.1 Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan

Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan

diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk

menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan yang ada di

bawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban

yang dieruma oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah

dasar.

Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari:

(60)

Lapis permukaan struktur perkerasan lentur terdiri atas campuran mineral

agregat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak diatas

lapis pondasi.

Fungsi lapis permukaan antara lain:

a. Lapis perkerasan penahan beban roda, dimana lapisan mempunyai stabilitas

tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanannya.

b. Sebagai lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak

meresap ke lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisa-lapisan tersebut.

c. Sebagai lapis aus (wearing course), dimana lapisan ini yang langsung

menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.

d. Sebagai lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat

dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek.

Untuk dapat memenuhi fungsi tersebut, pada umunya lapisan permukaan

dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan

yang kedap air dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama.

2. Lapisan pondasi atas (Base Course)

Lapisan pondasi atas adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang

terletak langsung di bawah lapis permukaan dan diatas pondasi bawah dan jika

tidak menggunakan lapis pondasi bawah maka langsung diltempatkan diatas tanah

dasar.

(61)

a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan

menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.

b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.

c. Bantalan terhadap lapisan permukaan.

3. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course)

Lapisan pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang

terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi atas. Biasanya terdiri dari atas lapisan

dari material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun

tidak.

Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :

a. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah

dasar. Lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR 20% dan Plastisitas

Indeks (PI) ≤ 10%.

b. Effisiensi dalam penggunaan material yang relative lebih murah agar

lapisan-lapisan diatasnya dapat dikurangi tingkat ketebalannya sehingga sekaligus

menghemat biaya konstruksi.

c. Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.

d. Sebagai lapis pertama agar pekerjaan dapat berjalan lancer. Hal ini

sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup

tanah dasar dari pengaruh cuaca atau lemahnya daya dukung tanah dasar

(62)

4. Lapisanan tanah dasar

Perkerasan jalan diletakkan diatas tanah dasar, dengan demikian secara

keseluruhan mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan tak lepas dari sifat tanah

dasar. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar

yang berasal dari lokasi itu sendiri atau didekatnya, yang telah dipadatkan sampai

tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta

berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan

walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat.

II.3.2 Kerusakan Perkerasan Lentur

A. Kerusakan Struktural

Kerusakan structural adalah kerusakan pada struktur jalan, sebagian atau

keseluruhannya, yang menyebabkan perkerasan jalan tidak lagi mampu

mendukung beban lalu lintas. Untuk itu perlu adanya perkuatan struktur dari

perkerasan dengan cara pemberian lapisan ulang (overlay) atau perbaikan

kembali terhadap lapisan perkerasan yang ada.

B. Kerusakan Fungsional

Kerusakan fungsional adalah kerusakan pada permukaan jalan yang dapat

menyebabkan terganggunya fungsi jalan tersebut. Kerusakan ini dapat

berhubungan atau tidak dengan kerusakan structural. Pada kerusakan

fungsional, perkerasan jalan masih mampu menahan beban yang bekerja

(63)

diinginkan. Untukk itu lapisan permukaan perkerasan harus dirawat agar

permukaan kembali baik.

Menurut Situmorang, dkk (2009) Pada prinsipnya jenis kerusakan fungsional akan

menurunkan tingkat kenyamanan dan keamanan pengguna jalan seperti :

- Meningkatkan kebisingan akibat gesekan roda dan permukaan jalan

- Meningkatkan resiko cipratan air (water splashing) pada saat permukaan basah

- Menigkatkan resiko tergelincir saat menikung di saat permukaan basah

- Meningkatkan resiko tergelincir saat mengerem di saat permukaan basah

maupun kering

Jenis-jenis kerusakan perkerasan lentur (aspal), umumnya diklasifikasikan

atas 5 bagian (Hary Christady Hardiyatmo, 2009), yaitu:

1. Deformasi

2. Retak

3. Kerusakan tekstur permukaan

4. Kerusakan di pinggir perkerasan

5. Kerusakan lubang, tambalan dan persilangan jalan rel

II.3.2.1 Deformasi

Deformasi adalah perubahan permukaan jalan dari profil aslinya (sesudah

pembangunan). Deformasi merupakan kerusakan penting dari kondisi perkerasan,

karena mempengaruhi kualitas kenyamanan lalu-lintas (kekasaran, genangan air

(64)

struktur perkerasan. Mengcu pada AUSTROADS (1987) dan Shanin (1994),

beberapa tipe deformasi perkerasan lentur adalah:

Bergelombang (Corrugation)

Bergelombang atau keriting adalah kerusakan oleh akibat terjadinya deformasi

plastis yang menghasilkan gelombang-gelombang melintang atau tegak lurus

arah perekerasan aspal. Penyebab kerusakan dimungkinkan oleh terjadinya aksi

lalu lintas yang disertai dengan permukaan perkerasan atau lapis pondasi yang

tidak stabil serta kadar air dalam lapis pondasi granural (granural base) terlalu

tinggi, sehingga tidak stabil. Permukaan perkerasan yang tidak stabil ini,

disebabkan karena campuran lapisan aspal yang buruk, mislanya akibat terlalu

tingginya kadar aspal, terlalu banyaknya agregat halus, agregat berbentuk bulat

dan cincin, atau terlalu lunaknya semen aspal. Tingkat kerusakan keriting dapat

diukur berdasarkan kedalaman keriting yang terjadi. Untuk tingkat kerusakan

ringan (low) kedalaman < ½ inchi, untuk sedang (medium) kedalaman ½-1

inchi, dan untuk tingkat kerusakan parah (high) kedalaman > 1 inchi.

Gambar 2.1 Corrugation (keriting)

(65)

Alur adalah deformasi permukaan perkerasan aspal dalam bentuk turunnya

perkerasan kearah memanjang pada lintasan roda kendaraan. Distorsi

permukaan jalan yang membentuk alur-alur terjadi oleh akibat beban lalu lintas

yang berulang-ulang pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Penyebab

kerusakan kerusakan dimungkinkan oleh

1) Pemadatan lapis permukaan dan pondasi (base) kurang, sehingga

akaibat beban lalu lintas lapis pondasi memadat lagi.

2) Kualitas campuran aspal rendah, ditandai dengan gerakan arah lateral

dan ke bawah dari campuran aspal di bawah beban roda berat.

3) Gerakan lateral dari satu atau lebih dari komponen pembentuk lapis

perkerasan yang kurang padat. Contoh terjadinya alur pada lintas roda

yang disebabkan oleh deformasi dalam lapis pondasi atau tanah dasar

ditunjukkan dalam gambar 2.2b

4) Tanah dasar lemah atau agregat pondasi (base) kurang tebal, pemadatan

kurang, atau terjadi pelemahan akibat infiltrasi air tanah.

(66)

Sungkur (Shoving)

Sungkur (Shoving) adalah perpindahan permanen secara lokal dan memanjang

dari permukaan perkerasan yang disebabkan oleh beban lalu lintas. Ketika lalu

lintas mendorong perkerasan, maka mendadak timbul gelombang pendek di

permukaannya. Penggembungan lokal permukaan perkerasan nampak dalam

arah sejajar dengan arah lalu lintas dan/atau perpindahan horizontal dari

material permukaan, terutama pada arah lalu lintas dimana aksi pengereman

atau percepatan sering terjadi. Sungkur melintang juga dapat timbul oleh

gerakan lalu lintas membelok. Sungkur biasanya juga terjadi pada perkerasan

aspal yang berbatasan dengan perkerasan beton semen Portland (PCC).

Perkerasan beton bertambah panjang (oleh karena suhu) dan menekan

perkerasan aspal, sehingga terjadi sungkur.

Gambar 2.3 Sungkur (Shoving) Mengembang (Swell)

Mengembang adalah gerakan ke atas lokal dari perkerasan akibat

pengembangan (atau pembekuan air) dari tanah dasar atau dari bagian struktur

perkerasan. Perkerasan yang naik akibat tanah dasar yang mengembang ini

(67)

dikarakteristikkan dengan gerakan perkerasan aspal, dengan panjang

gelombang > 3 m. Penyebab kerusakan dimungkinkan oleh mengembangnya

material lapisan di bawah perkerasan atau tanah dasar dan tanah dasar

perkerasan mengembang, bila kadar air naik. Umunya, hal ini terjadi bila tanah

pondasi berupa lempung yang mudah mengembang (lempung montmorillonite)

oleh kenaikan air.

Benjol dan Turun (Bump and Sags)

Benjol adalah gerakan atau perpindahan ke atas, bersifat lokal dan kecil, dari

permukaan perkerasan aspal sedangkan penurunan (sags) yang juga berukuran

kecil, merupakan gerakan ke bawah dari permukaan perkerasan. Bila distorsi

dan perpindahan yang terjadi dalam area yang luas dan menyebabkan naiknya

area perkerasan secara luas, maka disebut mengembang (swelling).

Kerusakan benjol tidak sama dengan sungkur, di mana kerusakan sungkur

diakibatkan oleh perkerasan yang tidak stabil. Jika benjolan nampak

mempunyai pola tegak lurus arah lalu lintas dan berjarak satu sama lainkurang

dari 10 ft ( 3m ), maka kerusakannya disebut keriting (corrugation).

Gambar

Gambar 3.1 : Bagan Alir (Flowchart) Penelitian
Table 3.1 Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganan
Tabel 3.2
Gambar 3:5 Dokumentasi proses Dipstick
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai resistansi yang didapatkan pada saat pengukuran dengan kedalaman 2 meter didapat nilai rata-rata pada pagi hari tanah rawa 12,59ꭥ, tanah berpasir 0,71ꭥ, tanah liat/ladang