DAFTAR PUSTAKA
Bolla, M.E. Tanpa Tahun. “Perbandingan Metode Bina Marga dan Metode PCI dalam Menilai Kondisi Perkerasan Jalan”.
Hardiyatmo,H.T.2009. “Pemeliharaan Jalan Raya”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Iskandar, H. 2011. “Kajian Standar Pelayanan Minimal Jalan Untuk Jalan Umum Non-Tol”. Pusat Litbang Jalan dan Jembatan.
Laporan Singkat Pelatihan NAASRA, Dipstick Z-250, ATC-M420 dan BB di Provinsi Kepulauan Riau.
Mulyono, A.T, dan Bambang Riyanto. 2005. “Telaah Teknis Terhadap Kinerja Mutu Perkerasan Jalan Nasional dan Propinsi”. Media Komunikasi Teknik Sipil.
Republik Indonesia. 2009. UU No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Jakarta: Kementrian Pekerjaan Umum.
Republik Indonesia.2004. Undang-Undang No 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Jakarta: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sinurat, D.2013. “Studi Perbandingan Penentuan Nilai Ketidakrataan Jalan berdasrkan Pengamatan Visual dan Alat Parvid”. Skripsi pada FTS USU Medan.
Situmorang, Satar.P.F., Ade Sjafruddin dan Aine Kusumawati. 2009. “Kajian Dampak Pemeliharaan Jalan Terhadap Penghematan Biaya Pengguna Jalan". Simposium XII, hal 1549-1550.
Suherman.2008. “Studi Persamaan Korelasi antara Ketidakrataan Permukaan Jalan dengan Indeks Kondisi Jalan Studi Kasus Ruas Jalan Labuan-Cibaliung”. Politeknik Negeri Bandung: Bandung.
Sukirman, S. 1999. “Perkerasan Lentur Jalan Raya”. Bandung: Nova.
Suswandi, A., Wardhani Sartono dan Hary Chritady H. 2008. “Evaluasi Tingkay Kerusakan Jalan Dengan Methode Pavement Condition Index (PCI) Untuk Menunjang Pengambilan Keputusan”. Forum Teknik Sipil.
Suwardo dan Sugiharto.2004. “Tingkat Kerataan Jalan Berdasarkan Alat Rolling Straight Edge untuk Mengestimasi Pelayanan Jalan”. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Tata Cara Survei Kerataan Permukaan Perkerasan Jalan dengan Alat Ukur Kerataan NAASRA. SNI 03-3426-1994
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Tujuan Metodologi Penelitian
Tujuan metodologi ini adalah menjelaskan tata cara dalam mendapatkan
data-data pokok baik data primer maupun data lain yang diperlukan, yang
selanjutnya akan digunakan dalam pengolahan dan juga analisa data dalam rangka
mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan, yaitu menilai kondisi
perkerasan jalan untuk mengidentifikasikan jenis dan tingkat kerusakan jalan serta
mengukur ketidakrataan permukaan perkerasan jalan.
III.2 Bagian Alir
Berdasarkan studi pustaka yang sudah dibahas sebelumnya, maka untuk
memudahkan dalam pembahasan dan analisis maka dibuat suatu diagram alir atau
flowchart, seperti Gambar 3.1. Diagram alir ini merupakan tahapan studi yang
akan dilakukan dalam rangka menyelesaikan studi ini, sehingga dengan demikian
studi ini dapat diselesaikan dengan sistematis dan mendapat hasil yang valid serta
Gambar 3.1 : Bagan Alir (Flowchart) Penelitian Mulai
Identifikasi Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Studi Pustaka
Pengumpulan Data
Data Primer :
1. Panjang Jalan 2. Nilai IRI dari Dipstick
3. Menentukan nilai IRI dengan menggunakan alat roughometer NAASRA
Data Sekunder:
1. Nama ruas jalan 2. Nomor ruas jalan 3. Status ruas jalan 4. Peta ruas jalan
Analisa Data
Hasil Perbandingan Nilai IRI
Kesimpulan dan Saran
III.3 Lokasi Penelitian
Gambar 3.2 Peta Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan pada ruas jalan nasional di Provinsi Sumatera
Utara : Parapat-Batas Kabupaten Tapanuli Utara (10,000 km), Batas Kabupaten
Simalungun-Silimbat (34,000 km) dan Silimbat- Batas Kabupaten Tapanuli Utara
(11,000 km) sehingga total panjang ruas jalan yang ditinjau adalah 55,000 km.
III.4 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan (survei
lapangan). Penelitian menggunakan indikator ketidakrataan permukaan jalan,
seperti metode IRI (International Roughness Index) dan metode NAASRA
(National Association of Australian State Road Authorities) dengan
m dengan ketentuan umumnya yaitu 100 m. Untuk mengkaji gambaran kinerja
maka metode yang digunakan adalah metode pengumpulan data, yang dimulai
dari data primer dan data sekunder kemudian dilakukan analisis.
III.4.1 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan suatu cara atau proses yang sistematis
dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk mencapai tujuan
tertentu. Tujuan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh
nilai ketidakrataan perkerasan jalan dalam menentukan kinerja fungsional jalan.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa:
• Data Primer
Data yang dikumpulkan langsung dari lokasi penelitian. Data primer diperoleh
melalui alat NAASRA sebagai pengukur ketidakrataan permukaan jalan yang
didahuli oleh pendahuluan kalibrasi lewat dipstick.
1. Panjang ruas jalan
2. Nilai IRI dari Dipstick
3. Nilai IRi dari alat roughometer NAASRA • Data sekunder
Data yang didapat dari survei kondisi jalan Bina Marga sebelumnya yaitu:
1. Peta ruas jalan
2. Nama ruas jalan
3. Nomor ruas jalan
III.5 Metode International Roughness Index (IRI)
International Roughness Indes (IRI) dikembangkan oleh Bank Dunia pada
tahun 1980. IRI digunakan untuk menentukan karakteristik profil memanjang dari
jalur yang dilewati roda kendaraan untuk menentukan suatu pengukuran tingkat
kekasaran permukaan yang standar. Satuan yang biasanya digunakan adalah meter
per kilometer (m/km) atau millimeter per meter (mm/m). pengukuran IRI
didasarakan pada perbandingan akumulasi pergerakan suspense kendaraan standar
dengan jarak yang ditempuh oleh kendaraan selama pengukruan berlangsung.
Direktorat Jenderal Bina Marga menggunakan parameter International
Roughness Index (IRI) dlam menentukan kondisi konstruksi jalan, yang dibagi
atas empat kelompok. Berikut ditampilkan Tabel 2.4 penentuan kondisi ruas jalan
dan kebutuhan penanganannya:
Table 3.1 Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganan
Kondisi Jalan
IRI (m/km) Kebutuhan
Penanganan
IRI rata-rata > 12
Peningkatan jalan
Peningkatan Jalan
Untuk tugas akhir ini cara/metode yang digunakan untuk mengukur nilai
kerataan perkerasan jalan adalah Roughmeter NAASRA. NAASRA merupakan
salah satu metode survei jalan untuk mengetahui kekasaran permukaan jalan dan
dapat dipergunakan untuk menilai kondisi jalan. NAASRA merupakan
kepanjangan dari National Association of Australian State Road Authorities,
prinsip dasar alay ini adalah mengukur jumlah gerakan vertical sumbu roda
belakang terhadap tubuh kendaraan sewaktu berjalan pada kecepatan tertentu.
Gerakan sumbu roda belakang dalam arah vertical dipindahkan kepada alat
pengukur kekasaran melalui kabel pada batang NAASRA yang dipasang di
tengah-tengah sumbu roda belakang kendaraan dan selanjutnya dipindahkan
kepada rotary NAASRA. Dari rotary NAASRA maka nilai NAASRA akan
dikonversikan pada counter untuk kemudian mendapatkan nilai IRI. Dari nilai IRI
yang didapat maka kondisi permukaan jalan yang ditinjau dapat diketahui tingkat
kemantapannya.
Untuk mendapatkan hasil optimal sehingga hasil dari NAASRA ini
mendekati keadaan nyata di lapangan, maka dilakukan suatu kalibrasi terhadap
kendaraan survey dengan alat fase Dipstick Profiler sesuai standar yang berlaku.
Sebelum melaksanakan survey keksaran permukaan jalan harus dicari terlebih
dahulu grafik korelasi dari kendaraan dan alat NAASRA terhadap nilai BI (Bunp
Integrator) dan nilai IRI yang didapat dari Dipstick Profiler. Grafik korelasi ini
didapat dengan Seksi Percobaan (SP) kemudian melakukan pengukuran profil dan
menjalankan kendaraan untuk mendapatkan kekasaran permukaanya. Angka
korelasi yang didapat merupakan angka kalibrasi dari alat ukur NAASRA beserta
III.5.1 Kalibrasi Halda ( Jarak )
Setelah semua alat-alat terpasang pada mobil survei maka dilakukan
kalibrasi halda.
Segmen jalan untuk lokasi kalibrasi
• Ukur dengan Roll Meter, segmen dengan panjang 300 m dan pada bagian
jalan yang lurus.
• Ukur jalan dengan alat halda dan lakukan berkali-kali dengan mengganti
skala Rotary pada counter, hingga mencapai nilai panjang yang sesuai.
Pemberian tanda bantu dan rambu pengaman
• Di awal dan akhir lokasi pengukuran harus diberi tanda.
• Di jalur ban harus diberi tanda menggunakan cat piloks untuk
memudahkan pelaksanaan pengukuran.
• Beri rambu lalu lintas berupa traffic cone pada saat melakukan kalibrasi
sebagai alat bantu keamanan.
Gambar 3.3 : Kalibrasi Sensor Jarak (Halda)
III.5.2 Praktek Dipstick/Kalibrasi NAASRA
Sebelum survei kerataan dapat dilakukan di lokasi penelitian, maka harus
terlebih dahulu dacari grafik korelasi dari kendaraan dan alat ukur NAASRA
terhadap nilai IRI yang diperoleh dari Dipstick Profiler. Garfik korelasi ini
profiler, selanjutnya menjalankan kendaraan survei untuk mencatat kerataan
permukaan, yang mengacu pada SNI 03-3426-1994.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam kalibrasi, mengacu pada laporan singkat
pelatihan NAASRA:
Mencari sampel lokasi ( antara 6 s/d 8 lokasi) dengan kondisi jalan yang
berbeda (rusak berat, rusak ringan, sedang, dan baik).
Melakukan praktek lapangan untuk melakukan percobaan alat Dipstick
dan alat NAASRA sepanjang 300 meter sebagai Seksi Percobaan (SP),
Seksi Percobaan dilakukan sebanyak minimal sampai 5 SP. Pengecekan terhadap alat-alat survey
Membuat tanda lintasan di aspal dengan cat piloks sejauh 300 meter, pada
SP kiri dan SP kanan.
Pengambilan data kekasaran sampel jalan dengan Dipstick Profiler.
Kemudian setelah selesai melakukan Dipstick, dilanjutkan dengan
melakukan percobaan alat NAASRA dengan mobil untuk bagian kiri dan
kanan sebanyak Seksi Percobaan, kemudian dicatat nilai hit NAASRA nya
setaip sampel.
Pengolahan data kalibrasi ( membuat grafik trendline-least square method
antara nilai IRI yang didapat dari nilai Dipstick dengan nilai hit NAASRA
yang dihasilkan mobil ketika melewati masing-masing sampel).
Titik-titik cross antara nilai IRI dan NAASRA untuk masing-masing
sampel membentuk grafik lurus dan dengan metode least square, akan
hal ini x adalah hit NAASRA) dan B adalah nilai konstanta garis yang
diperoleh.
Sketsa lokasi pengukuran Dipstick
300 m
1,35 m
Awal Akhir
Gambar 3.4 : Sketsa Kalibrasi NAASRA
HASIL KALIBRASI NAASRA SEMESTER II TAHUN 2013 10 OKTOBER - 25 OKTOBER 2013
Tabel 3.2
KENDARAAN : AVANZA TAHUN 2010; NOPOL : BK 1856 KI
LOKASI : SP - 1 Bacaan IRI dari Dipstick
Lintasan
HASIL KALIBRASI
Tanjung Anom
NAASRA
Left Right
Speed Kendaraan (Km)
35
Panjang (m) : 300 13.99 13.83 1 350
2 352
Tanggal :
……….. 3 358
4 349
5 350
LOKASI : SP - 2 Bacaan IRI
Jl. Bunga Cempaka
NAASRA
Jl. Bunga Cempaka (Depan Kantor Camat
LOKASI : SP - 5 Bacaan IRI dari Dipstick
Lintasan
HASIL KALIBRASI
Jl. Wijaya Kusuma, Padang bulan
Warna yang disamping adalah bagian yang untuk di input
0 500 1000 1500
y=0.01x + 2.1174
Setelah selesai dikalibrasi maka pengukuran nilai ketidakrataan permukaan
jalan sudah bisa dilakukan di lokasi penelitian dengan kecepatan 20-40 km/jam.
Grafik atau persamaan yang diperoleh diatas digunakan sebagai dasar untuk
menentukan besaran nilai IRI dari hasil pengukuran di lapangan. Hasil
ketidakrataan jalan didapat per segmen jalan, yaitu pada segemn jalan 50 m,
segmen 100 m dan segmen 200 m. Dalam proses pengambilan nilai kerataan
perkerasan maka kendaraan harus dijalankan dengan kecepatan 20 – 40 km/jam,
hal ini dilakukan agar data yang didapat dari pengukuran menjadi semakin akurat.
Kemudian setelah kerataan perkerasan selesai diambil, maka data hasil
survei bisa langsung di dapat dengan menghubungkannya ke alat laptop untuk
III.6 Alat yang digunakan 1. Batang NAASRA
Batang Naasra pemantau getaran kerusakan, setiap getaran sekecil apapun
akan ditangkap, dengan alat ini Rotary Pulsa 1000 satu putarannya yang akan
dikalikan dengan skala Naasra yag diinginkan, semakin besar skala Naasra
yang digunakan maka semakin besar sensitivitas alat Naasra ini dalam
mendeteksi getaran.
Gambar 3.6: Batang NAASRA
2. Rotary NAASRA dan Rotary Halda
Merupakan alat penangkap sensor yang mana plat sensor tersebut sudah
dirancang untuk 1000 pulsa (untuk Naasra) dan 50 pulsa (untuk Haldameter),
3. Counter NAASRA dan Counter Halda
Alat monitor pencatat Naasra meter yang bersifat display 6 digit angka,
merupakan kendali monitor pergerakan Naasra dan Halda meter. Nilai skala
kalibrasi Naasrameter dan Haldameter ini harus disesuaikan dengan skala
kalibrasi loger pada saat kalibrasi mobil dijalankan.
Gambar 3.8: Counter NAASRA dan Counter Halda
4. Power Inverter
Alat elektronik untuk mengubah Listrik DC (accu mobil) menjadi AC dengn
kapasitas volume 300 watt, alat ini juga berguna untuk pemakaian listrik
lainnya sperti Handycam, charger HP atau Laptop dll.
5. Loger
Loger ini digunakan untuk menyimpan berbagai data tanpa menggunakan
laptop secara terus menerus, kapasitas loger ini mencapai 1 Gigabyte,
selanjutnya data yang tersimpan di loger dipindahkan ke laptop melalui kabel
USB serial dan tersimpan dalam bentuk Microsoft Excel (.xls). Output yang
disimpan Loger adalah NAASRA meter yang menghasilkan nilai IRI.
Gambar 3.10: Loger
Tata Cara Pemakaian Loger.
a) Gunakan tombol “CAN” untuk cancel ( membatalkan perintah) b) Gunakan tombol “YES” untuk enter ( menyetujui perintah)
c) Jika Halda/Naara meter menampilkan angka yang bukan nol pada saat loger baru dinyalakan, maka tekan tombol “CAN” (cancel) untuk beberapa saat sampai display Halda dan Naasra kembali menjadi nol kembali, hal ini sering terjadi dikarenakan power listrik mobil tidaklah selalu dalam keadaan stabil.
e) Pastikan untuk menyesuaikan nilai skala Halda meter dan Naasra meter yang sesuai (nilai skala yang di dapat pada saat kalibrasi Halda meter mobil),
• Tekan tombol “MEN” 2 kali untuk memasukkan skala halda meter • Tekan tombol “MEN” 3 kali untuk memasukkan skala Naasra meter
(Catatan, penyesuaian Halda dan Naasra meter harus dilakukan ketika melakukan pergantian loger pada saat survei)
f) Penggunaan tombol “MEN” ( Menu )
• MEN ditekan 1x, menampilkan menu interval yang diinginkan “1”= 100 m “2 = 200 m “3”= 500 m “4”= 1000 m
• MEN ditekan 2x, digunakan untuk memasukkan skala halda (yang didapat pada saat kalibrasi mobil)
• MEN ditekan 3x, digunakan untuk memasukkan skala Naasra (ketelitian Getaran)
• MEN ditekan 4x, menampilkan Menu Identitas sesuai dengan permintaan.
g) Penggunaan tombol “COR” (Record)
• Tombol COR ditekan 1x, menampilkan menu untuk memulai survei (start record), dan tekan angka 1 untuk menyetujui memulai record. • Tombol COR ditekan 2x, mengirim data dari loger ke computer. • Tombol COR ditekan 3x, manghapus data rekaman yang terakhir. • Tombol COR ditekan 4x, menghapus data keseluruhan, dengan
catatan tekan tombol “ENT” selama 5 detik apabila disetujui. h) Penggunaan tombol panah
• “↑” dan “↓” untuk merubah tampilan display ketika berjalan. • Tombol panah ditekan 1x, display utama : menampilkan
Halsa-Naasra.
6. Haldameter
Haldameter merupakan penentu jarak dalam melakukan survei kerataan jalan
untuk menentukan tingkat kerataan untuk segmen jalan yang ditinjau, setiap
kendaraan survei seharusnya terlebih dahulu dikalibrasi sebelum survei
dilaksanakan. Umumnya survei haldameter/odometer dilakukan di antara titik
awal dan titik akhir, pendekatan yang umum digunakan sebagai titik awal dan
titik akhir adalah dengan menggunakan Data Titik Refeensi (DRP) atau juga
dikenal sebagai Survei Titik Referensi (STR). Pembacaan
haldameter/odometer didapat dari loger dan counter. Dari hasil tingkat
kerataan yang diperoleh maka dapat diketahui ruas segmen kondisi jalan pada
haldameter yang telah ditentukan sebagai acuan dasar dalam memprioritaskan
bentuk rekomendasi pemeliharaan.
II.7 Pengolahan Data
Data yang telah didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan, baik itu
nilai IRI dan Naasra dianalisa dengan bantuan Microsoft Excel yang kemudian
akan mendapatkan persamaan untuk mengetahui faktor kalibrasi. Dari hasil ini
maka dapat diinput ke data logger software 3.3 untuk mendapatkan nilai iri yang
BAB IV
ANALISIS DATA
IV.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di sepanjang ruas jalan Parapat-Batas
Kabupaten Tapanuli Utara-Silimat-Batas Kabupaten Tapanuli Utara (Simpang
Tiga Balige). Data yang diambil berupa data kondisi ruas jalan dan kerusakannya
berupa nilai kerataan permukaan perkerasan jalan / nilai IRI (International
Roughness Index).
Tahapan pengumpulan data ini telah mengikuti prosedur yang telah
disebutkan pada bab metodologi penelitian. Dari prosedur yang telah dirancang
tersebut maka akan didapat data-data yang akan digunakan untuk pengolahan data
guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penulisan tugas akhir ini.
IV.2 Data Kondisi Ruas Jalan
Data kondisi ruas jalan meliputi:
Panjang ruas jalan yang dijadikan objek penelitian adalah sepanjang 55
kilometer, dimulai dari terminal Parapat sampai simpang tiga di Balige. Ruas jalan nasional ini terdiri dari dua lajur dua arah tanpa adanya median. Lajur yang ditinjau adalah arah normal.
Untuk menganalisa kondisi kerataan jalan maka panjang jalan di bagi
IV.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan
IV.3.1. Hasil Nilai Ketidakrataan permukaan perkerasan jalan.
Dalam pengambilan nilai ketidakrataan permukaan perkerasan jalan
digunakan alat roughmeter NAASRA yang sebelumnya telah ddikombinasikan
dengan peralatan lainnya yaitu Dipstick melalui kalibrasi, seperti penjelasan yang
diberikan pada bab metodologi sebelumnya.
Berikut ini adalah keterangan data nilai IRI yang telah diukur.
a) Kelompok Halda 50 m ( sepanjang 55 km )
• Ruas jalan nasional 066 sepanjang 10 km, jumlah segmen 200
• Ruas jalan nasional 067 sepanjang 34 km, jumlah segmen 680
• Ruas jalan nasional 068 sepanjang 11 km, jumlah segmen 220
b) Kelompok Halda 100 m ( sepanjang 55 km )
• Ruas jalan nasional 066 sepanjang 10 km, jumlah segmen 100
• Ruas jalan nasional 067 sepanjang 34 km, jumlah segmen 340
• Ruas jalan nasioanl 068 sepanjang 11 km, jumlah segmen 110
c) Kelompok Halda 200 m ( sepanjang 55 km )
• Ruas jalan nasional 066 sepanjang 10 km, jumlah segmen 50
• Ruas jalan nasional 067 sepanjang 34 km, jumlah segmen 170
• Ruas jalan nasional 068 sepanjang 11 km, jumlah segmen 55
Dari data nilai ketidakrataan jalan yang diperoleh , maka dapat ditentukan
presentase nilai kerusakan jalan untuk masing-masing Halda yang ditinjau yang
3%
53% 31%
13%
Halda 100
Baik (300 m)
Sedang (5300 m)
Rusak Ringan (3100 m)
Rusak Berat (1300 m)
0%
78% 20%
2%
Halda 200
Baik
Sedang (7800 m)
Rusak Ringan (2000 m)
Rusak Berat (200 m) 12%
65% 16.5%
6.5%
Halda 50
Baik (1200 m)
Sedang (6500 m)
Rusak Ringan (1650 m)
4.76%
73.24% 17%
5%
Halda 50
Baik (1600 m)
Sedang (24900 m)
Rusak Ringan (5700 m)
Rusak Berat (1800 m)
0.6%
75% 20.6%
3.8%
Halda 100
Baik (200 m)
Sedang (25500 m)
Rusak Ringan (7000 m)
Rusak Berat (1300 m)
0%
82.35% 14.12%
3.53%
Halda 200
Baik
Sedang (28000 m)
Rusak Ringan (4800 m)
3.18%
53.64% 37.27%
5.91%
Halda 50
Baik (350 m)
Sedang (5900 m)
Rusak Ringan (4100 m)
Rusak Berat (650 m)
1.2%
61.8% 27%
10%
Halda 100
Baik (200 m)
Sedang (6800 m)
Rusak Ringan (2900 m)
Rusak Berat (1100 m)
0%
54.55% 40%
5.45%
Halda 200
Baik
Sedang (6000 m)
Rusak Ringan (4400 m)
Tabel 4.1 Panjang Jalan Berdasarkan Kondisi Fisik Perkerasan
Dan bila ditinjau dari hasil mantap tidaknya jalan berdasarkan ketidakratan, maka akan memberikan hasil seperti pada table 4.2 sebagai berikut:
Nilai Kemantapan Jalan
Mantap Tidak Mantap
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat pada table 4.1 bahwa pada setingan
Halda 50 untuk ketiga ruas jalan Nasional akan menghasilkan panjang ruas jalan
kondisi baik lebih besar dibandingkan dengan setingan Halda 100 dan 200, yang
ditandai dengan panjang ruas jalan sepanjang 1200 m, 1600 m dan 350 m. Namun
pada kondisi sedang, rusak ringan, dan rusak berat, terdapat variasi yang tidak
didominasi pada setingan halda tersebut, seperti untuk ruas jalan 066. Panjang
ruas jalan dengan kondisi sedang akan dihasilkan oleh setingan Halda 200
sepanjang 7800 m, disusul setingan Halda 50 sepanjang 6500 m, dan terakhir
setingan Halda 100 sepanjang 5300 m. Variasi ini juga terdapat untuk ruas jalan
nasional 067 dan 068. Besarnya nilai ketidakrataan jalan yang ditinjau
dipengaruhi oleh besarnya nilai NAASRA yang didapat pada saat survei, dimana
semakin besar nilai NAASRA yang dihasilkan maka semakin besar pula nilai
ketidakrataan (IRI) jalan tersebut yang akan menghasilkan kondisi rusak ringan
dan rusak berat semakin panjang. Faktor penyebab nilai NAASRA bertambah
ialah kuantitas dan letak dari jenis kerusakan aspal yang semakin meluas, dimana
dengan tidak adanya penanganan serius maka tingkat kualitas dari jalan akan
menurun drastis yang disebabkan oleh lalu lintas harian yang membebani jalan
nasional cenderung dilewati oleh kendaraan berat, mengingat jalan nasional
merupakan jalan penghubung antar ibukota provinsi yang berfungsi dalam
pemenuhun kebutuhan akan barang dan jasa untuk masing-masing wilayah.
Hal dasar yang jadi pembeda pada pembacaan ialah setingan jarak, dimana
dengan jarak yang lebih kecil maka kuantitas kerusakan aspal yang terlingkup
akan semakin berkurang, yang menyebabkan perolehan nilai IRI cenderung
setingan Halda yang sebaiknya dipakai ialah yang lebih kecil karena akan
menghasilkan nilai kemantapan yang lebih dominan ( seperti terihat pada ruas 066
& 067). Hal ini juga sebenarnya dapat juga diperoleh dengan setingan Halda 200,
namun dalam pemberian kondisi jalan baik setingan Halda ini tidak memberikan
hasil. Kemantapan jalan yang diperoleh semata-mata hanya dari hasil kondisi
jalan sedang. Dari paparan tersebut didapat bahwa setingan Halda 50 cenderung
lebih baik dari setingan Halda 200. Dengan hasil kemantanpan yang diperoleh
dari kedua jenis setingan Halda tersebut, maka penanganan yang diberikan akan
semakin rendah karena hasil yang didapat. Hal ini berbeda dengan perolahan
setingan Halda 100, dimana hasilnya memberikan kondisi ketidakmantapan jalan
lebih besar, bila ditinjau dari hasil maka setingan ini akan memerlukan
penanganan yang lebih ekstra dibandingkan dengan kedua setingan sebelumnya.
Kondisi demikian didukung dari perolehan data yang didapat, bahwa
dengan menggunakan setingan Halda 50 dan 200 maka akan menghasilkan nilai
kemantapan yang lebih baik dari setingan Halda 100 yaitu pada no ruas 066 yang
menunjukkan nilai kemantapan sebesar 77% atau sepanjang 7700 m dan no ruas
067 sebesar 78% atau sepanjang 26500 m untuk setingan Halda 50 serta untuk
setingan Halda 200 akan menghasilkan nilai kemantapan sebesar 78% atau 7800
m untuk no ruas 066 dan sebesar 82.35% atau sebesar 28800 m untuk no ruas 067.
Namun untuk kedua ruas jalan tersebut kondisinya berbeda dengan setingan Halda
100 dimana pada setingan ini nilai ketidakmantapannya justru lebih besar.
Sehingga dari analisis tersebut didapat suatu hasil, dimana untuk memberikan
hasil yang lebih baik maka setingan Halda 50 dan 200 akan lebih dianjurkan
sensitivitas prioritas penanganan tehadapnya akan tereduksi. Hal ini berkebalikan
dengan setingan Halda 100 dimana hasil yang diberikan memang tidak sebaik
setingan Halda diatas, namun dengan hasil yang diperoleh maka prioritas terhadap
penanganannya akan lebih serius disbanding dengan kedua setingan Halda
sebelumnya. Hal ini dikarenakan dengan kondisi ketidakmantapan akan mengacu
pada kerusakan ringan dan berat dimana kondisi yang sedemikian maka kerusakan
akan lebih cepat meluas. Segmen dari ruas jalan untuk tiap-tiap kondisi akan
ditunjukkan pada grafik, sehingga dapat dilihat kondisi mana yang seharusnya
memerlukan penanganan.
IV.3.2. Prioritas Penanganan Jalan
Berdasarkan penjelasan diatas, maka prioritas tingkat penanganan jalan
dapat dilakukan dengan mengacu pada ruas jalan berdasarkan tinjauan yang
diproyeksikan berdasarkan grafik untuk masing-masing segmen untuk tiap
setingan Halda. Berikut hasil yang diperoleh:
Tabel 4.3 Prioritas Kebutuhan Penanganan Jalan Kondisi Ruas 066
Setingan Halda
Kebutuhan Penanganan
5450,5650,5800,5900,6050,
Panjang 1200 m Panjang 6500 m Panjang 2300 m
Setingan 100
3900,4100,7400 100,200,300,400,500,600, 700,800,900,1000,1100,1200
Panjang 300 m Panjang 530000 m Panjang 4400 m
Setingan 200
- 200,400,600,800,1000,1200, 1400,1600,1800,2000,2200,
Kondisi Ruas 067 Setingan
Halda
Kebutuhan Penanganan
29700,29750,29800,29850,
Panjang 1600 m Panjang 24900 Panjang 7500 m
Setingan 100
19800,19900,20000,20200,
Panjang 200 m Panjang 25500 m Panjang 8300 m
Setingan 200
22000,22200,23400,23600,
Kondisi Ruas 068 Setingan
Halda
Kebutuhan Penanganan
Panjang 350 m Panjang 5900 m Panjang 4750 m Setingan
100
1500,1800 100,200,300,400,500,600,700, 800,900,1000,1100,1200,1300
- 200,400,600,800,1000,1200, 1400,1600,1800,2000,3000,
Pemeliharaan Rutin
Adalah pekerjaan ringan dan pekerjaan rutin umum, yang dilaksanakan
pada jangka waktu yang teratur dalam setahun. Dikatakan pekerjaan
ringan karena pekerjaan ini tidak membutuhkan alat berat namun
pekerjaannya tersebut dilakukan untuk jalan yang berkondisi baik yang
tersebar dalam suatu jaringan jalan. Pemeliharaan Berkala
Adalah pekerjaan perbaikan dengan frekuensi yang direncanakan dalam
satu tahun atau lebih pada suatu lokasi,seperti pengaspalan atau pelapisan
kerikil serta pekerjaan drainase. Pekerjaan ini dilakukan untuk jalan
dengan kondisi sedang. Peningkatan Jalan
Adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kondisi jalan yang
kemempuannya tidak mantap atau kritis, sampai suatu kondisi pelayanan
yang mantap sesuai dengan umur rencana yang ditetapkan. Kegiatan ini
merupakan kegiatan penanganan jalan yang dapat meningkatkan
kemantapan strukturalnya sesuai dengan umur rencana jalan tersebut.
Jika dikaitkan dengan sisitem manajemen mutu pembangunan jalan (dalam
Agus Taufik Mulyono& Bambang Riyanto, 2005), ada empat penyebab utama
mengapa kualiatas pekerjaan jalan belum mampu mencapai target mutu seperti
yang diharapkan, sementara biaya pemeliharaan maupun nilai investasi terus
bertambah, yaitu:
1) Pelaksana dan pengendali mutu jalan memang tidak mengerti sistem mutu
yang diterapkan (Bapekin,2003; Kibal,1996; Knapton,2000; Jahren &
Federle,1999)
2) Pelaksana lapangan tidak sengaja melaksanakan penyimpangan mutu
(Crist,2002; Jahren & Federle,1999)
3) Beberapa pihak yang terkait dalam pekerjaan konstruksi jalan tidak
melakukan pencapaian mutu yang tepat (Henry,2002; Deffenbaugh,1993)
4) Ada beberapa pelaku pengendali mutu yang sengaja tidak memenuhi
spesifikasi teknik, penyimpangan standard dan kode dengan tujuan yang
Adapun usulan perbaikan untuk jenis pemeliharaan dan peningkatan jalan
(menurut Agus Suswandi, Wardhani Sartono & Hary Christady H, 2008) dapat
dilakukan dengan langkah sebagai berikut
1. Penutupan Retak (crack sealing),
Penutupan retak adalah proses pembersihan dan penutupan atau penutupan
ulang retakan dalam perkerasan aspal, yang dimaksudkan untuk memperbaiki
kerusakan dengan penutupan retakan ialah meliputi: retak memanjang, retak
melintang, retak diagonal, retak reflektif, retak sambungan pelaksanaan, pelebaran
retakan dan retak pinggir. Menurut Asphalt Institute MS-16 mengenai penutupan
retak, cara yang disarankan adalah:
a. Retak rambut (hairline crack)
retak yang lebar celahnya kurang dari 6 mm dan terlalu kecil untuk diisi
secara efektif. Oleh karena itu, biasanya dibiarkan saja kecuali kalau sudah
meluas. Jika retak rambut dalam area perkerasan banyak, maka perawatan
permukaan semacam penutup larutan (slury seal) atau penutup keping
(chip seal) dapat digunakan.
b. Retak kecil (small crack)
retak yang lebar celahnya antara 6-20 mm, dan biasanya perbaikan dibuat
kira-kira 3 mm lebih besar dari lebar rata-rata retakan, dan kemudian
dibersihkan dan ditutup dengan penutup larutan (slury seal). Jika
kedalaman retakan lebih besar dari 20 mm, material penyangga (backer
rod) dapat dipasang untuk mengawetkan penutup.
retak yang lebar celahnya antara 20-25 mm, biasanya hanya membutuhkan
pembersihan dan penutupan dengan penutup larutan (slury seal). Jika
kedalaman retakan lebih besar dari 20 mm, material penyangga (backer
rod) dapat dipasang untuk mengawetkan penutup.
d. Retak besar (large crack)
retak yang lebar celahnya lebih besar dari 25mm. Perbaikan dilakukan
dengan larutan aspal emulsi atau campuran aspal panas (HMA) bergradasi
halus.
Adapun prosedur penutupan retak adalah, sebagai berikut:
- Retakan dibersihkan dengan menggunakan salah satu alat, seperti: alat
semprot bertekanan tinggi, ledakan pasir (sand blasting), sikat kawat,
ledakan udara panas (hot airblasting) atau air bertekanan tinggi.
- Sesudah pembongkaran bahan penutup lama pada retakan, dan atau
pembersihan retakan, lalu diukur kedalamannya. Jika kedalamannya lebih
dari 20 mm, dibutuhkan material penyangga (backer road) untuk menutup.
Material penyangga harus tidak mudah mampat, tidak susut, tidak
menyerap dengan titik leleh lebih besar dari titik leleh bahan penutup.
- Segera sesudah penutupan, periksa retakan untuk meyakinkan
kebersihannya, kering dan material penyangga telah terpasang dengan
baik.
- Penutupan harus dilakukan dari bawah keatas retakan untuk mencegah
udara terperangkap, supaya tidak terbentuk bagian yang lemah pada
penutup. Untuk mencegah adannya tanda bekas jejak roda, penutup harus
2. Perawatan Permukaan (Surface Treatment)
Perawatan permukaan adalah istilah yang mencakup beberapa tipe penutup
aspal dan ter batu bara (coal tar) atau gabungan agregate aspal. Perawatan
permukaan tebalnya umumnya tidak lebih dari 25 mm, dan dapat diletakan pada
sembarang permukaan perkerasan. Aspal untuk perawatan permukaan terdiri dari
lapis tipis beton aspal yang terbentuk dari penerapan emulsi aspal, cut back atau
pengikat aspal ditambah dengan agregat untuk melindungi atau memulihkan
kondisi permukaan perkerasan yang telah ada.
Tipe dan nama perawatan permukaan termasuk diantaranya adalah:
penutup pasir (sand seal), penutup keping (chip seal) atau kadang-kadang disebut
lapis penutup (seal coat). Menurut lavin 2003, perawatan permukaan dapat dibagi
kedalam sub kelompok: penutup perkerasan (pavement sealer), keping penutup
(chip seal) dan penutup larutan (slurry seal). Beda dari ketiganya adalah,
pavement sealer tidak mengandung agregate sedangkan chip seal dan slurry seal
berisi agregate dengan porsi yang signifikan.
a. Penutup Perkerasan (pavement sealer)
Penutup perkerasan dapat digunakan untuk pemeliharaan yang sifatnya
pencegahan atau perbaikan, seperti:
- Fog seal: Lapis penutup yang berupa fog seal adalah aspal emulsi tipis
dengan tipe ikatan lambat yang biasanya tanpa agregat penutup dan cocok
digunakan untuk memperbaharui permukaan aspal yang telah menjadi
kering dan menjadi getas oleh umur, mengisi retak kecil dan rongga
permukaan serta melapisi permukaan partikel aggregat agar tidak terjadi
- Penutup aspal (asphalt sealers) dan ter batu bara (coal tar) : Penutup aspal
(asphalt sealers) atau lapis penutup (seal coat) terdiri dari material dasar
seperti hasil penyulingan ter batu bara (coal tar) atau semen aspal dan air.
Lapisan ini tidak menambah kekuatan struktur perkerasan dan umumnya
digunakan untuk menutup retak rambut, mengikat bersama-sama
permukaan yang mengalami butiran lepas (raveling) ringan serta membuat
oksidasi dan memperlambat penetrasi air.
b. Keping Penutup (chip seal )
Keping Penutup (chip seal) adalah perawatan aspal yang disemprotkan
pada lapis pengikat aspal, emulsi atau cutback yang diikuti oleh
penyebaran agregat diatasnya. Istilah cheap menunjukan sifat ukuran
tunggal dari agregat, yang umumnya berupa agregat batu pecah. Chip seal
ini cocok digunakan pada jalan raya dengan volume rendah untuk
penanganan kerusakan pada area luas dengan retakan kecil yang rapat
(aligator cracking), pelapukan (weathering) atau butiran lepas (raveling),
agregate licin (polished aggregate), dan retak block (block cracking)
c. Penutup Larutan (slurry seal)
Penutup Larutan (slurry seal) adalah perawatan yang dapat digunakan
untuk pemeliharaan yang sifatnya pencegahan atau perbaikan. Penutup
larutan adalah suatu campuran yang terdiri dari aspal emulsi ikatan lambat,
agregate halus, mineral pengisi dan air. Dalam kasus khusus, dalam
larut-annya ditambahkan material tambah (additive) untuk memodifikasi
karakteristik lamanya waktu perawatan. Material ini biasanya
dan peletakan penutup larutan. Penghamparan larutan dilakukan satu
tahap, dengan ketebalan antara 3-10 mm. Karena tipisnya, ukuran
maksimum agregat umumnya tidak lebih dari 9-10 mm dan dapat sekecil
4.75 atau 5 mm. Penutup larutan berfungsi untuk: menutup retakan,
menghentikan pelepasan butiran, dan memperbaiki kekesatan permukaan.
3. Penambalan (patching)
Penambalan diseluruh kedalaman cocok untuk perbaikan permanen,
sedangkan perbaikan sementara cukup ditambal dikulit permukaan perkerasan
saja. Penambalan cocok untuk memperbaiki kerusakan: Aligator cracking,
pothole, patching, corrugation, shoving, depression, slippage cracking,dan
rutting.
a. Penambalan Permukaan
Penambalan permukaan umumnya hanya bersifat sementara untuk
memperbaiki kerusakan, shoving, corrugation, depression, weathering and
raveling dan alligator cracking. Penambalan permukaan dapat dilakukan
dengan tanpa melakukan penggalian untuk menyamakan permukaan yang
telah ada, atau dapat dilakukan dengan cara mengupas sebagian atau
seluruh campuran perkerasan aspal yang telah ada untuk memperbaiki
kerusakan. Penambalan permukaan dilakukan sebagai berikut:
- Tandai area yang akan diperbaiki. Jika yang akan diperbaiki berupa
kerusakan depresion atau ruting , perbaikan harus dikerjakan sedemikian
- Jika penambalan dilakukan dengan cara membongkar perkerasan, kupas
sampai kedalaman yang cukup untuk membongkar material yang rusak.
- Sesudah membongkar perkerasan, bersihkan area ini dengan semprotan
bertekanan udara tinggi, dan selanjutnya setelah kering, gunakan tack coat
pada bagian pinggir dan dasar dari area tambalan.
- Setelah tack coat dilakukan, segera letakan aspal panas dalam area yang
dibongkar atau keseluruh area yang ditambal.
- Untuk penambalan tanpa pengupasan pekerasan yang telah ada sebaiknya
menggunakan campuran aspal dan pasir halus
- Padatkan aspal dengan alat pemadat yang disesuaikan dengan ukuran
tambalan. Hal penting yang harus diperhatikan tambalan harus diratakan
sesuai dengan permukaan perkerasan disekitarnya.
b. Penambalan Diseluruh Kedalaman
Penambalan diseluruh kedalaman dilakukandengan cara membongkar
seluruh material yang berada diarea yang mengalami kerusakan dan
digantikan dengan campuran aspal yang masih segar. Perbaikan ini
bertujuan untuk memperbaiki kerusakan struktural dan material yang
terkait dengan kerusakanruting, alligator cracking dan corrugation.
Penambalan dilakukan sebagai berikut:
- Area tambalan sebaiknya dilebihkan sekitar 15-30 cm diluar area yang
rusak. Perkerasan digali sesuai kebutuhan termasuk lapis pondasi granuler
dan tanah dasar untuk memperoleh dukungan yang kuat. Untuk kerusakan
seperti retak akibat penggelinciran (slippage cracking) perbaikan hanya
alligator cracking perlu pembongkaran material pondasi granuler atau
tanah dasar yang lemah.
- Setelah penggalian, singkirkan material dari area yang digali dan ratakan
serta padatkan pondasi granuler atau tanah dasar agar menciptakan pondasi
yang kuat.
- Hamparkan tack coat untuk tepi vertikal galian dan prime coat atautack
coatuntuk dasar galian.
- Urug galian dengan campuran aspal dan tuangkan campuran lebih dahulu
pada tepi galian. Hamparkan campuran dengan hati-hati untuk
menghindari pemisahan campuran. Material untuk menambal harus cukup,
supaya setelah dipadatkan tidak menghasilkan cekungan atau cembungan
pada tambalan. Campuran aspal panas harus diletakan perlapis, untuk
menambah tahanan panas dan kepadatan yang cukup.
- Padatkan tiap lapis tambalan dengan baik dan setelah pemadatan,
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil seluruh pembahasan yang telah diuraikan pada
penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai ketidakrataan jalan (International Roughness Index) dengan setingan
Halda 100 untuk tiga ruas jalan nasional adalah sebagai berikut :
Parapat-Batas Kabupaten Tapanuli Utara dengan no ruas 066
Kondisi jalan baik yaitu sepanjang 300 m, ditunjukkan dengan nilai
IRI < 4 m/Km dengan persentase sebesar 3%.
Kondisi jalan sedang yaitu sepanjang 5.300 m, ditunjukkan dengan
nilai IRI (4 -8) m/Km dengan persentase sebesar 53%.
Kondisi jalan rusak ringan yaitu sepanjang 3.100 m, ditunjukkan
dengan nilai IRI (8 - 12) m/Km dengan persentase sebesar 31%.
Kondisi jalan rusak berat yaitu sepanjang 1.300 m, ditunjukkan
dengan nilai IRI > 12 m/Km dengan persentase sebesar 13%.
Batas Kabupaten Simalungun-Silimbat dengan no ruas 067
Kondisi jalan baik yaitu sepanjang 200 m, ditunjukkan dengan nilai
IRI < 4 m/Km dengan persentase sebesar 0.6%.
Kondisi jalan sedang yaitu sepanjang 25.500 m, ditunjukkan
Kondisi jalan rusak ringan yaitu sepanjang 7.000 m, ditunjukkan
dengan nilai IRI (8 - 12) m/Km dengan persentase sebesar 20.6%.
Kondisi jalan rusak berat yaitu sepanjang 1.300 m, ditunjukkan
dengan nilai IRI > 12 m/Km dengan persentase sebesar 3.8%.
Silimbat- Batas Kabupaten Tapanuli Utara (sampai simpang tiga
Balige) dengan no ruas 068
Kondisi jalan baik yaitu sepanjang 200 m, ditunjukkan dengan nilai
IRI < 4 m/Km dengan persentase sebesar 1.2%.
Kondisi jalan sedang yaitu sepanjang 6.800 m, ditunjukkan dengan
nilai IRI (4 -8) m/Km dengan persentase sebesar 61.8%.
Kondisi jalan rusak ringan yaitu sepanjang 2.900 m, ditunjukkan
dengan nilai IRI (8 - 12) m/Km dengan persentase sebesar 27%.
Kondisi jalan rusak berat yaitu sepanjang 1.100 m, ditunjukkan
dengan nilai IRI > 12 m/Km dengan persentase sebesar 10%.
2. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik yaitu nilai IRI yang relative
kecil, maka setingan halda 50 akan lebih baik digunakan. Namun dengan
tingkat yang lebih baik maka sensitivitas penanganan jalan akan cenderung
tereduksi. Hal ini berkebalikan dengan setingan halda 100 yang akan
menghasilkan nilai yang cenderung lebih besar, namun dengan hasil yang
didapat maka tingkatan prioritas penanganan akan lebih baik.
3. Prioritas penanganan jalan yang dapat dilakukan ialah:
Untuk Halda 50
Pemeliharaan Rutin sepanjang = 1200 m
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 6500 m
Peningkat Jalan sepanjang = 2300 m
Untuk Halda 100
Pemeliharaan Rutin sepanjang = 300 m
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 5300 m
Peningkat Jalan sepanjang = 4400 m
Untuk Halda 200
Pemeliharaan Rutin sepanjang = -
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 7800 m
Peningkat Jalan sepanjang = 2200 m
Ruas 067
Untuk Halda 50
Pemeliharaan Rutin sepanjang = 1600 m
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 24900 m
Peningkat Jalan sepanjang = 7500 m
Untuk Halda 100
Pemeliharaan Rutin sepanjang = 200 m
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 25500 m
Peningkat Jalan sepanjang = 8300 m
Untuk Halda 200
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 28000 m
Peningkat Jalan sepanjang = 6000 m
Ruas 068
Untuk Halda 50
Pemeliharaan Rutin sepanjang = 350 m
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 5900 m
Peningkat Jalan sepanjang = 4100 m
Untuk Halda 100
Pemeliharaan Rutin sepanjang = 200 m
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 6800 m
Peningkat Jalan sepanjang = 4000 m
Untuk Halda 200
Pemeliharaan Rutin sepanjang = -
Pemeliharaan Berkala sepanjang = 6000 m
Peningkat Jalan sepanjang = 5000 m
V.2 Saran
Adapun dari hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hasil sebgai
berikut
1. Untuk melakukan penelitian maka sebaiknya waktu pada saat dilaksanakan
tidak memberikan rentang waktu yang terlalu jauh antara setingan Halda.
2. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui setingan mana
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1PENGERTIAN JALAN
Menurut Undang–Undang RI No.22 Tahun 2009 yang dimaksud
dengan jalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkapnya
yang diperuntukan bagi lalu lintas umum, yang berada dibawah permukaan
tanah, diatas pemukaaan tanah, dibawah permukaan air, serta diatas
pemukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. Jalan mempunyai peranan
untuk mendorong pembangunan semua satuan wilayah pengembangan, dalam
usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah. Jalan merupakan satu
kesatuan sistem jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan
pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah lainnya agar tercapai keseimbangan dan
pemerataan pembangunan antar daerah serta membentuk strukur ruang dalam
rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
Jaringan jalan mempunyai peranan yang strategis dan penting dalam
pembangunan, untuk itu harus dikelola dengan baik agar dapat berfungsi
sebagaimana yang diharapkan. Sesuai dengan karakteristiknya, jaringan jalan
selalu cenderung mengalami penurunan kondisi yang diindikasikan dengan
terjadinya kerusakan pada perkerasan jalan. Maka untuk memperlambat kecepatan
penurunan kondisi dan mempertahankan kondisi pada tingkat yang layak, jaringan
jalan tersebut perlu dikelola pemeliharaannya dengan baik agar jalan tersebut
adalah merupakan masalah umum yang selalu dihadapi Negara-negara di dunia,
baik oleh Negara-negara sedang berkembang bahkan juga oleh Negara-negara
sudah berkembang. Menurut hasil studi Bank Dunia, disebutkan bahwa setiap
pengurangan US$1 terhadap biaya pemeliharaan jalan akan mengakibatkan
kenaikan biaya operasional kendaraan sebesar US$2 sampai US$3 karena jalan
menjadi lebih rusak. Kondisi ini akhirnya akan membebani perekonomian secara
keseluruhan.
II.2KLASIFIKASI JALAN
Menurut UU No.38 Tahun 2004 tentang jalan, sesuai dengan
peruntukannya jalan dibedakan atas:
A.Jalan Khusus
Jalan ini dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok
masyarakat untuk kepentingan sendiri dan bukan diperuntukkan bagi lalu lintas
umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkannya. Termasuk
jalan khusus tersebut antara lain adalah: jalan dalam kawasan pelabuhan, jalan
kehutanan, jalan perkebunan, jasa inspeksi pengairan, jalan di kawasan
industri, dan jalan di kawasan permukiman yang belum diserahkan kepada
pemerintah.
B.Jalan umum
Jalan ini diperuntukkan bagi lalu intas umum, jalan umum ini dapat
dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status, dan kelasnya.
Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang saling
menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang
berbeda dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hubungan hierarkis.
Penyusunan sistem jaringan jalan dilakukan dengan mangacu pada rencana tata
ruang wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan antar dan/atau di dalam
kawasan perkotaan, dan kawasan pedesaan. Sistem jaringan jalan ini dibedakan
atas :
II.2.1.1 Sistem Jaringan Jalan Primer
Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk pembangunan semua wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat
kegiatan. Penyusunan sistem jaringan jalan primer dilakukan mengikuti rencana
tata ruang dan memperhatikan keterhubungan antarkawasan perkotaan yang
merupakan pusat-pusat sebagai berikut:
• Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan, dan • Menghubungkan antar kegiatan nasional.
II.2.1.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Penyesuaian
sistem jaringan jalan sekunder ini dilakukan dengan mengikuti rencana tata ruang
yang mempunyai fungsi primer, fungus sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua,
fungi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.
II.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya
Berdasarkan sifat dan pergerakan lalu lintas serta angkutan, jalan dibedakan
atas :
• Jalan Arteri
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan
masuk dibatasi dengan berdaya guna.
• Jalan Kolektor
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul
atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
• Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan
ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi. • Jalan Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan
Fungsi jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan yang terdapat
pada sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder dibedakan
lagi atas :
1. Jalan Arteri Primer
2. Jalan Kolektor Primer
3. Jalan Lokal Primer
4. Jalan Lingkungan Primer
5. Jalan Arteri Sekunder
6. Jalan Kolektor Sekunder
7. Jalan Lokal Sekunder
8. Jalan Lingkungan Sekunder
II.2.3Klasifikasi Jalan Menurut Status
Menurut statusnya, jalan umum dikelompokkan menjadi jalan nasional,
jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
• Jalan Nasional
Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan antaribukota provinsi dan jalan strategis nasional ,
serta jalan tol. Wewenang penyelenggaraan jalan nasional dilakukan oleh
pemerintah pusat melalui menteri pekerjaan umum. • Jalan Provinsi
Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. Wewenang
penyelnggaraan jalan ini dilakukan oleh pemerintah provinsi. • Jalan Kabupaten
Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak
termasuk pada jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan
ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan,
ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam
sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis
kabupaten. Kewenangan penyelenggaraan jalan ini dilakukan oleh
pemerintah kabupaten. • Jalan Kota
Merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil. Serta
menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
Kewenangan penyelenggaraan jalan ini dilakukan oleh pemerintah kota. • Jalan Desa
Merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan. Kewenangan
penyelenggaraan jalan ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten.
II.2.4 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Kelas
Guna keperluan pengaturan penggunaan dan kelancaran lalu lintas, jalan
II.2.4.1 Berdasrkan Penggunaan
Pada penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan,
seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1993 tentang prasarana
dan lalu lintas jalan, yaitu:
• Jalan Kelas I
Yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran
panjang tidak melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan
muatan sumbu terberat sebesar 10 ton. • Jalan Kelas II
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal ysng dspst dilalui kendaraan bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak
melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu
terberat sebesar 8 ton. • Jalan Kelas III A
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak
melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan
sumbu terberat sebesar 8 ton. • Jalan Kelas III B
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor
melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan
sumbu terberat sebesar 8 ton. • Jalan Kelas III C
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak
melebihi 9.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan sumbu
terberat sebesar 8 ton. • Jalan Khusus
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal yang dapat dilalui kendaraan
bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 mm, ukuran panjang
melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu
terberat lebih dari 10 ton.
II.2.4.2 Berdasarkan Spesifikasi
Menurut undang-undang jalan yang ada, pengelompokan kelas jalan
berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan ini adalah sebagai berikut:
• Jalan Bebas Hambatan (Freeway)
Yaitu jalan umum untuk lalu lintas menerus yang memberikan pelayanan
menerus/tidak terputus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh, dan
tanpa adanya persimpangan sebidang, serta dilengkapi dengan pagar ruang
milik jala, paling sedikit 2 lajur setiap arah, lebar lajur sekurang-kurangnya
Yaitu jalan umum bagi lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan
masuk terbatas dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 lajur setiap
arah, lebar lajur sekurang-kurangnya 3,5 meter. • Jalan Sedang (Road)
Yaitu jalan umum dengan lalu lintas sedang dengan pengendalian jalan
masuk tidak dibatasi, paling sedikit 2 lajur untuk 2 arah dengan lebar paling
sedikit 7 meter. • Jalan Kecil (Street)
Yaitu jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 lajur
2 arah dengan lebar paling sedikit 5,5 meter.
II.3 Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan adalah suatu konstruksi yang terdiri dari lapisan yang
diletakkan di atas lapisan tanah dasar yang berfungsi untuk memikul beban lalu
lintas. Struktur perkerasan harus mampu mereduksi tegangan yang terjadi pada
tanah dasar dengan cara menyebarkan pada lapisan perkerasan tanpa
menimbulkan lendutan pada lapis perkerasan yang dapat merusak struktur
perkerasan itu sendiri. Berdasarkan jenis bahan pengikatnya, struktur perkerasan
jalan dapat dibedakan atas tiga jenis meliputi, (Silvia Sukirman, 1999).
a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya
bersifat memikul dan menyebarkan baban lalu lintas ke tanah dasar.
b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa
lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat
beton.
c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku
yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan
lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.
Table 2.1 Perbedaan antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur.
No Perkerasan Kaku Perkerasan Lentur
1
Komponen perkerasan terdiri dari pelat beton yang terletak di tanah atau lapisan material granural pondasi bawah (subbase).
Kebanyakan digunakan untuk jalan kelas tinggi.
Pencampuran adukan beton mudah dikontrol.
Umur rencana dapat mencapai 40 tahun.
Lebih tahan terhadap drainase yang buruk.
Biaya awal pembangunan lebih tinngi.
Biaya pemeliharaan kecil.
Kekuatan perkerasaan lebih ditentukan oleh kekuatan pelat beton.
Tebal struktur perkerasan adalah tebal pelat betonnya.
Komponen perkerasan terdiri dari lapis aus, lapis pondasi (base) dan pondasi bawah (subbase).
Digunakan untuk semua kelas jalan dan tingkat volume lalu lintas.
Pengontrolan kualitas campuran lebih rumit.
Umur rencana lebih pendek, yaitu sekitar 20 tahun, jadi kurang dari perkerasan kaku.
Kurang tahan terhadap drainase buruk.
Biaya awal pembangunan lebih rendah.
Biaya pemeliharaan lebih besar.
Kekuatan perkerasan ditentukan oleh kerjasama setiap komponen lapisan perkerasan.
Tebal perkerasan adalah seluruh lapisan pembentuk perkerasan di atas tanah dasar.
Salah satu jenis perkerasanyang paling umum digunakan adalah
perkerasan lentur. Hampir 80% dari total pajang jalan di Indonesia merupakan
perkerasan lentur. Sebagaimana struktur perkerasan pada umumnya, perkerasan
lentur juga akan mengalami defisiensi atau penurunan kinerja akibat pengaruh
beban lalu lintas dan lingkungan seiring dengan berjalannya umur rencana
perkerasan. Sehingga struktur perkerasan akan membutuhkan upaya-upaya
pemeliharaan untuk menjaga kinerjanya.
Untuk mempertahankan kinerja perkerasan, diperlukan beberapa tindakan
perbaikan kerusakan, baik berupa pemeliharaan rutin yang dilakukan setiap tahun
maupun pemeliharaan berkala yang biasanya dilakukan setiap dua atau tiga tahun
sekali. Keseluruhan pemeliharaan tersebut bertujuan untuk menjaga kinerja
perkerasan agar dapat memberikan pelayanan sampai akhir umuur rencananya.
II.3.1 Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan
Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan
diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk
menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan yang ada di
bawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban
yang dieruma oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah
dasar.
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari:
Lapis permukaan struktur perkerasan lentur terdiri atas campuran mineral
agregat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak diatas
lapis pondasi.
Fungsi lapis permukaan antara lain:
a. Lapis perkerasan penahan beban roda, dimana lapisan mempunyai stabilitas
tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanannya.
b. Sebagai lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak
meresap ke lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisa-lapisan tersebut.
c. Sebagai lapis aus (wearing course), dimana lapisan ini yang langsung
menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.
d. Sebagai lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat
dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek.
Untuk dapat memenuhi fungsi tersebut, pada umunya lapisan permukaan
dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan
yang kedap air dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama.
2. Lapisan pondasi atas (Base Course)
Lapisan pondasi atas adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang
terletak langsung di bawah lapis permukaan dan diatas pondasi bawah dan jika
tidak menggunakan lapis pondasi bawah maka langsung diltempatkan diatas tanah
dasar.
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.
b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
c. Bantalan terhadap lapisan permukaan.
3. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course)
Lapisan pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang
terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi atas. Biasanya terdiri dari atas lapisan
dari material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun
tidak.
Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :
a. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah
dasar. Lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR 20% dan Plastisitas
Indeks (PI) ≤ 10%.
b. Effisiensi dalam penggunaan material yang relative lebih murah agar
lapisan-lapisan diatasnya dapat dikurangi tingkat ketebalannya sehingga sekaligus
menghemat biaya konstruksi.
c. Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
d. Sebagai lapis pertama agar pekerjaan dapat berjalan lancer. Hal ini
sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup
tanah dasar dari pengaruh cuaca atau lemahnya daya dukung tanah dasar
4. Lapisanan tanah dasar
Perkerasan jalan diletakkan diatas tanah dasar, dengan demikian secara
keseluruhan mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan tak lepas dari sifat tanah
dasar. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar
yang berasal dari lokasi itu sendiri atau didekatnya, yang telah dipadatkan sampai
tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta
berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan
walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat.
II.3.2 Kerusakan Perkerasan Lentur
A. Kerusakan Struktural
Kerusakan structural adalah kerusakan pada struktur jalan, sebagian atau
keseluruhannya, yang menyebabkan perkerasan jalan tidak lagi mampu
mendukung beban lalu lintas. Untuk itu perlu adanya perkuatan struktur dari
perkerasan dengan cara pemberian lapisan ulang (overlay) atau perbaikan
kembali terhadap lapisan perkerasan yang ada.
B. Kerusakan Fungsional
Kerusakan fungsional adalah kerusakan pada permukaan jalan yang dapat
menyebabkan terganggunya fungsi jalan tersebut. Kerusakan ini dapat
berhubungan atau tidak dengan kerusakan structural. Pada kerusakan
fungsional, perkerasan jalan masih mampu menahan beban yang bekerja
diinginkan. Untukk itu lapisan permukaan perkerasan harus dirawat agar
permukaan kembali baik.
Menurut Situmorang, dkk (2009) Pada prinsipnya jenis kerusakan fungsional akan
menurunkan tingkat kenyamanan dan keamanan pengguna jalan seperti :
- Meningkatkan kebisingan akibat gesekan roda dan permukaan jalan
- Meningkatkan resiko cipratan air (water splashing) pada saat permukaan basah
- Menigkatkan resiko tergelincir saat menikung di saat permukaan basah
- Meningkatkan resiko tergelincir saat mengerem di saat permukaan basah
maupun kering
Jenis-jenis kerusakan perkerasan lentur (aspal), umumnya diklasifikasikan
atas 5 bagian (Hary Christady Hardiyatmo, 2009), yaitu:
1. Deformasi
2. Retak
3. Kerusakan tekstur permukaan
4. Kerusakan di pinggir perkerasan
5. Kerusakan lubang, tambalan dan persilangan jalan rel
II.3.2.1 Deformasi
Deformasi adalah perubahan permukaan jalan dari profil aslinya (sesudah
pembangunan). Deformasi merupakan kerusakan penting dari kondisi perkerasan,
karena mempengaruhi kualitas kenyamanan lalu-lintas (kekasaran, genangan air
struktur perkerasan. Mengcu pada AUSTROADS (1987) dan Shanin (1994),
beberapa tipe deformasi perkerasan lentur adalah:
Bergelombang (Corrugation)
Bergelombang atau keriting adalah kerusakan oleh akibat terjadinya deformasi
plastis yang menghasilkan gelombang-gelombang melintang atau tegak lurus
arah perekerasan aspal. Penyebab kerusakan dimungkinkan oleh terjadinya aksi
lalu lintas yang disertai dengan permukaan perkerasan atau lapis pondasi yang
tidak stabil serta kadar air dalam lapis pondasi granural (granural base) terlalu
tinggi, sehingga tidak stabil. Permukaan perkerasan yang tidak stabil ini,
disebabkan karena campuran lapisan aspal yang buruk, mislanya akibat terlalu
tingginya kadar aspal, terlalu banyaknya agregat halus, agregat berbentuk bulat
dan cincin, atau terlalu lunaknya semen aspal. Tingkat kerusakan keriting dapat
diukur berdasarkan kedalaman keriting yang terjadi. Untuk tingkat kerusakan
ringan (low) kedalaman < ½ inchi, untuk sedang (medium) kedalaman ½-1
inchi, dan untuk tingkat kerusakan parah (high) kedalaman > 1 inchi.
Gambar 2.1 Corrugation (keriting)
Alur adalah deformasi permukaan perkerasan aspal dalam bentuk turunnya
perkerasan kearah memanjang pada lintasan roda kendaraan. Distorsi
permukaan jalan yang membentuk alur-alur terjadi oleh akibat beban lalu lintas
yang berulang-ulang pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Penyebab
kerusakan kerusakan dimungkinkan oleh
1) Pemadatan lapis permukaan dan pondasi (base) kurang, sehingga
akaibat beban lalu lintas lapis pondasi memadat lagi.
2) Kualitas campuran aspal rendah, ditandai dengan gerakan arah lateral
dan ke bawah dari campuran aspal di bawah beban roda berat.
3) Gerakan lateral dari satu atau lebih dari komponen pembentuk lapis
perkerasan yang kurang padat. Contoh terjadinya alur pada lintas roda
yang disebabkan oleh deformasi dalam lapis pondasi atau tanah dasar
ditunjukkan dalam gambar 2.2b
4) Tanah dasar lemah atau agregat pondasi (base) kurang tebal, pemadatan
kurang, atau terjadi pelemahan akibat infiltrasi air tanah.
Sungkur (Shoving)
Sungkur (Shoving) adalah perpindahan permanen secara lokal dan memanjang
dari permukaan perkerasan yang disebabkan oleh beban lalu lintas. Ketika lalu
lintas mendorong perkerasan, maka mendadak timbul gelombang pendek di
permukaannya. Penggembungan lokal permukaan perkerasan nampak dalam
arah sejajar dengan arah lalu lintas dan/atau perpindahan horizontal dari
material permukaan, terutama pada arah lalu lintas dimana aksi pengereman
atau percepatan sering terjadi. Sungkur melintang juga dapat timbul oleh
gerakan lalu lintas membelok. Sungkur biasanya juga terjadi pada perkerasan
aspal yang berbatasan dengan perkerasan beton semen Portland (PCC).
Perkerasan beton bertambah panjang (oleh karena suhu) dan menekan
perkerasan aspal, sehingga terjadi sungkur.
Gambar 2.3 Sungkur (Shoving) Mengembang (Swell)
Mengembang adalah gerakan ke atas lokal dari perkerasan akibat
pengembangan (atau pembekuan air) dari tanah dasar atau dari bagian struktur
perkerasan. Perkerasan yang naik akibat tanah dasar yang mengembang ini
dikarakteristikkan dengan gerakan perkerasan aspal, dengan panjang
gelombang > 3 m. Penyebab kerusakan dimungkinkan oleh mengembangnya
material lapisan di bawah perkerasan atau tanah dasar dan tanah dasar
perkerasan mengembang, bila kadar air naik. Umunya, hal ini terjadi bila tanah
pondasi berupa lempung yang mudah mengembang (lempung montmorillonite)
oleh kenaikan air.
Benjol dan Turun (Bump and Sags)
Benjol adalah gerakan atau perpindahan ke atas, bersifat lokal dan kecil, dari
permukaan perkerasan aspal sedangkan penurunan (sags) yang juga berukuran
kecil, merupakan gerakan ke bawah dari permukaan perkerasan. Bila distorsi
dan perpindahan yang terjadi dalam area yang luas dan menyebabkan naiknya
area perkerasan secara luas, maka disebut mengembang (swelling).
Kerusakan benjol tidak sama dengan sungkur, di mana kerusakan sungkur
diakibatkan oleh perkerasan yang tidak stabil. Jika benjolan nampak
mempunyai pola tegak lurus arah lalu lintas dan berjarak satu sama lainkurang
dari 10 ft ( 3m ), maka kerusakannya disebut keriting (corrugation).