• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Diskusi Pemecahan Masalah Di Bala Keselamatan Bandung Dalam Menumbuhkan Kepercayaan Diri Pada Orang Dengan HIV (Acquired Immune Deficiency Virus) AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) (ODHA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Diskusi Pemecahan Masalah Di Bala Keselamatan Bandung Dalam Menumbuhkan Kepercayaan Diri Pada Orang Dengan HIV (Acquired Immune Deficiency Virus) AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) (ODHA)"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

BANDUNG DALAM MENUMBUHKAN KEPERCAYAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIV (HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS)/

AIDS (ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME) (ODHA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Ujian Sarjana Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Ilmu Humas

Oleh :

HAROLD CALVIN SURAWI NIM. 41804079

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI ILMU HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G

(2)

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Penderita HIV/AIDS merupakan orang dengan kepercayaan diri paling rendah. Hal ini terjadi diakibatkan sangat minimnya pihak-pihak yang peduli terhadap para penderita HIV/AIDS disamping itu kurangnya pengetahuan tentang penyakit ini dan penyakit ini masih dianggap sebagai penyakit orang barat yang hina yang tidak mungkin diidap oleh orang Indonesia.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Bandung Fetty Sugiharti menyatakan bahwa, “Jumlah pengidap HIV-AIDS di Kota Bandung berada di posisi teratas se-Jawa Barat. Hingga Agustus 2009, tercatat ada 1.744 orang yang terinfeksi HIV dan ebagian besar berusia produktif dan berstatus sebagai pelajar.”1

Selanjutnya Fetty dalam sebuah workshop HIV-AIDS di Bandung menjelaskan bahwa, “Dari 1744 kasus itu, 885 orang diketahui mengidap HIV dan 859 orang adalah penderita AIDS. Sebanyak 3,2 persen berasal dari kalangan siswa berusia 15-19 tahun. ”Paling banyak 62 persen berumur 20-25 tahun.”2

Kasus HIV/AIDS di Indonesia merebak karena banyaknya pelaku seks bebas, pengguna narkoba dengan menggunakan jarum suntik secara bergantian

1

http://forumkristen.com/komunitas/index.php?topic=9297.0

2

(3)

dan ironisnya penularan HIV/AIDS dapat terjadi ketika seorang ibu mengandung. Menurut Departemen Kesehatan di Indonesia saat ini sekitar 18.422 (tahun 2009) orang telah terinfeksi virus ini dan tragisnya sebagian besar yang terinfeksi adalah generasi muda. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman akan HIV/AIDS dan cara penanggulangannya serta perilaku yang menyimpang.

Saat ini AIDS menjadi hal yang mengerikan bagi semua negara didunia, baik negara maju maupun negara berkembang. HIV/AIDS tidak hanya menjangkiti orang tua, dewasa atau remaja, seorang anak kecil bahkan balita sekalipun dapat terinfeksi virus ini. Di Indonesia kasus AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987. Akan tetapi pada tahun 2007 hampir semua provinsi di Indonesia ditemukan kasus HIV/AIDS.

AIDS adalah salah satu penyakit yang paling ditakutkan saat ini. AIDS merupakan kelanjutan dari HIV. HIV merupakan virus yang menyebabkan penyakit ini, karena virus ini merusak system pertahanan tubuh (system imun). Sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi kurang, Akan tetapi seseorang yang positif mengidap HIV belum tentu mengidap AIDS.

(4)

perempuan cenderung menginfeksi vagina dan sel Serviks(leher rahim) dan kulup penis pada pria. HIV-2 (HIV) ini biasanya dijumpai dikawasan Afrika dan virus ini biasanya menjangkit kaum heteroseksual.

Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV. Para pakar AIDS menjelaskan bahwa HIV adalah bagian dari keluarga atau kelompok virus yang disebut Lentivirus. Lentivirus seperti HIV ditemukan dalam lingkup luas primate non-manusia. Sedangkan Lentivirus lainnya diketahui secara kolektif sebagai virus SIV (Simian Immunodeficiency Virus) atau lebih dikenal dengan nama Teori Monyet Hijau Afrika. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa HIV merupakan keturunan dari SIV.

Gambar 1.1 Penderita HIV/AIDS

(5)

Di hampir semua negara dimana orang-orang yang terjangkit penyakit atau dianggap buruk akan dijauhi atau diasingkan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang mereka dihina dan dilecehkan sehingga mereka akan menjadi orang-orang “kehilangan” yang artinya kehilangan segalanya mulai dari keluarga, harta sampai kehilangan martabat sebagai manusia.

Akan tetapi tidak semua merasa jijik atau membenci ada juga pihak-pihak yang peduli akan masalah ini, karena merasa bahwa para penderita tersebut adalah manusia yang memiliki hak untuk dihargai dan ditolong sama seperti manusia lainnya. banyak organisasi-organisasi baik dari luar negeri maupun dalam negeri salah satunya Bala Keselamatan yang memberikan penyuluhan, penanggulangan serta menampung orang-orang yang positif terjangkit HIV/AIDS atau lebih dikenal dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

Bala Keselamatan adalah sebuah organisasi gereja yang didirikan oleh William Booth warga kebangsaan Inggris dimulai dimana ia prihatin melihat banyak keadaan masyarakat yang hidup diluar keadaan yang semestinya. William Booth yang merupakan pendeta di Inggris merasa terpanggil untuk menolong orang-orang tersebut sebagai bentuk kasih terhadap sesama manusia yang diajarkan oleh kitab suci Alkitab.

(6)

penanggulangan bagi korban Narkoba, wanita hamil tanpa suami serta penderita HIV/AIDS.

Untuk itu Bala Keselamatan menggunakan metode diskusi pemecahan masalah. Dimana dalam diskusi ini para pengidap HIV/AIDS dapat dibangun dengan pesan-pesan yang positif dalam suatu suasana kekeluargaan yang mungkin telah hilang, dapat juga berbagi segala sesuatu baik masalah yang dihadapi, bagaimana menghadapi lingkungan luar yang tidak mengerti keadaan mereka serta ditempa dengan bekal keagamaan untuk menyiapkan diri menggunakan sisa waktu hidup mereka untuk melakukan yang terbaik bagi diri mereka dan dapat berguna bagi orang lain.

Bala Keselamatan tidak hanya menitik beratkan perhatiannya pada kesehatan penderita HIV/AIDS akan tetapi juga memperdulikan kondisi psikis dari penderita tersebut. Kita tahu bahwa hampir tidak ada yang mau peduli dan mendekiati seseorang apabila mengetahui bahwa teman atau saudara mereka terjangkit HIV/AIDS, bahkan cenderung menghujat dan meninggalkannya. Tentu hal ini merupakan pukulan berat bagi para penderita disamping harus menerima bahwa mereka mengidap penyakit yang sampai saat ini belum ada obatnya.

(7)

I.2 Identifikasi Masalah

Dari perumusan masalah diatas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai beriku:

1. Bagaimanakegiatan dalam diskusi pemecahan masalah di Bala Keselamatan Bandung untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)?

2. Bagaimana pesan dalam diskusi pemecahan masalah di Bala Keselamatan Bandung untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)?

3. Bagaimanamedia yang digunakan pada Diskusi Pemecahan Masalah di Bala Keselamatan Bandung untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)?

4. Bagaimana peranan diskusi pemecahan masalah di Bala Keselamatan Bandung untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

(8)

(ODHA). Penelitian ini juga dimaksudkan untuk membuka mindset baru dari khalayak mengenai pengidap HIV/AIDS (ODHA).

1.3.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kegiatan yang disampaikan dalam Diskusi pemecahan masalah di Bala Keselamatan Bandung untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

2. Untuk mengetahuipesanyang disampaikan dalam Diskusi pemecahan masalah di Bala Keselamatan Bandung untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

(9)

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Secara teoritis peneliti berharap agar penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan ilmiah bagi ilmu komunikasi mengenai bagaimana diskusi pemecahan masalah dapat menjadi solusi peranan dalam menumbuhkan kepercayaan diri pada ODHA.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Kegunaan Penelitian ini bagi Peneliti yaitu peneliti dapat mengetahui berbagai informasi secara lengkap mengenai HIV/AIDS sehingga peneliti dapat menempatkan pandangan yang proporsional dalam menilai ODHA. Peneliti juga dapat memahami sulitnya ODHA dalam berinteraksi dalam masyarakat karena stigma yang ada.

(10)

3. Kegunaan penelitian ini bagi mahasiswa program studi ilmu komunikasi secara khusus dan mahasiswa Universitas Komputer Indonesia secara keseluruhan yaitu sebagai literatur dalam pengembangan dan penerapan ilmu komunikasi atau penelitian dengan fokus penelitian yang sama.

1.5 Kerangka Penelitian

Tidak dapat disangkal bahwa HIV/AIDS sekarang ini masih menjadi epidemi ”menjijikan” yang setidaknya memberikan rasa ngeri berlebihan jika mengidapnya. Tidak sedikit orang yang bergidik ketika mendengar HIV/AIDS, tidak sedikit pula yang memiliki penilaian salah terhadap para pengidap HIV/AIDS (ODHA). Dari kesalahpahaman dan ketidaktahuan masyarakat mengenai detail penyakit HIV/AIDS inilah timbul kesalahan persepsi mnegnai para pengidap HIV/AIDS.

(11)

Masih banyaknya sikap-sikap yang terkesan rasis dan menyudutkan ODHA sedikitnya telah memberikan pengertian lebih kepada Bala Keselamatan Bandung untuk dapat bertindak dan memberikan sedikitnya penjelasan dan usaha untuk meluruskan stigma negatif yang terus melekan terhadap HIV/AIDS dan pengidapnya. Ketertutupan dan dangkalnya pola pikir yang bahkan jauh melebihi sikap ortodoks telah menjadika Bala Keselamatan sebagai gada terdepan untuk dapat meluruskan nilai-nilai keliru dimasyarakat mengenai HIV/AIDS dan ODHA. Lebih dari itu, Bala Keselamatan Bandung telah banyak melakukan tindakan nyata untuk dapat memberikan dukungan penuh terhadap ODHA untuk lebih dapat memberikan ruang terbuka bagi mereka di masyarakat.

(12)

Prakteknya nyata yang dilakukan Bala Keselamatan adalah dengan mengadakan forum terbuka antar ODHA dan bagain dalam Bala Keselamatan. Tujuannya dalah untuk lebih dapat memberikan pengertian yang benar bahwa masih banyak masyarakat yang peduli terhadap ODHA. Kegiatan diskusi menjadi salah satu kunci yang memberikan peran penting dalam kegiatan Bala Keselamatan untuk memberikan andil lebih dalam membina dan memberikan suport terhadap ODHA. Diskusi yang diselenggarakan berupa forum santai yang memberikan sugeti positif kepada ODHA untuk lebih dapat percaya diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Pada intinya masih banyak ODHA yang cenderung menutup diri dari masyarakat karena merasa tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar, atau pun pikiran-pikran negatif terhadap siri sendiri akan penyakit HIV/AIDS yang diidapnya. Hal ini semakin memberikan jarak yang jauh antara ODHA dan masyarakat, karena bukan hanya masyarakat yang merasa bahwa meraka menjauhi ODHA karena alasan ODHA pun melakukan hal yang sama. Jelas pengertian-pengertian salah ini menjadi perhatian Bala Keselamatan untuk dapat memberikan pengertian dan penjelasan bahwa ODHA masih menjadi bagian dari masyarakat yang setara.

(13)

sedikitnya memberikan nilai positif bagi ODHA. Meujuk pada penjelasan yang diungkapkan oleh Onong Uchjana Effendy yang menyatakan bahwa, “Sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan secara menonjol dalam suatu peristiwa.” (Effendy, 1989: 315)

Kegiatan diskusi yang dilakukan secara berkela mengenai pemecahan berbagai masalah ODHA bertujuan untuk lebih dapat menumbuhkan sikap optimistis dan percaya diri ODHA. Dari sinilah ODHA banyak yang terbantu dengan berbagai penjelasan yang dikemukakan dalam forum diskusi yang diharapkan akan jauh lebih membantu ODHA untuk tetap ada sebagi masyarakat dan bagian dari masyarakat yang setara.

Dari kegiatan diskusi yang dilakukan Bala Keselamatan terdapatpoint-point penting yang dapat dijadikan sebagai bahan penelitian. Kegitan yang dilakukan sangat menarik perhatian peneliti, mengenai kegiatan seperti apa dan bagaimana merupakan pertanyaan awal yang membuat penelitian ini menarik. Diskusi yang dilakukan tentunya merujuk pada penyampaian pesan, hal ini juga yang melatar belakangi dari tujuan adanya diskusi pemesahan masalah bagi ODHA di Bala Keselamatan.

(14)

jadikan sebagai inti permasalahan penelitian dan dianghkat sebagai indentifikasi maslah penelitian.

Pada intinya penelitian ini ingin menunjukan bahwa Kegiatan diskusi yang dilakukan oleh Bala Keselamatan memiliki tujuan utama untuk dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diri bagi ODHA. Kepercayaan diri menurut Branden, Misiak dan Sexton yang dikutip oleh Algito, adalah “Kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada dalam dirinya.” (Walgito, 1993: 7).

(15)

1.6 Pertanyaan Penelitian

A. Kegiatan Diskusi Pemecahan Masalah:

1. Apa tujuan dilaksanakannya diskusi pemecahan masalah di Bala keselamatan Bandung bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA)?

2. Dimana kegiatan diskusi pemecahan masalah dilaksanakan?

3. Siapa sasaran diskusi pemecahan masalah di Bala keselamatan Bandung bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA)?

4. Apa saja kegiatan yang dilakukan? B. Pesan Diskusi Pemecahan Masalah:

1. Siapa yang menyusun pesan pada acara diskusi pemecahan masalah di Bala keselamatan Bandung bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA)? 2. Apa jenis pesan yang disampaikan pada acara diskusi pemecahan masalah

di Bala keselamatan Bandung bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA)? 3. Bagaimana gapa penyampaian pesan pada saat diskusi?

4. Bagaimana bentuk penyampaian pesan? C. Media Diskusi Pemecahan Masalah:

1. Media apa saja yang digunakan?

2. Bagaimanakah media tersebut digunakan?

(16)

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Sebagaimanayang diungkapkan Issac dan Michael yang dikutip oleh Djalaluddin Rakhmat menerangkan bahwa “Metode deskriptif yakni metode yang bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara fakta dan cermat.” (Rakhmat, 1997: 22).

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Djalaluddin Rakhmat yang menerangkan bahwa:

“Metode deskriptif bertujuan untuk : (1) Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) Membuat perbandingan atau evaluasi, (4) Menentukan apa yang dilakuykan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.” (Rakhmat 1997: 25)

(17)

sejarah dan eksperimental dan secara lebih umum sering diberi nama metode survei. Kerja peneliti, bukan saja memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena tetapi juga menerangkan hubungan menguji hipotesa, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan.

Penelitian mengenai peran diskusi pemecahan masalah dibala keselamatan Bandung dalam menumbuhkan kepercayaan diri pada ODHA ini disajikan dalam bentuk deskriptif untuk lebih mengetahuio berbagai bagian yang ada dalam penelitian. Penelitian ini memang ditujukan untuk dapat lebih mengetahui berbagai informasi yang ada dalam penelitian kedalam suatu susunan yang tersistematis dan gamblang.

1.8 Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara

Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang salah satunya ialah wawancara. Menurut Subana (2000: 29) yang dikutip oleh Riduwan, mengatakan bahwa:

(18)

Wawancara yang dilakukan berupa wawancara tidak berstruktur karena pembahasannya dapat melebar dan berkembang pada saat wawancara. Berbagai faktor penunjang wawancara diharapkan dapat menimbulkan suatu proses wawancara yang baik dan efektif sehingga data yang diperoleh maksimal. Subjek wawancara dalam hal ini adalah pewawancara yang diharapkan memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan proses wawancara.

2. Studi Kepustakaan

Yaitu pengumpulan data atau keterangan melalui bahan bacaan yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.

3. Internet Searching

Yaitu pengumpulan data atau keterangan melalui internet.

1.9 Teknik Analisis Data

(19)

1. Penyeleksian data

Penyeleksian data yakni memilih data yang dodapatkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan penelitian dan dianggap relevan untuk dijadikan sebagai hasil laporan penelitian. Data yang diperoleh kemungkinan tidak sejalan dengan tujuan penelitian sebelumnya. Oleh karena itu penyeleksian data yang dianggap layak sangat dibutuhkan.

2. Klasifikasi data

Klasifikasi data yakni mengkategorikan data yang diperoleh berdasarkan bagian-bagian penelitian yang ditetapkan. Klasifikasi data ini dulakukan untuk memberikan batasanpembahasan dan berusaha untuk menyusun laporannya secara tersistematis menurut klasifikasinya. Klasifikasi ini juga membantu penulis dalam memberikan penjelasan secara lebih detail dan jelas. 3. Merumuskan hasil penelitian

Semua data yang diperoleh kemudian dirumuskan menurut pengklasifikasian data yan yelah ditentukan. Rumusan hasil penelitian ini memaparkan berbagai macam hasil yang didapat dilapangan dan berusaha untuk menjelaskannya dalam bentuk laporan yang terarah dan sistematis.

4. Menganalisa hasil penelitian

(20)

dengan data yang diperoleh secara nyata dilapangan. Menganalisa hasil penelitian dilakukan untuk dapat memperoleh jawaban dan berusaha untuk membuahkan suatu kerangka pikir atau menguatkan yang ada.

1.10 Objek Penelitian

Dalam suatu penelitian diperlukan suatu objek penelitian yang menjadikannya populasi penelitian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam buku“Metode Penelitian Komunikasi”bahwa:

“Salah satu hal yang menakjubkan dalam penelitian ialah kenyataan bahwa kita dapat menduga sifat-sifat suatu kumpulan objek penelitian hanya dengan mempelajari dan mengamati sebagian dari kumpulan itu. Bagian yang diamati itu disebut sampel, sedangkan kumpulan objek penelitian disebut populasi. Objek penelitian dapat berupa orang, umpi, organisasi, kelompok, lembaga, buku, kata-kata, surat kabar dan lain-lain. Dalam penelitian, objek penelitian ini disebut satuan analisis (units of analysis) atau unsur-unsur populasi.” (Rakhmat, 1997: 78).

(21)

Aplikasi” mengatakan bahwa, “Populasi adalah keseluruhan gejala/ satuan yang ingin diteliti.” (Prasetyo dan Jannah, 2005: 119).

Objek atau nilai yang akan diteliti dalam populasi disebut unit analisis atau elemen populasi. Unit analisis dapat berupa orang, perusahaan, media dan sebagainya. Populasi dalam penelitian adalah keseluruhan anggota Bala Keselamatan Bandung yang senantiasa berperan dalam pengadaan diskusi pemecahan masalah HIV/AIDS. Bagian divisi Psikologi yang menangani pengadaan Diskusi ini merupakan populasi dari penelitian yang berjumlah 8 orang. 8 orang inilah yang berperan secara langsung dalam kegiatan diskusi pemecahan masalah yang memiliki bagian kerja masing-masing.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bailey (1994: 83) yang dikutip oleh Bambang Prasetyo dan Lina miftahul Jannah yang mengatakan bahwa, “Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Oleh Karena itu, sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri.” (Prasetyo dan Jannah, 2005: 119). Jelas bahwa sampel merupakan bagian kecil dari populasi yang diambil untuk mewakili populasi secara keseluruhan. Sampel ini diharapkan dapat mewakili berbagai aspek yang ada dalam populasi secara luas dan dibentuk secara miniatur dalam bentuk sampel.

(22)

bahwa, ”Bila kita mengambil sampel tertentu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, kita memperoleh sampel pertimbangan-pertimbangan(judgemental sampling) disebut juga sampel non probabilitas.” (Rakhmat,1997: 78).

Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Jonathan Sarwono bahwa, “Dalam penelitian kualitatif menggunakan teknk non probabilitas, yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada rumusan statistik tetapi lebih pada pertimbangan subjektif peneliti dengan didasarkan pada jangkauan dan kedalaman masalah yang ditelitinya.” (Sarwono, 2004: 205).

Dalam penjelasan ini diketahui bahwa peneliti menggunakan teknik non-probabilitas untuk dipergunakan dalam menentukan sampel penelitian. Teknik sampling ini digunakan karena penelitian mengenai Peranan Diskusi Pemecahan Masalah di Bala Keselamatan Dalam Menumbuhkan Kepercayaan Diri Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang dilakukan oleh peneliti menyangkut berbagai aspek yang dipertimbangkan terlebih dahulu untuk kedalaman pembahasan yang diinginkan oleh peneliti. Penelitian kualitatif tidak ditujukan untuk menarik kesimpulan suatu populasi, melainkan untuk mempelajari karakteristik yang diteliti.

(23)

digunakan untuk menjadi informan dalam penelitian kita tergantung pada cakupan masalah penelitian yang akan dilakukan.” (Sarwono,2006: 205)

Dengan ketersedian sampel yang ada, maka dibutuhkan suatu teknik penarikan sampel atau disebut rencana sampling atau rancangan sampling (sampling design). Untuk penelitian ini, peneliti menggunakan rancangan sampling nonprobabilitas dengan teknik penarikan sampel,purposive sampling.

Dengan teknik sampling ini peneliti memiliki kewenangan untuk menentukan sampel yang menurut peneliti ada dalam kriteria yang mewakili dalam kedalaman pembahasan penelitian. Sampel dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai narasumber, karena pada dasarnya sampel yang merupakan individu dalam populasi dan menjadi bagian sampel disebut sebagai narasumber. Narasumber yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 3 orang narasumber, yakni Dr. Joseph Tarigan selaku kepala bagian Psikologi Bala Keselamatan Bandung yang berwenang dalam kegiatan Diskusi, Drs. Tien Sugondo selaku Pembicara tetap dalam kegiatan diskusi, dan Hendri Wirawan, S.Sos, M.si selaku pengurus diskusi yang secara berkala diselenggarakan.

(24)

beranggapan bahwa tiga orang informan saja telah cukup memenuhi kebutuhan informasi bagi penelitian.

Tabel 1.1 Data Informan

No. Narasumber Jabatan

1. Dr. Joseph Tarigan Kepala Bagian Psikologi 2. Drs. Tien Sugondo Pembicara dalam Diskusi 3. Hendri Wirawan, S.Sos, M.si Pengurus Diskusi Sumber: Olahan peneliti, 2010

1.11 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.11.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Bala Keselamatan Bandung yang bertempat di Jl. Jawa No. 20 Bandung, 40117

1.11.2 Waktu Penelitian

(25)

1

Tabel 1.2 Skedul Penelitian

No. Kegiatan Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1.Persiapan

L I B U R A K A D E M I K Pengajuan judul Acc judul persetujuan pembimbing Bimbingan 2.Pelaksanaan

Bimbingan BAB I Bimbingan BAB II Bimbingan BAB III Bimbingan BAB IV Bimbingan BAB V

3.Penelitian Lapangan Wawancara Pengolahan data

4.  Penyelesaian Laporan

Penyusunan draft skripsi

5.  Sidang kelulusan

(26)

1

1.12 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Pertanyaan Penelitian, Metode Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data, Populasi dan Sampel, Lokasi dan Waktu Penelitian, serta Sistematika Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan Tinjauan Tentang Komunikasi, Tinjauan Tentang Komunikasi Massa, Tinjauan Tentang Bahasa, Tinjauan Tentang Jurnalistik yang didalamnya terdiri atas bahasa jurnalistik dan bahasa jurnalistik radio. BAB III OBJEK PENELITIAN

Berisikan tentang Sejarah Radio Prambors Jogjakarta, Visi dan misi Radio Prambors Jogjakarta, Struktur Organisasi Radio Prambors Jogjakarta, Job Description Radio Prambors Jogjakarta, Sarana dan Prasarana di Radio Prambors Jogjakarta.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(27)

BAB V PENUTUP

(28)

27

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Ilmu Komunikasi

2.1.1 Pengertian Komunikasi

Banyak definisi dan pengertian mengenai komunikasi yang ingin disampaikan oleh para ahli komunikasi untuk dapat menjelaskan makna utama dari komunikasi. Wiryanto dalam bukunya “Pengantar Ilmu Komunikasi” menjelaskan bahwa, “Komunikasi mengandung makna bersama-sama (common). Istilah komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin, yaitu communicatio yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya communis, yang bermakna umum atau bersama-sama.” (Wiryanto, 2004: 5).

Pernyataan diatas sejalan dengan pernyataan Onong Uchjana Effendy, “Istilah komuniksi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna.” (Effendy, 2003: 9).

(29)

komunikasi menjadi alat utama yang digunakan untuk menyampaikan tujuan-tujuan tersebut. Komunikasi sangat mendasari berbagai pemaknaan yang akan dibuat dan yang akan terbuat setelahnya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Fisher (1986: 17) yang dikutip oleh Wiryanto bahwa, “Ilmu komunikasi mencakup semua dan bersifat eklektif.” (Wiryanto, 2004: 3). Sifat eklektif ini sejalan dengan pendapat yang digambarkan oleh Wilbur Schramm (1963: 2) yang dikutip oleh Wiryanto bahwa, “Komunikasi sebagai jalan simpang yang ramai, semua disiplin ilmu melintasinya.” (Wiryanto, 2004: 3).

Berbagai pendapat untuk menjelaskan komunikasi juga diungkapkan oleh Charles R. Berger dan Steven H. Chaffe dalam buku “Handbook Communication Science” (1983: 17) yang dikutip oleh Wiryanto, menerangkan bahwa:

Communication science seeks to understand the production, processing and effect of symbol and signal system by developing testable theories containing lawful generalization, that explain phenomena associated with production, processing and effect (Ilmu komunikasi itu mencari untuk memahami mengenai produksi, pemrosesan dan efek dari simbol serta sistem sinyal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum generalisasi guna menjelasken fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya).” (Wiryanto, 2004: 3).

(30)

(1966: 4) dalam buku “Interpersonal Communication” yang dikutip oleh Wiryanto menerangkan bahwa, “A process by which a source transmits a message to a receiver through some channel (Komunikasi adalah suatu proses dimana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran).” (Wiryanto, 2004: 6).

Carl I. Hoveland (1948: 371) dalam buku “Social Communication”, yang dikutip oleh Wiryanto mendefinisikan komunikasi, “The process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal

symbols) to modify, the behavior of other individu (Komunikasi adalah proses di mana individu mentransmisikan stimulus untuk mengubah perilaku individu yang lain).” (Wiryanto, 2004: 6).

Raymond S. Ross (1983: 8) dalam buku “Speech Communication; Fundamentals and Practice” sebagimana yang dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh sang komunikator.” (Wiryanto, 2004: 6).

(31)

“Communication Network: Towards a New Paradigm for Research”

sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto menerangkan bahwa, “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.” (Wiryanto, 2004: 6).

Bernard Berelson dan Gary A. Steiner (1964: 527) dalam buku “Human Behavior: An Inventory of Scientific Finding” sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Communication: the transmission of information, ideas, emotions, skills, etc. by the uses of

symbol… (Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, dan sebagainya).” (Wiryanto, 2004: 7).

(32)

menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya dapat terjadi apabila didukung oleh adanya komponen atau elemen komunikasi yang diantaranya adalah sumber, pesan, media, penerima dan efek. Ada beberapa pandangan tentang banyaknya unsur komunikasi yang mendukung terjadi dan terjalinnya komunikasi yang efektif. secara garis besar komunikasi telah cukup didukung oleh tiga unsur utama yakni sumber, pesan dan penerima, sementara ada juga yang menambahkan umpan balik dan lingkungan selain ketiga unsur yang telah disebutkan.

Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani Kuno menerangkan dalam bukunya ”Rhetorica” sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara mengatakan bahwa, “Suatu proses komunikasi memerlukan tiga unsur yang mendukung, yakni siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dan siapa yang mendengarkan.” (Cangara, 2005: 21). Pandangan Aristoteles ini oleh sebagian pakar komunikasi dinilai lebih tepat untuk mendukung suatu proses komunikasi publik dalam bentuk pidato atau retorika, karena pada zaman Aristoteles retorika menjadi bentuk komunikasi yang sangat populer bagi masyarakat Yunani.

(33)

oleh Hafied Cangara menyatakan bahwa, “Terjadinya proses komunikasi memerlukan lima unsur yang mendukung, yakni pengirim, transmitter, signal, penerima dan tujuan.” (Cangara, 2005: 22).

Awal tahun 1960-an David K. Berlo membuat formula komunikasi sederhana yang dikutip oleh Hafied Cangara bahwa, “Formula ini dikenal dengan nama "SMCR", yakni: Source (pengirim), Message (pesan), Channel(saluran-media), danReceiver(penerima).” (Cangara, 2005: 22).

Selain Shannon dan Berlo, juga tercatat Charles Osgood, Gerald Miller dan Melvin L. De Fleur menambahkan lagi unsur komunikasi lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara, “Unsur efek dan umpan balik (feedback) sebagai pelengkap dalam membangun komunikasi yang sempurna.” (Cangara, 2005: 22). Kedua unsur ini nantinya lebih banyak dikembangkan pada proses komunikasi antarpribadi (persona) dan komunikasi massa.

Perkembangan terakhir adalah munculnya pandangan dari Joseph de Vito, K. Sereno dan Erika Vora yang menambahkan unsur komunikasi lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara bahwa, “Faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung terjadinya proses komunikasi.” (Cangara, 2005: 22).

(34)

yang diterima oleh komunikan. Dengan perkataan lain, komunikasi adalah proses membuat pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Onong Uchjana Effendy:

“Pertama komunikatormenyandi(encode) pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. ini berarti ia memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan komunikator itu. ini berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator berfungsi sebagai penyandi (encoder) dan komunikan berfungsi sebagaipengawa-sandi(decoder).” (Effendi, 2003: 13).

Yang penting dalam proses penyandian (coding) ialah bahwa komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawa-sandi hanya ke dalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam pengalamannya masing-masing.

Wilbur Schramm dalam karyanya “Communication Research in the United States” sebagaimana yang dikutip oleh Onong Uchjana Effendy mengatakan bahwa, “Komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh oleh komunikan.” (Effendy, 2003: 13).

(35)

2003: 13). Pernyataan ini mengandung pengertian, jika bidang pengalaman kominikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, maka komunikasi akan berlangsung lancar.

2.1.2 Tujuan Komunikasi

Pada dasarnya, komunikasi dilakukan untuk mencapai kesamaan makna antara pelaku komunikasi. Dalam melakukan komunikasi, tentu mempunyai tujuan. Menurut Onong Uchjana Effendy tujuan dari komunikasi adalah :

1. Mengubah sikap (to change the attitude)

2. Mengubah opini opini/pendapat/pandangan (to change the opinion) 3. Mengubah perilaku (to change the behavior)

4. Mengubah masyarakat (to change the society) (Effendi, 1993:55) Untuk lebih memahami tujuan komunikasi, Ruslan menyatakan tujuan komunikasi sebagai berikut :

1. Apakah kita ingin menjelaskan sesuatu pada orang lain. Maksudnya apakah kita menginginkan orang lain untuk mengerti dan memahami apa yang kita maksud.

2. Apakah kita ingin agar orang lain menerima dan mendukung gagasan kita. Dalam hal ini tentu cara penyampaian akan berbeda dengan cara yang dilakukan untuk menyampaikan informasi atau pengetahuan saja.

(36)

Tujuan komunikasi itu timbul, karena komunikasi memiliki fungsi, yaitu sebagai berikut:

1. Menginformasikan (To Inform) 2. Mendidik (To Educate)

3. Menghibur (To Entertain)

4. Mempengaruhi (To Influence) (Effendy,1993:55)

2.1.3 Proses komunikasi

Pada proses komunikasi dapat dikategorikan dengan peninjauan dari dua perspektif, yaitu :

Proses Komunikasi dalam Perspektif Psikologis

(37)

Proses Komunikasi dalam Perspektif Mekanistik

Pada proses komunikasi dalam perspektif mekanistis dapat diklasifikasikan menjadi proses komunikasi secara dua tahap, yakni sebagai berikut :

a. Proses komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media atau saluran. Adapun lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung dapat menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. Pada proses komunikasi secara primer adalah bahasa yang paling banyak digunakan, sebab bahasa mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain, apakah itu berbentuk ide, gagasan, informasi atau opini.

b. Proses komunikasi secara sekunder

(38)

Pentingnya peranan media, yakni media sekunder dalam proses komunikasi disebabkan oleh efisiensinya dalam mencapai sasaran yaitu komunikan, karena proses komunikasi sekunder ini merupakan sambungan dari proses komunikasi primer, maka dalam menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi pesan komunikasi, komunikator, harus memperhitungkan ciri-ciri atau sifat-sifat media yang digunakan.

Dengan demikian, proses komunikasi secara sekunder itu menggunakan media yang dapat diklasifikasikan sebagai media massa (massmedia) dan media nirmassa atau media nonmassa (non-mass media).(Effendi, 1993:18)

(39)

2.1.4 Komunikasi Kelompok

Manusia sebagai mahluk sosial tidak bisa melepaskan ketergantungannya dengan mahluk lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aristoteles menyebutnya sebagai Zoonpoliticon artinya manusia itu adalah mahluk yang suka hidup berkelompok atau suka bermasyarakat, karena manusia berkelompok maka dia harus mengadakan hubungan atau berkomunikasi. Maka dari itu penulis menghubungkan dengan pendapat Phill Astrid S. Susanto yang menyatakan bahwa :

“Komunikasi merupakan landasan dalam hidup manusia dan proses sosial, ini berarti bahwa tanpa berkomunikasi manusia sukar diterima dalam kehidupan masyarakat maka dari itu komunikasi sangatlah penting karena manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan manusia lain, manusia hidup berkelompok karena secara individu orang tidak akan mampu menghadapi persoalan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat dan seandainya bisa juga tidak akan dapat menyelesaikannya dengan baik.” (Susanto, 1981:5).

Hal ini sesuai dengan pendapat William F Boxblour & Mayer F Minhalp dalam bukunya Hand Book Sosiology yang dikutip oleh Phill Astrid S. Susanto mengemukakan bahwa :

(40)

Organisasi merupakan salah satu sarana guna menampung dan menyalurkan aspirasi anggota kelompok. Aspirasi yang ditampung kemudian dimusyawarahkan sehingga akan diperoleh pengertian yang baik dan komunikasi pun akan terpelihara dengan baik dan mudah.

Dalam bukunya Onong U. Effendy mengemukakan pendapatnya bahwa: “Komunikasi kelompok adalah komunikasi antara seseorang atau komunikasi harmonis dengan sejumlah orang, atau karena komunikasi harmonislah orang berkumpul bersama dalam kelompok.” (Effendy, 1981:55).

Sedangkan menurut Buchabull Gaum dalam Pratikto mengemukakan bahwa, “Komunikasi kelompok adalah intervew tatap muka antara tiga individu atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui sebelumnya. Seperti berbagai intervew pemeliharaan diri dan pemecahan masalah yang anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota kelompok lainnya dengan baik.” (Pratikto, 1987:55).

(41)

sosial dimana diantara mereka saling tukar informasi, gagasan dan pengalaman.

Dengan adanya kerjasama masing-masing individu dapat menyumbangkan kecakapannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, Maka GR Gerungan memberikan pengertian pola interaksi sosial sebagai berikut:

“Justru dalam interaksi sosial ini dapat merealisasikan kehidupan secara individual sebab tanpa timbal balik interaksi sosial ini dia dapat merealisasikan kemungkinan dan potensi-potensinya sebagai individu yang baru memperoleh keharmonisannya dan asuhannya dalam kelompok.” (Gerungan, 1982:29).

Pada dasarnya interaksi sosial mempunyai hubungan antara dua atau banyak individu. Dimana kelakuan individu yang satu mempunyai kemampuan untuk mengubah, mempengaruhi individu lainnya dan sebaliknya , sebab komunikasi kelompok ini juga untuk mengubah sikap pandangan dan prilaku sosial. Akan tetapi individu yang tergabung dalam kelompok tidak hanya begitu saja membentuk kelompok bila tanpa tujuan. Bila sebuah kelompok mencapai sasaran bersama, maka untuk dapat terbentuknya diperlukan seseorang yang memiliki unsur-unsur:

1. Adanya orang yang saling bertemu dan berkumpul.

(42)

Karena individu saling bertemu dan berkumpul dengan individu lainnya maka menjadi kelompok kecil atau small group yaitu kelompok komunikasi yang dalam situasi komunikasi terdapat kesempatan untuk memberikan tanggapan secara verbal atau dengan komunikasi kelompok kecil, komunikator dapat melakukan komunikasi antara pribadi dengan salah seorang anggota kelompok seperti rapat, brifing, ceramah, diskusi, seminar. Sedangkan dalam kelompok besar, kecil sekali kemungkinan bagi komunikator untuk bertanya jawab dalam situasi dialogis, dalam hal ini hampir tidak ada. Seperti yang dikatakan oleh Soemiati dan Yusuf bahwa :

“Pada kelompok ini tidak menitik beratkan pada berapa jumlah anggota dalam kelompok besar atau pun berapa jumlah dalam kelompok kecil, serta komunikasi kelompok dalam hal ini adalah suatu bidang penelitian dan terapan, tidak menitik beratkan kepada proses kelompok secara umum tapi menitik beratkan pada perilaku individu diskusi kelompok tatap muka kecil.” (Soemiati dan Yusuf, 1985:6).

Lebih dijelaskan disini (diskusi) adalah tingkah laku individu terhadap pesan komunikasi baik pesan verbal maupun pesan non verbal.

2.2 Tinjauan Tentang Peranan

(43)

Adapun Effendy menerangkan pengertian istilah peranan ialah, “Sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan secara menonjol dalam suatu peristiwa.” (Effendy,1989:315)

Melihat pengertian di atas dapat digambarkan kesimpulan peranan ialah berfungsinya sesuatu atau seseorang dalam suatu peristiwa secara menonjol diantara yang lainnya sehingga memberikan dampak yang berarti terhadap peristiwa tersebut.

2.3 Tinjauan Tentang Diskusi 2.3.1 Pengertian Diskusi

(44)

Dalam definisi tersebut kita dapat melihat bahwa penting dalam sebuah diskusi bukannya mampu untuk memecahkan persoalan yang sedang dibahas tetapi intinya terletak pada keinginan bersama tentang masalah tersebut. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa diskusi dilakukan karena kebutuhan anggota diskusi tersebut untuk memecahkan masalah.

Selanjutnya Kartini dan Kartono menyatakan, bahwa “Diskusi adalah memperbincangkan keuntungan dan kerugiannya, bertukar pikiran, berdebat atau semacam perbincangan bebas (free talk) yang diarahkan pada pemecahan masalah.” (Kartini dan Kartono, 1994: 131).

Diskusi merupakan salah satu bagian dalam penelitian ini yang memiliki porsi lebih dalam pembahasan, karena penelitian ini merujuk pada kegiatan diskusi yang dilakukan. Diskusi menurut Wikipedia.co.id memiliki pengertian yaitu, “Sebuah interaksi komunikasi antara dua orang atau lebih/kelompok. Biasanya komunikasi antara mereka/kelompok tersebut berupa salah satu ilmu atau pengetahuan dasar yang akhirnya akan memberikan rasa pemahaman yang baik dan benar.”3

Diskusi bisa berupa apa saja yang awalnya disebut topik. Dari topik inilah diskusi berkembang dan diperbincangkan yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu pemahaman dari topik tersebut.

3

(45)

Macam- macam Diskusi 1. Seminar

Pertemuan para pakar yang berusaha mendapatkan kata sepakat mengenai suatu hal.

2. Sarasehan/Simposium

Pertemuan yang diselenggarakan untuk mendengarkan pendapat prasaran para ahli mengenai suatu hal/masalah dalam bidang tertentu. 3. Lokakarya/Sanggar Kerja

Pertemuan yang membahas suatu karya. 4. Santiaji

Pertemuan yang diselenggarakan untuk memberikan pengarahan singkat menjalang pelaksanaan kegiatan.

5. Muktamar

Pertemuan para wakil organisasi mengambil keputusan mengenai suatu masalah yang dihadapi bersama.

6. Konferensi

Pertemuan untuk berdiskusi mengenai suatu masalah yang dihadapi bersama.

7. Diskusi Panel

Diskusi yang dilangsungkan oleh panelis dan disaksikan/dihadiri oleh beberapa pendengar, serta diatur oleh seorang moderator.

8. Diskusi Kelompok

Penyelesaian masalah dengan melibat kan kelompok-kelompok kecil.4 Diskusi dikatakan sebagai forum bertukar pikiran, informasi, pendapat, pengalaman dalam bentuk tanggung jawab yang teratur dengan tujuan mendapatkan pengertian yang luas dan komunikasi yang lebih gamblang tentang suatu permasalahan dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.

Maka dalam diskusi selalu terdapat kritik dari orang lain dan atau kritik dari diri sendiri, juga kita jumpai Reasoning dan Ceunter. Reasoning yaitu pertimbangan akal dari suatu pihak yang luas dengan alasan kontra yang rasional dari pihak lain.

4

(46)

Diskusi dapat disatukan dengan jumlah dan bentuk yang beraneka macam seperti yang terdapat dalam buku ceramah dan lokakarya dan seminar karya Patwersw Materka, yaitu:

1. Duo (diads)

Peserta mengadakan diskusi berdua-dua biasanya dua orang yang saling berdampingan. Diskusi duo selama tiga menit merupakan pemanasan yang baik karena mudah dan tidak mencemaskan.

2. Trio (triad)

Peserta ditambah satu orang lagi.

3. Kelompok (bull group)

(47)

kembali untuk menjadikan peserta yang monopoli dan untuk memecahkan masalah yang keluar jalur persoalan. Diskusi kelompok bermanfaat jika pesertanya 25 orang atau kurang, makin kecil kelompok makin kurang keinginan untuk berbicara.

4. Curah pendapat (brainstorming)

Dengan metoda ini suatu persoalan diajukan dan disertai dengan mengemukakan pendapat, saran secara tepat dan spontan yang terlintas dipikiran, semua dicatat dan ditulis di papan tulis atau kertas kosong. Saran setiap orang tak ada yang ditolak, semua saran dituliskan tanpa komentar dan kritik, kemudian semua anggota kelompok mengevaluasi saran-saran tersebut.

(48)

2.3.2 Diskusi Dalam Kegiatan Komunikasi Kelompok

Agar pemahaman pesan-pesan atau informasi gagasan yang disampaikan oleh komunikator dapat dihayati dengan baik maka teknik yang baik digunakan adalah diskusi seperti yang telah dikatakan diatas bahwa diskusi adalah sebagai sumber untuk bertukar informasi, pendapat, dan pengalaman dalam bentuk interaksi untuk mendapatkan energi yang lebih luas, kejelasan yang lebih gamblang tentang suatu persoalan dan berpikir untuk memecahkan masalah dengan cermat karena dalam komunikasi terjadi interaksi dan komunikasi.

Sebuah diskusi yang tidak menentu adalah pemborosan waktu, dan diskusi akan mirip pertengkaran atau konfirmitas. Didalam diskusi dianjurkan harus ada yang mengarahkan agar tidak keluar jalur. Permasalahan yang dibahas yaitu seorang pemimpin diskusi atau fasilitator diskusi yang berarti ada kepemimpinan, tapi tidak ada kekuasaan. Seorang pemimpin diskusi harus bertanggung jawab atas jalannya diskusi, menciptakan suasana yang ramah dan menyenangkan, juga bertanggung jawab dalam mengantarkan topik, dan menumbuhkan minat demi kelancaran jalannya diskusi.

(49)

tidak menjadi ajang ceramah. Mungkin bukan pemimpin diskusi yang nantinya akan menemukan pemecahan masalah tetapi seorang pemimpin diskusi mungkin perlu menyatakan secara terbuka langkah-langkah pemecahannya.

Devito menjelaskan mengenai Kelompok Pemecahan Masalah adalah “Sekumpulan individu yang bertemu untuk memecahkan suatu masalah tertentu atau mencapai suatu keputusan mengenai beberapa masalah tertentu.” (Devito, 1996: 304).

Dalam beberapa hal, cara ini merupakan cara yang paling efektif bagi kelompok untuk ikut berpartisipasi, karena yang diperlukan bukan hanya pengetahuan menganai teknik-teknik berkomunikasi kelompok kecil tersebut, tetapi pengetahuan yang menyeluruh mengenai masalah tersebut.

(50)

Komunikasi kelompok dapat efektif apabila diskusi yang dilaksanakan bersifat bebas, serta berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan pelaksanaan diskusi tersebut, dilihat dari tanggapan anggota kelompok, pertanyaan-pertanyaan. Bormann menjelaskan yang kemudian dikutip oleh Soemiyati dan Yusuf membedakan diskusi dari dasar penggunaan yaitu, “Diskusi untuk memberikan informasi, merangsang perhatian, memecahkan masalah atau merangsang kreativitas.” (Soemiati dan Yusuf, 1985: 85).

Dari pernyataan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa diskusi dapat digunakan atau dilaksanakan sesuai dengan tujuan dari dilaksanakannya diskusi tersebut, mungkin diskusi tersebut dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah atau untuk merangsang kreativitas, bisa juga diskusi dilaksanakan hanya untuk merangsang perhatian dan untuk memberikan informasi baik dari atasan kepada bawahan atau sebaliknya dari bawahan kepada atasan.

2.3.2 Proses Kegiatan Diskusi Kelompok

(51)

1. Suasana yang santai dan tidak mencemaskan.

2. Tidak ada yang takut untuk mengemukakan pendapat karena takut akan dianggap remeh dan bodoh.

Seperti yang disebutkan diatas kedua hal tersebut memiliki kesamaan maksud yaitu menyangkut orang yang sedang melakukan diskusi, bukan hanya memimpin diskusi tapi juga memperhatikan bahasa dan keadaan pesertanya.

3. Diskusi itu memancing gagasan dan pemecahan masalah, tidak diperkenankan untuk menyimpang dari masalah dan materi. Sehingga pada akhirnya menjadi arena keluhan.

4. Setiap orang memiliki kesempatan untuk berbicara tapi tak ada yang memaksanya untuk berbicara, jika tidak suka untuk berbicara dan lebih suka untuk mendengarkan saja.

(Materka, 1992: 64).

Karena pertanyaan dapat dimanfaatkan untuk menggugah minat dan menjembatani sebuah topik dengan topik yang lainnya. Pertanyaan yang umum menurut Materka adalah : pertanyaan yang dapat dimengerti dan merangsang peserta untuk bertindak jika berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Pendekatan pemecahan masalah yang meminjam formulasi tahap-tahap dalam refleksi berpikir seorang filsuf John Dewey diidentifikasi ada enam tahap.

2.4 Tinjauan Tentang Kepercayaan Diri 2.4.1 Definisi Kepercayaan Diri

(52)

bahwa kepercayaan diri didefinisikan sebagai suatu keyakinan seseorang untuk mampu berperilaku sesuai dengan yang diharapkan dan diinginkan dan keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif.” (Tomlinson, Carol dan Keasey 1985:637).

Lain halnya dengan yang diungkapkan oleh Branden, Misiak dan Sexton yang kemudian dikutip oleh Walgito yang menjelaskan tentang kepercayaan diri yakni, “Kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada dalam dirinya.” (Walgito, 1993: 7).

Sedangkan menurut menurut Santrock yang menerangkan mengenai kepercayaan diri yaitu, “Dimensi evaluatif yang menyeluruh (global) dari diri sendiri, di manamerupakan evaluasi tentang keadaan dirinya, yaitu tentang domain-domain yang ada dalam diri individu secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong atau hanya sebagian saja.” (Santrock, 2003:336)

(53)

Lain halnya dengan yang diungkapkan oleh Hakim yang menyatakan bahwa, “Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk dapat mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya.” (Hakim, 2005:6)

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu keyakinan seseorang atau individu akan kemampuan atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, mampu menghadapi segala rintangan atau tantangan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya serta mampu menyalurkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya yang diwujudkan melalui pekerjaannya.

2.4.2 Ciri-Ciri Seseorang yang Mempunyai Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri seseorang dapat diketahui dari ciri-ciri utama yang khas yang dimilikinya. Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa seseorang atau individu itu mempunyai kepercayaan diri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Daradjat yang menjelaskan bahwa,

(54)

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Misiak dan Sexton yang dikutip oleh Walgito menyatakan bahwa, ”Kepercayaan diri berkembang melalui interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya lingkungan sosialnya.” (Walgito,1993:7).

Lingkungan yang kondusif dapat memberikan kesempatan bagi individu untuk mengekspresikan ide-ide dan perasaannya, menerima dan memberikan dukungan dan bantuan untuk orang lain, serta menerima dan memberikan umpan balik akan menumbuhkan rasa berarti bagi dirinya sehingga ia memiliki konsep diri yang positif. Individu yangmemiliki konsep diri yang positif akan dapat menghargai dirinya, atau dengan kata lain memiliki harga diri yang tinggi. Apabila individu mempunyai harga diri yang positif, maka ia akan mempunyai kepercayaan diri yang positif pula.

Selanjutnya menurut Misiak dan Sexton yang dikutip oleh Walgito, ciri-ciri individu yang mempunyai kepercayaan diri, yakni:

1. Merasa optimis, yaitu selalu memandang masa depan dengan harapan yang baik.

2. Bertanggung jawab, yaitu berani mengambil resiko atas keputusan atau tindakan yang menurutnya benar.

3. Bersikap tenang, yaitu yakin akan kemampuan dirinya, tidak cemas atau gugup dalam menghadapi situasi tertentu.

4. Mandiri, tidak suka meminta bantuan atau dukungan kepada pihak lain dalam melakukan sesuatu kegiatan dan tidak tergantung kepada orang lain.

(55)

Waterman dalam Kumara menjelaskan mengani memberi ciri-ciri orang yang mempunyai kepercayaan diri, yakni “Sebagai orang yang mampu bekerja secara efektif, mampu melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan secara relatif bertanggung jawab serta mempunyai rencana terhadap masa depannya.” (Waterman dalam Kumara, 1988: 19)

Sedangkan menurut Hurlock, ciri-ciri individu yang memiliki kepercayaan diri, “Adalah mempunyai sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi sosialnya.” (Hurlock, 1993: 214).

Selanjutnya Breneche dan Amich yang kemudian dikutip oleh Kumara berpendapat bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri adalah :

1. Berani mencoba atau melakukan hal-hal baru di dalam situasi baru 2. Tidak merasa perlu membandingkan dirinya dengan orang lain 3. Merasa cukup aman dan tenang

4. Mempunyai ukuran sendiri mengenai kegagalan atau kesuksesannya (Kumara, 1988:21)

(56)

Rini dalam webite www.e-psikologi.com, menjelaskan bahwa rasa percaya diri yang proporsional memiliki ciri atau karakteristik, diantaranya adalah:

1. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri, sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain.

2. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok.

3. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain–berani menjadi diri sendiri.

4. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil).

5. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau mengharapkan bantuan orang lain).

6. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya.

7. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.5

Lauster menjelaskan mengenai seseorang yang mempunyai kepercayaan diri memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kehati-hatian, merupakan kemampuan individu untuk menilai dan merespon diri dan lingkungan secara pasti, mampu menilai kemampuan sendiri secara objektif, mempunyai sikap optimis terhadap kehidupan dan merencanakan masa depan.

2. Kebebasan untuk kemandirian, adalah melakukan sesuatu atas dasar minat dan keinginan sendiri, tidak mudah terpengaruh oleh harapan dan keinginan orang lain, memiliki pandangan yang tidak kaku terhadap aturan konvensional.

3. Tidak mementingkan diri sendiri, adalah kesediaan bertindak untuk kebaikan diri sendiri maupun orang lain, bertanggung jawab,

(57)

menaruh simpati terhadap masalah orang lain, ingin membantu dan bersedia berkorban.

4. Toleransi, adalah dapat mengerti dan memahami perbedaan orang lain dan dirinya, bebas dari prasangka, mencoba melihat hukum dan norma kehidupan masyarakat dari segi relevansinya, dan terbuka pada situasi baru.

5. Ambisi, adalah dorongan untuk berprestasi, meningkatkan harga diri dan memperkuat kesadaran diri.

(Lauster, 2002: 8).

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri seseorang yang mempunyai kepercayaan diri adalah :

1. Optimis

Individu merasa yakin akan kompetisi/kemampuan diri untuk mewujudkan rencananya dengan berhasil dan memiliki pandangan dan harapan yang positif mengenai diri dan masa depannya. \

2. Berfikir positif

Individu mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya serta memiliki reaksi yang positif di dalam menghadapi cobaan hidup.

3. Mandiri

(58)

4. Yakin dengan kemampuan sendiri dan tidak berlebihan

Merasa yakin dengan kemampuan sendiri dan tidak berlebihan. Individu tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.

5. Toleransi

Dapat mengerti kekurangan dalam dirinya, menerima pendapat orang lain dan memberi kesempatan kepada orang lain untuk menyampaikan keinginannya, tidak mementingkan diri sendiri serta dapat mengerti keberadaan orang lain.

2.4.3 Proses Terbentuknya Kepercayaan Diri

Rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang. Ada proses tertentu di dalam pribadi seseorang sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri. Rasa percaya diri bukan merupakan sifat yang diturunkan (bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup serta dapat diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri dan kepercayaan diri terbentuk melalui proses belajar di dalam interaksi seseorang dengan lingkungannya.

(59)

kepribadiannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Walgito, bahwa “Kepercayaan diri sebagai salah satu aspek kepribadian, terbentuk dalam interaksi dengan lingkungannya, khususnya lingkungan sosialnya, termasuk lingkungan keluarga.” (Walgito, 1993:8)

Angelis menyatakan, bahwa “Rasa percaya diri lahir dari kesadaran pada diri sendiri dan tekad untuk melakukan segala sesuatu sampai tujuan yang diinginkan tercapai.” (Angelis, 1997: 10).

Kepercayaan diri bersumber dari hati nurani dan terbina dari keyakinan diri sendiri. Untuk mendapatkan rasa percaya diri seseorang memerlukan sebuah proses dan kepercayaan diri itu tidak dapat muncul dengan tiba-tiba. Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya kepercayaan diri lahir dari kesadaran pada diri sendiri yang bersumber dari hati nurani yang terbentuk melalui proses belajar dan interaksi dengan lingkungannya yang meliputi lingkungan sekolah, lingkungan sosial dan lingkungan keluarga.

2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri

(60)

faktor. Santrock menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri yang antara lain yakni:

1. Penampilan fisik

Seseorang yang memiliki anggota badan yang lengkap dan tidak memiliki cacat/kelainan fisik tertentu akan cenderung memiliki rasa percaya diri yang kuat dari pada seseorang yang memiliki cacat/kelainan fisik tertentu.

2. Penerimaan sosial atau penilaian teman sebaya

Seseorang yang mendapatkan dukungan sosial dari teman sebaya secara positif maka akan lebih percaya diri dalam melakukan sesuatu, karena penerimaan sosial atau penilaian teman sebaya yang positif akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu obyek secara positif. 3. Faktor orang tua dan keluarga

Dukungan orang tua seperti rasa kasih sayang, penerimaan dan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dengan batasan tertentu serta keadaan keluarga yang baik sangat mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri seseorang.

4. Prestasi

Seseorang yang memiliki kecerdasan dan wawasan yang tinggi akan menghasilkan suatu prestasi yang baik dan meningkat sehingga kemudian juga meningkatkan rasa percaya dirinya.

(Santrock, 2003: 336)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri menurut Bandura yang kemudian dikutip oleh Tomlinson dan Keasey ada empat yaitu :

a. Pengalaman dengan orang-orang yang berpengaruh dalam lingkungan. Ini adalah faktor yang paling banyak berpengaruh dalam tumbuhnya kepercayaan diri. Orang-orang yang berpengaruh dalam lingkungan ini adalah orang-orang yang biasanya disukai dan disegani atau bahkan orang yang paling ditakuti dan yang mampu memberikan pengaruh di lingkungan tersebut. Seseorang yang pernah bersama-sama dengan orang tersebut biasanya akan semakin tumbuh rasa percaya dirinya. b. Pengalaman yang dialami sendiri yaitu melihat banyak orang (model)

(61)

c. Terlibat kontak langsung dengan orang lain seperti orang tua, teman-teman, guru maupun orang lain yang belum dikenal, karena orang tua, guru, dan teman-teman dapat mempengaruhi individu. Pengaruh yang baik dan positif seperti individu memiliki kemampuan untuk menjadi orang yang sukses akan dapat membuat individu merasa lebih percaya diri, namun sebaliknya jika pengaruh yang diberikan tersebut buruk dan negatif maka individu dapat menjadi orang yang minder dan seperti tidak mempunyai harga diri.

d. Keadaan psikologis. Bandura menekankan bahwa kepercayaan diri juga dapat dipengaruhi oleh keadaan psikologis seseorang. Selama seseorang mengalami situasi yang penuh dengan tekanan dan stress, maka hal ini dapat mengurangi kompetensi perasaan seseorang atau dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman dan tidak bagus sehingga rasa percaya seseorang tersebut dapat menurun.

(Tomlinson dan Keasey, 1985: 637).

(62)

61

OBJEK PENELITIAN

3.1 Tinjauan Tentang Bala Keselamatan 3.1.1 Sejarah Singkat Bala Keselamatan

Bala Keselamatan (Inggris: Salvation Army) adalah salah satu denominasi di kalangan Gereja Protestan yang terkenal dengan pelayanan sosialnya. Mereka melaksanakan berbagai program seperti dapur umum untuk kaum miskin, rumah tumpangan, panti asuhan, rumah sakit, proyek-proyek pembangunan masyarakat, dll. Sehari-hari mereka mengenakan pakaian seragam dengan pangkat-pangkat kemiliteran, dari prajurit sampai jenderal.

Aliran Bala Keselamatan ini dimulai oleh William Booth, seorang pendeta Gereja Metodis. Booth dilahirkan di Nottingham, Inggris pada tahun 1829 dalam sebuah keluarga kontraktor bangunan kecil yang jatuh bangkrut. Karena itulah sejak kecil ia terpaksa harus ikut menopang keuangan keluarganya. Pada usia 13 tahun ia dikirim untuk magang di sebuah pegadaian.

(63)

kemiskinan yang dialami banyak orang. Booth yang muda juga sadar betapa orang-orang miskin ini seringkali mengalami penghinaan dan nista dari orang-orang lain. Pada usia remajanya itu pula Booth menjadi Kristen dan seringkali berusaha mengajak orang-orang lain untuk menjadi Kristen juga.

Setelah magangnya selesai, Booth pindah ke London dan di sana kembali ia bekerja di sebuah rumah gadai. Ia bergabung dengan sebuah Gereja Metodis dan belakangan memutuskan untuk menjadi pendeta.

William Booth menikah dengan Catherine Mumford yang dilahirkan di Ashbourne, Derby, pada tanggal 17 Januari 1829. Sejak masa kecilnya, Catherine adalah seorang anak perempuan yang bersungguh-sungguh dan sensitif. Catherine dibesarkan dalam keluarga Kristen, dan pada usia 12 tahun ia telah membaca seluruh Alkitab sebanyak 8 kali. Namun baru pada usia 16 tahun, setelah mengalami pergumulan iman, Catherine merasa benar-benar percaya.

(64)

daripada itu. Karena itu Booth kembali ke London bersama keluarganya, dan melepaskan jabatannya sebagai seorang pendeta Metodis dan menjadi pengkhotbah keliling.

Pada suatu hari di tahun 1865, Booth berada di East End di London, berkhotbah kepada sekumpulan orang di jalan-jalan. Di luar sebuah pub yang bernama Blind Beggar, beberapa misionaris mendengarkan Booth berbicara dan tertarik oleh khotbahnya yang sangat mengesankan. Karena itu, mereka meminta Booth untuk memimpin serangkaian kebaktian kebangunan rohani yang sedang mereka selenggarakan di sebuah tenda besar. Booth segera sadar bahwa inilah yang selama ini dicari-carinya. Karena itu, ia pun segera mendirikan gerakannya sendiri yang dinamainya “Misi Kristen.”

(65)

Catherine mulai membantu pelayanan gereja di Brighouse. Ia mulai dengan mengajar di sekolah Minggu karena pada waktu itu perempuan tidak biasa diizinkan berbicara di pertemuan-pertemuan orang dewasa. Catherine mempunyai minat khusus untuk berbicara kepada para pecandu alkohol. Di rumah, Catherine membesarkan 8 orang anaknya di dalam iman Kristen, hingga dua orang di antaranya mencapai kedudukan sebagai Jenderal di dalam Bala Keselamatan.

Ketika Booth mulai berkhotbah keliling kepada orang-orang miskin, Catherine berbicara kepada orang-orang kaya untuk mengimbau mereka mendukung secara finansial pelayanan yang mereka lakukan. Ketika Booth menjadi Jenderal, Catherine dikenal sebagai “Ibu Pasukan.” Ia menjadi tenaga pendorong utama yang menimbulkan banyak perubahan dalam gerakan ini, merancang bendera, topi untuk kaum perempuan dan berbagai pemikiran untuk Bala Keselamatan.

(66)

Semangat ketentaraan inilah yang menjiwai gerakan Bala Keselamatan yang dengan cepat menyebar ke luar negeri. Pada saat Booth meninggal pada tahun 1912, organisasi ini telah bekerja di 58 negara, dan sekarang Bala Keselamatan bekerja di 103 negara di seluruh dunia.

Teologi Bala Keselamatan didasarkan pada dua pokok pemikiran: (1) bahwa pertobatan adalah sesuatu yang mutlak dalam kehidupan orang Kristen. Orang harus percaya bahwa ia dilahirkan dalam kuasa dosa warisan dan kelepasan hanya bisa diperoleh dengan menerima anugerah Kristus pada salib; (2) setelah pertobatan orang cenderung tetap berdosa, tetapi Allah menawarkan kesempurnaan di dalam anugerah-Nya. Melalui anugerah itu, kasih Allah bagi manusia dan kasih manusia terhadap Allah membersihkan sisa-sisa keakuan dan kesombongannya.

Teologirevivalis (kebangunan rohani) yang berkembang di Amerika Serikat juga sangat mempengaruhi William Booth dan Catherine. Itulah sebabnya, sejak awal mereka telah merencanakan untuk mengembangkan sayap organisasi mereka ke Amerika Serikat. Mereka yakin bahwa cara khotbah mereka akan lebih diterima di sana daripada di Inggris, di mana orang cenderung menolak bentuk-bentuk Kekristenan yang berbeda.

(67)

adalah untuk orang-orang kelas menengah yang formal dan sok, sementara misi Bala Keselamatan ditujukan kepada kaum buruh dengan masalah-masalah mereka yang riil sehari-hari. Semangat untuk tidak “menggereja” ini telah menyebabkan Bala Keselamatan tidak mempraktikkan sakramen, yakni baptisan dan perjamuan kudus.

Bagi mereka, baptisan cukup dilambangkan dengan janji yang sungguh-sungguh dihadapan Tuhan. Sementara perjamuan kudus tidak diselenggarakan karena kekuatiran bahwa hal itu akan menimbulkan keinginan untuk minum-minum di antara mereka yang telah meninggalkan alkohol.

Teologi Bala Keselamatan didasarkan pada teologi para Reformator dengan modifikasi di sana-sini. Booth, misalnya, menyatakan “Kami percaya akan keselamatan yang dipahami dalam gaya lama (old-fashioned salvation). Pemahaman kami tentang keselamatan sama dengan apa yang diajarkan di dalam Alkitab dan diberitakan oleh Luther, Wesley, dan Whitfield."

(68)

“pengalaman pengudusan pribadi yang mendalam, yang diisi oleh kuasa roh dan pengabdian kepada pelayanan Kristen ... Roh Kudus akan dicurahkan dan Injil disebarkan di seluruh dunia. Kristus akan kembali pada abad milenium ini dan akan mengakhiri sejarah.”

Teologi Whitfield yang diterima oleh Bala Keselamatan adalah ajaran predestinasi Calvin. Menurut ajaran ini, Allah itu Maha kuasa dan karenanya Ia pasti telah menetapkan sejak kekekalan, bahwa sebagian orang – yakni mereka yang terpilih – akan diselamatkan, sementara yang lainnya, yang tidak terpilih, akan dihukum.

Oleh karena itu, Kristus mati untuk orang-orang pilihan saja, dan bukan untuk semua orang, sehingga anugerah Allah tidak bisa ditolak, dan orang percaya, sekali ia bertobat, tidak akan pernah jatuh dari anugerah Allah. Pemikiran ini sangat bertentangan dengan ajaran John Wesley yang menekankan kehendak bebas, sehingga konon pada abad ke-18 John Wesley pernah berkata kepada Whitfield, “Allahmu adalah iblisku.”

(69)

Dengan menggabungkan latar belakang Metodis William Booth dengan ajaran Calvin, maka para tokoh Bala Keselamatan merumuskan 11 butir doktrin/asas sbb.:

1. Kami percaya bahwa Kitab Suci, yang terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diberikan oleh ilham Allah dan bahwa hanya kedua kitab itu sajalah yang menjadi dasar aturan Ilahi bagi iman dan praktek kristiani.

2. Kami percaya bahwa hanya ada satu Allah yang sempurna dan tidak terbatas di dalam kesempurnaannya, Sang Pencipta, Pemelihara, dan Pemerintah dari segala sesuatu, dan hanya Dialah satu-satunya yang layak disembah.

3. Kami percaya bahwa Allah dikenal dalam tiga pribadi – Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang hakikatnya tidak terpisah-pisahkan dan setara di dalam kuasa dan kemuliaan-Nya.

4. Kami percaya bahwa di dalam pribadi Yesus Kristus, hakikat ilahi dan manusiawi dipersatukan, sehingga Dia adalah Allah sejati dan manusia sejati.

(70)

mereka, semua orang telah menjadi berdosa, sama sekali kehilangan kemuliaannya, dan karenanya sama-sama terkena murka Allah.

6. Kami percaya bahwa Tuhan Yesus Kristus, melalui kematian-Nya telah melakukan penebusan bagi seluruh dunia sehingga barangsiapa yang percaya kepada-Nya akan diselamatkan.

7. Kami percaya bahwa pertobatan kepada Allah, iman kepada Tuhan kita Yesus Kristus, dan kelahiran kembali melalui Roh Kudus, adalah perlu bagi keselamatan.

8. Kami percaya bahwa kita dibenarkan oleh anugerah melalui iman kepada Tuhan kita Yesus Kristus dan bahwa ia yang percaya kepadanya mempunyai saksi di dalam Diri-Nya.

9. Kami percaya bahwa kelanjutan keadaan keselamatan tergantung kepada iman yang terus-menerus taat kepada Kristus.

10. Kami percaya bahwa adalah hak semua orang percaya untuk sepenuhnya dikuduskan dan bahwa seluruh roh, jiwa, dan tubuh mereka dapat dipertahankan tidak bercacat hingga kedatangan kembali Tuhan kita Yesus Kristus.

(71)

Pimpinan tertinggi Bala Keselamatan se-dunia berpangkat jenderal dan berkedudukan di London, Inggris. Kedudukan ini sekarang dijabat oleh Jenderal John Larsson, seorang berkebangsaan Swedia.

3.1.2 Bala Keselamatan di Indonesia

Kepulauan Indonesia yang dapat diibaratkan sebagai “Untaian ratna-mutu manikam yang mengelilingi khatulistiwa” merupakan salah satu kumpulan pulau-pulau yang terbesar di dunia serta strategis letaknya dengan kekayaan alam yang berlimpah-limpah. Tidaklah mengherankan, jika para pemimpin Bala Keselamatan telah melihat bahwa kepulauan ini mempunyai kemungkinan sangat besar untuk perluasan pekerjaan Bala Keselamatan.

Oleh karena itu, pada tanggal 24 November 1894, Jenderal William Booth - Pembangun Bala Keselamatan mengutus para opsir perintis dari negara Belanda untuk membuka pekerjaan Bala Keselamatan di Indonesia.

(72)

Adolf van Emmerik ke Hindia Belanda (sebutan bagi Indonesia pada waktu itu). Mereka berangkat dari Amsterdam pada bulan Oktober dan tiba di Indonesia pada hari Jumat, 24 November 1894 di Tanjung Priok.

Sebelum kedua perintis tersebut meninggalkan negeri Belanda, maksud dan tujuan mereka telah didengar oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena merasa takut akan gangguan yang akan timbul Pemerintah Hindia Belanda mengajukan keberatan serta mengirimkan surat kepada Pemerintah Pusat di Belanda agar melarang keberangkatan kedua opsir tersebut ke Jawa.

Dalam suatu wawancara dengan Menteri Urusan Tanah Jajahan Belanda, Komisioner Elvin Oliphant (Pemimpin Bala Keselamatan di negeri Belanda pada waktu itu) menjelaskan maksud dan tujuan Bala Keselamatan yang sama sekali tidak mencampuri urusan politik. Akhirnya Pemerintah Pusat di negeri Belanda mengirimkan surat sebagai jawaban kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar jangan merasa takut dan khawatir dengan kedatangan kedua opsir Bala Keselamatan itu.

(73)

untuk memulai pekerjaan mereka ialah Sapuran, sebuah desa kira-kira 50 km dari kota Purwokerto.

Untuk kelancaran pekerjaan, mereka mempelajari bahasa dan adat istiadat penduduk setempat. Segera kedua orang muda ini mendapat kepercayaan dari penduduk setempat. Dengan cara serta peralatan yang sederhana, mereka mulai mengabarkan Injil, merawat orang sakit, memberi makan kepada mereka yang lapar serta mengajar parapemuda-pemudi. Oleh karena permintaan dari beberapa keluarga yang beragama Kristen, maka untuk pertama kalinya sebuah gedung kebakt

Gambar

Gambar 1.1Penderita HIV/AIDS
Tabel 1.1Data Informan
Tabel 1.2Skedul Penelitian
Gambar 3.1Logo Bala Keselamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait