• Tidak ada hasil yang ditemukan

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan perhatian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan perhatian"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan

perhatian serius. Penyebaran HIV/AIDS sangat cepat dan hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat mengatasinya. Hal ini menyebabkan kematian akibat virus ini masih belum terkendali. United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) pada tahun 2015 melaporkan bahwa secara global hingga Juni tahun 2015 tercatat sekitar 36,9 juta orang terjangkit HIV, terdiri dari 34,3 juta dewasa dan 2,6 juta anak-anak (0-15 tahun).

Kasus pertama HIV dan AIDS di Indonesia ditemukan di Bali pada tahun 1987 dan penyebarannya meningkat sampai tahun 2015. Dibandingkan tahun 1987-2010, peningkatan kasus HIV terjadi lima kali lebih tinggi dalam waktu enam tahun. Indonesia telah digolongkan menjadi negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (conscentrade level epidemic), karena memiliki kantong-kantong epidemi dengan prevalensi lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu (Depkes RI, 2015). Pertumbuhan kasus HIV/AIDS pada sebagian besar negara mengalami penurunan. Sebaliknya, Indonesia merupakan salah satu dari sembilan negara di dunia yang mengalami peningkatan kasus orang dengan HIV dan AIDS (KPAN & IBCA, 2015).

Data tersebut menunjukkan bahwa penyebaran virus HIV sangat cepat. Kasus-kasus HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es. Terdapat banyak kasus yang belum menyeruak ke permukaan. Selain itu, data statistik tersebut tidak mencantumkan persebaran masalah kesehatan yang dialami oleh Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Menurut Nasronudin (2007), keberadaan HIV dalam tubuh manusia berperan sebagai stresor. Setidaknya terdapat tiga stresor yang terkait. Pertama, stresor biologis akibat HIV sendiri dengan gejala-gejala perjalanan penyakit, seperti komplikasi sistem saraf pusat dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Seseorang yang terjangkit virus HIV akan rentan terserang penyakit, karena virus ini bekerja dengan melemahkan sistem imun. Hal yang menjadi salah satu ciri kontaminasi virus ini yaitu mudahnya terkena infeksi oportunistik seperti tumor, kuman, dan jamur. Selain itu, ODHA harus menghadapi efek samping dari obat

Antiretroviral (ARV). Stresor kedua yaitu stresor psikologis akibat dinyatakan

terinfeksi HIV dan stresor ketiga yaitu stresor psikososial akibat stigma sosial dan diskriminasi yang tumbuh kembang di keluarga maupun di masyarakat.

(2)

Ketiga stresor tersebut menyebabkan ODHA sering diasosiasikan memiliki beban berat secara psikologis, perilaku, dan fisik. Stres terus menerus dan berkepanjangan yang ditimbulkan dari stigma sosial yang berhubungan dengan HIV/AIDS dan aturan hidup yang ketat juga dapat menjadi stresor yang berat bagi penyandang HIV/AIDS (Morin dkk., 2008). Perubahan fisik akibat dampak dari infeksi HIV akan menjadi tekanan psikologis dan sosial bagi ODHA. Demikian sebaliknya, stres psikologis dan sosial akan mempengaruhi fisik, dengan cara mempengaruhi sistem saraf pusat. Dampaknya, imunitas tubuh menurun, sehingga menyebabkan progresivitas penyakit ke arah AIDS (Djoerban & Djauzi, 2006).

Berdasarkan hasil asesmen awal yang dilakukan oleh peneliti dengan cara

focus group discussion (FGD) kepada lima orang penyandang HIV/AIDS di

Yogyakarta yang tergabung dalam sebuah Yayasan yang mengurusi penanganan HIV/AIDS (selanjutnya akan disebut Yayasan X), didapatkan data awal bahwa para ODHA mengaku kehidupan sosial yang nyaman bagi mereka hanyalah di lingkungan komunitas ODHA. Di luar itu mereka menutup jati diri mereka sebagai seorang ODHA. Terlebih bagi seorang Lelaki Seks Lelaki (LSL) atau lebih dikenal dengan sebutan homoseksual. Hidup sebagai homoseksual sekaligus penyandang HIV/AIDS sama saja dengan mendapatkan dua stigma yang membuat hidup mereka sehari-hari teramat sulit.

Hal tersebut nampak dari hasil lain FGD yang dilakukan oleh peneliti yang terungkap dari dua orang subjek ODHA laki-laki dengan faktor risiko homoseksual, mereka mengatakan bahwa hidup sebagai seorang homoseksual saja sudah mendapatkan tekanan dari masyarakat, ditambah dengan isu LGBT (Lesbian,

Gay, Biseksual, Transgender) yang saat ini menjadi isu nasional membuat diri

kaum LGBT menjadi terdiskriminasi. Selain itu mereka juga menerima stigma sebagai seorang ODHA.

Stigma yang melekat pada kaum homoseksual diantaranya mereka dilihat sebagai kaum hedonis dan sering berganti-ganti pasangan. Oleh karenanya mereka dianggap sebagai penyebar dan pengidap HIV/AIDS utama (Lyons, Heywood, & Rozbroj, 2016). Tak jarang pula mereka mengalami berbagai kasus pelecehan dan kekerasan, baik dari segi fisik, psikis, seksual, sosial, maupun ekonomi akibat stigma tersebut (Oetomo, 2001).

(3)

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (2015), kelompok berisiko untuk HIV/AIDS yaitu pengguna NAPZA yang menggunakan jarum suntik, heteroseksual, lelaki seks lelaki (LSL) yang berganti-ganti pasangan, dan lainnya yang tidak teridentifikasi. Jumlah penyandang HIV/AIDS pada pengguna napza sejumlah 802 orang, heteroseksual 9.873, lelaki seks lelaki (LSL) 4.241, dan yang tidak teridentifikasi sebanyak 4.677. Dari data tersebut terlihat bahwa LSL menyumbang proporsi yang cukup besar dalam statistik penyandang HIV/AIDS.

Dalam menghadapi situasi-situasi yang penuh tekanan dalam hidup serta perubahan kehidupan yang dialami, ODHA dengan faktor risiko homoseksual harus dapat menyesuaikan diri agar tetap bertahan dengan kondisi tersebut. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan kehidupan yang menekan ini menurut Crawford, Wright, dan Masten (2006) disebut dengan resiliensi.

Resiliensi merupakan perwujudan kualitas pribadi yang memungkinkan seseorang untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan (Vaishnavi, Connor, & Davidson, 2007). Herrick, Stall, Goldhammer, Egan, dan Mayer (2014) juga menjelaskan definisi dari resiliensi sebagai kemampuan untuk menghadapi tantangan dan bangkit kembali setelah mengalami pengalaman yang sulit. Skodol dkk. (2007) menemukan bahwa resiliensi mengacu kepada karakteristik individu yang membantu dalam mengatasi kesulitan, membuat individu mampu mengatasi stres di masa yang akan datang dan menjaga agar tidak mengalami gangguan mental saat berada di bawah tekanan. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk dapat beradaptasi pada situasi yang menekan dan mengembangkan strategi untuk bangkit dari situasi tersebut.

Individu yang cenderung fleksibel, beradaptasi dalam situasi baru dengan cepat, berkembang dalam perubahan yang konstan, dan memiliki harapan dan yakin akan bangkit kembali menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tingkat resiliensi yang tinggi (Siebert, 2005). Sementara itu, Sturgeon dan Zautra (2010) mengemukakan bahwa ketika dihadapkan pada situasi menekan, individu dengan tingkat resiliensi yang rendah cenderung bertindak kaku, tidak teratur, bahkan mungkin maladaptif.

Menurut Reich, Zautra, dan Hall (2010) dukungan sosial efektif dalam mereduksi stres. Dale dkk. (2015) menjelaskan bahwa resiliensi tidak hanya

(4)

tergantung pada atribut individu namun juga bergantung pada struktur pelindung yang berada di sekitar individu yaitu keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Dukungan sosial berperan penting dalam pembentukan resiliensi individu, khususnya bagi ODHA. Kelompok sosial memiliki arti yang penting bagi ODHA sebagai wadah untuk berkomunikasi, terlebih pada saat mengalami situasi yang penuh tekanan (Liu dkk., 2013). Hal yang penting dalam membuat intervensi untuk perubahan perilaku pada ODHA adalah menempatkan mereka dalam program dan lingkungan yang memiliki kebersamaan yang kuat sebagai elemen utama, dan menyediakan lingkungan ketika ODHA dapat mengalami hubungan yang sehat (Jones dkk., 2007). Selain itu nilai-nilai yang terdapat dalam proses saling mendukung pada kelompok sebaya sangat penting bagi mereka yang memiliki pengalaman terhadap penolakan (Feigelman, Gorman, Beal, & Jordan, 2008).

Penelitian yang melibatkan pemberian intervensi psikologis untuk penanganan resiliensi pada ODHA belum banyak dilakukan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Yuen dkk. (2013) menunjukkan bahwa intervensi psikologis yang diberi nama Personal Resilience and Enrichment Programme (PREP) memiliki dampak yang signifikan dalam meningkatkan resiliensi dan kesejahteraan psikologis pada ODHA. Di Indonesia, intervensi pada ODHA untuk penanganan aspek psikologis antara lain dilakukan oleh Risnawati (2011). Ia menemukan bahwa terapi Kognitif Perilakuan dengan metode psikoedukasi, relaksasi, thought

catching, uji realitas, interoceptive exposure, tugas rumah dan self presentation

efektif untuk menurunkan depresi pada ODHA.

Penelitian lain mengenai penanganan ODHA juga dilakukan oleh Effendy (2008). Ia menemukan bahwa pendekatan Psikologi Transpersonal dengan meditasi, visualisasi dan pujian membawa perubahan positif pada ODHA. Menurut Effendy (2008), Psikoterapi Transpersonal mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA pada aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Psikoterapi Transpersonal melalui pemusatan diri dapat memperbaiki sistem energi pada subjek penelitian, sehingga membawa perubahan kualitas hidupnya. Pemusatan diri tersebut menyebabkan terjadinya perubahan perilaku maupun perubahan sistem imun karena terjadi integrasi antara kondisi fisik, biologis/fisiologis, mental, jiwa, dan spirit.

Lebih lanjut, hasil lain FGD yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa bantuan yang disediakan oleh Yayasan X selama ini lebih berupa bantuan

(5)

medis, seperti pengobatan dan cek darah yang harus dilakukan rutin. Adapun bantuan psikologis belum ada. Padahal, bantuan psikologis sebenarnya sangat mereka perlukan. Mereka mengungkapkan bahwa ada kejenuhan dalam menjalani terapi ARV yang selama ini dijalani. Mengkonsumsi obat ARV selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun adalah hal yang melelahkan, bahkan pernah mereka berhenti mengkonsumsi obat karena merasa bosan dan lelah. Selain itu, mereka juga lelah menghadapi stigma yang berkembang dalam masyarakat. Mereka sering bertanya-tanya pada dirinya sendiri “sampai kapan aku harus hidup seperti ini terus.” Hal tersebut mengindikasikan adanya pesimisme dalam menjalani hidup. Untuk inilah intervensi psikologis sangat dibutuhkan.

Salah satu psikoterapi yang bertujuan untuk membangun potensi seseorang dan rasa optimisme yaitu Psikoterapi Positif (Seligman, Rashid, & Parks, 2006). Psikoterapi Positif adalah suatu intervensi yang berbasis Psikologi Positif untuk mengatasi permasalahan psikologis. Guney (2011) menyebutkan bahwa Psikoterapi Positif merupakan metode psikoterapi untuk meminimalisir terjadinya gangguan psikopatologi dengan metode membangun emosi positif, kekuatan, kebermaknaan hidup pada individu sebagai upaya mencapai kebahagiaan melalui optimisme, harapan, humor, dan ketahanan.

Selama ini penelitian mengenai intervensi psikologis pada ODHA hanya berfokus pada hal-hal yang negatif, seperti depresi dan kecemasan yang tidak diiringi dengan fungsi positifnya, sebagai contoh resiliensi. Kebutuhan untuk meningkatkan resiliensi melalui intervensi psikologis sangat diperlukan. Peningkatan resiliensi yang diikuti meningkatnya emosi positif melalui Psikoterapi Positif, terbukti dapat membantu meningkatkan kekebalan tubuh dan memperlambat perkembangan virus HIV/AIDS (Baumgardner & Crothers, 2010). Oleh karena itu, Psikoterapi Positif dapat digunakan sebagai alternatif penanganan psikologis untuk meningkatkan resiliensi pada ODHA.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa intervensi psikologis dalam kelompok memiliki dampak yang signifikan dalam menurunkan depresi pada ODHA karena melalui intervensi dalam kelompok individu mampu mengurangi tekanan psikososial, mengurangi isolasi sosial, dan meningkatkan

coping sesama penyandang HIV/AIDS melalui saling berbagi pengalaman

(6)

Hal di atas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yalom dan Leszcz (2005). Mereka menemukan bahwa intervensi dalam bentuk kelompok dapat meningkatkan harapan untuk berubah dan universalitas atau perasaan senasib. Selain itu, intervensi kelompok dapat meningkatkan rasa kebersamaan, altruisme atau rasa saling menolong antar anggota, belajar berhubungan baik dengan orang lain, peniruan tingkah laku yang cocok dari orang lain dalam kelompok, rasa kebersamaan, katarsis, dan pengertian akan dirinya sendiri dari refleksi diri maupun refleksi anggota kelompok. Oleh karena itu, peneliti berencana melakukan penelitian tentang Psikoterapi Positif dalam bentuk kelompok.

Seperti yang telah diungkapkan pada tulisan sebelumnya, permasalahan ODHA terletak pada beban yang harus mereka pikul seperti kondisi fisik yang menurun dan penyakit penyerta yang dialami dikarenakan virus yang ada dalam tubuh, isolasi, diskriminasi, pelecehan atau hinaan yang diterima dan perasaan tidak berharga, tidak berdaya, dan penolakan dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat dengan kondisi mereka. Hal ini memicu munculnya afek negatif yang lebih banyak dibandingkan afek positif sehingga ODHA memiliki resiliensi yang cenderung rendah. Selain itu kelompok dapat dijadikan wadah bagi para ODHA untuk saling terbuka, mendukung, dan menguatkan satu sama lain. Berkaitan dengan hal tersebut sangat penting bagi ODHA untuk meningkatkan afek positif mereka agar resiliensi meningkat. Oleh karena itu diperlukan intervensi yang cocok agar tujuan tersebut dapat tercapai. Psikoterapi Positif yang dilakukan dalam Kelompok diharapkan akan efektif membantu ODHA dalam meningkatkan resiliensi. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 (lihat halaman 7).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk menguji efek berkelanjutan Psikoterapi Positif Kelompok dalam meningkatkan resiliensi pada penyandang HIV/AIDS. Manfaat secara praktis dari penelitian ini yaitu menghasilkan modul Psikoterapi Positif Kelompok yang selanjutnya diharapkan dapat menjadi salah satu referensi penanganan resiliensi pada penyandang HIV/AIDS. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Psikoterapi Positif Kelompok dapat meningkatkan resiliensi pada lelaki homoseksual penyandang HIV/AIDS.

(7)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Psikoterapi Positif Kelompok untuk Meningkatkan Resiliensi pada Penyandang HIV/AIDS dengan

HIV/AIDS

Psikososial: stigma sosial diskriminasi oleh keluarga dan atau masyarakat.

ketakutan, putus asa, sulit menerima.

Problem Psikologis: Tingkat Resiliensi

Rendah - Merasa hidup tidak

berguna dan bermakna - Berperilaku maladaptif - Bertindak kaku - Tidak teratur Tidak Ditangani

- Kualitas hidup buruk - Kepatuhan minum obat

rendah

- Perilaku hidup tidak sehat - Imun tubuh menurun - Kematian lebih tinggi

Intervensi terbaik di dalam diri (Using

Your Strengths)

2. Tiga hal baik/berkah dalam hidup (Three Good Things) 3. Membuat kisah hidup terbaik

untuk dikenang (Life Summary)

4. Mengungkapkan rasa terima kasih (The Gratitude Visit) 5. Merespon orang lain secara

aktif dan konstruktif (Active-Constructive Responding) 6. Menikmati sesuatu dengan

menyenangkan (Savoring)

Perubahan yang diharapkan:

- Dapat mengkontrol emosi seperti tidak mudah merasa sedih, kesepian, dan pesimis.

- Termotivasi untuk melakukan aktivitas positif, menjadi produktif, dan bersemangat.

- Memiliki pikiran yang lebih positif, lebih percaya diri, menghargai diri, dan bertanggungjawab terhadap kesehatan dirinya sendiri.

- Berperilaku lebih baik pada diri sendiri, berani berinteraksi dengan orang lain tanpa kekhawatiran yang berlebihan.

- Bertanggungjawab terhadap kesehatan dengan menjaga pola makan, istirahat serta mengkonsumsi obat secara teratur.

Resiliensi Meningkat

Keterangan:

1. = Mengalami

2. = Intervensi yang diberi 3. = Dampak yang timbul 4. = Menyebabkan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Psikoterapi Positif Kelompok untuk Meningkatkan Resiliensi pada Penyandang HIV/AIDSdengan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini adalah dimensi jender dengan tinjauan sastra feminis pada novel Bibir Merah karya Achmad Munif dapat dilihat dari: (1) wanita dalam

Alhamdulillah, setelah melalui perjuangan panjang menaklukkan segala rintangan, melewati berbagai goncangan keputus-asaan dan tenggelam dalam samudra kegagalan yang

Hal ini menunjukkan bahwa inovasi, adopsi e-commerce, dan keunggulan kompetitif merupakan prediktor dari kinerja pemasaran sehingga UKM penting untuk memperhatikan dan

• Proses adjustment stock opname bisa dilakukan pada tanggal yang berbeda sehingga anda tidak perlu tutup toko seharian yang mengakibatkan kehilangan kesempatan untuk menjual

Dalam rangka mendukung pelaksanaan bakti sosial Mahasiswa STT Sul-Bar pada tanggal 25 Mei 2017 di Jemaat Patudaan Klasis Buttulangi, maka Panitia Pelaksana akan melakukan

Karena nilai signifikansi 0,775 > 0,05 maka tidak terdapat pengaruh pelanggan PLN di kota yang signifikan dengan interaksi model fak- tor kebebasan, faktor kemudahan dan faktor

4) Pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana. 5) Penetapan prosedur operasional sesuai dengan asas penye- lenggaraan informasi publik.. Laporan Pengelolaan dan

• Penataan Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi sangat penting untuk memungkinkan forest management dapat dilakukan secara lestari, sehingga luasan areal antara areal hijau / hutan