• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Simbolik Jilbab dalam Komunitas Berjilbab (Hijabers Community)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Makna Simbolik Jilbab dalam Komunitas Berjilbab (Hijabers Community)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA SIMBOLIK JILBAB DALAM KOMUNITAS BERJILBAB (HIJABERS COMMUNITY)

(Studi Kasus : Pada Komunitas Hijabers (Hijabers Community) Medan)

D I S U S U N OLEH : FITRI APRILLIA

080901074

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Fitri Aprillia

NIM : 080901074 Departemen : Sosiologi

Judul : Makna Simbolik Jilbab dalam Komunitas Berjilbab (Hijabers Community)

(Studi Kasus : Pada Komunitas Hijabers (Hijabers Community)

Medan)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Sosiologi

(Drs. Muba Simanihuruk, M.Si) ( Dra.LinaSudarwati,M.Si) NIP. 196602281990031002 NIP. 196603181989032001

Dekan FISIP USU

(3)

ABSTRAK

Komunitas hijabers menjadi yang pertama dan satu-satunya forum gerakan wanita muslim di Indonesia yang memberi gebrakan-gebrakan baru dalam berbusana dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Persepsi wanita berjilbab tidak bisa tampil modis dan trendi mereka patahkan dengan gaya berpakaian mereka yang sangat bergaya dan modern. Di sisi lain, mereka tetap berusaha untuk menjaga keimanan mereka dengan mempelajari agama secara lebih menarik. Pada saat ini jilbab menjadi sebuah gejala sosial yang dalam satu sisi bernilai positif dan sisi lain menyimpan nilai negatif. Jilbab kini diinterpretasikan sebagai subjektifitas individu, seperti banyak yang memahami berjilbab sebagai perintah agama dan sebuah keharusan,sugesti, fashion, dan ada pula yang beranggapan sebagai paksaan belaka. Sebagian menganggap jilbab telah kehilangan maknanya sebagai sebuah penutup, sebagai simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Johor. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas Hijabers yang berada di wilayah kota Medan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik wawancara, observasi, dan studi kepustakaan termasuk dokumentasi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari lapangan.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah, penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dan semoga Tuhan tetap melindungi pada hari yang akan datang. Penulis juga banyak dibantu oleh berbagai pihak yang turut mendukung penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagaimana mestinya.

Telah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studinya di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi. Untuk itu penulis menyusun skripsi dengan judul “Makna Simbolik Jilbab dalam Komunitas Berjilbab (Hijabers Community)”.

Kepada Ayahanda Suprianto dan Ibunda Ismawiyati, terima kasih atas kasih sayang, doa dan dukungannya baik moril maupun materil. Penulis hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan. Mohon maaf kepada orangtuaku jika selama ini banyak kesalahan yang diperbuat yang menyakitkan hati kalian. Skripsi ini penulis persembahkan buat kalian. Semoga Allah Yang Maha Esa memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada kita semua.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungan serta doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

(5)

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan dan pandangan dalam pengerjaan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing dan juga sebagai Dosen Wali yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan masukan, dan nasehat-nasehat yang berguna kepada penulis sehingga skripsi ini selesai.

4. Kepada adik-adikku Irza Farabi dan Khairul Fazri, terima kasih untuk doa dan dukungannya. Belajar yang baik, kejar terus cita-cita kalian demi membahagiakan orangtua.

5. Terima Kasih juga kepada Vikky Andriansyah, SE yang tidak pernah letih mengingatkan, memberi semangat, motivasi, dukungan serta doanya. 6. Seluruh staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara terima kasih telah banyak memberikan ilmu dan berbagi pengetahuan kepada penulis.

7. Kak Betty, Kak Feny dan seluruh staf pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam penyelesaian Administrasi.

8. Terima kasih kepada para sahabat yang selalu menyemangati dan mendoakan dari jauh.

(6)

10.Kepada para anggota hijabers Icho Farah, dr. Lissya Fitriana, Ayu Chairunnisa, Yenni Syahreni Siagian, Mita Novianty, Najwa Amelia Harahap, dan yang lainnya, terima kasih sudah membantu penulis dalam memberikan data untuk penyelesaian skripsi ini.

11.Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

Oleh karena keterbatasan penulis dalam mengerjakan skripsi ini, maka penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang berguna untuk penyempurnaan skripsi yang lebih baik lagi dihari-hari yang akan datang.

Akhir kata dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap orang yang membacanya. Semoga ilmu yang diperoleh penulis dapat dipergunakan dan diterapkan oleh penulis.

Medan, 24 Juni 2014

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Hal.

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Defenisi Konsep ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bidan Desa Agen Peningkatan Kesehatan Masyarakat .... 6

2.2 Sosialisasi Pemanfaatan Program Jaminan Kesehatan ... 7

2.3 Interaksi Sosial Bidan Desa dengan Masyarakat ... 8

2.4 Kerja Sama ... 10

2.5 Masyarakat Tradisional ... 11

2.6 Jaminan Persalinan dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ... 12

2.7 Tambahan ... 13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 14

(8)

3.3.1 Unit Analisis ... 17

3.3.2 Informan ... 18

3.3.2.1 Informan Kunci ... 19

3.3.2.2 Informan Tambahan ... 20

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 21

3.4.1 Data Primer ... 22

3.4.2 Data Skunder ... 23

3.5 Interpretasi Data ... 24

3.6 Jadwal Kegiatan ... 25

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 26

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA 4.1 Gambaran Kota Subulussalam ... 27

4.2 Gambaran Umum Desa Gunung Bakti ... 28

4.2.1 Letak Geografis ... 29

4.2.2 Kependudukan ... 30

4.2.2.1 Komposisi Penduduk Desa Gunung Bakti Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31

4.2.2.2 Komposisi Penduduk Desa Gunung Bakti Berdasarkan Agama ... 32

4.2.2.3 Komposisi Penduduk Desa Gunung Bakti Berdasarkan Etnis/Suku ... 33

(9)

4.2.2.6 Komposisi Penduduk Desa Gunung Bakti

Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 36

4.2.3 Fasilitas Pendidikan ... 37

4.2.4 Fasilitas Kesehatan ... 38

4.2.5 Fasilitas Keagamaan ... 39

4.2.2 Kependudukan ... 40

4.3 Gambaran Kondisi Ibu Hamil dan Bayi, Tempat Persalinan/Penolong Persalinan Desa Gunung Bakti ... 41

4.4 Karakteristik Informan ... 42

4.4.1 Informan Kunci ... 43

4.4.2 Informan Tambahan ... 44

4.5 Interpretasi Data ... 45

4.5.1 Peran Bidan Desa sebagai Agen Sosialisai dalam Meningkatkan Kesehatan Bayi, Ibu Hamil/Melahirkan Melalui Program Jaminan Persalinan... 46

4.5.2 Latar Belakang Bidan Desa Meningkatkan Persalinan Sehat Pada Masyarakat Desa gunung Bakti ... 47

4.5.3 Peran Serta Masyarakat Desa Gunung Bakti dalam Memajukan Program Jaminan Persalinan ... 48

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 49

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

 

(10)

ABSTRAK

Komunitas hijabers menjadi yang pertama dan satu-satunya forum gerakan wanita muslim di Indonesia yang memberi gebrakan-gebrakan baru dalam berbusana dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Persepsi wanita berjilbab tidak bisa tampil modis dan trendi mereka patahkan dengan gaya berpakaian mereka yang sangat bergaya dan modern. Di sisi lain, mereka tetap berusaha untuk menjaga keimanan mereka dengan mempelajari agama secara lebih menarik. Pada saat ini jilbab menjadi sebuah gejala sosial yang dalam satu sisi bernilai positif dan sisi lain menyimpan nilai negatif. Jilbab kini diinterpretasikan sebagai subjektifitas individu, seperti banyak yang memahami berjilbab sebagai perintah agama dan sebuah keharusan,sugesti, fashion, dan ada pula yang beranggapan sebagai paksaan belaka. Sebagian menganggap jilbab telah kehilangan maknanya sebagai sebuah penutup, sebagai simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Johor. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas Hijabers yang berada di wilayah kota Medan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik wawancara, observasi, dan studi kepustakaan termasuk dokumentasi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari lapangan.

(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Wanita muslim umumnya identik dengan hijab. Dalam agama Islam, berhijab diwajibkan bagi perempuan untuk menjaga fitrahnya. Adapun pengertian

hijab ini sebenarnya sangat luas. Menilik dari sejarah, kata hijab berasal dari bahasa Arab yang secara leksikal bermakna tirai, penghalang, dan sesuatu yang menjadi penghalang atau pembatas antara dua hal. Tetapi lebih sering digunakan untuk memisahkan ruangan seperti di mesjid-mesjid, khususnya antara lelaki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Dalam kitab suci Al Qur’an menyebut penutup seorang wanita dengan kata “hijab” yang artinya penutup secara umum yakni dalam QS. Al Ahzab {33}:53 . (Qadir, 2005:255)

Di Indonesia sendiri, hijab yang lebih sering merujuk pada kerudung atau jilbab ditunjukkan sebagai sesuatu yang selalu digunakan untuk menutupi bagian kepala hingga dada wanita. Namun dalam keilmuan Islam hijab tidak terbatas pada jilbab saja, namun merujuk pada tatacara berpakaian yang pantas sesuai dengan tuntunan agama (syari’). Meski demikian, beberapa pengertian tersebut sama-sama memiliki makna sebagai penutup atau penghalang (Sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Hijab).

(12)

tetap tinggal di rumah dan tidak pernah keluar darinya, tetapi hijab yang dimaksudkan adalah agar wanita menutup badannya ketika berbaur dengan laki-laki, tidak mempertontonkan kencantikan dan tidak pula mengenakan perhiasan (Muthahhari, 2008).

Terlepas dari segala dilema sejarah dan pengertiannya, jilbab dan pakaian yang menutupi sebagian besar tubuh wanita, diakui atau tidak adalah bagian dari tradisi dan ajaran agama-agama. Jilbab telah menjadi simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua agama menggunakan dan menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung, meski tidak semua menetapkannya sebagai kewajiban. Jilbab merupakan identitas tentang sebuah kebaikan, kesopanan dan ketaatan. Tetapi tentu saja jika dikaitkan dengan moralitas secara personal, tetap bergantung pada ahlak pemakainya.

Memakai hijab atau jilbab memang menjadi kewajiban setiap muslimah, tetapi sayangnya sampai saat ini banyak perempuan-perempuan yang masih enggan menggunakannya. Alasannya sangat beragam, dari hijab dianggap menghambat aktivitas, kurang gaya (stylish) dan sebagainya. Namun di kota Medan sendiri, ada komunitas khusus untuk wanita muslimah yang bernama

Hijabers Community atau Komunitas Hijabers Medan (HM). Komunitas tersebut baru saja dibentuk pada November 2010 lalu, namun keanggotaannya kini sudah mencapai 200 orang lebih wanita muslimah yang menggunakan hijab di Medan. (Harian Sumut Pos; Jum’at, 2 Maret 2012. Hal. 24).

(13)

sudah berkarir. Dari segi ekonomi, mereka termasuk ekonomi kelas menengah ke atas. Komunitas ini rutin melaksanakan pengajian sebulan sekali dari rumah ke rumah para anggotanya, menunjukkan kegiatan positif pada orang tua, lalu setelah pengajian buka sesi sharing dan cara berbusana dan berjilbab ala hijabers. Mereka selalu mengizinkan para orang tua memantau kegiatan mereka di pengajian untuk menghapus pandangan negatif bahwa pengajian identik dengan ajaran sesat dan terorisme. Setiap bulan, komunitas ini selalu memberitahu lokasi, tema dan pemateri pengajian kepada setiap anggotanya atau kepada umum di berbagai jejaring sosial seperti facebook, twitter, blacberry massenger. Terkadang di setiap

tausyiah (pertemuan pengajian) mereka juga menggunakan dress code tertentu agar terlihat seragam (Tribun Medan; 26 Februari 2012. Hal. 10).

Namun meski telah berusaha menunjukkan berbagai sisi positifnya, beberapa orang mengidentikkan Komunitas Hijabers dengan kaum “sosialita” atau “sosialita berjilbab” mengingat betapa modisnya mereka berbusana dan melihat dari foto-foto kegiatan yang telah mereka publish (diterbitkan) di beberapa jejaring sosial baik di Blog, Facebook, dan Twitter, memang anggota komunitas ini sebagian besar terlihat berasal dari kalangan menengah ke atas. Pakaian dan aksesoris jilbab yang merekagunakan pun sangat trendi dan terkesan mewah.

(14)

fashionable (modern). Tapi kini tidak sedikit perempuan muslim yang memakai jilbab di lingkungan kerja, di kampus-kampus atau sekolah, di mall-mall, bahkan untuk kegiatan olahraga pun tidak menghalangi perempuan untuk memakai jilbab. Dalam perspektif sosiologi agama, jilbab adalah suatu gejala yang terkait dalam dimensi sosial. Jilbab adalah salah satu perintah dalam agama Islam yang diwajibkan kepada kaum wanita untuk mengenakannya. Namun pada saat ini jilbab menjadi sebuah gejala sosial yang dalam satu sisi bernilai positif dan sisi lain menyimpan nilai negatif. Jilbab kini diinterpretasikan sebagai subjektifitas individu, seperti banyak yang memahami berjilbab sebagai perintah agama dan sebuah keharusan, sugesti, fashion, dan ada pula yang beranggapan sebagai paksaan belaka.

(15)

Dari sisi sosiologi, ini juga termasuk kedalam stratifikasi sosial karena merujuk pada kelompok. Pengelompokkan terhadap suatu komunitas didasarkan pada simbol-simbol tertentu yang dianggap berharga baik secara sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Artinya selama ada yang dianggap berharga atas simbol-simbol ini dalam suatu komunitas maka selama itu pula akan ada stratifikasi sosial dalam kelompok sosial atau komunitas.

Komunitas hijabers ini jelas telah menjadi sebuah fenomena dan sorotan. Persepsi wanita berjilbab tidak bisa 'gaul', modis, dan trendi mereka patahkan dengan gaya berpakaian mereka yang sangat fashionable (modern) dan up to date

(sesuai zaman/ mengikuti tren terkini). Di sisi lain, mereka tetap berusaha untuk menjaga keimanan mereka dengan mempelajari agama secara lebih menarik. Adanya komunitas hijabers tentu menuai banyak pro dan kontra. Mereka yang pro akan komunitas ini sebagai gerakan pembaharuan islam, pembaharuan persepsi mengenai wanita berjilbab dalam islam yang terkesan sangat tertutup. Sementara, pertanyaan-pertanyaan mengenai kesyar'ian jilbab akan terus dilancarkan mereka yang kontra dengan adanya fenomena sosialita berjilbab. Berdasarkan dari beberapa uraian di atas maka timbul ketertarikan dan rasa keingintahuan penulis untuk meneliti lebih dalam tentang makna simbolik jilbab dalam komunitas

hijabers Medan.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi rumusaan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana makna simbolik jilbab dalam Komunitas

(16)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dari permasalahan diatas untuk memahami serta menganalisis bagaimana pemaknaan jilbab di dalam komunitas hijabers mengenai jilbab yang mereka kenakan sebagai suatu simbol.

1.4Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk diri sendiri ataupun orang lain, terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan konstribusi baik secara langsung ataupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Sosiologi khususnya untuk menambah kajian tentang Pengembangan Masyarakat, Sosiologi Perkotaan serta Sosiologi Pembangunan.

(17)

1.5Defenisi Konsep 1.5.1 Makna Simbolik

Makna simbolik erat kaitannya dengan interaksionisme simbolik. Menurut Herbert Blummer, istilah interaksionisme simbolik merujuk pada sifat khas dari interaksi antar manusia, yaitu manusia saling menerjemahkan dan mendefenisikan tindakannya. Interaksi bukan hanya reaksi belaka dari tindakan orang lain, melainkan atas “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain. Sedangkan interaksi tersebut biasanya diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk memahami maksud dari tindakan masing-masing. Jadi dapat disimpulkan bahwa makna simbolik itu adalah suatu proses percakapan pada diri sendiri tentang bagaimana seseorang itu memaknai, menginterpretasikan atau mendefinisikan sesuatu lalu kemudian memutuskan bertindak dan berinteraksi dengan individu lain berdasarkan makna tersebut. Tindakan yang dihasilkan dari pemaknaan simbol tersebut merupakan karakeristik khusus dalam tindakan sosial itu sendiri dan proses sosialisasi.

Dalam interaksionisme simbolik, seseorang memberikan informasi hasil dari pemaknaan simbol dari perspektifnya kepada orang lain. Dan orang-orang yang menerima informasi tersebut bisa jadi akan memiliki perspektif lain dalam memaknai informasi yang disampaikan oktor pertama tadi. Dengan kata lain aktor akan terlibat dalam proses saling mempengaruhi tindakan sosial.

1.5.2 Jilbab

(18)

berbeda-beda. Di India disebut chador, di India dan Pakistan disebut pardeh, di Libya milayat, di Irak abaya, di Turki charshaf, dan tudung di Malaysia. Sementara di negara Arab-Afrika disebut hijab.

Di Indonesia, penggunaan kata “jilbab” digunakan secara luas sebagai busana kerudung yang menutupi sebagian kepala perempuan (rambut dan leher) yang dirangkai dengan baju yang menutupi tubuh kecuali telapak tangan dan kaki.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan ke-7 tahun 1984 belum ada kata jilbab, kata yang digunakan adalah kata yang belum populer saat itu yaitu hijab yang merujuk pada kain penutup aurat bagi perempuan muslim. Namun dalam kosakata KBBI tahun 1990, jilbab merupakan kerudung lebar yang dipakai perempuan muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai ke dada. Kesimpulannya, hijab merupakan pakaian yang menutupi bagian tubuh (aurat) perempuan secara keseluruhan, sedangkan jilbab merupakan kain yang menutupi bagian kepala, rambut, leher hingga ke dada.

1.5.3 Komunitas Sosial

(19)

1.5.4 Komunitas Hijabers

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hijab sebagai Pemaknaan Sosial

Seperti yang dikutip penulis dalam Fadwa El Guindi (2005:30), jilbab secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris, yaitu veil. Veil mempunyai empat dimensi pengertian, yaitu “dimensi material”, “dimensi ruang”, “dimensi komunikasi”, dan “dimensi religius”. Dimensi material berisi pakaian dan ornamen-oranamen seperti jilbab dalam arti bagaian dari pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan wajah, atau dalam arti hiasan yang menutup topi dan menggantung di depan mata. Dalam penggunaan ini veil tidak saja menutupi wajah, tetapi terus memanjang samapai kepala dan bahu. Dimensi ruang, mengartikan veil sebagai layar yang membagi ruang secara fisik, sedangkan dimensi komunikatif menekankan pada makna penyembunyian dan ketidaktampakkan. Kemudian yang terakhir, dimensi religius mengartikan kata veil sebagai pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual (tidak kawin), sebagaimana kehidupan atau sumpah biarawati.

(21)

selayaknya kesucian dari sebuah jilbab yang dikenakannya. Masyarakat berasumsi dan mengharapkan bahwa semua muslimah yang berjilbab itu sholeha, baik budi pekerti dan tutur bahasanya, karena pemikiran mereka tentang kesucian jilbab tadi, padahal belum tentu semua muslimah yang berjilbab sama seperti apa yang mereka fikirkan.

2.2 Komunitas Hijabers Sebagai Kelompok Sosial

Kelompok sosial adalah kesatuan sosial yang terdiri dari kumpulan individu yang hidup bersama dengan mengadakan hubungan timbal balik yang cukup intensif dan teratur, sehingga diharapkan pembagian tugas, struktur, serta norma-norma tertentu yang berlaku. (Syarbaini, 2009: 39). Kelompok sosial juga merupakan inti kehidupan dalam masyarakat, dari kelompok akan diperoleh orientasi seseorang di dunia. Keanggotaan dan partisipasi dalam dalam kelompok sosial pun memberikan kepada seseorang suatu perasaan memiliki (Henslin, 2006: 120). Kelompok sosial bukan merupakan kelompok statis. Setiap kelompok sosial pasti mengalami perkembangan serta perubahan. Beberapa kelompok sosial sifatnya lebih stabil daripada kelompok sosial lainnya, atau dengan kata lain strukturnya tidak mengalami perubahan yang mencolok. Ada pula kelompok sosial yang mengalami perubahan sebagai akibat proses formasi ataupun reformasi dari pola-pola di dalam kelompok tersebut karena pengaruh dari luar.

Kelompok sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(22)

2. Adanya sikap In-group dan Out-group, apabila orang lain di luar kelompok itu bertingkah laku seperti mereka, anggota kelompok akan menyingkirkan diri. Sikap menolak yang ditunjukkan oleh kelompok itu disebut sikap Out-group atau sikap terhadap orang luar. Kelompok tersebut menunjukkan orang luar untuk membuktikan kesediaannya berkorban bersama dan kesetiakawanannya, dan kemudian menerima orang itu dalam segala kegiatan kelompok. Sikap menerima disebut sikap In-group atau sikap terhadap “orang dalam”.

3. Adanya solidaritas, solidaritas adalah kesetiakawanan antar anggota kelompok sosial. Terdapatnya solidaritas yang tinggi dalam kelompok tergantung kepada kepercayaan setiap anggota akan kemampuan anggota lain.

4. Adanya struktur kelompok, adanya suatu sistem mengenai relasi antar anggota kelompok berdasarkan peranan dan status mereka serta sumbangan masing-masing dalam interaksi kelompok untuk mencapai tujuan tertentu(Soetarno, 1994: 31-34 dalam Huraerah dan Purwanto, 2005: 6-7)

(23)

berhubungan timbal-balik dengan kegiatan dan interaksi. Jika salah satu elemen ini berubah, maka kedua yang lainnya akan mungkin berubah.

Dalam kelompok juga akan ditemukan kekompakan di antara anggotanya, kekompakan kelompok adalah tongkat kebersamaan yang menggambarkan ketertarikan anggota kelompok kepada kelompoknya dan hal ini meliputi tiga klasifikasi pengertian, yaitu:

1. Sebagai daya tarik kelompok terhadap anggota-anggotanya 2. Sebagai koordinasi dan usaha-usaha anggota kelompok

3. Sebagai tindakan motivasi anggota kelompok untuk mengerjakan berbagai tugas kelompok dengan penuh semangat dan efisien

Sementara itu, Luancevich menjelaskan enam faktor yang dapat meningkatkan kekompakan kelompok, yaitu:

1. Kesepakatan anggota terhadap tujuan kelompok 2. Tingkat keseringan berinteraksi

3. Adanya keterikatan pribadi

4. Adanya persaingan antar kelompok

5. Adanya evaluasi yang menyenangkan, dan

6. Adanya perlakuan antar anggota dalam kelompok sebagai manusia bukan mesin (Carolin Nitimihardjo dan Jusman Iskandar, 1993: dalam Huraerah dan Purwanto, 2005)

2.3 Trend Hijab dalam Perubahan Sosial

(24)

hijab masa kini. Berhijab bukan lagi karena faktor agama namun lebih kepada faktor sosial-budaya yang sedang mengitarinya. Munculnya kreasi dan variasi dalam dunia jilbab saat ini menjadikan hijab sebagai budaya pop yang sedang menjamur di kalangan masyarakat. Para wanita muslimah yang berjilbab seakan berevolusi dan berusaha “tampil” di dalam dunianya dengan selalu mencari dan menukar gaya penampilannya dengan ide-ide baru yang ada di dunia fashion terkini. Bahkan yang sebelumnya belum ingin berhijab karena faktor ketidaksiapan jasmani rohani, kini seperti berlomba-lomba menunjukkan penampilan baru mereka dengan hijabnya.

Budaya pop atau pop culture ini dalam Ridho Al-Hamdi (2009: 2) merupakan budaya yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan. Selain itu, budaya pop disebut juga sebagai budaya tinggi, dimana menurut John Storey yang dikutip penulis dalam Ridho Al-Hamdi (2009), adalah kreasi dari hasil kreatifitas individu. Budaya pop juga disebut sebagai budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi oleh massa, dan budaya massa dianggap sebagai dunia impian secara kolektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa “budaya pop” adalah budaya hasil kreatifitas individu atau masyarakat yang disukai oleh banyak orang karena dianggap sebagai dunia impian yang menyenangkan.

(25)

kehadiran komunitas wanita berjilbab seperti hijabers community, yang selain menampilkan ide-ide kreatifitas baru dalam berhijab, kehadiran mereka tampaknya juga menginspirasi banyak wanita muslimah sehingga banyak yang tertarik untuk ikut menjadi bagian dari komunitas-komunitas hijaber yang ada agar dikatakan “gaul”.

2.4 Interaksionisme Simbolik

Teori Interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran simbol atau komunikasi yang sarat makna. Teori interaksionisme simbolik mulai berkembang pada pertengahan abad ke-20. interaksionisme simbolik berakar dari dua kata yang bermakna berbeda, yaitu interaksi dan simbol.

(26)

Setelah Mead meninggal, Herbert Blumer, yang juga merupakan salah satu sosiolog di Universitas Chicago, mengambil alih seluruh karyanya serta membenahi teori sosialnya dan menamai gagasan Mead tersebut: interaksionisme simbolik. Blumer sendiri juga terpengaruh oleh pemikiran Herbert Mead tentang interaksionisme simbolik. Karya Blumer yang terkenal dalam perspektif teori ini adalah kumpulan esainya yang berjudul Symbolic Interactionism: Perspective and Method.

Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, yakni masyarakat.

Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.

(27)

atas sampai bawah dengan tatapan aneh, mereka akan menganggap wanita tersebut tidak mempunyai nilai-nilai kesopanan dan nilai-nilai agama. Maka dapat disimpulkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi antara wanita berbusana sexy

tersebut dengan masyarakat kota dan di desa dilandasi dengan pemikiran-pemikiran yang berbeda.

Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan. Dalam contoh yang sama apabila kita memaknai wanita yang berbusana sexy tersebut sebagai hal yang wajar dan patut dikagumi maka kita menganggap bahwa pada kenyataannya berbusana sexy memang benar hal yang wajar dan patut dikagumi, begitu pula sebaliknya.

Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other (Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka). Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).

(28)

Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif.

Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama seperti dalam konteks wanita berbusana sexy tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkannya dengan cara atau maksud yang sama dengan orang lain. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri.

Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.

Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.

(29)
(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Dalam mengumpulkan data lapangan, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Dengan menggunakan penelitian kualitatif peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai Makna Simbolik Jilbab Dalam Komunitas Hijabers yang berada di wilayah Medan Johor. Penelitian kualitatif digunakan untuk melihat individu secara utuh serta berusaha untuk menggambarkan fenomena yang terjadi.

Pendekatan kasus atau case study adalah penelitian mendalam mengenai unit sosial tertentu yang hasilnya merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisasi baik mengenai unit tersebut. Tergantung pada tujuannya, ruang lingkup penelitian itu mungkin mencakup keseluruhan siklus kehidupan atau hanya segmen-segmen tertentu saja. Studi ini mungkin mengkonsentrasikan diri pada faktor khusus tertentu atau dapat pula mencakup keseluruhan faktor-faktor dan kejadian. Tujuan dari penelitian kasus adalah untuk mempelajari secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial baik individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. (Sumadi Surybrata, 2002:22)

3.2Lokasi Penelitian

(31)

diperlukan. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Johor. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut, karena komunitas tersebut berdomisili di Kecamatan Medan Johor dan komunitas tersebut belum memiliki sekretariat yang tetap, tetapi lokasi perkumpulan Komunitas Hijabers ini berada di kediaman Ketua HM (Hijab Medan).

3.3Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas Hijabers yang berada di wilayah kota Medan.

3.3.2 Informan

Adapun informan dalam penelitian ini dibagi berdasarkan kriteria yang menjadi pokok utama dalam penelitian ini, yakni :

1. Tercatat di dalam Komunitas Hijabers +1 Bulan 2. Usia +20 tahun dan minimal sudah berkuliah 3. Mengetahui Trend Hijab masa kini

3.4 Teknik Pengumpulan Data

(32)

3.4.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang didapat dengan cara melakukan penelitian lapangan, yaitu pengumpulan data dengan langsung terjun ke lokasi penelitian yang dapat digunakan melalui:

1. Wawancara mendalam (depth interview), yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Metode wawancara mendalam sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan wawancara, peran informan dan cara melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya. Wawancara mendalam dilakukan berkali-kali dengan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian. (Bungin,2007:108). Alasan mengapa peneliti melakukan metode penelitian ini agar peneliti lebih leluasa dalam melakukan penelitian karena dapat berhadapan langsung dengan objek penelitian dan lebih dapat menggali informasi-informasi yang dibutuhkan mengenai permasalahan yang diteliti.

2. Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya. Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin,2007:115).

(33)

yang mereka gunakan meliputi model jilbab, gaya berpakaian (fashion style), gaya hidup, cara berkomunikasi mereka, serta hal yang berhubungan lainnya. 3.4.2 Data sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari objek penelitian secara tidak langsung. Data sekunder ini diperoleh dari studi kepustakaan dengan mengumpulkan data dari buku, artikel, surat kabar, internet, maupun media lainnya yang terpercaya yang dianggap relevan dengan penelitian.

3.5 Interpretasi Data

Data-data yang sudah dikumpulkan akan diinterpretasikan dengan menggunakan teori dalam kajian pustaka, sampai pada akhirnya akan berbentuk laporan yang sudah di atur, diurutkan, di kelompokkan ke dalam kategori. Disini peneliti akan mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, selanjutnya akan dipelajari sehingga menghasilkan kesimpulan yang baik. (Hasan, 2002:137) Sehingga pada akhirnya dapat memahami dan menemukan jawaban dari penelitian tersebut.

3.6Jadwal Kegiatan

No. Kegiatan

Bulan Ke -

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 ACC Judul

3 Penyusunan Proposal Penelitian

(34)

5 Revisi Proposal

6 Penelitian Ke Lapangan

7 Pengumpulan dan Analisis Data

8 Bimbingan Skripsi

9 Penulisan Laporan Akhir

10 Sidang Meja Hijau

3.7Keterbatasan Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini penulis mengalami beberapa kendala dan keterbatasan yaitu:

1. Dalam memperoleh informasi, penulis kesulitan untuk bertemu dengan informan dikarenakan para informan memiliki kesibukan masing-masing, terutama informan yang sudah lama menjadi anggota komunitas semenjak terbentuk, karena kebanyakan sudah bekerja dan sudah pindah ke luar kota. Sedangkan yang masih mahasiswi sulit menyesuaikan dengan jadwal kuliahnya.

(35)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Kota Medan

Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini merupakan wilayah yang subur di wilayah dataran rendah timur dari Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian berada 22,5 meter di bawah permukaan laut. Kota ini dilalui oleh dua sungai yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka.

(36)

dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan salah satu masalah utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi dimensional yang fenomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. (http://www.pemkomedan.go.id/mdntem.php)

Adapun batas-batas wilayah Kota Medan adalah sebagai berikut: Sebelah utara : berbatasan dengan Selat Malaka

Sebelah selatan : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang Sebelah barat : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang Sebelah timur : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

(37)

domestik maupun internasional. Kota Medan beriklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm per tahun. Suhu udara di Kota Medan berada pada maksimum 32,4º C dan minimum 24º C (Sumber: www.usu.ac.id).

Kota Medan memiliki sebanyak dua puluh satu kecamatan antara lain sebagai berikut:

1. Kecamatan Medan Amplas 2. Kecamatan Medan Area 3. Kecamatan Medan Barat 4. Kecamatan Medan Baru

5. Kecamatan Medan Belawaan Kota 6. Kecamatan Medan Deli

(38)

19.Kecamatan Medan Tembung 20.Kecamatan Medan Timur 21.Kecamatan Medan Tuntungan

(http://www.pemkomedan.go.id/mdntem.php)

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka.

4.1.2 Gambaran Umum Kecamatan Medan Johor

Kecamatan Medan Johor terletak di wilayah Selatan Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut :

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Selayang 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Amplas 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang 4. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Polonia

Kecamatan Medan Johor dengan luas wilayahnya 16,96 KM², dan 6 kelurahan yaitu:

(39)

Kecamatan Medan Johor adalah merupakan daerah pemukiman di Kota Medan di sebelah Selatan, dan merupakan daerah resapan air bagi Kota Medan, dengan penduduknya berjumlah : 123.851 Jiwa (2011) . Di Kecamatan Medan Johor ini banyak terdapat perumahan-perumahan kelas menengah dan mewah, daerah ini sangat potensial bagi para investor yang bergerak dibidang Real Estate, disamping itu juga sangat berpotensi dibidang agrobisnis dan pendidikan. Disini juga terdapat Balai Pembibitan Pertanian dan sebuah Asrama Haji yang besar dan megah dengan pelayanan hajinya setiap tahun sering mendapat penghargaan secara Nasional. Walaupun bukan sebagai daerah pusat industri di Kecamatan Medan Johor ini juga terdapat beberapa industri kecil seperti Pengolahan Kopi dan Produk Minuman ringan.

4.1.3 Gambaran Komunitas Hijabers di Kota Medan

4.1.3.1 Sejarah munculnya dan Perkembangan Komunitas Hijabers di Kota Medan

Komunitas hijabers di kota Medan terbentuk sejak November 2010.

(40)

Menurut Icho sang ketua, awalnya komunitas ini hanya dibentuk secara spontan, sewaktu ia bersama teman-teman dekatnya sedang berkumpul disuatu acara arisan mereka. Icho iseng melontarkan bahwa ingin menamai kelompok mereka dengan sebutan komunitas hijabers dan lantas kepikiran untuk membentuk sebuah komunitas yang unik dan mempunyai kegiatan-kegiatan positif, tetapi pada saat itu Icho belum mengetahui bahwa sudah ada juga komunitas hijabers di Jakarta dan cabang-cabangnya di kota-kota lain sekitar pulau Jawa. Pada saat sudah sebulan terbentuk barulah ia tahu tentang komunitas hijabers di Jakarta tersebut dan berkeinginan menjalin dan menjadi cabang resmi mereka juga.

(41)

Seiring berkembangnya jumlah anggota, berkembang pula jenis kegiatan yang ada dalam komunitas ini. Ide-ide tersebut sebagian datang dari para anggota, yang kemudian diwujudkan oleh pengurus. Jenis kegiatan lainnya yang pernah dilakukan komunitas hijabers selain pengajian adalah bazaar busana muslim, dakwah, tutorial make up hijab and sharing, seminar,

charity, fashion show, dan lain-lain. Setiap kegiatan mereka selalu terbuka untuk umum, siapa saja boleh mengikuti meski tidak harus menjadi anggotanya.

Adapun Visi Misi dari Hijabers Medan adalah:

1. Mempersatukan semua kelompok/ individu wanita pemakai Hijab di Medan dalam satu wadah, dan kiranya juga dapat mempersatukan seluruh muslimah di seluruh Indonesia dalam naungan Hijabers Community

2. Mengangkat citra positif hijab dan mensosialisasikan hijab

(bertanggung jawab menjaga nama baik hijab, baik sebagai perkelompok maupun pribadi)

3. Merangkul semua individual yang belum dan yang sedang dalam proses belajar memenuhi kewajibannya untuk ber-hijab

(42)

4.1.3.2 Interaksi Sosial dalam Komunitas Hijabers

Dalam sebuah komunitas selalu ada interaksi, begitu juga dalam komunitas hijabers ini. Meskipun jumlah anggotanya cukup banyak namun tidak selalu ada dalam setiap kegiatan komunitas ini. Menurut Icho, hanya sedikit yang benar-benar ingin bergabung, sebagian hanya sekedar ikut-ikutan, terkadang hanya ikut dalam sekali pengajian lalu selanjutnya tidak pernah muncul lagi. Jadi tidak heran apabila anggota yang lain ada yang tidak kenal atau lupa, meskipun disetiap pertemuan ada sesi perkenalan jika ada anggota baru. Tetapi banyak juga yang benar-benar ingin bergabung, menambah pengalaman dan kenalan, hingga di luar kegiatan komunitas pun masih sering bertemu dan menjadi akrab dengan para pegurus maupun anggota lainnya. Mereka-mereka yang sudah akrab dan mengakrabkan diri ini suka berkumpul diluar meski tidak di kegiatan komunitas, mereka sering janjian hang out di mall-mall, restoran atau cafe-cafe kalangan menengah ke atas, hanya untuk sekedar makan siang atau ngopi-ngopi sambil ngobrol. 4.1.4 Lokasi

(43)

4.2 Profil Informan

Profil informan dalam penelitian ini merupakan perempuan berjilbab yang tergabung dalam satu komunitas hijabers di kota Medan ini. Berikut adalah daftar anggota komunitas hijaber yang menjadi informan dalam penelitian ini:

1. Icho Farah

Icho adalah seorang wanita lajang berusia 24 tahun yang berprofesi sebagai seorang konsultan di sebuah bisnis MLM produk kecantikan. Ketika ditemui dirumahnya yang berada di Jalan Karya Kasih, kecamatan Medan Johor, yaitu di komplek Bukit Johor Mas, dia tidak sedang mengenakan jilbab namun memakai pakaian sopan, celana jeans dan kaus lengan panjang warna abu-abu. Setelah membukakan pintu pagar dia langsung menyodorkan tangan memperkenalkan diri dengan ramah, lalu langsung menggiring saya masuk lewat pintu belakang dan naik ke lantai 2, ketika melewati dapur dia bicara sebentar dengan asisten rumah tangganya agar membuatkan minuman buat kami. Tiba di atas dia menyuruh penulis duduk sembari menunggunya yang kemudian masuk kekamarnya sebentar. Saat diperhatikan tampaknya dia baru selesai mandi, wajahnya terlihat segar natural tanpa make up, rambutnya masih agak sedikit basah, dan harum sekali.

(44)

Ia bercerita banyak mengenai komunitas hijabers ini karena dia termasuk salah satu founder atau pencetus dari lahirnya komunitas ini di Medan dan kebetulan dipilih menjadi ketuanya.

2. dr. Lissya Fitriana

(45)

Kesan pertama saat bertemu dan berkenalan, dia sangat ramah, murah senyum, dan baik. Pada saat mengobrol dia juga sempat menawari snack dan minuman yang ada di mobilnya. Dia masih keliatan muda sekali, badannya juga mungil, hitam manis, hidungnya juga mancung. Saat itu dia mengenakan pakaian dan hijab dengan gaya santai tapi colurful, sangat serasi dengan pembawaannya yang ceria. Tidak ada kesulitan yang berarti dalam wawancara, lissya cukup mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan penulis dan menjawab dengan jelas dan kooperatif.

3. Ayu Chairunnisa

Merupakan seorang teller di Bank Mandiri syariah. Usianya 22 tahun. Ayu juga termasuk yang merespon baik saat dihubungi oleh penulis, terasa cukup ramah. Tidak terlalu sulit bertemu dengannya, walaupun dia tidak bisa ditemui di suatu tempat tetapi dia bisa ditemui di kantornya. Hanya satu hari mengatur janji waktu bertemu, esoknya langsung bisa bertemu. Siang itu sekitar pukul 2 siang di hari Kamis, penulis mendatangi kantornya yang terletak di Jalan Sei Belutu. Suasana di kantornya tidaklah terlalu ramai, ternyata dia bekerja di bidang khusus untuk tabungan haji dari Bank Mandiri Syariah. Waktu itu tampaknya dia sedang tidak terlalu sibuk, begitu pun teman-teman sekantornya. Mereka baru selesai makan siang.

(46)

wawancara tidak selesai pada hari itu juga, dikarenakan dia ada pekerjaan lagi sehingga keesokannya penulis harus datang kembali. Draft wawancara penulis tinggalkan padanya, agar ia bisa mengisi data pribadinya. Keesokan harinya yaitu hari Jum’at, penulis dimintanya datang lebih awal karena dia akan pulang cepat dan sudah ada janji. Sekitar pukul 11 penulis datang mengambil quesioner, lalu melanjutkan wawancara untuk melengkapi data yang diperlukan. Di hari kedua ini dia lebih membuka diri lagi dan sangat bisa menjawab semua pertanyaan dengan baik dan lengkap, tidak terkesan terburu-buru. Tidak sampai 30 menit penulis selesai melengkapi data.

4. Yenni syahreni siagian

(47)

karena ternyata Icho diundang oleh komunitas mereka dan dia datang bersama Yenni. Penulis pun disuruh ikut bergabung dalam acara mereka, setelah hampir 30 menit acara berlangsung dan kemudian selesai saat menjelang maghrib. Penulis langsung memulai mewawancarai Yenni, yang kebetulan saat itu sedang berhalangan sholat maghrib sama seperti penulis sehingga saat teman-teman komunitasnya menjalankan sholat maghrib, penulis bersama Yenni pun menyelesaikan wawancara angket. Di luar dugaan, ternyata informan yang satu ini sangat ramah dan welcome , juga bisa menangkap maksud pertanyaan penulis dengan cepat, sama sekali tidak ada kesulitan dalam mewawancarainya. Sembari bercakap-cakap, dia juga menawari penulis makan durian yang sudah dipesannya. Tidak berapa lama setelah selesai wawancara, penulis pun pamit pulang duluan karena informan masih harus melakukan meeting bersama teman-temannya.

5. Mita Novianty

(48)

dalam kegiatan apa saja, bukan tipe orang yang pendiam atau mahasiswi yang sekedar kuliah. Ia memutuskan memakai jilbab saat tahun keduanya berkuliah. Tak berapa lama ia berjilbab, dia masuk ke dalam komunitas hijabers ini. Saat wawancara ia begitu terbuka, dan menjawab dengan tegas dan jelas meski cenderung singkat, tapi masih bisa diatasi oleh penulis dengan bertanya lebih dalam lagi.

6. Najwa Amelia Harahap

Najwa merupakan seorang mahasiswi Kedokteran USU semester IV. Dia tinggal bersama orang tua beserta 2 adiknya di Jl.Bhayangkara, gang mesjid no.12, dan dia anak kedua. Saat dihubungi pertama kali via Blackberry Messanger, respon wanita berusia 20 tahun ini sangat ramah dan sopan, dia langsung mengiyakan waktu diajak ketemuan. Tapi kesulitannya cukup lama juga mengatur waktu dengan jadwal kuliahnya yang memang cukup padat, sekalinya ada waktu luang dia sudah ada janji. Sekitar 5 hari setelah itu akhirnya bisa juga bertemu langsung dengannya. Kamis sore, sekitar pukul 4 setelah pulang kuliah, dia menghampiri saya yang sudah menunggu di suatu cafe di daerah dokter mansyur dekat kampus USU.

(49)

ke arahnya, dan langsung masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh informan saya. Dengan senyum ramah dia menyambut saya. Setelah berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri serta sedikit percakapan basa-basi, saya pun mulai mewawancarai sang informan. Dari pengamatan, informan yang satu ini sangat murah senyum sekali. Wajah dan sikapnya dewasa, meskipun usianya baru 22 tahun. Ia menjawab dengan cukup jelas, sehingga tidak butuh waktu lama wawancara pun selesai. Sebelum berpisah ia berpesan pada penulis agar menghubungi dia kalau masih perlu dan ada data yang kurang lagi.

4.3 Latar Belakang Mengenakan Jilbab

Jilbab merupakan identitas tentang sebuah kebaikan, kesopanan dan ketaatan. Tetapi tentu saja jika dikaitkan dengan moralitas secara personal, tetap bergantung pada ahlak pemakainya. Pada dasarnya perempuan muslim diwajibkan untuk menggunakan jilbab, namun seiring dengan perubahan zaman dan gaya hidup perempuan muslim telah banyak yang berpenampilan seperti perempuan pada umumnya, yaitu tidak mementingkan kewajiban agama. Saat ini, perempuan yang menggunakan jilbab memiliki latar belakang yang mendorong untuk berbeda dari perempuan dengan gaya hidup dan penampilan mengikuti zaman. Seperti yang diungkapkan oleh, informan.

(50)

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan tiga faktor yang mendorong perempuan untuk menggunakan jilbab, antara lain:

4.3.1. Faktor Agama

Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi manusia. Hal ini dimungkinkan karena berbagai kondisi yang dimiliki keluarga. Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu tatap muka di antara anggotanya, sehingga dapat selalu mengikuti perkembangan anggota-anggotanya. Kedua, orang tua mempunyai kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya, sehingga menimbulkan hubungan emosional – di mana hubungan ini sangat diperlukan dalam proses sosialisasi.

Ketiga, adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orangtua mempunyai peranan penting terhadap proses sosialisasi anak (Narwoko, 2004 :92).

(51)

“Memang mama pake jilbab, jadi anak-anak perempuannya disuruh pake jilbab juga. Inspirasi saya juga dari mama, she’s all the precious”

Hal ini juga diungkapkan oleh informan, Yenni (24 tahun) sebagai berikut:

“Di keluarga yang perempuannya rata-rata pake jilbab, tapi kalau aku pake waktu SMP”

Faktor agama mempengaruhi seseorang dalam memutuskan sesuatu, hal ini dilihat pada saat perempuan untuk menutup aurat sebagai kewajiban beragama. Menutup aurat juga dapat menjaga diri seorang perempuan pikiran negatif orang lain. Hal ini diungkapkan oleh informan, Mita (23 tahun) sebagai berikut:

“Jilbab juga berfungsi sebagai pelindung”

Hal yang sama diungkapkan oleh informan, Icho (24 tahun) sebagai berikut:

“Selain memang karena kewajiban, menurut saya jilbab atau hijab sebagai penutup aurat membuat wanita lebih aman dan menjauhkan dari pandangan-pandangan negatif dari orang lain”

(52)

Pengetahuan mengenai kewajiban untuk menutup aurat pertama kali diperoleh seseorang dari keluarga.

4.3.2 Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan wadah yang memeberi pengaruh besar terhadap individu, lingkungan dapat membentuk keperibadian seorang individu. Di dalam hal ini keperibadian seorang individu akan terbentuk berdasarkan lingkungan yang ia tempati. Semakin sering individu tersebut melakukan interaksi dengan individu lain di dalam sebuah lingkungan maka akan semakin terlihat kesamaan sikap dan perilaku individu tersebut seperti lingkungan sekitarnya.

Individu akan menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial dalam lingkungan pergaulannya. Mengutip dalam Syarbaini (2009: 39) menjelaskan bahwa kelompok sosial adalah kesatuan sosial yang terdiri dari kumpulan individu yang hidup bersama dengan mengadakan hubungan timbal balik yang cukup intensif dan teratur, sehingga diharapkan pembagian tugas, struktur, serta norma-norma tertentu yang berlaku. Salah satu kelompok yang sangat mempengaruhi sikap seorang individu adalah kelompok bermain.

(53)

terdapat perempuan-perempuan menggunakan jilbab. Hal ini diungkapkan oleh informan, Ayu (22 tahun) sebagai berikut:

“Sejak SMP udah pake jilbab karena masuk sekolah agama”

Hal ini juga diungkapkan oleh informan, Najwa (22 tahun) sebagai berikut:

“Udah dari SMP karena kawan-kawan banyak yang pake jilbab sih”

Demikian yang diungkapkan oleh informan, Yenni (24 tahun) sebagai berikut:

“Dari SMP udah pake jilbab, sehari-harinya juga udah pake jilbab”

Sejalan dengan yang diungkapkan oleh informan, Mita (23 tahun) sebagai berikut:

“ Dari tahun 2010 an gitu, pas udah setahun kuliah kawan-kawan banyak yang berjilbab”

(54)

4.3.3 Faktor Gaya Hidup

Setiap individu memiliki gaya hidup masing-masing, hal ini yang dapat membedakan antara individu yang satu dengan lainnya. Pada umumnya individu akan menyamakan gaya hidupnya dengan kelompoknya. Hal ini juga dapat dikatakan imitasi, di mana seorang anggota akan mengimitasi perilaku atau penampilan anggota lain di dalam satu kelompok.

G. Tarde mengungkapkan bahwa imitasi berasal dari kata imitation

yang berarti peniruan. Hal ini disebabkann karena manusia pada dasarnya individualis. Namun di pihak lain manusia mempunyai kesanggupan untuk meniru sehingga di dalam masyarakat terdapat kehidupan sosial (Santosa, 2009: 13). Di dalam menggunakan jilbab, seorang perempuan melakukan imitasi agar merasa menjadi anggota pada satu kelompok.

Di dalam Santosa (2009, 13), Choros menggunakan beberapa persyaratan dan berimitasi sebagai berikut:

1. Harus ada minat/ perhatian terhadap hal/ sesuatu yang akan diimitasi 2. Harus ada sikap menjunjung tinggi atau mengagumi pada hal-hal yang

diimitasi

3. Harus ada penghargaan sosial yang tinggi 4. Harus ada pengetahuan dari individu

(55)

memiliki minat untuk berjilbab disebabkan oleh penampilan yang dibuat berbeda. Hal ini diungkapkan oleh informan, Icho (24 tahun) sebagai berikut:

“Saya terinspirasi dari Dian Pelangi karena dia kreatif dalam memadupadankan busana muslim, sehingga terllihat cantik”

Sejalan dengan yang diungkapkan oleh informan, Lissya (24 tahun) sebagai berikut:

“Zaman sekarang kan fashion berhijab udah jauh lebih maju, maksudnya udah lebih menarik. Kalau saya sendiri mulai menutup aurat kira-kira tahun 2010”

Demikian yang diungkapkan oleh informan, Ayu (22 tahun) sebagai berikut:

“Sosok yang jadi inspirasi dalam berhijab dari Dian Pelangi dan muslimah lainnya juga ada. Kalau Dian Pelangi punya kharisma dan ciri khas tersendiri”

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang individu akan melakukan imitasi terhadap individu lain, hal ini terjadi pada saat

hijaber memilih cara berpenampilan dalam kehidupan sehari-harinya yang mengubah image perempuan berjilbab yang pada awalnya merupakan hal yang ketinggalan menjadi sesuatu yang lebih menarik dan banyak diminati orang lain. Di dalam hal ini para hijaber pada umumnya menjadikan Dian Pelangi sebagai inspirator dalam gaya hidup hijab mereka.

(56)

4.4 Faktor-faktor yang Mendorong Untuk Bergabung ke dalam Komunitas Hijabers

Kelompok percakapan sosial mempunyai tipe yang paling terbuka dan informal. Tidak memiliki rencana kegiatan yang dirumuskan secara jelas dan formal, jika topik-topik kegiatan dirasa membosankan maka setiap anggota berhak mengusulkan untuk menggantikan dengan yang lebih menarik. Para anggota mungkin saja memiliki beberapa tujuan tertentu, tetapi tujuan utamanya adalah untuk mencari kenalan atau sahabat baru, dan tujuan tersebut tidak harus menjadi tujuan kelompok (Huraerah, 2006: 22). Kelompok hijabers merupakan kelompok yang memiliki anggota perempuan muslimah yang telah menutup aurat dengan

fashion yang lebih modern. Faktor yang membuat seorang perempuan memutuskan untuk menjadi anggota kelompok ini dibagi menjadi 2, yaitu:

4.4.1 Faktor Pergaulan

Lingkungan merupakan tempat yang sangat mempengaruhi individu dalan berperilaku. Lingkungan juga dapat menjadi motivasi individu dalam memilih kelompok sosial yang akan dimasuki oleh individu tersebut. Hal ini ditemukan pada perempuan dalam menjadi anggota komunitas hijabers.Para

(57)

dapat dikatakan “gaul”. Hal ini diungkapkan oleh informan, Yenni (24 tahun) sebagai berikut:

“Pertamanya ya tau dari kawan-kawan, tapi masuk ke komunitas dari keinginan sendiri. Ya semenjak di sini saya punya banyak teman”

Hal yang sama diungkapkan oleh informan, Lisya (24 tahun) sebagai berikut:

“Ikut-ikut pengajian komunitas hijabers, mau menambah pertemanan dan menambah ilmu agama karena ada acara pengajian rutin setiap bulan”

Sejalan dengan yang diutarakan oleh informan, Mita (23 tahun) sebagai berikut:

“Pengen tau, mau mencari teman, pengalaman dan kegiatan”

Hal ini ditegaskan oleh informan Najwa (22 tahun) sebagai berikut:

“Nambah kegiatan, nambah teman juga”

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hijabers

yang memasuki komunitas hijab dilatarbelakangi oleh faktor pergaulan, di mana para hijaber memilih menjadi anggota komunitas untuk memperluas pergaulan dan menambah kegiatan sehari-hari. Dalam hal ini komunitas

(58)

4.4.2 Faktor Gaya Hidup

Komunitas hijabers memiliki anggota yang sebagian besar berada pada golongan ekonomi kelas menengah ke atas, sehingga punya cukup

budget untuk membeli pakaian, hijab, dan pernak-pernik lainnya yang mendukung penampilan modis dalam berbusana. Para hijabers juga memiliki fasilitas gadget untuk mempermudah mencari informasi tentang berita mode terkini atau untuk membagi momen-momen dan kegiatan mereka di jejaring sosial agar lebih dikenal lagi oleh khalayak ramai. Hal ini merupakan bentuk dari stratifikasi dalam membedakan komunitas hijabers dengan kelompok lain. Menurut Sorokin, stratifikasi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah (Narwoko, 2004: 153).

Adapun keterangan mengenai pendapatan atau uang saku dan pengeluaran para hijabers untuk memenuhi kebutuhan penampilan dalam perbulannya pada tabel berikut:

Nama Pendapatan/ Uang Saku Per Bulan

(59)

tempat belanja kebutuhan hijab. Menutup aurat atau ber-hijab sudah bukan hanya sekedar kewajiban beragama, namun lebih kepada gaya hidup. Komunitas ini memiliki kegiatan untuk tetap berinteraksi sesama anggotanya, seperti arisan, sharing dan seminar. Kegiatan-kegiatan komunitas hijabers

sering diadakan dirumah anggota atau di kampus, cafe dan di mall. Hal ini diungkapkan oleh informan, Mita (23 tahun) sebagai berikut:

“ Ngumpulnya di rumah commite hijabersnya”

Hal lain diungkapkan oleh informan, Ayu (22 tahun) sebagai berikut:

“Kegiatannya charity, bazar, sharing-sharing, tempatnya nggak tentu kadang di cafe kadang di kampus”

Sejalan dengan yang diungkapkan oleh informan, Yenni (24 tahun) sebagai berikut:

“Ada charity, seminar, seringnya di cafe”

Demikian yang diungkapkan oleh informan, Najwa (22 tahun) sebagai berikut:

“Ada kegiatan islamic fashion day, gathering. Ya ngumpulnya di mana aja, kayak islamic fashion day kan di acara biasanya di mall atau hotel kalau yang lain biasanya di cafe atau rumah anggotanya”

(60)

hidup yang digunakan perempuan muslimah dalam berpenampilan. Komunitas hijabers juga memiliki kegiatan yang diadakan di rumah dan tempat-tempat umum yang menunjukkan kelas dengan komunitas lain, hal ini juga merupakan salah satu faktor yang menunjang gaya hidup para hijabers

tersebut.

4.5 Gambaran Makna Simbolik Jilbab dalam Komunitas Hijabers

Di dalam Yusuf (1988: 18-19), Bales mengatakan bahwa kelompok adalah sejumlah individu yang berinteraksi dengan sesamanya secara tatap muka atau serangkaian pertemuan, di mana masing-masing anggota tersebut saling menerima impresi atau persepsi anggota lain dalam suatu waktu tertentu dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kemudian, yang membuat masing-masing anggota bereaksi sebagai reaksi individual (Huraerah, 2006: 3). Komunitas hijabers merupakan wadah bagi para perempuan muslimah dalam memperoleh pengetahuan agama dan fashion.

Di dalam komunitas hijabers menggunakan jilbab bukan hanya aturan bagi perempuan dalam agama melainkan suatu identitas diri seseorang. Makna simbolik dalam komunitas hijabers lebih kepada suatu gaya hidup. Mengutip dalam Ishomuddin (2005: 103) dijelaskan bahwa para ahli dalam bidang persfektif interaksi modern, seperti Erving Goffman (1959) dan Herbert Blumer (1962) menekankan bahwa orang tidak menanggapi orang lain secara langsung; sebaliknya mereka menanggapi orang lain sesuai dengan “bagaimana mereka

membayangkan orang itu. Para hijabers menunjukkan identitas diri dalam hal

(61)

Makna diberikan pada suatu fakta dan tindakan manusia oleh manusia. Persfektif simbolis memusatkan perhatiannya pada arti-arti apa yang ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti ini diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya (Ishomuddin, 2005: 104). Di dalam hal ini makna jilbab berubah dari kewajiban agama menjadi suatu gaya hidup dalam berpenampilan. Hal ini terjadi disebabkan oleh perubahan sosial yang ada di masyarakat, khususnya kelompok perempuan muda. Mengutip dalam Ishomuddin (2005:150) menjelaskan bahwa pada dasarnya, proses perubahan kebudayaan atau perubahan sosial berlangsung kompleks. Akan sangat sulit mengatakan bahwa salah satu aspek, seperti agama, memiliki peranan dan respon yang paling berpengaruh dalam perubahan itu.

Dalam setiap agama terdapat aspek konservatif yang memberikan rasa kesucian terhadap tradisi dan keberlangsungannya. Karena faktor ini, agama seringkali bersikap menahan diri terhadap unsur perubahan yang mungkin dianggap memprofankan. Sebab lain, ialah karena agama sudah mewujudkan simbol-simbol dan idiom-idiom suci yang disakralkan, yang secara apriori menolak perubahan (Ishomuddin, 2005: 151). Pada komunitas hijabers fashion fashion yang ditampilan menutup aurat masih sesuai dengan syariat agama islam, namun hal yang berlebihan seperti menggunakan aksesoris, pakaian merupakan suatu yang masih ditolak oleh beberapa masyarakat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kelas yang ditunjukkan oleh komunitas hijabers, di para hijabers

menempatkan diri pada gaya hidup kelas atas.

(62)

kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup yang eksklusif untuk membedakan dirinya dengan kelas yang lain. berbeda dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersifat konservatif di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, gaya hidup dan penampilan kelas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif (Narwoko, 2004: 183). Gaya hidup yang ditunjukkan komunitas hijabers dalam hal berpakaian dan juga bersosialisasi di tempat-tempat kelas atas, seperti cafe, hotel atau mall.

Gaya hidup lain yang tak sama antara kelas sosial satu dengan yang lain adalah dalam hal berpakaian. Atribut-atribut yang sifatnya massal dan dianggap berselera rendahan – pakaian kodian, misalnya – biasanya selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan dan berada (Narwoko, 2004: 183). Singkatnya makna simbolik jilbab dalam komunitas hijabers lebih kepada sebuah gaya hidup pada perempuan muslimah. Hal ini diungkapkan oleh informan, Mita (23 tahun) sebagai berikut:

“Rata-rata wanitanya lebih menampakkan harta daripada tujuannya untuk silahturahmi atau berdakwah”

Sejalan dengan yang diungkapkan oleh informan, Lissya (24 tahun) sebagai berikut:

“Sebenarnya komunitas ini lebih mengarah ke komunitas islam, mungkin cara berpakaian atau berhijabnya aja yang mengarah ke komunitas sosialita dan terlebih lagi di dalamnya terdapat anak-anak yang berasal dari keluarga menengah ke atas”Lissya 24

(63)

“Ciri khas yang menandakan komunitas ini lebih kreatif dan stylist dalam berbusana”

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa komunitas hijabers merupakan kelompok dengan anggota perempuan muslimah. Di dalam komunitas ini perempuan yang menggunakan jilbab pada awalnya dianggap ketinggalan zaman berubah menjadi suatu yang sangat menarik dan modern. Hal ini dibentuk dengan berpakaian mengikuti tren atau perkembangan

fashion yang ada, yang diaplikasikan dalam pakaian muslimah. Selain itu juga,

hijabers telah menjadi sebuah gaya hidup baru bagi para anggota hijabers yang pada umumnya merupakan masyarakat golongan ekonomi kelas menengah atas.

TABEL LATAR BELAKANG INFORMAN MEMUTUSKAN BERHIJAB

N o

Nama Faktor Agama Pengaruh Orang tua

1. Icho Farah

Karena berjilbab merupakan kewajiban, lagipula dengan berjilbab saya merasa lebih aman dan nyaman

2. dr.Liss ya Fitriana

Karena dalam agama islam kaum wanita diwajibkan

(64)

di Al qur’an 4. Yenni

Syahare ni Siagian

Awalnya sejak SMP sudah memakai jilbab karena disuruh orang tua dan memang saya kepingin. Jadi sehari-harinya juga pakai jilbab. Hingga sampai sekarang tidak melepas jilbab karena agama, semakin yakin akan terus berhijab.

5. Mita tahu dan terispirasi untuk berjilbab karena sudah diberi tahu bahwa itu kewajiban dan dosa bila meninggalkannya. 6. Najwa

Amelia Haraha p

(65)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai makna simbolik jilbab dalam komunitas hijabers adalah sebagai berikut:

1. Ada 3 faktor yang menjadi latar belakang seorang perempuan dalam menggunakan jilbab, antara lain adalah:

a. Faktor agama, jilbab merupakan kewajiban bagi perempuan muslimah untuk menutup aurat, fungsi lain dari jilbab adalah sebagai menjaga perempuan dari pikiran negatif. Pengetahuan mengenai kewajiban untuk menutup aurat pertama kali diperoleh seseorang dari keluarga. b. Faktor lingkungan, seorang individu akan menyesuaikan diri dengan

anggota lain yang ada di dalam kelompoknya agar individu tersebut dikatakan bagian dari kelompok. Kelompok bermain sangat berpengaruh pada seorang individu, hal ini ditunjukkan pada keputusan seseorang dalam menggunakan jilbab.

(66)

2. Faktor-faktor yang mendorong untuk bergabung ke dalam komunitas

hijabers, adalah sebagai berikut:

a. Faktor Pergaulan, di mana para hijaber memilih menjadi anggota komunitas untuk memperluas pergaulan dan menambah kegiatan sehari-hari. Dalam hal ini komunitas hijabers merupakan lingkungan atau tempat bagi perempuan yang memakai jilbab dalam menambah pengetahuan dan pertemanan.

b. Faktor gaya hidup, hijabers merupakan suatu bentuk gaya hidup yang digunakan perempuan muslimah dalam berpenampilan. Komunitas

hijabers juga memiliki kegiatan yang diadakan di rumah dan tempat-tempat umum yang menunjukkan kelas dengan komunitas lain, hal ini juga merupakan salah satu faktor yang menunjang gaya hidup para

hijabers tersebut.

3. Gambaran makna simbolik jilbab dalam komunitas hijabers, Di dalam komunitas ini perempuan yang menggunakan jilbab pada awalnya dianggap ketinggalan zaman berubah menjadi suatu yang sangat menarik dan modern. Hal ini dibentuk dengan berpakaian mengikuti tren atau perkembangan fashion yang ada, yang diaplikasikan dalam pakaian muslimah. Selain itu juga, hijabers telah menjadi sebuah gaya hidup baru bagi para anggota hijabers yang pada umumnya merupakan masyarakat golongan ekonomi kelas menengah atas.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian mengenai makna simbolik jilbab dalam komunitas

(67)

1. Ada baiknya penampilan dalam berpakaian tidak berlebihan, cukup berpenampilan sesuai dengan syariat islam. Agar makna agama tetap melekat pada para hijabers.

Gambar

TABEL LATAR BELAKANG INFORMAN MEMUTUSKAN

Referensi

Dokumen terkait

Lahan sawah tadah hujan di kabupaten Gunungkidul pada umumnya hanya ditanami padi sekali dalam setahun, dan pada musim berikutnya atau Musim Tanam ke-2 hanya

a) Untuk standar minimal 5 set meja-kursi, pengukur tinggi badan, timbangan berat badan, pita pengukur lingkar perut, dan tensi meter serta buku pintar kader tentang cara

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Almilia dan Kristijadi (2003) yang menunjukkan hasil bahwa debt ratio tidak memiliki pengaruh

Kesimpulan dalam penelitian yaitu terdapat pengaruh implementasi evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah terhadap kinerja organisasi perangkat daerah di Kota

Sebaiknya organisasi mahasiswa ekstra kampus mulai menghilangkan kesan negatif yang melekat dan meninjau ulang apa yang menjadi fungsi dan perannya, dimana salah

dalam sequence yang menjadi subjek penelitian khususnya pada film Hachiko: A Dog’s Story yang dijelaskan melalui pembedahan makna 9aying9y9e, konotatif,

Setelah memadat, diambil 1 ose bakteri yang telah diukur berdasarkan standar Mc.Farland 108 kol/ mL, kemudian digores secara merata pada permukaan medium, kemudian dimasukkan

1.2 Use Case Diagram Berjalan System Pengguna Lihat Materi Kerjakan Latihan Lakukan Test Lihat Score Admin Update materi Update soal practice Login <<include>>.. Gambar