• Tidak ada hasil yang ditemukan

Awan Panas Letusan Tipe Saint Vincent 2010 dan Dampaknya terhadap Lereng Selatan Gunung Merapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Awan Panas Letusan Tipe Saint Vincent 2010 dan Dampaknya terhadap Lereng Selatan Gunung Merapi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

AWAN PANAS LET USAN TIPE ST. VINCENT 2010 DAN

DAMPAKNYA BAGI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI

1)

Oleh: Yasin Yusup2)

ABSTRAK

Letusan Gunungapi Merapi 2010 menghasilkan awan panas yang berbeda dengan awan panas yang biasa terjadi di Merapi. Awan panas yang menjadi ciri khas G. Merapi adalah awan panas guguran yang mengikuti proses pembentukan dan penghancuran kubah lava yang bersifat sektoral menuju lereng tertentu. Letusan 2010 tidak membentuk kubah terlebih dahulu, fase utama berupa letusan yang menghancurkan sumbat lava dan menghasilkan awan panas letusan tipe St. Vincent menuju ke segala arah. Dampak letusan sangat besar, zona sejauh 8,5 km menuju ke Lereng Selatan hangus total terbakar awan panas dengan konsentrasi endapan awan panas di Kali Gendol mencapai 15 km. Dibandingkan letusan 2006, zona letusan di Lereng Selatan berbeda secara nyata karena pengaruh setting morfologi dalam meredam laju awan panas boleh dikatakan tidak berlaku lagi. Terbukanya kawah menghadap ke Selatan, tidak efektifnya morfologi pelindung , dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak. Mitigasi yang tepat adalah mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona terdampak.

Kata Kunci: awan panas guguran, awan panas letusan, dampak letusan, setting morfologi, mitigasi

1. LATAR BELAKANG

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor

nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007).

Risiko bencana terbentang sepanjang waktu melalui konsentrasi orang dan aktivitas ekonomi di

daerah yang terpapar bahaya seperti gempabumi, siklon tropis, banjir, kekeringan, dan tanah

longsor (ISDR, 2007).

Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan masuk dalam negara

dengan penghasilan menengah, serta terletak di daerah pertemuan 3 lempeng aktif dan daerah

1) Disam paikan dalam Per tem uan Ilm iah Tahunan Ikat an Geogr af Indonesia XIII, 11-12 Desem ber 2010, Universitas

Negeri Sur abaya, Sur abaya.

2)

(2)

tropis, Indonesia termasuk daerah yang memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi. Wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan

demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam,

faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan

tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu

pertimbangan diundangkannya UU penanggulangan bencana (UU No. 24 Tahun 2007).

Setiap tahun baik bencana geologi, bencana atmosfer, bencana biologi, dan bencana

sosial selalu terjadi di Indonesia. Data historis bencana (EM-DAT: The OFDA/CRED

International Disaster Database) selama 1 abad (1907-2006), mencatat 3 bencana yang paling

sering terjadi (45 - 105 kali) yaitu banjir, gempabumi dan gunung meletus. Tiga besar bencana

yang paling mematikan (8000 165.708 jiwa) yaitu tsunami, gempabumi, dan letusan gunungapi.

Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai gunungapi aktif terbanyak di dunia,

yaitu lebih dari 30% dari gunung aktif dunia ada di Indonesia. Sepanjang pertemuan lempeng

lebih dari 190 gunungapi berbaris seperti mutiara di atas sebuah kalung (like pearls on a

necklace). Barisan gunungapi sepanjang kurang lebih 7.000 km tersebut membentuk sabuk

memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara pada satu rangkaian dan menerus ke

arah utara sampai Laut Banda dan bagian utara Pulau Sulawesi (Effendi, dkk, 2004; Mawardi,

2006).

Gunungapi aktif di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok berdasarkan sejarah

letusannya, yaitu tipe A (79 buah), adalah gunungapi yang pernah meletus sejak tahun 1600, tipe

B (29 buah) adalah yang diketahui pernah meletus sebelum tahun 1600 dan tipe C (21 buah)

adalah lapangan solfatara dan fumarola (Bemmelen, 1949; Kusumadinata 1979; Pratomo, 2006).

Kawasan gunung api di Indonesia merupakan daerah pertanian yang subur dan selalu padat

penduduk sejak zaman dahulu, walaupun tidak lepas dari ancaman bencana letusan. Saat ini lebih

dari 10 persen penduduk Indonesia bermukim di kawasan rawan bencana gunungapi.

Dalam rekaman sejarah gunungapi di dunia, tercatat 2 letusan besar terjadi di Indonesia,

yaitu Gunung Tambora dan Gunung Krakatau. Letusan terbesar dalam sejarah manusia adalah

(3)

dikenal sebagai tahun tanpa musim panas di belahan bumi utara. Gunungapi Krakatau yang

meletus pada bulan Agustus 1883, memiliki dampak yang terkenal di seluruh dunia. Awan

debunya melintasi dunia beberapa kali dan kejadian tersebut memicu tsunami yang mampu

mendorong kapal-kapal perang ratusan meter ke daratan. (Davidson & Da Silva, 2000; Pratomo

& Abdurachman, 2004; Mawardi, 2006).

Salah satu gunungapi yang paling sering meletus adalah Gunungapi Merapi. Gunungapi

tersebut boleh dikatakan selalu aktif sejak tahun 1900 sampai dengan sekarang, terjadi 24 kali

erupsi dengan periode diam atau istirahat yang pendek (rata-rata tidak lebih dari 3,5 tahun).

Sebagai pembanding G. Kelud di Jawa Timur mempunyai siklus letusan 15 tahun sekali (Voight,

et al, 2000). G. Merapi mempunyai tipe letusan khusus yang berbeda dengan tipe yang lainnya

yang sudah banyak dikenal (seperti tipe Vulcanian, tipe Peleean, dan tipe St Vincent) yaitu tipe

letusan dengan ciri khas awan panas guguran atau sering disebut Tipe Merapi (Voight, et al,

2000). Penduduk di sekitar lereng G. Merapi menyebut awan panas sebagai wedhus gembel

karena gerakannya ketika menuruni lereng seperti gerombolan wedus gembel yang sedang

`berlari` menuruni lereng. Berbeda dengan tipe awan panas vulcanian yang penyebaran awan

panasnya lebih luas, arah gerakan awan panas Tipe Merapi memusat ke satu arah, sehingga

daerah bahaya awan panas Tipe Merapi bersifat sektoral untuk lereng yang dituju.

Bahaya gunungapi dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder (Smith, 1996.,

Stieltjes and Wagner, 1999, Wright, et al. 1992, Crandell, 1984 ). Bahaya primer atau bahaya

langsung, didasarkan pada dampak langsung dari hasil-hasil erupsi, meliputi aliran lava (lava

flows), aliran piroklastik (pyroclastic flow), bahan jatuhan (free-fall deposits) dan gas. Bahaya

sekunder atau bahaya tidak langsung didasarkan pada akibat sekunder dari erupsi, meliputi lahar,

gerakan massa (slumps, slides, subsidence, block falls, debris avalanche), tsunami dan hujan

asam. Baik bahaya primer maupun sekunder saat ini terjadi mengiringi erupsi Merapi 2010

khususnya aliran piroklastik atau sering disebut awan panas atau wedhus gembel; bahan jatuhan

seperti abu, pasir, dan kerikil, khusus abu diberitakan sudah menjangkau jarak ratusan km (Kota

Bogor), bahkan mengganggu aktivitas penerbangan; Bahaya sekunder berupa lahar saat ini

mencemaskan warga di bantaran Kali Code di Kota Yogyakarta. Tulisan ini lebih fokus kepada

bahaya primer yang paling banyak menimbulkan dampak bencana, khususnya korban jiwa yaitu

(4)

Piroklastika merupakan bahan hamburan yang langsung berasal dari magma. Istilah itu

berasal dari kata pyro (bahasa yunani) yang berarti api dan clast yang berarti kepingan, butiran,

fragmen atau pecahan. Dengan demikian piroklastika berarti kepingan yang berapi, membara

atau berpendar pada saat dilontarkan dari dalam bumi ke permukaan bumi melalui kawah

gunungapi. Awan panas merupakan salah satu bentuk aliran piroklastik, berupa aliran suspensi

dari batu, kerikil, abu, pasir, dalam suatu masa gas vulkanik panas yang keluar dari gunungapi

dan mengalir turun mengikuti lerengnya. Kecepatan aliran dapat mencapai lebih dari 100 km per

jam dengan jarak jangkau dapat mencapai puluhan kilometer (Ratdomopurbo dan Andreastuti,

2000). Dari kejauhan, awan tersebut seperti awan bergulung-gulung menuruni lereng gunungapi,

yang pada waktu malam aliran tersebut nampak membara. Benturan antar batu-batu atau material

yang besar di dalam awan panas itu terlindungi oleh gas sehingga benturan teredam. Oleh karena

itu aliran awan panas sekalipun dalam bentuk turbulensi dalam perjalanannya tidak berisik

seperti longsoran material dingin (lahar).

Awan panas khususnya di G. Merapi dibedakan menjadi awan panas guguran, awan

panas letusan dan awan panas letusan terarah (Voight, et al, 2000). Awan panas yang sering

disebut sebagai wedus gembel yang masuk dalam kategori Tipe Merapi, hanya merupakan salah

satu bentuk awan panas yang ada, tetapi awan panas tipe inilah yang paling sering terjadi, lihat

Tabel 1 dan Gambar 1-C. Awan panas 2010 menurut pendapat penulis ciri-cirinya lebih dekat

dengan awan panas letusan yang sering diidentifikasi sebagai awan panas tipe St. Vincent. Awan

panas ini terbentuk karena runtuhnya material vulkanik yang tererupsi secara vetikal, lihat Tabel

1, Gambar 1-B. Sementara awan panas letusan terarah menurut penulis juga pernah terjadi di

Merapi yaitu saat letusan tahun 1930 yang menghasilkan awan panas terjauh abad 20 yaitu 13

km, lihat Tabel 1 dan Gambar 1-A, tetapi rekor ini dipecahkan awan panas 2010.

Dampak letusan sangat terkait dengan bukaan kawah di puncak, dan efektif tidaknya

morfologi pelindung dan besar-kcilnya letusan. Berdasarkan hasil interpretasi citra sebelum

erupsi (SPOT-5 tanggal 1 Mei 2006) dan citra setelah erupsi (ALOS-PALSAR September 2006)

tampak bahwa terjadi perubahan morfologi di sekitar puncak G. Merapi (Gambar 2). Perubahan

tersebut meliputi adalah runtuhnya Geger Boyo pada lereng Selatan dan semakin lebarnya

perimeter hulu sungai K. Gendol (LAPAN, 2006). Berdasarkan pengukuran, terjadi perubahan

(5)

meter (BPPTK, 2006, dalam LAPAN, 2006). Kondisi demikian akan membuka jalan bagi

guguran lava pijar dan awan panas mengarah ke sungai tersebut, lihat Gambar 2.

Tabel 1. Klasifikasi Istilah yang Sering Digunakan untuk Menamakan Awan Panas

Lacroix,

(6)

Gamb ar 2. Morfologi puncak G. Merapi berubah, Garis merah putus-putrus merupakan igir-igir gunung. Lingkaran kuning merupakan hulu K. Gendol dan bekas rubuhan Geger Boyo (LAPAN, 2006, dengan tambahan informasi foto)

Keberadaan morfologi pelindung bisa dilihat melaui transek/profil topografi. Dengan

metode transek, lebih mudah ditelusur bagaimana efektivitas bukit dalam membatasi ruang gerak

awan panas, tempat-tempat mana yang bisa menjadi limpahan awan panas, dan tempat mana

yang masih mampu menampung aliran awan panas. Dari hasil transek bisa dipahami mengapa

Dusun Kalitengah Lor, relatif lebih aman dibandingkan Dusun Pelemsari, dan Kaliadem, padahal

sama-sama berada di lereng paling atas G. Merapi, lihat Gambar 3.

(7)

Gamb ar 3. Transek/Profil topografi Dusun Pelemsari, Kaliadem, Kalitengah Lor dan Wisata Kaliadem (Yusup, Y., 2009)

Sementara daya tampung Kali Gendol untuk kejadian letusan 2006, khususnya di wisata

Kaliadem sudah terlampaui, sampai awan panas melimpah dan mengubur infrastruktur wisata di

Kaliadem, termasuk mengubur Ruang Lindung Darurat (Rulinda) atau lebih dikenal dengan

nama bunker , dan melimpah ke Kali Opak. Bahkan bukit yang melindungi Kampung Kinahejo,

Dusun Pelemsari, dimana Mbah Maridjan tinggal, hampir terlampaui, sehingga Dusun Pelemsari

masuk kategori agak bahaya dan diberi simbol rumah warna kuning. Dusun Kaliadem sendiri

masih selamat dari luncuran awan panas 2006, karena lembah Kali Gendol di sebelah timur

dusun dan lembah Kali Opak di sebelah barat dusun masih mampu menampung luncuran awan

panas, tetapi awan panas 2010 yang mengiringi letusan eksplosif dengan magnitud yang sangat

besar untuk kategori G. Merapi (Skala Indeks Letusan 4) menghancurkannya dan menewaskan

Mbah Maridjan.

Pertanyaannya mengapa morfologi pelindug efektif meredam awan panas 2006 tetapi

tidak untuk awan panas 2010? Lalu bagaimana dampak awan panas 2010 dibanding awan panas

2006 terhadap lereng selatan dan apa implikasinya terhadap mitigasi bencana?

2. TUJ UAN

Tulisan ini memiliki tujuan:

1. Mengungkap perbedaan letusan Gunung Merapi tahun 2010 dan letusan 2006 yang

menghasilkan tipe awan panas yang berbeda.

2. Mengetahui dampak letusan yang berbeda dan implikasinya terhadap mitigasi bencana.

3. BAHASAN

(8)

Letusan 2010 berbeda dengan letusan sebelumnya tahun 2006. Berdasarkan volume

tephra yang dikeluarkan lebih dari 150 juta m3 dan tinggi kolom letusan > 10 km, maka letusan

2010 mengacu Indeks Letusan Gunungapi (Volcanic Explosivity Index) (Newhall, et al, 1982)

memiliki magnitud skala 4, atau melampaui rekor letusan di abad 20 yang hanya memiliki

magnitud terbesar skala 3, lihat Gambar 4. Gambaran kualitatif untuk letusan 2010 adalah letusan

eksplosif besar, merusak dan masuk klasifikasi letusan Plinian yang menghasilkan awan panas

tipe St. Vincent seperti sudah diungkapkan di atas dan akan dikupas lebih mendalam di bagian

selanjutnya.

Gambar 4. Magnitud Letusan G. Merapi berdasarkan Indeks Letusan Gunungapi

Letusan 2010 memiliki kemiripan dengan Letusan Tipe C-nya Hartmann (1935).

Hartmann membagi tiap erupsi di G. Merapi menjadi 3 fase yaitu fase awal atau keadaan

sebelum erupsi, fase utama yaitu aktivitas utama dan fase akhir. Ketiga fase tersebut merupakan

satu siklus aktivitas letusan Merapi. Berdasarkan apa yang terjadi pada fase awal, utama dan

(9)

Pertama, kronologi A. Siklus diawali dengan satu letusan kecil yang mengawali ekstrusi

lava. Fase utama berupa pembentukan kubah lava sampai kubah mencapai volume besar dan

kemudian pertumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri dengan proses guguran lava pijar yang

berasal dari kubah. Kejadian guguran lava pijar, kadang dengan awan panas kecil dapat

berlangsung lama (bulanan). Kedua, kronologi B. Pada awalnya telah ada kubah lava di puncak

Merapi. Fase utama berupa letusan Tipe Vulkanian bersumber di kubah lava dan menghancurkan

kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan Tipe Vulkanian. Material kubah yang

hancur sebagian menjadi awanpanas yang menyertai letusan Tipe Vulkanian tersebut. Fase akhir

diisi dengan pertumbuhan kubah lava baru pada bagian kubah yang hancur atau disamping kubah.

Ketiga, kronologi C. Kronologi C mirip dengan kronologi B, hanya saja pada awalnya

tidak terdapat kubah lava tetapi sumbat lava yang menutup kawah Merapi. Oleh adanya sumbat

lava tersebut, fase utama berupa letusan Tipe Vulkanian dengan awanpanas lebih besar (Tipe St.

Vincent). Fase akhir dari kronologi letusan yaitu berupa pembentukan kubah lava baru. Keempat,

kronologi D. Fase awal berupa letusan vertikal kecil. Fase utama berupa pembentukan sumbat

lava yang kemudian diikuti dengan fase akhir berupa letusan vertikal yang cukup signifikan.

Pada letusan D ini, karena sumbat lava cukup besar, letusan cukup dahsyat yang menghasilkan

awanpanas besar dan asap letusan tinggi.

Menurut penulis letusan 2010 memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan kronologi

C di atas. Letusan kali ini berbeda dengan letusan 2006 yang membentuk dan menghancurkan

kubah lava 2006 yang mirip kronologi A. Fase awal letusan 2010 dimulai adanya sumbat lava di

puncak yang merupakan sisa kubah lava 2006 yang tidak longsor menjadi awan panas tipe

merapi. Fase utama diawali saat letusan 26 Oktober yang menghasilkan awan panas letusan yang

menerjang kampung Mbah Maridjan. Fase ini terus berlanjut dan menghasilkan letusan besar

pada tanggal 3 dan 4 yang menghasilkan awan panas sejauh 15 km menerjang Dusun Argomulyo.

Fase ini masih berlanjut sampai sekarang. Berdasarkan skenario C Hartmann ini, eruspsi 2010

(10)

3.2. Dampak Letu san ter had ap Ler eng Selatan yang Ber beda

Dampak letusan 2006 terekam pada citra ALOS-PALSAR bulan September 2006. Dari

citra tersebut dapat diketahui persebaran material piroklastik, guguran lava pijar dan awan panas.

Pada citra, tampak berwarna putih cerah di sekitar puncak. Dilihat dari polanya mengarah ke

selatan, tenggara dan baratdaya. Kontrol morfologi tampak jelas di sini, khususnya yang

mengarah ke Kali Gendol, Awan panas tidak tersebar merata tetapi dominan masuk lembah kali

tersebut, lihat Gambar 6. Awan panas mengubur wisata Kaliadem termasuk Bunker, seperti

(11)

Sementara dampak awan panas 2010 terekam citra satelit Terra NASA. Citra satelit

warna-palsu (false-color satellite imagery) dari instrumen ASTER menunjukkan bukti aliran

piroklastik yang besar di sepanjang Sungai Gendol selatan Gunung Merapi. Endapan vulkanik

abu-abu (baik dari aliran piroklastik atau lahar) mengisi alur Kali Gendol. Di Sebelah Utara

Merapi Golf Course (warna merah muda) aliran piroklastik tersebar di seluruh lanskap,

menyebabkan kerusakan sangat parah. Sebagian besar pohon tersapu ke bawah dan tanah dilapisi

dengan abu dan batu (warna abu-abu gelap). Vegetasi sehat, yang tidak terpengaruh erupsi

berwarna merah cerah, lihat Gambar 7.

Gamb ar 7. Sebaran Awan Panas 2010 di Lereng Selatan (Sumber, Rovicky, 2010)

Dampak letusan 2010 sangat besar dilihat dari luasan daerah yang terdampak, zona 8,5

(12)

dibandingkan dengan dampak awan panas 2006 khusus di lereng Selatan, awan panas 2006

masih relative terkontrol morfologi (Yusup, Y., 2009), tetapi untuk letusan awan panas 2010,

control morfologi relative tidak berlaku sampai jarak 8,5 km.

3.3. Implik asi Letusan 2010 ter hadap Mitigasi Bencana

Letusan Gunungapi Merapi yang menghasilkan awan panas tidak identik dengan bencana.

Selama abad 20, dari 23 letusan, kurang dari sepertiga letasan (27,9%) yang menimbulkan

bencana. Letusan memiliki magnitude kecil (VEI = 2) (Yusup, Y, dkk., 2008). Sampai dengan

letusan 2006, hujan abu atau kerikil, awan panas kecil (< 4 km) dan sedang (4-7 km) yang

mengakibatkan dampak langsung kerusakan lahan, infrastruktur wisata, jembatan, jaringan pipa

air minum, dan dampak tidak langsung seperti mengungsi, matinya perekonomian selama

beberapa waktu, tidak mengakibatkan penduduk jera tinggal di KRB. Terbukti tawaran

pemerintah untuk relokasi ke daerah bawahnya (luar KRB) pun ditolak penduduk, apalagi

program transmigrasi antar daerah. Dengan demikian kebanyakan letusan masih dalam batas

toleransi penduduk atau risiko yang ditimbulkannya masih dapat diterima (acceptable risk) dan

masyarakat di Lereng Selatan memilih hidup bersama risiko bencana (living with disaster risk).

Akan tetapi letusan besar 2010 dengan dampak yang sangat besar, menghancurkan

puluhan dusun secara total sampai radius 8,5 km, perlu dipertimbangkan secara lebih bijaksana,

mengingat terbukanya kawah menghadap ke Selatan, tidak efektifnya morfologi pelindung ,

dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya

dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak. Penduduk di Lereng Selatan perlu

bercermin dari saudaranya di lereng Barat Daya yang terkena dampak letusan 1961. Saat itu

rumah dari jarak 5 s/d 10 km hancur tersapu awan panas (warna putih), tetapi saat ini

permukiman mereka sudah menyesuaikan jarak maksimal awan panas 1961 (warna pink), lihat

(13)

4. KESIMP ULAN

Letusan 2010 menghasilkan awan panas yang lebih berbahaya dibanding letusan 2006,

control morfologi sudah tidak efektif lagi, dan bukaan kawah ke Selatan semakin lebar, serta

memberi dampak yang sangat besar terhadap lereng selatan, sehingga mitigasi yang cocok adalah

mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona terdampak.

DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, 19 49. Th e G eo logy of I ndo nesia, vol. IA, Gener al G eology of I ndo nesia a nd Adj acent Ar chipelagos, Govt. Printing Office, The Hague.

(14)

Crand ell, P . R. 1984. Sour ce Book for Volcan ic Hazar d s Zona tion. United Nations Education Scentific and Culture Organizatio n.

Davidson, J. and Da Silva, S., 2000. Comp osite volcan oes. In: Sigurdsson, H. (ed) Encyclopedia of Volcanoes. Academic Press.

Effendi, Nasution, Djarwoto, Murdohardono, Kertapati, Hermawan, Hidajat, Sutawidjaja, Jäger, Manhart, Ranke, Rehmann, Dalimin, Sugalang, Weiland, 2004. Mitigation of Geohazards in Indonesia, Status r ep ort on the project Civil-society and inter-municipal cooperation for better urban services. Jakarta.

EM-DAT: The OF DA/CRED Inter national Disaster Database, Université catholique de Louvain - Brussels Belgium [cited 10 November 2009]. Available from http://em-dat.net/

ISDR, 2007. Disaster Risk Reduction: 2007 Global Review. Global Platform for Disaster Reduction. UN.

Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gun ung api Ind onesia. Dit. Vulk., Bandung.

Mawardi, 2006. Rencana Aksi Nasional Pengu ran gan Risiko Bencana 2006-2009,Kerjasama antara Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. Jakarta.

Pratomo, I. and Abdurachman, K., 2004. Characteristics of the Indonesian active volcanoes and their hazards. Min er al & En er gi, 2, no. 4, h. 56-60.

Ratdomopurbo dan Andreastuti, 2000. Kar a kter istik Gu nu ng M er ap i. Direktorat Vulkanolo gi.

Smith, K., 1996. Envir onment al Hazard s: Assessin g Risk a nd Reducin g Disast er. Second Edition, Routledge, London and New York.

Stieltjes, L and Wagn er, J.J., 1999. Volcanic Hazards. Com pr eh ensive Risk Assessm en t for Natu r al Hazar ds, WMO.

UU No. 24 Tahun 2007. UU Tentang Penanggulangan Bencana.

Voight, B., Constantine, E.K., Siswowidjoyo, S., Torley, R., 200 0. Historical Eruptions of Merapi Vocano, Central Java, Indonesia, 1768-1998.J our na l of Vo lca nolog y a nd Geoth er mal Resear ch Volu me 100 (2000), Elsevier, Amsterdam, hal. 69-138.

Wright, T.L., 1992. Livin g wit h Volcan oes. The U.S. Geological Survey's Volcano Hazards Program, United States Government Printing Office,Washington.

Yusup, Y., 2006. Studi Sensitivitas Penduduk terhadap Bahaya Awan Panas di Kawasan Rawan Bencana II dan III Gunungapi Merapi, Tesis, Fakultas Geografi, Sekolah Pascasarjana Ugm, Yogyakarta.

(15)

Yusup, Y., Sugiyanto, Hadi, P., 2008. Model Mitigasi Bencana Awan Panas dengan Pendekatan Sensitivitas terhadap Bahaya Lingkungan, Lapor an Hib ah Ber saing, Dirjen Dikti, Diknas, 2008

Rovicky, 2010. Foto Satelit Guguran Lava diambil 15 November2010,

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Istilah yang Sering Digunakan untuk Menamakan Awan Panas
Gambar 1. Tipe-Tipe Awan Panas (A) Tipe Pelee, (B) Tipe St. Vincent, (C)
Gambar 4. Magnitud Letusan G. Merapi berdasarkan Indeks Letusan Gunungapi
Gambar 6. Sebaran Awan Panas Tahun 2006 (LAPAN, 2006)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahirabbil‟alamin, la haula wala quwata illa billahil „aliyyil adhzim, dengan hanya rahmat-Mu serta hidayah-Mu penulisan skripsi yang berjudul “Lelang

Dikarenakan mengalami peningkatan, maka akun piutang usaha akan didebit dan akun pendapatan jasa dikredit karena merupakan pendapatan yang masih harus diterima.. Maka ayat jurnal

Salinannya pun saya berikan lagi: “Berilah kepada wanita hak pemilihan, hapuskan semua aturan-aturan yang membelakangkan mereka dari laki-laki dan

Untuk memisahkan alkohol dari hasil fermentasi dapat dilakukan dengan destilasi. Destilasi adalah metode pemisahan berdasarkan perbedaan titik didih. Proses ini

Berdasarkan penegasan istilah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud judul penelitian “Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Anak Usia Dini di Desa

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan atau Research and Development (RnD) mengacu pada model pengembangan dari Sugiyono. Instrumen pengumpulan data

Sebaliknya, jika komponen memiliki kepolaran yang mirip dengan fasa diam dibandingkan fasa gerak, maka komponen tersebut akan terelusi lebih lambat karena akan

Schutz membagi teorinya menjadi tiga unsur.Pertama, Schutz berpusat kepada pernyataan yang penting atau pokok dan sikap yang wajar atau alamiah.Alasannya adalah