• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 02/PID/TPK/2012/PNTK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 02/PID/TPK/2012/PNTK)"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 02/PID/TPK/2012/PNTK)

Oleh

I GEDE ALDI PRADANA

Korupsi merupakan tindakan yang dapat merugikan keuangan Negara oleh karenanya pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk menyelamatkan keuangan Negara tersebut dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada Pasal 18 mengatur tentang uang pengganti, niatan untuk menyelamatkan uang Negara itu ternyata tidak berjalan mulus karena banyak kasus yang uang penggantinya tidak dapat disetorkan ke kas negara. Permasalahan yang timbul adalah apakah pembayaran uang pengganti perkara Nomor 02/Pid/TPK/2012/PN.TK sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, upaya apa yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang pengganti serta faktor apakah yang mempengaruhi eksekusi uang pengganti. Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan yang mengambil data-data dari buku-buku, undang-undang, karya ilmiah serta literatur dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi, serta interpretasi.

(2)

Faktor penghambat dalam eksekusi uang pengganti adalah faktor hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di Indonesia.

Saran yang dapat diberikan dalam penulisan ini adalah bagi hakim yang memutus perkara korupsi agar menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti agar keuangan Negara yang telah dirugikan dapat dipulihkan kembali, kemudian untuk para penegak hukum khususnya jaksa agar melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan baik dan benar supaya pidana tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara maksimal.

(3)

Oleh

I GEDE ALDI PRADANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

(Skripsi)

Oleh

I GEDE ALDI PRADANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalahan... 7

C. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 15

B. Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi. ... 22

C. Tujuan Penjatuhan Uang Pengganti ... 24

D. Pengertian dan Kewenangan Kejaksaan dalam Eksekusi Uang Pengganti ... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 30

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 31

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 32

E. Analisis Data... 33

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 34

B. Kesesuaian Pembayaran Uang Pengganti dalam

(8)

Uang Pengganti ... 41

D. Faktor Penghambat dalam Eksekusi Uang Pengganti ... 48

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 53

B. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA

(9)

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

Negara, Tindak pidana ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan pusat

melainkan telah menjamur dan menular hingga pejabat daerah. Korupsi di

Indonesia seperti sudah menjadi budaya yang sangat sulit dihilangkan. Korupsi

yang terjadi sekarang sudah seperti tradisi yang diturunkan dan terus dilakukan

oleh para pemimpin negeri ini.

Tidak sampai disitu, korupsi juga dilakukan oleh para penegak hukum yang

seharusnya menghukum pelaku tindak pidana korupsi tersebut, mulai dari anggota

kepolisian seperti korupsi yang dilakukan oleh Djoko Susilo dengan korupsi

proyek simulator Surat Ijin mengemudi dan Susno Duadji dengan kasus korupsi

dana pengamanan pemilu Jawa Barat, Kejaksa juga tercoreng nama baiknya

karena perbuatan salah satu anggotanya bernama Subri yang menjabat sebagai

Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah tertangkap tangan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi. Hingga hakim melakukan tindakan tercela ini seperti

yang dilakukan oleh Hakim Singgih Budi Prakoso dan Setyabudi Tedjocahyono

(10)

Bandung. Kasus tersebut menggambarkan seolah gaji yang didapat dari pekerjaan

mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal masih sangat

banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi mencakup

beberapa aspek yaitu:1 pertama, tidak adanya tindakan hukum sama sekali

terhadap pelaku korupsi. Kedua, tindakan ada tetapi penanganan di ulur-ulur dan

sanksi diperingan. Ketiga, tidak dilakukan pemidanaan sama sekali.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Peraturan perundang-undangan untuk mendukung pelaksanaan pemberantasan

korupsi telah dibuat dan ditetapkan sejak jaman Orde lama. Sebagai contoh

perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999, kemudian dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diubah dan

ditambah kembali beberapa Pasal yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999. Perubahan-perubahan tersebut menunjukan perkembangan praktik

korupsi di Indonesia seperti money laundering, transnational crime, perdagangan

manusia dan sebagainya.

1

(11)

Kondisi tersebut yang mengharuskan perumusan undang-undang pemberantasan

korupsi di Indonesia secara cermat dengan perspektif jangka panjang,

menempatkan korupsi sebagai kejahatan yang sangat berbahaya kiranya bukan

sesuatu yang berlebihan. Kecenderungan ke arah tersebut sudah dimulai oleh

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization For Economic Cooperation and Development (OECD) yang telah mengambil inisiatif dan

berhasil mempertemukan visi dan misi para anggotanya dalam pemberantasan

korupsi. Di Indonesia, pendekatan hukum pidana sebagai salah satu instrumen

dalam memerangi korupsi masih menjadi pilihan utama. Indikator ini dapat dilihat

strategi pengenaan sanksi pidana yang semakin diperberat dalam setiap perubahan

undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik

dari pada ekonomi. Korupsi menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di

mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya, korupsi

mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi

dan kabupaten.2

Peraturan perundangan pidana secara khusus dimuat dalam

undang-undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sedangkan untuk instrument perdata

menggunakan ketentuan biasa atau umum yang berlaku yaitu undang-undang

hukum perdata dan acaranya.

2

(12)

Penyelamatan uang negara ini penting dilakukan, mengingat fakta yang terjadi

selama ini bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum hanya bisa sedikit menyelamatkan keuangan negara dari

total yang dikorupsi. Salah satu instrumen hukum pidana yang memungkinkan

penyelamatan uang negara dari perbuatan korupsi adalah dengan memaksimalkan

instrumen hukum pidana uang pengganti sebagai sebuah sanksi, instrumen hukum

ini dianggap lebih rasional untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi, yakni

mencegah kerugian negara.

Tindakan preventif terhadap penyelamatan keuangan Negara ini sebenarnya telah

diatur dalam Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 41 menyatakan bahwa:

(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:

a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :

1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;

(13)

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

(4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. (5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat

dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan Pasal 42 menyatakan bahwa:

(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Tindakan preventif yang ada dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana

korupsi ini tidak dapat dioptimalisasikan karena pengungkapan korupsi yang

berlindung dibalik birokrasi dan peraturan perundang-undangan sangat sulit

diungkap oleh masyarakat biasa.

Tindakan represif juga tidak maksimal, kenyataan dilapangan banyak sekali

pelanggaran terhadap pembayaran uang pengganti sebagai pengembalian

kerugian Negara, contohnya pada kasus mantan Bupati Lampung Tengah Andy

Achmad Sampurnajaya yang pembayaran uang penggantinya belum tuntas hingga

saat ini , bahkan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi Lampung

M Teguh berpandangan bahwa pihaknya tidak akan melakukan eksekusi terhadap

harta terpidana korupsi dana APBD Lampung Tengah Andy Achmad senilai Rp.

28.000.000.000 miliar itu, padahal Mahkamah Agung telah memvonis hukuman

(14)

20.500.000.000 miliar.3 Alasan tidak dilakukannya eksekusi ini adalah karena

harta terpidana tidak mencapai Rp. 20.500.000.000 miliar.

Sanksi Pidana uang pengganti pada dasarnya merupakan hukuman tambahan yang

bersifat khusus. Sanksi pidana uang pengganti diatur dalam Pasal 34 huruf C

Undang-Undang No 3 Tahun 1971, yang menyatakan bahwa:

“Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam KUHP, maka sebagai hukuman tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.”

Pasal 18 ayat 1b Undang-Undang No 31 Tahun 1999 dinyatakan, pembayaran

uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

Mempertegas Pasal 18 ayat 1b, dalam Pasal 18 ayat 2 dinyatakan pula bahwa:

“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.”

Kasus Andy Achmad Sampurnajaya jelas telah melanggar ketentuan Pasal 18

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan pembayaran uang

pengganti tidak lebih dari satu bulan setelah putusan pengadilan memiliki

kekuatan hukum tetap, eksekusi pembayaran uang pengganti ini juga tidak

dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor.

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis akan mencoba mengangkat

permasalahan tersebut dan menuangkan dalam penulisan skripsi yang berjudul

3

(15)

Analisis Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi (studi kasus perkara

nomor 02/PID/TPK/2012/PNTK). Dengan maksud untuk ikut serta dalam

pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan hukum pada khusunya,

yang merupakan tanggung jawab sosial bagi setiap anggota masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah:

a. Apakah pembayaran uang pengganti dalam perkara Nomor

02/Pid/TPK/2012/PNTK sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 ?

b. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang

pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi ?

c. Apakah yang menjadi faktor penghambat eksekusi uang pengganti ?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan dari permasalahan

yang timbul, maka lingkup penelitian difokuskan pada Analisis Uang Pengganti

dalam Tindak Pidana Korupsi .Daerah penelitian penulis batasi hanya pada

Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Tinggi Lampung.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

(16)

1. Mengetahui pembayaran uang pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi Nomor 02/Pid/TPK/2012/PNTK.

2. Mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang pengganti yang belum dibayar oleh terpidana.

3. Mengetahui faktor penghambat dalam eksekusi uang pengganti.

b. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penulisan ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana khususnya

berhubungan dengan eksekusi pidana tambahan uang pengganti dalam

perkara Tindak Pidana Korupsi.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat berguna bagi penulis dalam memperdalam dan

mengembangkan ilmu Hukum khususnya ilmu hukum pidana dan untuk

menambah informasi bagi pihak-pihak yang tertarik untuk mengadakan

penelitian lanjutan tentang tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

a. Kerangka teori

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

(17)

mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

relevan oleh peneliti.4

Pelaksana putusan Hakim (eksekusi) yang dalam hal ini merupakan

peraturan yang terdapat dalam ketentuan Pasal-Pasal tersebut ialah Pasal

270 KUHAP, Pasal 18 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 54 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

dan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berlaku ketentuan-ketentuan di

bawah ini:

1. Pasal 270 KUHAP

“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya dalam hal ini oleh jaksa”.

2. Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksadan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.

3. Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.

4

(18)

4. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa”.

5. Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

“melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Menurut Soerjono Soekanto ada 5 faktor yang mempengaruhi penghambat

penegakan hukum, yaitu :5

1. Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang.

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam

praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum

sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak

sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara

penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu

tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai

hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum

tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih

banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu

mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar

keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif,

sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing

orang.

5

(19)

2. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk hukum

maupun yang menerapkan hukum.

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas

penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah

baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu,

salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah

mentalitas atau kepribadian penegak hukum .

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masing

cukup tertinggal jika dibAndyngkan dengan negara-negara maju yang

memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalam membantu

menegakkan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan.

Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup

mempengaruhi juga didalam efektivitas hukum. Apabila masyarakat

tidak sadar hukum dan atau tidak patuh hukum maka tidak ada

keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri

manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang

dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan

dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum.

(20)

dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang

diharapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan

masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana

seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka

berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah

suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan

mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

b. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau

menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari

arti yang berkaitan dengan istilah itu6

1. Korupsi adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi melawan hukum yang dapat merugikan keuangan atau

perekonomian Negara.7

2. Pidana tambahan adalah perampasan barang bergerak yang berwujud

atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk

atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan

milik terpidana dimana tindal korupsi dilakukan, begitu pula harga dari

barang-barang tersebut , pembayaran uang pengganti, penutupan

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Op.cit, hlm. 32. 7

(21)

seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun,

pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau

dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. (Pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001)

3. Uang Pengganti adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi. (Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

4. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh menurut Undang-Undang

merupaka suatu pidana.8

5. Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan

penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang

merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum.9

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka

sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

permasalahan, ruang lingkup, tujuan, kegunaan penelitian, kerangka teoritis

dan konseptual, serta menguraikan tentang sistematikan penulisan.

8

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Bina Aksara. 1991. Hlm. 55 9

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang Tindak Pidana Korupsi, pidana tambahan dalam

Tindak Pidana Korupsi, tujuan penjatuhan uang pengganti serta kewenangan

Kejaksaan dalam eksekusi uang pengganti.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data,

penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data,

serta tahap akhir berupa analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan

permasalahan dalam skripsi ini, akan dijelaskan analisis uang pengganti pada

tindak pidana korupsi, upaya untuk memperoleh uang pengganti yang sesuai

dengan ketentuan dan tata cara pelaksanaan berdasarkan KUHAP dan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 serta faktor penghambat dalam

eksekusi uang pengganti.

V. PENUTUP

(23)

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Sebelum membahas pengertian tindak pidana korupsi, terlebih dahulu perlu

diketahui mengenai Pengertian tindak pidana, Tindak Pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai

kejahatan atau tindak pidana.1

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:2

1. Subyek

2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur obyektif lainnya)

Kelima unsur tersebut dikategorikan menjadi dua unsur yaitu unsur sunyektif dan unsur objektif. Yang termasuk unsur subyek dan kesalahan. Sedangkan yang

1

S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. cet 3. Jakarta. Storia Grafika. 2002. Hlm. 204

2

(24)

termasuk unsur obyektif adalah sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang

serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan faktor-faktor obyektif lainnya. Kelima unsur tersebut harus ada dalam suatu tindak pidana.

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang pengaturannya

diluar KUHP, Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan

kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materil, sedangkan

korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaga

legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah.3

Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang merupakan

manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seseorang pegawai negeri atau istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang patut atau menguntungkan diri

sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum

pidana.

3

(25)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah korporasi sebagai subjek tindak

pidana korupsi disamping manusia sebagai pemangku hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum.

Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruption atau

corruptus, dan istilah bahasa Latin yang lebih tua dipakai istilah corumpere. Dari bahasa Latin itulah turun keberbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa seperti Inggris: corruption, Prancis: corruption, dan Belanda corruptive dan korruptie,

yang kemudian turun kedalam bahasa Indonesia menjadi Korupsi. Arti harafiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap,

tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.4

Korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibAndyngkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh

berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius , tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan

pembangunan sosial, ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil

dan makmur.

Korupsi di Negara Indonesia sudah dalam tingkat kejahatan korupsi polotik. Kondisi Indonesia yang terserang kanker politik ekonomi sudah dalam stadium

4

(26)

kritis. Kanker ganas korupsi terus menggerogoti saraf vital dalam tubuh Negara

Indonesia, sehingga terjadi krisis institusional. Korupsi politik dilakukan oleh konglomerat Kejahatan kekuasaan ini berlangsung secara sistematis.

Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan Negara ke arah yang

lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum dihadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintah menjadi faktor penyebab mengapa korupsi masih tumbuh

subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari

rakyat.

Rezim orde baru yang otoriter telah melakukan proses feodalisasi hukum secara sistematis. Hingga saat ini, banyak perangkat hukum yang tidak bermuara pada

keadilan dan tidak melindungi rakyat. Berarti secara sadar hukum dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang korup. Dalam tindak pidana korupsi kebanyakan pejabat tinggi yang korup diperlakukan istimewa dan hukum acara

pidana korupsi tidak diterapkan adanya kesetaraan sehingga tidak sedikit koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.

Merajalelanya korupsi adalah karena faktor perangkat hukumnya lemah.

(27)

Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif,

adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut :5

1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat

kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut ( Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

4. Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban (Pasal

5 ayat(1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

6. Member sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena

atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya

5

(28)

dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

7. Member atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

8. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual

bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,

atau keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan

bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan

perbuatan curang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) 11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c

(Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

(29)

waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan

karena jabatannya, atau membiarkan surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan

tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

13. Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan

sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

Sedangkan Korupsi pasif adalah sebagai berikut :

1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau

janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau

memperngaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

3. Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan

(30)

B. Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi

Selain pidana pokok, Tindak pidana Korupsi juga mengenal pidana Tambahan seperti diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang

berbunyi:

Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindakan pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana Tindak Pidana Korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menjelaskan bahwa selain pidana tambahan yang ditentukan dalam undang-undang korupsi, pelaku

tindak pidana korupsi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan yang ada pada KUHP, yaitu:

1. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP terdiri dari :

a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu. b) Hak memasuki angkatan bersenjata.

c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

d) Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri.

e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.

(31)

2. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUHP ditentukan bahwa dapat dirampas:

a) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan.

b) Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan.

3. Pengumuman keputusan Hakim.

Berdasarkan ketentuan diatas dapat diberikan penjelasan bahwa untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tersebut harus kepunyaan atau atas nama terpidana dan dapat pula perampasan terhadap barang-barang milik orang lain apabila pihak ketiga mendapatkan barang tersebut dari terdakwa dengan itikad buruk. Dalam hal menafsirkan mengenai pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.

Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak

pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.

Hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan selalu

menjatuhkan pidana tambahan.Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi harus diberi perhatian khusus karena korupsi adalah suatu perbuatan yang

bertentangan dengan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara sehingga kerugian tersebut harus dipulihkan.

Sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti, dari uang pengganti itulah hasil korupsi yang diperoleh terdakwa dapat

dikembalikan ke Negara. Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk

(32)

Negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang hasil korupsi tersebut,

atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian Negara masih dapat ditagih dari pihak lain.

Jumlah uang pengganti adalah kerugian Negara yang secara nyata dinikmati atau

memperkaya terdakwa atau karena kausalitas tertentu, sehingga terdakwa bertanggung jawab atas segala kerugian Negara. Perbedaan Uang Pengganti dan Uang Sitaan, dalam perkara korupsi selain pidana uang pengganti juga terdapat

uang sitaan. Kedua jenis pidana tambahan ini perlu untuk diberikan definisi yang tegas karena perbedaan definisi uang pengganti dan uang sitaan tersebut sering

menimbulkan polemik. Sehingga antar lembaga pemerintahan harus mempunyai satu pemahaman terkait dengan definisi uang pengganti serta uang sitaan, apalagi keduanya mempunyai muara setoran yang sama, yakni ke kas Negara.6

Dasar hukum mengenai uang pengganti ini adalah Pasal 17 jo 18 huruf b

Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

C. Tujuan Penjatuhan Pidana Uang Pengganti

Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legisasi,

perumusan penentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep atau rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakekat

6

(33)

permasalahannya, bila hakekat permasalahannya lebih dekat dengan masalah di

bidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana denda atau semacamnya.7

Penetapan sanksi hukuman pidana seharusnya dilakukan dengan menggunakan

pendekatan rasional, bila berdasar pada konsep rasionalitas ini maka kebijakan penetapan sanksi dalam pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal secara keseluruhan, yakni perlindungan

masyarakat. Disebabkan pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, haruslah dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat

menunjang tujuan umum tersebut, kemudian berorientasi untuk menetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan dilakukan.

Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidanakan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak

melakukan korupsi, tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang Negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi.8

Korupsi mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial dan sebalaiknya

Negara sebagai korban menderita kerugian sacara finansial, akibat dari kerugian yang ditanggung Negara pada akhirnya berdampak ke berbagai hal. Bahkan

7

Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan.Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2007. Hlm. 26

8

(34)

korupsi telah mengakibatkan kemiskinan, sehingga pelaku korupsi harus

dikenakan pidana uang pengganti.9

Efi Laila Kholis mengatakan bahwa Penjatuhan pidana dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas, dalam arti sempit penjatuhan pidana berarti kewenangan

menjatuhkan pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (Hakim).10Dilihat dalam arti luas penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum dari pejabat yang berwenang melalui proses penyidikan,

penuntutan sampai pada putusan pidana oleh hakim dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana. Seperti pidana lainnya, pidana uang pengganti juga dicantumkan dalam

amar putusan hakim.

Pidana pembayaran uang pengganti memiliki tujuan mulia akan tetapi kontras dengan beban mulia yang diembannya, ternyata pengaturan mengenai pidana uang

pengganti justru tidak jelas, baik Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang hanya mengatur uang pengganti dalam 1 Pasal yakni Pasal 34 huruf c maupun

undang-undang penggantinya, minimnya pengaturan mengenai uang pengganti mangakibatkan munculnya berbagai permasalahan.

Mengenai penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman pada surat

Jaksa Agung No B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009 tentang petunjuk kepada Jaksa penuntut Umum dalam membuat surat tuntutan yang salah satu

diantaranya adalah mengenai pembayaran uang pengganti yaitu :

9

Romli Atmasasmita, Kapita selekta hukum pidana dan kriminologi. Mandar Maju. Bandung. 1995. Hlm. 132

10

(35)

1. Kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirugiakan, amar surat tuntutan :“membayar uang pengganti kepada Negara (institusi yang dirugikan sebesar…dst.

2. Untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayarkan uang pengganti tetapi hanya sebagian (tidak penuh) dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supaya ditambah klausul : “apabila terdakwa/terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti.

3. Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang supaya didalam amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi.

4. Apabila tidak diketahui secara jelas jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomi untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana adalah menggunakan kualifikasi “turut serta” dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.

5. Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian Negara oleh Kejaksaan Agung.

D. Pengertian dan Kewenangan Kejaksaan dalam Eksekusi Uang Pengganti

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, yang dimaksud jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Tugas dan wewenang kejaksaan diatur dalam Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan.

(36)

1. Melakukan penuntutan.

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan piadana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat. 4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang.

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

b. Di bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.

c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :

1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. 2. Pengamanan kebijakan penegak hukum. 3. Pengawasan peredaran barang cetakan.

4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.

5. Pencegahan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama. 6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 35 undang-undang tentang kejaksaan diatur tugas dan wewenang Jaksa

Agung, yaitu :

a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.

b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang.

c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.

e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.

f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(37)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penulisan ini dilakukan secara yuridis normatif dan

yuridis empiris yaitu :

a. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari

buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang

menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah

yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian

normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum,

dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

b. Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan

mengadakan penelitian di lapangan terhadap pihak-pihak yang dianggap

mengetahui permasalahan yang berhubungan dengan penelitian.

Tipe penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu menguraikan secara rinci dan

dilakukan analisis sehingga memperoleh gambaran yang jelas dan sistematis

(38)

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua sumber yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari objek penelitian dilapangan, data

primer diperoleh dengan cara observasi atau penelitian secara langsung ke

tengah-tengah masyarakat. Melakukan wawancara kepada orang-orang yang terkait

langsung dengan data yang ingin diperoleh atau dengan pemetaan dari kejauhan

tanpa harus terjun langsung ke lapangan.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Pencarian

data sekunder ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya : melalui studi

kepustakaan, artikel-artikel dimedia masa baik cetak maupun elektronik yang

terkait dalam penelitian ini. Data sekunder meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan.

(39)

b. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, yang dapat membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer, antara lain ;1

1) Hasil Karya Ilmiah

2) Rancangan Undang-undang

c. Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk

maupun penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.

Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menelitibahan Hukum pustaka atau

data sekunder belaka dinamakan penelitian hukum Normatif atau penelitian

kepustakaan

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang cirri-cirinya dapat

diduga. Populasi dalam penelitian ini adalah orang-orang yang berhubungan

langsung dengan masalah dalam penulisan skripsi ini. Penentuan responden pada

penulisan ini menggunakan metode pengambilan sampel secara purposive

sampling yang berarti bahwa dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan

yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang

akan diteliti.2 Sesuai dengan metode penentuan sampel dari populasi yang akan

1Soerjono Soekanto, Op. cit. hlm. 13

2

(40)

diteliti secara hirarki sebagaimana tersebut diatas maka responden dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang

2. Hakim pada PN Tanjung Karang : 1 orang

3. Dosen bagian Pidana pada fakultas Hukum Unila : 1 orang+

Jumlah 3 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam skripsi dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan yaitu Pengumpulan data yang dilakukan terhadap data

sekunder melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat,

mengutip buku dan menelaah peraturaan perundangan dan Putusan Hakim.

b. Studi Lapangan yaitu Pengumpulan data yang dilakukan untuk

memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara terbuka

kepada responden, materi yang akan ditanyakan telah disiapkan oleh

penulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul kemudian di proses melalui pengolahan data dan

peninjaun data sebagai berikut :

a. Editing yaitu memeriksa dan meneliti data yang diperoleh, agar terhindar

(41)

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membAndyngkan dan menguraikan

data serta mendeskripsikannya dalam bentuk uraian untuk kemudian

ditarik suatu kesimpulan.

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan

pokok permasalahan sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualitatif, hal ini dilakukan

untuk menguraikan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian

yang berbentuk penjelasan-penjelasan, berdasarkan analisis tersebut dapat ditarik

suatu kesimpulan sacara induktif yaitu cara berfikir dalam mengambil suatu

kesimpulan terhadap permasalahan yang umum berdasarkan fakta-fakta yang

(42)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut;

1. Pembayaran uang pengganti dalam perkara Nomor 02/Pid/TPK/2012/PN.TK

tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 karena jaksa

selaku eksekutor tidak melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “Jika

terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat

disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.

2. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh uang pengganti adalah Upaya

penyitaan dan pelelangan harta benda terpidana sesuai dengan ketentuan Pasal

18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Upaya pelacakan dan

penjarinagn asset terpidana saat tahap penyidikan, penyidik berwenang

(43)

dimiliki oleh tersangka, istri atau suami serta anak-anaknya. Sesuai dengan

Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan

upaya penagihan uang pengganti menggunakan instrument perdata, digunakan

Pasal 32, 33, dan 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta dengan upaya instrument perdata.

3. Faktor penghambat dalam eksekusi uang pengganti adalah faktor hukum itu

sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum di Indonesia.

B. Saran

1. Kepada hakim yang memutus perkara korupsi apabila terdakwa secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan

Negara, maka wajib dijatuhkan uang pengganti yang sebanyak-banyaknya

sama dengan hasil korupsi yang diperolehnya walaupun pidana uang pengganti

hanya pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi.

2. Kepada penegak hukum khususnya jaksa harus memiliki keberanian dan tekad

kuat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai eksekutor dalam

pelaksanaan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap agar

kerugian keuangan Negara dari tindak pidana korupsi bisa dipulihkan melalui

pembayaran uang pengganti.

3. Kepada legislatif selaku pembuat undang-undang agar segera membuat

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Arief , Barda Nawawi. Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan,cet 1, Kencana Prenada Media Group, Jakart, 2007.

Atmasasmita, Romli. Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminolog,. Mandar maju, Bandung, 1995.

Chazawi, Adam. pelajaran hukum pidana bagian 1, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 2002.

Hamzah, Andy. Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.

Indriyanto. Uang Penggant, Citra Adiya Bakti, Jakarta, 1998.

Kholis, Laila. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing Jakarta, 2010.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983

Mubyarto. Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan keadilan, Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta, 1980.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung. 1992.

Raharjo,Satjipto.Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), BPHN, Jakarta

Riyanto, Astim. Kapita Selekta Hukum Dalam Dinamika,Yapemdo.Bandung, 2000.

(45)

Soekanto, Soerjono. faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali, Jakarta, 1983.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 2000.

Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet 3, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Sunarto. Problematika Hukum Sanksi Pidana Uang Pengganti dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi. Bandar Lampung. 2013.

Surachmin, dan SuhAndy. Strategi dan teknik korupsi mengetahui untuk mencegah, Sinar grafika, Jakarta, 2011.

Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2002.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

http://nasional.inilah.com/read/detail/1957861/harta-mantan-bupati-lampung-tengah-wajib-disita#.UnKdjTHk8nI.

Referensi

Dokumen terkait

Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti tidak sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas, lekas

- Memberikan pedoman untuk melakukan penilaian risiko pada bahan kimia tertentu - Memberikan pedoman untuk melakukan manajemen risiko dengan menetapkan aturan yang

Pelayanan Program Rujuk Balik adalah Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan

The highest efficiency of 97,483% is reached at zeolite with diameter 20-40 MESH, while recirculation column process is applied in column with diameter 2,54 cm when the concentration

pertimbangan-pertimbangan tertentu, diantaranya yaitu dengan perhitungan weton (hari lahir) dan hari baik. Masyarakat Kecamatan Kertosono meyakini bahwa

Sifat dan karakteristik lahan gambut pada masing-masing lapisan disusun dalam bentuk basisdata sederhana (excel) yang terdiri dari sumber data, tahun, batas administrasi

T : Apa yang menjadi alasan mengapa di keluarga Bapak/ Ibu melaksanakan pembagian harta warisan dengan jalan kekeluargaan (kesepakatan).. J : Pembagian tersebut

Berdasarkan penelitian itu dapat diperoleh hasil bahwa perlindungan konsumen pengguna jasa jaringan komunikasi IndiHome menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang