PERANAN SIKAP, NORMA SUBJEKTIF DAN
PERCEIVED
BEHAVIORAL CONTROL
(PBC) TERHADAP INTENSI
BERHENTI MEROKOK PADA PEROKOK MAHASISWA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
111111 lllilll llllll lllllllllllllliro.
111
Universitas lslaffi Negeri rr · _ Mセ@
SYARIF HIDAYATULLAH jakaヲカセイョB@ MMZ[[セセ@
;1ri . .
• :ii : ᄋNセᄋセャRᄋセ\セu\ゥャセャャヲエAセセAAセGNYNMゥ@
GGセᄋᄋ@
1nr1uk : ···.. t9, ... .
lA
ᄋZZZ・サセBRャtsGGャB
QG@
klasifikasi :...
Oleh:
KIKI RAHMI ANGGUNIA NIM: 105070002382
FAKULTAS PSil(OLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Peranan Sikap, Norma Subjektif dan
Perceived Behavioral
Control
(PBC) Terhadap lntensi Berhenti Merokok Pada
Perokok Mahasiswa UIN Syarif Hida
Jakarta
I
pefセpustaヲ\GNNpan@
UT.A.MAU!N SYAHID JAKARTA ;,
Skripsi 1 11
Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Pembimbing I
;:::::::;.;--:-
-lkhwan Luthfi, M.Psi NIP .150368809
Oleh:
Kiki Rahmi Anggunia
NIM.105070002382
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing II
a 1 Saloom, M.Si
NIP .150389379
FAKULTAS PSIKOLOGI
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "Peranan Sikap, Norma Subjektif dan Perceived
Behavioral Control (PBC) Terhadap lntensi Berhenti Merokok Pada
Perokok Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 Desember 2009. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi.
Jakarta, 07 Desember 2009
Sidang Munaqasyah
Dekan I
Ketua merangkap anggota,
Oィ⦅ᄋセ@
"t'..Pembantu Dekan I Sekretaris merangkap anggota,
Jahja Umar, Ph.D Dra Fadhilah Su laga, M.Si NIP. 130.885.522 NIP. 1956.1223.1983.032001
Penguji I,
Yunita Faela Nisa, M.Psi, Psi NIP: 150.368.748
Pembimbing I,
セ@
セ@
NIP .150368809Anggota
Ill
Penguji II,
lkhwan Luthfi, M.Psi NIP.150368809
KATA PENGANTAR
Bismil/ahirrahmaanirrahim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul "Peranan Sikap, Norma Subjektif dan
Perceived Behavioral Control (PBC) Terhadap lntensi.Berhenti Merokok
Pada Para Perokok". Salawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita
dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak Jepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, ba1k bantuan moril, materil, masukan, kritik
dan pendapat. Dukungan langsung dan dukungan tidak langsung. Untuk itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Jahja
Umar, Ph.D
2. Dosen Pembimbing I, Bapak lkhwan Luthfi. M.Si, :;ang sudah Juar biasa
memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berguna dalam
menyelesaikan penelitian ini.
3. Dosen Pembimbing II, Bapak Gazi Saloom ,M.Si, yang selalu sabar
4. Pembimbing Akademik lbu Natris ldriyani, M.Si, atas bimbingannya
selama penulis menjalani perkuliahan
5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang sangat luar
biasa, semoga ilmu-ilmu yang diberikan bermanfaat dalam kehidupan
Penulis
6. Ayah dan ibu yang paling penulis hormati dan sayangi yang tak pernah
putus mendoakan penulis dan keluargaku (dua kakakku, dan empat
adikku) yang tak henti memberikan dorongan, doa, cinta dan kasih yang
tulus kepada penulis hingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan
tanggung jawab sebagai mahasiswa
7. Para responden, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
8. Seluruh Keluarga Mahasiswa Minang (KMM). Terima kasih untuk
semangat, bantuan serta kebersamaannya.
9. Keluarga besar Madrasah Tarbiyah lslamiah Candung Bukittinggi, para
kakak alumni, adik-adik kelas, ustadz/ ustadzah dan teman-temanku,
terima kasih atas motivasi dan doa yang selalu dialirkan kepada penulis.
10. Seluruh sahabat dan teman-teman Fakultas Psikologi khususnya
angkatan 2005 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu,
kakak-kakak dan adik-adik kelasku, terima kasih untuk support, diskusi, saran
serta kebersamaannya.
Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang di berikan.
Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait. Untuk kesempurnaan karya ini, penulis harapkan saran dan· kritiknya.
Jakarta, 2 November 2009
(A) Fakultas Psikologi
(B) November 2009
(C) Kiki Rahmi Anggunia
ABSTRACT
(D) Peranan Sikap, Norma Subjektif dan Perceived Behavioral Control
(PBC) Terhadap lntensi Berhenti Merokok Pada Perokok Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(E) 107 halaman + 26 lampiran
(F) Perilaku merokok paling banyak ditemui pada perokok usia dewasa muda. Salah satu cara untuk menghindari berbagai penyakit mematikan dan menjaga \ingkungan dari asap rokok, Pemerintah menetapkan beberapa aturan untuk tidak merokok di tempat umum. Namun jumlah perokok malah semakin tinggi.
Berdasarkan teori Planned Behavior, perilaku manusia ditentukan oleh
sikap, norma subjektif dan PBC melalui intensi perilaku. lntensi perilaku adalah indikasi kesiapan seseorang untuk menampilkan perilaku.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan sikap, norma
subjektif dan PBC terhadap intense perilaku. Penelitian 1n1
menggunakan pendekatan kuantitatif dan diikuti oleh 100 subjek
penelitian yang diambil secara purposive. lnstrumen pengumpulan data
adalah dengan model skala Likert dan skala Semantic Differential.
Berdasarkan hasil penelitian, gambaran intensi berhenti merokok pada mahasiswa berada pada kategori sedang yaitu sebesar 56%, sedangkan sikap karena dibagi menjadi dua kategori maka sikap
perokok didominasi oleh kategori negatif sebesar 54 %. Untuk norma
subjektif para perokok juga masuk dalam kategori sedang dengan 69 %
demikian juga halnya PBC 57
%
di kategori sedang. Dari ana\isis datadengan multiple regresi linier dengan melihat R square dihasilkan sikap,
norma subjektif dan PBC memberi sumbangan yang signifikan terhadap
intensi perilaku berhenti merokok sebesar 29,3 %. Hasil uji signifikansi
pengaruh variabel independen dilihat dari uji F dengan F hitung 13.281 > F tabel dengan signifikansi 0,000 < 0,05 yang artinya Ha diterima. Untuk variabel yang memiliki pengaruh paling signifikan dengan melihat nilai
beta output coefficient yakni variabel PBC sebagai penyumbang
terbesar 31,8 %, kemudian penyumbang terbesar kedua norma subjektif
DAFTAR ISi
HALAMAN JU DUL ... i
HALAMAN PERSETUJ UAN . . . .. .. . .. .. . .. ... .. .. ... .. ... .. .. .. . .. .. .. . .. .. .. . .. .. . .. .. . .. . . ii
M 0 TT 0. . . .. . . .. . . .. . . . .. . . .. . .. . .. . .. . .. .. . . .. . .. .. .. .. . .. . .. .. . .. .. .. .. . .. .. . .. . .. . .. . .. .. . . . iii
KAT A PEN GANT AR... iv
ABSTRAKSJ... vi
DAFT AR JS I . . . .. . . . .. . . . .. . . . .. .. . .. .. . .. .. . .. .. ... .. .. .. . .. .. . . . .. .. . .. .. .. ... .. .. . .. .. . .. viii
DAFT AR T ABEL . . . .. .. . .. .. ... .. .. . .. .. . .. ... .. ... .. .. .. . .. .. ... .. .. . .. .. . .. .. .. . .. ... xii
DAFT AR GAMBAR . . . .. . . . .. . . . .. . . .. . .. .. . . . .. ... .. .. .. . .. .. ... .. .. .. . .. .. . . . .. .. ... .. ... .. . xiii
DAFT AR LAMPI RAN . . . .. . .. . . . .. .. . .. ... .. . . .. . .. . . . .. ... .. .. .. ... .. .. ... .. .. ... .. .. . .. ... .. . xiv
BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 ldentifikasi ... 11
1.3 Batasan Masalah dan Rumusan Masalah Masalah .. .. 1.3.1 Batasan Masalah ... 12
1.3.2 Rumusan Masalah ... 13
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13
1.4.1 Tujuan Penelitian ... 13
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 14
1.5 Sistematika Penulisan ... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 lntensi ... 16
2.1.1 Pengertian lntensi ... 16
2.1.2 Komponen lntensi... 17
2.1.3 lntensi berhenti merokok... 19
2.1.4 Sikap ... 20
2.1.4.1 Pengertian Sikap... 20
2.1.4.2 Peran Beliefs... 22
2.1.5 Norma subjektif... 24
2.1.5.1 Pengertian norma subjektif ... 24
2.1.5.2 Determinan norma subjektif ... 25
2.1.6 Perceived Behavioral Control ... 27
2.1.7 TRA (Theory of Reason Action)... 30
2.1.8 TPE3 (Theory of Planned Behavior... 34
2.2 Rokok ... 37
2.2.1 Sejarah rokok ... 37
2.2.2 Kandungan zat kimia dalam rokok... 39
2.2.3 Bahaya merokok... 40
2.2.4 Faktor penyebab kebiasaan merokok... 41
2.2.5 Tahapan merokok... 42
2.3 Kerangka Berpikir ... 45
2.4 Hipotesis ... 48
BAB Ill METODOLOGI PENELITIAl\J 3.1 Pendekatan Penelitian ... 49
3.2 Definisi Variabel dan Definisi Operasional ... 50
3.2.1 Definisi variabel ... 50
3.2.2 Definisi Operasional ... 50
3.3 Pengambilan Sampel ... 52
3.3.1 Populasi dan Sampel ... 52
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 53
3.4 Pengumpulan Data ... 54
3.4.1 Metode dan instrumen ... 54
3.4.2 lnstrumen Penelitian ... 54
3.1 Teknik Analisis Data ... 61
3.2 Prosedur Penelitian ... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Responden ... 64
4.2 Hasil uji instrumen penelitian ... 68
4.3 Deskripsi hasil penelitian ... 70
4.3.1 Kategorisasi Skor Skala lntensi Berhenti Merokok 71 4.3.2 Kategorisasi Skor Skala sikap ... 72
4.3.3 Kategorisasi Skor Skala norma subjektif ... 73
4.3.4 Kategorisasi Skor Skala PBC ... 74
4.4 Uji Hipotesis ... 75
4.4.1 Hasil Uji Hipotesis Statistik Pertama ... 75
4.4.2 Hasil Uji Hipotesis Statistik Kedua ... 78
4.4.3 Hasil Uji Hipotesis Statistik Ketiga ... 79
4.4.4 Hasil Uji Hipotesis Statistik Keempat ... 80
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 83
5.2 Diskusi ... 84
5.3 Saran 5.3.1 5.3.2 saran teoritis ... .. saran praktis ... . 88 88 89 DAFTAR PUSTAKA ... . 91
LAMPI RAN
Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5
Tabel 3.6 Tabel 3.7 Tabel4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3 Tabel 4.4. Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Table 4.9 Tabel 4.10 Tabel4.11
Tabel 4.12
Tabel 4.13 Table4.14 Table 4.15 Tabel 4.16 Tabel 4.17 Tabel 4.18 Tabel 4.19
Tabel 4.20
Tabel 4.21
DAFTAR TABEL
Skar Skala Model Likert
Skar Skala Semantic Differential
Blue print skala pengukuran sikap
Blue print skala pengukuran Norma Subjektif
Blue print skala pengukuran Perceived Behavioral Control
(PBC)
Skala Pengukuran lntensi Norma Reliabilitas
Distribusi responden berdasarkan usia
Distribusi responden berdasarkan tingkatan (semester)
Distribusi responden berdasarkan jenis rokok yang dikonsumsi Distribusi responden berdasarkan waktu (sejak kapan mulai merokok)
Distribusi responden berdasarkan frekuensi merokok Uumlah konsumsi rokok)
Distribusi responden berdasarkan alasan merokok Blue print skala pengukuran sikap setelah uji instrumen Blue print skala pengukuran Norma Subjektif setelah uji
instrument
Blue print skala Perceived Behavioral Control (PBC) setelah uji instrument
Skala Pengukuran lntensi
Deskripsi umum skor perhitungan statistik skala intensi, sikap, norma subjektif, dan PBC (Perceived Behavioral Control)
Klasifikasi responden berdasarkan skala intense berhenti merokok
Kategorisasi Skar skala Sikap
Klasifikasi responden berdasarkan skala norma subjektif Klasifikasi responden berdasarkan skala PBC
Hasil Pengujian Model Multiple Regresi Linear
Hasil Pengujian Signifikansi/ANOVA(b)
Hasil Analisis Regresi Sikap terhadap lntensi Perilaku Hasil Analisis Regresi Norma Subjektif terhadap lntensi Perilaku
Hasil Analisis Regresi Perceived Behavioral Control terhadap I ntensi Perilaku
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3.
DAFT AR GAMBAR
Skema (Theory of Reasoned Action) TRA (Ajzen, 1988)
Model Planned Behavior
Kerangka Berpikir
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
DAFTAR LAMPIRAN
Data Hasil Try Out dan Field Tes
Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Skala lntensi, Sikap,
norma subjektif, dan perceived behavioral control
Hasil Elisitasi
lnstrumen Penelitian
Hasil Uji Prasyarat
BABI
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah.
Perilaku merokok bagi kehidupan manusia saat ini merupakan kegiatan yang
fenomenal. Meskipun sudah diketahui akibat negatif merokok tetapi jumlah
perokok bukan semakin menurun malah semakin meningkat dan usia
merokok semakin bertambah muda. Perilaku merokok merupakan aktivitas
subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya yang diukur melalui
intensitas merokok, tempat merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok
dalam kehidupan sehari-hari (Komalasari dan Helmi, 2000).
Hampir semua bukan perokok setuju bahwa merokok itu berbahaya, tetapi
kurang dari separuh perokok yang menganggapnya demikian, karena
menu rut mereka bahaya itu agak dibesar-besarkan (Target, 1991 ). Karena
itulah perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan
perilaku yang masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan
dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum
maupun jalan-jalan. Hampir setiap saat dapat disaksikan dan dijumpai orang
yang sedang merokok. Bahkan larangan merokok di tempat umum pun tidak
Prof Dr Farid Anfasa Moeloek SpOG, dalam sebuah jumpa pers berkaitan
dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Jakarta
mengungkapkan bahwa merokok merupakan peri:aku adiksi yang telah
mewabah secara global dan endemis di Indonesia. lni menjadikan masalah
bersama yang perlu ditanggulangi (Siswono, 2005).
Penelitian mengenai perilaku merokok (oleh Center for The Advancement of
Health, 2000 dalam Wulandari, 2007) telah banyak dilakukan sejak tahun
1950-an sejalan dengan semakin berkembangnya kesadaran mengenai
kesehatan. Sejak saat itu, disimpulkan bahwa merokok adalah faktor yang
dapat menyebabkan dan mempercepat kematian. Menurut Oskamp, 1984
(dalam Smet, 1994) resiko kematian tersebut bertambah sehubungan dengan
banyaknya merokok dan umur awal merokok yang lebih dini.
Selain itu, WHO memperkirakan pada tahun 2020, rokok akan menjadi
pembunuh utama diseluruh dunia dengan 10 juta orang akan meninggal
setiap tahun. Hal ini terutama akan melanda negara-negara berkembang,
karena dari 1,3 milyar perokok diseluruh dunia, 84 persen berada pada
Negara-negara berkembang (Health Today, 2005). Efek dari merokok juga
Menurut David O.Sears (1994), perilaku nyata sering tidak sesuai dengan
sikap, dan nampaknya orang dapat hidup cukup nyaman dengan
ketidaksesuaian tersebut, dalam ha! ini sikap terhadap merokok. Banyak
perokok percaya bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan dan banyak
yang tidak menyukai rasa nikotin. Tetapi sulit bagi mereka untuk melepaskan
diri dari kebiasaan tersebut. Perilaku merokok mereka tidak dikendalikan oleh
kognisi dan penilaian negatif mereka tentang merokok.
Para perokok memiliki makna tersendiri terhadap merokok. Makna merokok
menurut Danusantoso (1991 ), sehubungan dengan berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh perokok dalam Rokok dan Perokok, sebagai berikut: a)
Merokok dapat meningkatkan kemampuan berkonsentrasi untuk
memecahkan masalah yang sedang dihadapi, b) Merokol< dapat
memudahl<an lancarnya menjalin persahabatan baru, mengakrabl<an
suasana, menimbulkan rasa persaudaraan, c) Merokok sebagai obat
penenang, sebagai jalan l<eluar untuk meredakan ketegangan yang dialami,
d) Merol<ok sebagai penghalau l<esepian, e) Sagi remaja, rokol< memberil<an
kesan dewasa, jantan, gagah, modern, dan lainnya.
Makna-makna tersebut juga diperkuat dan makin ditonjolkan oleh rel<lame
besar-besaran tentang perihal rokok yang dijumpai di hampir semua media
massa, di jalan-jalan, di bioskop dan lainnya. Kalau kita perhatil<an rel<lame
rokok (melalui perusahaan reklame) ingin menunjukkan bahwa rokok tersebut
merupakan hobi atau kesenangan ataupun ciri khas suatu kelompok
masyarakat tertentu. Dan kelompok yang biasanya ditonjolkan adalah
mereka yang sukses, muda, gagah, generasi muda yang modern. Hal ini
akan tampak pula pada konsumsi rokok di negara-negara berkembang
terutama di Indonesia, dimana reklame rokok masih diperkenankan
sebebas-bebasnya. Disini ternyata konsumsi rokok naik 400 persen dalam jangka
waktu sewindu (Medika, Mei 1986 cialam Danusantoso, 1990).
Dengan semakin banyaknya informasi tentang efek negatif dan merugikan
dari rokok bagi kesehatan, maka cukup banyak yang mempunyai keinginan
untuk berhenti merokok. Sejak awal tahun 1960-an, ketika bahaya merokok
mulai dikenal luas, 9 juta orang telah berhenti (Danusantoso, 1990). Lebih
dari 40 juta perokok telah berhenti merokok sejak tahun 1964, dan diyakini
bahwa 90 persen diantaranya berhenti merokok tanpa bantuan professional
(National Cancer Institute 1977; USDHHS, 1982, 1989). Di Amerika,
berbagai program ditawarkan untuk membantu sejumlah besar perokok untuk
berhenti merokok. Tetapi diperkirakan hanya sekitar separuh peserta
program berhenti merokok yang berhasil menghentikan kebiasaannya
tinggi, lebih tua, atau mengalami masalah kesehatan akut (USDHHS, 1998
dalam Davison, 2000).
Sekitar sepertiga perokok menyesal telah memulai kebiasaan tersebut,
separuhnya telah mencoba untuk berhenti dan hampir 40 persen
menunjukkan minat untuk mendapatkan penanganan agar mereka terbebas
dari rokok (Henningfield 2000). Namun sebagian besar kembali merokok
dalam setahun setelah berhenti, terlepas dari cara yang digunakan untuk
berhenti merokok (Davison, 2000).
Sekitar enam atau tujuh dari setiap sepuluh orang mempunyai keinginan
untuk berhenti tetapi gagal setelah mencoba atau bahkan sebelum mencoba.
Beberapa orang yang benar-benar sudah berhenti selama sehari, seminggu,
sebulan, tiga bulan, setahun, tetapi pada suatu pagi, sore atau malam
harinya kembali membiarkan diri mereka merokok seolah mereka belum
pernah berhenti (Target, 1991 ).
Berdasarkan fenomena merokok tersebut dapat dilihat bahwa sesungguhnya
sebagian perokok mempunyai keinginan untuk berhenti merokok. Namun
banyak dari perokok tersebut gagal setelah mencoba atau bahkan sebelum
mencoba. Berhenti merokok menyangkut perubahan radikal dalam kebiasaan
seseorang. Berhenti merokok berarti mengubah kebiasaan perokok tersebut,
dan harus menerima tanggung jawab penuh atas diri sendiri dan demi
hidupnya (Target, 1991 ). Agar terbebas dari merokok, maka perlu
ditingkatkan kesadaran dan pengetahuan akan bahaya rokok, disertai
dengan keteguhan niat dan kemauan yang kuat untuk berhenti merokok
(Husaini, 2006).
Silvan Tomkins 1968 (dalam Sarafino 1990) mengemukakan empat alasan
sulitnya seseorang berhenti merokok sehingga tetap mempertahankan
kebiasaan tersebut; pertama, merokok untuk mendapatkan perasaan positif.
Dengan merokok , seseorang merasakan bangkitnya rasa positif pada
dirinya. Merokok sebagai efek stimulasi, relaksasi atau untuk memperoleh
kenikmatan. Kedua, merokok untuk mengatasi afek negatif. Ketiga, merokok
telah menjadi kebiasaan atau tingkah laku otomatis dimana seseorang
melakukannya tanpa disadari. Keempat, merokok dikarenakan ketagihan
atau adiksi yang disebut jug a sebagai Psychological Addiction. Smet (1994)
menyatakan mulai merokok terjadi akibat pengaruh lingkungan social seperti
teman-teman, orang tua ataupun saudara-saudaranya yang merokok.
Sementara pada para remaja, merokok dinilai sebagai simbol status, misal
sebagai gaya hidup, ajang pencarian identitas diri, peniruan perilaku dewasa
Ketertarikan peneliti mengangkat perokok usia dewasa muda (mahasiswa)
sebagai sasaran penelitian adalah karena berdasarkan jurnal Arkhe oleh
Wulandari (2007) menyatakan bahwa pada kenyataannya kuantitas atau
jumlah rokok yang dikonsumsi semakin meningkat pada usia ini. Konsumsi
rokok pada usia muda tidak mengalami penurunan karena kurang atau tidak
adanya sanksi terhadap merokok dan lebih diterimanya perilaku merokok
seiring dengan semakin dewasanya individu (Chassin, Presson, Pitts, &
Sherman, 2000).
Pentingnya mengangkat perokok mahasiswa sebagai subjek penelitian
karena melihat fenomena perilaku merokok mahasiswa juga merupakan
fenomena sosial yang sering kita jumpai. Lingkungan universitas merupakan
tempat berkumpulnya individu dari berbagai daerah dengan keunikan sendiri,
cara pandang, cara individu dalam lingkungan sosialisasi, penyesuaian baru
serta stress yang dialaminya juga !:Jerbeda satu sama lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Charles Gilbert Wernn dan
Shirley Schwarzrock (dalam Budiyanto, 2009), dimana para dewasa muda
merokok karena beberapa alasan berikut: pertama: hanya sekedar ikut-ikutan
teman. Ketika mereka bergaul dan berada di suatu lingkungan yang di
lingkungan tersebut banyak perokoknya, maka otomatis untuk beradaptasi
dia akan membuat dirinya sama dengan lingkungannya. Alasan kedua; hanya
iseng atau pengen coba-coba karena seorang pemuda itu biasanya suka
sesuatu yang menantang dan terlarang dan suka mencoba hal baru tanpa
melihat baik buruk hal tersebut. Alasan ketiga; merokok biar kayak orang
dewasa. Mahasiswa adalah orang yang susah di atur dalam kehidupannya.
Mereka merasa seolah-olah sudah dewasa dan bisa menentukan pilihan
sendiri dan salah satu cara mengekspresikan kedewasaan itu adalah meniru
orang dewasa, antara lain merokok. Alasan terakhir adalah karena merasa
bosan atau tidak ada kerjaan. Mereka merasa bosan dengan kegiatan
mereka sehari-hari. Mereka berpikir masa muda adalah untuk
bersenang-senang dengan merasakan rokok.
Selain alasan merokok tersebut, berdasarkan hasil pengamatan peneliti di
lingkungan Universitas dimana para mahasiswa tetap merokok meskipun
sudah diberlakukan larangan merokok dan juga pengakuan dari beberapa
mahasiswa yang tetap merokok meskipun mereka mengetahui efek negatif
rokok tersebut. Padahal mahasiswa adalah seorang yang terpelajar yang
selalu peduli dengan nasib rakyat bangsa ini tapi tidak mampu
mengendalikan dirinya sendiri dari hal yang dapat merusak kesehatan
Untuk memprediksi dan memahami perilaku merokok tersebut, terdapat
suatu pendekatan yang cukup banyak digunakan, yakni Theory of Planned
Behavior (teori perilaku terencana) yang kemudian disebut dengan TPB. TPB
merupakan hasil perluasan dari teori terdahulu yakni TRA (Theory of Reason
Action) dalam mengatasi kontrol volisional yang belum lengkap (Ajzen,
1988). Menurut TPB, perilaku dapat diprediksi melalui niat (behavioral
intention). lntensi untuk melakukan suatu tingkah laku menurut Fishbein dan
Ajzen (1975) merupakan prediktor paling kuat bagi munculnya suatu tingkah
laku. lntensi atau niat untuk melakukan perilaku tersebut dipengaruhi oleh
tiga determinan yakni: sikap terhadap perilaku (attitudes toward the specific
action). Norma-norma subyektif terhadap perilaku (subyektif norms regarding
the action), dan persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral control).
Sikap terhadap perilaku timbul dari keyakinan akan hasil dari perilaku Qika
saya berhenti merokok, saya merasa lebih sehat dan nafas lebih segar), dan
evaluasi terhadap hasil perilaku tersebut (sehat c;lan memiliki nafas segar
adalah hal yang disukai). Norma-norma subyektif terhadap perilaku timbul
dari: kepercayaan normatif (orang tua saya mengharapkan saya berhenti
merokok), yang dikombinasikan dengan motivasi subyek untuk mematuhi
norma-norma subyektif tersebut. Persepsi kontrol perilaku mengacu pada
keyakinan seseorang bahwa ia dapat melakukan tindakan tersebut (saya
5. Adakah peranan sikap, norma subjektif dan perceived behavioral control
(PBC) terhadap intensi berhenti merokok pada para perokok?
6. Manakah yang paling berpengaruh terhadap intensi berhenti merokok
dari sikap, norma subjektif dan PBC?
1.3 Batasan dan Rumusan Masalah
1.3.1. Batasan Masalah
Supaya permasalahan tidak meluas, maka pembahasan ini akan difokuskan
dalam ruang lingkup sebagai berikut :
1. Sikap adalah derajat penilaian positif atau negatif seseorang terhadap
dilakukannya perilaku
2. Norma Subjektif adalah persepsi seseorang mengenai tekanan sosial
dari significant others sehingga mempengaruhi seseorang untuk
menampilkan perilaku berhenti rnerokok atau tidak.
3. PBC (Perceived Behavioral Controi) adalah persepsi individu terhadap
sesuatu yang memudahkan dan menyulitkan untuk bertindak
4. lntensi adalah kecenderungan ata.u niat seseorang untuk menampilkan
atau tidak menampilkan perilaku
5. Para perokok yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah Mahasiswa
1.3.2. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah ada peranan yang signifikan sikap, norma subjektif dan
perceived behavioral control terhadap intensi berhenti merokok?
2. Apakah ada peranan yang signifikan sikap terhadap intensi berhenti
merokok?
3. Apakah ada peranan yang signifikan norma subjektif terhadap intensi
berhenti merokok?
4. Apakah ada peranan yang signifikan perceived behavioral control
terhadap intensi berhenti merokok?
5. Variabel manakah yang memiliki peranan paling signifikan terhadap
intensi berhenti merokok?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui adakah peranan sikap, norma subjektif dan perceived behavioral
control (PBC) terhadap intensi berhenti merokok pada para perokok
1.4.2. Manfaat penelitian
1.4.2.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi literatur
bagi khazanah kajian psikologi, khususnya psikologi sosial.
Penelitian ini juga membuka wawasar. mengenai fenomena psikologis yang
terjadi mengenai sikap, norma subjektif dan perceived behavioral control
(PBC) terhadap intensi, khususnya dalam fenomena merokok
1.4.2.1 Manfaat Praktis
Adapun manfaat secara praktisnya adalah untuk para perokok memberikan
informasi mengenai peranan sikap, norma subjektif dan perceived behavioral
control (PBC) terhadap intensi berhenti merokok pada para perokok, serta
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisi; latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah dan rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan
BAB II: Merupakan kajian pustaka yang memuat tentang hal- hal
mengenai teori- teori mengenai intense perilaku; intensi, sikap,
norma subjektif, Perceived Behavioral Control (PBC), rokok;
sejarah rokok, ka11dungan zat kimia da:am rokok, bahaya merokok,
faktor penyebab kebiasaan merokok, tahapan merokok, kerangka
berpikir dan hipotesis
BAB Ill: Merupakan metodologi penelitian yang mencakup jenis penelitian,
definisi variabel dan operasional variabel, pengambilan sampel,
teknik pengambilan sampel, pengumpulan data, instrument
penelitian, teknik uji instrumen penelitian, teknik analisa data dan
prosedur penelitian
Bab IV: Merupakan Presentasi dan Analisis Data yang berisi tentang
gambaran umum responden penelitian, pengujian instrument
penelitian, deskripsi statistik, uji hipotesis.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 lntensi
2.1.1 Pengertian lntensi
Dalam Attitude and Behavior (1988, h: 113) Ajzen menggambarkan definisi
intensi sebagai berikut:
"intention are assumed to capture the motivational factors that have a
impact on a behavior; they are indications of how hard people are
willing to try, of how much of an effort they are planning to exert, in order to perform the behavior."
Pengertian ini menjelaskan bahwa intensi adalah faktor motivasional yang
mempengaruhi perilaku sebagai indikasi seberapa kuat keinginan individu
untuk mencoba dan seberapa besar usaha yang direncanakan atau
dilakukan untuk menampilkan perilaku tertentu.
Berikut definisi intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975, h: 288) :
"we have defined intention as a person's location on a subjective
probability dimention involving a relation between himself and some
action. A behavioral intention, therefore, refers to a person's subjective
probability that the will perform some behavior."
lntensi merupakan probabilitas atau kemungkinan yang bersifat subjektif,
mengukur intensi adalah mengukur kernungkinan seseorang dalam
melakukan perilaku tertentu.
"lntensi merupakan awal dari timbulnya tindakan" (Ajzen, 1988).
Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
intensi merupakan kemungkinan seseorang untuk memunculkan perilaku
tertentu dengan faktor motivasional yang mempengaruhi bagaimana usaha
yang digunakan untuk menampilkan perilaku tersebut.
2.1.2 Komponen lntensi
lntensi dalam hubungannya dengan keikutsertaan seseorang pada suatl1
kegiatan, mempunyai hubungan yang erat dengan tiga komponen lainnya,
yaitu keyakinan (beliefs), sikap (attitudes), dan perilaku (behavior) (Oaykisni,
2003 h. 124).
Fishbein & Ajzen (1975: 292) mengemukakan bahwa terdapat empat elemen penting dalam pembentukan intensi:
1. Tingkah laku
2. Objek target yang mengarahkan tingkah laku
3. Situasi dimana tingkah laku ditampilkan
4. Waktu saat tingkah laku ditampilkan
Masing-masing elemen tersebut memiliki variasi pada tingkat kespesifikan
dimensinya. Pada tingkat yang paling spesifik, seseorang akan menampilkan
perilaku tertentu tergantung objeknya dalam situasi dan waktu tertentu.
Intense dapat diarahkan pada objek tertentu, sekumpulan objek atau objek
apapun. Sama halnya dengan situasi, saseorang mungkin saja berintensi
untuk menampilkan suatu perilaku pada situasi atau lokasi tertentu, kumpulan
lokasi atau lokasi apapun. lntensi juga oisa rnuncul pada waktu tertentu,
periode waktu khusus atau periode waktu tanpa batas (waktu di masa akan
datang).
Fishbein dan Ajzen (dalam Sarvvono, 2002) menambahkan bahwa untuk
dapat meramalkan atau memperkirakan perilaku dengan lebih akurat maka
dibedakan antara objek sikap (target) dan perilaku pada objek sikap. Dalam
penelitian ini, berhenti merokok merupakan target objek dilakukannya
perilaku.
Berbeda dengan target yang tidak terikat pada tempat dan waktu, perilaku
selalu terjadi dalam kaitan tempat dan situasi (context) serta waktu tertentu.
Menu rut Fishbein dan Ajzen, pengukuran sikap yang terbaik agar dapat
memprakirakan perilaku adalah dengan memasukkan sekaligus keempat
hubungan antara niat dan perilaku adalah yang paling dekat. Setiap perilaku
yang bebas, yang ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat.
Dan sebaliknya, perilaku itu jika berulang dalam context yang sama pada
waktu yang berbeda-beda akan menunjukkan sikap terhadap target.
2.1.3 lntensi Berhenti Merokok
lntensi untuk berhenti merokok merupakan kemungkinan subjektif seseorang
untuk berhenti merokok dengan faktor motivasional yang menunjukkan
kemauan dan usahanya untuk menampilkan perilaku tersebut. Untuk dapat
meramalkan perilaku secara akurat, maka intense berhenti merokok dapat
diuraikan melalui empat komponen intensi tersebut diatas dimana merokok
merupakan perilaku yang spesifik, dan berhenti merokok adalah target objek
dilakukannya perilaku. Sedangkan situasi dan waktu adalah situasi dan waktu
saat dilakukannya perilaku berhenti merokok. Dengan semakin besarnya
intensi seseorang untuk berhenti merokok, maka semakin besar pula peluang
perilaku berhenti merokok akan ditampilkan.
Selanjutnya, intense untuk. berhenti merokok ditentukan oleh tiga hal yakni
sikap terhadap perilaku berhenti merokok, norma subjektif terhadap berhenti
merokok dan PBC untuk berhenti merokok yang akan diuraikan lebih rinci
dibawah ini.
2.1.4 Sikap
2.1.4.1 Pengertian Sikap
Para pakar mengemukakan definisi yang berbeda tentang sikap, diantaranya
seperti yang dikemukakan oleh Ajzen bahwa sikap adalah:
" an attitude is a disposition to responds favourably or unfavourably to an object, person, institution or event
(Ajzen, 1988).
Definisi ini memberikan pengertian bahwa sikap adalah suatu disposisi untuk
bertindak positif atau negatif terhadap suatu objek, orang, institusi atau
peristiwa.
Definisi lain menyebutkan bahwa sikap:
" a learned predisposition to respond in a consistently favorable or unfavorable manner with respect to a given object."
Definisi ini menjelaskan bahwa sikap merupakan predisposisi
(kecenderungan) cara merespon secara konsisten dengan memberikan
penilaian suka atau tidak suka terhadap obyek (Fishbein dan Ajzen, 1975).
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) dalam berbagai penjelasan dasar
menyebutkan bahwa dalam terbentul<nya suatu sikap tertentu terdapat faktor
penting, yakni beliefs (keyakinan). Secara lebih spesifik, sikap seseorang
terhadap suatu objek didasarkan pada belief utama (salient belief). Salient
didasarkan pada salient atau important beliefs dapat berubah saat
diterimanya informasi yang relevan (Kreitner, 2000).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang individu hanya mampu
menangani dan memproses 5 sampai 9 item informasi pada saat yang
bersamaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada umumnya hanya 5-9 belief
utama (significant beliefs) yang menunjukkan sikap seseorang terhadap
suatu objek. Menurut Kreitner (2000) sistem belief seorang individu
merupakan gambaran mental tentang sumber- sumber yang relevan dengan
dirinya lengkap dengan kemungkinan hubungan sebab akibat. Hubungan
antara sekumpulan beliefs dan sikap dijelaskan dalam pembahasan tentang
expectancy value model. Setiap belief menghubungkan objek dengan
beberapa atribut. Menurut teori ini, evaluasi seseorang mengenai atribut
berkonttibusi pada sikapnya dalam ukuran atau bagian yang memperkuat
beliefnya. Teori ini menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap beberapa
objek adalah fungsi tentang informasi (beliefs) yang dimilikinya mengenai
objek tersebut. Model ini menjelaskan bagaimana informasi ini diintegrasikan
atau dikombinasikan dalam pembentukan sikap (Fishbein dan Ajzen 1975)
Secara spesifik, model ini merupakan suatu deskripsi yang menggambarkan
tentang bagaimana beliefs yang berbeda-beda dan evaluasi terhadap
atribut-atribut yang berkaitan dikombinasikanatau diintegrasikan untuk mencapai
evaluasi tentang objek tersebut. Sementara sikap didasarkan pada
sekumpulan salient belief seseorang dan evaluasi yang berhubungan dengan
belief ini.
2.1.4.2 Peran Beiiefs
Dalam berbagai penjelasan dasar menyebutkan bahwa perilaku adalah
fungsi dari informasi penting, atau beliefs (keyakinan) yang relevan terhadap
perilaku. Secara umum, belief mengacu pada kemungkinan penilaian
subjektif yang dimiliki seseorang tenta11g beberapa aspek yang berbeda-beda
dalam dunianya termasuk juga pemahaman tentang diri sendiri dan
lingkungannya. Sedangkan secara khusus, belief didefinisikan sebagai
kemungkinan subjektif tentang hubungan antara objek belief dengan
beberapa objek lain, nilai, konsep atau atribut. Definisi ini mengimplikasikan
bahwa pembentukan belief meliputi pembentukan suatu hubungan antara
dua aspek dalam dunia seseorang.
Salah satu sumber informasi yang jelas tentang hubungan tersebut adalah
observasi langsung yang terjadi saat seseorang mempersepsikan melalui
inderanya, bahwa suatu objek memiliki atribut tertentu. Hal ini disebut dengan
Dalam kerangka konseptual disebutkan bahwa saat seseorang membentuk
keyakinan tentang suatu objek, maka secara otomatis dan simultan
seseorang tersebut akan membentuk sikap terhadap objek tersebut. Setiap
keyakinan menghubungkan objek dengan beberapa atribut ; sikap seseorang
terhadap objek merupakan fungsi dari evaluasinya terhadap atribut tersebut.
Beliefs tersebut menunjukkan tentang informasi yang dimiliki seseorang
tentang sebuah objek. Secara spesifik, suatu belief menghubungkar. objek
terhadap beberapa atribut. Objek belief dapat berupa seseorang, individu,
sekelompok orang, lembaga, tingkah laku, kebijaksanaan, peristiwa, dan
lain-lain. Atribut bisa berupa objek, trait, properti, kualitas, karakteristik, hasil atau
kejadian.
Selain itu, belief juga dapat terbentuk melalui proses penyimpulan, yaitu
belief yang melampaui hubungan-hubungan yang dapat diobservasi secara
langsung. lni disebut dengan inferential beliefs.
Jenis belief berikutnya dapat terbentuk dengan menerima informasi tentang
objek dari sumber luar. Sumber luar disir>i termasuk koran, buku-buku,
majalah, radio dan televisi, dosen, teman, relasi, rekan kerja, dan lain-lain.
Jen is belief ini disebut juga informational beliefs ( Fishbein dan Ajzen, 1975).
2.1.5 Norma Subyektif
2.1.5.1 Pengertian Norma Subjektif
Fishbein & Ajzen (1975 h: 302) mengemukakan bahwa norma subjektif
adalah:
"the subjective norm is the person's perception that most people who are important to him think he should or should not perform the behavior in question.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa norma subyektif adalah persepsi
individu mengenai harapan orang-orang yang penting bagi dirinya
(significant others) baik perorangan ataupun kelompok untuk menampilkan
perilaku tertentu atau tidak.
Norma subjektif merupakan dasar determinan yang kedua dalam intensi
berperilaku menu rut Theory of Planned Behavior (TPB). Dikemukakan oleh
Ajzen dan Fishbein dalam Kreitner (2000) bahwa norma subjektif juga
diasumsikan sebagai fungsi dari beliefs (keyakinan- keyakinan) yang
berbeda jenisnya dengan beliefs dalam sikap karena beliefs disini
merupakan representasi persepsi individu terhadap significant others baik
perorangan maupun keiclmpok yang kemudian mempengaruhi individu untuk
menerima atau menolak menampilkan perilaku. Keyakinan yang mendasari
2.1.5.2 Determinan Norma Subjel<tif
Menu rut Fishbein dan Ajzen (1975), norma subjektif secara umum
ditentukan oleh dua determinan berikut:
1. persepsi atau keyakinan mengenai harapan individu atau kelompok
tertentu terhadap dirinya yang menjadi acuan untuk menampilkan
perilaku atau tidak. (normative beliefs)
2. motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut (motivation to
comply).
Normative beliefs dapat dibentuk sebagai hasil dari sebuah proses
penyimpulan yakni jika seseorang yakin bahwa orang-orang yang penting
bagi dirinya akan merasa senang jika dia menampilkan perilaku tertentu
maka seseorang itu akan menyimpulkan bahwa kelompok yang menjadi
acuannya berkeinginan agar dirinya menampilkan perilaku tersebut.
Konsep mengenai determinan motivasi individu untuk memenuhi harapan
orang-orang yang penting baginya untuk menampilkan atau tidak
menampilkan perilaku tertentu bisa diartikan secara berbeda-beda. Dari dua
pendekatan baik teoritis maupun empiris menunjukkan bahwa motivasi untuk
memenuhi harapan paling tepat diartikan sebagai kecenderungan untuk
menerima arahan dari rujukan tertentu dari seseorang ataupun kelompok
(Fishbein & Ajzen, 1975).
Pengukuran norma subjektif biasanya dapat diketahui secara langsung
dengan meminta respondent untuk memberikan penilaian seberapa besar
kemungkinan orang-orang yang penting bagi dirinya akan menyetujui atau
tidak menyetujui mereka untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen, 2005).
Sedangkan pengukuran terhadap norma subjektif (Fishbein & Ajzen, 1975)
dapat dilakukan dengan menjumlahkan hasil perkalian normative beliefs
dengan motivasi individu untuk mematuhi normative beliefs (motivation to
comply). Yang dapat ditunjukkan secara simbolis seperti berikut:
SN a L,n;m;
Keterangan :
SN : norma subjektif terhadap dilakukannya perilaku
n; : belief normative yaitu belief seseorang bahwa individu
i
ataukelompok i berpikir bahwa dia seharusnya atau tidak seharusnya
melakukan perilaku
2.1.6 Perceived Behavioral Control (PBC)
Perceived Behavioral Control (PBC) juga merupakan salah satu determinan
independen dalam pembentukan intensi perilaku.
Ajzen (1988 h: 132) memberikan definisi PBC sebagai berikut:
" this factor refers to the perceived
easy
or difficulty of performing thebehavior and it is assumed to reflect past experience as well as
anticipated impediments and obstacles.
Faktor ini memberikan gambaran mengenai persepsi individu mengenai
kemudahan atau kesulitan individu dalam menampilkan p$rilaku dan
diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi
sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.
Konstruk PBC ini sama halnya dengan konsep self efficacy yang
dikemukakan oleh Albert Bandura. Bandura mendefinisikan self efficacy
sebagai keyakinan bahwa seseorang bisa sukses meningkatkan hasil dari
perilaku tertentu (Bandura, 1977, p: 193 dalam Eagly dan Chaiken, 1993).
Perceived Behavoral Control (PBC) memegang peranan penting dalam
Theory of Planned Behavior. Terdapat dua hal penting dalam TPB
sehubungan dengan variabel ini. Pertama, Perceived Behavora/ Control
(PBC) diasumsikan memiliki implikasi- implikasi motivasional terhadap
intensi. lndividu yang memiliki keyaki:ian bahwa dirinya tidak memiliki
sumber- sumber dan juga tidak memiliki kesempatan untuk menampilkan
perilaku tertentu lebih cenderung tidak memiliki intensi yang kuat untuk
memunculkan perilaku tersebut, meskipun dirinya memiliki sikap yang positif
terhadap perilaku dan keyakinan bahwa crang-orang yang penting bagi
dirinya akan menyetujuinya untuk menampilkan perilaku tersebut. Hal ini
menjelaskan terdapat hcibungan antara Perceived Behavoral Control (PBC)
tanpa ada perantara sikap dan norma subjektif.
Hal kedua yakni kemungkinan adanya hubungan langsung antara PBC dan
perilaku. Dalam beberapa contoh, tampilan perilaku tidak hanya tergantung
pada motivasi untuk melakukannya tapi juga kontrol yang adekuat terhadap
perilaku yang dibicarakan. Oleh karena itu PBC dapat membantu
memprediksi tujuan bebas yang dicapai dari intense berperilaku hingga
mencapai tingkatan bahwa PBC merefleksikan control actual dengan derjat
yang akurat. Singkatnya, PBC dapat mempengaruhi perilaku secara tidak
langsung melalui intensi dan juga bisa digunakan untuk memprediksi perilaku
secara langsung karena PBC dapat dianggap sebagai pengganti sebagian
(partial substitute) dalam mengukur control individu yang sebenarnya
terhadap perilaku. PERPUSTAl<AAN U T ; : l UIN SYAHID JAKARTP'___. \
yang tersedia berubah, atau ketika elemen baru dan tidak dikenal masuk
kedalam situasi tersebut. Dalam kondisi ini, pengukuran PBC hanya sedikit
bisa menambah keakuratan prediksi perilaku.
Perceived Behavoral Control (PBC) juga diasumsikan sebagai fungsi yang
terkait dengan beliefs (keyakinan-keyakinan). Keyakinan dalam PBC adalah
mengenai kehadiran atau ketidakhadiran faktor-faktor yang memfasilitasi atau
menghalangi munculnya perilaku tersebut, yang kemudian disebut dengan
control beliefs. Keyakinan mengenai sumber dan kesempatan dipandang
sebagai dasar terbentuknya PBC (Ajzen, 1988 h: 133- 135).
Kedua faktor ini, termasuk faktor internal ( informasi, skill, kemampuan, emosi
dan tekanan ) dan juga faktor eksternal yakni ( kesempatan, ketergantungan
terhadap faktor lain).
Secara keseluruhan, control belief menunjukkan persepsi bahwa seseorang
memiliki atau tidak memiliki kapasitas untuk mengamalkan perilaku. Jadi,
control beliefs ini menjadi dRsar persepsi seseorang terhadap kontrol perilaku
(Ajzen, 2005).
Untuk melakukan pengukuran terhadap Perceived Behavioral Control (PBC)
dapat dilakukan dengan menjumlahkan hasil perkalian control beliefs dengan
perceived facilitation.
2.1. 7 (Theory
of
Reasoned Action) TRAUntuk tidak sekedar memahami, tapi juga agar dapat memprediksi perilaku,
leek Ajzen dan Martin Fishbein mencoba mengidentifikasi determinan intensi
perilaku dengan mengemukakan teori tindakan beralasan (Theory of
Reasoned Action). Dengan mencoba melihat anteseden penyebab perilaku
volisional (perilaku yabng dilakukan seseorang karena mereka memutuskan
untuk melakukannya alas kemauan sendiri).
TRA didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: pertama, manusia
pada umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal dan
cukup rasional. Kedua, manusia mempertimbangkan dan menggunakan
semua informasi yang ada. Ketiga, secara implisit maupun eksplisit manusia
mempertimbangkan implikasi dari tindakan yang mereka lakukan (Ajzen,
1988: 116- 117), dan konsekuensi serta hasil dari setiap perilaku dievaluasi
dan dibuat sebuah keputusan apakah akan bertindak atau tidak. Kemudian
keputusan ini direfleksikan dalam tujuan perilaku yang sangat berpengaruh
pada perilaku yang tampil (Baron, 2003).
Dalam TRA dijelaskan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu
1. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum melainkan oleh
sikap yang spesifik terhadap sesuatu.
2. Perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap tapi juga oleh norma
subjektif (subjective norm) yakni keyakinan seseorang mengenai apa
yang diinginkan oleh orang lain untuk dilakukannya.
3. Sikap terhadap suatu perilaku beserta norma subjektif membentuk
suatu intensi atau niat untuk me!akukan perilaku tertentu.
Berikut ini adalah skema yang memperjelas mengenai hubungan diantara
[image:41.518.27.432.206.560.2]tiga hal diatas yang bisa digunakan untuk memprediksi intensi berprilaku:
Gambar 2.1
Skema (Theory of Reasoned Action) TRA (Ajzen, 1988)
Sikap terhadap perilaku
Norma subjektif
lntensi untuk
berperilaku
1---..i•I
PerilakuセMMMMNMMMMMセ@
Dari bagan diatas tampak bahwa intensi merupakan fungsi dari dua
determinan dasar. Determinan pertama adalah determinan yang bersifat
personal yakni sikap terhadap perilaku yang merupakan evaluasi positif atau
negatif memunculkan perilaku tertentu. Determinan kedua adalah persepsi
Determinan intensi kedua dalam TRA yakni norma subjektif. Norma subjektif
merupakan fungsi dari beberapa keyakinan yang disebut dengan normative
beliefs (keyakinan akan norma-norma yang berlaku). Keyakinan ini
didasarkan pada pengaruh dari orang-orang yang berarti bagi individu. Tokoh
yang menjadi acuan yang mempengaruhi seseorang untuk menampilkan
perilaku disebut dengan referents. Untuk beberapa perilaku tertentu,
referents yang penting itu termasuk orang tua, pasangan, teman dekat, rekan
kerja.
Keyakinan yang mendasari norma subjektif disebut dengan normative beliefs.
Seseorang yang memiliki keyakinan terhadap bagaimana dan apa yang
dipikirkan orang-orang yang dianggapnya penting dan motivasi seseorang
untuk mengikuti pikiran tersebut, akan merasakan tekanan social untuk
melakukannya. Sebaliknya, keyakinan bahwa orang-orang yang penting bagi
dirinya dan yang diikuti akan menolak atau tidak menerima mereka untuk
menampilkan suatu perilaku memiliki norma subjektif yang memberikan
tekanan social pada mereka untuk menjauhi perilaku tersebut.
Theory of Reason Action (TRA) dikembangkan secara eksplisit untuk
mengatasi perilaku volitional semata. Dalam TRA, intense merupakan
2.1.8 TPB (Theory of Planned Behavior).
Dalam Eagly dan Chaiken (1993: 169) disebutkan bahwa secara khusus,
Fishbein membatasi TRA pada perilaku yang dapat digolongkan volitional
atau voluntary, yaitu perilaku yang dilakukan karena mereka memutuskan
untuk melakukannya.
Menurut Ajzen, walaupun model teori Reasoned Action masih valid untuk
volitional behavior, ia mengakui bahwa harus ada revisi terhadap perilaku
yang tidak sepenuhnya dibawah control volisional (kehendak).
Baru-baru ini sebuah percobaan di\akukan oleh Ajzen untuk me\engkapi
kerangka pemikiran konseptua\ dalam teori terdahulu yang dimaksudkan
untuk mengatasi masa\ah control volisional yang be\um lengkap. Teori ini
disebut dengan TPB (Theory of Planned Behavior) (Ajzen, 1988 ).
Eagley (1993: 186) menjelaskan bahwa dalam TPB, kontrol (kendali) yang
dimiliki individu atas sejum\ah perilaku terletak pada suatu kontinum dimana
perilaku yang mudah dilakukan (seperti: mengucapkan salam) berada pada
ujung yang satu dan perilaku yang penuh tuntutan, kesempatan dan
kemampuan khusus (misalnya: menjadi senator) berada pada ujung yang
Jain. Pada bagian kontinum dimana terletak perilaku- peri\aku yang mudah
dilaksanakan, maka TRA terbukti adekuat tapi lain ha\nya dengan perilaku
yang terletak diujung Jain kontinum.
Dalam teori perilaku terencana (TRA), tindakan manusia berpedoman pada
tiga macam pertimbangan: keyakinan tentang kecenderungan hasil perilaku
dan evaluasi menyangkut hasil tersebut (behavioral beliefs), keyakinan
mengenai harapan dari orang lain yang bersifat normatif dan motivasi untuk
memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), dan keyakinan tentang
kehadiran faktor yang memudahkan atau menghalangi dan kuatnya persepsi
dari faktor-faktor tersebut (control beliefs). Dalam keseluruhan urutannya,
behavioral beliefs menciptakan sikap terhadap perilaku baik positif atau
negatif, normative beliefs merupakan hasil persepsi tentang tekanan sosial
atau norma subjektif; dan control beliefs memberikan dasar terhadap
perceived behavioral control (Ajzen, 2006 ).
Ajzen (2005) menjelaskan bahwa PBC merupakan istilah tentang perasaan
terhadap self efficacy atau kemampuan untuk menunjukkan perilaku tertentu.
Berikut gambaran TPB (Theory of Planned Behavior) (dari Ajzen, 1985 dalam
Gambar 2.2
Model Theory of Planned Behavior
Behavioral beliefs Attitude toward
and outcome
.
behavior>--evaluations
Normative beliefs Subjective Behavioral
ancl 111otivotio1110 11or111 intention Behavior
comply
Beliefs about ease Perceived
or difficulty of .
.
behavioralcontrol behavior control
Dalam TPB, beliefs berpengaruh pada silcap terhadap perilaku dan juga pada
norma subjektif serta pada control perilaku yang dihayati (perceived
behavioral control). Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan
bagi intense yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang
bersangkutan akan dilakukan atau tidak.
Sikap terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku
tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normative (yang diharapkan
oleh orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan
normatif tersebut membentuk norma subjektif dalam diri individu. Kontrol
[image:45.518.20.445.149.535.2]mengenai sebepara sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang
bersangkutan. Kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika rasa percaya
diri seseorang sedang berada dalam kondisi yang lemah (Azwar, 2003).
Menurut TPB, diantara berbagai keyakinan yang akhirnya akan menentukan
intense dan perilaku tertentu adalah keyakinan mengenai tersedia tidaknya
kesempatan dan sumber yang dibutuhkan. Keyakinan ini dapat berasal dari
pengalaman dengan perilaku yang bersangkutan di masa lalu, tetapi
keyakinan tersebut biasanya juga bisa dipengaruhi oleh informasi tak
langsung mengenai perilaku, misalkan dengan mengamati pengalaman
teman atau orang lain yang pernah melakukannya dan dapat juga
dipengaruhi oleh faktor lain yang menambah atau mengurangi persepsi
kesulitan untuk menampilkan perilaku yang bersangkutan.
2.2 Rokok
2.2.1 Sejarah Rokok
Masyarakat yang diketahui sebagai yang pertama kali menghisap asap
tembakau adalah bangsa Indian dan Amerika. Hal ini ditemukan oleh
Christoper Colombus bersamaan dengan ditemukannya benua Amerika.
Di Negara Eropa, rokok dikenal pada tahun 1559 ketika pelaut Prancis (Nikot)
memasukkan rokok ke Prancis. Nikotin tersebut merupakan nama racun
tembakau yang diambil dari namanya (Al-Fanjari, 1996). Sedangkan di dunia
Arab dan Islam menurut Danusantoso (1990), kebiasaan merokok baru ada
setelah masuknya penjajah awal abad XX.
Kemudian dengan adanya Perang Dunia I dan II, perang Korea, Perang
lndocina dan sebagainya, yang menang sebenarnya adalah industri rokok
karena semua tentara dari senua pihak diberi jatah baik yang merokok atau
tidak merokok, sehingga jumlah perokok semakin banyak.
Meskipun sejak 200 tahun yang lalu kalangan kedokteran telah
mengemukakan secara sporadis mengenai hubungan antara rnerokok dan
penyakit yang membawa kematian tapi masalah tersebut baru dikemukakan
secara resmi pada tahun 1957 pada forum ilmiah pertemuan tahunan ke-106
American Medical Association dengan penyaji dari Lembaga Kanker Arnerika
(American Cancer Society) yang berdasarkan riset dengan observasi pada
tahun 187.783 pria selama tiga tahun (1952-1955).
Dalarn Al-Fanjari (1996) dijelaskan bahwa sebelumnya pernyataan ini
mendapat ancaman dari pengusaha-pengusaha rokok setempat. Dan sejak
saat itu mulai terjadi konfrontasi terbuka antara WHO melawan produsen
2.2.2 Kandungan Zat Kimia Dalam Rokok
Mu'tadin (2002) menjelaskan bahwa dalam asap rokok terdapat 4000 zat
kimia berbahaya untuk kesehatan (Asril Bahar dalam Republika, $elasa 26
Maret 2002 : 19). Berikut beberapa kandungan zat kimiawi dalam rokok
(dalam Husaini, 2006) :
1. Nikotin. Merupakan zat psikoaktif yang bersifat adiktif yang dapat
menimbulkan adiksi dengan cara yang sama dengan substansi lain
seperti kokain dan heroin (Sheridan & Radmacher, 1992 dalam Astuti, 2007).
2. Tar. Merupakan kondensat semua zat yang terdapat dalam asap rokok
yang bersifat merangsang secara kimiawi.
3. Karbonmonoksida. Zat ini dapat mengurangi kemampuan darah untuk
mengangkut cukup oksigen ke seluruh anggota tubuh
4. lnsektisida, merupakan zat beracun yang biasanya digunakan untuk
pembasmi serangga.
5. Polycyclic. Zat ini menyerang paru-paru dan menyebabkan kerusakan
yang fatal bagi perokok aktif
6. Carcinogens. Merupakan asap yang dihasilkan dari pembakaran
2.2.3 Bahaya Merokok
Merokok memberikan konsekuensi yang signifikan baik terhadap kesehatan
fisik, psikologis, sosial serta ekonomis. Dampak merokok terhadap kesehatan
telah diketahui secara luas, dimana rokok dapat menyebabkan berbagai
macam penyakit berbahaya dan mematikan. Hal ini dapat diketahui dari iklan
maupun reklame rokok yang secara jelas memaparkan tentang dampak
merokok.
Ditinjau dari segi ekonomi, merokok merupakan perilaku pemborosan karena
perokok akan menghamburkan uang setiap hari minimal Rp 12.000,
(diasumsikan harga rokok Rp. 600 per-batang). Selain itu, tingginya perilaku
merokok juga berpengaruh terhadap biaya perawatan kesehatan. (Astuti
dalam Jurnal Riset Daerah, 2007).
Sedangkan dari segi sosial, merokok dapat mengganggu dan merugikan
orang lain yang berada disekitar para perokok atau biasa disebut dengan
perokok pasif. Menurut Husaini (2006), mereka yang berada disekitar
perokok akan terganggu karena susah bernafas, mual, sulit berkonsentrasi,
pusing, serta mata dan hidung tidak berfungsi baik. Resiko yang ditanggung
perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif karena daya tahan
terhadap zat-zat yang berbahaya sangat rendah (Sarafino, 1995 dalam
Komalasari dan Helmi).
2.2.4 Faktor Penyebab Kebiasaan Merokok
Wulandari (2007) mengemukakan bahwa perilaku merokok dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang berbeda berdasarkan tingkatan usia individu. Berikut
dijelaskan faktor-faktor yang menentukan dalam perilaku merokok dewasa
awal yang tidak menunjukkan penurunan karena kurang atau tidak tidak
adanya sanksi terhadap merokok dan lebih diterimanya perilaku merokok
seiring dengan dewasanya individu.
• Adanya toleransi terhadap nikotin
• Pengaturan suasana hati
• Meurut social stress model, merokok adalah salah satu cara individu
untuk mengatasi berbagai stress yang dialaminya.
• Merokok untuk mengatur afeksi terutama untuk mengatasi afeksi negatif
• Harapan individu mengenai hasil dari merokok (smoking outcome
expectancies). Hasil penelitian menunjukkan harapan bahwa merokok
akan menghasilkan efek yang positif
• Adanya faktor jender
• Adanya kekhawatiran mengenai berat badan
Smet (1994) menjelaskan beberapa hal yang menjadi determinan seseorang
memulai kebiasaan merokok sebagai berikut:
1. Lingkungan sosial: teman-teman dan kawan sebaya, orang tua,
saudara dan media.
2. Variabel demografis (contohnya : umur, jenis kelamin) dan faktor-faktor
sosiokultural (contohnya: kebiasaan, budaya, kelas sosial, tingkat
pendidikan dan penghasilan, gengsi pekerjaan) juga bertalian dengan
merokok.
3. Variabel politik : promosi dan iklan dari industri rokok.
Oskamp (1984) juga menuturkan alasan-alasan psikologis seseorang
merokok, diantaranya karena sudah menjadi kebiasaan, kecanduan,
mengurangi kecemasan, relaksasi dan ingin memperoleh penghargaan social
dari teman-temannya. Sedangkan faktor yang memperkuat dan
mempertahankan perilaku merokok adalah nikotin yang terdapat dalam
tembakau.
2.2.5 Tahapan Merokok
Anne (1990) juga mengemukakan beberapa tahapan dalam hal
berkembangnya kebiasaan merokok sebagai berikut:
1. Perokok pemula (inisiasi)
Jika seseorang mulai mencoba menghisap sebatang rokok, maka sekitar 70
persen memiliki kemungkinan menjadi perokok. Meningkatnya jumlah rokok
yang dikonsumsi akan meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi
perokok tetap.
Sebuah laporan menyatakan bahwa rnerokok ada!ah suatu kebiasaan yang
ditemui pada masa kanak-kanak atau masa remaja. Siswa $MA dan SMP
rentan untuk merokok karena memandang hal itu sebagai kebiasaan orang
dewasa. Kebanyakan mereka mulai merokok saat berusia 20 tahun. Berikut
beberapa alasan mereka yang menjadi perokok pemula (coba-coba),
diantaranya adanya rasa ingin tahu akan rokok, ingin terlihat dewasa, adanya
tekanan dari teman sebaya, faktor ketersediaan rokok (misal: memiliki orang
tua yang merokok), adanya kebiasaan menjadi peminum alkohol,
memberikan efek menenangkan dan mengontrol perasaan (mood),
menurunkan kelebihan berat badan, memberikan rasa kepercayaan diri,
memperoleh kenikmatan serta terlihat berani.
Sela in alasan tersebut, para perokok juga dipengaruhi oleh faktor berikut:
• orang tua yang merokok
• faktor internal : kepribadian dan sikap keluarga
2. Tahap mendapatkan kenikmatan
Banyak perokok menyatakan memperoleh kenikmatan dari merokok,
meskipun 90 persen perokok telah mencoba untuk berhenti merokok. Tetapi
efek penyakit jangka pendek karena merokok yang tidak langsung dirasakan,
menjadikan perokok tetap menikmati kebiasaan tersebut.
Zat nikotin yang terdapat dalam rokok memiliki efek menenangkan dan
menstimulasi. Beberapa peneliti menjelaskan aspek psikologis dari merokok
seperti memegang bungkus rokok, memegang rokok dan adanya sesuatu
yang dipegang oleh tangan serta meletakk<rn sesuatu di mulut. Hal ini disebut
juga faktor kondisioning yang memberi kepuasan pada perokok. Nikotin
memiliki efek psikoaktif yang memiliki kepuasan seperti mengubah dan
mengontrol mood, dan meningkatkan konsentrasi dalam berpikir. Oleh
karena itu, nikotin disebut sebagai penguat dasar (primary reinforcer) dimana
perokok merasakan kesenangan yang membuat mereka tetap
mempertahankan kebiasaan ini.
3. Tahap menjadi kecanduan (adiksi)
Tahapan ini kesenangan semata yang dalam waktu seminggu hingga
sebulan seorang perokok coba-coba berubah menjadi kecanduan karena
merasa rokok dapat mengontroi mood dan menambah konsentrasi. Mereka
yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat
setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.
2.3 Kerangka Berpikir
Kebiasaan merokok sampai saat ini merupakan suatu fenomena sosial
dimana jumlah perokok semakin meningkat di berbagai kalangan usia
terlebih usia dewasa muda. Karena pada kenyataannya kuantitas dan jumlah
rokok yang dikonsumsi pada usia ini tidak mengalami penurunan bahkan
semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena kurang atau tidak adanya
sanksi terhadap merokok dan lebih diterimanya perilaku merokok seiring
dengan dewasanya individu. Di kalangan Mahasiswa merokok merupakan
salah satu simbol jati diri dan alat pergaulan. Pada usia ini, berhenti merokok
adalah hal yang sulit. Terlebih di lingkungan kampus dengan banyaknya
event yang disponsori oleh rokok.
Sebagian para perokok yang berniat untuk berhenti telah mencoba untuk
berhenti akan tetapi gagal dan kembali pada kebiasaannya menjadi perokok.
Diantara mahasiswa yang mengaku pernah mencoba berhenti merokok
sekitar 2 atau tiga bulan juga kembc.li menjadi perokok karena pengaruh
lingkungan dan teman.
Setelah bahaya serta dampak negatif rokol< mulai dikenal luas, cukup banyak
diantara para perokok yang mencoba untuk berhenti dan sebagian yang lain
Perbedaan sikap yang muncul dipengaruhi oleh keyakinan (belief) yang
menjadi dasar pembentukan sikap. Belief merupakan kemungkinan subjektif
tentang hubungan antara objek belief dengan beberapa objek lain, nilai,
konsep atau atribut.
Posisi sikap terbentuk dari keyakinan seseorang tentang konsekuensi yang
akan diterimanya apakah positif atau negatif jika berhenti merokok, kemudian
mengevaluasi akan konsekuensi tersebut. Akan tetapi sikap terkadang tidak
sesuai dengan tindakan seperti halnya sikap negatif terhadap rokok, tapi
tindakan malah sebaliknya.
Selain sikap, norma subjektif juga memiliki peranan dalam menentukan
intensi berperilaku. Norma subjektif merupakan representasi persepsi individu
terhadap significant others baik perorangan maupun kelompok yang
kemudian mempengaruhi individu untuk menerima atau menolak
menampilkan perilaku serta seberapa keinginan untuk mengikuti pendapat
tersebut.
Faktor lain yang juga turut berpengaruh dalam pembentukan intensi yaitu
PBC (perceived behavioral control). PBC adalah persepsi individu mengenai
kemudahan atau kesulitan individu dalam menampilkan perilaku dan
diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi
sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.
Ketiga determinan tersebut akan menjadi pertirnbangan dalam diri seseorang
dan akan mempengaruhi iniensinya untuk menampilkan atau tidak
rnenampilkan perilaku berhenti merokck.dengan demikian penulis berasumsi
ada peranan sikap, norma subjek