DaftarIsi
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... I - 1 A. PROFIL DAERAH ... I - 1 B. PEMANFAATAN DARI LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP
DAERAH ... I - 4 B.1. Pemerintah Daerah ... I - 4 B.2. Masyarakat dan Dunia Pendidikan ... I - 4 C. ISU LINGKUNGAN PRIORITAS DI ACEH ... I - 4 D. ANALISA ISU PRIORITAS ... I - 5 D.1. Kondisi Hutan Aceh ... I - 5 D.2. Tekanan Terhadap Kawasan Hutan ... I - 6 D.3. Upaya Pemerintah Aceh dalam Rangka Pengelolaan
Lingkungan Hidup ... I - 6
BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDRUNGAN ... II - 9 A. LAHAN DAN HUTAN ... II - 9
A.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan
(Lahan Utama) ... II - 9 A.2. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi / Statusnya ... II - 11 A.3. Luas Kawasan Lindung Berdasarkan RTRW dan Tutupan
Lahannya ... II - 11 A.4. Luas Penutupan Lahan Dalam Kawasan Hutan dan Luar
Kawasan Hutan ... II - 12 A.5. Luas Lahan Kritis ... II - 17 A.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air,
Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah, dan Perkiraan
Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya ... II - 18 A.7. Perkiraan Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya ... II - 18 A.8. Pelepasan Kawasan Hutan yang Dapat Dikonversi Menurut
DaftarIsi
iii
B. KEANEKARAGAMAN HAYATI ... II - 20 C. AIR ... II - 22 C.1 Sungai ... II - 23 C.1.1 Kondisi Sungai di Provinsi Aceh ... II - 23 C.1.1.1 Sungai yang Melintasi Daerah Perkotaan ... II - 24 C.2. Air Sumur ... II - 52 C.3. Air Danau Situ dan Embung ... II - 53 C.3.1 Kualitas Air Danau ... II - 53 C.3.1.1 Danau Aneuk Laot ... II - 53 C.3.1.2 Danau Lut Tawar ... II - 55 D. UDARA ... II - 57 D.1. Pengukuran Kualitas Udara Ambien Kota Banda Aceh ... II - 58 D.1.1 Profil Kualitas Udara pada Kawasan Transportasi ... II - 58 D.1.2 Profil Kualitas Udara pada Kawasan Industri ... II - 60 D.1.3 Profil Kualitas Udara di Kawasan Perkantoran... II - 62 D.1.4 Profil Kualitas Udara di Kawasan Pemukiman ... II - 65 D.2. Pengukuran Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota diProvinsi Aceh ... II - 67 D.3. Pengukuran Kualitas Udara Emisi ... II - 74 D.3.1 Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang Oleh Sumber
Bergerak ... II - 74 D.4. Kualitas Air Hujan ... II - 77 E. LAUT, PESISIR DAN PANTAI ... II - 80 E.1. Kualitas Air Laut ... II - 80 E.2. Kondisi Pesisir dan Laut Aceh ... II - 81 E.2.1 Terumbu Karang ... II - 84 E.2.2 Padang Lamun ... II - 90 E.2.3 Hutan Manggrove ... II - 92 F. IKLIM ... II - 97 G. BENCANA ALAM ... II - 101
DaftarIsi
iv
E. INDUSTRI ... III - 113 F. PERTAMBANGAN ... III - 117 G. ENERGI ... III - 118 H. TRANSPORTASI ... III - 120 I. PARIWISATA ... III - 121 J. LIMBAH B3 ... III - 122Daftar Tabel v DAFTAR TABEL
Halaman Tabel II.1 Kesesuaian Jenis Mangrove dengan Jenis Tanah ... II - 53 Tabel II.2 Nilai Parameter Karakteristik Morfoketrik Danau Lut Tawar………….. II - 55 Tabel II.3 Karakteristik Emisi Gas Buang Kendaraan Roda Dua di
Kota Banda Aceh ………..………... II - 74 Tabel II.4 Karakteristik Emisi Gas Buang Kendaraan Roda Empat
di Kota Banda Aceh………. III- 75
Tabel II.5 Karakteristik Emisi Gas Buang Kendaraan Bus
dan Peralatan Berat ... III- 77 Tabel II.6 Parameter Kualitas Air Laut yang Berada di Atas Baku
Mutu di Provinsi Aceh Tahun 2014 ... III- 81 Tabel III.1. Daftar Rumah Sakit Dalam Wilayah Aceh…... III- 110 Tabel III.2 Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Pupuk Urea ... III- 114 Tabel III.3. Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Minyak Sawit...………. III- 114
Tabel III.4 Jenis Galian Tambang ... III- 118 Tabel IV.1 Penghijauan yang Dilakukan Bapedal Aceh Tahun 2014 ... IV- 126 Tabel IV.2 Kualifikasi Pendidikan Pegawai Bapedal Aceh... IV- 139 Tabel IV.3 Jumlah Pegawai Bapedal 2014 Menurut SDM……… IV- 139 Tabel IV.4 Jumlah Pegawai Bapedal 2014 Menurut Eselon ... IV - 139 Tabel IV.5 Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Dilaksanakan
Daftar Gambar vi DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Peta Wilayah Administrasi Aceh ... I - 3 Gambar II.1 Distribusi Penggunaan Lahan di Provinsi Aceh ... II - 10 Gambar II.2 Persentase Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status ... II - 11 Gambar II.3 Luas Kawasan Hutan Aceh Perkabupaten/Kota ... II - 12 Gambar II.4 Perbandingan Luas Tutupan Hutan Tahun 2009 dengan Tahun
2013 ... II - 16 Gambar II.5 Luas Lahan Kritis Seluruh Kabupaten/Kota Dalam Provinsi Aceh
Tahun 2012 ... II - 18 Gambar II.6 Perkiraan Persentase Luas Kerusakan Hutan Menurut
Penyebabnya ... II - 19
Gambar II.7 Lokasi Stasiun Pemantauan di Sungai Krueng Aceh ... II - 25 Gambar II.8 Profil Temperatur dan pH Air Sungai Krueng Aceh
(Agusutus – Oktober 2014) ... II - 26 Gambar II.9 Profil TDS dan TSS air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 27 Gambar II.10 Profil BOD dan COD air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 28 Gambar II.11 Profil DO dan Total Fhospat air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 28 Gambar II.12 Profil Nitrat dan Nitrit air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 30 Gambar II.13 Profil Khlorida dan Sulfat air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 31 Gambar II.14 Profil DHL dan H2S air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 31 Gambar II.15 Profil Ion Pb dan Ion Fe air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 32 Gambar II.16 Profil Ion Mn dan Ion Cd air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 33 Gambar II.17 Profil Deterjen dan Minyak/Lemak air Sungai Krueng Aceh
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 34 Gambar II.18 Profil Kandungan e-coli dan coliform air Sungai Krueng Aceh
Daftar Gambar vii Gambar II.19 Profil Temperatur dan pH air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 36 Gambar II.20 Profil TDS dan TSS air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 37 Gambar II.21 Profil BOD dan COD air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II- 37 Gambar II.22 Profil DO dan Total Phosphat air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 38 Gambar II.23 Profil Nitrat dan Nitrit air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 40 Gambar II.24 Profil Khlorida dan Sulfat air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 40 Gambar II.25 Profil DHL dan H2S air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 41 Gambar II.26 Profil Ion Pb dan Ion Fe air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 42 Gambar II.27 Profil Ion Cd dan Ion Mn air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 43 Gambar II.28 Profil Deterjen dan Minyak/Lemak air Sungai Krueng Daroy
(Agustus – Oktober 2014) ... II - 44 Gambar II.29 Profil Kandungan Total Coliform dan e-coli air Sungai Krueng
Daroy (Agustus – Oktober 2014) ... II - 44 Gambar II.30 Profil Temperatur dan pH air Sungai Krueng Tamiang
(April – Oktober 2014) ... II - 46 Gambar II.31 Profil Kandungan TDS dan TSS air Sungai Krueng Tamiang
(April – Oktober 2014) ... II - 46 Gambar II.32 Profil Kandungan BOD dan COD air Sungai Krueng Tamiang
(April – Oktober 2014) ... II - 47 Gambar II.33 Profil Kandungan DO dan Phosphat air Sungai Krueng Tamiang
(April – Oktober 2014) ... II - 47 Gambar II.34 Profil Kandungan Nitrat dan Nitrit air Sungai Krueng Tamiang
(April – Oktober 2014) ... II - 48 Gambar II.35 Profil Kandungan Khlorin dan Phenol air Sungai Krueng
Tamiang (April – Oktober 2014) ... II - 48 Gambar II.36 Profil Kandungan Minyak/Lemak dan Detergen air Sungai
Krueng Tamiang (April – Oktober 2014) ... II - 49 Gambar II.37 Profil Kandungan e-coli dan Total Coliform dan Detergen air
Daftar Gambar viii Gambar II.38 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Karbon Monoksida pada Kawasan Transportasi ... II - 58 Gambar II.39 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter Sulfur
Dioksida pada Kawasan Transportasi ... II - 59 Gambar II.40 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Nitrogen Oksida pada Kawasan Transportasi ... II - 60 Gambar II.41 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Karbon Monoksida pada Kawasan Industri ... II - 61
Gambar II.42 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter Sulfur
Dioksida pada Kawasan Industri ... II - 61 Gambar II.43 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Nitrogen Oksida pada Kawasan Industri ... II - 62 Gambar II.44 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Karbon Monoksida pada Kawasan Perkantoran ... II - 63
Gambar II.45 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter Sulfur
Dioksida pada Kawasan Perkantoran ... II - 64 Gambar II.46 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Nitrogen Oksida pada Kawasan Perkantoran ... II - 65 Gambar II.47 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Karbon Monoksida pada Kawasan Pemukiman ... II – 66 Gambar II.48 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Sulfur Dioksida pada Kawasan Pemukiman ... ... II - 66 Gambar II.49 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Nitrogen Oksida pada Kawasan Pemukiman ... II – 67 Gambar II.50 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter Sulfur
Oksida pada Kawasan Strategis di Kab/Kota Provinsi Aceh ... II - 69 Gambar II.51 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter Karbon
Monoksida pada Kawasan Strategis di Kab/Kota Provinsi Aceh ... II - 70 Gambar II.52 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Nitrogen Oksida pada Kawasan Strategis di Kab/Kota Provinsi
Aceh ... II - 71 Gambar II.53 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter Ozon
pada Kawasan Strategis di Kab/Kota Provinsi Aceh ... II - 72 Gambar II.54 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter
Hodrocarbon pada Kawasan Strategis di Kab/Kota
Provinsi Aceh ... II - 73 Gambar II.55 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara dengan Parameter Debu
pada Kawasan Strategis di Kab/Kota Provinsi Aceh ... II - 74 Gambar II.56 Tingkat Keasaman (pH) Air Hujan di Indonesia pada
Januari 2014 ... II - 78 Gambar II.57 Tingkat Keasaman (pH) Air Hujan di Indonesia pada
Daftar Gambar ix Gambar II.58 Tingkat Keasaman (pH) Air Hujan di Indonesia pada
Oktober 2014 ... II - 79 Gambar II.59 Tingkat Keasaman (pH) Air Hujan di Indonesia pada
November 2014 ... II - 80 Gambar II.60 Tipe Interaksi Antara Ekosistem Padang Lamun dengan
Ekosistem Manggrove dan Terumbu Karang ... II - 82 Gambar II.61 Peta Sebaran Terumbu Karang, Manggrove dan Padang Lamun
Provinsi Aceh ... II - 83 Gambar II.62 Terumbu Karang di Pulau Aceh ... II - 84 Gambar II.63 Pemutihan Karang Mampu Menghancurkan Koloni Karang ... II - 85 Gambar II.64 Peta Tutupan Terumbu Karang Provinsi Aceh ... II - 86 Gambar II.65 Persentasi Tutupan Karang di Perairan Aceh ... II - 87 Gambar II.66 Berbagai Jenis Lamun (Sea Grass) di Perairan Laut Dangkal ... II - 91 Gambar II.67 Peta Kerapatan Manggrove di Provinsi Aceh ... II - 92 Gambar II.68 Hamparan Pohon Manggrove di Kota Langsa ... II - 93 Gambar II.69 Penebangan Liar Manggrove dan Dapur Arang di Kabupaten
Aceh Tamiang ... II - 97 Gambar II.70 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan di Provinsi Aceh Tahun 2014 ... II - 98 Gambar II.71 Jumlah Hari Hujan di Provinsi Aceh Tahun 2014 ... II - 99 Gambar II.72 Suhu Rata-Rata Bulanan di Provinsi Aceh Tahun 2014 ... II - 99 Gambar II.73 Perubahan Suhu Rata-Rata Dunia dari Tahun 1880-2000-an ... II - 100 Gambar III.1 Fasilitas Buang Air Besar yang Dimiliki Masyarakat Provinsi
Aceh ... III - 107 Gambar IV.1 Perbandingan Jumlah Dokumen Lingkungan yang Dinilai dan
Disahkan pada Komisi Penilai AMDAL Provinsi Aceh Tahun 2012,
2013 dan 2014 ... IV - 128 Gambar IV.2 Klasifikasi Jenis Pengaduan Masalah Lingkungan yang Diadukan
Masyarakat ... IV - 130 Gambar IV.3 Piala Kalpataru untuk Katagori Perintis Lingkungan ... IV - 133 Gambar IV.4 Piala dan Plakat Adipura ... IV - 134 Gambar IV.5 Logo dan Piala Adiwiyata ... IV - 135 Gambar IV.6 Perbandingan Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun
Bab I Pendahuluan I- 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. PROFIL DAERAH
Provinsi Aceh dengan Ibukota Banda Aceh terletak di ujung barat laut Pulau Sumatera
yang memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan Nasional dan
Internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat. Posisi geografis Aceh
terletak pada 01o58‟37,2”- 06o04‟33,6”Lintang Utara dan 94o57‟57,6”- 98o17‟13,2”Bujur
Timur dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Malaysia di Selat Malaka dan Laut Andaman.
Sebelah Selatan : Sumatera Utara dan Samudera Hindia.
Sebelah Barat : Samudera Hindia.
Sebelah Timur : Sumatera Utara.
Secara administratif Aceh memiliki 23 Kabupaten/Kota yang terdiri dari 18 kabupaten
dan 5 kota, 284 kecamatan, 755 mukim dan 6.451 gampong/desa (Surat Gubernur Aceh
Nomor : 413.4/24658/2011 Tanggal 13 Oktober 2011) dengan jumlah penduduk 4.494.410
jiwa terdiri dari 2.248.952 jiwa laki-laki dan 2.245.458 jiwa perempuan (sensus tahun 2010).
Peta Wilayah Administrasi Aceh ditunjukkan sebagaimana Gambar 1.1.
Aceh mempunyai luas wilayah daratan 56.770,85 km2, dan wilayah lautan sejauh 12
mil seluas 7.478,80 km2 dengan garis pantai sepanjang 2.698,89 km atau 1.677,01 mil.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2010 – 2030, rencana pola ruang wilayah Aceh terdiri atas Kawasan Lindung dengan luas 2.708.550 Ha (47,7%) dan Kawasan
Budidaya dengan luas 2.934.602 Ha (52,3%).
Topografi Aceh bervariasi dari datar hingga bergunung. Wilayah topografi datar dan
landai sekitar 32 persen dari luas wilayah Aceh, sedangkan berbukit hingga bergunung
sekitar 68 persen dari luas wilayah Aceh. Daerah dengan topografi bergunung terutama
terdapat di bagian tengah Aceh yang termasuk ke dalam gugusan pegunungan Bukit
Barisan, sedangkan daerah dengan topografi berbukit dan landai terutama terdapat dibagian
utara dan timur Aceh.
Aceh merupakan bagian dari geologi Pulau Sumatera, yang berada pada pertemuan
lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Secara umum geologi di bagian tengah terdapat
Patahan Semangko yang membelah dari ujung utara Aceh hingga ujung selatan di Provinsi
Lampung. Selain itu juga terdapat patahan sesar Lamteuba dari Banda Aceh hingga Aceh
Besar. Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang
rawan gempa bumi dan tanah longsor. Kondisi tersebut menjadikan Aceh sangat rawan
Bab I Pendahuluan I- 2 Di wilayah Aceh terdapat 408 Daerah Aliran Sungai (DAS) besar sampai kecil dimana
sebanyak 73 sungai besar dan 80 sungai kecil. Pengelolaan sungai sebagai sumber daya air
ditetapkan 9 (Sembilan) Wilayah Sungai (WS). Arah dan pola aliran sungai yang melintasi
wilayah Aceh dapat dikelompokkan atas dua pola utama yaitu : sungai-sungai yang mengalir
ke Samudera Hindia atau ke arah barat- selatan dan sungai-sungai yang mengalir ke Selat
Malaka atau ke arah timur-utara. Terdapat 6 potensi danau antara lain Danau Laut Tawar
Aceh Tengah, Danau Aneuk Laot Sabang, Danau Laut Bangko Aceh Selatan, Danau Peastep
Gayo Lues, Danau Paris, Danau Bungaran Aceh Singkil, Danau Pinang Aceh Singkil.
Dalam pengelolaan sumber daya alam, Aceh memiliki mekanisme dan aturan adat
yang melibatkan masyarakat. Mekanisme dan aturan itu tertuang dalam aturan Lembaga
Adat, sesuai pasal 98 ayat (3) UUPA antara lain seperti Panglima Laot, Pawang Glee, dan
Bab I Pendahuluan I- 4
B. PEMANFAATAN DARI LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
Buku SLHD memiliki pengguna potensial yang beragam dalam kaitannya dengan
fungsi pelaporan dan pemantauan. Masing-masing kelompok pengguna tersebut tentu
memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda. Berikut ini adalah beberapa pengguna
potensial tersebut :
B.1. Pemerintah Daerah
Buku SLHD Aceh berisikan data kuantitatif yang dianalisis secara series waktu dengan
membandingkan antar lokasi dan baku mutu mengenai status kualitas lingkungan hidup kritis
dan kecenderungan perubahan, sumber tekanan, dampak dan upaya pengelolaan
lingkungan. Belakangan ini, pemerintah daerah telah memanfaatkan buku ini sebagai
referensi dalam berbagai perencanaan dan perumusan kebijakan antara lain :
a. Penyusunan RPJMA 2012 - 2017
b. Rencana Tata Ruang Wilayah ACEH (RTRWA) 2012-2032
c. Penyusunan RAD-GRK Aceh 2012 – 2020 d. Penyusunan SRAP REDD+
e. Penghitungan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Aceh
f. Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Lingkungan Hidup
g. Penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT) berbagai instansi terkait.
B.2. Masyarakat dan Dunia Pendidikan
Buku SLHD ini sangat bermanfaat bagi masyarakat, dunia usaha dan dunia pendidikan
karena buku ini tidak hanya memuat status lingkungan hidup, tekanan dan upaya yang
dilakukan dalam pengelolaan lingkungan hidup tetapi juga memiliki informasi mengenai
potensi sumber daya alam. Banyak mahasiswa dan peneliti dari berbagai universitas yang
ada di Aceh memanfaatkan data SLHD untuk penyusunan tugas akhir dan penelitiannya.
Begitu juga dengan pihak konsultan telah memanfaatkan data tersebut untuk mendukung
pekerjaannya.
C. ISU LINGKUNGAN PRIORITAS DI ACEH
Secara umum gambaran isu-isu yang mempengaruhi kualitas lingkungan hidup di Aceh
tahun 2014 tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan tahun 2013. Isu lingkungan yang
paling menonjol di Aceh tahun 2014 adalah masih sekitar kerusakan hutan yaitu penurunan
luas tutupan lahan hutan yang diakibatkan oleh perambahan hutan. Degradasi hutan di
daerah hulu akan berdampak terhadap daerah hilir dan bahkan menimbulkan dampak secara
global baik berdampak langsung maupun tidak langsung pada seluruh komponen lingkungan
Bab I Pendahuluan I- 5 akibat deforestasi mengakibatkan tingginya aliran sedimen dari kawasan pengunungan ke
wilayah yang lebih rendah yang biasanya didiami oleh banyaknya penduduk. Hal ini
berdampak juga pada menurunnya kualitas air permukaan yang biasanya digunakan oleh
penduduk di Aceh untuk aktifitas sehari-hari dan aktifitas pertanian. Jika kondisi ini tidak
segera ditangani akan berpotensi meningkatkan intensitas bencana seperti banjir,
kekeringan, dan tanah longsor.
Kerusakan hutan menjadi isu prioritas karena kerusakan hutan mempunyai dampak
yang besar terhadap lingkungan, tidak hanya di daerah hulu saja tetapi juga berdampak di
daerah hilir bahkan global. Degradasi hutan memicu hilang atau punahnya sumberdaya
hayati dan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sedimentasi atau pelumpuran yang terjadi
di perairan pesisir sebagian besar berasal dari bahan sedimen di bagian hulu (akibat
penebangan hutan dan praktek pertanian yang tidak mengindahkan asas konservasi lahan
dan lingkungan), yang terangkut aliran air sungai atau air limpasan dan diendapkan di
perairan pesisir.
Kegiatan pengelolaan pertanian dan kehutanan (up land) yang buruk tidak saja
merusak ekosistem sungai (melalui banjir dan erosi), tetapi juga akan menimbulkan dampak
negatif pada perairan pesisir dan pantai. Hutan hujan tropis yang berfungsi sebagai
paru-paru dunia, memproduksi banyak oksigen sekaligus menyerap karbon dioksida yang sangat
bermanfaat untuk menjaga planet bumi dari laju kerusakan lingkungan. Isu prioritas lainnya
yaitu illegal mining, perubahan iklim, kerusakan DAS, Pencemaran air dan udara, kerusakan
pesisir/laut, tata ruang wilayah dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
hidup serta penegakan hukum.
D. ANALISA ISU PRIORITAS
D.1. Kondisi Hutan Aceh
Aceh dengan luas wilayah 5.736.557 ha sebagian peruntukan lahannya berupa
hutan dengan luas areal mencapai 65,1 persen dari total wilayahnya yang membentang dari
Pulau Weh sampai dengan kabupaten Aceh Singkil. Kondisi karakteristik hutan Aceh di
wilayah pesisir pada umumnya merupakan dataran rendah dengan tingkat kepadatan tinggi
dengan wilayah hutan yang tidak begitu luas, sedangkan daerah dataran tinggi Aceh
merupakan kawasan hutan yang sangat luas. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan
adalah 3.335.713 ha, sedikit kurang dari luas kawasan hutan yaitu 3.372.819 ha. Hal ini
berarti seluas 37.106 ha lahan kawasan hutan tanpa tutupan vegetasi. Secara alami kawasan
hutan tanpa tutupan vegetasi tersebut dapat berupa batuan atau lahan terbuka akibat tanah
longsor alami, atau terbuka akibat aktivitas manusia merambah kawasan hutan. Luas
Bab I Pendahuluan I- 6 lindung di luar kawasan hutan, kawasan pengembangan hutan rakyat, dan di areal
penggunaan lain.
Kerusakan hutan merupakan salah satu penyebab meluasnya lahan kritis, terutama
kerusakan akibat perambahan hutan untuk perladangan berpindah. Data tahun 2014
menunjukkan bahwa perkiraan luas kerusakan hutan Aceh akibat perambahan hutan semakin
memprihatinkan. Pada kurun waktu yang sama deforestasi hutan pada kawasan APL juga
semakin meningkat. Luas hutan yang mengalami deforestasi baik dalam kawasan hutan
maupun di APL, beserta luas lahan kritis di Aceh jauh lebih tinggi dari pada kemampuan
memulihkan hutan tersebut.
D.2. Tekanan Terhadap Kawasan Hutan
Tekanan terhadap sumberdaya hutan semakin meningkat akhir-akhir ini yang
diakibatkan oleh berbagai faktor. Degradasi pada kawasan hutan lindung telah mencapai 3,7
Ha dan deforestasi seluas 31.908,7 Ha meliputi 8.848,2 Ha di dalam kawasan dan 23,060.5
Ha di luar kawasan atau Areal Penggunaan Lain (APL). Penebangan liar (illegal logging dan
Illegal Cutting), perambahan hutan untuk perladangan berpindah, serta kebakaran hutan
merupakan penyebab utama kerusakan hutan di Aceh yang semakin memprihatinkan.
D.3. Upaya Pemerintah Aceh Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembangunan daerah harus terus dipacu tanpa mengabaikan keseimbangan ekologi.
Perubahan kualitas lingkungan harus tetap menjadi pedoman dalam menentukan kebijakan
pembangunan sehingga pertumbuhan ekonomi tidak harus mengorbankan kualitas
lingkungan. Ketidakseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan kegiatan
eksploitasi sumber daya alam akan berdampak terhadap kualitas hidup manusia sehingga
perlu upaya pemulihan untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan sumber daya alam.
Untuk mengatasi permasalahan/isu lingkungan, Pemerintah Aceh mempunyai komitmen
untuk pelestarian lingkungan Hidup dengan memasukan salah satu program lingkungan
dalam program prioritas pembangunan Aceh lima tahun kedepan. Untuk mendukung program
tersebut, Bapedal Aceh telah menetapkan visinya menjadi: “Badan pengendalian dampak lingkungan yang handal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
berkelanjutan”.
Berbagai upaya pengelolaan lingkungan telah dilakukan untuk mengurangi berbagai
permasalahan lingkungan di Aceh. Upaya tersebut meliputi rehabilitasi lingkungan,
pengawasan AMDAL/UKL-UPL, penegakan hukum, peningkatan peran serta masyarakat dan
Bab I Pendahuluan I- 7 Pemerintah Aceh juga mempunyai strategi – strategi untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan antara lain:
1. Peningkatan pembangunan yang terintegrasi dan berkelanjutan
2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan Sumber Daya Alam secara berkelanjutan
3. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kesadaran masyarakat dalam pelestarian
lingkungan berkelanjutan
4. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap bencana dan kelestarian lingkungan
5. Pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan dan tidak terbarukan secara optimal
dan berkelanjutan
6. Pengelolaan lanskap yang berkelanjutan
7. Internalisasi konsep pembangunan berwawasan lingkungan dalam dokumen rencana
pembangunan
8. Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan
9. Mengusahakan pembagian manfaat (benefit sharing) secara adil
10. Pengembangan skema insentif dan disinsentif dalam pengelolaan sumber daya alam
Sampai dekade ini, Pemerintah Aceh terus berupaya untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan meningkatkan pembangunan ekonomi
yang dikaitkan langsung dengan pengelolaan lingkungan hidup. Capaian kinerja Pemerintah
Aceh di Bidang Lingkungan Hidup sampai saat ini sebagai berikut :
• Moratorium logging melalui Instruksi Gubernur No. 05/2007
• Pergub No. 24 tahun 2009 tentang penggunaan material Bahan Galian C Ramah lingkungan Dalam Pelaksanaan Pembangunan
• Qanun No. 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Pergub Aceh No. 85/2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Aceh
• SK Gubernur Aceh No. 660/995/2013 tentang Tim Terpadu Pengawasan Peredaran dan Pengunaan Merkuri dan Sianida di Provinsi Aceh
• Moratorium pemberian izin penambangan mineral di wilayah pesisir melalui Intruksi Gub No. 06 tahun 2013
• Dokumen KLHS untuk RTRWA
• Dokumen Strategi Rencana Aksi Propinsi (SRAP) REDD
• Dokumen RAD Pengurangan Resiko Bencana
• Standar Pelayanan Minimal bidang Lingkungan Hidup Tahun 2014 telah mencapai 100% (informasi kualitas air, Udara ambien dan tindak lanjut pengaduan
masyarakat)
Bab I Pendahuluan I- 8
• Penghargaan lingkungan hidup : Proper, Adiwiyata, Adipura
• Rehabilitasi dan konservasi lahan
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 9 BAB II
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGAN
A. LAHAN DAN HUTAN
A.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan (Lahan Utama)
Provinsi Aceh memiliki luas wilayah 56.770,81 km2 atau 5.677.081 Ha . Luas wilayah
menurut penggunaan lahan utama sebagaimana disajikan pada Buku Data Tabel SD-1
menunjukkan bahwa penggunaan lahan terbesar adalah hutan seluas 3.400.891 Ha atau
59,90 persen dari luas total wilayah Aceh. Selanjutnya secara berturut-turut adalah lahan
kering 1.027.807 Ha (18,10%), Perkebunan 734,165 Ha (12,93%), Non Pertanian 244.885
Ha (4,31%), Sawah 235.259 (4,14%), dan badan air seluas 34,074 Ha (0,60%).
Kabupaten/ kota yang penggunaan lahannya untuk hutan lebih dari 75% dari luas
wilayahnya adalah Gayo Lues (87%), Aceh Tenggara (85%), Aceh Selatan (83%), dan Aceh
Tengah (79%), Aceh Barat Daya (74%). Keempat kabupaten tersebut terletak di bagian
tengah Provinsi Aceh yang wilayahnya merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan di
bagian utara Pulau Sumatera. Tujuh kabupaten/kota lainnya memanfaatkan wilayahnya
untuk hutan antara 50-75% adalah Aceh Barat Daya, Bener Meriah, Aceh Jaya, Simeulue,
Pidie, Pidie Jaya, dan Kota Sabang. Sebanyak delapan Kabupaten/Kota yang memanfaatkan
lahannya berupa hutan antara 30-50% adalah Kabupaten Nagan Raya, Kota Sabang,
Subulussalam, Aceh Barat, Aceh Timur, Bireun, Aceh Besar dan Aceh Tamiang, sedangkan 5
kabupaten/kota lainnya kurang dari 30%, yaitu Aceh Singkil, Kota Langsa, Aceh Utara, Kota
Banda Aceh dan Kota Lhokseumawe.
Lahan Kering berupa tegalan/ kebun, pekarangan, dan ladang/ huma menempati
urutan ke dua dari luas wilayah penggunaan lahan utama. Total lahan kering di wilayah
provinsi Aceh berdasarkan Tabel SD-1 seluas 1.027.807 Ha atau sebesar 18% dari luas
Wilayah Aceh. Lahan kering paling luas terdapat di Kabupaten Aceh Besar (55 %), Bireun
(47%), dan Aceh Tamiang (43%). Tujuh kabupaten yang memiliki luas lahan kering 20 – 35
% adalah Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Utara, Bener Meriah, Nagan Raya, Pidie, Pidie Jaya,
dan Subulussalam. Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Barat Daya persentase lahan kering
secara berturut-turut sebesar 18% dan 17% sedangkan sisanya sebesar 1 – 10% terdapat di
kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Gayo
Lues, Simeulue, dan kota Sabang. Kota Lhokseumawe tidak ada data lahan kering sedangkan
Kota Banda Aceh dan Kota Langsa tidak ada lahan kering.
Untuk kawasan perkebunan, persentase terbesar dari luas wilayahnya adalah Kota
Lhokseumawe sebesar 55% yaitu seluas 8.508 Ha dengan komoditi Kelapa sawit, kakao,
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 10 tidak mempunyai lahan perkebunan adalah Kabupaten Bener Meriah, hingga saat ini tidak
ada izin usaha perkebunan swasta dan Hak Guna Usaha (HGU), tetapi jenisnya perkebunan
rakyat. Kabupaten lainnya yang juga tidak mempunyai lahan perkebunan adalah Kabupaten
Pidie dan Kabupaten Bireun, sedangkan Kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar tidak
tersedia data terkait lahan perkebunan. Kabupaten Aceh Timur mempunyai area perkebunan
paling luas di Provinsi Aceh yaitu 149.282 Ha diikuti Kabupaten Aceh Singkil 94.478 Ha,
Aceh Tengah 57.185 Ha, dan Gayo Lues seluas 53.383 Ha.
Penggunaan lahan untuk tujuan non pertanian tertinggi di wilayah perkotaan, yaitu
Kota Banda Aceh (88,29% total luas wilayah). Kota Lhokseumawe menggunakan 80.43% dari
total wilayahnya untuk non pertanian, sedangkan Kota Langsa 29.68%, Aceh Singkil
(18,03%), Kota Sabang (16,53%), dan Kabupaten Aceh Utara sebesar 10,41%. Di kabupaten
lainnya penggunaan lahan untuk non pertanian kurang dari 10% yaitu Kabupaten Aceh Barat,
Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh
Tenggara, Aceh Timur, Bener Meriah, Bireun, Gayo Lues, Nagan Raya, Pidie, Pidie Jaya dan
Simeuluie. Distribusi penggunaan lahan di Provinsi Aceh dapat dilihatpada gambar di bawah
ini.
Gambar II.1. Distribusi Penggunaan Lahan di Provinsi Aceh
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 11 A.2. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/ Statusnya
Luas kawasan hutan di Provinsi Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor SK.941/Menhut-II/2013 tanggal 23 Desember 2013 seluas 3.562.291 Ha, atau sekitar
62,75% dari luas wilaya Aceh. Luas kawasan hutan tersebut meliputi hutan konservasi seluas
1.057.942 hektar atau 29,70%; hutan lindung seluas 1.790.256 Ha, dan hutan produksi
seluas 714.083 hektar, yaitu sebesar 20,05%. Hutan konservasi terdiri dari cagar alam (CA)
seluas 15.688 Ha, suaka margasatwa (SM) seluas 81.827 Ha, taman wisata 241.099 Ha,
taman buru 86.320 Ha, Taman Nasional Gunung Leuser yang memiliki areal selual 624. 388
Ha, dan taman hutan raya seluas 8.620 Ha. (sumber: Tabel SD-2, Buku Data SLHD Provinsi
Aceh Tahun 2014). Persentase luas kawasan hutan menurut fungsi/statusnya dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Gambar II.2. Persentase Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status
A.3. Luas Kawasan Lindung Berdasarkan RTRW dan Tutupan Lahannya
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Provinsi Aceh), kawasan hutan lindung
dan hutan konservasi (suaka alam dan pelestarian alam) merupakan pilar utama ”kawasan
lindung”. Berdasarkan RTRW Aceh 2013 – 2033 selain kedua jenis kawasan lindung tersebut, di Provinsi Aceh terdapat pula kawasan lindung lain yang berupa taman Buru, kawasan
perlindungan plasma nutfah, dan kawasan pengungsian satwa.
Luas Area (Ha)
CA
SM
TW
TB
TN
Tahura
HL
HP
HPT
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 12 Berdasarkan Tabel SD-3.1 Buku Data SLHD Aceh Tahun 2014 Kabupaten Gayo Lues
mempunyai hutan lindung paling luas di Provinsi Aceh yaitu 221.075 atau 12,35% dari total
luas hutan lindung seluruh Aceh, diikuti Kabupaten Pidie, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh
Jaya, Aceh Selatan, dan Nagan Raya secara berturut-turut sebesar 10,06; 10,04; 9,53; 9,37;
8,51; dan 7,21. Empat kabupaten hanya mempunyai hutan lindung di bawah 1% adalah
Kabupaten Aceh Singkil 0,21%; Kota Langsa 0,135%; Kota Sabang 0,18%; dan Aceh Utara
sebesar 0,43% dari total luas hutan lindung di Provinsi Aceh. Luas kawasan hutan Aceh per
kabupaten/kota untuk lebih jelasnya dapat dilihatpadagambardi bawah ini :
Gambar II.3. Luas Kawasan Hutan Aceh Perkabupaten/Kota
A.4. Luas Penutupan Lahan Dalam Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan
Kualitas hutan Aceh yang diindikasikan dari luas penutupnya menunjukkan gambaran
yang semakin memprihatinkan, sejalan dengan konversi dan eksploitasi yang telah dilakukan.
Aceh dengan luas kurang lebih 5.6 juta hektar sampai tahun 2009 memiliki tutupan hutan
seluas 3,3 juta ha atau 56% dari luas wilayahnya. Banyak faktor yang mengakibatkan
perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk, dan pembangunan diluar sektor
kehutanan yang sangat pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya
kebutuhan akan lahan dan produk-produk dari hutan. Luas tutupan lahan, degradasi, dan
deforestasi hutan Aceh pada kurun waktu 2006 – 2009 secara terinci disajikan pada tabel di
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 13 Tabel II.1. Tutupan Lahan, Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh
No KETERANGAN Jenis Hutan
Total Luas Penutupan Lahan Periode 2009/2010 852,600 1,844,500 37,300 601,200 3,335,600 - 3,335,600 2,289,000 5,624,600 100
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 14
- Buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun2009/2010, - Buku Penghitungan Degradasi Hutan Indonesia Periode 2006-2009 - Buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode 2006-2010
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 15 Degradasi pada kawasan hutan lindung seluas 3,7 Ha dan deforestasi seluas
31.908,7 Ha meliputi 8.848,2 Ha di dalam kawasan dan 23,060.5 Ha di luar kawasan atau
Areal Penggunaan Lain (APL). Degradasi dan deforestasi hutan di Aceh yang terus
berlangsung disebabkan oleh banyak faktor yang terkadang sulit dicari solusinya.
Penebangan liar (illegal logging dan illegal cutting), perambahan hutan untuk perladangan
berpindah, serta kebakaran hutan merupakan penyebab utama kerusakan hutan di Aceh
yang semakin memprihatinkan.
Tutupan hutan sebagai salah satu tolok ukur kondisi hutan terus berkurang sejalan
dengan intervensi dan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Luas penutupan lahan dalam
dan non kawasan hutan dinyatakan dengan luas kawasan hutan tetap (HT) dan kawasan
hutan produksi konversi (HPK) serta areal penggunaan lain (APL). Hutan tetap (HT)
merupakan jumlah luasan dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
(KSA-KPA), hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi (HP).
Hasil penafsiran citra satelit resolusi rendah Dinas Kehutanan Aceh Tahun 2013
diperoleh data tutupan Hutan Aceh di dalam kawasan hutan seluas 2.934.594,45 Ha atau
sebesar 51,69 % dari luas wilayah Aceh yang terdiri dari hutan primer seluas 1.226.797,8 Ha
atau sebesar 21,61 % sisanya berupa hutan sekunder dan hutan tanaman seluas
1.707.796,65 Ha atau sebesar 30,08% (Tabel 4.1 Buku Data SLHD Tahun 2014). Kanopi
hutan primer paling banyak menutupi kawasan hutan konservasi dan hutan lindung Aceh
yang didominasi oleh hutan hujan tropis diatas tanah gambut.
Perbandingan luas penutupan lahan pada tahun 2009 dengan tahun 2013
menunjukan bahwa terjadi penurunan baik dalam dan luar kawasan hutan, kecuali luas
kawasan suaka alam (KSA) - kawasan pelestarian alam (KPA), dimana pada Tahun 2013
mengalami penambahan luas area sebesar 19,40% dibandingkan tahun 2009 yatu dari
852.600 Ha pada Tahun 2009 menjadi 1.057.942,74 pada tahun 2013. Perubahan luas
kawasan tersebut dikarenakan pada tahun 2009 data luasan KSA – KPA berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 170/Kpts-II/2000 dan SK Gubernur Nomor 19 Tahun
1999 hanya wilayah daratan saja, sedangkan pada Tahun 2013 data luas kawasan
berdasarkan SK Menhut 941/Menhut-II/2013, KSA – KPA mencakup luas daratan dan luas
kawasan konservasi perairan yaitu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Kepulauan Banyak dan
Sabang. Perbandinngan luas tutupan hutan tahun 2009 dengan tahun 2013 dapat dilihat
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 16 Gambar II.4 Perbandingan Luas Tutupan Hutan Tahun 2009 dengan Tahun 2013
Kondisi Hutan Aceh berbeda-beda di setiap kabupaten baik dari segi fungsi dan
peruntukannya maupun kondisi aktual di lapangan. Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai
keanekaragaman ekosistem yang dipengaruhi oleh bentang alam dan letak geografis yang
sering berbeda antara suatu wilayah kabupaten/kota dengan kabupaten/kota yang lainnya,
hal ini berpengaruh juga terhadap jenis dan komposisi flora maupun fauna di dalamnya.
Beberapa hal yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan/hutan diantaranya
pertambahan jumlah penduduk yang menyebabkan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan
untuk keperluan aktivitas misalnya pertanian dan perkebunan. Di sisi lain perubahan tutupan
lahan dapat juga di pengaruhi oleh adanya kemajuan teknologi misalnya dari segi
penggarapan lahan yang sebelumnya memakan waktu yang lama, dibandingkan dengan saat
sekarang yang penggarapannya lebih singkat.
Luas tutupan lahan/hutan setiap kabupaten/kota di Aceh sebagaimana hasil
penafsiran citra satelit Tahun 2013 secara rinci dapat dilihat pada Tabel SD-4.2 Buku Data
SLHD Tahun 2014. Keberadaan data tersebut tidak menjelaskan fungsi kawasan
sebagaimana kebutuhan data pada Tabel SD-4 Buku Data SLHD Aceh Tahun 2014 akan
tetapi menampilkan luas tutupan lahan/hutan secara keseluruhan baik di dalam maupun di
luar kawasn hutan.
Tabel SD-4.2 tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 4 kabupaten/kota memiliki
persentase luas penutupan lahan terbesar berupa hutan primer dan hutan skunder adalah :
Kabupaten Aceh Tenggara sebesar 85,16%; Gayo Lues 79,27%; Aceh Selatan 72,76%; dan
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 17 Lhokseumawe seluas 21,01 Ha atau sebesar 0,13% diikuti Kota Langsa seluas 3.165,53 Ha
atau 15,59%. Dua Kota tersebut tutupan hutannya hanya berupa hutan manggrove skunder.
A.5. Luas Lahan Kritis
Ancaman degradasi hutan dan Penggunaan lahan untuk berbagai peruntukan sebagaimana telah diuraikan di atas menimbulkan lahan kritis, dimana akan terjadi kerusakan
ekologis, menurunnya estetika, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktifitas tanah,
perubahan iklim mikro maupun global dan menurunnya keanekaragaman sumber daya hayati
dan ekosistemnya. Lahan kritis atau degradasi lahan dapat diakibatkan oleh proses alam
berupa erosi, tanah longsor, dan pencucian tanah maupun akibat perilaku manusia dalam
memanfaatkan lingkungan seperti perusakan hutan, pertanian sistem ladang berpindah,
kegiatan pertambangan terbuka, dan sistem pertanian di pegunungan yang tidak
menggunakan terassering (sengkedan).
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan
Sosial, Kementerian Kehutanan Nomor : SK.4/V-DAS/2015 Tanggal 29 Januari 2015 tentang
Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013, luas lahan kritis
Provinsi Aceh adalah 625.358 Ha (meliputi kritis 474.664 Ha, dan sangat kritis 150.694 Ha)
dan potensial kritis seluas 3.374.853 Ha (Direktorat PEPDAS, Ditjen BPDASPS Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Apabila kita bandingkan dengan data Tahun 2012 luas
lahan kritis menurun meskipun relatif kecil yaitu sebesar 1,28 % sebagaimana data pada
Tabel SD-5 Buku Data SLHD Tahun 2013 yaitu mencapai 633.352 ha atau 11,16% total luas
lahan di Provinsi Aceh. Hampir semua kabupaten/kota memiliki lahan kritis yang luasnya
beragam antara kisaran 0.00 sampai 33.33% terhadap luas kabupaten masing-masing.
Hanya Kota Banda Aceh yang tidak memiliki lahan kritis.
Persentase luas lahan kritis tertinggi adalah di Kota Langsa (33.33%) serta yang
terendah di Kota Banda Aceh (0.00%). Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Besar
dan Kota Sabang memiliki lahan kritis dalam persentase yang cukup tinggi, yaitu
berturut-turut 27.99%; 27.49%, 26.87% dan 25.00% terhadap luas wilayah masing-masing.
Kabupaten Gayo Lues, Simeulue, Aceh Selatan, dan Aceh Jaya memiliki lahan kritis
berturut-turut 15.39%; 11.07%; 10.19%, dan 7.72%. Lahan kritis di kabupaten lainnya dibawah 5%
(Tabel SD-5 Buku Data SLHD Tahun 2013). Luas Lahan kritis masing-masing kabupaten/kota
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 18 Gambar II.5 Luas lahan kritis Seluruh Kabupaten/kota Dalam Provinsi Aceh Tahun 2012
A.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air , Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah, dan Perkiraan Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya
Buku Data Tabel SD-6, SD-7 dan SD-8 belum mencantumkan besaran erosi maupun
kerusakan tanah di lahan kering maupun lahan basah. Belum tersedia data sehubungan
dengan evaluasi terhadap kerusakan tanah di lahan kering maupun di lahan basah. Kajian
mendalam tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk tindakan rehabilitas. Konservasi
lahan basah khususnya lahan gambut menjadi lahan pertanian terutama perkebunan masih
terus berlangsung, sekalipun diketahui bahwa lahan gambut tersebut ketebalannya ada yang
lebih dari 3 m. Perubahan kualitias air permukaan dan sungai terutama perubahan warna air
di musim hujan mengindikasikan bahwa tingkat kerusakan tanah akibat erosi cukup tinggi.
Salah satu indikasi telah terjadinya erosi yang cukup tinggi adalah semakin
bertambahnya lahan kritis dari tahun ke tahun. Sebagaimana telah disajikan pada Tabel
SD-5, luas lahan kritis telah mencapai 633.352 Ha (11.16%), dibanding tahun sebelumnya hanya
381.484 ha atau 6.82% luas wilayah Provinsi Aceh.
A.7. Perkiraan Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya
.Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan oleh kebakaran hutan, ladang
berpindah, penebangan liar, perambahan hutan dan lain-lainnya. Pada tahun 2012
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 19 adalah perambahan hutan seluas 14.221,5 Ha (83,13%), kebakaran hutan seluas 2.386,00
(13,95%), dan ladang berpindah seluas 501,00 Ha (2,93%), sedangkan akibat penebangan
liar tidak tersedia data (Tabel SD-9 Buku Data SLHD Tahun 2013). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar berikut :
Gambar II.6.Perkiraan Persentase Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya
A.8. Pelepasan Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi Menurut Peruntukan
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi
tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap
berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan
berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran
yang proporsional. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Menteri
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan) dengan didasarkan
pada hasil penelitian terpadu (penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintah yang
mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama
dengan pihak lain yang terkait)
Permasalahan mendasar pada hutan dan lahan salah satunya adalah konversi
kawasan hutan ke areal penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, perkebunan,
industri, pertambangan dan lainnya. Apabila kita amati kondisi nyata di lapangan pembukaan
lahan terus berlangsung dan semakin meningkat, yang paling sering dijumpai adalah
pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pertanian, dan pertambagan baik
legal maupun ilegal namun tidak diketahui luasannya mengingat tidak ada data terkait luasan 13,95% 2,92%
0%
83,13%
Kebakaran Hutan
Ladang Berpindah
Penebangan Liar
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 20 konversi hutan terhadap masing-masing peruntukan sebagaimana kebutuhan data untuk
Tabel SD-10 Buku Data SLHD tahun 2014.
B. KEANEKARAGAMAN HAYATI
Menurut Global Village Translations (2007:4) Keanekaragaman hayati adalah semua
kehidupan di atas bumi ini baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta berbagai
materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka
hidup. Termasuk didalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari
organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat, laut maupun
sistem-sistem perairan lainnya.
Keanekaragaman hayati memiliki nilai-nilai lingkungan, budaya, sosial dan ekonomi
yang penting. Karena itu, keanekaragaman hayati suatu daerah akan turut membentuk
kebudayaan dan sosiologi masyarakat suatu daerah. Selain itu, sesuai dengan perkembangan
zaman, maka keanekaragaman hayati juga bisa mempengaruhi aktivitas perekonomian
kelompok masyarakat yang menempati daerah tersebut.
Provinsi Aceh dengan hutan tropisnya yang menyebar di seluruh kabupaten/kota
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, khususnya pada kawasan pegunungan
Leuser atau sebelum pengesahan RTRWA 2013 – 2033 disebut Kawasan Ekosistem Leuser
(KEL), terbukti berperan dalam pelestarian keanekaragaman hayati. KEL dianggap sebagai
salah satu tempat yang terkaya keanekaragaman hayatinya di Asia Tenggara. Sebagian
besar jenis satwa langka dapat ditemukan di hutan dataran rendah. KEL adalah satu-
satunya tempat di dunia yang sekaligus memiliki Gajah Sumatera (elephas maximus
), Orangutan(pongo pygmaeus), Harimau Sumatera(panthera tigris sumatraensis ), Badak Sumatera(dicherorinus sumatraensis), sehingga KEL merupakan harapan nyata sebagai tempat terakhir untuk kelangsungan hidup jangka panjang dari empat spesies fauna tersebut di atas yang sangat terancam punah ini hidup secara berdampingan di alam liar.
Selain itu KEL juga merupakan habitat beberapa jenis burung seperti Argus pheasant, dan
rumah bagi pohon-pohon Keruing yang banyak digunakan dalam industri kayu yang saat ini
telah menjadi langka.
Keanekaragamanhayati di Provinsi Aceh tidak sedikit diantaranya yang terancam
kepunahan. Untuk itulah perlu suatu regulasi untuk melindungi kelestarian Flora dan Fauna
tersebut. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa
liar yang terancam punah, merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus pada
perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 21 dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang
mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Pengendalian tersebut didasarkan
pada kenyataan bahwa eksploitasi tumbuhan dan satwa liar untuk kepentingan perdagangan
merupakan ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup tumbuhan dan sawa liar
tersebut. CITES memuat tiga lampiran (appendix) yang menggolongkan keadaan tumbuhan
dan satwa liar pada tingkatan yang terdiri dari :
1) Apendiks I CITES
Appendix I merupakan lampiran yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional
secara komersial. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang
ditangkap di alam bebas adalah illegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar
biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk
dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran dianggap sebagai
spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Di Aceh, tumbuhan dan satwa
liar yang masuk dalam Appendix I CITES adalah: dari golongan mamalia 10 jenis (Badak
Sumatera, Gajah Sumatera, Kucing Hutan, Kucing Emas, Beruang Madu, Owa, macan
dahan, macan tutul, Harimau Sumatera, Orang utan); Aves 1 jenis (Rangkong); dan Reptil
4 jenis (penyu hijau, buaya muara, penyu belimbing, dan penyu sisik), total 15 jenis satwa
sedangkan jenis tumbuhan tidak ada yang tergolong dalam apendiks 1. (SD – 11 Buku
Data SLHD Tahun 2014).
2) Apendiks II CITES
Appendix II memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin
akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.
Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan
suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan
(option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk
dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I. Dari tabel tabel SD – 11 Buku
Data SLHD Tahun 2014 tidak ada spesies baik flora maupun fauna di Propinsi Aceh yang
masuk dalam data apendiks III.
Disamping itu satu spesies burung yang dilindungi berstatus endemik yaitu Murai batu Aceh
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 22 Menurunnya keanekaragaman hayati berupa kekayaan spesies suatu ekosistem akan memiliki
efek sekunder, yang mengurangi kualitas dan jumlah jasa yang diberikan oleh ekosistem
tersebut sehingga menimbulkan masalah lingkungan yang akhirnya merugikan manusia.
C. AIR
Air merupakan unsur penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup yang dapat
membantu metabolisme dalam tubuh, dan bila tidak ada air maka proses kehidupan akan
terhenti. Ketersediaan air sangat bervariasi yang tergantung kepada lokasi geografis dan
waktu dan dengan adanya daur air secara alami di bumi kebutuhan air oleh manusia masih
mampu dipenuhi, dimana semua sumberdaya air di bumi ini dapat digunakan untuk
kepentingan manusia. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dilakukan melalui pemanfaatan
air sungai, mata air, embung/danau, maupun sumur-sumur yang dibuat melalui proses
penggalian dan pengeboran. Secara umum, sumber air yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat dapat dikategorikan atas 2 kelompok, yaitu :
1. Sumber air permukaan, yang dapat diperoleh dari sungai, danau, embung, telaga, dan
tidak termasuk air laut. Air tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti
air minum, MCK, perairan sawah, dan perikanan.
2. Sumber air tanah, sumber air tanah dimanfaatkan melalui proses penggalian atau
pengeboran. Pemanfaatan air ini biasanya hanya untuk keperluan rumah tangga dan
industri.
Adanya peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan dan pemenuhan
air bersih bagi penduduk juga meningkat dan pemerintah berupaya melakukan pelayanan
untuk mendapatkan air bersih melalui pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan yang
dipercayakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) kabupaten/kota. Saat ini,
pelayanan air bersih di Provinsi Aceh meningkat 35% yang dilakukan melalui perpipaan PDAM
yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Banyaknya pelanggan air minum yang mampu
dilayani mencapai 140.125 pelanggan dengan rincian sosial sebanyak 1.920 pelanggan, non
niaga sebanyak 121.792 pelanggan, niaga sebanyak 15.224 pelanggan, industri sebanyak
127 pelanggan, dan pelanggan khusus ada 1062 pelanggan. Jumlah pelanggan didominasi
oleh pelanggan yang berdomisili di Kota Banda Aceh. Jumlah air minum yang disalurkan di
Provinsi Aceh mencapai 22.791.684 m3 dengan perincian untuk sosial 706.453 m3, non niaga
18.257.921 m3 dan untuk niaga 2.402.057 m3, sedangkan untuk industri 31.517 m3 serta
untuk yang khusus 1.393.736 m3. Sumber utama air bersih yang diolah oleh PDAM untuk
konsumsi masyarakat umumnya berasal dari aliran sungai di setiap kabupaten/kota.
Berdasarkan hasil inventarisir Dinas Pengairan Aceh, Provinsi Aceh memiliki paling sedikit 274
sungai besar yang tersebar di pelosok daerah dengan panjang maksimum 208 km dan
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 23 m3/detik. Sungai Krueng Tamiang merupakan sungai terpanjang di Provinsi Aceh dengan
debit maksimum sebesar 671,80 m3/detik dan debit minimumnya sebesar 61,0 m3/detik.
Sungai Krueng Masen merupakan sungai yang memiliki debit tertinggi di Aceh sebesar 968
m3/detik (Tabel SD-12 Buku Data).
Peningkatan jumlah penduduk yang diikuti dengan perkembangan pembangunan di
berbagai sektor menyebabkan sungai tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari (air
minum) tetapi juga dimanfaatkan juga sebagai tempat pembuangan limbah. Pembuangan
limbah yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung sumberdaya air
menyebabkan pencemaran sehingga sumberdaya air tersebut berkurang atau tidak dapat
berfungsi sesuai peruntukannya. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal ialah
pencemaran fisik (warna karena zat organik dan anorganik, kekeruhan, zat tersuspensi,
temperatur, buih atau busa dan radio aktif); pencemaran fisiologis (rasa dan bau);
pencemaran biologi (pertumbuhan ganggang dan bakteri termasuk bakteri pathogen), dan
pencemaran kimia (zat organik dan anorganik). Parameter-parameter yang digunakan
sebagai petunjuk tingkat pencemaran suatu perairan ialah parameter karakteristik fisik, kimia,
dan biologi. Tercemar tidaknya suatu perairan sangat ditentukan oleh senyawa yang
terkandung di dalam air tersebut. Kondisi kualitas air, penyebab, dan upaya yang telah
dilakukan di Provinsi Aceh lebih rinci dapat diketahui dari uraian berikut ini. Sumber air di
Provinsi Aceh meliputi sungai, danau, dan air tanah maka penyajian tulisan juga didasarkan
ketiga kelompok sumber air tersebut.
Sumber pencemaran air sungai perkotaan juga disebabkan oleh perkembangan
industri kecil yang rata-rata tidak mempunyai IPAL. Tekanan terhadap pencemaran air
sungai/danau di perdesaan utamanya disebabkan oleh pemakaian pupuk buatan. Ternyata
pemakaian pupuk buatan untuk sawah merupakan jumlah terbesar dibandingkan dengan
perkebunan dan palawija.
C.1 Sungai
C.1.1 Kondisi Sungai di Provinsi Aceh
Provinsi Aceh saat ini telah terdata sebanyak 274 sungai besar dan kecil yang
tersebar di seluruh kabupaten/kota dan 45 sungai merupakan lintas kabupaten/kota. Debit
maksimum rata-rata air sungai di Provinsi Aceh adalah 0,73 – 968 m3/detik untuk sungai
besar dan 0,01 – 1,3 m3/detik untuk sungai kecil seperti yang ditabulasikan pada Tabel SD-12
Buku Data. Sungai Kr. Masem merupakan sungai yang memiliki debit terbesar (968 m3/detik)
dan Sungai Kr. Pine merupakan sungai yang memiliki debit terkecil di Provinsi Aceh. Secara
visual air sungai di Provinsi Aceh tampak jernih kecuali pada lokasi-lokasi tertentu, seperti
sungai yang melintasi perkotaan. Perbedaan ini akan sangat menyolok apabila turun hujan
yang disebabkan banyaknya lahan terbuka sehingga pada saat hujan terjadi run-off yang
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 24 apabila pada lokasi tersebut ada aktifitas pertambangan terbuka, seperti Galian C dan
lainnya. Tidak semua sungai dilakukan pemantauan secara berkala. Hanya beberapa sungai
yang dapat dijadikan tolak ukur pencemaran sungai di Provinsi Aceh dengan melakukan
pengukuran dan dianalisis dengan fokus lokasi berikut ini.
a. Sungai-sungai yang melintasi daerah perkotaan;
b. Sungai yang dilintasi oleh aktivitas pertambangan; dan
c. Sungai lainnya di Provinsi Aceh.
Uraian ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi Sungai di Provinsi Aceh secara
utuh. Analisis dilakukan berdasarkan Kelas II Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
C.1.1.1. Sungai yang Melintasi Daerah Perkotaan
Ada beberapa sungai yang melewati daerah perkotaan di Provinsi Aceh yang
menampung limbah perkotaan dari berbagai jenis kegiatan seperti rumah sakit, hotel,
industri, PLTD, limbah pasar, dan limbah rumah tangga. Sungai tersebut adalah Sungai
Krueng Aceh, Krueng Daroy, Krueng Doy, dan Krueng Tamiang. Masih terdapat beberapa
sungai lain yang melintasi perkotaan, namun keempat sungai ini merupakan sungai yang
melewati perkotaan dengan kepadatan penduduknya tinggi. Sungai-sungai ini dapat dijadikan
indikator kualitas air sungai perkotaan di Provinsi Aceh.
1. Sungai Krueng Aceh, sungai ini merupakan sungai besar yang membelah dua Kota Banda
Aceh. Sungai ini memiliki panjang 113 km, lebar (60 m bagian hulu, 57 m bagian tengah,
dan 51 m bagian hilir) dengan debit rata-rata 19,1 m3/detik (85,2 m3/detik maksimum
dan 10,38 m3/detik minimum). Sungai ini berfungsi sebagai sumber utama air bersih
masyarakat Kota Banda Aceh bermuara ke Samudera Hindia. Di sepanjang sungai ini
banyak terdapat aktivitas masyarakat seperti doorsmeer, industri (PLTD dan pupuk NPK),
hotel, SPBU, dan water intake PDAM. Sebagian hasil buangan limbah Kota Banda Aceh
dialirkan melalui sungai ini pada bagian hilirnya. Sungai Krueng Aceh menjadi sangat
penting mengingat di bagian hulu sungai ini terdapat water intake PDAM Tirta Daroy dan
sungai ini saat ini sedang dikembangkan wisata sungai. Ke depannya kawasan ini akan
terus dikembangkan. Pengembangan kawasan ini akan sangat terkait dengan kualitas air
dan nilai estetika dari sungai Krueng Aceh serta nilai jual dari kawasan wisata sungai ini.
Kualitas air DAS Kreung Aceh, dipantau secara reguler setiap triwulan. Pemantauan ini
dilakukan pada 6 lokasi dengan mempertimbangkan lokasi kepadatan dengan aktifitas
masyarakat, terletak di persimpangan aliran buangan limbah domestik rumah tangga,
dan dapat terwakili aliran sungai baik hulu, tengah maupun hilir sungai. Lokasi yang
terpilih tersebut dibagi ke dalam beberapa segmen (Gambar II.7) antara lain:
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 25
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Phosfat (PO4), Nitrat (NO3-N), Nitrit
(NO2-N), Amonia (NH3-N), Kesadahan (CaCO3), Klorida (Cl2), Florida (F), Sulfat (SO4),
Chlorida Bebas (Cl2), Belerang (H2S), Timbal (Pb), Besi (Fe), Tembaga (Cu), Cadmium (Cd),
Seng (Zn), Kromium (Cr), Detergent MBAS, Minyak dan Lemak, Total Coliform, dan Fecal
Coliform (E-coli). Pemantauan dilakukan sejak Agustus - Oktober 2014 dan hasilnya
ditunjukkan pada Gambar II.8 hingga II.18. Berdasarkan hasil perhitungan status mutu air
Sungai Kr. Aceh dengan metode STORET yang membandingkan data kualitas air yang diambil 01
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 26 secara series dan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya (Peraturan
Pemerintah RI No.82 Tahun 2001), maka diperoleh nilai untuk masing-masing lokasi
(Segmen) adalah sebagai berikut:
1. Segmen Jembatan Lambaro nilai -17 (Cemar Sedang);
2. Segmen Jembatan Pango nilai -17 (Cemar Sedang);
3. Segmen Jembatan Surabaya nilai -43 (Cemar Berat);
4. Segmen Jembatan Pante Pirak nilai -30 (Cemar Sedang);
5. Segmen Jembatan Peunayong nilai -42 (Cemar Berat); dan
6. Segmen Gampong Jawa nilai -36 (Cemar Berat).
Profil Temperatur dan pH Air Sungai Kr. Aceh, Temperatur dan pH mempengaruhi penerimaan masyarakat akan air dan dapat mempengaruhi reaksi kimia dalam
pengelolaannya. Banyak tumbuhan dan hewan air yang sensitif terhadap pH yang bervariasi.
Gambar II.8 memperlihatkan profil temperatur air Sungai Kr. Aceh. Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa temperatur air Kr. Aceh tidak jauh berbeda dan nilainya (25,6 – 31,5 oC)
dan masih dalam katagori normal untuk air permukaan. Profil pH air Sungai Kr. Aceh
diperlihatkan pada Gambar II.8 yang menunjukkan bahwa pH dalam katagori netral dengan
kisaran 7,23 – 8,01. Secara umum, pH masih berada dalam keadaan normal sehingga tidak
memberikan dampak yang berarti terhadap kehidupan tumbuhan dan biota air di sungai Kr.
Aceh.
Profil TDS dan TSS air Sungai Kr. Aceh,Pengukuran padatan tersuspensi (TSS) dilakukan untuk mengetahui besarnya material sediment ringan yang tersuspensi akibat pencucian
tanah. Sedangkan muatan terendapkan adalah material sedimen yang lebih berat yang
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 27 sebagai total sedimen. Sementara padatan terlarut (TDS) merupakan ukuran dari jumlah
material yang larut dalam air yang mewakili jumlah ion di dalam air. Air dengan TDS tinggi
seringkali memiliki rasa yang buruk dan /atau kesadahan air tinggi, dan dapat mengakibatkan
efek pencahayaan. Perubahan dalam konsentrasi TDS dapat berbahaya karena densitas air
menentukan aliran air masuk dan keluar dari sel-sel organisme. Namun, jika konsentrasi TDS
terlalu tinggi atau terlalu rendah, pertumbuhan kehidupan banyak air dapat dibatasi, dan
kematian dapat terjadi. TDS dan TSS dalam konsentrasi tinggi juga dapat mengurangi
kejernihan air,memberikan kontribusi pada penurunan fotosintesis, gabungkan dengan
senyawa beracun dan logam berat, dan menyebabkan peningkatan suhu air.
Profil BOD dan COD dalam Air Sungai Kr. Aceh, BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi
bahan-bahan buangan dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin
kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang
membutuhkan oksigen tinggi (Fardiaz, 1992). Sementara COD adalah jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hasil analisa
air (Gambar II.10) menunjukkan bahwa di semua lokasi Sungai Kr. Aceh, nilai BOD pada air
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 28
Profil DO dan Total Phosphat dalam Air Sungai Kr. Aceh,Oksigen terlarut adalah suatu hal yang sangat diperlukan oleh makhluk hidup dalam air tergantung dari kemampuan air
untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, dimana
jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanamannya dan dari atsmosfer (udara) yang
masuk ke dalam air dengan kecepatan terbatas. Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan
jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Semakin tinggi suhu air,
semakin rendah tingkat kejenuhan. Hasil pengukuran (Gambar II.11), diperoleh bahwa DO
air sungai Kr. Aceh tinggi dan berada dalam kondisi normal perairan.
Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting
yang dibutuhkan mahluk hidup. Namun demikuan, keberadaan fosfat yang berlebihan pada
badan air menyebabkan suatu fenomena yang disebut eutrofikasi (pengkayaan nutrien).
Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah dimana danau mengalami penuaan Gambar II.10 Profil BOD dan COD Air Sungai Kr. Aceh (Agustus - Oktober 2014)
Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 29 secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa.
Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi eutrofik. Proses alamiah ini, oleh
manusia dengan segala aktivitas modernnya, secara tidak disadari dipercepat menjadi dalam
hitungan beberapa dekade atau bahkan beberapa tahun saja. Air dikatakan eutrofik jika
konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L.
Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran mikro untuk tumbuh
berkembang biak dengan pesat. Hal ini bisa dikenali dengan warna air yang
menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya yang menjadi semakin meningkat.
Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau juga disebabkan
fosfat yang sangat berlebihan ini. Tanaman dapat menghabiskan oksigen dalam sungai pada
malam hari ini, bila tanaman tersebut mati dan dalam keadaan sedang mencerna (digest )
pada siang hari pancaran sinar matahari kedalam air akan berkurang, sehingga proses
fotosintesis yang dapat menghasilkan oksigen juga berkurang. Makhluk hidup air seperti ikan
dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan
dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya
keseimbangan ekosistem air. Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae)
diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan.
Alga bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan
pariwisata. Total Phospat pada air Kr. Aceh di semua segmen pengukuran ditemukan rendah
yang berkisar antara 0,31 – 4,10 mg/L dengan nilai rata-rata 1,46 mg/L. Konsentrasi ini pada
bulan Agustus dan September masih berada di bawah baku mutu, namun pada bulan
Oktober, nilai phosphat berada di atas baku mutu pada semua segmen. Kondisi ini rentang
terjadinya eutrofik.
Profil Nitrat (NO3-N) dan nitrit (NO2-N) dalam Air Sungai Kr. Aceh, Nitrat dan Nitrit merupakan bagian dari siklus nitrogen berupa ion-ion anorganik alami. Aktifitas mikroba
dalam air dapat menguraikan sampah yang mengandung nitrogen organik menjadi ammonia,
kemudian dioksidasikan menjadi nitrit dan nitrat. Oleh karena nitrit dapat dengan mudah
dioksidasikan menjadi nitrat dan senyawa ini adalah senyawa yang paling sering ditemukan di
dalam air bawah tanah maupun air yang terdapat di permukaan.
Pencemaran oleh pupuk nitrogen, termasuk ammonia anhidrat seperti juga sampah organik
hewan dan manusia, dapat meningkatkan kadar nitrat di dalam air. Hasil pengukuran
(Gambar II.12), diperoleh bahwa nitrat air sungai Kr. Aceh kecil dan nilainya di bawah baku
mutu lingkungan, sementara nitrit nilainya tinggi dengan kecendrungan meningkat dan
nilainya berada di atas baku mutu lingkungan. Berdasarkan hasil ini diperoleh gambaran
bahwa air sungai Kr. Aceh telah tercemar dengan ditemukan tingginya nilai nitrit. Konsentrasi
Nitrat pada air Kr. Aceh di semua segmen pengukuran ditemukan rendah yang berkisar