RESIN POLIESTER TAK JENUH UNTUK IMOBILISASI
RESIN BEKAS PENGOLAH SIMULASI LIMBAH
RADIOAKTIF CAIR
Skripsi
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
AJENG SARTIKA KUSNADI 103096029792
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRAK
AJENG SARTIKA KUSNADI, Resin Poliester Tak Jenuh Untuk Imobilisasi Resin Bekas Pengolahan Simulasi Limbah Radioaktif Cair. Di bawah bimbingan Ir. Herlan Martono M.Si dan Dr. Thamzil Las.
Telah dilakukan penelitian tentang imobilisasi resin bekas pengolah limbah trans-uranium dengan resin poliester tak jenuh untuk mengetahui kualitas blok polimer-limbah sebagai fungsi kandungan limbah. Polimerisasi dilakukan dengan mencampurkan resin poliester tak jenuh dengan katalis dengan perbandingan katalis 1% dari jumlah resin poliester tak jenuh yang digunakan, kemudian ditambahkan limbah cair transuranium simulasi. blok polimer-limbah yang terjadi diukur densitas, kuat tekan dengan alat paul weber, dan laju pelindihan dengan alat sokhlet pada 100 0C dan 1 atm selama 6 jam. Blok polimer dibuat dengan kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % berat. Blok polimer-limbah sebagai fungsi kandungan limbah ditentukan densitas, kuat tekan, dan laju pelindihan. Semakin besar kandungan limbah maka kuat tekan blok polimer-limbah semakin kecil, sedangkan laju pelindihannya semakin besar. Berdasarkan kuat tekan dan laju pelindihan, maka hasil terbaik diperoleh untuk blok-polimer dengan kandungan limbah 20 % dan 30 %.
ABSTRACT
AJENG SARTIKA KUSNADI, Resin unsaturated polyester for immobilization of tray Resin was Treated simulation radioactive waste. Survised by Ir. Herlan Martono, M.Sc and Dr. Thamzil Las.
The research immobilization of tray resin was treated with resin unsaturated polyester has been conducted to etermine the quality of waste. Polymer blocks as function of waste loading. Immobilization was done by mix resin unsaturated polyester and catalys of ratio 1 % from quantity resin unsaturated polyester which is in order to, then added liquid simulation waste. These immobilization products were measured it is density, compressive strength, and leaching rate by soxhlet apparatus at 100 0C and 1 atm for 6 hours. Waste loading was used is 10,20,30,40, and 50 weight %. The higher of waste loading in the polymer as immobilization product cause the higher of density, the lower of compressive strength and the higher of leaching rate. Based on density, compressive strength and leaching rate test, the best immobilization was obtained to waste-polymer blocks with 20 % and 30 % of waste loading.
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR...viii
DAFTAR ISI...x
DAFTAR GAMBAR ...xiii
DAFTAR TABEL...xiv
DAFTAR LAMPIRAN...xv
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1. Latar Belakang Penelitian...1
1.2. Rumusan Masalah...2
1.3. Batasan Masalah... 3
1.4. Tujuan Penelitian... 3
1.5. Manfaat Penelitian... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...4
2.1. Limbah Radioaktif...4
2.1.1. Sumber Limbah Radioaktif ...4
2.1.2 Klasifikasi Limbah Radioaktif ………...5
2.1.3 Pengelolaan Limbah Aktivitas rendah ...………...6
2.1.4 Penanganan Limbah aktivitas tinggi ...………...6
2.2. Limbah Cair Transuranium ………....………8
2.3. Teknologi Pengolahan Limbah...12
2.4. Resin Penukar Ion...12
2.5. Pemilihan Bahan Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif...13
2.6. Bahan Matriks Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif Cair...15
2.8. Cerium ...18
2.9. Polimer...18
2.10. Poliester Tak Jenuh...20
2.10.1. Reaksi Polimerisasi...22
2.11. Imobilisasi...24
2.12. Imobilisasi dengan Polimer...25
2.13. Parameter pengujian ...26
2.13.1. Pegujian Densitas...26
2.13. 2. Pengujian Kuat Tekan ...27
2.13. 3. Pengujian Laju Lindih...27
2.14. Analisis laju pelindihan dengan alat Atomic Absorption Spectrometry (AAS)………...……..28
2.14.1. Prinsip Dasar Analisis AAS...28
2.14.2. Proses Absorbsi...30
2.14.3. Komponen-komponen AAS...31
BAB III METODELOGI PENELITIAN ...34
3.1.Tempat dan waktu pelaksanaan ...34
3.2. Bahan dan Alat...34
3.2.1 Bahan...34
3.2.2. Alat...34
3.3. Metode Kerja...35
3.4. Metode Karakterisasi dan Analisis...36
3.4.2. Pengujian Kuat Tekan...36
3.4.3. Pengujian Laju Lindih...37
3.4.4. Pengujian Pengaruh pH terhadap laju pelindihan...38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...39
4.1. Hasil Imobilisasi limbah dengan polimer...39
4.2. Pengaruh kandungan limbah terhadap densitas polimer...40
4.3. Pengaruh kandungan limbah terhadap kuat tekan polimer limbah...42
4.4. Analisis Kandungan Limbah terhadap laju pelindihan limbah simulasi dalam polimer dengan menggunakan AAS...44
4.5. Pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan kandungan limbah 20 %...46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...49
5.1. Kesimpulan...49
5.2. Saran...49
DAFTAR PUSTAKA...50
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skema proses pengolahan LCAT dari IPR...9 Gambar 2. Skema proses pengolahan LCAT dari IRM...10 Gambar 3. Grafik aktivitas limbah cair sebagai fungsi waktu (Martono, 2007)..11 Gambar 4. Diagram blok dari AAS...30 Gambar 5. Sumber radiasi (lampu katode)...31 Gambar 6. Nebulizer,burner & spray chamber (Christian,Gary D & James,E
Oreilly,1986)...32 Gambar 7. Alat paul Weber untuk uji kuat tekan...37 Gambar 8. Alat soxhlet untuk uji pelindihan...37 Gambar 9. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi(Cs)terhadap densitas.40 Gambar 10. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) terhadap
densitas ...40 Gambar 11. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs) terhadap Kuat
Tekan...42 Gambar 12. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) terhadap Kuat
Tekan...43 Gambar 13. Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs) dengan
menggunakan AAS...44 Gambar 14. Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs+Ce)
dengan menggunakan AAS( atomic absorption spectrometry )...45 Gambar 15. Grafik pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer
limbah dengan kandungan limbah simulasi Cs 20% ...46 Gambar 16. Grafik pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dan Ce dalam
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi LCAT dari PWR, fraksi bakar 45000 MWD/MTU, pengayaan uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4
tahun...7
Tebel 2. Data limbah cair dari pengujian bahan bakar pasca iradiasi (P2TBDU,2001)...11
Tebel 3. Alkohol dihidrat dipakai untuk resin poliester...20
Tabel 4. Asam dibasa dipergunakan untuk resin poliester...21
Tabel 5. Monomer vinil dipergunkan untuk resin poliester...21
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran 1. Pengelolaan Limbah Aktivitas Tinggi dan Transuranium (TRU)...53
Lampiran 2. Bagan Kerja...54
Lampiran 3. Tabel komposisi berat limbah Cs atau Cs+Ce dan resin...55
Lampiran 4. Tabel densitas limbah simulasi...55
Lampiran 5. Tabel kuat tekan limbah simulasi...56
Lampiran 6. Tabel laju pelindihan limbah simulasi Cs...56
Lampiran 7. Tabel laju pelindihan limbah simulasi (Cs+Ce).………...57
Lampiran 8. Data laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi Cs dengan alat AAS ( Atomic Absorption Spectrometry )...57
Lampiran 9. Data laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi ( Cs+Ce ) dengan alat AAS ( Atomic Absorption Spectrometry )...58
Lampiran 10. Data pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) Terhadap pH....58
Lampiran 11. Data pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) Terhadap pH58 Lampiran 12. Kurva Kalibrasi Cs...58
Lampiran 13. Kondisi operasional AAS...59
Lampiran 14. Gambar proses pelindihan...59
1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terus dikembangkan dan dimanfaatkan
dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia, memperpanjang harapan hidup dan
menstimulasi peningkatan kualitas hidup. Dalam pemanfaatan iptek untuk berbagai
tujuan selalu ditimbulkan hasil samping proses atau limbah. Demikian juga dalam
pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir selalu akan ditimbulkan
limbah radioaktif sebagai hasil samping proses. Limbah radioaktif yang ditimbulkan
harus dikelola dengan baik dan tepat agar tidak mencemari lingkungan, serta tidak
memberikan dampak yang mengganggu kesehatan masyarakat.
Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor
riset, pemanfaatan sumber radiasi, dan bahan radioaktif dalam bidang industri,
pertanian, kedokteran dan penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang
menggunakan bahan yang mengandung radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive Material, NORM). Di negara-negara maju, limbah radioaktif juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), kegiatan
daur-ulang bahan bakar nuklir bekas (BBNB) dan dekomisioning instalasi/fasilitas
nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya
bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup.
Reaktor nuklir merupakan sumber yang utama karena jumlah dan aktivitas
limbah yang ditimbulkan beragam. Limbah radioaktif dari reaktor nuklir berasal dari
air pendingin primer reaktor nuklir, bahan bakar nuklir bekas, dan reaktornya sendiri
2 aktivitas rendah yang umumnya mengandung Cs137. Untuk negara yang tidak
melakukan proses olah ulang ( daur bahan bakar nuklir terbuka ), bahan bakar nuklir
yang dikeluarkan dari reaktor disimpan dalam kolam ( penyimpanan basah ) atau
penyimpanan secara kering ( dengan udara pendingin ) selama 40-60 tahun.
Selanjutnya bahan bakar nuklir bekas disimpan lestari ( ultimate dispol ) pada formasi
geologi dengan kedalaman 500 – 1000 m ( martono, 1997 ).
Untuk negara maju yang menganut daur bahan bakar nuklir tertutup, proses
olah ulang bahan bakar nuklir bkas dilakukan untuk mengambil U sisa dan Pu yang
terjadi. Setelah bahan bakar nuklir bekas dikeluarkan dari reaktor, maka disimpan
dalam kolam reaktor selama 6 bulan. Selanjutnya kelongsong bahan bakar nuklir
bekas dipotong untuk mengeluarkan bahan bakar nuklirnya. Bahan bakar dilarutkan
dalam HNO3 6 – 8 M selanjutnya diekstraksi menggunakan pelarut TBP-dodekan (
Try Butyl Phospate-odekan ). Paa ekstraksi siklus I, proses olah ulang ditimbulkan
limbah cair aktivitas tinggi, dan pada siklus II di timbulkan limbah cair transuranium.
Limbah padat yang timbul dari dismantling reaktor jenis aktivitasnya beragam,
dari aktivitas rendah ke tinggi.
I.2. Perumusan Masalah
Limbah cair transuranium dari IRM diklasifikasikan sebagai LCTRU karena
adanya unsur-unsur aktinida yang tidak terdeteksi. Limbah cair transuranium tidak
dapat diolah di Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif (IPLR), Karena IPLR hanya
3
I.3. Batasan Masalah
Limbah cair transuranium kandungan airnya tinggi sehingga sukar atau tidak
dapat diimobilisasi dengan polimer. Oleh karena itu, radionuklida dalam LCTRU
diikat resin, dan selanjutnya resin bekas diimobilisasi dengan polimer. Pada uji lindih
digunakan alat soxhlet dan air bebas mineral pada 1000C, 1 atm untuk mempercepat
proses. Oleh karena keterbatasan alat analisis maka radionuklida terlindih yang
dianalisis hanya Cs. Untuk Ce terlindih tidak dianalisis. Pengujian ini digunakan
untuk menentukan kualitas bahan polimer limbah hasil imobilisasi.
I.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, yaitu:
1. Guna melengkapi jumlah SKS yang telah diterapkan oleh Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Mempelajari proses pengolahan limbah cair transuranium.
3. Menentukan kualitas blok polimer limbah atau pengaruh kandungan limbah terhadap densitas, kuat tekan, laju lindih polimer limbah.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat diterapkan dalam pengolahan rutin
limbah cair transuranium dari bahan bakar pasca iradiasi di Instalasi Radio
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Radioaktif
limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan yang
telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi
nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion yang tidak dapat digunakan
lagi. Hal ini sesuai dengan peraturan pemerinth No. 27 tahun 2002 tentang
pengolahan limbah radioaktif. Dalam U.U. No. 10/1997 pasal 23 ayat (2) disebutkan
bahwa “pengolahan limbah radioaktif dilaksanakn oleh badan pelaksanaan. Dalam
pasal 3 ayat (1), pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada presiden. Badan pelaksanaan dalam hal ini
adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Sesuai keputusan Kepala BATAN
No.166/KA/IV/2001 tentang Organisasi dan Tata kerja BATAN, pengelolaan limbah
radioaktif dilaksanakan oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR). Dalam
pasal 23 ayat (2), BATAN dalam melaksanakan pengolahan limbah radioaktif dapat
bekerja sama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi
dan atau badan usaha lainnya. Berdasarkan pasal ini, pemerintah membuka pintu
lebar-lebar pengelolaan limbah radioaktif yang amanuntuk generasi saat ini maupun
generasi yang akan datang.
2.1.1. Sumber Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif yang berasal dari berbagai kegiatan pada pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi nuklir sangat beragam menurut volume, bentuk fisik,
5 berasal dari dua sumber utama, yaitu (Marshall, 1981; Day, 1985 dan Lewis, 1978
dalam Las, 1989):
1. Reaktor daya nuklir, dan berbagai kegiatan yang menunjang untuk
beroperasinya reaktor tersebut, yaitu produksi bahan bakar nuklir, penggunaan
dalam reaktor nuklir, dan pengeluaran serta pengelolaan bahan bakar nuklir
bekas.
2. Pada pemanfaatan bahan radioaktif lainnya, seperti pemanfaatan radioisotop
pada bidang kesehatan, industri, penelitian/riset, dan bidang pertanian.
Reaktor nuklir merupakan sumber yang utama karena jumlah dan aktivitas
limbah yang ditimbulkan beragam. Limbah radioaktif dari reaktor nuklir berasal dari
air pendingin primer reaktor nuklir, bahan bakar nuklir bekas, dan reaktornya sendiri
setelah didismantling. Limbah air pendingin primer reaktor merupakan limbah aktivitas rendah yang umumnya mengandung Cs137. Limbah padat yang timbul dari
dismantling reaktor jenis aktivitasnya beragam, dari aktivitas rendah ke tinggi.Limbah radioaktif dari pemanfaatan radionuklida dalam industri dan kesehatan, aktivitasnya
rendah dan umumnya adalah radionuklida yang berumur paro pendek.
2.1.2. Klasifikasi Limbah Radioaktif
Berdasarkan atas karakteristiknya dan untuk pengelolaan dalam jangka
panjang, maka limbah radioaktif dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Miyasaki et al,
1996 dalam Martono, 2007):
- Limbah radioaktif dengan aktivitas tingkat rendah dan menengah yang mengandung radioisotop pemancar beta dan gamma berumur pendek (umur
paro kurang dari 30 tahun) dan konsentrasi radionuklida pemancar alfanya
sangat rendah atau tidak mengandung radionuklida pemancar alfa sama sekali.
6
- Limbah radioaktif dengan aktivitas tingkat rendah dan menengah yang banyak mengandung radioisotop berumur paro panjang yaitu golongan aktinida
sebagai pemancar alfa dan terkontaminasi sedikit radionuklida hasil belah,
disebut limbah transuranium.
- Limbah radioaktif dengan aktivitas tinggi yang banyak mengandung radiosotop hasil belah dan sedikit aktinida.
2.1.3. Pengelolaan Limbah Aktivitas Rendah
Pengelolaan limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 < LAR < 10-3 Ci/m3) di PTLR
dilakukan dengan evaporator. Hasil evaporasi adalah beningan dan konsentrat.
Bening setelah dimonitor, maka jika aktivitasnya sudah dibawah yang
diperkenankan (< 10-7 Ci/m3) maka didispersi atau dibuang ke lingkungan.
Aktivitas air umumnya 10-7 Ci/m3. Aktivitas konsentrat yang diperoleh 10-2
Ci/m3. Konsentrat tersebut diimobilisasi dengan semen dalam shell beton 950
liter. Aktivitas maksimum dalam 1 shell beton adalah 1 Ci/m3. Tahap
selanjutnya, hasil imobilisasi disimpat di tempat penyimpanan sementara (intrm
storage). Hasil imobilisasi limbah aktivitas rendah disimpan lestari
(penyimpanan akhir) pada penyimpanan tanah dangkal ( 10 m dibawah
permukaan tanah ).
2.1.4.Penanganan Limbah Aktivitas Tinggi
Limbah aktivitas tinggi yang ditimbulkan dari siklus I proses olah ulah sebagian
besar merupakan hasil belah dan sedikit aktinida. Komposisi limbah aktivitas
tinggi dari PWR (Pressurized Water Reactor) dengan fraksi bakar 45000
7 pendinginan selama 4 tahun dapat dilihat pada tabel 1 (Martono, 1988).
Tabel 1. Komposisi LCAT dari PWR, fraksi bakar 45000 MWD/MTU, pengayaan uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4 tahun (Martono, 1988).
8 Llimbah aktivitas tinggi untuk 1 Canister volume 118 liter (93 % volume atau
110 liter berisi gelas limbah) adalah 4.105 Ci. Berat gelas-limbah 300 kg dengan
komposisi gelas 225 kg dan limbah 75 kg. Panas yang ditimbulkan karena radiasi
adalah 1,4 kW. Panas tersebut dapat melebihi 500 °C, sehingga polimer tidak mampu
untuk imobilisasi limbah jenis ini. Demikian pula semen yang kapasitasnya 1 Ci/m3
tidak dapat digunakan untuk imobilisasi limbah aktivitas tinggi. Limbah aktivitas
tinggi dari proses olah ulang bahan bakar nuklir bekas diimobilisasi dengan gelas
borosilikat yang dikenal proses vitrifikasi.
2.2. Limbah Cair Transuranium
Limbah transuranium disebut juga alpha bearing waste yaitu limbah yang mengandung satu atau lebih radionuklida pemancar alfa, dalam jumlah di atas yang
diperkenankan. Radionuklida ini termasuk golongan aktinida.
Limbah aktivitas tinggi dan transuranium di indonesia ditimbulkan dari hasil
samping produksi radioisotop dan penguji bahan bakar pasca iradiasi di instalasi
radiometalurgi. produksi radioisotop digunakan bahan uranium di perkaya 93% yang
iradiasi dengan netron dalam reaktor. Secara teoritis, hasil iradiasi adalah hasil belah,
sisa uranium yang tidak terbakar, dan sedikit sekali atau tanpa unsur TRU.
Setelah bahan bakar pasca iradiasi dipisahkan dari kelongsongnya, kemudian
dilarutkan dalam HNO3 6 – 8 M. Limbah cair aktivitas tinggi dari produksi radio
isotop disimpan dalam tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas tinggi
(PSLAT) di PTLR. Setelah 5 tahun limbah tersebut menjadi limbah aktivitas rendah
yang dapat diimobilisasi dengan semen di Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif
(IPLR). Skema pengelolaan limbah cair aktivitas tinggi dari Instalasi Produksi
9 Gambar 1. Skema proses pengolahan LCAT dari IPR.
Dari gambar 1, setelah pendinginan maka limbah yang aktivitasnya tinggi
menurut definisi termasuk limbah aktivitas rendah (Miyasaki et al 1996 dalam
Martono 1977). Limbah aktivitas rendah diimobilisasi dengan semen.
Pengolahan LCAT yang ditimbulkan dari IRM dapat dilihat dari gambar 2.
Limbah tersebut yaitu LCAT I, karena dari iradiasi bahan bakar yang diperkaya 20 %
maka kandungan hasil belah dan aktinidanya banyak. Agar sesuai dengan definisi
LCAT dari proses olah ulang bahan bakar bekas, maka dilakukan pengolahan awal
yaitu ekstraksi dengan pelarut TBP-dodekan. Hasil ekstraksi adalah LCAT II dan LCAT I
Sisa U235, U238 hasil belah
Ekstraksi
Diethyl hexyl phosphoric acid
Penyimpanan sementara LCAT II di PSLAT, peluruhan hasil belah.
Limbah cair aktivitas rendah
Sementasi
Penyimpanan sementara hasil sementasi
10 LCTRU sesuai definisi LCAT dan LCTRU dari proses olah ulang bahan bakar bekas.
Selanjutnya LCAT II diolah dengan proses vitrifikasi dan LCTRU dengan polimer.
Gambar 2. Skema proses pengolahan LCAT dari IRM
Limbah cair hasil pengujian bahan bakar pasca iradiasi di Instalasi
Radiometalurgi (IRM), ditunjukkan pada Tabel 2 (P2TBDU,2001).
Dari Tabel 2, kandungan yang dominan dalam limbah cair adalah Cs137 dan
aktinidanya sedikit. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang disajikan dalam Gambar 2.
Untuk itu dilakukan pengujian pengukuran aktivitas limbah cair sebagai fungsi waktu,
yang ditunjukkan dalam Gambar 3 (Martono, 2007). LCAT II
Gelas - limbah Polimer mengandung limbah TRU
Karakterisasi
LCAT I Hasil belah + TRU
11 Tabel 2. Data limbah cair dari pengujian bahan bakar pasca iradiasi (P2TBDU,
2001).
No. Radionuklida Aktivitas jenis (Bq/ml)
1. Cd109 1,800
2. Ce144 1,200
3. Ru106 0,300
4. Cs134 2,600
5. Cs137 116,000
6. Co60 --
7. Co57 --
8. Np237 --
9. Ba131 0,066
10. Ra226 0,042
11. Eu154 --
12. Br82 --
Aktivitas Total 122,608
Dari Gambar 3, jika grafik tersebut dibandingkan dengan aktivitas Cs137
sebagai fungsi waktu secara teoritis, menunjukkan bahwa grafik aktivitas limbah cair
diatas grafik Cs137. Ini berarti bahwa limbah cair mengandung aktinida yang berumur
panjang yang tidak terdeteksi secara analisis. Oleh karena itu, untuk keamanannya,
limbah cair ini dianggap limbah cair TRU yang diimobilisasi dengan polimer.
12
2.3. Teknologi Pengolahan Limbah
Pengolahan limbah radioaktif meliputi 2 tahap, yaitu 1. reduksi volume 2.
imobilisasi atau solidifikasi. Reduksi volume bertujuan untuk memudahkan
penanganan selanjutnya, sedangkan imobilisasi untuk mengikat radionuklida dengan
bahan matriks tertentu, sehingga jika kontak dengan air tidak mudah lepas ke
lingkungan pada saat penyimpanan lestari dalam tanah.
Reduksi volume untuk limbah cair dapat dilakukan dengan evaporasi, penukar
ion, koagulasi-flokulasi/ pengolahan secara kimia, sedangkan untuk limbah padat
dapat dilakukan dengan kompaksi dan insinerasi.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan semen, polimer, gelas, synroc, keramik tergantung jenis dan karakteristik limbahnya.
2. 4. Resin Penukar Ion
Resin penukar ion dapat didefinisikan sebagai senyawa hidrokarbon
terpolimerisasi, yang mengandung ikatan silang (crosslinking) serta gugusan-gugusan fungsional yang mempunyai ion-ion yang dapat dipertukarkan. Sebagai zat penukar
ion, resin mempunyai karakteristik yang berguna dalam analisis kimia, antara lain
untuk menghilangkan ion-ion pengganggu, proses deionisasi air, memisahkan ion-ion
logam dalam campuran, dan sebagainya. Resin penukar ion berprinsip pada gaya
elektrostatik dimana ion yang terdapat pada resin ditukar oleh ion logam dari limbah.
Produk yang pertama kali digunakan untuk pertukaran ion di dalam industri
adalah zeolit anorganik yang terdapat di alam, seperti aluminosilikat, yang
mempunyai kapasitas pertukaran ion per meter kubik sangat rendah. Selanjutnya
dilakukan perbaikan dengan menggunakan penukar ion organik yang mempunyai
13 adalah dengan menggunakan penukar ion organik yang terbuat dari bahan alam yang
tersulfonasi seperti batu bara, lignit, dan gambut. Namun resin penukar ion yang
paling tinggi kapasitasnya adalah polistirena divinilbenzena (SDVB) [Auatin, 1996]
Reaksi pertukaran ion terjadi karena difusi adanya beda konsentrasi ion di
dalam limbah dan dalam resin. Konsentrasi sesuatu unsur dalam limbah lebih besar
daripada dalam resin, sehingga terjadi perpindahan unsur dari limbah ke resin.
Bertitik tolak dari sifat radionuklida yang sangat membahayakan ini, maka resin bekas
dan limbah yang lain dilakukan pengungkungan (imobilisasi) dengan bahan matriks
tertentu, sehingga terjadi matriks limbah yang berbentuk padat. Oleh karena itu
dipandang perlu dilakukan pemisahan isotop-isotop Cs dan Ce dari limbah radioaktif
secara penukar ion, dan selanjutnya imobilisasi resin bekas dengan polimer.
Gaya dorong (driving force) terjadi reaksi pertukaran ion adalah karena difusi yaitu adanya perbedaan konsentrasi ion di dalam larutan dan di dalam resin. Jika
konsentrasi ion A di dalam larutan lebih tinggi dari pada konsentrasi ion A dalam
resin, maka akan terjadi difusi ion A dari larutan ke resin, dan dari resin akan
dilepaskan ion yang dipertukarkan ke larutan. Reaksi berlangsung terus sampai resin
penukar ion jenuh. Dalam praktek, zeolit dan resin dapat dipakai sebagai penukar ion.
Akan tetapi penggunaan resin lebih terkenal dibandingkan zeolit.
2.5. Pemilihan Bahan Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif.
Bahan matriks untuk imobilisasi limbah radioaktif cair dipilih yang dapat
membentuk campuran yang homogen dan tidak membentuk fase pemisah. Terjadinya
pemisahan fase ini akan menyebabkan ketidak homogenan hasil akhir imobilisasi
limbah. Ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan
matriks untuk imobilissi limbah, yaitu :
14
2. Kandungan limbah (waste loading)
3. Ketahanan kimia (laju pelindihan)
4. Kestabilan terhadap panas
5. Kestabilan terhadap radiasi.
6. Keutuhan fisik
Bahan matriks untuk imobilisasi merupakan penahan (barier) primer untuk membatasi terlepasnya radionuklida, sehingga harus homogen, permeabilitasinya
rendah, dan kekuatan mekaniknya baik. Setelah pertimbangan proses sederhana, maka
ketahanan kimia perlu lebih mendapat perhatian. Hal ini sesuai dengan tujuan
imobilisasi yaitu mencegah agar radionuklida tidak terlepas ke lingkungan jika
kontak dengan air selama penyimpanan [Martono H, 1996].
Kandungan limbah dalam bahan matriks berpengaruh terhadap ekonomi proses
(efisiensi imobilisasi). Pertimbangan lainnya, yaitu : bahan yang digunakan untuk
imobilisasi murah, mudah didapat, dan proses sederhana.
Ketahanan panas dalam hal gelas devitrifikasi (kristalisasi) merupakan
kestabilan atau ketahanan bahan terhadap temperatur tinggi. Makin tinggi aktivitas
limbah maka suhu yang ditimbulkan juga semakin tinggi, pada gelas dan polimer.
kestabilan terhadap panas adalah terjadinya kristalisasi dalam gelas dan polimer.
Terjadinya kristalisasi ini akan merubah struktur gelas dan polimer dari amorf
menjadi kristalisasi. Terjadinya kristalin ini akan menaikkan laju pelindihan
radionuklida dari gelas dan polimer ke lingkungan.
Kestabilan terhadap radiasi merupakan ketahanan bahan terhadap pengaruh radiasi
yang dipancarkan oleh limbah radioaktif dalam bahan matriks. Pengaruh radiasi alfa
dalam bahan dapat mengakibatkan radiolisis dan terjadi perubahan komposisi.
15 mekanik, dan laju pelindihannya. Hal ini akan membatasi aktivitas limbah yang
diimobilisasi dan pemilihan bahan matriks yang sesuai. Keutuhan fsik (physical integrity) yaitu keutuhan fisik secara menyeluruh seperti dimensi.
2. 6. Bahan Matriks Untuk Imobilisasi Limbah Radioaktif Cair
Beberapa jenis bahan untuk imobilisasi limbah cair, yaitu [Martono H. 1996] :
1.Semen
Semen digunakan untuk imobilisasi limbah radioaktif cair aktivitas rendah dan
menengah yang tidak mengandung aktinida atau radionuklida berumur paro
panjang. Hal ini disebabkan karena kandungan aktivitas dalam semen rendah yaitu
sekitar 1Ci/m3 dan semen mengalami degradasi dalam jangka panjang ± 300
tahun. Setelah itu semen mengalami degradasi, limbah radioaktif cair aktivitas
rendah dan menengah tidak lagi mempunyai potensi bahaya radiologis. Jadi
semen tidak dapat digunakan untuk limbah cair aktivitas tinggi dan limbah cair
TRU yang perlu pengelolaan yang lebih lama. Keuntungan penggunaan semen
murah, proses imobilisasinya sederhana dan semen dapat berfungsi sebagai perisai
radiasi.
2.Gelas aluminosilikat
Gelas aluminosilikat pernah dikembangkan di USA, tetapi tidak dikembangkan
lebih lanjut karena temperatur pembuatannya tinggi sekitar 1350 oC dan
kandungan limbahnya lebih kecil dari 10 %. Temperatur pembuatan yang tinggi
akan mengakibatkan bata tahan api lebih cepat korosif sehingga umur melter lebih pendek, yang akan lebih banyak menimbulkan limbah radioaktif padat. Demikian
16 penanganan gasnya lebih kompleks. Kandungan limbah yang rendah tidak
ekonomis dari segi prosesnya.
3.Gelas fosfat
Keuntungan gelas fosfat adalah relatif rendah temperatur pembentukanya
(kira-kira 900 oC), sehingga kehilangan gas volatil Cs dan Ru lebih sedikit. Di dalam
gelas fosfat semua oksida dapat larut termasuk MoO3. Pengembangan gelas fosfat
tidak dilanjutkan karena gelas fosfat korosif dan mempunyai kecenderungan
mengalami devitrivikasi pada temperatur yang lebih rendah, yaitu sekitar 400 oC
4.Gelas borosilikat
Gelas borosilikat mempunyai stabilitas panas yang lebih tinggi dibandingkan
gelas fosfat. Temperatur antara 500 – 900 oC. Demikian pula ketahanan kimianya
lebih baik dari pada gelas fosfat. Unsur Mo dan Pu dengan jumlah tertentu dalam
gelas borosilikat dapat menimbulkan adanya fase pemisah.
5.Gelas keramik
Gelas keramik dapat dihasilkan dari lelehan gelas dengan pemanasan yang lama
diatas temperatur transformasi (Tg), yaitu sekitar 510 oC. Oleh karena adanya
pemanasan yang lama maka prosesnya lebih mahal. Gelas keramik menunjukkan
ketahanan fisik dan mekanik yang lebih baik dan ketahanan kimianya kurang baik
dibandingkan gelas borosilikat.
6.Synroc (synthetic rock)
Synroc adalah mineral titanate dan ini masih dalam tahap pengembangan di
Australia, Inggris, dan Jepang dalam rangka kerja sama dengan Australia. Synroc
juga dilakukan di Australia. Synroc termasuk jenis keramik dan pembuatannya
lebih sukar dibanding gelas, karena pengepresan dilakukan pada temperatur
17 pada temperatur tinggi. Sifat kimia dan fisika jenis keramik ini lebih baik
dibanding gelas borosilikat, sehingga mempunyai prospek yang baik di masa
mendatang.
7. Vitromet
Vitromet adalah butir gelas dalam matriks Pb yang dikembangkan di Belgia untuk
mengatasi kandungan panas yang tinggi, karena hantaran panas Pb tinggi.
Kandungan limbah dalam vitromet kecil.
8.Bitumen
Bitumen merupakan senyawa hidrokarbon baik alifatik maupun aromatik yang
mempunyai berat molekul tinggi. Proses bituminasi dilakukan pada temperatur
antara 150 – 230 oC. Bitumen mempunyai ketahanan kimia yang tinggi, ketahanan
fisik (terhadap panas) dan ketahanan terhadap radiasi kurang baik. Hal yang perlu
diperhatikan terhadap bitumen adalah temperatur bakar dan efek radiasi yang
mengakibatkan radiolisis, terbentuknya gas, terjadinya radikal bebas.
9. Polimer
Polimer tahan dalam jangka lama, namun tidak tahan terhadap radiasi dan
temperatur tinggi karena terjadi degradasi. Proses polimerisasi dilakukan antara
temperatur kamar sampai temperatur tinggi tergantung jenisnya. Ketahanan kimia
polimer baik dan ketahanan fisiknya atau ketahanan panasnya kurang baik.
Polimer leleh pada suhu tinggi tergantung jenisnya. Temperatur leleh maksimum
18
2.7. Cesium
Unsur cesium dapat dilambangkan dengan Cs, yang memiliki nomor atom 55
dan nomor massa 132,9. Cs merupakan unsur pada golongan 1A yaitu golongan
logam alkali. Warna dari Cs adalah kuning keemasan, unsur ini paling reaktif jika
dibandingkan dengan unsur litium (Li) pada golongan logam alkli ini.
Perbedaan mendasar antar unsur-unsur golongan 1A terdapat pada ukuran
kation yang ditunjukan oleh reaksi dengan O2. dalam udara atau O2 pada 1 atm,
logam-logamnya terbakar. Litium hanya memberikan LiO2 dengan sedikit runutan
Li2O2. Na biasanya memberikn peroksida, Na2O2, tetapi akan berlanjut dengan
adanya O2 di bawah tekanan serta panas, menghasilkan superoksida, NaO2.
kalium, Rb, dan Cs membentuk suproksida MO2. 137Cs memilki waktu paruh
30,23 tahun. Memiliki titk cair 28,5 0C.
2.8. Cerium
Lambang dari unsur cerium adalah Ce, dimana memiliki nomor atom 58 dan
nomor massa 140,1. termasuk dalam golongan lantanida. Warnanya putih
keabu-abuan, padat pada 298 K. Cerium oksida (CeO2), memiliki massa molar 172.115
g/mol. Cerium ini satu-satunya lantanida +4 yang ada dalam larutan akua
demikian juga dalam padatan. Cerium (IV) digunakan sbagai pengoksidasi dalam
analiis dan dalam kimia organik. Bentuk padat, memiliki densitas 6,770 g/cm3.
2.9. Polimer
Polimer (poly = banyak, mer = bagian) adalah molekul raksasa yang biasanya memiliki bobot molekul tinggi, dibangun dari pengulangan unit-unit. Molekul
19 pembentukan polimer dikenal dengan istilah polimerisasi . Makromolekul merupakan
istilah sinonim polimer. Istilah makromolekul pertama kali dikenalkan oleh Herman
Staudinger, seorang kimiawan dari Jeman. [Steven, 2001]
Polimer digolongkan menjadi dua macam, yaitu polimer alam (seperti pati,
selulosa, dan sutra) dan polimer sintetik seperti polimer vinil. Plastik yang dikenal
sehari-hari merupakan polimer sintetik. Sifat plastik yang mudah dibentuk (bahasa
latin; plasticus = mudah dibentuk) dikaitkan dengan polimer sintetik yang dapat dilelehkan dan diubah menjadi bermacam-macam bentuk. Padahal sebenarnya plastik
mempunyai arti yang lebih sempit. Plastik termasuk bagian polimer termoplastik, yaitu polimer yang akan melunak apabila dipanaskan dan dapat dibentuk sesuai pola
yang diinginkan. Setelah dingin polimer ini akan mempertahankan bentuknya yang
baru. Proses ini dapat diulang dan dapat diubah menjadi bentuk yang lain. Golongan
polimer sintetik lain adalah polimer termoset (materi yang dapat dilebur pada tahap tertentu dalam pembuatannya tetapi menjadi keras selamanya, tidak melunak dan
tidak dapat dicetak ulang).
Proses pertumbuhan rantai selama polimerisasi bersifat acak, oleh karena itu
rantai-rantai polimer yang berbeda dalam suatu contoh polimer akan mempunyai
panjang yang berbeda-beda pula, tentu saja karena massa molekul nisbi (Mr)nya pun
berbeda-beda. Massa molekul nisbi (Mr) hanya merupakan salah satu faktor yang
menentukan sifat polimer. Faktor penting lainnya ialah susunan rantai dalam polimer.
Penelitian sinar x terhadap polimer menunjukan bahwa dalam bahan polimer terdapat
daerah yang didalamnya terdapat rantai polimer yang tersusun secara teratur.
20
2.10. Poliester Tak Jenuh
Poliester tak jenuh merupakan jenis oligomer yang lain. Poliester tak jenuh
merupakan hasil reaksi campuran asam organik (misalnya asam fumarat, asam maleat,
dan anhidrida ftalat) dengan glikol (misalnya propilen glikol dan dietilen glikol).
Campuran poliester tak jenuh dengan monomer stiren merupakan bahan pelapis
radiasi yang sudah lama dikenal. Walaupun campuran ini mempunyai kecepatan
pengeringan yang rendah, tetapi banyak dipakai untuk pelapisan permukaan kayu
karena harganya relatif murah [R Holman and F Oldring, 1988].
Suatu asam dibasa (tabel 4) bereaksi secara kondensasi dengan alkohol
dihidrat (tabel 3) digunakan untuk mendapatkan poliester. Karena asam tak jenuh
digunakan dengan berbagai cara sebagai bagian dari asam dibasa, yang menyebabkan
terdapatnya ikatan tak jenuh dalam rantai utama dari polimer yang dihasilkan, maka
disebut poliester tak jenuh. Selanjutnya, monomer vinil seperti pada Tabel 5 dicampur
yang bereaksi dengan gugus tak jenuh pada saat pencetakan.(Surdia
Tata,Ir.M.S.Met.E dan Saito Shinroku,Prof. Dr.1992)
21
Tabel 4. Asam dibasa dipergunakan untuk resin poliester.
Untuk pengesetan termal, digunakan benzoil peroksida (BPO) sebagai katalis.
Temperatur optimal adalh 80 – 130 0C, namun demikian, kebanyakan pengesetan
dingin yang digunakan. Sebagai katalis digunakan metil etil keton peroksida
(MEKPO) dan sebagai pemercepat digunakan kobal naftenat. Bahan ini baik
digunakan bila diencerkan 10 kali dengan monomer stiren. Katalis ditambahkan pada
1 – 2 %.
22 Poliester tak jenuh merupakan salah satu bahan diantara bahan-bahan yang
digunakan dalam pembuatan beton polimer, selain bahan agregat anorganik (batu,
pasir, fly ash), MEKPO, (CH3COO)2 Zn sebagai katalis dan kobal naftenat sebagai promotor. Poliester tak jenuh yang dihasilkan memberikan serapan khas ikatan
rangkap pada frekuensi gelombang 1645 cm-1, yang menunjukkan adanya ikatan tak
jenuh. [Aisyah. 2003.].
Ada banyak jenis poliester. Bila zat tersebut dimodifikasi menurut suatu cara,
sifat-sifatnya cukup bervariasi. Mengenai ketahanan kimianya, pada umumnya kuat
terhadap asam kecuali asam pengoksid, tetapi lemah terhadap alkali. Bila dimasukkan
dalam air mendidih untuk waktu yang lma (300 jam), bahan akan pecah dan
retak-retak. Bahan ini mudah mengembang dalam pelarut, yang melarutkan polimer stiren.
Kemampuan terhadap cuaca sangat baik. Tahan terhadap kelembaban dan sinar UV
bila dibiarkan diluar, tetapi sifat tembus cahaya permukaan rusak dalam beberapa
tahun.
2.10.1. Reaksi Polimerisasi
Berdasarkan proses pembentukan, polimer dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
polimer adisi dan polimer kondensasi. Penggolongan ini pertama kali digunakan oleh
Carothers [Steven,2001], yang didasarkan pada adanya unit ulang dari suatu polimer
mengandung atom yang sama seperti monomer. Polimer adisi memiliki
atom-atom yang sama seperti monomer dalam unit ulangnya, sedangkan polimer
kondensasi memiliki atom-atom yang lebih sedikit karena terbentuknya produk
sampingan selama berlangsungnya polimerisasi.
1. Poimerisasi adisi
Polimerisasi adisi melibatkan reaksi rantai. Penyebab reaksi rantai dapat
23 polimerisasi adisi. Beberapa monomer etilena (C2H4) bergabung menjadi satu
rantai polietilen (C2H4)n,
Cl2 2 Cl· (1)
2. Polimerisasi kondensasi
Polimerisasi kondensasi melibatkan penggabungan molekul kecil-kecil,
menghasilkan molekul besar-besar melalui reaksi kondensasi (atau
adisi-penyingkiran) dalam kimia organic, yang terjadi pada zat bermassa molekul rendah.
Misalnya, jika campuran etanol dan asam etanoat dipanasi bersama sedikit asam
sulfat pekat, etil asetat dihasilkan,disertai penyingkiran air.
CH3.COOH + C2H2OH ↔ CH3COOC2H5 + H2O (4)
Reaksi berhenti sampai disini karena tidak terdapat gugus fungsi yang dapat
bereaksi (pada contoh ini gugus –COOH dan gugus –OH). Akan tetapi, jika tiap
molekul pereaksi mengandung 2 atau 3 gugus fungsi maka reaksi berikutnya dapat
terjadi [Cowd,M.A.1991]
Poliester pertama yang dibuat oleh Carothers mempunyai suhu pelunakan
sangat rendah, sehingga sebagai bahan pembentuk serat poliester, ia tidak tahan
setrika. Akibatnya Carothers mengesampingkan poliester itu dan memfokuskan pada
poliamida yang menjadi awal pengembangan nilon. Pada tahun 1942 Whinfield dan
Dickson membuat suatu poliester yang mereka sebut polietilen tereftalat. Poliester
lurus dapat dihasilkan dari pemanasan bersama asam berbasa dua dan alkohol dihidrat
tertentu [Cowd,M.A. kimia polimer.1991], sebagaimana ditunjukan oleh reaksi
24 n HO – R’ – OH + n HOOC – R – COOH →
H -[ O – R’ – OOC – R – CO] – n OH + [2n - 1] H2O
(dapat dibuktikan sendiri bahwa dari 5 molekul asam berbasa 2 dan 5 diol, akan
terbentuk 5 kesatuan berulang –O-R1- OOC-R-CO- dan dilepaskan molekul air)
Katalis digunakan pada polimerisasi rantai ionik yang menghasilkan
makroion (bukan makroradikal).[Feldman, Dorel.Anton,J,H.1995.]
Proses curing
Curing atau pengeringan pada proses polimerisasi merupakan perubahan fase cair dan pasta menjadi padat. Proses ini dapat terjadi secara fisika karena adanya
penguapan pelarut atau medium pendispersi. Curing juga dapat terjadi karena perubahan kimia, terjadinya reaksi antara molekul-molekul yang relatif kecil dengan
fase cair atau pasta membentuk jaringan molekul yang lebih besar, padat, dan tidak
mudah larut.
Proses curing dapat dilakukan dengan reaksi polimerisasi yang bersifat eksotermis. Proses lebih sederhana, walaupun kadang-kadang curing dalam polimerisasi ini perlu waktu lama. Reaksi polimerisasi dimulai dengan adanya radikal
bebas yang terbentuk karena dekomposisi bahan yang tidak stabil oleh suhu maupun
katalis. Radikal bebas dengan monomer akan mengadakan reaksi polimerisasi dan
akhirnya jika radikal bebas bereaksi dengan radikal bebas, maka terjadi reaksi
terminasi yang menghasilkan polimer.
2.11. Imobilisasi Limbah Cair Trans-Uranium dengan Polimer
Imobilisasi yang disebut juga solidifikasi merupakan proses mencampur
limbah radioaktif (penukaran ion organik maupun anorganik bekas, konsentrat
evaporator, abu insenerator, dan lain-lain) kedalam matrial matriks, sehingga menjadi
25 tempat penyimpanan akhir/disposal dalam tanah. Sebelum imobilisasi dilakukan,
penukar resin organik bekas memerlukan satu atau lebih proses pengolahan awal
dan/atau pengolahan.walaupun, dalam beberapa kasus, hal ini dapat dilakukan tanpa
proses pengolahan awal lain, kemudian menghilangkan kandungan air.
Matriks yang biasa digunakan untuk imobilisasi penukar ion bekas adalah
semen, bitumen dan beberapa jenis polimer. Oleh karena yang terikat dalam polimer
adalah radionuklida berumur panjang dan resin penukar ion merupakan senyawa
organik, maka digunakan matriks polimer untuk imobilisasinya. Di beberapa negara,
high integrity container digunakan untuk penyimpanan dan/atau disposal dari media
penukar ion bekas, tampa menggunakan bahan matriks solidifikasi/imobilisasi (IAEA,
2002).
2.12. Imobilisasi menggunakan polimer
Imobilisasi resin penukar ion bekas dengan polimer umumnya digunakan pada
kebanyakan instalasi pengolahan limbah. Perbedaan tipe polimer yang digunakan dan
masih diperlukan riset lanjutan untuk menekan harga yang saat ini kurang efektif,
proses yang lebih sederhana, dan kualitas produk yang lebih baik. Beberapa polimer
yang digunakan untuk imobilisasi diantaranya dalah resin epoksi, poliester,
polietilena, polistirena dan kopolimer, urea formaldehida, poliurethan, fenol
formalehida dan polistirena (IAEA, 2002).
Polimer dibagi dalam dua kategori: polimer termoplastik dan polimer
termoset. Polimer termoplastik menjadi lembut (meleleh) dengan penambahan
pemanasan. Hal ini biasa ditambahkan dalam bentuk padat dan dipanaskan kemudian
dikombinasikan dengan limbah. Polimer termoset ditangani dalam bentuk cair yang
kemudian dipolimerisasikan menjadi bentuk padat menggunakan katalis dan/atau
26 dikarenakan prosesnya dapat dilakukan pada temperatur kamar. Pada beberapa kasus
sering digunakan imobilisasi metode batch dalam kontainer disposal (biasanya bentuk
drum standar). Material penukar ion anorganik dan residu proses kedua seperti abu
dan cairan umumnya tidak diimobilisasi dengan polimer karena lebih dapat menerima
imobilisasi yang lain seperti semen. Setiap partikel resin dilapisi dengan material
matriks. Pada beberapa kasus tidak ditemukan ikatan antara polimer dan resin (IAEA,
2002).
2.13. Parameter Pengujian 2.13.1. Penentuan Densitas
Densitas merupakan salah satu parameter blok polimer limbah yang
dibutuhkan untuk memprediksikan keselamatan transportasi, penyimpanan sementara
(interm storage), dan penyimpanan lestari. Densitas akan menjadi besar jika
kandungan limbahnya juga besar. Hal ini disebabkan karena persentase radionuklida
berat dalam polimer besar. Persentase kandungan limbah besar, persentase polimer
kecil, sehingga densitas polimer besar. Densitas dari blok polimer limbah ditentukan
dengan persaman :
=
v m
...( 1 )
Dimana : ρ = densitas ( g/cm3 )
m = massa sampel ( gram )
27
2.13. 2. . Penentuan Kuat Tekan
Kuat tekan adalah gaya maksimum yang dibutuhkan untuk menghancurkan
benda uji dibagi dengan luas permukaan yang mendapat tekanan. Kuat tekan blok
polimer limbah merupakan parameter penting untuk evaluasi karena jatuh atau
mengalami benturan. Kuat tekan akan menjadi kecil apabila kandungan limbahnya
besar. Dengan penambahan bahan Cs dan Ce. Yang bersifat rapuh, maka polimer-
limbah yang terjadi menjadi rapuh dan kuat tekannya menurun. Kuat tekan dihitung
dengan persamaan :
2.13. 3. Penentuan Laju Lindih
Laju pelindihan merupakan salah satu karakteristik blok polimer limbah yang
penting untuk mengevaluasi hasil imobilisasi, karena tujuan akhir imobilisasi limbah
adalah memperkecil potensi terlepasnya radionuklida yang ada dalam polimer limbah
itu ke lingkungan. Dalam hal ini dapat diasumsikan sebagai korosi, yaitu lepasnya
unsur kerangka polimer sedangkan laju pelindihannya sendiri, yaitu lepasnya
sejumlah unsur limbah dari blok polimer limbah. Pengujian ini menggunakan alat
soxhlet pada suhu 1000C dan tekanan 1 atm. Dalam penelitian ini laju lindih
ditentukan dengan mengukur Cs dalam air pelindih setelah diekstraksi selama 6 jam.
Laju pelindihan akan semakin besar jika kandungan limbah juga besar. Hal ini
28 besar sehingga perbedaan konsentrasi sebagai gaya dorong proses difusi menjadi lebih
besar. Laju pelindihan dinyatakan dengan persamaan :
L =
2.14. Analisis laju pelindihan dengan alat Atomic Absorption Spectrometry (AAS)
AAS merupakan salah satu cara analisis yang digunakan untuk menentukan
unsur-unsur atau logam-logam contoh. Cara analisis ini dikembangkan oleh Walls
tahun 1955. Metode AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom
menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat
unsurnya (Khopkar, 1990).
Cara analisis spektrofotometer serapan atom, baik dengan nyala maupun yang
tanpa nyala mampu menentukan hampir semua unsur logam secara kuantitatif dengan
kemampuan mulai dari konsentrasi besar maupun konsentrasi kecil (KLH-JICA,
2005).
2.14.1 Prinsip Dasar Analisis AAS
a. Metode flame
Prinsip dasar dari teknik Atomic Absorption Spectrometry (AAS) adalah
elektron dalam suatu atom pada keadaan dasar menyerap energi cahaya pada
29 (tereksitasi). Jumlah atom yang dilewati cahaya dan tereksitasi berbanding lurus
dengan jumlah energi yang diserap. Dengan mengukur jumlah energi cahaya
yang diserap dapat ditentukan jumlah atau konsentrasi atom elemen yang diuji
dalam contoh ( Suryana, 2001)
Hubungan antara serapan yang dialami oleh sinar dengan konsentrasi
analit dalam larutan standar bisa dipakai untuk menganalisi arutan sampel yang
tidak diketahui yaitu dengan mengukur serapan yang diakibatkan oleh larutan
sampel tersebut terhadap sinar yang sama ( KLH – JICA, 2005).
Hubungan antara konsentrasi atom logam dengan pengukuran cahaya yang
diabsorbsi ditunjukkan dengan persamaan Lambert – Beer yang berbunyi :
“ Bla sebuah media dilewati cahaya yang transparan, maka cahaya akan diserap oleh media tersebut dimana nilai absorbannya sebanding dengan tebal dan kepekatan dari media “.
Dengan rumus sebagai berikut :
A = - log Ic / Io = Kv . d. C
Dimana :
A = Absorbansi
Io = Intensitas cahaya awal (erg/detik)
Ic =Intensitas cahaya setelah sebagian diabsorbsi oleh contoh
(erg/detik)
Kv = Absortivitas molar-konstan (Liter.mol.cm)
d = Tebal media (cm)
30
Gambar 4: Diagram blok dari AAS
b. Metode flameless (tanpa nyala)
Atomisasi tanpa nyala dilakukan energi listrik pada batang karbon yang
biasanya tabung grafit. Contoh diletakkan dalam tabung grafit dan arus listrik
dialirkan melalui tabung tersebut sehingga tabung dipanaskan dan contoh akan
teratomisasikan. Temperatur tabung grafit dapat diatur dengan merubah arus
listrik yang dialirkan, sehingga kondisi temperatur optimum untuk setiap macam
contoh atau unsur yang dianalisa dapat dicapai dengan mudah.
2.14.2. proses Absorbsi
Dalam proses ini seberkas sinar yang intensitasnya sebesar Io dengan
panjang gelombang tertentu (hv) melewati media pengabsorbsi yang terdiri dari
atom. Bila ada atom yang mengabsorbsi energi cahaya tersebut maka energi
yang diserap akan mengubah atom tadi menjadi atom yang tereksitasi,
sedangkan energi yang tidak diserap akan terus melewati media sebagai sinar
31
2.14.3. Komponen-komponen AAS
1) Sumber Radiasi (lampu katode)
Sumber radiasi yang banyak digunakan adalah lampu katoda berongga,
tabung yang bermuatan gas sumber radiasi yang baik adalah sumber radiasi
yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Memancarkan intensitas sinar dengan pita radiasi yang sempit
b) Tidak mengabsorbsi sendiri
c) Tidak ada background yang kontinyu
Gambar sumber radiasi (lampu katode) ditunjukan pada Gambar 6.
Gambar 5: Sumber radiasi (lampu katode)
2) Atomizer
Alat ini berfungsi untuk mengubah unsur dalam larutan contoh menjadi
bentuk kabut dimana akan dilakukan pengukuran absorbsi. Proses yang terjadi
dalam atomisasi secara umum adalah :
a. Nebulasi yaitu pengubahan cairan ke dalam bentuk kabut aerosol
b. Pemisahan titik-titik kabut dengan sebaran ukuran yang benar
32 Gas (biasanya oksigen untuk pembakar) dialirkan ke dalam spray chamber melalui venturi akibatnya cairan sampel terisap ke atas dan dialirkan ke dalam spray chamber. Titik air yang besar akan mengalir ke bawah sedangkan yang halus terus masuk ke dalam pembakar, diameter dari
partikel-partikel biasanya lebih kecil dari 2 µm. Di dalam spray chamber kabut sampel dicampur dengan bahan kemudian dimasukkan ke dalam pembakar. Campuran
bahan bakar dan oksigen harus diperhatikan dan disesuaikan dengan unsur yang
dipakai.
Gambar 5. Nebulizer,burner &spray chamber (Christian,Gary D & James, E Oreilly, 1986)
3) Monokromator
Monokromator mempunyai fungsi mengisolasi sinar yang diperlukan (λ
tertentu) dari sinar yang dihasilkan oleh lampu katoda, jadi bila ada beberapa
panjang gelombang cahaya maka akan dilewatkan ke detektor yang hanya
cahaya tertentu saja sedangkan yang lain diserap atau ditiadakan.
Dalam spektrofotometer serapan atom, sistem optik dimaksudkan untuk
mengumpulkan cahaya dari sumbernya dilewatkan ke sampel kemudian ke
33 4) Detektor
Detektor adalah alat yang dipakai untuk mengamati dan melaksanakan
semua pengukuran cahaya. Alat tersebut mengubah energi cahaya menjadi
energi listrik sehingga pengukuran menjadi lebih mudah. Detektor yang dipakai
dalam AAS pada
umumnya adalah Photomultipier tube. Photomultipier tube menghasilkan sinyal listrik sebanding dengan intensitas cahaya pada panjang gelombang yang telah
dipisahkan oleh monokromator.
5) Sistem Modulasi
Sistem ini digunakan untuk mencegah terukurnya pancaran cahaya yang
berasal dari atom yang melepaskan energinya waktu kembali ke keadaan semula
setelah tereksitasi.
Keuntungan metode AAS adalah sebagai berikut :
1.Spesifik, karena mudah dalam melakukan pengujian
2.Batas limit deteksi yang rendah
3.Dari satu larutan yang sama, beberapa unsur yang berlainan dapat diukur
4.Pengukuran dapat langsung dilakukan terhadap larutan contoh, jadi berbeda
dengan kolorimetri (yang membutuhkan pembentukan senyawa berwarna),
gravimetrik (dimana endapan perlu dikeringkan terlebih dahulu), dan
sebagainya, preparasi contoh sebelum pengukuran cukup sederhana.
5.Output data (absorban) dapat langsung dibaca
6.Dapat diaplikasikan kepada jenis unsur dalam banyak jenis
7.Batas kadar-kadar yang dapat ditentukan adalah amat luas
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Limbah Radioaktif Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif BATAN PUSPIPTEK Serpong, pada bulan September
2007 sampai dengan Maret 2008 kemudian diteruskan dengan analisis Cs terlindih di
Labolatorium terpadu UIN Jakarta November 2008.
3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan
Bahan- bahan yang digunakan adalah Resin Amberlite IR 120 Na yang
merupakan resin penukar ion dari Rohm and Haas France S.A.S, poliester tak jenuh
(YUKALAC 2252) dan katalis MEKPO (Metil Etil Keton Peroksida) dari PT. Justus
Kimia Raya, cesium klorida ( CsCl ) dari Univar,cerium oksida ( CeO2 ) dari Sigma
Chemical Co., glisin (H2NCH2COOH) dari Merck, natrium hidroksida( NaOH ) dari
Merck, air bebas mineral.
3.2.2. Alat
Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini antar lain : Paul weber untuk
uji kuat tekan, soxhlet untuk uji lindih, pH meter, Atomic Absorption Spectrometry (
AAS ) dari Perkin Elmer dengan tipe A. analyst 700, blok cetakan polimer dengan
35
3.3 Metode Kerja
Pada penelitian ini dilakukan tahap awal yaitu penjenuhan resin. Resin yang
akan dijenuhkan terlebih dahulu dipilih dengan ukuran yang sama yaitu 40 mesh.
Resin (Amberlite IR 120 Na) dimasukkan ke dalam larutan CsCl sebagai limbah simulasi, didiamkan hingga jenuh. Setelah itu resin disaring kemudian dikeringkan.
Pada proses pengeringan ini digunakan oven dengan suhu tetap 100 oC. resin disini
digunakan sebagai limbah simulasi.
Dalam pembuatan blok polimer ini dibutuhkan bahan pengungkung yaitu
poliester tak jenuh (Yukalac 2252) yang dicampurkan dengan bahan pengeras (hardener) yaitu katalis MEKPO, bersifat asam kuat. Katalis yang digunakan 1 % dari jumlah poliester.
Sebagai perbandingan dibuat pula limbah cair simulasi dari campuran CsCl
dan CeO2 dengan proses yang sama dengan limbah simulasi dari larutan CsCl murni.
Limbah cair simulasi yang terbentuk dicampurkan dengan absorber dalam berbagai
rasio berat limbah 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 %. Larutan tersebut diaduk sehingga
homogen kemudian dicetak dalam tabung reaksi. Setelah terbentuk polimer padat,
polimer dikeluarkan dari tabung reaksi kemudian dipotong-potong hingga ukurannya
sama, dengan ukuran diameter sama dengan tinggi. Perbandingan komposisi polimer
36 Tabel 6. Perbandingan penambahan resin untuk masing-masing waste loading
dengan berat total 50 gram
Waste loading (%) Resin (gram) Resin poliester tak jenuh (gram)
Hardener (gram)
0 - 25 25
10 5 22,5 22,5
20 10 20 20
30 15 17,5 17,5
40 20 15 15
50 25 12,5 12,5
3.4. Metode Karakterisasi dan Analisis 3.4.1. . Pengujian Densitas
Pada pengujian densitas alat yang digunakan adalah jangka sorong, dengan
mengukur tinggi dan diameter sampel, serta menimbang blok polimer limbah yang
telah berulang-ulang dimasukkan ke dalam oven dan desikator hingga diperoleh berat
konstan.
3.4.2 Pengujian Kuat Tekan
Pengujian kuat tekan dilakukan dengan alat Paul Weber(prinsip kerja alat
menyerupai piston), dengan spesifikasi D.7064 Remshaiden-Grunbach. Dengan
satuan kN dan skala terkecil 1 kN. Dengan demikian dapat diketahui seberapa kuat
37 Gambar 6. Alat Paul Weber Untuk Uji Kuat Tekan
3.4.3. pengujian laju lindih
Pengujian laju lindih digunakan alat soxhlet yang telah diatur suhu dan
tekanannya, yaitu pada suhu 100 oC dan 1 atm. Uji ini dilakukan selama 6 jam,
dengan mulai hitungan pada saat tetesan pertama mengenai blok polimer. Laju
kondensasi pada soxhlet dijaga tetap pada 300 cm3/jam.
Gambar 7. Alat Soxhlet Untuk Uji Pelindihan
Langkah selnjutnya adalah untuk mendapatkan berat konstan dari blok polimer
38 bebas dalam sampel. Untuk mengetahui Cs yang terlindih selama uji pelindihan
dilakukan analisis air pelindih dengan menggunakan alat AAS.
3.4.4. Pengujian pengaruh pH terhadap laju pelindihan.
Pada pengujian pH ini dilakukan perlakuan yang sama dengan melakukan
pelindihan tetapi pelarut yang digunakan berbeda. Untuk pH yang bersifat asam
seperti pada pH 2 dan pH 5 digunakan glisin, sedangkan untuk yang bersifat basa
digunakan pelarut NaOH. Untuk pH netral pH 7 dengan air bebas mineral. Setelah itu
Cs yang terlindih dilakukan pengujian dengan menggunakan AAS. Pada pengujian
pengaruh pH terhadap laju pelindihan blok polimer limbah direndam dalam air
pelindih pada 1000C dan 1 atm.
Untuk melakukan pengujian dengan menggunakan AAS, terlebih dahulu
dibuat larutan standarnya. Untuk pengujian unsur Cs, ditimbang sebanyak 1,267 gram
CsCl, kemudian dilarutkan dalam 1 liter air bebas mineral sehingg diperoleh larutan
standar induk Cs 1000 mg/liter. Di ambil 10 ml larutan standar induk Cs 1000 ppm,
kemudian dilarukan dalam labu ukur 100 ml dengan menabahkan aquades sampai
tanda garis. Sehingga didapatkan larutan standar dengan kadar 100 ppm. Dibuat derat
standar Cs 0, 1, 3, dan 6 ppm dengan melarutkan masing-masing 0 ; 0,5 ; 1,5 ; dan 3
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Imobilisasi Limbah Dengan Polimer
Polimer poliester tak jenuh dengan kandungan limbah 0, 10, 20, 30, 40, dan 50
% berat. Dengan berat polimer sebesar 25 gram warna polimer tanpa kandungan
limbah adalah berwarna putih. Dimana Semakin tinggi kandungan limbah dalam
polimer warna polimer akan semakin kuning. Hasil polimer limbah diuji densitas,
kuat tekan, dan laju pelindihanya.
Dalam penelitian ini reaksi polimerisasi yang dilakukan dengan proses curing
yang bersifat eksotermis, karena proses dapat dilakukan dengan peralatan yang
sederhana dan biaya yang murah. Adapun dalam penelitian ini terjadi proses
pertukaran ion yang menggunakan metode batch. hal ini dilakukan karena dengan
mengginakan metode ini proses lebih mudah dilakukan, dan biaya lebih murah. Resin
yang digunakan sebagai penukar ion adalah amberlite IR 120 Na yang memiliki
kapasitas tukar kation 1,5 meq/g.
Pengamatan secara visual hasil imobilisasi limbah simulasi dengan polimer
menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan limbah maka warna blok polimer –
limbah hasil imobilisasi lebih kecoklatan, Sedangkan untuk polimer tanpa limbah
tampak berwarna jernih. Hal ini dapat terjadi karena semakin banyaknya resin yang
digunakan seiring dengan bertambahnya kandungan limbah.
Densitas ditentukan berkaitan dengan transportasi, disain tempat penyimpanan
sementara, dan penyimpanan lestari. Kekuatan tekan ditentukan berkaitan dengan
benturan atau jatuh pada saat transportasi dan penyimpanan. Adanya benturan, maka
40 akan meningkatkan luas permukaan kontak dengan air yang menaikkan laju
pelindihan.
Penentuan harga laju pelindihan dimaksudkan untuk mengetahui kualitas
blok-polimer limbah yang dihasilkan. Serta untuk menentukan sejauh mana pelepasan
radionuklida dari blok polimer limbah. Pelindihan dilakukan dengan alat soxhlet pada
1000C dan 1 atm selam 6 jam.
4.2. Pengaruh Kandungan Limbah Terhadap Densitas polimer
Hubungan kandungan limbah (Waste Loading) terhadap densitas blok
polimer untuk limbah simulasi (Cs) ditunjukan pada Gambar 8 dan untuk limbah
simulasi (Cs + Ce) pada Gambar 9.
Gambar 8. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs) terhadap densitas
0.8
41 Dari gambar grafik pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) terhadap
densitas, nilai densitas pada kandungan limbah awal 0 % adalah 0,8747 g/cm3 dan
berturut-turut pada kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % adalah 0.9627, 0.9977,
1.0141, 1.0242, dan 1.1296 g/cm3 . dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa makin
tinggi kandungan limbah, maka makin besar densitasnya. Hal tersebut karena
persentase radionuklida yang massanya lebih besar dalam polimer makin besar.
Persentase kandungan limbah besar, mengakibatkan persentase polimer kecil,
sehingga densitas polimer besar. Semakin tinggi kandungan limbah maka makin
banyak atom-atom yang massanya besar yaitu Cs yang terkandung dalam polimer,
sedangkan polimer disusun dari atom-atom C dan H.
Pada Gambar 9, grafik pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce )
terhadap densitas, nilai densitas pada kandungan limbah awal 0 % adalah 0,8747
g/cm3 , nilai ini sama dengan nilai pada blok polimer ( Cs ) karena pada kandungan
limbah 0 % belum dicampurkan dengan limbah simulasinya. Sedangkan nilai densitas
untuk kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % berturut-turut nilai densitasnya
adalah 1.0074, 1.0362, 1.0762, 1.1309, dan 1.1638 g/cm3 . hal ini dikarenakan
persentase radionuklida yang massanya lebih besar dalam polimer makin besar.
Persentase kandungan limbah besar, mengakibatkan persentase polimer kecil,
sehingga densitas polimer besar. Semakin tinggi kandungan limbah maka makin
banyak atom-atom yang massanya besar yaitu Cs dan Ce yang terkandung dalam
polimer, sedangkan polimer disusun dari atom-atom C dan H.
Dari grafik pengaruh kandungan limbah simulasi
antara limbah simulasi ( Cs ) dan limbah simulasi ( Cs + Ce ), densitas pada
42 kandungan limbah simulasi ( Cs ), hal ini dikarenakan adanya unsur Ce yang
massanya jauh lebih besar dibandingkan unsur Cs yang memiliki massa 133.
4.3. Pengaruh Kandungan Limbah Terhadap Kuat Tekan Polimer Limbah
Selanjutnya hubungan kandungan limbah (waste loading) terhadap kuat tekan polimer untuk limbah simulasi (Cs) ditunjukkan pada Gambar 12, sedangkan
hubungan kandungan limbah terhadap kuat tekan untuk limbah simulasi (Cs+Ce)
ditunjukan pada Gambar 11.
4
Gambar 10. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs) terhadap kuat Tekan
Pada grafik pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) terhadap kuat tekan
(Gambar 10). Makin tinggi kandungan limbah maka makin rendah kuat tekannya,
akan tetapi kandungan limbah 0 % lebih kecil jika dibandingkan dengan kandungan
limbah 10 %, hal ini kemungkainan disebabkan karena selongsong blok polimer yang
agak renggang sehingga menjadi rapuh. Kuat tekan semakin turun jika kandungan
limbahnya semakin besar, hal tersebut dikarenakan pengisian bahan Cs membentuk
bahan komposit yang sifatnya rapuh dan rantai polimer yang terbentuk semakin
43 semakin besr maka tiap lapisan rantai polimer tidak cukup untuk mengungkung
limbah sehingga kuat tekan menjadi semakin menurun.
4
Gambar 11. Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) terhadap kuat tekan
Pada grafik pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ) terhadap kuat
tekan (Gambar 11), dapat dilhat nilai kuat tekan pada kandungan limbah 0 % nilainya
sama dengan pada pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) yaitu 7.5188 kN/cm 2 .
sedangkan pada kandungan limbah 10, 20, 30, 40, dan 50 % masing-masing adalah
10.5263, 9.7744, 9.0225, 8.2707, dan 6.7669 kN/cm 2 . pada kandungan limbah 0 %
nilai kuat tekannya juga lebih kecil jika dibanding pada kandungan limbah 10 % hal
ini sama halnya dengan yang terjadi pada limbah simulasi ( Cs ) hal ini kemungkinan
juga disebabkan oleh selongsong blok polimer yang agak renggang sehingga menjadi
rapuh. Kuat tekan semakin turun jika kandungan limbahnya semakin besar, hal
tersebut dikarenakan pengisian bahan Cs + Ce membentuk bahan komposit yang
sifatnya rapuh dan rantai polimer yang terbentuk semakin pendek. Dengan rantai
44 lapisan rantai polimer tidak cukup untuk mengungkung limbah sehingga kuat tekan
menjadi semakin menurun.
Dari ke 2 grafik tersebut, pengaruh kandungan limbah simulasi ( Cs ) dan
kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ) terhadap kuat tekan dapat dilihat perbedaan
diantara keduanya yaitu kuat tekan pada kandungan limbah simulasi ( Cs ) lebih besar
jika dibanding dengan kuat tekan pada kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ), hal ini
disebabkan karena adanya unsur Ce yang lebih besar, yang menyebabkan blok
polimer menjadi semakin rapuh.
4.4. Analisis kandungan limbah terhadap laju pelindihan limbah simulasi dalam polimer dengan menggunakan AAS (atomic absorption spectrometry).
Gambar 14.Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs) dengan menggunakan AAs
(atomic absorption spectrometry).
Gambar 12. Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs) dengan menggunakan AAS.
Pada kandungan limbh 0 % tidak dilakukan pengujian karena pada kandungan
limbah 0 % tidak terdapat unsur Cs. Laju pelindihan pada kandungan limbah 10, 20,
30, 40, dan 50 % berturut-turut adalah 0.05, 0.09, 0.1889, 0.225, dan 0.2842 g/cm2
hari. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar kandungan limbahnya
45 proses difusi, yang dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi unsur dalam polimer dan
larutan pelindih yang semakin besar.
Gambar 13. Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) dengan menggunakan AAS (atomic absorption spectrometry).
Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa laju pelindihan dipengaruhi oleh
besarnya kandungan limbah dalam polimer. Pada laju pelindihan kandungan limbah
10 % yaitu 0.0403 g/cm2 hari, lebih kecil dibandingkan pada kandungan limbah 20 %
sebesar 0.0659 g/cm2hari begitu seterusnya. Karena semakin tinggi kandungan
limbahnya maka laju pelindihannya juga akan tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya
proses difusi, yang dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi unsur dalam polimer dan
larutan pelindih yang semakin besar.
Laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi ( Cs ) lebih besar jika
dibandingkan dengan laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi ( Cs + Ce ), hal
ini dikarenakan ada unsur selain unsur Cs yang terdapat pada Gambar 13, yaitu unsur
Ce. Kandungan Cs dalam polimer pada Gambar 13 lebih besar jika dibandingkan
Gambar 12, sehingga perbedaan konsentrasi dalam polimer dan dalam air pelindih
lebih besar.
Grafik laju pelindihan pada kandungan limbah simulasi (Cs+Ce) dengan menggunakan AAs (atomic
46 Berdasarkan pertimbangan densitas, kuat tekan, dan laju pelindihan maka hasil
terbaik adalah polimer dengan kandunganlimbah 20 % dan 30 %.
4.5. Pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan kandungan limbah 20 %.
Pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan
kandungan limbah 20 % dapat dilihat pada Gambar 14 dan kandungan limbah
simulasi (Cs + Ce) 20 % pada Gambar 15.
Grafik pengaruh kandungan limbah simulasi (Cs)20% dengan menggunakan AAs
0
Gambar 14. Grafik pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer limbah dengan kandungan limbah simulasi Cs 20 %.
Pada Gambar 16, pengaruh pH terhadap laju pelindihan Cs dalam polimer
limbah dengan kandungan limbah simulasi Cs 20 % dilakukan uji pH 2, pH 5, pH 7,
pH 9, dan pH 12. dari data yang dihasilkan diperoleh data secara berturut-turut
sebagai berikut : 0.1967, 0.1537, 0.09, 0.0738, dan 0.1291 g/cm2hari. Pada gambar di
atas pada pH 2 laju pelindihannya sangat tinggi dan menjadi turun pada pH 5 dan
konstan pada pH 7 karena bersifat netral, kemudian pada pH 9 terjadi penurunan
walaupun hanya sedikit, akan tetapi pada pH 12 mengalami kenaikan tetapi laju