• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manipulasi identitas dalam perkawinana : studi kasus pada kua Kec.Kadugede-Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Manipulasi identitas dalam perkawinana : studi kasus pada kua Kec.Kadugede-Jawa Barat"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

ZULKARNAIN 105044201472

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal

Al-Syakhshiyyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam.

Jakarta, 15 Juni 2010

Mengesahkan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195505051982091012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (________________) NIP. 195003061976031001

Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH. (________________)

NIP. 197202241998031003

Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi (________________)

NIP. 194008051962021001

Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (________________) NIP. 195003061976031001

Penguji II : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. (________________)

(3)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ZULKARNAIN

NIM : 105044201472

Dibawah Bimbingan

Pembimbing

Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi NIP. 194008051962021001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(4)

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Selanjutnya, shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil memerankan fungsi-fungsi kekhalifahan dengan baik di pentas peradaban dunia sehingga beliau dipilih oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah bagi seluruh manusia.

Karya tulis ilmiah berupa skripsi ini ditujukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy).

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi, antara lain keterbatasan ilmu dan pengetahuan serta keterbatasan waktu yang dimiliki penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Meski demikian, diharapkan agar skripsi ini dapat memberikan nilai manfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca.

Selama penyusunan skripsi dan belajar di Fakultas Syariah dan Hukum, penulis mendapatkan banyak bantuan baik berupa moril, materil, pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan

(5)

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Kamarusdiana, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk menuntun penulis, sehingga terciptalah skripsi ini.

5. Bapak Kepala KUA Kecamatan Kadugede beserta staffnya yang telah memberikan kontribusi yang besar dan telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian ini.

6. Bapak Kepala Kandepag Kuningan beserta staffnya, khususnya Kepala Seksi Urusan Agama Islam (URAIS) yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Pimpinan beserta Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga

(6)

9. Ayahanda Mad Sirod dan Ibunda Sunirah yang selalu memberikan motivasi, moril, materil dan do’a bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan proses belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10.Kakanda Abi Kosim, Kakanda Cecep Sudrajat dan Adinda Rahmat yang selalu memberikan dukungan moril demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.

11.Bapak KH. A. Qosasih, serta KH. Sanusi, serta Ustadz Sabeni Hamid, S.Pd.I., yang telah memberikan ilmunya.

12.Keluarga Bapak Muin yang telah memberikan fasilitas penginapan untuk melakukan penelitian ini.

13.Sahabat Syarif H, SHI., yang senantiasa memberikan ilmunya dan berkorban waktu, tenaga serta pikiran dalam penulisan skripsi ini. Dan juga sahabat Fathurrahman, SHI., Agus, S.Sos.I, Saepul, Mufid, Agung, S.Pd.I., Salaf serta Iwonk sebagai sahabat “wonk jowo” yang baik hati tempat bertukar pikiran dan curhat, semoga kita menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat.

14.Semua teman-teman kelas AKI angkatan 2005 yang telah banyak mengisi kenangan dalam hidup ini selama masa perkuliahan, dan teman-teman KKS (Kuliah Kerja Sosial) di desa Ciangir yang penuh kenangan, semoga hubungan silaturrahim kita tetap terjaga.

(7)

Abib senang berdiskusi dengan kalian.

17.Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan data dalam penyusunan skripsi ini.

Demikian dan terima kasih kepada para semua pihak yang telah turut andil dalam memberikan bantuan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini semoga mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT yang setimpal.

Akhirnya, penulis dengan rasa senang hati membuka dan menerima saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 18 Jumadil Awal 1431 H

3 Mei 2010 M

Penulis

(8)

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Review Studi Terdahulu ... 11

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 12

F. Kerangka Teori ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ... 18

B. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 24

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri ... 30

D. Tujuan Perkawinan ... 33

BAB III DESKRIPSI UMUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN KADUGEDE A. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede ... 42

B. Dasar Hukum Pembentukan Kantor Urusan Agama ... 48

C. Kinerja Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede .... 51

(9)

vi

A. Prosedur Administrasi Perkawinan ... 57

B. Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan ... 80

C. Upaya Pencegahan Terjadinya Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan ... 88

D. Analisis Penulis ... 92

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98

(10)

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 3 Mei 2010

(11)

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, menjadi rahmat (kedamaian dan kebahagiaan) bagi segenap alam. Seluruh ajarannya dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan umat manusia. Sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang menyangkut akidah (keimanan) atau akhlak semata, tetapi juga memberikan tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia yang lazim disebut dengan hukum. Salah satu ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan adalah perkawinan.

Salah satu perhatian Islam terhadap kehidupan rumah tangga adalah diciptakan aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana. Kehidupan keluarga akan berjalan damai dan sentosa. Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitarnya.1

Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama. Kehidupan manusia yang ingin hidup bersama, melakukan kontak dengan manusia lainnya tidak dapat dibatasi karena sudah menjadi kodratnya sebagai

1

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW (Poligami Dalam Islam VS Monogami Barat), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 5.

(12)

makhluk sosial. Bertitik tolak dari berbagai keinginan untuk tetap selalu bersama, tidak jarang terjadi suatu ikatan lahir dan batin yang cukup kuat diantara manusia yaitu dengan cara suatu jalan pernikahan. Karena suatu pernikahan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan pasangan suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa.

Perkawinan merupakan suatu solusi yang diberikan Allah SWT untuk menghindarkan manusia dari perbuatan zina yang secara jelas telah diharamkan-Nya. Kebutuhan biologis manusia yang disalurkan tanpa wadah perkawinan niscaya akan menimbulkan masalah dan kerusakan seperti garis keturunan yang tidak jelas, rusaknya moralitas umat manusia, timbulnya berbagai penyakit fisik maupun psikis dan banyak masalah lainnya yang pada akhirnya akan menghinakan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang.2

Perkawinan merupakan suatu jalan yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan terbaik bagi manusia untuk menjalin kasih sayang antara seorang pria dengan seorang wanita, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya sebagai pasangan suami istri.

Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan kesejahteraan yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga

2

(13)

kesejahteraan masyarakat akan tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Tujuan itu dinyatakan baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.3

Dalam ajaran Islam poligami memang diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3, tetapi dengan syarat harus bisa berlaku adil tanpa menyebutkan adanya izin dari istri, oleh karena hukum yang digunakan di Indonesia ini adalah Hukum Perdata Indonesia bukan Hukum Islam saja, maka jika seseorang hendak berpoligami selain harus bisa berlaku adil juga harus memiliki izin dari istri kemudian permohonan poligami itu diajukan ke Pengadilan Agama untuk kemudian apakah permohonan poligami itu disetujui atau ditolak.

Menjadi hal yang “diakui” bersama bahwa rumah tangga yang ideal itu adalah cukup dengan seorang istri saja. Namun pada kenyataan yang terjadi, banyak suami yang merasa tidak cukup dengan hanya memilki satu istri, entah atas landasan untuk mengikuti hawa nafsunya atau dengan niat beribadah untuk menolong kaum wanita (janda) dari aib kesendirian.4 Prinsip rumah tangga dengan hanya memiliki satu istri

3

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 64.

4

(14)

kemudian lebih dikenal dengan istilah monogami dan prinsip berumah tangga dengan memiliki lebih dari satu istri disebut dengan poligami.

Dalam persfektif kemasyarakatan, prinsip poligami masih bersifat kontroversial walaupun dari segi legalitas masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sesungguhnya telah mengetahui bahwa secara agama perkawinan poligami itu halal dan memiliki dalil yang kuat baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Perkawinan poligami dipandang sebagai “bahan pergunjingan dan hujatan”. Akibatnya banyak laki-laki yang melakukan poligami secara ‘sembunyi-sembunyi’ dalam arti tidak disebarluaskan, padahal perkawinan poligami adalah diperbolehkan, akan tetapi pelakunya dianggap seakan-akan seperti penjahat. Sebaliknya orang yang melakukan perzinahan dianggap melakukan hal yang wajar-wajar saja.5

Jika berpedoman pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka suami yang akan melakukan perkawinannya yang kedua, wajib memiliki surat izin yang dikeluarkan oleh pengadilan agama. Adapun pihak pengadilan hanya akan mengeluarkan izin tersebut jika seluruh syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan telah terpenuhi. Termasuk diantaranya wajib mengantongi izin untuk menikah lagi dari istri tuanya, jika tidak, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Lebih lanjut Pengaturan poligami dapat ditentukan apabila telah memenuhi beberapa kriteria yag disyaratkan seperti tertuang dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1

5

(15)

Tahun 1974 yaitu pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Persyaratan selanjutnya telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu untuk dapat mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi selanjutnya ialah sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Idealnya, jika syarat-syarat di atas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun, dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan.

(16)

kehidupan bernegara perlu adanya Undang-Undang yang melindungi kebutuhan ini supaya tidak terjadi kesalahan mekanisme dalam pelaksanaan perkawinan poligami dan perangkat-perangkat lainnya. Seringkali dijumpai peristiwa perkawinan poligami yang tanpa dilandasi oleh payung hukum di dalamnya, sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Seperti perkawinan yang dilatarbelakangi motif manipulasi mengenai status atau keadaan si pelamar. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat pada umumnya korbannya adalah para wanita lemah dan lebih-lebih tidak mengetahui hukum apalagi perlindungan terhadap dirinya atas kasus yang menimpa dirinya.

Dalam prakteknya permasalahan yang muncul di KUA adalah masalah mengenai ketidak akuratan data identitas calon pengantin. Dengan adanya manipulasi identitas akan menyebabkan timbulnya kerugian bagi masing-masing pihak baik dari pihak keluarga calon pengantin maupun bagi lembaga pemerintahan itu sendiri. Maka akan ada kesan dengan adanya pemalsuan data identitas ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu bisa terlaksana. Semestinya keaktifan PPN dan semua pegawai KUA harus senantiasa dilakukan dalam upaya penyelidikan kebenaran mengenai data-data calon mempelai dan wali baik mengenai kebenaran nama, usia, dan status sehingga apa yang nantinya dituliskan dalam sebuah Akta Nikah maupun berkas-berkas perkawinan adalah benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan.

(17)

sehingga penyimpangan-penyimpangan dalam administrasi perkawinan seperti manipulasi data baik mengenai status maupun data diri dari mempelai tidak terjadi.

Banyak pria beristri di Indonesia yang status perkawinannya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) masih menyatakan dirinya sebagai “bujang”. Kartu Tanda Penduduk inilah yang menjadi senjata ampuh mereka untuk menikah lagi tanpa sepengetahuan isterinya. Perilaku mereka tersebut dapat dikatakan melanggar hukum. Hal itu bisa dilihat dari data Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), berdasarkan laporan LBH APIK pada tahun 2003, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir seluruhnya tidak mengindahkan peraturan perundangan yang ada.6

Hal ini menandakan bahwa maraknya pemalsuan identitas di Indonesia ini dengan munculnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berusaha untuk berpoligami tapi tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan bahkan berusaha melaksanakan perkawinan poligaminya walaupun tanpa izin dari Pengadilan Agama.

Pada dasarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat tegas menyatakan bahwa bagi mereka yang ingin melangsungkan poligami memenuhi syarat-syarat untuk berpoligami sesuai aturan hukum yang berlaku, mereka tetap masih bisa melangsungkan perkawinan dengan syarat harus meminta izin dahulu ke Pengadilan Agama. Selain mengatur tentang syarat-syarat untuk berpoligami Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan juga mengatur tentang pencatatan perkawinan, yang mana pencatatan perkawinan bertujuan untuk

6

(18)

mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan melindungi martabat perkawinan, khususnya lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Serta pencatatan tersebut bertujuan untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam administrasi perkawinan, seperti manipulasi data baik mengenai status maupun data identitas diri calon mempelai.

Penyimpangan tersebut dilakukan karena kekurangtahuan calon mempelai mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau mereka menginginkan jalan pintas, sehingga pria yang ingin melangsungkan perkawinan poligaminya, mereka bukan meminta izin ke Pengadilan Agama, tapi mereka melakukan manipulasi (pemalsuan) status mereka, baik yang dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak yang terkait.

Apabila kita lihat dari wacana di atas, penulis mempunyai hipotesa awal bahwasanya tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang memang belum diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur sanksi bagi Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah tersebut, sedangkan para pihak yang lain (selain PPN) tidak terdapat sanksi pidananya.

(19)

yang akan diteliti oleh penulis sangatlah berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan.

Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa permasalahan yang akan diteliti layak untuk dilakukan dan penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah skripsi yang berjudul “Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan” (Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai perkawinan sangatlah luas. Oleh karena itu, untuk memperjelas penulisan ini penulis membatasi pembahasan hanya pada persoalan manipulasi identitas perkawinan saja.

Kemudian untuk memudahkan penulis dalam rangka terwujudnya penelitian ini, maka penulis memberikan batasan ruang lingkup penelitian hanya pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede.

2. Perumusan Masalah

(20)

poligami dari Pengadilan Agama, melainkan mereka malah melakukan manipulasi identitas.

Hal inilah yang menyebabkan penulis hendak menulis skripsi ini. Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Siapakah pihak yang melakukan manipulasi identitas dalam perkawinan?

2. Apa yang menjadi sebab terjadinya manipulasi identitas dan akibat apa yang ditimbulkan dari adanya manipulasi tersebut?

3. Apa saja upaya yang dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam mencegah terjadinya manipulasi identitas?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis mengadakan penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pihak yang melakukan manipulasi identitas dalam perkawinan. 2. Untuk mengetahui apa yang menjadi sebab manipulasi identitas itu terjadi dan

akibat apa yang ditimbulkan dari adanya manipulasi tersebut.

3. Untuk mengetahui langkah apa yang dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam mencegah terjadinya pemalsuan identitas.

2. Manfaat Penelitian

(21)

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan perkembangan Ilmu Hukum Keperdataan Islam pada khususnya.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sanksi pidana tentang pelanggaran manipulasi identitas.

3. Sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah khususnya Kantor Urusan Agama untuk lebih baik dalam kinerjanya.

D. Review Studi Terdahulu

Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga ke-orisinilan penelitian ini, penulis melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Adapun review kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis antara lain:

“Efektivitas KUA Dalam Upaya Mencegah Terjadinya Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan” (Studi Kasus di KUA Kec. Duren Sawit Jakarta Timur), yang ditulis oleh Siti Sariah.

(22)

“Kebohongan (Pemalsuan Dokumen) Dapat Membatalkan Perkawinan” (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1472/Pdt.G/2008/PA.JS), yang ditulis oleh M. Rizky Affandi.

Skripsi ini membahas putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang membatalkan suatu perkawinan karena adanya gugatan dari pihak istri yang merasa dirugikan karena suaminya tersebut telah menikah lagi tanpa sepengetahuan dan tanpa izin dari istrinya. Landasan Hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim membatalkan perkawinan tersebut dikarenakan tidak memenuhi pasal 3, 4, 5, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 56 dan 58 Kompilasi Hukum Islam dan memutus perkara berdasarkan pasal 22 dan 24 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan, melalui pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.

(23)

Data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede. Data ini meliputi dengan hasil wawancara dengan pihak Kantor Urusan Agama dan memperoleh informasi dari pihak-pihak yang terkait.

2) Data Sekunder

Data sekunder yakni sumber data dari studi kepustakaan diambil dari buku-buku, internet, dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan manipulasi identitas dalam perkawinan. Untuk mendapatkan data, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan.

c. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah voice recorder dalam wawancara dengan pihak KUA dan pihak-pihak yang terkait.

d. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode penelitian lapangan (field research) yaitu pengumpulan data dengan cara langsung ke lapangan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi melalui teknik pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data untuk menunjang penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode, diantaranya:

(24)

2) Wawancara, penulis menggunakan teknik ini karena teknik wawancara sebagai teknik tanya jawab secara lisan yang berpedoman pada daftar pertanyaan terbuka. Dengan demikian, dapat diperoleh dari jawaban responden sedalam-dalamnya tanpa ada unsur keterpaksaan, dan teknik ini penulis tujukan kepada pihak KUA Kadugede juga para pihak yang mengetahui serta berkecimpung langsung dalam bidang perkawinan yang dimaksud.

3) Dokumentasi, teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data penulis butuhkan, yaitu dengan melihat dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang ada di KUA kecamatan Kadugede.

e. Analisa Data

Setelah data terkumpul, lalu dianalisa dengan analisa kualitatif lalu diinterpretasi sedemikian rupa dengan metode deduktif. Penelitian ini menggunakan konten analisis yaitu tehnik analisis yang berusaha menyimpulkan dengan mengambil bagian atau hal yang bersifat khusus dalam bentuk kasus dan data menajdi kesimpulan umum yang berlaku secara general.

2. Teknik Penulisan

(25)

F. Kerangka Teori

Dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemeritah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain mengatur tentang rukun dan syarat-syarat perkawinan, maka terciptalah kepastian hukum dalam urusan perkawinan pada khususnya, dan pada masalah keluarga pada umumnya.

Pada dasarnya perkawinan dapat dilangsungkan bila sudah ada sebab-sebab, rukun dan syaratnya serta sudah tidak ada lagi hal-hal yang menghalangi terjadinya perkawinan itu. Pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu sudah mengevaluasi sendiri segala persyaratan kelangsungan perkawinan itu. Umpamanya, saksi tidak akan mau menyaksikan suatu perkawinan bila ia yakin bahwa laki-laki dan perempuan terlarang untuk melangsungkan perkawinan. Begitu pula wali tidak akan melaksanakan perkawinan jika calon menantunya itu tidak seagama dengan anaknya.

(26)

Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah asas yang dianut oleh undang-undang sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance). Di samping itu lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami akan tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan).7 Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada peryataan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Oleh karena itu, Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai suatu lembaga yang bertugas untuk memberikan perlindungan, pembinaan dan pengembangan kepada masyarakat dalam bidang keagamaan harus senantiasa optimal dalam melaksanakan tugasnya. Pencatatan perkawinan yang telah dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA), selain memiliki kekuatan hukum juga harus dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, baik itu mengenai pelaksanaannya maupun isi dari pencatatan itu sendiri seperti data identitas diri dari kedua calon mempelai yang akan menikah benar adanya sehingga apabila ada seseorang yang sudah menikah dan berkeinginan untuk menikah lagi dengan cara memanipulasi identitasnya bisa dihindari dan dicegah. Sehingga apa yang ditulis maupun yang dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA)

7

(27)

merupakan sebuah kebenaran bukan hanya sebagai pencatatan yang hanya mengedepankan formalitas belaka.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis menjadikan lima bab, pada setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik-topik tertentu yaitu :

Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Teoritis tentang Perkawinan yang terdiri dari pengertian dan dasar perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, dan tujuan perkawinan.

Bab III : Deskripsi Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede yang terdiri dari gambaran umum kantor urusan agama kecamatan cibingbin, tugas dan fungsi kantor urusan agama, dasar hukum pembentukan kantor urusan agama, dan kinerja organisasi kantor urusan agama.

Bab IV : Kinerja Kantor Urusan Agama Dalam Mencegah Terjadinya Pemalsuan Identitas yang terdiri dari prosedur administrasi perkawinan, manipulasi identitas dalam perkawinan, upaya pencegahan manipulasi identitas dalam perkawinan, dan analisis penulis.

(28)

18 BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN

A Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan “al-nikah” yang bermakna “al-wath’i” dan “al-dhammu wa al-dukhul” yang artinya bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.8 Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, seperti yang dikutip Amiur Nuruddin, perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita atau melakukan al-wath’i dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau persusuan. Bahkan beliau juga memberikan definisi lain, yaitu “Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya”.9 Sedang menurut Hanafiah, nikah adalah akad yang

8

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet. ke-3, h. 518.

9

(29)

memberikan faedah untuk memberikan kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya perkawinan tersebut secara syar’i.10

Di Indonesia juga, para pakar hukumnya memberikan definisi perkawinan, diantaranya: Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram, dan bahagia.11 Hazairin menyatakan dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada perkawinan bila tidak ada hubungan seksual,12 senada dengan Hazairin, Yunus Mahmud mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan seksual. sedangkan Ibrahim Hoesein mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang dengannya menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita.13

Pengertian-pengertian di atas nampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang semula dilarang menjadi diperbolehkan. Nampaknya yang lebih menarik adalah definisi yang diberikan Tahir Mahmood. Beliau mendefinisikan

10

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 45.

11

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1989), Cet. Ke-5, h. 47.

12

Hazairin, Hukum Keluarga Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), h. 61.

13

(30)

perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran ilahi.14 Definisi lain yang diberikan Tahir Mahmood terkesan lebih lengkap dan bergerak dari definisi ulama konvensional. Tidak terlalu berlebihan jika definisi tersebut senada dengan definisi yang diberikan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang termuat pada pasal 1 ayat (2) perkawinan didefinisikan sebagai “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan, antara lain:

Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat. Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami-isteri” mengandung makna bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

Ketiga, dalam definisi juga disebutkan tujuan perkawinan, yaitu “membentuk rumah

14

(31)

tangga yang bahagia dan kekal”, yang menafikan perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.15

Keempat, disebutkannya “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

Di samping definisi yang diberikan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia juga memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi yang diberikan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana yang terdapat pada pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dengan rumusan sebagai berikut, “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Ungkapan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “Ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.

Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan dari ungkapan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama, oleh

15

(32)

karena itu, orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. 2. Dasar Hukum Perkawinan

Nikah telah disyari’atkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun ayat yang menunjukkan nikah disyari’atkan adalah firman Allah SWT dalam surat al-Nur 24: 32 yang berbunyi:

”Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang

yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Nur :32)

Dalam firman Allah SWT yang lain dalam Surah al-Nisa 4 ayat 3 yang berbunyi:

”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. al-Nisa : 3)

(33)

ﻦﻤﺎ ﺸ ارﺸ ﻤﺎﻴ

ﻦ ﺤأﻮﺮ

ضﻏأ

ﻪ ﺈ

جﻮز ﻴ

ةﺀﺎ ا

ﻢآ ﻤ

عﺎط ﺴا

ﺀﺎﺠ

ﻪ ﺈ

ﻢﻮ ﺎ

ﻪﻴ

جﺮ

ط

مﻟ

ﻦا

“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa itu adalah penawar”.(HR.Bukhari-Muslim).16

Adapun hukum menikah bagi setiap muslim dapat di bagi kedalam empat bagian, yaitu sebagai berikut:

a) Wajib hukumnya bagi orang yang mampu untuk menikah dan khawatir akan melakukan perbuatan zina menurut jumhur ulama. Karena dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram.17

b) Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudharat kepada istrinya karena ketidak mampuan dalam memberi nafkah lahir dan batin.

c) Sunah hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang apabila tidak menikah sanggup menjaga dirinya untuk tidak melakukan perbuatan haram dan apabila ia menikah harus yakin tidak akan menzalimi & membawa mudharat kepada istrinya Rasulullah SAW bersabda:

سﻴ

ن

ﻏﺮ

نﻤ

ﺀﺎﺴ اجو

ﺰ أو

دﻗﺮأو

أو

مو أ

ﻜ و

16

Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Jilid 6 h. 117, dan Sahih Muslim, Kitab al-Nikah hadis no. 1400, jilid 2 h.1019.

17

(34)

“Akan tetapi saya juga berpuasa, berbuka, shalat, bersenggama dan menikahi wanita-wanita. Maka barang siapa yang tidak suka sunnahku aka tidak termasuk dari umatku”. (HR.Bukhari-Muslim).18

d) Makruh hukumnya menikah bagi orang yang khawatir akan berbuat nista dan membawa mudharat kepada istrinya dan tidak merasa yakin dapat menghindarinya jika ia menikah seperti merasa tidak mampu memberi nafkah, perlakuan tidak baik kepada istri serta merasa tidak terlalu berminat terhadap perempuan.19

B. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram dalam shalat atau adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam hal perkawinan. Adapun syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Seperti menutup aurat dalam shalat atau calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam.

Dalam hal menempatkan mana yang rukun dan syarat pada perkawinan terdapat perbedaan di kalangan ulama, akan tetapi perbedaan tersebut tidak bersifat substansial. Ulama Hanafiah melihat perkawinan dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang menjadi

18

Sahih Bukhari, Kitab al-Nikah, hadits no. 1743, dan Sahih Muslim, Fi al-Nikah, Bab Istihbab al-Nikah liamn taqat nafsuhu ilaih, hadits no. 1301.

19

(35)

rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah ijab dan qabul dalam akad nikah yang dilakukan oleh pihak yang melakukan perkawinan, sedangkan yang lain seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan.20

Menurut Ulama Syafi’iyah yang dimaksud perkawinan adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah. Dengan demikian rukun perkawinan menurut pendapat golongan ini adalah calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan ijab qabul (sighat). Adapun menurut Malikiyah yang menjadi rukun dalam perkawinan adalah wali, mahar, calon suami-isteri, dan sighat.21

Dibalik perbedaan para ulama tentang penempatan rukun dan syarat dalam perkawinan sesungguhnya ada persamaan yang sangat kompak, yaitu ketika semua fuqaha menempatkan sighat (ijab qabul) sebagai rukun nikah yang paling mendasar.22 Atas dasar ini maka substansi dari akad nikah pada dasarnya tidak lain ialah pengungkapan (pernyataan) ijab qabul.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwasanya yang menjadi rukun dalam perkawinan antara lain:

a. Calon suami b. Calon istri

20

Amir Sayarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 60.

21

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa M.A. Abdurrahman, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1990), h. 365.

22

(36)

c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab dan qabul.23

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan adalah sebagai berikut:24

a. Calon suami, syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam

2. Laki-laki 3. Jelas orangnya

4. Dapat memberikan persetujuan 5. Tidak terdapat halangan perkawinan b. Calon istri, syarat-syaratnya:

1. Beragama Islam 2. Perempuan 3. Jelas orangnya

4. Dapat dimintai persetujuan

5. Tidak terdapat halangan perkawinan

Berbeda dengan persfektif fikih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

23

Hal ini juga senada dengan Kompilasi Hukum Islam yang mencamtumkan rukun dalam perkawinan, sebagaimana yang terdapat pada pasal 14 dengan rumusan sebagai berikut, “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada; (a) Calon suami; (b) Calon isteri; (c) Wali nikah; (d) Dua orang saksi; dan (e) Ijab Kabul.

24

(37)

Perkawinan tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Dalam Bab II pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditemukan syarat-syarat perkawinan, antara lain sebagai berikut:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2) Perkawinan harus sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak.

3) Adanya pembatasan usia perkawinan, yaitu sekurang-kurangnya berumur 19 tahun bagi pria (calon suami) dna 16 tahun bagi wanita (calon istri).

c. Wali nikah, syarat-syaratnya : 1. Laki-laki25

2. Beragama Islam. 3. Dewasa

4. Mempunyai hak perwalian

5. Tidak terdapat halangan perwaliannya.

Para fuqaha sepakat bahwa wali nikah ada dua macam, yaitu: Pertama, wali nasab, yaitu orang yang memiliki hak perwalian karena adanya hubungan darah.26 Kedua, wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai

25

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Alih Bahasa Mohammad Thalib, (Bandung: PT. Alma’arif, 1981), Cet. ke-1, h. 7.

26

(38)

hakim atau penguasa.27 Hal ini juga sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam dalam bagian ketiga mengenai wali nikah, sebagaimana terdapat dalam pasal 1928, 2029, dan 2330.

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya : 1. Minimal dua orang saksi 2. Laki-laki

3. Beragama Islam. 4. Dewasa

5. Berakal sehat

6. Hadir pada ijab qabul

7. Dapat mengerti maksud akad 8. Dapat mendengar dan melihat

Dalam pembahasan masalah saksi dalam perkawinan, Kompilasi Hukum Islam juga masih senada dengan fikih konvensional yang juga membahas tentang saksi dalam perkawinan. Ketentuan saksi dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada

27

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, h. 75.

28

Kompilasi Hukum Islam pasal 19, “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.

29

Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat (1), “Yang bertindak wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig”; ayat (2), “Wali nikah terdiri dari a. Wali nasab, b. Wali hakim”.

30

(39)

pasal 2431, 2532, dan 2633.

e. Ijab qabul, syarat-syaratnya :34

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2. adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

3. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kedua kata tersebut. 4. Antara ijab dan qabul bersambungan

5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6. Orang yang sedang dalam ijab qabul tidak sedang dalam ihram (haji atau umrah)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Mungkin dikarenakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata.35 Namun Kompilasi Hukum Islam secara tegas mengatur akad perkawinan

31

Kompilasi Hukum Islam pasal 24 ayat (1), “Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah”; ayat (2), “Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi”.

32

Kompilasi Hukum Islam pasal 25, “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak tergannggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli”.

33

Kompilasi Hukum Islam pasal 26, “Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”.

34

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Persada Media, 2003) hal. 91.

35

(40)

dalam pasal 2736, 2837, dan 2938 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh (fiqh minded).

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Apabila dilaksanakan akad nikah yang sah, maka mulai saat itu berarti antara kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan perkawinan dan telah resmi hidup sebagai suami istri. Dengan terbentuknya sebuah keluarga maka suami istri harus mewujudkan tujuan perkawinan yaitu untuk membina kelurga yang bahagia, kekal, abadi berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terwujudnya tujuan tersebut sudah barang tentu sangat tergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab masing-masing pihak baik istri maupun suami. Oleh sebab itu, perkawinan tidak saja dipandang sebagai media merealisasikan syari’at Allah SWT agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban keduanya.

Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang mesti diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri

36

Kompilasi Hukum Islam Pasal 27, “Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas berurutan dan tidak berselang waktu”.

37

Kompilasi Hukum Islam Pasal 28, “Nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain”.

38

(41)

dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan begitu pula istri mempunyai hak. Dibalik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula istri mempunyai beberapa kewajiban.

Penetapan hak dan kewajiban suami-istri tersebut harus dilandasi oleh prinsip keseimbangan dan keadilan antara suami-istri agar terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Adapun hak dan kewajiban suami-istri yang dilandasi oleh prinsip keseimbangan dan keadilan adalah sebagai berikut:39

1. Suami istri wajib saling memperlakukan pasangannya dengan baik, tidak hanya meliputi aspek fisik, tetapi juga aspek psikis. Perlakuan baik itu, secara paralel adalah kewajiban sekaligus hak bagi suami dan istri. Dalam bahasa fiqh, perlakuan baik itu lebih terkenal dengan istilah mu’asyarah bi al-ma’ruf.

2. Suami istri wajib saling melayani dan memuaskan kebutuhan seksual pasangannya.

3. Suami istri wajib saling melengkapi dan saling menjaga nama baik pasangannya. 4. Suami istri wajib saling melibatkan pasangannya untuk mengambil keputusan

yang menyangkut kepentingan keluarga.

5. Suami istri wajib saling menjaga diri dan keluarganya dari kemaksiatan.

6. Suami istri wajib saling menjaga harta masing-masing, harta bersama, dan harta pasangannya.

39

(42)

7. Suami istri saling saling mewarisi harta peninggalan pasangannya. Apabila suami meninggal dunia, maka istri berhak mendapatkan harta peninggalan suaminya. Begitu pula sebaliknya, jika yang meninggal dunia adalah isteri, maka suami berhak mendapatkan harta peninggalan isterinya.

8. Suami istri sama-sama memiliki hubungan mushaharah dengan keluarga pasangannnya. Suami haram menikahi mertuanya dan anak perempuan isterinya, dan begitu pula isteri haram dinikahi oleh ayah suaminya, dan seterusnya.

9. Apabila dari pernikahan itu memperoleh anak, maka suami dan isteri berhak atas anak tersebut dengan status sebagai bapak dan ibunya. Oleh karena itu suami istri sama-sama berkewajiban mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anak mereka.

Tampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan aturan yang jelas berkenaan hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami istri menurut UU No. 1/1974 sebagai berikut:

a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

b. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di dalam masyarakat.

c. Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.40

40

(43)

Teranglah bahwa, kehidupan perkawinan tidak berhenti pada selesainya upacara akad nikah, namun arti perkawinan sesungguhnya ialah tetap terbinanya hubungan suami isteri pada kehidupan yang harmonis. Hal ini dapat terlaksana dengan baik apabila keduanya mau memahami posisinya dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Dalam hal ini Islam dan perundang-undangan telah mengatur dengan baik, dengan memberikan pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Sehingga hal-hal seperti ketidakharmonisan, perpecahan, dan sampai pemutusan perkawinan dapat dihindari.

D. Tujuan Perkawinan

Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan. A. Basiq Djalil membagi tujuan perkawinan ke dalam tiga segi, pertama menurut al-Qur’an, kedua menurut hadis dan ketiga menurut akal.

a. Menurut Al-Qur’an

Menurut Al-Qur’an ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’araf : 189, menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk

bersenang-senang.41

Dalam Firman Allah SWT dalam surat al-A’araf ayat 189 yang berbunyi:

41

(44)

”Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Rabbnya seraya berkata: Sesungguhnya jika Engkau memberi anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS. Al-A’raf : 189)

Ayat di atas menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang lebih penting), karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Kedua, firman Allah SWT dalam surat al-Rum : 21 yang berbunyi:

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. Al-Rum : 21)

(45)

1) Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang. Maksudnya, sebuah perkawinan dapat menyebabkan ketenanan jiwa bagi pelakunya.

2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah waddah yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda dimana cintanya sangat tinggi,termuat kandungan cemburu, sedang rahmat/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi sering dan sering meluap-luap.42

3) Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedang mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah bergejolak wujud cinta (mawaddah) dan ada pada mereka, tetapi rahmat (sayang). Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan gosip, sedang cinta (mawaddah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gosip.43

b. Menurut Hadits

Menurut hadits ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadis,

42

Basiq Djalil Op.Cit., hal. 87.

43

(46)

Pertama, untuk menundukkan pandangan dan menjaga farj (kemaluan). Itulah makanya nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Oleh karena itu, Nabi menganjurkan bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materil belum memungkinkan.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

ﻦﻤﺎ ﺸ ارﺸ ﻤﺎﻴ

ﻦﻤﻮ

جﺮ

ﻦ ﺤأﻮﺮ

ضﻏأ

ﻪ ﺈ

جﻮز ﻴ

ةﺀ

ﺎ ا

ﻢآ ﻤ

عﺎط ﺴا

ﺀﺎﺠﻮ

ط ﺴﻴ

ﻪ ﺈ

ﻢﻮ ﺎ

ﻪﻴ

“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa itu adalah penawar”.(HR.Bukhari-Muslim).44 Kedua, sebagai kebanggaan nabi dihari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi menyatakan jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kualitas rendah tetap saja nabi mencelanya. Disitulah kandungan makna bahwa kualitas itu sangat diperlukan.45

c. Menurut Akal

Menurut akal sehat tujuan perkawinan ada tiga macam, yaitu:

Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 km, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 25.500 km, wilayah yang demikian luas tentunya

44

Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Jilid 6 h. 117, dan Sahih Muslim, Kitab al-Nikah hadis no. 1400, jilid 2 h.1019.

45

(47)

harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah SWT nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan jalan perkawinan.46

Kedua, bila manusia berjumlah banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi atau tertib, maka akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anaknya siapa dan bapaknya siapa.47

Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Oleh karena itu, untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yaitu dengan jalur perkawinan yang sah.48

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mencantumkan tujuan dari sebuah perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk mencapai tujuan itu suami-isteri harus saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam membantu dan

46

A. Basiq Djalil, h. 89.

47

Ibid, h. 89.

48

(48)

mencapai kesejahteraan spiritual dan material.49 Hal senada juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang menyatakan, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Tujuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ini merujuk kepada firman Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21.

Menurut M. Mansur bin Mashadi yang menjadi tujuan dari sebuah perkawinan yaitu: perkawinan berguna untuk memelihara anak cucu (keturunan) sebab bila tidak ada tali perkawinan tentulah anak tidak tentu siapa yang akan mengurusnya dan siapa pula yang bertanggung jawab atasnya. Pernikahan juga dipandang sebagai kemaslahtan umum, karena apabila tidak dengan pernikahan, tentu manusia akan menentukan dengan menurutkan sifat kebinatangan untuk mencari kepuasan, ini akan menimbulkan perselisihan, bencana dan permusuhan antar sesamanya.50

Demikan juga halnya yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 menyatakan bahwa tujuan dari pernikahan adalah menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hal ini dituliskan sebagai berikut:

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

Tujuan lain dari perkawinan dalam Islam ialah untuk memenuhi tuntutan hajat

49

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Madav Maju, 1990), h. 11.

50

(49)

tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan syara’.51

Perkawinan menurut Islam bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah (tenteram, cinta, dan kasih sayang).52

Banyak tujuan yang hendak dicapai pernikahan. Agama Islam telah mensyariatkan tentu didalamnya terdapat tujuan yang hendak dicapai melalui pernikahan tersebut. Diantara tujuan pernikahan tersebut adalah:

1. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung cita-cita, ini dimaksudkan bila seseorang telah menikah, ia akan membentuk suatu keluarga.dalam rumah tangga itu akan dilahirkan keturunan untuk melanjutkan apa-apa yang telah dicita-citakan oleh kedua orang tuanya. Dari keluarga itulah akan terbentuk suatu umat, yaitu umat Nabi Muhammad, umat yang mengemban dan berpegang teguh pada ajaran Islam.53

2. Untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat atau perbuatan dosa yang diharamkan oleh Allah SWT.

51

M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. ke-1, h. 27.

52

M. Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND HLLCO, 1990), h. 47-48.

53

(50)

3. Untuk menimbulkan rasa cinta antar suami istri khususnya dan menimbulkan rasa kasih sayang untuk anggota keluarga pada umumnya.

4. Untuk menjalani dan menghormati sunnah Rasulullah. Beliau telah memerintahkan kepada umatnya untuk melakukan pernikahan sesuai dengan ajaran agama.

5. Untuk membersihkan keturunan. Di sini dimaksudkan adalah agar generasi umat ini ada yang mengurus dan ada juga yang bertanggung jawab, karena anak tersebut telah jelas siapa bapak dan ibunya. Apabila seorang anak lahir luar nikah jelas sulit bagi kita untuk mempertanggungjawabkan anak tersebut. Ayah tidak bertanggung jawab, dan ibunya pun tidak bertanggung jawab.54 Begitulah tujuan perkawinan untuk memperjelas status anak sehingga jelas siapa yang berhak dan bertanggung jawab kepadanya.

Menurut M. Yunus, yang menjadi tujuan dai sebuah perkawinan adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh ketentraman yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.55

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1, dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa), selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami istri perlu saling membantu

54

Aminullah. J, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, (Bandung: Pelajar Bandung, 1972), h. 22.

55

(51)

dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material.56 Hal senada juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang menyatakan, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Tujuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ini merujuk kepada firman Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21.

Menurut Imam Ghazali, seperti yang dikutip Abdurrahman Ghazaly, tujuan perkawinan ada lima macam yaitu:57

1) Mendapatkan dan meneruskan keturunan yang sah.

2) Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayang

3) Memenuhi penggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan

4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungung jawab menerima hak serta kewajiban dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram

56

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Madav Maju, 1990), h. 11.

57

(52)

42 BAB III

DESKRPSI UMUM KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN KADUGEDE

A. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede Adanya pergeseran dan perubahan nilai-nilai agama di lapisan masyarakat yang diakibatkan oleh berkembangnya zaman yang menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kaidah agama Islam, sehingga kerap kali terjadi perceraian, nikah bawah tangan maupun pembagian warisan yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada sehingga dapat meresahkan masyarakat itu sendiri.58

Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) di tengah-tengah masyarakat sangat membantu dalam menangani hal-hal tersebut terutama di bidang perkawinan yang merupakan tugas utama dari Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga dengan adanya Kantor Urusan Agama (KUA) di masyarakat akan dapat mewujudkan suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.59

Secara struktural Kantor Urusan Agama (KUA) hanya sebagai unit terkecil dari Departemen Agama. Walaupun demikian dalam kinerjanya Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, sehingga dalam melaksanakan tugas-tugasnya Kantor Urusan Agama (KUA) harus

58

Muhammad Zain & Mukhtar Al-Shadi, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta : Graha Cipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 80.

59

(53)

berusaha semaksimal mungkin dan berupaya untuk terus mengembangkan dan menerapkan sistem pertanggungjawaban yang valid, akurat, dan realible, sehingga tugas-tugas yang dibebankan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) itu dapat berjalan secara efektif, efesien, clean, dan accountable.60

Sebagai ujung tombak dari kinerja Departemen Agama, tugas KUA berhubungan langsung dengan masyarakat dalam pelayanannya di bidang keagamaan. Tugas pokok KUA Kecamatan Kadugede yakni melaksanakan sebagian tugas dari kantor Departemen Agama Kota Kuningan dalam bidang agama Islam. Pembangunan dalam bidang agama merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kerangka pembangunan nasional yang bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan mampu menciptakan keseimbangan, baik dalam hidup manusia secara pribadi maupun hubungan dengan pencipta, masyarakat dan alam lingkungannya.61

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan sentral umat Islam dalam membina rumah tangga yang sakinah serta menumbuhkan rasa keimanan dan ketaqwaan sekaligus mempererat hubungan ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam.62

Tuntutan pembaharuan dan perubahan di segala bidang, merupakan suatu bukti bahwa bergulirnya roda reformasi adalah suatu proses perubahan untuk

60

Toto Sartono, Kepala KUA Kecamatan Kadugede, Wawancara Pribadi, Kuningan, 23 Maret 2010.

61

Rohaedi, Kepala Seksi URAIS Kementerian Agama Kuningan, Wawancara Pribadi, Kuningan 22 Maret 2010.

62

(54)

terciptanya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara sadar, berencana, terarah, menyeluruh dan berkesinambungan menuju tercapainya cita-cita pembangunan nasional.63

Dengan demikian Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede, tidak bisa melepaskan diri dari ruh reformasi dan cita-cita pembangunan nasional. Dengan dedikasi dan persamaan persepsi dalam melaksanakan program kerja yang terarah dan terkendali.64

Suatu organisasi akan dinilai baik apabila kinerja yang dilakukannya telah sesuai dengan visi dan misi yang dijalankan secara efektif, sehingga tugas-tugas pokok yang dibebankan pada KUA dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Dengan adanya tugas pokok inilah maka suatu organisasi akan menjalankan fungsi-fungsinya sehingga dapat dirasakan efektif oleh masyarakat yang dijadikan sebagai objek utama dari adanya KUA.

Kantor Urusan Agama (KUA) menurut KMA No. 517 Tahun 2001 merupakan lembaga pemerintah yang berkedudukan di wilayah kecamatan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Departemen Agama Kabupten/Kotamadya di bidang urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan.65

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah sebuah lembaga yang berada di bawah

63

Rohaedi, Kepala Seksi URAIS Kementerian Agama Kuningan, Wawancara Pribadi, Kuningan 22 Maret 2010.

64

Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede.

65

(55)

naungan Departemen Agama yang berkedudukan di tiap Kecamatan. Adapun tugas pokoknya adalah untuk mengawasi, mencatat terjadinya sebuah perkawinan dan rujuk serta mendaftar cerai talak dan cerai gugat di Kecamatan.66

Dalam melaksanakan sebagian tugas Departemen Agama di bidang urusan Agama Islam, berdasarkan KMA No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) mempunyai tugas, yaitu :

1. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi

2. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan Agama.

3. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyeleggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, Kantor Urusan Agama (KUA) berfungsi mengerjakan tugas Direktorat Pendidikan Agama Islam pada masyarakat dan Pemberdayaan Masjid. Padahal sejak turunnya KMA No.1 Tahun 2001 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, bidang pembinaan Zakat dan Wakaf serta pembinaan masjid yang dahulunya menjadi Subdirektorat Urusan Agama Islam menjadi Direktorat tersendiri sebagaimana yang telah

66

(56)

disebutkan. Dengan demikian sejak adanya KMA No. 1 Tahun 2001 tersebut, Kantor Urusan Agama (KUA) selain melaksanakan tugas dari Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid.

Disamping itu, berdasarkan pasal 179 KMA No. 1 Tahun 2001 tersebut, walaupun ada dua subdirekorat menjadi Direktorat tersendiri, Direktorat Urusan Agama Islam mendapatkan tugas dan fungsi baru yaitu melaksanakan pengembangan jalinan kemitraan dan ukhuwah islamiyah, dan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan di bidang pangan halal. Kedua tugas dan fungsi baru tersebut msing-masing menjadi Subdirektorat Pembinaan Pangan Halal dan Subdirektorat Pengembangan Kemitraan Umat. Namun demikikian kedua tugas dan fungsi baru ini berdasarkan KMA No. 517 Tahun 2001 belum dimasukkan menjadi tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA), padahal KMA yang terakhir ini ditetapkan setelah KMA No. 1 Tahun 2001.

Fungsi KUA sesuai dengan peraturan yang ada meliputi sebagai berikut: 1) Pelayanan administrasi perkawinan dan rujuk

2) Pembinaan perkawinan dan keluarga sakinah 3) Pembinaan kemasjidan

4) Pembinaan zakat, wakaf, ibadah sosial dan Baitul Maal 5) Pembinaan pangan halal

(57)

sangat strategis bila dihubungkan dengan keadaan lalu lintasnya karena berbatasan dengan Kota Kuningan sehingga ini mudah dijangkau walaupun hanya dengan kendaraan umum biasa.

Letak KUA kecamatan Kadugede selanjutnya akan diuraikan di bawah ini: - Sebelah Utara : Kecamatan Cigugur

- Sebelah Selatan : Kecamatan Nusaherang

- Sebelah Timur : Kecamatan Kuningan dan Ciniru - Sebelah Barat : Kecamatan Darma

Kantor KUA Kecamatan Kadugede berada pada jarak: - Ke Kantor Bupati : 4 Km - Ke Kantor Badan Koordinasi Wilayah Cirebon : 40 Km - Ke Ibu Kota Propinsi Jawa Barat : 145 Km - Ke Ibu Kota Negara Republik Indonesia : 286 Km

Luas wilayah Kecamatan Kadugede serta jumlah kelurahan dan yang lainnya dengan rincian sebagai berikut:67

1) Luas Wilayah : 1.842.992 Ha 2) Kepala Desa : 12 orang 3) Sekretaris Desa : 12 orang 4) Perangkat Desa : 93 orang 5) BPD : 12 orang 6) LPMD : 156 orang

67

(58)

7) RW : 44 orang

8) RT : 142 orang 9) Penduduk : 24.418 jiwa 10)Kepadatan : 1.283/km2 b. Kondisi Geografi

Luas Kecamatan Kadugede adalah 1.842.992 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 24.418 jiwa dan kepadatan penduduknya adalah 1.283 jiwa/km2.

Berdasarkan agama yang mereka anut bila dilihat dari jumlah penduduk adalah sebagai berikut:68

1. Pemeluk Agama Islam : 24.400 orang 2. Pemeluk Agama Katolik : 16 orang 3. Pemeluk Agama Protestan : -

4. Pemeluk Agama Hindu : 1 orang 5. Pemeluk Agama Budha : 1 orang

B. Dasar Hukum Pembentukan Kantor Urusan Agama (KUA)

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan instansi pemerintah yang berada di bawah naungan Departemen Agama yang bertugas menangani permasalahan di bidang agama Islam seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. Dasar hukum pembentukan Kantor Urusan Agama (KUA) yaitu:69

1. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk

68

Dokumen Kecamatan Kaduged

Referensi

Dokumen terkait

396 K/PDT/2009, MA RI menguatkan putusan- putusan pengadilan sebelumnya yang membebaskan tanah milik Limar Maryadi dari pembebanan Hak Tanggungan pada perjanjian kredit

menimbang bahwa terhadap keseluruhan memori banding dan pembanding ternyata tidak ditemukan hal-hal yang baru dapat melemahkan atau membatalkan putusan Pengadilan Tindak

Tegalwaru, masyarakat yang melakukan nikah di bawah tangan dan seorang staf yang bekerja di Pengadilan Agama serta data real yang diperoleh dari Pengadilan

Studi berjudul Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Ganti Rugi Kasus Pembakaran Hutan (Studi Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 51/PDT/2016/PT.PLG) Kebakaran

Putusan Pengadilan Agama Bukit Tinggi Nomor 618/Pdt.G/2012/PA.Bkt yang menetapkan dalam amar putusannya bahwa harta bersama dalam perkawinan dibagi menjadi 1/3

Skripsi yang berjudul PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTA KEDIRI DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN (Studi Kasus Putusan No. 0180/Pdt.G/2020/PA.Kdr) ini sebagai salah satu

Adapun kajian yang akan dibahas penulis adalah “Studi Komparasi antara Hukum Positif dan Hukum Islam tentang Menipulasi Akta Nikah dalam perkawinan” dari semua yang

produk ini berfungsi untuk mobilisasi pada saat evakuasi korban dari tempat kejadian ke posko darurat dimana produk ini bisa di lipat dan dimasukan ke tas agar Rescuer lebih