• Tidak ada hasil yang ditemukan

peran kantor urusan agama (KUA) dalam meminimalisasi nikah dibawah tangan (Studi di Kecamatan Tegalwaru, Karawang, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "peran kantor urusan agama (KUA) dalam meminimalisasi nikah dibawah tangan (Studi di Kecamatan Tegalwaru, Karawang, Jawa Barat)"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : BADRU TAMAM NIM: 1111044100032

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A K H S H I Y Y A H )

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v Jawa Barat)

Pernikahan di bawah tangan biasa disebut dengan Nikah Sirri (Rahasia) atau nikah Urfi berdasarkan adat. Nikah di bawah tangan pada sebagian masyarakat, terutama umat Islam Indonesia sudah cukup banyak dikenal. Terutama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kedua peraturan tersebut secara esensi menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dilakukan menurut kepercayaan (agama) masing-masing, dan harus dicatatkan agar memiliki kekuatan Hukum. Selanjutnya bagi masyarakat yang melakukan pernikahan di bawah tangan dan ingin memiliki bukti otentik (Buku Akta Nikah) haruslah terlebih dahulu mengajukan permohonan Istbat Nikah (Penetapan/Pengesahan) kepada Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran KUA dalam meminimalisir nikah di bawah tangan yang berada didaerah Kecamatan Tegalwaru Karawang. Adapun data yang digunakan dalam penulisan penelitian skripsi ini adalah data yang bersifat primer yaitu data yang diperoleh dengan melakukan wawancara kepada para responden, yaitu para pelaku nikah di bawah tangan, dan juga dengan Ketua KUA yang berada di Kecamatan Tegalwaru. Selain itu Penulis juga melakukan wawancara dengan Staf pegawai Pengadilan Agama Karawang seputar masalah nikah dibawah tangan Dalam penelitian ini membatasi masalah nikah di bawah tangan yang terjadi hanya di tahun 2014 saja. Selain menggunakan data primer, penulis juga menggunakan data yang bersifat sekunder yaitu data yang menunjang kelengkapan yang dilakukan dengan cara studi pustaka.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa peran KUA dalam meminimalisir nikah di bawah tangan adalah Pertama, melakukan sosialisasi tentang pentingnya pencatatan pernikahan dan dampak buruknya terhadap keluarga, terutama ibu dan anak melalui seminar-seminar dan pengajian-pengajian. Kedua, melakukan penyuluhan-penyuluhan Pencatatan Pernikahan dan Keluarga Bahagia yang dilakukan oleh Badan Penasehat Perkawinan (BP4) di Kantor Urusan Agama kepada calon pengantin dan wali. Ketiga, saling bekerjasama dengan rekan kerjanya yang berada di setiap desa yaitu P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah/ Amil Desa) bersama staff aparatur desa melakukan penyuluhan setiap 2 Bulan sekali kepada masyarakat.

Dosen Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A

(6)

vi

اَسلا اَصلا ، يدلا ي ّدلا ر أ ى ع يعتس هب ، ي ل علا ر ه د حلا

ى ع م دَ ح ي ، ي سر لا فرشأ ى ع

ع ت

يعب َتلا هب حصأ هلآ

يدلا ي ىلإ سحإب

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan, yang telah memberikan nikmat dan ujian, yang telah memberikan kekuatan dan kesabaran kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan tugas akhir perkuliahan pada tingkat Strata 1 ini (Skripsi). Shalawat beriring dengan salam marilah kita curah limpahkan kepada junjungan manusia, mahluk yang tidak memiliki dosa (ma‟sum), mahluk yang memiliki derajat yang paling tinggi diantara mahluk-mahluk lainnya, mahluk yang merubah peradaban dunia yaitu Nabi Besar Muhammad SAW, kepada para keluarganya, kepada sahabat-sahabatnya, serta kepada para pengikutnya hingga akhir zaman semoga kita mendapatkan pertolongannya di hari kiamat kelak.

Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “Peran Kantor

(7)

vii

Hal tersebut dikarenakan keterbatasan akan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis.

Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada Ibu Dr. Hj. Azizah MA selaku dosen pembimbing Skripsi yang telah memberikan begitu banyak kontribusi berupa saran-saran yang bersifat konstruktif, meluangkan banyak waktu dalam penyusunan serta motivasinya dalam menyusun skripsi ini, serta tak lupa pula penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D. Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik bapak/ibu dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, maupun para staff yang telah membantu kelancaran administrasi.

2. Drs. Abdul Halim, M.Ag dan Arip Purkon, MA sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidatullah Jakarta.

3. Dr. H. Supriyadi Ahmad M.A sebagai Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai.

(8)

viii

ibuku tersayang Dra. Hj. Sugiharti serta saudara-saudara kandungku yang tercinta, teruntuk kaka dan keluarga (Rusyda Kamelia Am. Keb dan Asep Wahyu Sopanji serta buah hati mereka yaitu dede Muhammad Azka Kenanda), teruntuk abangku terganteng Bukhari Muslim, S.Pd, serta adik-adikku tersayang Maya Sofia Azqia, Fauzan Muhammad Iqbal dan Aulia Tazqia Ramadhani yang telah mencurahkan kasih sayang serta do‟a nya yang terus menerus diucap nan lantunkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya.

6. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tegalwaru yaitu Bubun Gustani, S.Ag beserta para staf jajarannya, yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan data dan informasinya yang amat sangat berguna dalam penyusunan skrispsi ini.

7. Kepada Farhan Asyhadi, S.Ei., M.H staf pegawai Pengadilan Agama, yang telah membantu dalam memberikan data dan informasinya yang amat sangat berguna dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kepada adik angkatku tersayang Indriyani Lestari Mahasiswi STIKES Widya Dharma Husada yang tidak pernah bosan mengingatkan saya untuk selalu semangat mengerjakan tugas akhir perkuliahan ini.

(9)

ix

telah memberikan semangat dan warna kepada penulis selama ini. 11.Seluruh teman-teman SAS (PA A/B dan AKI) angkatan 2011

12. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatunya terima kasih atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Akhirnya segala usaha dan doa telah penulis lakukan, semoga apa yang telah penulis ikhtiarkan dalam penyusunan skripsi ini menjadi suatu pengalaman yang baik dan mendapatkan hasil yang baik pula. Hanya kepada Allah SWT lah kita beribadah dan memohon pertolongan, semoga karya tulis ilmiyah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pada para pembaca. Amieen……

Ciputat, 12 Oktober 2015

(10)

x

ABSTRAKSI………..

KATA PENGANTAR……….. vi

DAFTAR ISI………. x

BAB I PENDAHULUAN ………. 12

A. Latar Belakang Masalah………... 12

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………. 21

C. Tujuan Penelitian ……… 23

D. Manfaat Penelitian………... 23

E. Metode Penelitian ………... 24

F. Review Studi Terdahulu……….. 26

G. Sistematika Penulisan……….. 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH ………. 29

A. Pengertian………. 29

B. Dasar Hukum………... 36

C. Rukun dan Syarat ……… 45

D. Tujuan dan Hikmah….……… 56

E. Nikah di Bawah Tangan ………. 66

F. Sebab dan Akibat Nikah di Bawah Tangan………. ... 69

G. Nikah di Bawah Tangan Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974………..……….…. 74

H. Nikah di Bawah Tangan Perspektif Hukum Islam………. 79

BAB III PROFIL KUA KEC. TEGALWARU KARAWANG JAWA BARAT ………... 89

A. Kondisi Umum……….. 89

B. Struktur Organisasi……… 94

C. Tugas dan Wewenang……… 95

D. Tata Cara Pencatatan Perkawinan ………. 99

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ……….. 108

A. Peran KUA dalam Meminimalisir Nikah di Bawah Tangan …….. 108

B. Kendala yang dihadapi oleh KUA dalam Meminimalisir Nikah di Bawah Tangan ………. 115

C. Analisis Penulis……… 118

BAB V PENUTUP ………. 122

A. Kesimpulan………. ……. 122

B. Saran-saran………..……. 126

DAFTAR PUSTAKA ……… 128

(11)

xi

Agama………... 135

(12)

12

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya perkawinan yang dilakukan dengan

diawali mengikat perjanjian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk menjalin hubungan rumah tangga, perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjalin hubungan suami istri secara sah yang disaksikan oleh beberapa orang dan dibimbing oleh wali (dari pihak perempuan).1

Perkawinan bukan hanya sekedar untuk menyalurkan nafsu seksual menurut cara yang sah, melainkan ia mengandung nilai-nilai yang luhur yang dicapai melalui perkawinan. Salah satu tujuan utama perkawinan adalah memperoleh keturunan dan membangun rumah tangga. Rumah tangga itu sendiri merupakan suatu kumpulan dari masyarakat terkecil, yang terdiri dari pasangan suami, istri, anak-anak, mertua dan sebagainya. Terwujudnya suatu rumah tangga yang sah setelah didahului oleh akad nikah atau perkawinan sesuai dengan ajaran agama dan memenuhi beberapa syarat. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

1

(13)

Esa”.2

Sedangkan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan yaitu akad yang sangat kuat atau mistaqon gholidzon3untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4

Apabila akad nikah telah berlangsung dan telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka menimbulkan akibat hukum.5 Dengan demikian, akad tersebut juga menimbulkan hak dan kewajiban sebagai suami istri dalam keluarga yang meliputi hak suami istri secara bersama, hak suami atas istri dan hak istri atas suami. Termasuk didalamnya adalah adab suami terhadap istrinya seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan hak disini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang harus dilakukan seseorang terhadap orang lain.

Begitu pula dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga, adanya hak dan kewajiban suami istri yang menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan istri juga mempunyai kewajiban, kewajiban istri adalah hak bagi suami. Hak istri semisal hak suami yang dikatakan ini mengandung arti hak dan kedudukannya istri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan

2

Sostroamitdjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:Bulan

Bintang, 1978) h. 83-84. 3

Perjanjian yang kokoh. Dalam Al-Qur‟an kata mistaqon gholidzon hanya dipakai 3

kali saja: (a). Allah SWT membuat perjanjian dengan Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Al-Ahzab 73:7). (b). Allah SWT mengangkat bukit Thur diatas kepala Bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia kepada Allah (An-Nissa 4:154). (c). Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan (An-Nissa 4:21).

4

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika

Prasindo, 2004) h. 114. 5

Tihami dan Sorahi Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Raja Granfindo

(14)

setingkat lebih tinggi yaitu sebagai kepala keluarga.6 Diantara beberapa hak suami terhadap istri yang paling pokok diantaranya adalah ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat, misalnya tidak keluar rumah kecuali atas izin dari suami. Istri menjaga dirinya dan harta suaminya. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami. Tidak bermuka masam terhadap suami. Tidak menunjukan keadaan yang tidak disenangi oleh suami.7

Kewajiban suami terhadap istri mencakup kewajiban materi berupa kebendaan dan kewajiban non materi yang bukan berupa kebendaan. Kewajiban suami non materi yang merupakan hak bagi istrinya adalah menggauli istrinya dengan baik dan patut, menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya dari suatu dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan atau marabahaya, dan menunjukan kehidupan perkawinan yang diharapkan oleh Allah SWT terwujud.8 Sesuai dengan penghasilannya, suami mempunyai kewajiban untuk menafkahi istrinya seperti memberi pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan, biaya pengobatan bagi istri dan anak dan biaya pendidikan bagi anak.9

Jika suami dan istri sama-sama menjalankan tanggungjawabnya masing-masing maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, tujuan

6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,

2009), h. 159. 7

Samsul Munir Amir dan Haryono Al-Fandi, Kenapa Harus Stres? Terapi Sters Ala

Islam, (Jakarta: Amzah, 2007), cet ke-1, h. 7. 8

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2010), h. 168. 9

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),

(15)

hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama. Baik suami maupun istri harus berusaha memelihara rumah tangganya yang tenang penuh kebahagiaan lahir batin serta menciptakan taman yang permai tempat generasi yang berbudi, penerus dari orang tuanya. Oleh karena itu hubungan suami istri sangat suci dan terhormat, kuat ikatannya dan tinggi nilainya sesuai dengan tinggi pula nilai manusia itu sendiri.10 Sebaliknya, jika suami dan istri tidak menjalankan tangggungjawabnya masing-masing, maka kehidupan keluarga tidak akan berjalan dengan baik.11

Di negara Indonesia, pernikahan itu sendiri memiliki beberapa sub-bagian istilah diantaranya pernikahan monogami, pernikahan poligami, pernikahan mut‟ah, pernikahan bawah tangan, pernikahan adat, pernikahan

muhalil, pernikahan beda agama serta pernikahan-pernikahan lainnya yang menjadi warna-warni di negara Indonesia. Akan tetapi pada permasalahan ini, penulis hanya akan membahas tentang pernikahan dibawah tangan yang terjadi didaerah penelitian.

Fenomena pernikahan di bawah tangan bukanlah fenomena yang baru dan tidak aneh, sebab fenomena pernikahan semacam ini sudah dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat dari waktu ke waktu. Pelaku nikah di bawah tangan ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dari segi usia, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Pernikahan ini juga menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan.

10

Hasbi As-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama

Republik Indonesia, 1989), h. 56. 11

(16)

Pernikahan di bawah tangan saat ini sungguh merupakan akumulasi yang didapat dari berbagai faktor diantaranya yaitu lemahnya sistem hukum negara kita, khususnya Undang-Undang Perkawinan dan masih kentalnya budaya

patriarki.12

Pernikahan di bawah tangan biasanya dilakukan tanpa ada pemberitahuan secara resmi kepada masyarakat luas, pelaksanaan akad dengan cara ini memang boleh dan sah, walaupun tidak tercatat resmi oleh negara.13 Dengan hadirnya wali dari perempuan dan keluarga dari laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi sesuai dengan prosedur keagamaan saja, dan telah sesuai dengan syarat dan rukunnya. Dalam banyak kasus yang terjadi, perkawinan di bawah tangan dilakukan dengan maksud tertentu, dan perkawinan tersebut dilakukan dengan tujuan agar tidak diketahui oleh khalayak ramai. Apakah perkawinan dalam bentuk seperti ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam? Maka Rasulullah SAW dalam beberapa hadistnya selalu mengingatkan untuk menghadiri walimah, serta meng‟ilankan (mengumumkan) perkawinan tujuannya tentu supaya agar diketahui oleh banyak orang (umum) bahwa antara si A dan si B telah terikat oleh tali pernikahan.

Rasulullah SAW bersabda dari Amir bin Abdullah Az-Zuhair dari ayahnya r.a (katanya): Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

12

Patriarki adalah sistem yang selama ini meletakan kaum perempuan terdominasi dan menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama.

13

Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Jakarta: Cendikiawan Sentra

(17)

“Beritahukanlah oleh kamu sekalian pernikahan itu“. (diriwayatkan oleh

Ahmad dan dinilai Shahih oleh al-hakim).14

Kebanyakan orang meyakini bahwa nikah di bawah tangan dianggap sah menurut hukum Islam apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, sekalipun pernikahan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), atau perceraian itu dilakukan di luar sidang pengadilan agama yang telah menjadi haknya. Akibat dari pemahaman tersebut timbulah dualisme hukum yang ada di negara Indonesia ini, yaitu disatu sisi perkawinan itu harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan disisi lain perkawian tanpa di catatpun tetap berlaku dan diakui oleh masyarakat, atau di satu sisi perceraian itu hanya sah apabila dilakukan di depan sidang pengadilan, dan di sisi lain perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan tetap berlaku dan diakui oleh masyarakat.15

Jika dilihat dari kenyataan yang ada, nikah dibawah tangan merupakan salah satu model perkawinan yang bermasalah dan cenderung mengutamakan kepentingan-kepentingan subjektif, model perkawinan ini juga menimbulkan sejumlah dampak negatif, seperti tidak jelasnya status perkawinan, status anak, atau adanya kemungkinan pengingkaran perkawinan. Hal ini disebabkan

14Fahrurazi. “

Nikah di Bawah Tangan“. Artikel diakses pada tanggal 12 April 2015 http://raziehania.blogspot.com/2009/04/nikah-bawah-tangan-kawin-siri_6426.html.

15Zahri, A. “

(18)

karena tidak adanya surat-surat resmi atau akta perkawinan yang otentik, yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau kantor Pencatatan Sipil.16

Sistem hukum di negara Indonesia tidak mengenal istilah “Kawin

Bawah Tangan” dan semacamnya, dan tidak mengatur secara khusus dalam

sebuah konstitusi peraturan perundang-undangan. Namun, secara Sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang terdapat dalam pasal 2 ayat 2

yang menyatakan bahwa “Tiap–tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku“.17 Meskipun telah disosialisasikan selama 41 tahun lebih sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala yang tidak berkesudahan dengan banyaknya orang yang masih melakukan nikah di bawah tangan yang pada waktunya dapat mengacaukan proses-proses hukum yang terjadi berikutnya.

Hal ini boleh terjadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang memahami ketentuan perkawinan ini lebih menekankan kepada perspektif fiqh sehingga praktek nikah di bawah tangan menjadi subur.18 Mereka sering berusaha menghindari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut Undang–Undang Perkawinan yang dinilai terlalu

16

Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003),

h. 295. 17

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 18

Mona Eliza, Pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan dan Akibat

(19)

birokratis dan berbelit-belit serta lama pengurusannya, yang menimbulkan peraturan perundang-undangan tersebut sering kali tidak diindahkan oleh sebagian masyarakat Islam Indonesia.

Walaupun ini merupakan masalah yang dianggap kecil, akan tetapi akan luas dampak yang ditimbulkannya. Dalam kasus ini kurangnya kesadaraan masyarakat terhadap hukum, meletakkan titik beratnya kepada potensi–potensi yang bersifat pribadi, kesadaran hukum seperti ini dapat didefinisikan sebagai potensi atau daya warga masyarakat yang berisi persepsi, pengenalan, pengetahuan, pengertian tentang hukum termasuk konsekuensi-konsekuensinya.19 Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu hukum yang baik sangat tergantung pada Tiga Pilar Hukum yaitu : Aparat hukum, peraturan hukum yang jelas, serta kesadaran hukum masyarakat.20

Kurangnya pemahaman peraturan tersebut akan mengakibatkan lemahnya penegakan hukum, sehingga masyarakat yang masih belum sadar akan kepentingan hukum yang berlaku, akan melakukan penyimpangan-penyimpangan hukum itu sendiri, khususnya mengenai perkawinan dibawah tangan yang masih terjadi di masyarakat.

Dalam melakukan observasi awal, penulis melakukan wawancara terhadap beberapa pelaku nikah bawah tangan, yang mengindikasikan bahwa daerah penelitian di kecamatan Tegalwaru Karawang banyak di antara

19

Tenaga Staff Dibidang Penelitian dan Pengembangan Hukum, Himpuna Karya

Tulis Bidang Hukum, (Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman RI, 1998). h. 3. 20

M. Idris Rmulyo, Tinjauan Hukum Perkawinan, (Jakarta: Grafindo Persada, 1974).

(20)

warganya yang melakukan perkawinan tersebut dengan alasan beberapa faktor seperti ekonomi yang lemah, pendidikan yang rendah, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam permasalahan nikah bawah tangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.

Observasi yang penulis lakukan diantaranya dengan mewawancarai pelaku nikah dibawah tangan, ketua KUA serta staf pegawai Pengadilan Agama. Dalam wawancara yang penulis lakukan ini, pertama kali

mewawancarai ketua KUA Tegalwaru yang menyatakan bahwa: ”Memang

disebagian masyarakat kami ada yang melakukan nikah di bawah tangan,

yang mana pihak KUA baru mengetahuinya ketika ada kegiatan Gebyar

Pelayanan Publik (GPP) yang diselenggarakan pihak kecamatan bekerjasama

dengan beberapa instansi Pemerintah salah satunya ialah Pengadilan Agama

yang mengadakan pendaftaran penetapan (istbat) nikah yang volume isinya

bisa mencapai 20 orang perkegiatan acara”21. Kemudian penulis melakukan wawancara dengan salah seorang warga yang bernama Solihin, dia menyatakan bahwa faktor ekonomilah yang merupakan salah satu mengapa pelaku melakukan pernikahan di bawah tangan dengan berkata “Boro-boro buat daftar biaya nikah ke KUA, buat makan setiap hari juga akang harus

cari sana sini pekerjaan, soalnyakan akang mah cuma buruh tani yang

penghasilannya tidak jelas dan tidak tetap, jadi akang nikahnya engga ke

21

(21)

KUA sebab engga punya uang“22. Dari sini penulis mendapatkan sampel bahwa di kecamatan tersebut masih dapat ditemukan berbagai persoalan terkait nikah di bawah tangan, hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti lebih jauh terkait pernikahan di bawah tangan yang terjadi di kecamatan Tegalwaru Karawang.

Selanjutnya penulis melakukan analisis terhadap kinerja Kantor Urusan Agama (KUA) dalam menangani masyarakat yang melakukan nikah di bawah tangan serta peranannya dalam mendorong masyarakat untuk membentuk yang sakinah, mawadah dan warohmah.

Berdasarkan keterangan masalah-masalah diatas, yakni masih minimnya masyarakat dalam melakukan pencatatan nikah dan betapa pentingnya pencatatan nikah sehingga membuat penulis untuk meneliti lebih lanjut dan mengangkatnya dalam skripsi yang berjudul “PERAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM MEMINIMALISIR NIKAH DI BAWAH TANGAN DI KECAMATAN TEGALWARU, KARAWANG, JAWA BARAT “.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembatasan penulisan ditujukan agar tidak terjadi pembahasan yang tidak ada ujung pangkalnya dan dapat terarah dengan baik, maka penulis membatasi permasalahan tersebut sebagai berikut:

22

(22)

a. KUA dibatasi pada Kantor Urusan Agama yang berdomisili di jalan raya Loji Pangkalan di komplek kecamatan Tegalwaru, Karawang, Jawa Barat.

b. Pernikahan di bawah tangan dibatasi pada permasalahan yang ada di kecamatan Tegalwaru, Karawang, Jawa Barat.

c. Data yang diteliti pada permasalahan nikah di bawah tangan dibatasi pada data-data pada tahun 2014.

2. Rumusan Masalah

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan yang berlaku. Namun, pada kenyataannya masih banyak perkawinan di bawah tangan, sehingga bukan lagi suatu yang tabu dan dianggap lumrah.

Adapun masalah penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan–pertanyaan sebagai berikut :

1. Berapa banyak jumlah masyarakat yang melakukan nikah di bawah tangan di kecamatan Tegalwaru yang mengajukan Istbat nikah kepada Pengadilan Agama Karawang?

2. Bagaimana peran KUA dalam meminimalisir nikah di bawah tangan pada masyarakat kecamatan Tegalwaru?

(23)

Pertanyaan–pertanyaan diatas akan penulis jawab dalam uraian– uraian dan analisis yang didasarkan pada sumber–sumber yang penulis gunakan.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian skripsi ini bertujuan Pertama, untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang melakukan nikah di bawah tangan. Kedua, untuk mendeskripsikan peran KUA dalam meminimalisir pernikahan dibawah tangan pada masyarakat kecamatan Tegalwaru. Ketiga, untuk mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi oleh Kantor Urusan Agama dalam meminimalisir perkawinan dibawah tangan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun dalam penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Dapat memberikan informasi dan gambaran yang komprehensif serta sistematis seputar peran KUA dalam meminimalisir perkawinan di bawah tangan dan segala bentuk permasalahannya.

2. Dapat memberikan manfaat bagi penulis dan para pecinta penelitian hukum dalam rangka pengembangan hukum Islam umumnya dan khususnya hukum Islam seputar nikah di bawah tangan.

(24)

E. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah-masalah penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat.

Ada beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain : 1. Jenis penelitian

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan ini adalah yang sumber datanya terutama diambil dari obyek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.23

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat analisis merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.

3. Kriteria Sumber data

a. Data primer yaitu data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan masyarakat dan dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara secara mendalam dengan menggunakan pokok-pokok permasalahan sebagian pedoman wawancara. Pokok-pokok tersebut guna menghindari terjadinya penyimpangan ketika penelitian selama wawancara.

23

(25)

b. Data sekunder dalam penelitian ini data yang digunakan penulis adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia.24

4. Teknik pengumpulan Data

a. Teknik survey (Observasi) yaitu untuk mencari bahan penelitian penulis melakukan pengamatan dan pencatatan. Disini penulis mengamati fakta yang ada dilapangan yang berhubungan langsung tentang perkawinan di bawah tangan yang dilakukan oleh masyarakat. b. Teknik Interview (wawancara) adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan bertanya dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber utama data.25 Pengumpulan data dengan cara tanya jawab, disini penulis mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan melalui wawancara (Pedoman Wawancara). Selanjutnya penulis melakukan wawancara kepada orang-orang yang dapat dipercaya untuk mendapatkan bukti yang kuat sebagai penguat argumentasi. Seperti Ketua KUA, staf pegawai Pengadilan Agama serta masyarakat yang melakukan nikah di bawah tangan.

c. Studi Dokumentasi yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan hukum sekunder.26 Dan juga

24

Tomi Hendra Purwaka, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: universitas

atmajaya, 2007). h.29 25

Ronny kountur, Metode Penelitian Hukum Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis, h.

186. 26

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,

(26)

data-data yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

d. Studi pustaka yaitu upaya untuk mengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. Terdiri dari dua langkah yaitu kepustakaan penelitian yang meliputi laporan penelitian yang telah diterbitkan, dan kepustakaan konseptual meliputi artikel-artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat, pengalaman, teori-teori atau ide-ide tentang apa yang baik dan yang buruk, hal-hal yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dalam bidang masalah.

F. Review Studi Terdahulu

Sebelumnya sudah ada penelitian yang juga melakukan penelitian skripsi ini terkait masalah nikah dibawah tangan, yakni :

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Sabbudin, dengan judul

“Pengaruh dan implikasi perkawinan dibawah tangan di Kelurahan

Kenanga Kecamatan Cipondoh Tangerang” yang menjelaskan apa akibat hukum yang ditimbulkan apabila perkawinan dibawah tangan terjadi, bagaimana berpengaruhnya terhadap istri, anak dan suami.

(27)

Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang”. Yang menjelaskan akibat hukum yang didapat apabila perkawinan tidak dicatat di KUA.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Lutfi Az-Zahra, dengan judul “Peranan KUA dalam mengantisipasi praktek perkawinan dibawah tangan,

studi KUA Kecamatan Cimanggis Depok“. Yang menjelaskan faktor -faktor terjadi perkawinan dibawah tangan, serta bagaimana peran KUA dalam mengantisipasi praktek perkawinan di bawah tangan.

(28)

G. Sitematika Penelitian

Agar penulisan skripsi ini menjadi sistematis, maka penulis membagi skripsi ini kedalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pembahasan mengenai Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Studi Review, Metodelogi Penelitian, Tinjauan Pustaka, Sistematika Penulisan.

BAB II Kerangka Teori yang membahas konsep perkawinan dalam Islam yang meliputi definisi perkawinan, hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, hukum nikah dibawah tangan, serta sebab dan akibat nikah di bawah tangan.

BAB III menjelaskan tentang kondisi umum KUA Kecamatan Tegalwaru Karawang, selain itu pada bab ini juga akan membahas tentang Struktur Organisasi, Tugas dan Wewenang, dan tata cara pencatatan perkawinan di Kecamatan Tegalwaru Karawang.

(29)

29 A. Pengertian Pernikahan

Islam adalah agama yang syumul. Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh oleh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Mulai dari bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati, Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi

wa sallam, begitu juga dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona.

Nikah berasal dari bahasa arab yaitu nikaahun ( حاكن ) yang artinya adalah suatu akad yang menyebabkan kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dengan perempuan, dan saling menolong antara keduanya, serta menentukan batas antara hak dan kewajiban diantara keduanya. Dalam kamus

Bahasa Indonesia asal kata dari perkawinan adalah “kawin” yang menurut arti

(30)

hubungan bersetubuh.27 Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (Coitus), juga untuk arti akad nikah.28

Dalam literatur fiqh yang berbahasa arab, perkawinan atau pernikahan disebut dengan dua kata, yaitu nikah ( حكن ) dan zawaj ( جاوز ). Kata-kata tersebut sangat erat sekali dengan kegiatan sehari-hari dari orang arab dan juga banyak terdapat dalam Al-qur‟an dan Hadist nabi.29 Sedangkan kata na-ka-ha

banyak terdapat dalam Al-qur‟an dengan memiliki arti kawin, seperti dalam Surat An-Nissa ayat 3:





































































Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil

terhadap (Hak-hak) perempuan yatim (bila kamu menikahinya), maka

kawinilah perempuan (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat dzalim”. (QS. An-Nissa: 3).

Karena arti dari kata nikah ialah “bergabung” ( مض ), “hubungan

kelamin” ( ءطو), dan juga berarti "akad" ( دقع ). Jadi adanya kemungkinan dua

arti ini karena dua kata nikah yang terdapat dalam Al-qur‟an memang

27

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet ke-3 edisi kedua, h. 456. 28

Wahbah Al-Juhaili, Al-fiqh Alislami Wa Adilatuh, (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1989), cet

ke-3, h. 29. 29

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia antara Fiqih Munakahat

(31)

mengandung dua arti tersebut.30 Seperti kata nikah yang terdapat dalam surat An-Nur ayat 32:

.











































Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dan hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur : 32).

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun pada tumbuh-tumbuhan. Nikah adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.31 Oleh karena itu bagi pengikut Nabi Muhammad SAW yang baik harus melakukan kawin. Selain mencontohkan tingkah laku Nabi Muhammad SAW, juga perkawinan itu merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani.

Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul.32 Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad

30

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia antara Fiqih Munakahat

dengan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 36. 31

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia,

1999), h 9; Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2004), Cet ke-3, h. 125. 32

Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,

(32)

nikah. Juga bisa diartikan (Wath’u al-zawajah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan diatas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kerja (Fi’il Madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai

perkawinan. Kata nikah juga sering dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.33 Adapun nikah menurut syara adalah melakukan akad

(perjanjian) antara calon suami dan istri agar halal melakukan “pergaulan”34

atau juga serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.35

Istilah “kawin” digunakan secara umum, untuk hewan, tumbuhan dan

manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam sesuatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki). Selain itu, nikah bisa juga diartikan sebagai bersetubuh.36

33

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 11.

34

Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta:

Darussalam, 2004), h. 17. 35

Tihami & Sohari Sahroni, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 8.

36

Adb. Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual Elaborasi Paradigma Baru

(33)

Pernikahan merupakan sunnah karunia yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti sunnah Rasul.37 Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad. Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang shaleh/shalehah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.38

1. Pernikahan menurut Hukum Islam.

Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan

Islam, perkawinan yang disebut “nikah” berarti : Melakukan suatu akad atau

perjanjian untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.39

Dalam hukum Islam, para ulama fiqih memiliki pendapatnya masing-masing mengenai definisi nikah, diantaranya adalah:

37Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah,

Fiqih Wanita, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 375.

38

Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (Surabaya:Gita Mediah

Press, 2006), h. 8. 39

(34)

Imam Hanafi, berpendapat bahwa pengertian nikah ialah:

أل

ك

حا

ب

ن

ع ق

د

ي ف ي

د

م ل

ك

لا

م ت

ع ة

ق

ص

دا

40

Artinya: “Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki

kesenangan dengan sengaja”

Selanjutnya menurut Imam Syafi’i, berpendapat bahwa pengertian nikah ialah:

أل

ك

حا

ب

ن

ع ق

د

ي

ض

م ن

م

ل

ك

و

ط

ء

ب ل

ف

ظ

أل

ك

حا

ا

و ل

ت ز

و ي

ج

ا

و

م ع

ه ا

ا

41

Artinya: “Nikah adalah suatu akad yang mengandung kepemilikan

wathi dengan menggunakan kata menikahkan atau mengawinkan atau kata lain yang menjadi sinonimnya”.

Selanjutnya menurut Imam Hambali, berpendapat bahwa pengertian nikah ialah:

أل

ك

حا

و

ع ق

د

ب ل

ف

ظ

أل

ك

حا

ا

و

لا ت

ز و ي

ج

ع

لى

م

ف ع

ة

لا

س ت

م ت

عا

42

Artinya: “Nikah adalah suatu akad dengan mengunakan lafadz-lafadz

nikah atau tazwij untuk manfaat (menikmati) kesenangan”.

Dilihat dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan oleh para imam diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari nikah adalah diizinkannya seorang suami atau menikmati apa yang ada pada isterinya maupun memiliki apa yang ada pada diri isterinya. Dikarenakan sudah menjadi kehalalan bagi sang suami untuk memiliki kehormatan dan

40

Al-Jaziri, Abu Bakar Jabir, Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul

Falah, 2008), h. 14 41

Al-Jaziri, Abu Bakar Jabir, Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul

Falah, 2008), h. 16 42

Al-Jaziri, Abu Bakar Jabir, Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul

(35)

keseluruhan dari apapun yang ada pada isterinya. Begitu juga sebaliknya kehalalan isteri memiliki dan mendapatkan apa yang dia kehendaki terhadap diri dan keseluruhan pada suaminya. Karena hal tersebut sesuai dengan syara‟ ataupun ketentuan yang berlaku, hal ini berlaku tidak terlepas dari terjadinya akad pernikahan ataupun ikatan yang legal yang sesuai dengan norma agama dan ketentuan hukum.

2. Pernikahan menurut Hukum di Indonesia

Pengertian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 26, yang mengatakan bahwa perkawinan ialah Pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. KUH Perdata memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja, yang berarti bahwa asalnya suatu perkawinan hanya ditentukan oleh pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, sementara syarat-syarat serta pengaturan agama dikesampingkan.43 Perkawinan dianggap suatu lembaga yang terikat pada suatu pengakuan oleh negara dan hanya sah bila dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang (penguasa).44

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 menyebutkan

bahwa: “Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan

43

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, h. 23

44

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan

(36)

seorang perempuan dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga unsur batin/rohani.45

Adapun pengertian nikah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa: “Pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau

mitsaqah ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah”.46

B. Dasar Hukum

Hukum Nikah (Perkawinan), ialah hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar lawan jenis dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut.

Perkawinan adalah sunnatullah, hukum alam didunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut

45

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU. No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet ke-3, h. 42-43.

46

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, Kompilasi

(37)

para Sarjana Ilmu Alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan. Misalnya, air yang kita minum (terdiri dari Oksigen dan

Hidrogen), listrik, ada positif dan negatifnya dan sebagainya.47 Apa yang telah dinyatakan oleh para Sarjana Ilmu Alam tersebut adalah sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam Al-Qur‟an yang terdapat pada surat Al-Dzariyat : 49.

























Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan

supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. (QS Al-Dzariyat [51]: 49).48 Senada dengan pendapat para jumhur ulama bahwa hukum dari pernikahan adalah sunnah, hal ini didasarkan dari banyaknya perintah Allah SWT dalam Al-qur‟an dan juga hadist-hadist nabi yang beberapa diantaranya berisi tentang anjuran untuk melaksanakan pernikahan.49

Seperti firman Allah berikut ini:











































Artinya: “Dan kawinilah orang-orang sendiri diantara kamu dan

orang-orang yang layak untuk kawin diantara hamba-hamba sahayamu yang perempuan jika mereka miskin, Allah memberikan kemampuan kepada

47

H.S.A. Al-hamdani, Risalah Nikah, Terjemah Agus Salim, (Jakarta:Pustaka Amani,

2002), Edisi ke-2, h. 1. 48

Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Op. Cit., h. 862.

49

Amir Syariffudin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat

(38)

mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur : 32).

Sedangkan kenapa nikah menurut Rasul adalah sunnah, karena rasulpun melakukan hal tersebut dan rasul menginginkan para umat (pengikut)nya melakukan sunnahnya tersebut seperti dalam hadistnya:

ن

م

س

ل ي

َ

ت

س

ن

ع

ب

ر غ

م ن

َ

ت

س

حا

ك

ل

أ ماسلا

ل ي

ع

لا

و ق

Artinya: “Nikah adalah sunnahku. Barang siapa yang membenci

kepada sunnahku, maka bukanlah termasuk golonganku”.

Kemudian Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

و ق

لا

ع

ل ي

سلا

ا

َ م

م ع

ش

ر

شلا

ب

با

م

ن

ا

س ت

ط

عا

م

ك

م

لا ب

ءا ة

َ

ل ي ت

ز و

ج

َ أ ن

ا

غ

ض

ل ل ب

ص

ر

و ا

ح

ص

ن

ل ل

ف ر

ج

و م

ن

ل ي

س ت

ط

ع

َ ع

ل ي

ب

ص

و م

َ أ

ن

ل

و

ج

ءا

)ملسم و يراخبلا اور(

50

Artinya: “Hai golongan pemuda, barang siapa yang telah sanggup

melaksanakan pernikahan (kawin), maka kawinlah. Karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih memelihara faraj (kemaluan). Dan bagi yang tidak sanggup melaksanakannya hendaklah berpuasa karena dapat melemahkan syahwat” (HR. Bukhari Muslim).

Perkawinan merupakan sunnatullah, namun para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asalnya, sebagian menghukumi wajib dan sebagiannya menghukumi sunnah tergantung pada tingkat maslahatnya.

Pendapat Pertama menyatakan bahwa hukum asal pernikahan adalah

wajib.51 berkata Syekh al-Utsaimin “Banyak dari ulama mengatakan bahwa

50

Muhammad Nasrudin Al-Albani, Shohih Muslim, (Mesir: Darul-Hadist, 2001), Juz

(39)

seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan

kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“52

Dalil pertama menyatakan bahwa menikah merupakan perilaku para utusan Allah, sebagaimana dijelaskan pada Q.S Ar- Ra‟du ayat 38:























































Artinya : “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)” Q.S Ar- Ra‟du : 38.

Kemudian dalil yang kedua menyatakan bahwa tidak menikah merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara (Nashārā adalah Kristen).53 Sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin: “dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram.“54 Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.

51

Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz : 6, h : 117

52

Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz : 3, h : 179

53

Ahmad, Kamus al-Munawwar, (Semarang, Toha Putra) 2003, h 871.

54

(40)

Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum asal dari pernikahan

adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab

seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan

kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud

dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir

(Dhahiriyah)”, dan riwayat dari Imam Ahmad.“55

Dalilnya yang pertama ialah Q.S An-Nissa ayat 3:





































































Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta‟ala memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan

55

(41)

menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang meninggalkan kewajiban tidak berdosa.“56 Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas‟ud di atas bukan menunjukkan kewajiban,

tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).

Imam Izzudin Abdussalam, membagi maslahat menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt. bagi hamba-Nya. Maslahat

wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (Utama), afdhal (paling utama), dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan

mafsadah paling buruk, dan dapat mendatangkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan.

2. Maslahat yang disunnahkan oleh syar’i kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan kebawah, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah.

3. Maslahat mubah. Bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzudin berkata: “Maslahat mubah dapat dirasakan secara langsung,

56

(42)

sebagian diantaranya lebih bermanfaat dan lebih besar kemaslahatannya

dari sebagian yang lain”.57

Dengan demikian, dapat diketahui secara jelas tingkatan maslahat

taklif perintah (thalabal fi’li), taklif takhyir, dan taklif larangan (thalabal kaff). Dalam taklif larangan, kemaslahatannya adalah menolak kemafsadatan dan mencegah kemudaratan. Disini perbedaan tingkat larangan sesuai dengan kadar kemampuan merusak dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kerusakan yang ditimbulkan perkara haram tentu lebih besar dibanding kerusakan pada perkara makruh. Meski pada masing-masing perkara haram dan makruh masih terdapat perbedaan tingkatan, sesuai dengan kadar kemafsadatannya. Keharaman dalam perbuatan zina, misalnya tentu lebih berat dibandingkan dengan keharaman merangkul atau mencium wanita yang bukan mahram, meskipun keduanya sama-sama perbuatan haram.58 Oleh karena itu, meskipun perkawinan itu asalnya adalah mubah, namun dapat berubah menurut Ahkamul-Khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan keadaan, yaitu:

1. Nikah wajib.

Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah takwa. Nikah juga diwajibkan bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram (perzinahan).

57

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fikih, terjemahan Saefullah Ma’shum, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1994), h. 558-559. 58

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fikih, terjemahan Saefullah Ma’shum, (Jakarta:

(43)

Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan melaksanakan nikah.59

Seperti dalam firman Allah Swt:

























































Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S Ar-Rum ayat 21).

2. Nikah Haram.

Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. Atau dapat menimbulkan kemudharatan lainnya. Seperti contoh: orang gila ataupun tidak waras, orang yang kerap membunuh, atau memiliki sikap-sikap yang membahayakan bagi pasangan atau orang yang berada disekitarnya. Maka orang tersebut haram untuk melaksanakan pernikahan.60

3. Nikah sunnah.

59

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), jilid 2, Juz 6, h. 13.

60

Amir Syariffudin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat

(44)

Nikah disunahkan bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada membujang karena membujang tidak diajarkan dalam Islam. Karena jelaslah pernikahan adalah ibadah dan satu hal yang baik bagi dirinya, dan juga Rasulullah melarang seseorang hidup sendiri tanpa melakukan pernikahan.61

Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

ث د ح و

ع َ ن أ ب ي س ما ن ب دي ع س ِ ر ب خ أ لا ق با ه ش ن ب ا ن ع ع َ ا ر ن ب د م ُ ا

لا ق َ ل و س ر ا ه َ ل ت ب ت ي ن أ ن و ع ظ م ن ب نا م ث ع د ر أ ل و ق ي صا ق و ِ أ ن ب د ع س

ل زا ج أ و ل و

ا ي ص ت خ ل ك ل ذ

62

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi'

dari Uqail dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Al Musayyab bahwa ia mendengar Sa'd bin Abu Waqash berkata; "Utsman bin Mazh'un untuk hidup membujang, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarangnya. Andaikan beliau mengizinkannya, tentulah kami sudah mengebiri diri kami sendiri."(HR. Muslim).

4. Nikah Makruh.

Seseorang yang dianggap makruh untuk melakukan pernikahan adalah seseorang yang belum pantas melakukan menikah, belum mempunyai keinginan melangsungkan pernikahan serta belum memiliki bekal yang mapan untuk melangsungkan pernikahan. Akan tetapi ada orang yang mampu dan memiliki bekal yang mapan tetapi ia memiliki kekurangan

61

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan

bintang, 1993), h. 6. 62

Al-Imam Muslim dan Imam nawawi, Shahih Muslim, Abu Husein, (Beirut: Dar

(45)

fisik seperti halnya cacat, impoten, memiliki penyakit tetap ataupun penyakit fisik lainya yang berdampak bahaya apabila ia melangsungkan pernikahan.

5. Nikah mubah.

Yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila belum nikah.63

Dari uraian tersebut diatas menggambarkan bahwa dasar perkawinan menurut Islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunah, makruh dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.

C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram

untuk salat.64 Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.

Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat dalam salat. Atau menurut agama Islam

63

HAS. Al-Hamdani, Op. Cit., h. 8. 64

Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet ke 1

(46)

bahwa calon pengantin laki-laki/perempuan harus beragama Islam. Dan Sah,

yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.65

Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun dan syarat nikah terdiri dari beberapa bagian, seperti:

1. Rukun Pernikahan

a. Adanya calon suami; dan b. Adanya calon istri;

c. Adanya Wali dari pihak perempuan;

Akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wali ataupun seorang wakilnya yang akan menikahkan sang mempelai, karena wali mempunyai peranan penting dalam pernikahan tersebut.

d. Adanya dua orang saksi;

Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang saksi yang akan menyaksikan akad nikah tersebut, sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatka

Gambar

Tabel Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (WNI)134

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan konteks tersebut penulis ingin menganalisis pelaksanaan bimbingan pra nikah bagi calon pengantin di kantor urusan agama pondok aren dalam memberikan

Penolakan Kantor Urusan Agama Atas Pernikahan Janda Di Bawah Umur Yang Pernah Mendapat Dispensasi Kawin Dari Pengadilan Agama (Studi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kauman

Dan Apa faktor pendukung dan penhambat prose bimbingan pra nikah bagi calon pengantin di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa?. Jenis penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi hakim Pengadilan Agama Palangka Raya tentang talak di bawah tangan terbagi menjadi tiga pendapat, pertama talak di

Malik Ibrahim Haris, 2022: Bimbingan Pra Nikah Bagi Calon Pengantin (Studi Kasus Di Kantor Urusan Agama Sumbersari). Kata Kunci : Bimbingan Pra Nikah, Calon Pengantin, Kantor

Perlu dicatat disini bahwa yang dimaksud biaya pencatatan nikah yang dipersepsi oleh masyarakat ternyata tidak hanya biaya pencatatan nikah saja, tetapi juga termasuk

Dalam realitas sosial khususnya pada sebagian masyarakat Kecamatan Ngawen yang melakukan praktik nikah dibawah tangan, konsep nikah bawah tangan umumnya dipersepsikan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan bahwa pernikahan wanita hamil dibolehkan, menurut Petugas Pencatat Nikah PPN di Kantor Urusan Agama KUA Kota Metro bahwa