• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencemaran nama baik akibat salah tangkap (kajian hukum Islam dan hukum pidana positif)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pencemaran nama baik akibat salah tangkap (kajian hukum Islam dan hukum pidana positif)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT SALAH TANGKAP (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy)

Oleh: FAHRURROZI NIM. 104045101547

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT

yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan

kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelelahan yang menerpa. Atas rahmat dan

karunia dari Mu, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan di warnai dengan

ujian, emosi, kesabaran, dan kekuatan. dan juga salawat dan salam kepada Nabi

Muhammad SAW sebagai nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat.

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari

bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak

Prof. DR. H. Amin Suma, SH., MA., MM.

2. Ketua program studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi M.Ag dan

sekretaris program studi Jinayah Siyasah Ibu Sri Hidayati, M.Ag atas

kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis.

3. Kepada para dosen yang telah memberi ilmu, tenaga, dan waktu yang luar

biasa bagi penulis selama ini.

4. Kepada pegawai perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah

(3)

5. Kepada para pembimbing skripsi, Bapak H. Zubir Laini, SH, dan Bapak Dr.

Nurul Irfan, Yang telah memberikan saran, masukan, dan pengarahan yang

luar biasa bagi proses skripsi ini.

6. Kepada Kedua Orang tua tercinta, Ayahnda H. Abdul Rammat dan Ibunda

Halimah yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan

menghargai ilmu, memberikan dukungan do’a yang tidak pernah putus juga

telah memberikan kepercayaan yang besar bagi Anakmu (penulis).

7. Kepada adikku yang masih belum beranjak dewasa, Ahmad Maulana rizqi.

Terima kasih telah memberikan suasana yang berbeda setiap harinya di

rumah. Semoga skripsi ini dapat memberikan inspirasi untuk kamu agar dapat

menyelesaikan pendidikan dengan baik.

8. Kepada teman-teman alumni Pon Pes Darussalam Bogor khususnya alumni ke

IX Al-Adiyaat.

9. Kepada teman-teman sekelas : Amin, Epi, Zaelani, Hijrah, Finalto, Devison,

Komson, Azis, Rifa’i, Riko, Husni, Agus, Hilmi, Johan, Nandez, Iwek, Irna,

Puti, Zulfa, Novi, dan Reva.

10.Kepada seluruh dosen yang memberi dorongan dan semangat penulis dalam

pembuatan skripsi ini.

11.Kepada seluruh guru-guru yang pernah mengajar penulis. Skripsi ini

merupakan bentuk terima kasih dan penghargaan tertinggi penulis atas

jasa-jasa para guru selama ini.

12.Kepada rental Elok dan rental Cemara khususnya buat Bang Nanang yang

(4)

13.Kepada Fitriyani terima kasih telah memberikan masukan-masukan yang

berharga bagi penulis. Smoga apa yang penulis cita-citakan tercapai. Amin...

Demikian ucapan terima kasih dari penulis dan penulis berharap semoga

segala kebaikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga berharap,

semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi inspirasi bagi

generasi berikutnya.

Jakarta, 10 Januari 2010 M 25 Muharram 1431 H

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... 5

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Manfaat dan Tujuan ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika penulisan... 10

BAB II TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana... 12

B. Tujuan Pemidanaan... 21

C. Sanksi Dalam Hukum Pidana Jenis dan Macam-Macamnya ... 25

(6)

BAB III PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jinayah dan Jarimah... 39

B. Macam-macam dan Jenis-Jenis Jarimah ... 42

C. Uqubah Macam dan Tujuannya Dalam Hukum Islam... 55

D. Pencemaran Nama Baik dan Jenis Sanksinya Menurut Hukum Islam... 62

E. Kasus Hadis Al-Ifki dan Kaitannya Dengan Pencemaran Nama Baik ... 65

BAB IV SALAH TANGKAP DAN PENCEMARAN NAMA BAIK A. Pengertian Salah Tangkap ... 77

B. Sebab Terjadinya Salah Tangkap ... 78

C. Akibat Salah Tangkap ... 83

D. Macam-Macam Perlindungan Hak Korban... 84

E. Kasus Salah Tangkap ... 86

F. Analisis Pebandingan ... 91

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 91

B. Saran-saran ... 92

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia yang memiliki serta kesempurnaan dibandingkan dengan

makhluk lainnya telah mendorong untuk mencari jalan yang lurus dan terang agar

kehidupan mereka senantiasa dipenuhi kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk itu

dibuatlah suatu rumusan yang dikenal dengan istilah Hukum, yakni kumpulan dan

aturan-aturan hidup dan kehidupan.

Akan tetapi semenjak terjadinya krisis moneter pada masa orde baru

tahun 1998 menyebabkan perekonomian di Indonesia tidak stabil sehingga ada

sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan tindak pidana seperi pencurian,

pembunuhan , perampokan dan lain-lain. Maka dari karena itu, tugas penertiban

hukum pada masa yang akan datang tidak terlepas dari penggunaan metode dan

cara-cara penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum. Baik yang tertulis

maupun yang tidak tertulis, Polisi (aparat hukum) pada masa yang akan datang

tidak terlepas dari tugas yang paling utama yaitu menjaga ketertiban.1

Oleh karena itu, untuk terciptanya pelaksanaan pembangunan nasional

yang terencana dan terarah tentunya perlu didukung oleh peran serta secara aktif

dari semua lapisan masyarakat serta aksi dan reaksi dari aparat pemerintah dalam

1

(8)

kerangka penegakan hukum. Dengan kata lain pembangunan nasional dapat

terwujud, salah satunya melalui, proses pengintegrasian antara upaya penegakan

hukum dengan keseluruhan kebijaksanaan sosial.2 Setiap anggota masyarakat

tentu memiliki berbagi kepentingan yang beraneka warna dan yang dapat

menimbulkan bentrokan satu sama lain. Jika bentrokan ini terjadi, maka

masyarakat menjadi guncang. Keguncangan ini sebeberapa mungkin harus

dihindarkan. Untuk ini, hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu dalam

masyarakat.

Hubungan-hubungan ini di antara orang-orang perorangan, atau antara

berbagai kelompok orang-orang. Atau antara suatu kelompok dan seorang oknum

tertentu, atau antara masyarakat seluruhnya di satu pihak. Dalam mengatur suatu

hubungan ini, hukum bertujuan menyeimbangkan di antara berbagai kepentingan.

Imbangan ini tidak terutama terletak pada dunia rohaniah di tengah-tengah

Masyarakat (Magisch evecuscht). Janganlah sampai suatu kepentingan telantar di

samping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuannya seluruhnya, hanya

kalau masyarakat mewujudkan neraca yang lurus, dapat dikatakan ada

keselamatan dan kebahagiaan di dalam masyarakat yang bermanfaat. Kelurusan

neraca masyarakat ini hanya dapat tercapai, kalau hukum yang mengaturnya itu

dilaksanakan, dihormati dan tidak dilanggar.3

2

Didik dan Lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Reaita, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.) hal. 18

3

(9)

Pelanggaran dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah

perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah

yang dilarang dan diancam dengan pidana.4 Dalam hubungan ini, kesalahan

merupakan faktor bagi pertanggungjawaban pidana. Ada tidaknya kesalahan,

terutama penting bagi penegak hukum untuk menentukan apakah yang melakukan

tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya dapat dipidana.5

Walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku

kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia dengan hak

asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum

ada putusan Hakim yang menyatakan pelaku bersalah.

Tujuan diberikannya perlindungan hukum kepada si pelaku kejahatan

adalah untuk menghormati hak asasi pelaku kejahatan agar nasibnya, tidak

terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi si pelaku serta menghindari

perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selama ini banyak berkembang

pemikiran bahwa dengan telah diadilinya pelaku kejahatan dan selanjutnya pelaku

menjalani hukuman, maka perlindungan terhadap pelaku dianggap sudah selesai.6

Seiring dengan meluasnya pernyataan Internasional tentang hak asasi

manusia di berbagai belahan dunia, Indonesia sebagai negara yang berlandaskan

hukum (Recht Staat), dan bukan berdasarkan kekuasaan (macht staat)

4

Moeljetno. Asas-Asas Hulum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta. 2002,) hal. 130 5

Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggunjwaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta, Pranada Media, 2006,) hal. 19

6

(10)

memberikan jaminan hak asasi terhadap warga negara untuk menjalankan

aktivitas sehari-hari jaminan terhadap hak asasi ini tercantum dalam

Undang-undang dasar 1945 dan dalam batang tubuh Undang-Undang-undang 1945.

Jaminan tentang hak asasi bukan hanya diberikan kepada masyarakat yang

bebas saja, tetapi terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, yang pada hakikatnya,

merupakan pengurangan terhadap hak asasi manusia, dibatasi wewenang oleh

undang. Jaminan mengenai hak asasi tersangka tertuang dalam

Undang-undang Nomor 45 Tahun 1970 Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi “pengadilan

mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.7

Tetapi salah atau tidaknya tersangka, hukum lebih mengutamakan pada

pengakuannya, untuk pembuktian aparat penegak hukum mengambil jalan pintas

dengan melakukan penganiayaan terhadap tersangka. Tersangka dipaksa mengaku

bahwa ia melakukan tindak pidana, penyiksaan tetap dilakukan bila tersangka

tidak mengakui perbuatan tindak pidana yang ia lakukan. Akhirnya tersangka

lebih baik mengakui secara terpaksa karena di dalam penjara mereka akan

mendapat siksaan kembali.

Namun demikian, perlu dimaklumi bahwa para penegak hukum adalah

manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan. Tindakan penangkapan dan

penanahan sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi

tegaknya keadilan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Kadang-kadang

7

(11)

mereka memberi perlakuan seseorang yang belum jelas kesalahannya, sehingga

tersangka menderita, baik secara fisik maupun mental.8

Sering sekali profesionalisme Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan

aparat hukum lainnya yang terlibat dalam penyelesaian perkara hukum semakin

ramai dibahas oleh media massa, selain soal korupsi juga soal salah tangkap yang

dilakukan oleh aparat kepolisian. Wacana tersebut bukan hanya perbincangan di

kalangan para elit, tetapi juga semakin ramai mewarnai opini masyarakat.

Terdapat kerisauan harapan atas kinerja aparat kepolisian dan aparat hukum

lainnya agar dapat lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.

Kasus salah tangkap semakin ramai dibahas seiring dengan pengakuan

Riyan si jagal dari Jombang yang telah membunuh Ashrory, sebenarnya kematian

Ashrori telah membawa tiga orang pelaku yang di antaranya bernama Maman,

Imam Hambal, dan David, tersangka telah divonis 17 dan 12 tahun penjara oleh

hakim pengadilan negeri Jombang. Peristiwa tersebut mengungkap suatu catatan

bahwa aparat kepolisian (Polres Jombang) telah melakukan salah tangkap atas

pembunuhan Asrori pada bulan Mei 2007.

Ternyata, kasus salah tangkap dan menghukum mereka yang sama sekali

tidak bersalah sudah merupakan rahasia umum di negeri ini. Berbagai kasus

sebelumnya juga pernah santer diperbincangkan, kisah sedih dialami. Sengkon

dan Karta Tahun 1974 yang dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh

8

(12)

merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap

korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di desa Bojong, Bekasi. Hal serupa

terjadi pada Budi Harsono di Bekasi pada tahun 2002 yang dipaksa mengaku oleh

oknum polisi agar mengakui pembunuhan ayah kandungnya sendiri.9

Kita berharap pimpinan kepolisian menindak tegas terhadap oknum polisi

yang bersalah melakukan kesalahan penangkapan, apalagi melakukan kekerasan

terhadap yang korban tidak bersalah. Kejadian salah tangkap dan salah

menghukum menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh

pendapat kontra hukuman mati (obolisionis) alangkah berbahaya pelaksanaan

hukuman mati bila ternyata terpidana tidak bersalah, di mana sistem hukum

Negara kita yang masih lemah, terlebih aparatnya masih tidak profesional seperti

saat ini.

Oleh karena itu para korban salah tangkap dan salah hukum berhak

mengajukan upaya hukum, seperti permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada

mahkamah agung dengan mengerahkan bukti baru (Novum) serta gugatan ganti

rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur didalam KUHAP. Para korban yang tidak

bersalah sebaiknya mendapatkan ganti rugi yang layak dari negara dan bila perlu

ganti rugi tersebut dibebankan kepada para penegak hukum yang terlibat dalam

peradilan sesat atas diri korban.10

9

http://www.gp-anshor.org/tajuk/salah-tangkap-dan-kesalahan-berjamaah.Html.Senin 25 mei 2009

10

(13)

Adanya kasus salah tangkap dan salah menghukum ini telah sampai ke

tengah-tengah pers dan telah disampaikan kepada masyarakat luas setelah

diketahui bahwa ternyata tersangka tidak bersalah akan tetapi nama tersangka

telah tersebar luas atau telah tercemar.

Dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk

mengajukan skripsi yang berjudul. “Pencemaran Nama Baik Akibat Salah Tangkap” (Kajian Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Positif) karena pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk kejahatan yang dapat membunuh

karakter seseorang. sehingga hal ini sangat menarik untuk dibahas dan diangkat

sebagai judul skripsi.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat

batasan permasalahan, yaitu kasus salah tangkap yang terjadi di Kota Bekasi pada

tahun 1947 dan tahun 2002.

Untuk memudahkan pembahasan proposal ini maka penulis mencoba

merumuskan masalah ini sebagai berikut

1. Apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik ?

2. Apa yang dimaksud salah tangkap ?

3. Bagaimana perlindungan hak-hak korban dalam kasus salah tangkap ?

4. Apa perbedaan dan persamaan dari hukum Islam dan hukum positif tentang

(14)

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan di atas maka dapat diakui bahwa

tujuan umum dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui definisi pencemaran nama baik

2. Untuk mengetahui definisi salah tangkap

3. Untuk mengetahui perlindungan hah-hak korban dalam salah tangkap

4. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari hukum islam dan hukum

positif tentang “Pencemaran dan Salah Tangkap”.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah agar para aparat lebih hati-hati

dalam melakukan penyidikan, untuk mengetahui bagaimana perlindungan

hak-hak korban yang dilakukan oleh pemerintah serta sangsi yang akan dikenakan

kepada Aparat Kepolisian serta untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam

dan hukum pidana positif

D. Kajian Pustaka

Penulis akan membuat kajian pustaka dengan tujuan untuk mengkaji

materi-materi yang terdahulu yang memiliki tema yang berkaitan dengan tema

yang dipilih oleh penulis dan materi atau karya-karya tersebut adalah

skripsi-skripsi yang berjudul pencemaran nama baik oleh media massa (pers), karangan

Hidayatullah, 2004. yang paling utama yang dikaji adalah perlindungan terhadap

(15)

perlindungan hukum Bagi tersangka kekerasan oleh aparat, karangan Handriyo

Akbarullah, 2006. yang paling utama dikaji adalah bahwa pentingnya

perlindungan bagi hak-hak setiap manusia terutama pada tersangka yang sering

adanya kekerasan dalam penyidikan baik secara fisik dan mental.

Dilihat dari karya-karya di atas, maka penulis dapat mengambil

kesimpulan bahwa belum ada yang membahas mengenai pencemaran nama baik

akibat salah tangkap, kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif

E. Metode Penelitian 1. Teknik Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data yang kemudian

dianalisakan dan diuji kebenarannya dengan cara mengumpulkan

sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek permasalahan yaitu dengan cara

mengambil buku-buku, pendapat para ahli, surat kabar, majalah, internet, dan

lain-lainnya.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data, yaitu data yang

bersumber dari data primer dan data sekunder yang kedua-duanya berbentuk

kitab-kitab dan buku-buku baik bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Yang

di maksud data primer adalah Al-tasyri’ Al-jina’i Al-Islami Muqoronan

(16)

Moeljatno, KUHAP, Urgensi perlindunagn kejahatan antara norma dan

realita, karangan Dikdik M.arief Mansur dkk, dan Pencemaran Nama Baik

dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, karangan Tjiptro

Lesman. Adapun yang dimaksud data sekunder adalah kitab-kitab,

buku-buku, serta literature yang berhubungan dengan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang digunakan baik primer atau sekunder

yang sebagian besar data yang diperoleh melalui kitab-kitab, buku-buku,

pendapat-pendapat para ahli hukum, dokumen-dokumen dan sebagainya yang

ada relevansinya dengan masalah pokok yang terdapat dalam masalah ini.

Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan

skripsi ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi

yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan, maka pembahasan

skripsi “pencemaran nama baik akibat salah tangkap” ini akan disusun dalam lima

bab dan masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Dengan sistematika sebagai

berikut:

BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian

(17)

BAB II : Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak

pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana positif.

BAB III : Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak

pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana Islam.

BAB IV : Berisi tentang pengertian salah tangkap, sebab-sebab terjadinya

salah tangkap serta akibat yang akan dirasakan akibat dari salah

tangkap,

BAB V : Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari

permasalahan skripsi dan saran, dan di mana pada akhir terdapat

(18)

BAB II

TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF

A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana

Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang

dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf.

Hukuman merupakan istilah umum untuk segala macam sanksi, baik perdata,

administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang

berkaitan dengan hukum pidana.11

Oleh karena itu “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus. Maka,

perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan

ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khusus. Untuk memberikan gambaran yang lebih

luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana:

1. Menurut Profesor Sudarto. yang dimaksud dengan hukum pidana adalah,

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

2. Menurut Profesor Ruslan Soleh, Pidana adalah reaksi atas delik. Dan ini

berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat

delik itu.12

11

. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994). Cet. Ke-2, h. 27.

12

(19)

3. Dan menurut Profesor Van Hemel, arti dari pidana atau straf menurut hukum

positif dewasa ini adalah, suatu yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan

oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara

sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang

pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar

peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.13 Jadi, pidana

merupakan suatu bentuk penderitaan yang dikenakan dengan sengaja oleh

kekuasaan yang berwenang kepada pelanggar peraturan.

Pada kalimat “tindak pidana” terdiri dari dua kata yakni “tindak” dan

“pidana”.dalam kamus bahasa Indonesia kata “tindak” mempunyai arti:

perbuatan.14 Sedangkan kata “pidana” mempunyai arti: kejahatan (tentang

pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya).15

Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit, Terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar

dan feit. Ternyata “straf” diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kalimat

“baar” diterjemahkan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata “feit”

diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.16 Telah

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

13

. P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Amrico, 1994), Cet. Ke- 4, h. 49.

14

. Dep dik but ,Kumus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 984. 15

. Ibid, h. 681. 16

(20)

1. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum.

2. Peristiwa pidana.

3. Perbuatan pidana.

4. Tindak pidana.

5. Delik.17

Perumusan Simon yang dikutip oleh S.R. Sianturi dalam bukunya,

merumuskan bahwa : “Een Strafbare Feit” adalah suatu handeling (tindakan atau

perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan

dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seseorang yang mampu bertanggung jawab.18

Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana Kumpulan Kuliah,

memakai istilah tindak pidana, karena istilah tindak pidana (tindakan), mencakup

pengertian melakukan atau berbuat (actieve handling) dan atau pengertian tidak

melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handling).19

Dalam hal ini dapat diambil suatu kesimpulan tentang rumusan tindak

pidana (delik) :

1. Suatu perbuatan manusia (menselijke handelingen) hendelingen bisa bersifat

een doen ( perbuatan ) dan een nalaten ( mengabaikan ).

17

. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerannya, (Jakarta: Alumni ahaem petehem, 1996,), Cet. Ke-4, h. 200.

18

. Ibid, h. 201. 19

(21)

2. Perbuatan (handelingen) yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang.

3. Perbuatan (handelingen) itu harus dilakukan oleh orang ( seseorang ) yang

dapat dipertanggungjawabkan.

Dari pengertian-pengertian Strafbaar Feit yang dikumukakan oleh para

pakar hukum pidana, diperoleh makna bahwa Strafbaar Feit sama dengan delik,

sama dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan istilah lain salinannya. Namun

dari segi materi Strafbaar Feit terdapat 2 (dua) pendapat yakni: ada pendapat yang

menyatukan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab Strafbaar Feit dalam satu

golongan dan pendapat lain yang memisahkan unsur perbuatan dan unsur

tanggung jawab Strafbaar Feit dalam 2 (dua) golongan, atau dengan kata lain ada

beda pandangan mengenai materi Strafbaar Feit sehingga ada garis pemisah

antara 2 (dua) aliran, yaitu20:

1. Aliran Monisme, antara lain Simon yang merumuskan Strafbaar Feit sebagai

eene strafbaar getseld, onrechtmatige, met schuld in verband staande

handeling van een toerekeningsvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh

hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh

orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas

perbuatannya). Menurut aliran ini unsur Strafbaar Feit meliputi unsur-unsur

perbuatan (lazim disebut unsur objekif) yaitu unsur melawan hukum dan

20

(22)

unsur tidak ada alasan pembenar maupun unsur-unsur tanggung jawab (lazim

disebut unsur subjektif), yaitu unsur mampu bertanggung jawab, unsur

kesalahan sengaja dan atau alpa, unsur tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena

manunggalnya unsur perbuatan dan unsur si pembuat, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa, Strafbaar Feit adalah sama dengan syarat-syarat

pemberian pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi

Strafbaar Feit, maka pasti si pembuatnya dapat dipidana.

2. Aliran Dualisme antara lain Moelyanto, yang merumuskan perbuatan pidana

adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam

dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Menurut aliran ini

perbuatan pidana menurut wujudnya atau sifatnya adalah melawan hukum dan

perbuatan yang merugikan dalam arti bertentangan dengan atau menghambat

terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan

adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan (lazim disebut golongan

subjektif), yang meliputi unsur melawan hukum, unsur tidak ada alasan

pembenar, dan dari si pembuat, (lazim disebut golongan subjektif) meliputi

unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan : sengaja dan atau alpa dan

(23)

Kedua aliran itu ada kesamaan pendapat, bahwa delik harus mencocoki

perumusan Undang-undang, sehingga dapat digambarkan dalam suatu skema,

sebagai berikut21:

Aliran Monisme Aliran Dualisme

Dalam pandangan dualisme, Karena pemisahan unsur perbuatan dan unsur

si pembuat, maka konsekuensinya jika yang tidak terbukti unsur objektif, maka

bunyi amar putusan ialah bebas (vrijspraak). Namun jika yang tidak terbukti

unsur subjektif, maka amar putusan berbunyi : dilepas dari tuntutan (ontslag van

rechtsvervologing). Jika semua unsur terbukti, maka si pelaku dipidana. Jadi hal

itu, apabila yang terbukti unsur objektif yaitu unsur melawan hukum, namun jika

si pelaku tidak mampu dipertanggung jawabkan, maka ia harus dilepaskan dari

tuntutan. Dengan kata lain : perbuatannya itu tetap melawan hukum akan tetapi si

21

. Ibid., h. 19. 1. Melawan hukum

2. Mampu bertanggung jawab 3. Kesalahan ; sengaja atau alpa 4. Tidak ada alasan pembenar 5. Tidak ada alasan pemaaf

1. Golongan obyektif a. Melawan hukum

b. Tidak ada alasan pembenar

2. Golongan subyektif

a. Mampu bertanggung jawab b. Kesalahan ; sengaja atau alpa c. Tidak ada alasan pemaaf

Syarat pemberian pidana

(24)

pelaku misalnya sakit jiwa ( pasal 44 KUHP ), karena itu ia tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

Dalam hal ini Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana

Kumpulan Kuliah Bagian I, telah menjelaskan unsur-unsur delik pada dua

bagian:22

1. Unsur-unsur yang objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar dari

manusia, yaitu berupa :

a. Suatu tindak tanduk, jadi suatu tindakan.

b. Suatu akibat tertentu (een bepaaldgejolg).

c. Keadaan ( omstendungheid ).

Yang kesemuanya ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang.

a. Suatu tindak-tanduk atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang. Seperti sumpah palsu (meineed) pasal 242.

Dalam perbuatan ini yang merupakan unsur objektif dan yang dilarang

dan diancam dengan hukuman adalah : memberikan keterangan palsu

dalam sumpah. Memalsukan Surat, pasal 263 (unsur objektif, pemalsuan).

Pencurian, pasal 362 unsur objektif, mengambil (wegnemen).

b. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang, seperti di antaranya : pembunuhan pasal 338, didalam

22

(25)

perbuatan ini yang merupakan unsur objektif adalah akibat (gevolg)

perbuatan seseorang yaitu : matinya orang lain. Dan penganiayaan pasal

351, yang dimaksud dengan perbuatan ini adalah : yang mengakibatkan

sakit pada badan atau cidera pada orang lain, unsur objektifnya :

mengakibatkan sakit dan cidera orang lain.

c. Hal-hal khusus yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan

undang-undang, misalnya : menghasut pasal 160, unsur objektifnya adalah

dilakukannya perbuatan itu di depan orang banyak (umum). Melanggar

kesusilaan umum pasal 281, unsur objektifnya dalam pasal ini adalah

apabila perbuatan ini dilakukan di depan umum.

2. Unsur-unsur yang subjektif, yakni berupa diantaranya

a. Toerekenungsvatbarheid (dapat dipertanggung jawabkan)

b. Schuld (kesalahan)23.

Dari penjelasan semua di atas dapat diambil secara ringkas tentang

unsur-unsur-unsur tindak pidana yakni :

1. Subyek

2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4. Suatu tindakan aktif atau pasif yang dilarang atau diharuskan oleh

undang-undang atau perundang-undang-undang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam

dengan pidana.

23

(26)

5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur-unsur obyektif lainnya)24.

Oleh karena itu penggunaan istilah “perbuatan pidana” dengan pengertian

sebagai aliran atau teori “dualisme”, sedangkan penggunaan istilah “tindak

pidana” dengan pengertian sebagai aliran atau teori “monisme”.

Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan yang juga dapat dijadikan suatu

dasar atau pedoman bahwa :

1. Tiada pidana, tanpa telah terjadi suatu tindakan yang terlarang dan diancam

pidana oleh undang-undang.

2. Tiada pidana, tanpa kesalahan.

3. Tiada pidana, tanpa sifat melawan hukum (dari tindakan tersebut).

4. Tiada pidana, tanpa adanya subjek (petunjuk yang ditentukan).

5. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur objektif lainnya.

Jadi apabila dari salah satu dari berbagai unsur-unsur tindak pidana itu

tidak ada atau hilang atau kurang maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu

bukan merupakan suatu tindak pidana. Tetapi apabila suatu peristiwa telah

memenuhi unsur-unsur dari suatu delik, dalam hal ini unsur-unsur dari delik

tersebut disusun terlebih dahulu seperti tersebut di atas. Jika ternyata sudah

cocok maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana

yang telah terjadi yang (dapat) dipertanggung jawabkan pidananya kepada

subjeknya.

24

(27)

B. Tujuan Pemidanaan

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin

dicapai dengan suatu pemidnaan, yaitu:25

1. Untuk memperbaiki pribadi penjahatnya itu sendiri.

2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan.

3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk

melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang

dengan cara-cara lain yang sudah tidak diperbaiki lagi.

Dalam literatur bahasa Inggris, tujuan pidana dapat disingkat dengan tiga

R dan satu D. Tiga R itu adalah reformation, yang berati memperbaiki atau

merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat,

restraint, maksudnya mengasingkan pelanggaran dari masyarakat dan

restrtribution ialah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan

kejahatan. Sedangkan satu D ialah deterence yang terdiri individual deterence dan

generale deterence (pencegahan khusus dan pencegahan umum) yang berarti

menjera atau mencegah. Sehingga, baik terdakwa sebagai individu maupun orang

lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan

kejahatan, karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.26

25

. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1 h.52.

26

. A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,

(28)

Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan

pidana, yaitu:27

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Untuk mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian

menjadikan orang yang baik dan berguna.

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.28

Kerangka di atas menimbulkan beberapa teori yang berupa pertanyaan,

yakni apa hakekat dan tujuan pemidanaan?. Di antara para penulis barat yang

menganut pelbagai teori hukum pidana atau strafrechts theorien mendasarkan

pikirannya pada persoalan-persoalan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu

hukuman pidana. Teori-teori hukum pidana ada hubungan erat dengan subjectief

strafrecht (jus paniendi), sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan

menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief strafrecht (jus punale), sebagai

peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana.29

27

. Aruan Sakitjo dan Babang Poenomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990) Cet. Ke-1h. 70.

28

. Zaenal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP,

(Jakarta: Elsam, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005), h. 13. 29

(29)

1. Teori Absolut Atau Mutlak (tujuan)

Menurut teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,

tidak boleh tidak dan tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana

karena telah melakukan kejahatan.30 Teori pembalasan membenarkan

pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana, sehingga

terhadap pelakunya mutlak dijatuhkan pidana yang merupakan

pembalasan terhadap tindakan tersebut.31 Penjatuhan hukum itu

berdasarkan pembalasan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh

seseorang. Dasar hukumnya terletak pada kejahatan itu sendiri yang

mengakibatkan hukum itu.32 Namun terdapat perbedaan dalam hal

mencegah kejahatan yakni

1) ada yang berpendapat agar pencegahan di tujuan kepada umum yang

disebut prevensi umum. Hal ini dapat dilakukan dengan ancaman

hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman.Ada yang

2) Berpendapat agar prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan

kejahatan itu sendiri.

Selain itu timbul perbedaan pendapat mengenai cara mencegah

kejahatan, di antaranya dengan cara:

1) menakut-nauti yang ditujukan terhadap umum

30

. Ibid, h. 25. 31

. R.S. Sianturi dan Mopang L Panggabean Hukum Penitensia di Indonesia,(Jakarta: Almni Ahaem-Petehaem, 1996) Cet. Ke-1, h. 40.

32

(30)

2) memperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar menginsafi atau

tidak mengulangi perbuatannya

3) melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan hidup.

Kemudian muncul teori relatif modern yang antara lain di utarakan

oleh Frans Von Liszt, Van Hamel, dan D. Simons. Mereka mengutarakan

bahwa untuk menjamin ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan

yang mengandung larangan dan keharusan. Peraturan dimaksud untuk

mengatur hubugan antar individu di dalam masyarakat, membatasi hak

perseorangan agar mereka dapat hidup aman dan tentram, untuk itu negara

menjamin agar peraturan- peraturan itu senantiasa dipatuhi masyarakat

dengan memberi hukuman pada pelanggarnya.

2. Teori-teori Felatif atau Nisbi (balasan)

Teori ini mengatakan bahwa dasar hukuman harus dicari dari

kejahatan itu sendiri, karena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi

orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi

penderitaan.

Para pakar penganut teori ini anatara lain:

1) Immanuel Kant

Immanual kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar

hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah

(31)

merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Di

sini hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang etis.

2) Hegel

Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatau

kenyataan kemerdrkaan. Olehnkarena itu, kejahatan merupakan

tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi

balasan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding.

3) Herbart

Menurut Herbart, kejahatan menimbulkan perasaan tidakenak

pada orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu, pelaku

kejahatan harus diberi hukuman sehingga masyarakat merasa puas.

4) Stahl

Menurut Sthal bahwa hukum adalah suatau yang diciptakan

oleh tuhan. Karena kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap

perikeadilan tuhan, untuk menindaknya negara diberi kekuasaan

sehingga dapat melenyapkan atau memberi penderitaan bagi pelaku

kejahatan.

5) Jean Jackues Rousseau

Pokok pangkal pemikran Rossseau adalah bahwa manusia

dilahirkan dengan memiliki hak dankemerdrkaan penuh. Akan tetapi,

manusia di dalam hidupnya memerlukan pergaulan. Di dalam

pergaulan itu jika setiap orang ingin mempergunakan hak dan

(32)

menghindarkan kekacauan itu, setiap orang dibatasi hak dan

kemerdekaannya. Artinya, setiap orang menyerahkan sebagian dari

hak dan kebebasannya kepada negara. Dengan diperolehnya hak-hak

itu, negara harus dapat mengancam setiap arang yang melanggar

peraturan. Jadi, setiap hukuman telah disetujui oleh semua orang

termasuk pelaku kejahatan.33

3. Teori Gabungan

Teori ini merupakan penggabungan dari dua teori, yakni teori

mutlak atau pembalasan dan teori relatif atau pencegahan. Teori ini yang

dianut di Indonesia.34 dengan menelaah teori-teori di atas, dapat

disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah

1) menjerakan penjahat

2) membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat

3) memperbaiki pribadi si penjahat

Pada hakikatnya, ketiga hal tersebut menjadi dasar di adakannya

sanksi pidana. Akan tetapi, membinasakan penjahat masih menjadi

masalah perdebatan para pakar. Sebagian negara memang telah

33

. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jkarta: Sinar Grafika, 2002) h. 105.

34

(33)

menghapuskan hukaman mati, tetapi sebaian lagi masih dapat

menerapkannya.35

Adapun tujuan hukuman dalam hukum positif, menurut A. Hanafi, tujuan

hukuman adalah:36

1. Fase balasan perseorangan (Vengeance-Privee atau al-Intiqomul-fardi)

2. Fase Balasan Tuhan (Vengeance Divine atau al-Intiqomul Ilahi)

3. Fase kemanusiaan (Humanitaire atau al-‘ashrul-Insani)

4. Fase keilmuan (scientifique atau al-‘asrul-‘ilmi)

Dari sekian pendapat yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat tujuan

penjatuhan hukuman atau pemidanaan adalah agar pelaku tindak kejahatan

menjadi jera (sadar) dan supaya orang lain yang belum pernah merasakannya bisa

mengambil pelajaran penting bahwa setiap tindak pidana yang melanggar

peraturan hukum akan dikenakan sanksi. Hal ini lebih dipertimbangkan demi

ketertiban sosial dan keharmonisan bersama dalam pranata sosial.

C. Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jenis Dan Macam-Macamnya

Sanksi pidana dalam hukum pidana positif dibagi menjadi dua bagian

yaitu berupa hukuman pokok dan hukuman tambahan. Sebagaimana yang

tercantum dalam KUHP Pasal 10 yang berbunyi sebagai berikut:37

35

. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. H. 107. 36

(34)

1. Pidana pokok

a. Hukuman mati

b. Hukuman penjara

c. Hukuman kurungan

d. Hukuman denda

e. Hukuman tutupan

2. Pidana tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman putusan hakim

Hukuman Pokok

1. Hukuman mati

Hukuman mati adalah hukuman yang dilakukan dengan mengambil

jiwanya pelaku yang melanggar undang-undang pidana. Hukuman mati

biasanya digelar di lapangan yang luas dan dapat dilihat oleh masyarakat dari

berbagai tempat. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang melihat hukuman

mati tidak melakukan perbuatan kejam yang akan mengakibatkan

dijatuhkannya hukuman mati. Mengutip pendapat Mr. JE Jonkers, Wirdjono

Prodjodikoro mengemukakan ada empat golongan kejahatan dalam KUHP

diancam dengan hukuman mati, yaitu:

37

(35)

a. Kejahatan berat terhadap kemanan negara (Pasal 130, 105, 111 ayat 2, 124

ayat 3, 129

b. Pembunuhan berencana (Pasal 130 ayat 3, 140 ayat 3, 340).

c. Pencurian dan pemerasan dalam keadaan memberatkan (Pasal 365 ayat 4,

dan Pasal 368 ayat 2).

d. Bajak laut, perampokan di pantai, perampokan di tepi laut, dalam air

surut, dan perampokan di sungai, dilakukan dalam keadaan tersebut (Pasal

444).

Pelaksanaan (eksekusi) hukuman mati sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 11 KUHP berbunyi: “pidana mati dijalankan oleh algojo atas

penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada

tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.

2. Hukuman penjara

Kedua hukuman ini sama-sama menghilangkan kemerdekaan

seseorang untuk sementara waktu atau seumur hidup. Perbedaan yang sangat

jelas adalah hukuman penjara dijatuhkan karena tindak pidana berat,

sedangkan hukuman kurungan dijatuhkan pada tindak pidana ringan.

Perbedaan-perbedaan pokok hukuman penjara dan kurungan adalah sebagai

berikut:38

38

(36)

a. Menurut Pasal 12 ayat 2 KUHP, lamanya hukuman penjara adalah

sekurang-kurangnya (minimum) satu hari dan selama-lamanya lima belas

tahun, maksimum lima belas tahun dilampaui dalam hal gabungan tindak

pidana, recidive, atau dalam berlakunya Pasal 52 KUHP (Pasal 12 ayat 3).

Menurut Pasal 18 ayat 1 KUHP, lamanya hukuman kurungan (hectenis)

adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun,

dengan kemungkinan maksimum satu tahun empat bulan dengan

aturan-aturan yang sama (Pasal 18 ayat 2).

b. Menurut Pasal 19 ayat 2 KUHP, kepada seorang hukuman kurungan

diberi pekerjaan ringan.

c. Menurut Pasal 21 KUHP, orang hukuman kurungan harus dijalani dalam

daerah propinsi (gewest) tempat si terhukum berdiam.

d. Menurut Pasal 23 KUHP, orang hukuman kurungan boleh memperbaiki

nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang ditetapkan dalam

undang-undang.

Sedangkan persamaan dari hukuman penjara dan hukuman kurungan

adalah sebagai berikut:39

a. Menurut Pasal 20 KUHP dalam putusan hakim yang menjatuhkan

hukuman penjara atau kurungan selama tidak lebih dari satu bulan, dapat

ditentukan bahwa kepada mereka oleh jaksa dapat diizinkan, di luar

jam-jam bekerja pulang ke rumah masing-masing.

39

(37)

b. Tidak boleh bekerja di luar tembok rumah-rumah penjara, yang sekarang

dinamakan rumah-rumah pemasyarakatan, yaitu:

1) Orang-orang yang dipenjara seumur hidup

2) Orang perempuan

3) Orang yang mendapat sertifikat dokter

c. Menurut Pasal 26 KUHP, apabila menurut hakim alasan berdasarkan atas

keadaan pribadi atau keadaan kemasyarakatan, maka dapat ditentukan

bahwa kepada seorang hukuman penjara atau kurungan tidak diberi

pekerjaan di luar tembok rumah-rumah pemasyarakatan.

3. Hukuman tambahan

Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah dari hukuman

pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahan. Misalnya

seorang yang melakukan tindak pidana tertentu oleh hakim diputuskan dengan

hukuman penjara dan dicabut hak pilih maupun hak memilih dalam pemilihan

umum. Para ahli hukum berpendapat sub-sub sistem hukuman di atas

sederhana. Sifat kesederhanaan ini terletak pada gagasan, bahwa berat

ringannya hukuman tergantung pada berat atau ringannya suatu tindak pidana.

Mengenai sistem hukum ini Wirdjono Prodjodikoro berpendapat

dalam menentukan suatu hukuman harus berhati-hati dalam menyesuikan

(38)

selama belum ada system yang baik dan benar sesuai dengan keadaan bangsa

Indonesia, kiranya dipertahankan system seperti ini.40

D. Pencemaran Nama Baik Dan Sanksinya Menurut Hukum Positif

Di Amerika dan di Ingris dikenal istilah “defarmation” (dari kata kerja to

defame yang artinya Menghina, menista) to defame bisa diartikan (merusak atau

menodai reputasi seseorang ataupun sekelompok orang dengan cara-cara yang

tidak baik seperti pernyataan yang tidak berdasarkan fakta).41

Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai

defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation)

diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis).42

Dalam pebuatan defarmation, suatu pernyataan dipermasalahkan karena di

pernyataan itu telah mengakibatkan tercemarnya atau ternodanya nama baik

seseorang.

Masalah libel sebenarnya mempunyai sejarah ribuan tahun, tepatnya pada

kerjaan romawi. Tatkala itu dikenal dalam bahasa latin yang disebut libelli famosi

yang berarti publikasi yang bersifat menghina dengan tujuan merusak pribadi

seseorang. Pada awal era republik Roma, penguasa membuat suatu peraturan

perundang-undangan yang disebut “Twelve Table”. Dengan undang-undang ini,

40

. Wirdjono Prodjodikoro, Op. Cit, h. 163.

41

. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, (Jakarta: Rika Pres, 2005), h.27.

42

(39)

siapa saja yang terbukti membuat tulisan yang bersifat menghina dapat dikenakan

hukuman sangat berat ketentuan ini, menurut sejarawan kenamaan Romawi,

Tacitus, tidak dijalankan lagi pada tahun-tahun akhir republik Roma.baru masa

kekaisaran Agustus (63 SM), peradilan terhadap pelaku libelli famosi

dilakksanakan lagi.43

Setelah mendapatkan bisikan dan sejumlah pembantu dekatnya tentang

adanya undang-undang anti penghinaan, Kaisar Agustus segera memerintahkan

supaya semua barang cetakan yang bersifat menghina dibakar dan sebagian

pengarangnya diadili. Salah satu ketentuan dalam undang-undang tersebut,

menyatakan pengarang Libellus FamosiI harus dikutuk (intestabillis). Hukuman

mati bukan saja dikenal kepada pembuatnya, tapi juga mereka yang terbukti telah

menyimpannya, atau mereka yang tidak segera memusnahkannya setelah

mendapatkannya.44

Raja-raja yang berkuasa di Eropa, khususnya Jerman, setelah kerajaan

Romawi runtuh, juga mengikuti tradisi kaisar Romawi, yaitu menjatuhkan

hukuman keras terhadap mereka yang tidak percaya pada Tuhan, atau

menganjurkan pandangan yang bertentangan dengan pendapat penguasa, atau

menghasut rakyat untuk memberontak. Raja Konstantinus Agung, misalnya,

mengeluarkan titah yang melarang beredarnya tulisan tulisan Porphiry dan Anus.

Raja Accadius memerangi buku-buku Eunomian (tahun 398) dan Raja

43

. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik…, OP. Cit, h. 27. 44

(40)

Theodosius memberangus kaum Nestorian (tahun 435). Raja Justinian malah

memimpin langsung gerakan penghancuran atas karya-karya tulisan yang bernada

menghina terhadap kekuasaan. Para paus di Roma juga bertindak sama. Mereka

mengklaim mempunyai kewenangan untuk mengawasi publikasi yang berisikan

ajaran agama Kristen. Kewenangan itu malah menambah ke

universitas-universitas. Paus Leo I membakar buku-buku Manichaean (tahun 446)

Semua itu terkait dengan isu penghinaan dan fitnah. Artinya, buku-buku

itu tulisan yang dilarang, kemudian dimusnahkan, dinilai oleh penguasa berisikan

ajaran-ajaran sesat yang meracuni penduduk.45

Sedangkan di Indonesia istilahlah pencemaran nama baik menurut KUHP

“menyerang kehormatan orang lain” istilah ini baru muncul sekitar pertengahan

tahun 70-an.

Jika kita simak rekaman delik-delik pers yang terjadi pada dekade tahun

50-an, misalnya , istilah yang paling sering dipakai adalah”menghina”, disusul

dengan istilah “memfitnah”. Misalnya, Menteri tenaga kerja dan pekerjaan umum

pada pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Ir H. Loah, pernah

menggugat Ny. Fuhri Mierop (Pemimpi redaksi Nieve Courant di

Surabaya).46Menteri menggugat suatu berita yang dipublikasi di Koran yang

dianggap menghina martabatnya. Pengadilan Surabaya mengabulkan gugatan Ir.

45

. Ibid, h. 28. 46

(41)

Laoh. Ny. Mierop dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 171 ayat (2)

KUHP dan dihukum denda sebesar Rp. 200,- subsider kurungan badan 3 minggu.

Pasal 171 ayat (2) KUHP dicabut pada tahun 1946, diganti dengan UU no.

1 tahun 1946 yang dalam pasal XIV berbunyi:

Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan

yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat

menyangka bahwa berita atau pembertahuan itu adalah bohong, dihukum penjara

selama 3 tahun.

Di Banjarmasin, pada triwulan ketiga 1953, para anggota redaksi dua surat

kabar ditangkap karena artikel-artikel yang dianggap menghina para pejabat

setempat.47 Asnawi Musa, pemimpin redaksi Tekad dipenjara selama beberapa

hari, sementara menunggu sidang pengadilan. Pemimpin redaksi yang lain, A.

Djohansjah dari Tugas, dikenai hukuman kerja keras bersama para narapidana

biasa. Namun, Djohansjah kemudian dibebaskan setelah timbul protes dari

kalangan pers.

Baru-baru ini kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh dua

anggota ICW (Indonesia Corruption Watch) yakni Lilian Deta Arta Sari dan

Emerson Yuntho yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan ReserseKriminal

(Bareskrim) Mabes Polri. Keduanya dituduh melakukan pencemaran nama baik

terhadap pejabat negara Kejaksaan Agung. Kasus itu bermula saat peringatan Hari

47

(42)

Antikorupsi sedunia tanggal 9 Desember 2008. Kejaksaan Agung mengklaim

telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 8 triliun dan 18 juta dolar Amerika

Serikat dari berbagai kasus korupsi di seluruh Indonesia dalam rentang waktu

2004-2008.

Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ICW merilis data

tandingan bahwa uang yang diselamatkan instansi kejaksaan hanya Rp. 382,67

juta, sedangkan sisa dari jumlah yang diklaim Kejaksaan belum dikembalikan ke

kas negara. Oleh karena itu, KP2KKN (Komite Penyelidikan dan Pemberantasan

Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) antikorupsi di Jateng yang tergabung dalam Cintai Indonesia Cintai KPK

Jawa Tengah meminta agar Kapolri segera mengeluarkan surat penghentian

penyidikan perkara (SP3) atas kasus tersebut.

Jika mengacu pada Pasal 311 KUHP Tentang Pencemaran Nama Baik,

tidak bisa dikenakan dalam kasus ini, sebab unsur dalam pasal tersebut mengacu

pada Pasal 310 KUHP. Di mana unsur Pasal 310, 311-316 KUHP hanya bisa

dikenakan terhadap seseorang atau individu bukan institusi atau organisasi.48 Dan

pada akhirnya kasus tersebut ditutup.

Delik penghinaan, secara khusus, diatur dalam Bab XVI kitab

undang-undang hukum pidana (KUHP) yang terdiri atas dua pasal, yakni Pasal 310

sampai Pasal 312. Tindak kejahatan “penghinaan”, menurut R. Soesilo adalah

48

(43)

“menyerang kehormatan nama baik seseorang”. Akibatnya , yang diserang merasa

malu “kehormatan” yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang nama

baik, bukan “kehormatan dalam lapangan seksual” atau kehormatan yang

dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu

birahi kelamin. Perbuatan yang menyinggung kehormatan seseorang dalam

bidang seksual tidak termasuk dalam kejahatan “penghinaan”, akan tetapi masuk

pada kejahatan “kesopanan” atau kejahatan “kesusilaan” yang diatur dalam Pasal

281 sampai Pasal 303 KUHP.49

Soesilo membagi kejahatan penghinaan dalam 6 kategori:

1. Menista Dengan lisan (Pasal 310):

Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang

dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud

yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan

hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-

2. Menista dengan tulisan (Pasal 310):

a. Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,

dipertunjukkan di tempat umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu

dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara

49

(44)

lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.

4.500,-

b. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata

bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau

lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri (KUHP

134 s, 142 s, 207,311 s, 319 s, 483, 488)

3. Memfitnah (Pasal 311):

a. Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan,

dalam hal ini diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada

dapat membuktikan dan tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya

tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman

selama-lamanya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam Pasal 35

No.1-3 (KUHP 312 s, 316, 319, 488).

4. Penghinaan ringan (Pasal315):

Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tiada bersifat menista atau

menista dengan tulisan, yang dilakukan seseorang baik di tempat umum

dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun di hadapan orang itu sendiri

dengan lisan atau dengan perbuatan, begitu pun dengan tulisan yang

dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan,

(45)

denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (KUHP 134 s, 142 s, 310, 316, 319,

488)

5. Mengadu dengan memfitnah (Pasal 317):

a. Barang siapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan

surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar negeri

tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi

tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan

hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam (Pasal 35,

No. 1-3 KUHP 72 220, 310, 488).

6. Menyuruh dengan memfitnah (Pasal 318):

a. Barang siapa dengan sengaja dengan melakukan suatu perbuatan,

menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan suatu

perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah

dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut pada Pasal 35

No 1-3 (KUHP 319, 488).50

Unsur-unsur kejahatan menista seperti diatur di dalam Pasal 310 ayat (1)

adalah:

1. Menuduh seseorang.

2. Melakukan perbuatan tertentu.

50

(46)

3. Dengan maksud.

4. Tuduhan itu tersiar untuk diketahui banyak orang.

Sedangkan unsur-unsur kejahatan menghina seperti diatur dalam Pasal

310 ayat 2 (dua) adalah semua unsur yang terdapat pada tindak kejahatan menista

ditambah satu unsur lagi, yaitu “tuduhan itu diketahuinya tidak Benar” Artinya ,

ada kesengajaan menista.51

Dari yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat bahwa salah satu kunci

perbuatan mencemarkan nama baik adalah reputation. Menghina atau merusak,

menodai reputasi, atau nama baik atau nama baik seseorang atau sekelompok

orang dengan tidak Fair seperti menyebarluaskan pernyataan yang tidak

berdasarkan fakta. Yang ada dalam masyarakat terhadap seseorang reputasi atau

nama baik lebih banyak berbicara tentang karakter atau kepribadian seseorang.

Maka jika kepribadian seseorang yang positif dihadapkan dengan stigma buruk, ia

akan merasa malu dan tersinggung.

Reputasi seseorang bisa baik bisa buruk, yang menentukan baik-buruknya

reputasi seseorang adalah masyarakat. Maka setelah nama baik seseorang

tercemar si pembuat dikenai hukuman pidana yang tertera dalam KUHP BAB

XVI Tentang Penghinaan.

51

(47)

BAB III

PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jinayah dan Jarimah

Dalam kaidah hukum Islam, pengertian pidana termuat dalam Fiqh

Jinayah. Di dalamnya terhimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau

kejahatan manusia berbagai sasaran yang menyangkut badan, jiwa, harta benda,

kehormatan, nama baik, Negara, tatanan hidup dan lingkungan hudup. Di sinilah

letaknya agama Islam sangat menghomati dan mengakui keberadaan manusia

dengan menimbang segala kelebihan maupun kekurangannya.

Dalam mempelajari fiqh jinayah, ada istilah penting yang terlebih dulu

harus dipahami sebelum menggali materi selanjutnya. Pertama adalah jinayah dan

kedua mengenai jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan

arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif (sinonim) bagi

istilah lainnya. Singkat kata, keduanya bermakna tunggal. Meski begitu,

keduanya berbeda dalam penerapannya. Dengan demikian, kita patut

memperhatikan dan memahami agar penggunaannya tidak keliru.

Abdu Qodir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-jinai Al-Islami

Muqoronan Bilqonun Al-wad’i menjelaskan arti kata jinayah sebagai berukut:52

52

(48)

ﻥ !" #$ %&

' "

( ) #$

*

+ ,

-Artinya: “jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu pebuatan yang diharamkan syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, atau sebagainya.”

Pengertian jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian

jinayah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek atau

dosa. Maka jarimah adalah:53

. /'0)

1)ﺏ 3 " 4 ﺝ6 "

*

7$ﺕ

Artinya: “larangan –larangan syara (yang apabila dikerjakan) diancam Allah

SWT. Dengan hukuman Had atau Ta’zir.

Dalam hukum pidana Islam, apa yang mendorong untuk menganggap

sesuatu sebagai jarimah ialah kerena perbuatan itu dapat merugikan tata aturan

masyarakat, atau kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan kehidupan

anggota-anggota masyarakat bendanya atau nama baiknya atau

perasaan-perasaannya atau ketimbang lain yang harus dihormati dan dipelihara.

Adapun unsur-unsur umum dari pada tindak pidana dalam hukum Islam,

dibagi menjadi tiga yaitu:54

1. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat

menghukuminya (rukun syar’i). Dalam perundang-undangan kita istilah ini

disebut juga dengan unsur formil.

53

. Ibid, h. 66 54

(49)

Adanya nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman

terhadapnya sesuai dengan kaidah ushul fiqh:55

9

9 : #

)ﺕ !" # 1 (';

ﺏ<

Artinya: “Pada dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukan keharamannya.”

=ﻥ ﺏ ﺏ';"<

ﺝ <

Artinya: “Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash (aturan)

2. Melakukan pebuatan perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan

melakukan pebuatan atau tidak melakukan pebuatan (rukun madi). Dalam

perundang-undangan kita unsur ini disebut dengan unsur materil.

3. Hendaknya pelaku tindak pidana kejahatan itu mukallaf atau bertnggung

jawab atas tindakan pidana itu. (rukun adabi). Dalam perundang-undangan

kita disebut dengan unsur moril.

Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap

macam jarimah (tindak pidana atau delik). Di samping itu, terdapat unsur kasus

yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak tedapat pada jarimah yang lain.

Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak

akan ditemukan pada jarimah lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil)

harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan

nyawa orang lain dalam kasus pembunuhan.56

55

. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1 h. 52.

56

(50)

B. Macam-Macam dan Jenis-Jenis Jarimah

Pidana itu dapat dikatagorikan menjadai beberapa macam tergantung

kepada sudut pandang kita terhadapnya. Tapi penulis mencoba menjelaskan

pidana berdasarkan tindak pidana (jarimah) yang dilakukan pembuat . berikut

penjelasannya:

1. Pidana Hudud, yaitu sanksi pidana yang ditetapkan untuk jarimah hudud.

Ada beberapa poin penting di dalam menegakkan pemidanaan dalam jarimah

hudud, yaitu:

a. Asas legalitas, di mana setiap perbuatan yang dilakukan harus ada nash

yang melarangnya. Ini disebabkan agar ketika seseorang pembuat

perbuatan yang dilarang tidak dihukum atas perbuatannya di masa lalu

yang ditetapkan sebagai jarimah di kemudian hari.

b. Prinsip kehati-hatian, ketika hudud akan diterapkan harus dengan penuh

kehati-hatian. Hudud tidak dapat dijatuhkan bila ditemukan keragu-raguan

(syubhat). Karena akan menjadi lebih baik, pada saat membebaskan orang

bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Di sini berlaku

kaidah “Adlaruuatu Tubiihu Al-Mahdzuraat” (keadaan darurat

memperbolehkan melakukan yang dilarang), di mana terjadi delimatis

akibat dari kergu-raguan timbul.

c. Prinsif pembuktian yang akurat, prisif ini menjamin bahwa penjatuhan

(51)

orang yang memang layak maendapatkannya. Pembuktian merupakan

aspek penting dalam jarimah hudud, karena pembuktian yang akurat harus

dilakukan sebelum putusan dijatuhkan. Karena putusan dapat diambil

ketika si pembuat dinyatakan sah dan meyakinkan terbukti bersalah atas

perbuatan yang dilakukan.57

Berikut ini perincian pidana dalam jarimah hudud:

a. pidana Zina

1) Unsur-Unsur Zina

a) persetubuhan yang diharamkan, di dalam persetubuhan ini dapat

diukur, apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam

farji (pagina) walaupun sedikit. Dan juga, tetap dianggap zina

walaupun ada penghalang tipis yang tidak menghalang perasaan

dan kenikmatan bersenggama. Persetubuhan haram itu tetap

dianggap zina jika dilakukan oleh seseorang dengan orang lain

yang bukan miliknya atau bukan pasangannya yang sah.

b) Adanya kesengajaan atau niat melawan hukum, unsur ini

terpanuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan

(persetubuhan) pedahal ia mengetahui bahwa wanita yang di

setubuhi adalah wanita yang haram baginya.58

2) Bentuk Pidana Zina

57

. Muhammad Ichsan dan M Endriyo Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif

(Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiah Yogyakarta, 2008), h. 123-125. 58

(52)

a) Pidana dera, pidana dera sebanyak sertus kali diancam atas

perbuatan zina yang dilakukan oleh ghair muhsan (belum kawin).

Ketentuan ini didasarkan pada firman allah SWT dalam surat

An-nur Ayat 2:

!"

#$

%

$

&'(

)*

+

,

- . 

 1

2

3 4

5

657

8

9:

;

<

!= >?

(;@? $!

9:

+

BC@

D

EFGHI

J 8D

1

K (

2 KLM:

N

HO

#$

(5P

?

$!  D

>

/'

/

?@

A

@

B

Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganla

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa bentuk tindak pidana pencemaran nama baik melalui media internet ditinjau dari perspektif hukum pidana pada

sebagai aparat penegak hukum dalam rangka pencegahan terhadap tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial elektronik di wilayah Klaten dengan melakukan

perkara tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial. Manfaat

6HVHRUDQJ \DQJ PHQ\DPSDLNDQ SHQ dapat atau kritikan secara lisan atau tertu- lis tidak dapat begitu saja dijerat dengan pencemaran nama baik dan dijatuhi pidana

Menganalisa tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial di kota samarinda tidak terlepas dari kebijakan hukum pidana yang digunakan di kepolisian

(2) Dalam pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam kasus tersebut adalah dengan mengkaji kualifikasi tindak pidana,

Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini yaitu Adapun akibat hukum yang ditimbulkan ketika terjadi pencemaran nama baik oleh pers adalah terhadap pertanggungjawaban pidana

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Bagus Sulaksono Fakultas Hukum,Jurusan Ilmu Hukum Universitas 17