PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT SALAH TANGKAP (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy)
Oleh: FAHRURROZI NIM. 104045101547
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT
yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan
kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelelahan yang menerpa. Atas rahmat dan
karunia dari Mu, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan di warnai dengan
ujian, emosi, kesabaran, dan kekuatan. dan juga salawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat.
Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari
bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Prof. DR. H. Amin Suma, SH., MA., MM.
2. Ketua program studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi M.Ag dan
sekretaris program studi Jinayah Siyasah Ibu Sri Hidayati, M.Ag atas
kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis.
3. Kepada para dosen yang telah memberi ilmu, tenaga, dan waktu yang luar
biasa bagi penulis selama ini.
4. Kepada pegawai perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah
5. Kepada para pembimbing skripsi, Bapak H. Zubir Laini, SH, dan Bapak Dr.
Nurul Irfan, Yang telah memberikan saran, masukan, dan pengarahan yang
luar biasa bagi proses skripsi ini.
6. Kepada Kedua Orang tua tercinta, Ayahnda H. Abdul Rammat dan Ibunda
Halimah yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan
menghargai ilmu, memberikan dukungan do’a yang tidak pernah putus juga
telah memberikan kepercayaan yang besar bagi Anakmu (penulis).
7. Kepada adikku yang masih belum beranjak dewasa, Ahmad Maulana rizqi.
Terima kasih telah memberikan suasana yang berbeda setiap harinya di
rumah. Semoga skripsi ini dapat memberikan inspirasi untuk kamu agar dapat
menyelesaikan pendidikan dengan baik.
8. Kepada teman-teman alumni Pon Pes Darussalam Bogor khususnya alumni ke
IX Al-Adiyaat.
9. Kepada teman-teman sekelas : Amin, Epi, Zaelani, Hijrah, Finalto, Devison,
Komson, Azis, Rifa’i, Riko, Husni, Agus, Hilmi, Johan, Nandez, Iwek, Irna,
Puti, Zulfa, Novi, dan Reva.
10.Kepada seluruh dosen yang memberi dorongan dan semangat penulis dalam
pembuatan skripsi ini.
11.Kepada seluruh guru-guru yang pernah mengajar penulis. Skripsi ini
merupakan bentuk terima kasih dan penghargaan tertinggi penulis atas
jasa-jasa para guru selama ini.
12.Kepada rental Elok dan rental Cemara khususnya buat Bang Nanang yang
13.Kepada Fitriyani terima kasih telah memberikan masukan-masukan yang
berharga bagi penulis. Smoga apa yang penulis cita-citakan tercapai. Amin...
Demikian ucapan terima kasih dari penulis dan penulis berharap semoga
segala kebaikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga berharap,
semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi inspirasi bagi
generasi berikutnya.
Jakarta, 10 Januari 2010 M 25 Muharram 1431 H
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... 5
DAFTAR ISI... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Manfaat dan Tujuan ... 8
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika penulisan... 10
BAB II TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana... 12
B. Tujuan Pemidanaan... 21
C. Sanksi Dalam Hukum Pidana Jenis dan Macam-Macamnya ... 25
BAB III PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jinayah dan Jarimah... 39
B. Macam-macam dan Jenis-Jenis Jarimah ... 42
C. Uqubah Macam dan Tujuannya Dalam Hukum Islam... 55
D. Pencemaran Nama Baik dan Jenis Sanksinya Menurut Hukum Islam... 62
E. Kasus Hadis Al-Ifki dan Kaitannya Dengan Pencemaran Nama Baik ... 65
BAB IV SALAH TANGKAP DAN PENCEMARAN NAMA BAIK A. Pengertian Salah Tangkap ... 77
B. Sebab Terjadinya Salah Tangkap ... 78
C. Akibat Salah Tangkap ... 83
D. Macam-Macam Perlindungan Hak Korban... 84
E. Kasus Salah Tangkap ... 86
F. Analisis Pebandingan ... 91
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 91
B. Saran-saran ... 92
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia yang memiliki serta kesempurnaan dibandingkan dengan
makhluk lainnya telah mendorong untuk mencari jalan yang lurus dan terang agar
kehidupan mereka senantiasa dipenuhi kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk itu
dibuatlah suatu rumusan yang dikenal dengan istilah Hukum, yakni kumpulan dan
aturan-aturan hidup dan kehidupan.
Akan tetapi semenjak terjadinya krisis moneter pada masa orde baru
tahun 1998 menyebabkan perekonomian di Indonesia tidak stabil sehingga ada
sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan tindak pidana seperi pencurian,
pembunuhan , perampokan dan lain-lain. Maka dari karena itu, tugas penertiban
hukum pada masa yang akan datang tidak terlepas dari penggunaan metode dan
cara-cara penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum. Baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, Polisi (aparat hukum) pada masa yang akan datang
tidak terlepas dari tugas yang paling utama yaitu menjaga ketertiban.1
Oleh karena itu, untuk terciptanya pelaksanaan pembangunan nasional
yang terencana dan terarah tentunya perlu didukung oleh peran serta secara aktif
dari semua lapisan masyarakat serta aksi dan reaksi dari aparat pemerintah dalam
1
kerangka penegakan hukum. Dengan kata lain pembangunan nasional dapat
terwujud, salah satunya melalui, proses pengintegrasian antara upaya penegakan
hukum dengan keseluruhan kebijaksanaan sosial.2 Setiap anggota masyarakat
tentu memiliki berbagi kepentingan yang beraneka warna dan yang dapat
menimbulkan bentrokan satu sama lain. Jika bentrokan ini terjadi, maka
masyarakat menjadi guncang. Keguncangan ini sebeberapa mungkin harus
dihindarkan. Untuk ini, hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu dalam
masyarakat.
Hubungan-hubungan ini di antara orang-orang perorangan, atau antara
berbagai kelompok orang-orang. Atau antara suatu kelompok dan seorang oknum
tertentu, atau antara masyarakat seluruhnya di satu pihak. Dalam mengatur suatu
hubungan ini, hukum bertujuan menyeimbangkan di antara berbagai kepentingan.
Imbangan ini tidak terutama terletak pada dunia rohaniah di tengah-tengah
Masyarakat (Magisch evecuscht). Janganlah sampai suatu kepentingan telantar di
samping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuannya seluruhnya, hanya
kalau masyarakat mewujudkan neraca yang lurus, dapat dikatakan ada
keselamatan dan kebahagiaan di dalam masyarakat yang bermanfaat. Kelurusan
neraca masyarakat ini hanya dapat tercapai, kalau hukum yang mengaturnya itu
dilaksanakan, dihormati dan tidak dilanggar.3
2
Didik dan Lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Reaita, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.) hal. 18
3
Pelanggaran dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah
perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah
yang dilarang dan diancam dengan pidana.4 Dalam hubungan ini, kesalahan
merupakan faktor bagi pertanggungjawaban pidana. Ada tidaknya kesalahan,
terutama penting bagi penegak hukum untuk menentukan apakah yang melakukan
tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya dapat dipidana.5
Walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku
kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia dengan hak
asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum
ada putusan Hakim yang menyatakan pelaku bersalah.
Tujuan diberikannya perlindungan hukum kepada si pelaku kejahatan
adalah untuk menghormati hak asasi pelaku kejahatan agar nasibnya, tidak
terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi si pelaku serta menghindari
perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selama ini banyak berkembang
pemikiran bahwa dengan telah diadilinya pelaku kejahatan dan selanjutnya pelaku
menjalani hukuman, maka perlindungan terhadap pelaku dianggap sudah selesai.6
Seiring dengan meluasnya pernyataan Internasional tentang hak asasi
manusia di berbagai belahan dunia, Indonesia sebagai negara yang berlandaskan
hukum (Recht Staat), dan bukan berdasarkan kekuasaan (macht staat)
4
Moeljetno. Asas-Asas Hulum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta. 2002,) hal. 130 5
Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggunjwaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta, Pranada Media, 2006,) hal. 19
6
memberikan jaminan hak asasi terhadap warga negara untuk menjalankan
aktivitas sehari-hari jaminan terhadap hak asasi ini tercantum dalam
Undang-undang dasar 1945 dan dalam batang tubuh Undang-Undang-undang 1945.
Jaminan tentang hak asasi bukan hanya diberikan kepada masyarakat yang
bebas saja, tetapi terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, yang pada hakikatnya,
merupakan pengurangan terhadap hak asasi manusia, dibatasi wewenang oleh
undang. Jaminan mengenai hak asasi tersangka tertuang dalam
Undang-undang Nomor 45 Tahun 1970 Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi “pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.7
Tetapi salah atau tidaknya tersangka, hukum lebih mengutamakan pada
pengakuannya, untuk pembuktian aparat penegak hukum mengambil jalan pintas
dengan melakukan penganiayaan terhadap tersangka. Tersangka dipaksa mengaku
bahwa ia melakukan tindak pidana, penyiksaan tetap dilakukan bila tersangka
tidak mengakui perbuatan tindak pidana yang ia lakukan. Akhirnya tersangka
lebih baik mengakui secara terpaksa karena di dalam penjara mereka akan
mendapat siksaan kembali.
Namun demikian, perlu dimaklumi bahwa para penegak hukum adalah
manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan. Tindakan penangkapan dan
penanahan sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi
tegaknya keadilan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Kadang-kadang
7
mereka memberi perlakuan seseorang yang belum jelas kesalahannya, sehingga
tersangka menderita, baik secara fisik maupun mental.8
Sering sekali profesionalisme Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan
aparat hukum lainnya yang terlibat dalam penyelesaian perkara hukum semakin
ramai dibahas oleh media massa, selain soal korupsi juga soal salah tangkap yang
dilakukan oleh aparat kepolisian. Wacana tersebut bukan hanya perbincangan di
kalangan para elit, tetapi juga semakin ramai mewarnai opini masyarakat.
Terdapat kerisauan harapan atas kinerja aparat kepolisian dan aparat hukum
lainnya agar dapat lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.
Kasus salah tangkap semakin ramai dibahas seiring dengan pengakuan
Riyan si jagal dari Jombang yang telah membunuh Ashrory, sebenarnya kematian
Ashrori telah membawa tiga orang pelaku yang di antaranya bernama Maman,
Imam Hambal, dan David, tersangka telah divonis 17 dan 12 tahun penjara oleh
hakim pengadilan negeri Jombang. Peristiwa tersebut mengungkap suatu catatan
bahwa aparat kepolisian (Polres Jombang) telah melakukan salah tangkap atas
pembunuhan Asrori pada bulan Mei 2007.
Ternyata, kasus salah tangkap dan menghukum mereka yang sama sekali
tidak bersalah sudah merupakan rahasia umum di negeri ini. Berbagai kasus
sebelumnya juga pernah santer diperbincangkan, kisah sedih dialami. Sengkon
dan Karta Tahun 1974 yang dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh
8
merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap
korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di desa Bojong, Bekasi. Hal serupa
terjadi pada Budi Harsono di Bekasi pada tahun 2002 yang dipaksa mengaku oleh
oknum polisi agar mengakui pembunuhan ayah kandungnya sendiri.9
Kita berharap pimpinan kepolisian menindak tegas terhadap oknum polisi
yang bersalah melakukan kesalahan penangkapan, apalagi melakukan kekerasan
terhadap yang korban tidak bersalah. Kejadian salah tangkap dan salah
menghukum menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh
pendapat kontra hukuman mati (obolisionis) alangkah berbahaya pelaksanaan
hukuman mati bila ternyata terpidana tidak bersalah, di mana sistem hukum
Negara kita yang masih lemah, terlebih aparatnya masih tidak profesional seperti
saat ini.
Oleh karena itu para korban salah tangkap dan salah hukum berhak
mengajukan upaya hukum, seperti permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada
mahkamah agung dengan mengerahkan bukti baru (Novum) serta gugatan ganti
rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur didalam KUHAP. Para korban yang tidak
bersalah sebaiknya mendapatkan ganti rugi yang layak dari negara dan bila perlu
ganti rugi tersebut dibebankan kepada para penegak hukum yang terlibat dalam
peradilan sesat atas diri korban.10
9
http://www.gp-anshor.org/tajuk/salah-tangkap-dan-kesalahan-berjamaah.Html.Senin 25 mei 2009
10
Adanya kasus salah tangkap dan salah menghukum ini telah sampai ke
tengah-tengah pers dan telah disampaikan kepada masyarakat luas setelah
diketahui bahwa ternyata tersangka tidak bersalah akan tetapi nama tersangka
telah tersebar luas atau telah tercemar.
Dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk
mengajukan skripsi yang berjudul. “Pencemaran Nama Baik Akibat Salah Tangkap” (Kajian Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Positif) karena pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk kejahatan yang dapat membunuh
karakter seseorang. sehingga hal ini sangat menarik untuk dibahas dan diangkat
sebagai judul skripsi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat
batasan permasalahan, yaitu kasus salah tangkap yang terjadi di Kota Bekasi pada
tahun 1947 dan tahun 2002.
Untuk memudahkan pembahasan proposal ini maka penulis mencoba
merumuskan masalah ini sebagai berikut
1. Apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik ?
2. Apa yang dimaksud salah tangkap ?
3. Bagaimana perlindungan hak-hak korban dalam kasus salah tangkap ?
4. Apa perbedaan dan persamaan dari hukum Islam dan hukum positif tentang
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan di atas maka dapat diakui bahwa
tujuan umum dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui definisi pencemaran nama baik
2. Untuk mengetahui definisi salah tangkap
3. Untuk mengetahui perlindungan hah-hak korban dalam salah tangkap
4. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari hukum islam dan hukum
positif tentang “Pencemaran dan Salah Tangkap”.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah agar para aparat lebih hati-hati
dalam melakukan penyidikan, untuk mengetahui bagaimana perlindungan
hak-hak korban yang dilakukan oleh pemerintah serta sangsi yang akan dikenakan
kepada Aparat Kepolisian serta untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam
dan hukum pidana positif
D. Kajian Pustaka
Penulis akan membuat kajian pustaka dengan tujuan untuk mengkaji
materi-materi yang terdahulu yang memiliki tema yang berkaitan dengan tema
yang dipilih oleh penulis dan materi atau karya-karya tersebut adalah
skripsi-skripsi yang berjudul pencemaran nama baik oleh media massa (pers), karangan
Hidayatullah, 2004. yang paling utama yang dikaji adalah perlindungan terhadap
perlindungan hukum Bagi tersangka kekerasan oleh aparat, karangan Handriyo
Akbarullah, 2006. yang paling utama dikaji adalah bahwa pentingnya
perlindungan bagi hak-hak setiap manusia terutama pada tersangka yang sering
adanya kekerasan dalam penyidikan baik secara fisik dan mental.
Dilihat dari karya-karya di atas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa belum ada yang membahas mengenai pencemaran nama baik
akibat salah tangkap, kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
E. Metode Penelitian 1. Teknik Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data yang kemudian
dianalisakan dan diuji kebenarannya dengan cara mengumpulkan
sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek permasalahan yaitu dengan cara
mengambil buku-buku, pendapat para ahli, surat kabar, majalah, internet, dan
lain-lainnya.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data, yaitu data yang
bersumber dari data primer dan data sekunder yang kedua-duanya berbentuk
kitab-kitab dan buku-buku baik bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Yang
di maksud data primer adalah Al-tasyri’ Al-jina’i Al-Islami Muqoronan
Moeljatno, KUHAP, Urgensi perlindunagn kejahatan antara norma dan
realita, karangan Dikdik M.arief Mansur dkk, dan Pencemaran Nama Baik
dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, karangan Tjiptro
Lesman. Adapun yang dimaksud data sekunder adalah kitab-kitab,
buku-buku, serta literature yang berhubungan dengan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang digunakan baik primer atau sekunder
yang sebagian besar data yang diperoleh melalui kitab-kitab, buku-buku,
pendapat-pendapat para ahli hukum, dokumen-dokumen dan sebagainya yang
ada relevansinya dengan masalah pokok yang terdapat dalam masalah ini.
Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan
skripsi ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi
yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan, maka pembahasan
skripsi “pencemaran nama baik akibat salah tangkap” ini akan disusun dalam lima
bab dan masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
BAB II : Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak
pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana positif.
BAB III : Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak
pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana Islam.
BAB IV : Berisi tentang pengertian salah tangkap, sebab-sebab terjadinya
salah tangkap serta akibat yang akan dirasakan akibat dari salah
tangkap,
BAB V : Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari
permasalahan skripsi dan saran, dan di mana pada akhir terdapat
BAB II
TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF
A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang
dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf.
Hukuman merupakan istilah umum untuk segala macam sanksi, baik perdata,
administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang
berkaitan dengan hukum pidana.11
Oleh karena itu “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus. Maka,
perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan
ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khusus. Untuk memberikan gambaran yang lebih
luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana:
1. Menurut Profesor Sudarto. yang dimaksud dengan hukum pidana adalah,
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Menurut Profesor Ruslan Soleh, Pidana adalah reaksi atas delik. Dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat
delik itu.12
11
. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994). Cet. Ke-2, h. 27.
12
3. Dan menurut Profesor Van Hemel, arti dari pidana atau straf menurut hukum
positif dewasa ini adalah, suatu yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.13 Jadi, pidana
merupakan suatu bentuk penderitaan yang dikenakan dengan sengaja oleh
kekuasaan yang berwenang kepada pelanggar peraturan.
Pada kalimat “tindak pidana” terdiri dari dua kata yakni “tindak” dan
“pidana”.dalam kamus bahasa Indonesia kata “tindak” mempunyai arti:
perbuatan.14 Sedangkan kata “pidana” mempunyai arti: kejahatan (tentang
pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya).15
Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit, Terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar
dan feit. Ternyata “straf” diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kalimat
“baar” diterjemahkan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata “feit”
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.16 Telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
13
. P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Amrico, 1994), Cet. Ke- 4, h. 49.
14
. Dep dik but ,Kumus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 984. 15
. Ibid, h. 681. 16
1. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum.
2. Peristiwa pidana.
3. Perbuatan pidana.
4. Tindak pidana.
5. Delik.17
Perumusan Simon yang dikutip oleh S.R. Sianturi dalam bukunya,
merumuskan bahwa : “Een Strafbare Feit” adalah suatu handeling (tindakan atau
perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan
dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab.18
Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana Kumpulan Kuliah,
memakai istilah tindak pidana, karena istilah tindak pidana (tindakan), mencakup
pengertian melakukan atau berbuat (actieve handling) dan atau pengertian tidak
melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handling).19
Dalam hal ini dapat diambil suatu kesimpulan tentang rumusan tindak
pidana (delik) :
1. Suatu perbuatan manusia (menselijke handelingen) hendelingen bisa bersifat
een doen ( perbuatan ) dan een nalaten ( mengabaikan ).
17
. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerannya, (Jakarta: Alumni ahaem petehem, 1996,), Cet. Ke-4, h. 200.
18
. Ibid, h. 201. 19
2. Perbuatan (handelingen) yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
3. Perbuatan (handelingen) itu harus dilakukan oleh orang ( seseorang ) yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Dari pengertian-pengertian Strafbaar Feit yang dikumukakan oleh para
pakar hukum pidana, diperoleh makna bahwa Strafbaar Feit sama dengan delik,
sama dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan istilah lain salinannya. Namun
dari segi materi Strafbaar Feit terdapat 2 (dua) pendapat yakni: ada pendapat yang
menyatukan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab Strafbaar Feit dalam satu
golongan dan pendapat lain yang memisahkan unsur perbuatan dan unsur
tanggung jawab Strafbaar Feit dalam 2 (dua) golongan, atau dengan kata lain ada
beda pandangan mengenai materi Strafbaar Feit sehingga ada garis pemisah
antara 2 (dua) aliran, yaitu20:
1. Aliran Monisme, antara lain Simon yang merumuskan Strafbaar Feit sebagai
eene strafbaar getseld, onrechtmatige, met schuld in verband staande
handeling van een toerekeningsvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh
hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh
orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas
perbuatannya). Menurut aliran ini unsur Strafbaar Feit meliputi unsur-unsur
perbuatan (lazim disebut unsur objekif) yaitu unsur melawan hukum dan
20
unsur tidak ada alasan pembenar maupun unsur-unsur tanggung jawab (lazim
disebut unsur subjektif), yaitu unsur mampu bertanggung jawab, unsur
kesalahan sengaja dan atau alpa, unsur tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena
manunggalnya unsur perbuatan dan unsur si pembuat, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa, Strafbaar Feit adalah sama dengan syarat-syarat
pemberian pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi
Strafbaar Feit, maka pasti si pembuatnya dapat dipidana.
2. Aliran Dualisme antara lain Moelyanto, yang merumuskan perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam
dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Menurut aliran ini
perbuatan pidana menurut wujudnya atau sifatnya adalah melawan hukum dan
perbuatan yang merugikan dalam arti bertentangan dengan atau menghambat
terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan
adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan (lazim disebut golongan
subjektif), yang meliputi unsur melawan hukum, unsur tidak ada alasan
pembenar, dan dari si pembuat, (lazim disebut golongan subjektif) meliputi
unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan : sengaja dan atau alpa dan
Kedua aliran itu ada kesamaan pendapat, bahwa delik harus mencocoki
perumusan Undang-undang, sehingga dapat digambarkan dalam suatu skema,
sebagai berikut21:
Aliran Monisme Aliran Dualisme
Dalam pandangan dualisme, Karena pemisahan unsur perbuatan dan unsur
si pembuat, maka konsekuensinya jika yang tidak terbukti unsur objektif, maka
bunyi amar putusan ialah bebas (vrijspraak). Namun jika yang tidak terbukti
unsur subjektif, maka amar putusan berbunyi : dilepas dari tuntutan (ontslag van
rechtsvervologing). Jika semua unsur terbukti, maka si pelaku dipidana. Jadi hal
itu, apabila yang terbukti unsur objektif yaitu unsur melawan hukum, namun jika
si pelaku tidak mampu dipertanggung jawabkan, maka ia harus dilepaskan dari
tuntutan. Dengan kata lain : perbuatannya itu tetap melawan hukum akan tetapi si
21
. Ibid., h. 19. 1. Melawan hukum
2. Mampu bertanggung jawab 3. Kesalahan ; sengaja atau alpa 4. Tidak ada alasan pembenar 5. Tidak ada alasan pemaaf
1. Golongan obyektif a. Melawan hukum
b. Tidak ada alasan pembenar
2. Golongan subyektif
a. Mampu bertanggung jawab b. Kesalahan ; sengaja atau alpa c. Tidak ada alasan pemaaf
Syarat pemberian pidana
pelaku misalnya sakit jiwa ( pasal 44 KUHP ), karena itu ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam hal ini Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana
Kumpulan Kuliah Bagian I, telah menjelaskan unsur-unsur delik pada dua
bagian:22
1. Unsur-unsur yang objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar dari
manusia, yaitu berupa :
a. Suatu tindak tanduk, jadi suatu tindakan.
b. Suatu akibat tertentu (een bepaaldgejolg).
c. Keadaan ( omstendungheid ).
Yang kesemuanya ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
a. Suatu tindak-tanduk atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang. Seperti sumpah palsu (meineed) pasal 242.
Dalam perbuatan ini yang merupakan unsur objektif dan yang dilarang
dan diancam dengan hukuman adalah : memberikan keterangan palsu
dalam sumpah. Memalsukan Surat, pasal 263 (unsur objektif, pemalsuan).
Pencurian, pasal 362 unsur objektif, mengambil (wegnemen).
b. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, seperti di antaranya : pembunuhan pasal 338, didalam
22
perbuatan ini yang merupakan unsur objektif adalah akibat (gevolg)
perbuatan seseorang yaitu : matinya orang lain. Dan penganiayaan pasal
351, yang dimaksud dengan perbuatan ini adalah : yang mengakibatkan
sakit pada badan atau cidera pada orang lain, unsur objektifnya :
mengakibatkan sakit dan cidera orang lain.
c. Hal-hal khusus yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan
undang-undang, misalnya : menghasut pasal 160, unsur objektifnya adalah
dilakukannya perbuatan itu di depan orang banyak (umum). Melanggar
kesusilaan umum pasal 281, unsur objektifnya dalam pasal ini adalah
apabila perbuatan ini dilakukan di depan umum.
2. Unsur-unsur yang subjektif, yakni berupa diantaranya
a. Toerekenungsvatbarheid (dapat dipertanggung jawabkan)
b. Schuld (kesalahan)23.
Dari penjelasan semua di atas dapat diambil secara ringkas tentang
unsur-unsur-unsur tindak pidana yakni :
1. Subyek
2. Kesalahan
3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)
4. Suatu tindakan aktif atau pasif yang dilarang atau diharuskan oleh
undang-undang atau perundang-undang-undang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam
dengan pidana.
23
5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur-unsur obyektif lainnya)24.
Oleh karena itu penggunaan istilah “perbuatan pidana” dengan pengertian
sebagai aliran atau teori “dualisme”, sedangkan penggunaan istilah “tindak
pidana” dengan pengertian sebagai aliran atau teori “monisme”.
Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan yang juga dapat dijadikan suatu
dasar atau pedoman bahwa :
1. Tiada pidana, tanpa telah terjadi suatu tindakan yang terlarang dan diancam
pidana oleh undang-undang.
2. Tiada pidana, tanpa kesalahan.
3. Tiada pidana, tanpa sifat melawan hukum (dari tindakan tersebut).
4. Tiada pidana, tanpa adanya subjek (petunjuk yang ditentukan).
5. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur objektif lainnya.
Jadi apabila dari salah satu dari berbagai unsur-unsur tindak pidana itu
tidak ada atau hilang atau kurang maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu
bukan merupakan suatu tindak pidana. Tetapi apabila suatu peristiwa telah
memenuhi unsur-unsur dari suatu delik, dalam hal ini unsur-unsur dari delik
tersebut disusun terlebih dahulu seperti tersebut di atas. Jika ternyata sudah
cocok maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana
yang telah terjadi yang (dapat) dipertanggung jawabkan pidananya kepada
subjeknya.
24
B. Tujuan Pemidanaan
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin
dicapai dengan suatu pemidnaan, yaitu:25
1. Untuk memperbaiki pribadi penjahatnya itu sendiri.
2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan.
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang
dengan cara-cara lain yang sudah tidak diperbaiki lagi.
Dalam literatur bahasa Inggris, tujuan pidana dapat disingkat dengan tiga
R dan satu D. Tiga R itu adalah reformation, yang berati memperbaiki atau
merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat,
restraint, maksudnya mengasingkan pelanggaran dari masyarakat dan
restrtribution ialah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan
kejahatan. Sedangkan satu D ialah deterence yang terdiri individual deterence dan
generale deterence (pencegahan khusus dan pencegahan umum) yang berarti
menjera atau mencegah. Sehingga, baik terdakwa sebagai individu maupun orang
lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan
kejahatan, karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.26
25
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1 h.52.
26
. A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,
Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan
pidana, yaitu:27
1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Untuk mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikan orang yang baik dan berguna.
3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.28
Kerangka di atas menimbulkan beberapa teori yang berupa pertanyaan,
yakni apa hakekat dan tujuan pemidanaan?. Di antara para penulis barat yang
menganut pelbagai teori hukum pidana atau strafrechts theorien mendasarkan
pikirannya pada persoalan-persoalan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu
hukuman pidana. Teori-teori hukum pidana ada hubungan erat dengan subjectief
strafrecht (jus paniendi), sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan
menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief strafrecht (jus punale), sebagai
peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana.29
27
. Aruan Sakitjo dan Babang Poenomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990) Cet. Ke-1h. 70.
28
. Zaenal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP,
(Jakarta: Elsam, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005), h. 13. 29
1. Teori Absolut Atau Mutlak (tujuan)
Menurut teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,
tidak boleh tidak dan tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana
karena telah melakukan kejahatan.30 Teori pembalasan membenarkan
pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana, sehingga
terhadap pelakunya mutlak dijatuhkan pidana yang merupakan
pembalasan terhadap tindakan tersebut.31 Penjatuhan hukum itu
berdasarkan pembalasan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh
seseorang. Dasar hukumnya terletak pada kejahatan itu sendiri yang
mengakibatkan hukum itu.32 Namun terdapat perbedaan dalam hal
mencegah kejahatan yakni
1) ada yang berpendapat agar pencegahan di tujuan kepada umum yang
disebut prevensi umum. Hal ini dapat dilakukan dengan ancaman
hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman.Ada yang
2) Berpendapat agar prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri.
Selain itu timbul perbedaan pendapat mengenai cara mencegah
kejahatan, di antaranya dengan cara:
1) menakut-nauti yang ditujukan terhadap umum
30
. Ibid, h. 25. 31
. R.S. Sianturi dan Mopang L Panggabean Hukum Penitensia di Indonesia,(Jakarta: Almni Ahaem-Petehaem, 1996) Cet. Ke-1, h. 40.
32
2) memperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar menginsafi atau
tidak mengulangi perbuatannya
3) melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan hidup.
Kemudian muncul teori relatif modern yang antara lain di utarakan
oleh Frans Von Liszt, Van Hamel, dan D. Simons. Mereka mengutarakan
bahwa untuk menjamin ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan
yang mengandung larangan dan keharusan. Peraturan dimaksud untuk
mengatur hubugan antar individu di dalam masyarakat, membatasi hak
perseorangan agar mereka dapat hidup aman dan tentram, untuk itu negara
menjamin agar peraturan- peraturan itu senantiasa dipatuhi masyarakat
dengan memberi hukuman pada pelanggarnya.
2. Teori-teori Felatif atau Nisbi (balasan)
Teori ini mengatakan bahwa dasar hukuman harus dicari dari
kejahatan itu sendiri, karena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi
orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi
penderitaan.
Para pakar penganut teori ini anatara lain:
1) Immanuel Kant
Immanual kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar
hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah
merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Di
sini hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang etis.
2) Hegel
Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatau
kenyataan kemerdrkaan. Olehnkarena itu, kejahatan merupakan
tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi
balasan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding.
3) Herbart
Menurut Herbart, kejahatan menimbulkan perasaan tidakenak
pada orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu, pelaku
kejahatan harus diberi hukuman sehingga masyarakat merasa puas.
4) Stahl
Menurut Sthal bahwa hukum adalah suatau yang diciptakan
oleh tuhan. Karena kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap
perikeadilan tuhan, untuk menindaknya negara diberi kekuasaan
sehingga dapat melenyapkan atau memberi penderitaan bagi pelaku
kejahatan.
5) Jean Jackues Rousseau
Pokok pangkal pemikran Rossseau adalah bahwa manusia
dilahirkan dengan memiliki hak dankemerdrkaan penuh. Akan tetapi,
manusia di dalam hidupnya memerlukan pergaulan. Di dalam
pergaulan itu jika setiap orang ingin mempergunakan hak dan
menghindarkan kekacauan itu, setiap orang dibatasi hak dan
kemerdekaannya. Artinya, setiap orang menyerahkan sebagian dari
hak dan kebebasannya kepada negara. Dengan diperolehnya hak-hak
itu, negara harus dapat mengancam setiap arang yang melanggar
peraturan. Jadi, setiap hukuman telah disetujui oleh semua orang
termasuk pelaku kejahatan.33
3. Teori Gabungan
Teori ini merupakan penggabungan dari dua teori, yakni teori
mutlak atau pembalasan dan teori relatif atau pencegahan. Teori ini yang
dianut di Indonesia.34 dengan menelaah teori-teori di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah
1) menjerakan penjahat
2) membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat
3) memperbaiki pribadi si penjahat
Pada hakikatnya, ketiga hal tersebut menjadi dasar di adakannya
sanksi pidana. Akan tetapi, membinasakan penjahat masih menjadi
masalah perdebatan para pakar. Sebagian negara memang telah
33
. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jkarta: Sinar Grafika, 2002) h. 105.
34
menghapuskan hukaman mati, tetapi sebaian lagi masih dapat
menerapkannya.35
Adapun tujuan hukuman dalam hukum positif, menurut A. Hanafi, tujuan
hukuman adalah:36
1. Fase balasan perseorangan (Vengeance-Privee atau al-Intiqomul-fardi)
2. Fase Balasan Tuhan (Vengeance Divine atau al-Intiqomul Ilahi)
3. Fase kemanusiaan (Humanitaire atau al-‘ashrul-Insani)
4. Fase keilmuan (scientifique atau al-‘asrul-‘ilmi)
Dari sekian pendapat yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat tujuan
penjatuhan hukuman atau pemidanaan adalah agar pelaku tindak kejahatan
menjadi jera (sadar) dan supaya orang lain yang belum pernah merasakannya bisa
mengambil pelajaran penting bahwa setiap tindak pidana yang melanggar
peraturan hukum akan dikenakan sanksi. Hal ini lebih dipertimbangkan demi
ketertiban sosial dan keharmonisan bersama dalam pranata sosial.
C. Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jenis Dan Macam-Macamnya
Sanksi pidana dalam hukum pidana positif dibagi menjadi dua bagian
yaitu berupa hukuman pokok dan hukuman tambahan. Sebagaimana yang
tercantum dalam KUHP Pasal 10 yang berbunyi sebagai berikut:37
35
. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. H. 107. 36
1. Pidana pokok
a. Hukuman mati
b. Hukuman penjara
c. Hukuman kurungan
d. Hukuman denda
e. Hukuman tutupan
2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Hukuman Pokok
1. Hukuman mati
Hukuman mati adalah hukuman yang dilakukan dengan mengambil
jiwanya pelaku yang melanggar undang-undang pidana. Hukuman mati
biasanya digelar di lapangan yang luas dan dapat dilihat oleh masyarakat dari
berbagai tempat. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang melihat hukuman
mati tidak melakukan perbuatan kejam yang akan mengakibatkan
dijatuhkannya hukuman mati. Mengutip pendapat Mr. JE Jonkers, Wirdjono
Prodjodikoro mengemukakan ada empat golongan kejahatan dalam KUHP
diancam dengan hukuman mati, yaitu:
37
a. Kejahatan berat terhadap kemanan negara (Pasal 130, 105, 111 ayat 2, 124
ayat 3, 129
b. Pembunuhan berencana (Pasal 130 ayat 3, 140 ayat 3, 340).
c. Pencurian dan pemerasan dalam keadaan memberatkan (Pasal 365 ayat 4,
dan Pasal 368 ayat 2).
d. Bajak laut, perampokan di pantai, perampokan di tepi laut, dalam air
surut, dan perampokan di sungai, dilakukan dalam keadaan tersebut (Pasal
444).
Pelaksanaan (eksekusi) hukuman mati sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 11 KUHP berbunyi: “pidana mati dijalankan oleh algojo atas
penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada
tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
2. Hukuman penjara
Kedua hukuman ini sama-sama menghilangkan kemerdekaan
seseorang untuk sementara waktu atau seumur hidup. Perbedaan yang sangat
jelas adalah hukuman penjara dijatuhkan karena tindak pidana berat,
sedangkan hukuman kurungan dijatuhkan pada tindak pidana ringan.
Perbedaan-perbedaan pokok hukuman penjara dan kurungan adalah sebagai
berikut:38
38
a. Menurut Pasal 12 ayat 2 KUHP, lamanya hukuman penjara adalah
sekurang-kurangnya (minimum) satu hari dan selama-lamanya lima belas
tahun, maksimum lima belas tahun dilampaui dalam hal gabungan tindak
pidana, recidive, atau dalam berlakunya Pasal 52 KUHP (Pasal 12 ayat 3).
Menurut Pasal 18 ayat 1 KUHP, lamanya hukuman kurungan (hectenis)
adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun,
dengan kemungkinan maksimum satu tahun empat bulan dengan
aturan-aturan yang sama (Pasal 18 ayat 2).
b. Menurut Pasal 19 ayat 2 KUHP, kepada seorang hukuman kurungan
diberi pekerjaan ringan.
c. Menurut Pasal 21 KUHP, orang hukuman kurungan harus dijalani dalam
daerah propinsi (gewest) tempat si terhukum berdiam.
d. Menurut Pasal 23 KUHP, orang hukuman kurungan boleh memperbaiki
nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Sedangkan persamaan dari hukuman penjara dan hukuman kurungan
adalah sebagai berikut:39
a. Menurut Pasal 20 KUHP dalam putusan hakim yang menjatuhkan
hukuman penjara atau kurungan selama tidak lebih dari satu bulan, dapat
ditentukan bahwa kepada mereka oleh jaksa dapat diizinkan, di luar
jam-jam bekerja pulang ke rumah masing-masing.
39
b. Tidak boleh bekerja di luar tembok rumah-rumah penjara, yang sekarang
dinamakan rumah-rumah pemasyarakatan, yaitu:
1) Orang-orang yang dipenjara seumur hidup
2) Orang perempuan
3) Orang yang mendapat sertifikat dokter
c. Menurut Pasal 26 KUHP, apabila menurut hakim alasan berdasarkan atas
keadaan pribadi atau keadaan kemasyarakatan, maka dapat ditentukan
bahwa kepada seorang hukuman penjara atau kurungan tidak diberi
pekerjaan di luar tembok rumah-rumah pemasyarakatan.
3. Hukuman tambahan
Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah dari hukuman
pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahan. Misalnya
seorang yang melakukan tindak pidana tertentu oleh hakim diputuskan dengan
hukuman penjara dan dicabut hak pilih maupun hak memilih dalam pemilihan
umum. Para ahli hukum berpendapat sub-sub sistem hukuman di atas
sederhana. Sifat kesederhanaan ini terletak pada gagasan, bahwa berat
ringannya hukuman tergantung pada berat atau ringannya suatu tindak pidana.
Mengenai sistem hukum ini Wirdjono Prodjodikoro berpendapat
dalam menentukan suatu hukuman harus berhati-hati dalam menyesuikan
selama belum ada system yang baik dan benar sesuai dengan keadaan bangsa
Indonesia, kiranya dipertahankan system seperti ini.40
D. Pencemaran Nama Baik Dan Sanksinya Menurut Hukum Positif
Di Amerika dan di Ingris dikenal istilah “defarmation” (dari kata kerja to
defame yang artinya Menghina, menista) to defame bisa diartikan (merusak atau
menodai reputasi seseorang ataupun sekelompok orang dengan cara-cara yang
tidak baik seperti pernyataan yang tidak berdasarkan fakta).41
Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai
defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation)
diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis).42
Dalam pebuatan defarmation, suatu pernyataan dipermasalahkan karena di
pernyataan itu telah mengakibatkan tercemarnya atau ternodanya nama baik
seseorang.
Masalah libel sebenarnya mempunyai sejarah ribuan tahun, tepatnya pada
kerjaan romawi. Tatkala itu dikenal dalam bahasa latin yang disebut libelli famosi
yang berarti publikasi yang bersifat menghina dengan tujuan merusak pribadi
seseorang. Pada awal era republik Roma, penguasa membuat suatu peraturan
perundang-undangan yang disebut “Twelve Table”. Dengan undang-undang ini,
40
. Wirdjono Prodjodikoro, Op. Cit, h. 163.
41
. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, (Jakarta: Rika Pres, 2005), h.27.
42
siapa saja yang terbukti membuat tulisan yang bersifat menghina dapat dikenakan
hukuman sangat berat ketentuan ini, menurut sejarawan kenamaan Romawi,
Tacitus, tidak dijalankan lagi pada tahun-tahun akhir republik Roma.baru masa
kekaisaran Agustus (63 SM), peradilan terhadap pelaku libelli famosi
dilakksanakan lagi.43
Setelah mendapatkan bisikan dan sejumlah pembantu dekatnya tentang
adanya undang-undang anti penghinaan, Kaisar Agustus segera memerintahkan
supaya semua barang cetakan yang bersifat menghina dibakar dan sebagian
pengarangnya diadili. Salah satu ketentuan dalam undang-undang tersebut,
menyatakan pengarang Libellus FamosiI harus dikutuk (intestabillis). Hukuman
mati bukan saja dikenal kepada pembuatnya, tapi juga mereka yang terbukti telah
menyimpannya, atau mereka yang tidak segera memusnahkannya setelah
mendapatkannya.44
Raja-raja yang berkuasa di Eropa, khususnya Jerman, setelah kerajaan
Romawi runtuh, juga mengikuti tradisi kaisar Romawi, yaitu menjatuhkan
hukuman keras terhadap mereka yang tidak percaya pada Tuhan, atau
menganjurkan pandangan yang bertentangan dengan pendapat penguasa, atau
menghasut rakyat untuk memberontak. Raja Konstantinus Agung, misalnya,
mengeluarkan titah yang melarang beredarnya tulisan tulisan Porphiry dan Anus.
Raja Accadius memerangi buku-buku Eunomian (tahun 398) dan Raja
43
. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik…, OP. Cit, h. 27. 44
Theodosius memberangus kaum Nestorian (tahun 435). Raja Justinian malah
memimpin langsung gerakan penghancuran atas karya-karya tulisan yang bernada
menghina terhadap kekuasaan. Para paus di Roma juga bertindak sama. Mereka
mengklaim mempunyai kewenangan untuk mengawasi publikasi yang berisikan
ajaran agama Kristen. Kewenangan itu malah menambah ke
universitas-universitas. Paus Leo I membakar buku-buku Manichaean (tahun 446)
Semua itu terkait dengan isu penghinaan dan fitnah. Artinya, buku-buku
itu tulisan yang dilarang, kemudian dimusnahkan, dinilai oleh penguasa berisikan
ajaran-ajaran sesat yang meracuni penduduk.45
Sedangkan di Indonesia istilahlah pencemaran nama baik menurut KUHP
“menyerang kehormatan orang lain” istilah ini baru muncul sekitar pertengahan
tahun 70-an.
Jika kita simak rekaman delik-delik pers yang terjadi pada dekade tahun
50-an, misalnya , istilah yang paling sering dipakai adalah”menghina”, disusul
dengan istilah “memfitnah”. Misalnya, Menteri tenaga kerja dan pekerjaan umum
pada pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Ir H. Loah, pernah
menggugat Ny. Fuhri Mierop (Pemimpi redaksi Nieve Courant di
Surabaya).46Menteri menggugat suatu berita yang dipublikasi di Koran yang
dianggap menghina martabatnya. Pengadilan Surabaya mengabulkan gugatan Ir.
45
. Ibid, h. 28. 46
Laoh. Ny. Mierop dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 171 ayat (2)
KUHP dan dihukum denda sebesar Rp. 200,- subsider kurungan badan 3 minggu.
Pasal 171 ayat (2) KUHP dicabut pada tahun 1946, diganti dengan UU no.
1 tahun 1946 yang dalam pasal XIV berbunyi:
Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan
yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat
menyangka bahwa berita atau pembertahuan itu adalah bohong, dihukum penjara
selama 3 tahun.
Di Banjarmasin, pada triwulan ketiga 1953, para anggota redaksi dua surat
kabar ditangkap karena artikel-artikel yang dianggap menghina para pejabat
setempat.47 Asnawi Musa, pemimpin redaksi Tekad dipenjara selama beberapa
hari, sementara menunggu sidang pengadilan. Pemimpin redaksi yang lain, A.
Djohansjah dari Tugas, dikenai hukuman kerja keras bersama para narapidana
biasa. Namun, Djohansjah kemudian dibebaskan setelah timbul protes dari
kalangan pers.
Baru-baru ini kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh dua
anggota ICW (Indonesia Corruption Watch) yakni Lilian Deta Arta Sari dan
Emerson Yuntho yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan ReserseKriminal
(Bareskrim) Mabes Polri. Keduanya dituduh melakukan pencemaran nama baik
terhadap pejabat negara Kejaksaan Agung. Kasus itu bermula saat peringatan Hari
47
Antikorupsi sedunia tanggal 9 Desember 2008. Kejaksaan Agung mengklaim
telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 8 triliun dan 18 juta dolar Amerika
Serikat dari berbagai kasus korupsi di seluruh Indonesia dalam rentang waktu
2004-2008.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ICW merilis data
tandingan bahwa uang yang diselamatkan instansi kejaksaan hanya Rp. 382,67
juta, sedangkan sisa dari jumlah yang diklaim Kejaksaan belum dikembalikan ke
kas negara. Oleh karena itu, KP2KKN (Komite Penyelidikan dan Pemberantasan
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) antikorupsi di Jateng yang tergabung dalam Cintai Indonesia Cintai KPK
Jawa Tengah meminta agar Kapolri segera mengeluarkan surat penghentian
penyidikan perkara (SP3) atas kasus tersebut.
Jika mengacu pada Pasal 311 KUHP Tentang Pencemaran Nama Baik,
tidak bisa dikenakan dalam kasus ini, sebab unsur dalam pasal tersebut mengacu
pada Pasal 310 KUHP. Di mana unsur Pasal 310, 311-316 KUHP hanya bisa
dikenakan terhadap seseorang atau individu bukan institusi atau organisasi.48 Dan
pada akhirnya kasus tersebut ditutup.
Delik penghinaan, secara khusus, diatur dalam Bab XVI kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP) yang terdiri atas dua pasal, yakni Pasal 310
sampai Pasal 312. Tindak kejahatan “penghinaan”, menurut R. Soesilo adalah
48
“menyerang kehormatan nama baik seseorang”. Akibatnya , yang diserang merasa
malu “kehormatan” yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang nama
baik, bukan “kehormatan dalam lapangan seksual” atau kehormatan yang
dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu
birahi kelamin. Perbuatan yang menyinggung kehormatan seseorang dalam
bidang seksual tidak termasuk dalam kejahatan “penghinaan”, akan tetapi masuk
pada kejahatan “kesopanan” atau kejahatan “kesusilaan” yang diatur dalam Pasal
281 sampai Pasal 303 KUHP.49
Soesilo membagi kejahatan penghinaan dalam 6 kategori:
1. Menista Dengan lisan (Pasal 310):
Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang
dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud
yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
2. Menista dengan tulisan (Pasal 310):
a. Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan di tempat umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu
dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara
49
lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,-
b. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata
bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau
lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri (KUHP
134 s, 142 s, 207,311 s, 319 s, 483, 488)
3. Memfitnah (Pasal 311):
a. Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan,
dalam hal ini diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada
dapat membuktikan dan tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya
tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman
selama-lamanya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam Pasal 35
No.1-3 (KUHP 312 s, 316, 319, 488).
4. Penghinaan ringan (Pasal315):
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tiada bersifat menista atau
menista dengan tulisan, yang dilakukan seseorang baik di tempat umum
dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun di hadapan orang itu sendiri
dengan lisan atau dengan perbuatan, begitu pun dengan tulisan yang
dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan,
denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (KUHP 134 s, 142 s, 310, 316, 319,
488)
5. Mengadu dengan memfitnah (Pasal 317):
a. Barang siapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan
surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar negeri
tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi
tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam (Pasal 35,
No. 1-3 KUHP 72 220, 310, 488).
6. Menyuruh dengan memfitnah (Pasal 318):
a. Barang siapa dengan sengaja dengan melakukan suatu perbuatan,
menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan suatu
perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut pada Pasal 35
No 1-3 (KUHP 319, 488).50
Unsur-unsur kejahatan menista seperti diatur di dalam Pasal 310 ayat (1)
adalah:
1. Menuduh seseorang.
2. Melakukan perbuatan tertentu.
50
3. Dengan maksud.
4. Tuduhan itu tersiar untuk diketahui banyak orang.
Sedangkan unsur-unsur kejahatan menghina seperti diatur dalam Pasal
310 ayat 2 (dua) adalah semua unsur yang terdapat pada tindak kejahatan menista
ditambah satu unsur lagi, yaitu “tuduhan itu diketahuinya tidak Benar” Artinya ,
ada kesengajaan menista.51
Dari yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat bahwa salah satu kunci
perbuatan mencemarkan nama baik adalah reputation. Menghina atau merusak,
menodai reputasi, atau nama baik atau nama baik seseorang atau sekelompok
orang dengan tidak Fair seperti menyebarluaskan pernyataan yang tidak
berdasarkan fakta. Yang ada dalam masyarakat terhadap seseorang reputasi atau
nama baik lebih banyak berbicara tentang karakter atau kepribadian seseorang.
Maka jika kepribadian seseorang yang positif dihadapkan dengan stigma buruk, ia
akan merasa malu dan tersinggung.
Reputasi seseorang bisa baik bisa buruk, yang menentukan baik-buruknya
reputasi seseorang adalah masyarakat. Maka setelah nama baik seseorang
tercemar si pembuat dikenai hukuman pidana yang tertera dalam KUHP BAB
XVI Tentang Penghinaan.
51
BAB III
PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jinayah dan Jarimah
Dalam kaidah hukum Islam, pengertian pidana termuat dalam Fiqh
Jinayah. Di dalamnya terhimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau
kejahatan manusia berbagai sasaran yang menyangkut badan, jiwa, harta benda,
kehormatan, nama baik, Negara, tatanan hidup dan lingkungan hudup. Di sinilah
letaknya agama Islam sangat menghomati dan mengakui keberadaan manusia
dengan menimbang segala kelebihan maupun kekurangannya.
Dalam mempelajari fiqh jinayah, ada istilah penting yang terlebih dulu
harus dipahami sebelum menggali materi selanjutnya. Pertama adalah jinayah dan
kedua mengenai jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan
arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif (sinonim) bagi
istilah lainnya. Singkat kata, keduanya bermakna tunggal. Meski begitu,
keduanya berbeda dalam penerapannya. Dengan demikian, kita patut
memperhatikan dan memahami agar penggunaannya tidak keliru.
Abdu Qodir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-jinai Al-Islami
Muqoronan Bilqonun Al-wad’i menjelaskan arti kata jinayah sebagai berukut:52
52
ﻥ !" #$ %&
' "
( ) #$
*
+ ,
-Artinya: “jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu pebuatan yang diharamkan syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, atau sebagainya.”
Pengertian jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian
jinayah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek atau
dosa. Maka jarimah adalah:53
. /'0)
1)ﺏ 3 " 4 ﺝ6 "
*
7$ﺕ
Artinya: “larangan –larangan syara (yang apabila dikerjakan) diancam Allah
SWT. Dengan hukuman Had atau Ta’zir.”
Dalam hukum pidana Islam, apa yang mendorong untuk menganggap
sesuatu sebagai jarimah ialah kerena perbuatan itu dapat merugikan tata aturan
masyarakat, atau kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan kehidupan
anggota-anggota masyarakat bendanya atau nama baiknya atau
perasaan-perasaannya atau ketimbang lain yang harus dihormati dan dipelihara.
Adapun unsur-unsur umum dari pada tindak pidana dalam hukum Islam,
dibagi menjadi tiga yaitu:54
1. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat
menghukuminya (rukun syar’i). Dalam perundang-undangan kita istilah ini
disebut juga dengan unsur formil.
53
. Ibid, h. 66 54
Adanya nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman
terhadapnya sesuai dengan kaidah ushul fiqh:55
9
9 : #
)ﺕ !" # 1 (';
ﺏ<
Artinya: “Pada dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukan keharamannya.”
=ﻥ ﺏ ﺏ';"<
ﺝ <
Artinya: “Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash (aturan)”
2. Melakukan pebuatan perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan
melakukan pebuatan atau tidak melakukan pebuatan (rukun madi). Dalam
perundang-undangan kita unsur ini disebut dengan unsur materil.
3. Hendaknya pelaku tindak pidana kejahatan itu mukallaf atau bertnggung
jawab atas tindakan pidana itu. (rukun adabi). Dalam perundang-undangan
kita disebut dengan unsur moril.
Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap
macam jarimah (tindak pidana atau delik). Di samping itu, terdapat unsur kasus
yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak tedapat pada jarimah yang lain.
Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak
akan ditemukan pada jarimah lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil)
harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan
nyawa orang lain dalam kasus pembunuhan.56
55
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1 h. 52.
56
B. Macam-Macam dan Jenis-Jenis Jarimah
Pidana itu dapat dikatagorikan menjadai beberapa macam tergantung
kepada sudut pandang kita terhadapnya. Tapi penulis mencoba menjelaskan
pidana berdasarkan tindak pidana (jarimah) yang dilakukan pembuat . berikut
penjelasannya:
1. Pidana Hudud, yaitu sanksi pidana yang ditetapkan untuk jarimah hudud.
Ada beberapa poin penting di dalam menegakkan pemidanaan dalam jarimah
hudud, yaitu:
a. Asas legalitas, di mana setiap perbuatan yang dilakukan harus ada nash
yang melarangnya. Ini disebabkan agar ketika seseorang pembuat
perbuatan yang dilarang tidak dihukum atas perbuatannya di masa lalu
yang ditetapkan sebagai jarimah di kemudian hari.
b. Prinsip kehati-hatian, ketika hudud akan diterapkan harus dengan penuh
kehati-hatian. Hudud tidak dapat dijatuhkan bila ditemukan keragu-raguan
(syubhat). Karena akan menjadi lebih baik, pada saat membebaskan orang
bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Di sini berlaku
kaidah “Adlaruuatu Tubiihu Al-Mahdzuraat” (keadaan darurat
memperbolehkan melakukan yang dilarang), di mana terjadi delimatis
akibat dari kergu-raguan timbul.
c. Prinsif pembuktian yang akurat, prisif ini menjamin bahwa penjatuhan
orang yang memang layak maendapatkannya. Pembuktian merupakan
aspek penting dalam jarimah hudud, karena pembuktian yang akurat harus
dilakukan sebelum putusan dijatuhkan. Karena putusan dapat diambil
ketika si pembuat dinyatakan sah dan meyakinkan terbukti bersalah atas
perbuatan yang dilakukan.57
Berikut ini perincian pidana dalam jarimah hudud:
a. pidana Zina
1) Unsur-Unsur Zina
a) persetubuhan yang diharamkan, di dalam persetubuhan ini dapat
diukur, apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam
farji (pagina) walaupun sedikit. Dan juga, tetap dianggap zina
walaupun ada penghalang tipis yang tidak menghalang perasaan
dan kenikmatan bersenggama. Persetubuhan haram itu tetap
dianggap zina jika dilakukan oleh seseorang dengan orang lain
yang bukan miliknya atau bukan pasangannya yang sah.
b) Adanya kesengajaan atau niat melawan hukum, unsur ini
terpanuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan
(persetubuhan) pedahal ia mengetahui bahwa wanita yang di
setubuhi adalah wanita yang haram baginya.58
2) Bentuk Pidana Zina
57
. Muhammad Ichsan dan M Endriyo Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif
(Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiah Yogyakarta, 2008), h. 123-125. 58
a) Pidana dera, pidana dera sebanyak sertus kali diancam atas
perbuatan zina yang dilakukan oleh ghair muhsan (belum kawin).
Ketentuan ini didasarkan pada firman allah SWT dalam surat
An-nur Ayat 2:
!"
#$
%
$
&'(
)*
+
,
- . 
 1
2
3 4
5
657
8
9:
;
<
!= >?
(;@? $!
9:
+
BC@
D
EFGHI
J 8D
1
K (
2 KLM:
N
HO
#$
(5P
?
$!  D
>
/'
/
?@
A
@
B
Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganla