• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik Tentang Hak Jawab Dan Hak Koreksi Dalam Perspektif Fenomenologi Di Harian Tribun Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik Tentang Hak Jawab Dan Hak Koreksi Dalam Perspektif Fenomenologi Di Harian Tribun Medan"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAKNAAN KODE ETIK JURNALISTIK TENTANG HAK JAWAB DAN HAK KOREKSI DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI DI HARIAN TRIBUN

MEDAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata I (SI) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera utara

Oleh

APRIANI NOVITASARI 110904093

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : APRIANI NOVITASARI

NIM : 110904093

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : PEMAKNAAN KODE ETIK JURNALISTIK TENTANG HAK JAWAB DAN HAK KOREKSI DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI DI HARIAN TRIBUN MEDAN

Medan. 18 April 2014

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

SYAFRUDDIN POHAN, M.Si, Ph. D

NIP. 19650524 198903 2 001 NIP. 19620828 198601 2 001 Dra. Fatma Wardi Lubis. M.A

Dekan FISIP USU

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : APRIANI NOVITASARI

NIM : 110904093

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : PEMAKNAAN KODE ETIK JURNALISTIK TENTANG HAK JAWAB DAN HAK KOREKSI DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI DI HARIAN TRIBUN MEDAN

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : (_______________ )

Penguji Utama : ( _______________ )

Penguji I : ( _______________ )

Ditetapkan di : Medan

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang

berlaku.

Nama: APRIANI NOVITASARI NIM: 110904093

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : APRIANI NOVITASARI

NIM : 110904093

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik

Universitas : Universitas Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti non Eksklusif (Non Exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : PEMAKNAAN HAK JAWAB DAN HAK KOREKSI TENTANG HAK JAWAB DAN HAK KOREKSI DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI DI HARIAN TRIBUN MEDAN.

Dengan Hak Bebas Royalti non Ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media / formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 22 April 2015 Yang menyatakan

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul PemaknaanKode Etik Jurnalistik tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam Perspektif Fenomenologi di Harian Tribun Medan. Penelitian ini bertujuan melihat apakah kode etik jurnalistik tentang hak jawab dan hak koreksi penting serta bagaimana bagaimana Harian Tribun Medan memaknai dan mengkonstruksi hak jawab dan hak koreksi sebagai kebebasan pers dan hak masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun data, tetapi tidak melakukan pengukuran dengan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif dengan lebih menspesifikasikan lagi kepada teori analisis fenomenologi. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Subjek penelitian ini adalah Redaktur dan PemimpinRedaksi Harian Tribun Medan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan.Hak jawab dan hak koreksi yang diterapkan di Harian Tribun Medan sudah dilakukan dengan cukup efektif dan proporsional, dimana Harian Tribun Medan membuka peluang untuk narasumber atau pembaca yang ingin mengajukan hak jawabnya dan dilihat apakah hak jawab tersebut relevan atau tidak. Selain itu, untuk menjaga keberimbangan maka hak jawab dan hak koreksi yang diajukan akan dikonfirmasi ulang sesuai dengan kebutuhan. Penerapan hak jawab dan hak koreksi penting untuk diterapkan di setiap media karena itu merupakan hak setiap masyarakat serta bentuk pertanggungjawaban media atas berita yang dituliskan.

Kata Kunci

(7)

ABSTRACT

This study titled Making Meaning of Journalistic Code of Right of Reply and Correction Rights in Phenomenology Perspective in Tribun Medan. This study aims to see whether the code of ethics of journalism about the right of reply and correction rights are important for Tribun Medan and see howTribun Medan to interpret and construct a right of reply and correction rights as freedom of the press and the right of people in the field. Descriptive qualitative research is the method used for this reasearch. The method is used to develop the concept and collect the data, but not to perform measurements with nominal data concerning classification or categorization of a number of variables into several sub-class par. Qualitative research methods tend to be associated with the interpretive paradigm with more specify further the analytical theory of phenomenology. This method concentrates the investigation of how humans make sense of how their social life, as well as how humans express their understanding.Subjects of this study are Editors and Chief Editor of Tribune Medan. Data were collected by in-depth interviews of the informant. Right of reply and correction rights are applied in Tribun Medan has done quite effective and proportionately. Tribun Medan opens opportunities for speakers or readers who wish to apply for the right answer and see whether it is relevant right of reply or not. In addition, to maintain a balance in the right of reply and correction rights will be reconfirmed as necessary. Application of the right of reply and correction rights are important to be applied in any medium because it is the right of every society and forms of media accountability on the news that is written.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdullilah, Alhamdullilah, Alhamdullilah tak henti-hentinya peneliti panjatkan puji syukur atas berkah dan rahmat Allah SWT yang telah memberikan peneliti kemampuan sampai akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik Tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi Dalam Perspektif Fenomenologi di Harian Tribun Medan.

Skripsi yang peneliti buat adalah sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di program sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara. Namun secara pribadi peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan sumbangsih langsung untuk studi ilmu komunikasi. Semoga tidak hanya bermanfaat bagi peneliti, tapi juga bagi siapa saja yang berminat mendalami bidang jurnalistik. Bagi peneliti, skripsi ini tidak hanya sebuah syarat namun juga lumbung ilmu yang mampu memperkaya pengetahuan peneliti.

Selama kurang lebih empat tahun menjalani studi, peneliti merasa banyak mendapat dukungan moril maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka, walaupun tidak bisa

menyebutkannya satu per satu.

Pertama, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayahanda Alm M. Syahril dan

ibunda Asmiarti yang tak henti-hentinya mendukung segala hal yang ingin peneliti lakukan dan memberikan kasih sayang berlimpah kepada peneliti dari kecil hingga sekarang. Begitu pula kepada kakanda Maria Ulfa Sari yang selalu mengingatkan peneliti agar tidak stres dalam mengerjakan skripsi, abangda Doly Syahputra yang selalu memenuhi kebutuhan peneliti selama di bangku studi, abangda M. Taufik dan kakanda Sriyanti yang selalu mendukung peneliti agar cepat menyelesaikan studi. Kepada tiga keponakan peneliti Damar Safaras, M. Zai, dan Fairuz Anaqi yang selalu membuat hari-hari peneliti ramai dan berwarna.

Peneliti juga ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu proses pendidikan dan pengerjaan skripsi ini. Dengan segenap rasa hormat peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(9)

Utara dan juga selaku dosen pemimbing yang telah memberi arahan, masukan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini. Terima kasih untuk ilmu dan waktu yang diberikan.

3. Bapak Syafruddin Pohan M.Si, Ph. D, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukkan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf dan pengajar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan.

5. Imam Fadli Marpaung yang telah membantu, memberi dukungan serta menjadi tempat peneliti berkeluh kesah selama peneliti duduk di bangku Studi.

6. Aulia Adam. Sahabat yang selalu memberi motivasi dan percaya bahwa

peneliti bisa melakukan hal yang terkadang peneliti sendiri pesimis untuk bisa melakukannya.

7. Dewi Efani. Sahabat yang menyadarkan peneliti bahwa jarak bukan masalah untuk tetap berhubungan, selalu siap mendengarkan dan memberi solusi kepada peneliti tentang segala hal.

8. Ewitha Masria Siregar. Sahabat seperjuangan sejak SMP, SMA dan saat duduk di bangku kuliah. Tempat berbagi cerita dan pengalaman serta saling memotivasi.

9. Keluarga Pers Mahasiswa SUARA USU. Organisasi hebat yang telah memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman luar biasa yang tak pernah peneliti rasakan di tempat lain. Khusus kepada anggota tim dewan redaksi 2013 (Ayu, Disa, Rida, Sofi, Gio, Adam Mezbah, Kitin, Audira), dewan redaksi 2014 (Adam, Yuni, Ridho, Wenti, Andika, Rati, Lazuardi, Erista). Keluarga kecil peneliti selama dua periode yang sangat berarti bagi peneliti untuk mendalami ilmu jurnalistik serta tempat berbagi cerita dan pengalaman tentang segala hal. Serta seluruh kawan-kawan selalu membantu dan memotivasi peneliti Yanti, Shella, Mutia, Sita, Intan, dan Santi lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

(10)

11.Elda, Dina, dan Naya, teman di kos Madani yang selalu mendorong agar peneliti cepat menyelesaikan skripsi dan menghibur peneliti saat masa-masa pengerjaan skripsi.

12.Teman-teman seperjuangan Risa, Eva, Beni dan Dante yang telah menjadi teman sharing dan membantu peneliti selama mengerjakan skripsi.

13.Harian Tribun Medan yang telah menerima peneliti untuk melakukan penelitian, khusus kepada kak Nurul yang telah berbaik hati menemani dan mengarahkan peneliti selama penelitian. Kepada Bang Yoenus, Bang Arifin, Bang Randy, Kak Ety, Bang Truly, Kak Momo, dan Pak Haerah yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi informan peneliti. 14.Teman-teman Ilmu Komunikasi FISIP USU 2011.

Peneliti menyadari bahwa masih terselip kekurangan dalam penelitian ini disebabkan oleh keterbatasan peneliti sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan. Kritik dan saran sangat peneliti harapkan agar skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini punya manfaat bagi kita semua.

Medan, 22April 2014

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ... i

KATA PENGANTAR ... ... iii

DAFTAR ISI... ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ... viii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Konteks Masalah ... ... 1

I.2 Fokus masalah ... ... 9

I.3 Tujuan Penelitian ... ... 9

I.4 Manfaat Penelitian ... ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Interpertif ... ... 11

II.2 Fenomenologi. ... ... 12

II.2.1 Filsafat Fenomenologi ... ... 17

II.2.2 Fenomenologi Persepsi. ... ... 18

II.2.3 Metode Fenomenologi... ... 21

II.3 Komunikasi ... ... 24

II.3.I Komunikasi Massa ... ... 29

II.4 Kode Etik Jurnalistik ... ... 33

II.4.I Pers ... ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... ... 43

III.2 Objek Penelitian ... ... 44

III.3 Subjek Penelitian ... ... 44

III.3.1 Harian Tribun Medan ... ... 45

III.4 Kerangka Analisis ... ... 45

III.5 Teknik Pengumpulang Data ... ... 47

III.5.1 Penentuang Informan ... ... 48

III.5.2 Keabsahan Data ... ... 49

III.6 Teknik Analisis Data ... ... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Penelitian ... ... 53

IV.1.1 Hasil Wawancara ... ... 53

IV.2 Pembahasan. ... ... 81

IV.2.1 Perspektif Fenomenologi ... ... 87

IV.2.2 Komunikasi Massa... ... 88

IV.2.3 Kode Etik Jurnalistik ... ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan ... ... 91

V.2 Saran... ... 91

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(13)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul PemaknaanKode Etik Jurnalistik tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam Perspektif Fenomenologi di Harian Tribun Medan. Penelitian ini bertujuan melihat apakah kode etik jurnalistik tentang hak jawab dan hak koreksi penting serta bagaimana bagaimana Harian Tribun Medan memaknai dan mengkonstruksi hak jawab dan hak koreksi sebagai kebebasan pers dan hak masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun data, tetapi tidak melakukan pengukuran dengan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif dengan lebih menspesifikasikan lagi kepada teori analisis fenomenologi. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Subjek penelitian ini adalah Redaktur dan PemimpinRedaksi Harian Tribun Medan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan.Hak jawab dan hak koreksi yang diterapkan di Harian Tribun Medan sudah dilakukan dengan cukup efektif dan proporsional, dimana Harian Tribun Medan membuka peluang untuk narasumber atau pembaca yang ingin mengajukan hak jawabnya dan dilihat apakah hak jawab tersebut relevan atau tidak. Selain itu, untuk menjaga keberimbangan maka hak jawab dan hak koreksi yang diajukan akan dikonfirmasi ulang sesuai dengan kebutuhan. Penerapan hak jawab dan hak koreksi penting untuk diterapkan di setiap media karena itu merupakan hak setiap masyarakat serta bentuk pertanggungjawaban media atas berita yang dituliskan.

Kata Kunci

(14)

ABSTRACT

This study titled Making Meaning of Journalistic Code of Right of Reply and Correction Rights in Phenomenology Perspective in Tribun Medan. This study aims to see whether the code of ethics of journalism about the right of reply and correction rights are important for Tribun Medan and see howTribun Medan to interpret and construct a right of reply and correction rights as freedom of the press and the right of people in the field. Descriptive qualitative research is the method used for this reasearch. The method is used to develop the concept and collect the data, but not to perform measurements with nominal data concerning classification or categorization of a number of variables into several sub-class par. Qualitative research methods tend to be associated with the interpretive paradigm with more specify further the analytical theory of phenomenology. This method concentrates the investigation of how humans make sense of how their social life, as well as how humans express their understanding.Subjects of this study are Editors and Chief Editor of Tribune Medan. Data were collected by in-depth interviews of the informant. Right of reply and correction rights are applied in Tribun Medan has done quite effective and proportionately. Tribun Medan opens opportunities for speakers or readers who wish to apply for the right answer and see whether it is relevant right of reply or not. In addition, to maintain a balance in the right of reply and correction rights will be reconfirmed as necessary. Application of the right of reply and correction rights are important to be applied in any medium because it is the right of every society and forms of media accountability on the news that is written.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 merupakan salah satu undang-undang yang paling unik dalam sejarah Indonesia. Dilatarbelakangi dengan semangat reformasi, undang-undang ini sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk ikut campur dalam masalah pengelolaan kemerdekaan pers. Inilah satu-satunya undang-undang yang tidak memberikan peluang munculnya “peraturan pemerintah” sebagai jabatan pelaksana undang-undang. Padahal hampir seluruh undang-undang untuk pelaksanaannya diatur oleh peraturan pemerintah. Perasaan traumatik masyarakat pers yang begitu mendalam dan panjang terhadap kooptasi, intervensi dan bahkan pemasungan oleh pemerintah kepada pers sebelumnya, membuat para perancang undang-undang ini tegas memilih “politik hukum” sekurang-kurangnya lima:

(1) Pemerintah tidak boleh turut campur tangan sama sekali dalam pengelolaan

kemerdekaan pers. Oleh karena itu, pintu pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan di bidang pers ditutup rapat-rapat.

(2) Kemerdekaan pers merupakan hak-hak asasi warga negara yang harus dilindungi dan karena itu tidak boleh diatur dengan peraturan-peraturan yang tidak cocok dengan “roh” kemerdekaan pers. Untuk itu tidak lagi diperlukan izin khusus dalam mendirikan perusahaan pers.

(3) Diterapkan ketentuan “Self regulation” atau mengatur diri sendiri. Kepada masyarakat pers diberikan kewenangan untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan kebutuhan. Dengan difasilitasi oleh Dewan Pers, masyarakat pers dapat membuat peraturan-peraturan di bidang pers.

(4) Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menjadi mahkota dalam profesi wartawan, sehingga wajib memiliki dan tunduk kepada KEJ.

(16)

Di sisi lain kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi yang berguna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan hal tersebut, wartawan Indonesia sadar benar akan adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, serta norma-norma agama yang berlaku. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban serta peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Maka, untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme

Salah satunya ada dalam pasal 11 Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang

wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Hak jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar KEJ, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang merugikan nama baiknya kepada pers yang mempublikasikannya.

Kemerdekaan pers ini penting adanya, sebab kemerdekaan pers bukan milik ekslusif pers. Kemerdekaan pers adalah milik seluruh masyarakat. Oleh karena itu, kemerdekaan pers harus pula dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan umum, bukan semata-mata untuk kepentingan sempit pers saja. Setelah pers diberikan amanah untuk menjalankan kemerdekaan pers, untuk mencegah agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan kemerdekaan pers, maka perlu ada pengawasan sekaligus mekanisme memperbaiki kemungkinan kekeliruan dari karya jurnalistik. Hak jawab memungkinkan masyarakat segera memperbaiki kekeliruan pemberitaan sehingga selain pihak yang dirugikan dapat membetulkan kesalahan yang ada, masyarakat juga memperoleh infomasi yang benar dan akurat (Sukardi, 2012: 156).

Sedangkan Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain. Perbedaan hak jawab dengan hak koreksi terletak pada wewenang pihak yang melakukannya. Hak jawab diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang. Hak jawab berisi tanggapan atau sanggahan terhadap berita yang menyangkut langsung diri dari pihak yang dirugikan. Hak

(17)

Dalam Sukardi (2012: 168) mengatakan kewajiban koreksi ini merupakan salah satu bukti bahwa pers menganut prinsip moralitas, yaitu kalau membuat kekeliruan atau kesalahan, walaupun tidak ada yang minta atau menuntut, pers memiliki kewajiban untuk memperbaikinya, melakukan koreksi, atau ralat, dan jika diperlukan disertai permintaan maaf. Kewajiban koreksi ini sekaligus juga menunjukan dalam pers kepentingan publik menempatkan kedudukan utama. Berita yang keliru atau tidak akurat jelas menyebabkan publik tidak memperoleh informasi yang tepat dan itu artinya publik telah dirugikan.

Terdapat kelemahan dalam pengaturan hak koreksi serta kewajibannya dalam UU No 40 tahun 1999, yakni tidak memiliki sanksi hukum. Artinya apabila pers melanggar atau tidak mematuhi hak koreksi dan kewajiban koreksi, tidak dikenakan sanksi hukum apapun. Inilah yang biasanya di dalam hukum disebut bersifat deklaratif. Maksudnya, suatu masalah diatur dalam hukum tetapi apabila tidak dipatuhi atau dilanggar, pers tidak dapat dikenakan sanksi

hukum.

Hal ini berbeda dengan hak jawab yang memiliki sanksi hukum sesuai dengan pasal 18 ayat 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers yang tidak melayani hak jawab selain dapat diancam sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Bila dilihat dari segi etika, pelanggaran hak jawab dapat diberi sanksi mulai dari kewajiban mengumumkan pelanggaran hak jawab, permintaan maaf, sampai dinyatakan ada itikad buruk yang dapat dikategorikan sebagai pidana umum (Sukardi, 2012:164).

Sukardi (2012: 155) mengatakan dalam UU Pers, sebenarnya hak jawab hanya diatur secara singkat, yakni pasal 5 ayat 2 UU Pers, yaitu berbunyi, “Pers wajib melayani hak jawab”. Bagaimana kewajiban pers “melayani” hak jawab sama sekali tidak diatur. Begitu pula hak jawab seperti apa yang harus “dilayani” juga tidak diatur.

Hak jawab ini sendiri memiliki berapa fungsi, yaitu memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang akurat, menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers, mencegah atau mengurangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers, dan bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers.

Di samping itu, hak jawab memiliki tujuan yaitu memenuhi pemberitaan atau karya jurnalistik yang adil dan berimbang, melaksanakan tanggung jawab pers kepada masyarakat, menyelesaikan sengketa pemberitaan pers, serta mewujudkan itikad baik dari pers (Sukardi, 2012:157).

Adakalanya hak jawab dilaksanakan secara proporsional, maksudnya antara tingkat

(18)

a. Hak jawab dilaksanakan pada bagian per bagian atau secara keseluruhan dari kekeliruan atau ketidakakuratan informasi yang dipermasalahkan;

b. Hak jawab dilaksanakan pada tempat atau program yang sama dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dimasalahkan, kecuali disepakati lain oleh para pihak. Artinya secara umum, pada media cetak hak jawab harus diletakkan pada halaman yang sama dengan berita yang diduga mengandung ketidaktepatan atau ketidakakuratan;

c. Tetapi hal ini tidaklah berlaku mutlak. Dengan persetujuan para pihak, hak jawab dapat ditempatkan dimana saja sesuai dengan kesepakatan;

d. Hak jawab dengan persetujuan para pihak formatnya dapat dilakukan dalam bentuk apapun, kecuali dalam bentuk iklan. Hak jawab dapat dilakukan bentuk

ralat, wawancara, profil, features, liputan, talkshow, pesan berjalan dan komentar media siber atau format lain;

e. Hak jawab dilaksanakan dalam waktu secepatnya, yakni pada kesempatan pertama sesuai sifat pers yang bersangkutan;

f. Untuk pers cetak wajib pada edisi berikutnya atau selambat-lambatnya pada dua edisi berikutnya sejak hak jawab diterima redaksi;

g. Hak jawab dilakukan satu kali untuk setiap pemberitaan media yang dipermasalahkan;

h. Hak jawab disertai permintaan maaf dalam hal terdapat kekeliruan atau ketidakakuratan fakta yang bersifat menghakimi, fitnah atau bohong.

Dalam banyak kasus, pemuatan hak jawab yang berupa koreksi, bantahan, atau informasi tambahan acapkali hanya mendapat porsi kolom yang amat kecil, dia diletakkan di pojok halaman. Padahal, pemberitaan yang dipermasalahkan mungkin menggunakan banyak kolom dan letaknya pun menonjol di halaman muka. Akibatnya, timbul kesan pemuatan hak jawab hanyalah sekadar asal muat untuk pemenuhan kewajiban, bukan usaha pelurusan berita yang memperhitungkan imbang tidaknya pemuatan tersebut.

Sedangkan pada pers pemuatan hak jawab juga mengandung suatu persoalan, bahkan mungkin merupakan suatu beban. Tidak sedikit sumber berita yang tiba-tiba mencabut pernyataannya, mengganggap pers salah kutip atau keliru menginterprestasi. Melalui

(19)

implikasi terhadap rendahnya kredibilitas pers yang bersangkutan (Cahyana dan Suyanto: 1996:98).

Selain itu, jika hak jawab dan hak koreksi adalah inisiatif hak pembaca untuk meminta redaksi melakukan “perbaikan atas sebuah pemberitaan yang merugikan nama baiknya”, maka UU Pers juga meminta dan bahkan memaksa redaksi untuk jujur dan satria melakukan kewajiban koreksi, yaitu keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini dilakukan atas inisiatif redaksi sendiri ketika ia menemukan kesalahan atas sebuah pemberitaan atau atas sebuah informasi yang disampaikannya meskipun tidak ada pembaca yang melakukan sanggahan atau tanggapan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa melakukan kewajiban koreksi oleh redaksi membutuhkan kejujuran yang berhati nurani.

Dengan demikian cukup terang dan jelas bahwa UU Pers menyediakan mekanisme penyelesaian permasalahan pemberitaan pers yang timbul akibat wartawan melakukan kegiatan jurnalistik dengan mekanisme jurnalistik pula yaitu hak jawab, hak koreksi dan kewajiban koreksi kecuali pemberitaan peristiwa dan opini yang melanggar norma-norma agama, yang melanggar rasa kesusilaan masyarakat, serta yang melanggar asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU Pers (IP Pandjaitan, 2004: 28-29).

Sesuai dengan pernyataan di atas. Hak jawab dan hak koreksi menjadi tanggung jawab pihak yang memuat dan menyiarkannya. Tegasnya, tanggung jawab pada redaksinya. Pertimbangannya, penentuan terakhir bisa atau tidak sebuah hak jawab dilayani berada di tangan pers (Sukardi, 2012:161-162). Untuk itu, dalam melayani hak jawab, pers diberikan dua benteng utama, pertama pers dapat menyunting hak jawab sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik, sehingga hak jawab dapat ditampilkan sesuai dengan bidang jurnalistik. Kedua, jika hak jawab memenuhi syarat-syarat pengecualian, pers boleh menolak melayani hak jawab. Oleh karena itu tanggung jawab penggunaan hak jawab tetap berada pada redaksi.

Untuk itu, terdapat empat hal yang menjadi dasar pers dapat menolak hak jawab, yaitu hak jawab yang diajukan bertentangan dengan kepentingan pihak ketiga yang harus dilindungi secara hukum, hak jawab memuat fakta yang tidak terkait dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan, hak jawab yang diajukan dapat menimbulkan pelanggaran hukum, hak jawab yang diajukan panjang/durasi/jumlah karakternya melebihi pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan. Selain itu, hak jawab mempunyai batas

(20)

Dengan filosofis pengaturan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers dengan menggunakan hak jawab, hak koreksi atau kewajiban koreksi, UU Pers mendisainnya dengan baik. UU Pers secara sadar memberikan lima mandat penuh kepada pers agar melakukan lima peran sekaligus yang cukup berat tetapi mulia, yaitu pertama memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, kedua menegakkan nilai-nilai dasar demokratisasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan, ketiga mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, keempat melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kelima memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Lebih dari itu, pers harus selalu setia menjaga profesinya dengan tetap menjalankan tiga kewajiban utamanya. Pertama, wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati

norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Artinya, dalam menyiarkan informasi, tidak boleh menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses pengadilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Kedua, pers wajib melayani hak jawab. Ketiga, pers wajib melayani hak koreksi. Selain itu, pers harus jujur melakukan kewajiban koreksi.

Atas dasar fungsi, kewajiban dan peran yang maha berat itu, sekaligus maha dasyat itu, maka UU Pers menjelaskan secara rinci bagaimana melakukan kontrol terhadap pers. Sebab, jika tidak dilakukan kontrol maka pers itu dengan sangat leluasa akan menjadi anarkis. Kekuasaan memang cenderung disalahgunakan. Karena itu, sekali lagi diperlukan kontrol dari masyarakat, termasuk kontrol dari hati nurani wartawan itu sendiri. UU Pers mensyaratkan 2 conditio sine quad non bagi kehidupan dan kinerja pers yang bermartabat dan tidak anarkis, yaitu: pers yang profesional dan pers yang terbuka dikontrol oleh masyarakat, soal profesionalisme adalah soal yang harus terus menerus ditumbuh kembangkan oleh insan pers dengan meningkatkan pengetahuannya dan kejujuran serta kesatriaannya untuk senantiasa patuh dan menjunjung tinggi etika jurnalistik. Sedangkan soal terbuka dikontrol oleh masyarakat adalah soal bagaimana kejujuran dan kesatrian pers mengakui kesalahan untuk terbuka disanggah, ditanggapi dan atau dikoreksi bila terdapat kesalahan atas pemberitaannya, yang juga diamanatkan oleh etika jurnalistiknya.

Dua kondisi ini bermuara pada pemahaman pers yang profesional bukanlah pers yang

(21)

akibat pemberitaan pers yang dikenal oleh UU pers. Cara yang pertama dilakukan oleh pembaca yang merasa dirugikan nama baiknya dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi secara langsung ke redaksi. Dalam tataran ini, persoalan dapat muncul, ketika “tingkat kepercayaan pembaca” atas penghormatan pada hak jawab dan atau hak koreksi mendapatkan tempat yang tak pantas, tak proporsional dan tak menjawab rasa keadilan si pembaca. Acapkali hak jawab dan hak koreksi “diperlakukan” secara tidak satria oleh redaksi baik penempatannya yang tak layak dan tak patut, maupun isi hak jawab dan atau hak koreksi sudah diplintir (IP Pandjaitan, 2004: 49-53).

IP Pandjaitan (2004: 55) mengatakan undang-undang pers menjamin dengan tegas keharusan bagi perusahaan pers untuk mekakukan pelayanan hak jawab dengan merumuskannya menjadi norma hukum positif. Artinya hak jawab yang selama ini dipahami sebagai bagian dari etika jurnalistik, oleh pembuat undang-undang dinaikkan menjadi norma

hukum positif.

Harian Tribun Medan merupakan media massa yang cukup muda di Medan. Ia berdiri sejak 27 September 2010, dengan misi yaitu menjadi penerbit surat kabar dan media online terbesar di Sumatera Utara melalui penyediaan informasi yang terpercaya untuk memberikan spirit baru dan mendorong terciptanya demokratisasi di daerah dengan menjalankan bisnis yang beretika, efisien dan menguntungkan. Selain surat kabar yang terbit harian, Tribun Medan juga mempunyai media online ya online liputan aktual seputar Medan, Lubuk pakam, Pematangsiantar, Binjai, Nasional dan Internasional

Alasan peneliti menjadikan Harian Tribun Medan sebagai subjek penelitian yaitu karena Harian Tribun Medan merupakan Silver Winner The Best Of Sumatera Regional Newspaper IPMA 2011dan Silver Winner The Best Of Sumatera Newspaper IPMA 2012 dan salah satu media cetak bagian dari Harian Kompas yang berada dibawah naungan Kompas Gramedia, hanya saja Tribun bergerak dalam lingkup lokal. Harian Tribun bukan hanya ada di Medan, namun juga ada di 28 kota di Indonesia (www.tribunnews.com/about). Hal inilah yang membuat peneliti tertarik. Mendapat dua penghargaan berturut-turut sebagai Silver Winner The Best Of Sumatera Newspaper pastilah bukan sesuatu yang kebetulan, salah satu faktornya adalah kredibilitas yang disandangHarian Tribun Medan. Namun, tentu mendapatkan kredibilitas tersebut tidak mungkin didapat apabila Harian Tribun Medan tidak

(22)

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan pemaparan konteks masalah yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam Perspektif Fenomenologi di Harian Tribun Medan”.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah

1. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah Harian Tribun Medan memiliki kesadaran

akan pentingnya hak jawab dan hak koreksi

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuibagaimana Harian Tribun Medan memaknai dan mengkonstruksi hak jawab dan hak koreksi sebagai kebebasan pers dan hak masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas pengetahuan peneliti dalam bidang jurnalistik, khususnya dalam mengetahui pemaknaan Kode Etik Jurnalistik di Media Massa.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah penelitian tentang dunia pers di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

3. Sebagai bahan masukan dan sumber bacaan bagi kawan-kawan mahasiswa Ilmu Komunikasi lainnya, terutama yang menjurus kepada bidang jurnalisme.

(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Interpretif

Dalam Daymon (2008: 6), Miller mengungkapkan dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan sekaligus dengan keteraturan dan ketidakaturan interaksi komunikasi, situasi-situasi yang terjadi mungkin biasa (kecil) ataupun luar biasa (besar), contohnya kita membuat beberapa pilihan tentang bagaimana cara yang terbaik berbicara dengan seorang pembimbing mengenai nilai yang buruk dalam sebuah ujian. Kita mencoba untuk menyikapi

banyak-banyak komentar politik yang berdiskusi tentang hari itu. Dalam situasi-situasi keseharian ini, kita mencari sebuah pemahaman tentang bagaimana dan mengapa komunikasi bekerja.

Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif.

Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia perlunya memahami realitas sosial dari berbagai sudut pandang orang-orang yang hidup di dalamnya. Realitas sosial yang dihadapi manusia sudah terbentuk dari waktu ke waktu melalui proses komunikasi, interaksi dan sejarah bersama.

(24)

2.2. Fenomenologi

Sobur (2013: 14-15) secara etimologis, fenomenologi adalah terusan dari fenomenon dan logos. Kata logos lazimnya menunjuk ada pengertian uraian, percakapan, atau ilmu, seperti yang melekat pada disiplin psikologi, sosiologi, antropologi, atau etnologi.

Selanjutnya akar kata yang termuat dalam istilah fenomenon ada dasarnya sama dengan akar kata fantasi, fantom, fosfor, dan foto, yang berarti sinar atau cahaya. Dari akar kata tersebut dibentuk kata kerja yang antara lain, berarti tamak, terlihat karena bercahaya atau bersinar. Jadi, fenomenologi bisa kita artikan sebagai uraian, percakapan, atau ilmu tentang fenomenon atau suatu yang sedang menampakkan diri. Dalam bahasa filsafat, dapat juga dikatakan bahwa fenomenologi ialah percakapan dengan fenomenon, atau sesuatu yang sedang menggejala.

Dalam arti yang lebih luas, kata “fenomenologi” mencakup aneka macam cara ouler untuk membicarakan fenomena-fenomena atau hal-hal yang tampak. Dengan demikian, istilah ini tidak lagi dipatoki secara jelas dan kritis. Kini, seperti dikatakan Wahana

(2004:31), fenomenologi merupakan istilah yang digunakan secara luas dalam berbagai pengertian dalam filsafat modern, yang memiliki pokok persoalan “fenomena”.

Pada pengertian yang paling inti, istilah fenomenologi menunjukan pada suatu teori spekulatif tentang penampilan pengalaman dan dalam penggunaan awal, pengertian fenomenologi dikaitkan dengan dikotomi “henomenon-noumenon,” suatu perbedaan antara yang tampak (phenomenon) dan yang tidak tampak (noumenon). Fenomenologi Husserl merupakan usaha spekulatif untuk menentukan hakikat yang seluruhnya didasarkan atas pengujian dan penganalisisan terhadap yang tampak.

Pemikiran fenomenologi bukan merupakan sebuah gerakan pemilihan yang koheren. Prinsip paling dasar dari fenomenologi adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat ada penjelasan universal (Ardianto dan Anees, 2007:127).

(25)

tersebut. Misal, seseorang akan mengambil bidang kajian ilmu komunikasi dengan serius sebagai pengalaman di bidang pendidikan ketika orang tersebut mengalami suatu yang akan memberikan pengaruh positif pada karirnya. Ketiga, bahasa pada dasarnya merupakan kendaraan makna. Manusia memahami dunia lewat bahasa yang digunakan guna mendefinisikan serta mengekspresikan dunia tersebut. Manusia mengetahui kunci karena bahasa yang hubungkan dengan benda tersebut: menuntut, membuka, besi, berat, dan sebagainya.

Uraian Hall dan Lindzey mengartikan fenomenologi sebagai deskripsi tentang data (secara harfiah disebut the givens, yang terberi) tentang pengalaman langsung. Fenomenologi berusaha memahami—bukan menerangkan—gejala-gejala. Menurut Van Kaam (1966) dalam Sobur (2013: 16-17) merumuskannya sebagai “metode dalam psikologi yang berusaha untuk menyingkap dan menjelaskan gejala-gejala tingkah laku sebagaimana gejala-gejala tingkah

laku tersebut mengungkapkan dirinya secara langsung dalam bentuk pengalaman. Fenomenologi terkadang dipandang sebagai metode lengkap untuk setiap ilmu pengetahuan dimulai dengan pengamatan terhadap apa yang diamati dan dijabarkan oleh subjek yang mengalami pada suatu waktu tertentu. Dalam filsafat, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia.

Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert tahun 1764, pada Teori Penampakan. Teori ini bersama dengan teori kebenaran, logika, dan semiotika, merupakan empat disiplin filosofisnya. Lambert adalah filsufnya Jerman yang sezaman dengan Kant, merupakan orang yang pertama kali membicarakan masalah ini dengan memberi nama fenomenologi (phenomenology). Ia menggunakan istilah fenomena (phenomenon) bagi gambaran khayal dari pengalaman manusia, dan kemudian mengartikan fenomenologi (phenomenology) sebagai “teori tentang khayalan”, sedangkan Kant memberi arti baru dan lebih luas terhadap fenomena. Kant membedakan antara objek dan kejadian yang tampak dalam pengalaman kita dengan objek dan kejadian yang berada dalam dirinya sendiri serta tidak tampak dalam gejala-gejala yang kita tangkap dengan indra, yang pertama disebut fenomena (phenomenon), sedangkan yang berikut disebut numena (noumenon).

Dengan kata lain, inti pendekatan fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak dalam berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yanng

(26)

Tradisi fenomenologis memandang bahwa peran kepribadian dalam perilaku paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang, yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memperhatikan dan memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka. Oleh sebab itu, tradisi fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunia secara subjektif, sensasi, perasaan, dan fantasi yang terlibat dalam titik tolak ukur meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai objek. Dua garis utama berpikir merefleksikan pendekatan fenomenologis, yaitu:

a. Teori Gestalt tentang persepsi. Penganut teori ini berargumentasi bahwa aspek utama kepribadian ialah bagaimana orang menyusun pengalaman ke dalam pola atau konsfigurasi. Mereka menekankan prinsip kesederhanaan dalam penyusunan persepsi.

b. Teori Medan. Teori ini beragumentasi bahwa kepribadian (pola prilaku yang kekal

dan diperoleh dengan belajar) saja tidak dapat menerangkan bagaimana orang berprilaku. Setiap orang memiliki ruang hidup yang tersusun dari medan gaya. Dalam bertindak, individu mendekati atau menghindari gaya dan objek dalam ruang hidupnya sebagaimana ia memahami gaya itu saat bertindak (Surip, 2011:11).

Tradisi fenomenologi memfokuskan perhatiannya terhadap pengalaman sadar seorang individu. Teori komunikasi yang masuk dalam tradisi fenomenologi berpandangan bahwa

manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepi dan interpretasi dari pengalaman subjektif manusia.

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya. Fenomenologi, dikemukakan oleh Edmund Husserl (1895-1938) sebagai tokoh terpentingnya. Husserl (L. Siregar, 2005 : 7-8) mengatakan :

(27)

purely in such essences. Each such statement of essence is an apriori statement in the highest sense of the world.”

Fenomenologi ini sebagaimana halnya fenomenologi murni yang lebih inklusif tentang pengalaman secara umum kepedulian khusus, pengalaman yang dapat dideskripsikan dan dianalisis secara intuitif dalam hal umum yang murni, mengenai esensi bukan pengalaman

yang diterima dan diperlakukan secara empiris sebagai fakta riil, seperti halnya pengalaman manusia atau hewan dalam dunia fenomenal yang kita asumsikan sebagai suatu fakta empiris. Fenomenologi ini harus dibawa kepada ekspresi murni, harus dapat menggambarkan arti konsep esensinya dan formula yang mengatur esensinya, esensi yang secara langsung membuat hal itu dapat dikenal dalam intuisi dan hubungan dengan dimana mereka berakar secara murni. Setiap pernyataan esensi merupakan pernyataan apriori dalam arti yang paling tinggi.

Perspektif fenomenologi merupakan salah satu dari tiga pandangan dasar dari paradigma interpretif. Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859-1938). Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah (atau objektif) bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang (Suyanto, 2005: 178-179).

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa gejala adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada

(28)

mengkonvers ikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. (Maksum, 2008: 368-369).

Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang.Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku (Bungin, 2003).

Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan. Prinsip dasar dari perspektif fenomenologi adalah

bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat dan penjelasan universal. Makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dalam artian, makna sebuah pohon yang tumbuh di halaman belakang dapat berkisar dalam makna indahnya dahan-dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan burung yang mendiami pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk menyatukan konstruksi makna tersebut. Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup. Ketiga, kalangan fenomenologi percaya bahwa dunia dialamidan makna dibangun melalui bahasa(Ardianto. 2007: 129).

2.2.1 Filsafat Fenomenologi

Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.

Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif dan instropeksi mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung: religious, moral, estetis, konseptual, dan indrawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan

(29)

tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris (Maksum, 2011:191).

Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia menemukan objek-objek yang membentuk dunia yang kita alami. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali kepada benda itu sendiri, dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

Dalam (Sobur, 2013: 5) mengatakan Husserl memang mendefinisikan fenomenologi sebagai suatu disiplin filsafat yang akan melukiskan segala bidang pengalaman manusia. namun, ia sendiri memusatkan perhatian dan tenaganya pada pemberian dasar terhadap fenomenologi itu sebagai disiplin baru (Wahana, 2004: 32). Menurut Husserl, fenomenologi

diperuntukkan membuka suatu jalan baru dalam filsafat: suatu transformasi mendasar filsafat, yakni kembali pada sumber asli dari intuisi. Dengan proses klarifikasi, fenomenologi akan membuka suatu wilayah yang luas dari penelitian ilmiah yang saksama, yang membuktikan kegunaannya tidak hanya bagi filsafat, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan lainnya, yaitu memberikan penjelasan tentang landasan ilmu pengetahuan.

2.2.2 Fenomenologi Persepsi

Dalam fenomenologi Merleau-Ponty, dunia persesi menjadi titik tolak dari pemikirannya (Brouwer, 1998). Persepsi ialah sumber daya dan dasar eksistensi. Persepsi pada dasarnya merupakan istilah yang meliputi seluruh hubungan manusia dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi. Istilah ini bertalian dengan makna, tubuh, dan intersubjektivitas. Berpersepsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia. Manusia dapat digambarkan berada dalam dunia (etre-au-monde) dan persepsi ialah relasiasli manusia dengan dunia. Manusia terbuka bagi dunia. Inilah yang mendasari persepsi.

Persepsi tidak pernah selesai dan definitif karena hubungan manusia dengan dunia ditandai oleh perspektif yang berganti-ganti. Fenomenologi dimaksudkan sebagai studi tentang esensi-esensi, dan menurutnya, semua problem ada dasarnya tidak lain daripada menentukan esensi-esensi, misalnya esensi persepsi, esensi kesadaran, dan lain-lain. Namun, fenomenologi juga merupakan suatu filsafat yang menempatkan kembali esensi-esensi dalam

(30)

Dalam arti sempit, persepsi ialah penglihatan, yakni bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Menurut DeVito, persepsi ialah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indra kita. Yusuf (1991: 108) menyebut persepsi sebagai ‘pemaknaan hasil pengamatan, sedangkan Gulo (1982) mendefinisikan persepsi sebagai proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya menjadi indra-indra yang dimilikinya.

Persepsi terjadi di dalam benak individu yang mempersepsi, bukan di dalam objek dan selalu merupakan pengetahuan tentang penampakan. Maka, apa yang mudah bagi kita, boleh jadi tidak mudah bagi orang lain, atau apa yang jelas bagi orang lain mungkin terasa membinggungkan bagi kita. Dalam konteks inilah perlu memahami intrapribadi dari komunikasi antarpribadidengan melihat lebih jauh sifat-sifat persepsi.

Pertama, persepsi adalah pengalaman. Untuk mengartikan makna dari seseorang, objek atau peristiwa, kita harus memiliki dasar/basis untuk melakukan interprestasi. Dasar ini biasanya kita tentukan pada pengalaman masa lalu kita dengan orang, objek atau peristiwa tersebut, atau dengan hal-hal yang menyerupainya. Tanpa landasan pengalaman sebagai pembandingnya tidak mungkin untuk mempresentasikan suatu makna, sebab ini akan membawa kita kepada suatu kebinggungan.

Kedua, persepsi adalah selektif. Ketika mempersepsikan hanya bagian-bagian tertentu dari objek atau orang. Dengan kata lain, kita melakukan seleksi hanya pada karakteristik tertentu dari objek-objek persepsi kita dan mengabaikan yang lain. Dalam hal ini biasanya kita mempersepsikan apa yang kita ‘inginkan’ atas dasar sikap, nilai, dan keyakinan yang ada dalam diri kita dalam mengabaikan karakteristik yang telah relevan atau berlawanan dengan nilai dan keyakinan tersebut. Ketiga, persepsi adalah penyimpulan. Proses psikologis dari persepsi mencakup penarikan kesimpulan melalui suatu proses induksi secara logis. Interprestasi yang dihasilkan melalui persepsi pada dasarnya adalah penyimpulan atas informasi yang tidak lengkap.

Keempat, persepsi tidak akurat. Setiap persepsi yang kita lakukan, akan mengandung kesalahan dalam kadar tertentu. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengaruh pengalaman masa lalu, selektifitas, dan penyimpulan. Biasanya ketidakakuratan ini terjadi karena penyimpulan yang terlalu mudah, atau menyamaratakan. Adakalanya persepsi tidak akurat karena orang menganggap sama, sesuatu yang sebenarnya hanya mirip. Dan semakin tidak

(31)

Kelima, persepsi adalah evaluaktif. Persepsi tidak akan pernah objektif, karena kita melakukan interprestasi berdasarkan pengalaman dan merefleksikan sikap, nilai dan keyakinan pribadi yang digunakan untuk memberi makna pada objek persepsi. Karena persepsi merupakan proses kognitif psikologis yang ada di dalam diri kita, maka bersifat subjektifitas. Fisher mengemukakan bahwa persepsi bukan hanya merupakan proses intrapribadi tetapi juga sesuatu yang sangat pribadi dalam tindak persepsi menyebabkan persepsi sangat subjektif (Fajar Marhaeni, 2009: 151-152).

Fenomenologi ialah suatu filsafat transendental yang menaruh antara kurung anggapan-anggapan sikap natural dengan maksud memahaminya dengan baik. Namun, fenomenologi juga merupakan filsafat yang menganggap dunia selalu ‘sudah ada’, mendahului segala refleksi, sebagai suatu kehadiran yang tak terasingkan. Fenomenologi berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kembali kontak langsung dan wajar dengan dunia, supaya akhirnya dunia

dapat diberikan suatu status filosofis. Di satu pihak, fenomenologi mempunyai ambisi menjadi suatu ‘ilmu rigorus’, tetapi di pihak lain ia ingin juga mempertanggungjawabkan ruang, waktu, dan dunia sejauh ‘dihayati’. Fenomenologi adalah ikhtiar untuk secara langsung melukiskan pengalaman kita sebagaimana adanya tanpa memperhatikan asal-usul psikologisnya dan keterangan-keterangan kausal yang dapat disajikan ilmuwan, sejarawan, dan sosiolog.

Orang sering kebingungan memaknai fenomena yang berasal dari penafsiran karena penafsiran tersebut dikhususkan pada data subjektifitas serta bidang fenomenal yang tidak berhubungan dengan fenomenologi.

(32)

2.2.3 Metode Fenomenologi

Menurut Husserl (Maksum, 2011: 191), fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah. Langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomeno yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri instiksik fenomena sebagaimana fenomena itu sendiri menampakan diri kepada kesadaran. Kita harus berangkat dari subjek manusia serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau ini dapat dilakukan maka akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi.

Untuk memahami filsafat Husserl, ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui: 1. Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena

(sesuatu yang berada di balik fenomena)

2. Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani

3. Kesadaran adalah sesuatu yang interaksional (terbuka dan terarah pada subjek)

4. Substansi adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan sekaligus bisa terjangkau.

Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Husserl (Praja 2003:181), usaha untuk mencapai hakikat realitas segala fenomena itu melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari:

1. Reduksi Fenomenologi

Fenomena seperti disebut diatas adalah menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah rill atau nyata. Kita telah meyakini sebagai realitas di luar nikah. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang di luar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dalam “mengalami” secara intuitif, maka apa yang dianggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subjekivitas disingkirkan. Termasuk di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini disebut fenomenologis.

Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu. Jika hal ini berhasil, kia akan sampai

(33)

2. Reduksi Eidetis

Eidetis berasal dari kata eidos. Eduksi eidetis ialah penyaingan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, inti sari atau ealias fenomena. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek, dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.

Hakikat (realitas) yang dicapai dalam hal ini adalah stuktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang epesentatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambahkan salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau

menambahkan makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.

Reduksi eidetis ini menunjukan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.

3. Reduksi Transendental

Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek atau fenomena yang bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran sendiri. Kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran yang ditentukan adalah kesadaran yang besifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diri dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental.

Dalam hal ini “aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek-objek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham

(34)

sedangkan subjek lebih dari satu. Untuk menghindar ini, Husserl membuat lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia manusia umum). Dengan reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektif. Dan “aku” transendental dari subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindar solipisme fenomenologis.

Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum.

2.3 Komunikasi

Fajar Marhaeni (2009:16) mengatakan komunikasi adalah prasyarat kehidupan manusia. karena komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan

umat manusia. Kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya diakui oleh jampir semua agama telah ada sejak Tuhan menciptakan Adam dan Hawa di muka bumi ini.

Kapan manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya, tidak ada data autentik yang dapat menerangkan tentang hal itu. Hanya saja diperkirakan bahwa kemampuan manusia untuk berkomunikasi dengan orang lain secara lisan adalah suatu peristiwa yang berlangsung dengan sendirinya.

Evert M. Rogers (1986) dalam bukunya communication technology: The New Media in Society, antara lain menyebutkan bahwa sejarah komuniksi sudah dikenal diperkirakan dimulai sejak sekitar 4.000 tahun sebelum masehi (sM), dan biasa disebut jaman Cro-Mag-Non. Baru sekitar tahun 22.000 sM, para ahli pra-sejarah menemukan lukisan-lukisan dalam gua yang diperkirakan karya komunikasi manusia pada zaman tertentu.

Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan untuk mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal keterampilan manusia berkomunkasi secara otomatis melalui lambang isyarat, kemudian disusul dengan kemampuan dan memberi arti setiap lambang-lambang itu dalam bentuk bahasa verbal. Rogers pun menilai peristiwa ini sebagai generasi pertama kecakapan manusia berkomunikasi sebelum mampu mengutarakan pikirannya secara tertulis.

Pada mulanya komunikasi yang tetap hanya terdapat pada masyarakat kecil, kelompok orang yang hidup berdekatan yang merupakan satu unit politik. Tetapi sekarang, akibat dari kecepatan media informasi dan kompleksnya berbagai macam hubungan, maka komunikasi

(35)

dipergunakan oleh kebanyakan orang. Ia dipergunakan dalam semua kesempatan baik dalam pembahasan maupun membicarakan berbagai masalah.

Kata atau istilah “komunikasi” (Bahasa Inggris “communication”) berasal dari bahsa latin “communicatus” yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasamengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Menurut Webster New Collogiate Dictionary dijelaskan bahwa komunikasi adalah “suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”. Berikut ini adalah beberapa definisi tentang ilmu komunikasi yang dikemukan oleh para ahli sebagai berikut:

Hovland, Janis & Kelley Komunikasi adalah suatu proses melalui dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dengan bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak). Berelson & Steiner

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain-lain.Bierstedt dalam menyusun urutan ilmu, menganggap jurnalistik sebagai ilmu komunikasi, dalam hal ini ilmu terapan (applied Science). Karena ilmu komunikasi bersifat interdisipliner atau multidisipliner, ini disebabkan oleh objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu kemasyarakatan.

Perkembangan Communication Science atau Communicology di Amerika Serikat yaitu ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial sebagai akibat dari proses komunikasi massa, komunikasi kelompok dan komunikasi antarpersonal. Kebutuhan orang-orang Amerika akan science of communication tampak sudah sejak tahun 1940-an, pada waktu itu Joseph A. Devito dalam bukunya, Communicology: An Introduction to the Study of Communication, mendefinisikan communicology sebagai berikut:“bahwa komunikologi adalah ilmu komunikasi, terutama komunikasi oleh dan di antara manusia. Seorang komunikologi adalah seorang ahli ilmu komunikasi. Istilah komunikasi dipergunakan untuk menunjukan tiga bidang studi yang berbeda yaitu proses komunikasi, pesan yang dikomunikasikan dan studi mengenai proses komunikasi.

Di definisikan oleh Devito bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang dapat distorsi dari gangguan-gangguan dalam suatu konteks yang menimbulkan suatu efek dan kesempatan untuk arus balik. Oleh karena itu, kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen komunikasi

(36)

Komunikasi adalah inti semua hubungan sosial, apabila orang telah mengadakan hubungan tetap, maka sistem komunikasi yang mereka lakukan akan menentukan apakah sistem tersebut dapat mempererat atau mempersatukan mereka, mengurangi ketegangan atau melenyapkan persengketaan apabila muncul. Manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, memiliki dorongan ingin tahu, ingin mau dan berkembang, maka salah satu sarananya adalah komunikasi. Karenanya, komunikasi merupakan kebutuhan yang mutlak bagi kehidupan manusia.

Komunikasi memberikan sesuatu kepada orang lain dengan kontak tertentu atau dengan mempergunakan sesuatu alat. Banyak komunikasi terjadi dan berlangsung tetapi kadang-kadang tidak tercapai kepada sasaran tentang apa yang dikomunikasikan itu. Dimungkinkan adanya komunikasi yang baik antara pemberi pesan dan penerima pesan kalau terjalin persesuaian di antara keduanya.Terlaksana komunikasi yang baik, banyak rintangan yang

ditemui dan dihadapi, baik rintangan bersifat fisik, individual, bahasa dan sampai perbedaan arti yang dimaksud oleh orang yang diajak berkomunikasi. Saling pengertian dapat terjadi dengan menggunakan bahasa yang baik, sehingga pihak yang menerima dapat mengerti apa yang diberikan atau dipesankan, dengan demikian tercipta situasi komunikasi yang serasi.

komunikasi itu merupakan suatu kegiatan manusia yang sedemikian otomatis. Dengan berkomunikasi, orang dapat menyampaikan pengalamannya kepada orang lain, sehingga pengalaman itu menjadi milik orang lain pula, tanpa mengalaminya sendiri. Melalu komunikasi, orang dapat merencanakan masa depannya, membentuk kelompok dan lain-lain. Dengan komunikasi, manusia dapat menyampaikan informasi, opini, ide, konsepsi, pengetahuan, perasaan, sikap, perbuatan dan sebagainya kepada sesamanya secara timbal balik, baik sebagai penyampai maupun penerima komunikasi. Sehingga dengan demikian, terbinalah perkembangan kepribadiannya baik sebagai diri pribadi maupun kemasan sosial, serta tercapainya pula kehidupan bersama dan bermasyarakat.

Dari apa yang dikatakan terbukti bahwa kegiatan komunikasi yang dilakukan manusia, seringkali dengan tanpa pikir, sebenarnya merupakan kegiatan yang pokok dalam kehidupan bermasyarakat atau sebagaimana dinyatakan oleh seorang tokoh komunikasi bahwa “communication is human existen and social proces”. Melalui komunikasi orang dapat mempengaruhi dan mengubah sikap tingkah laku orang lain, membentuk suatu konsensus, yang dikenal sebagai pendapat umum, kelompok. Dari komunikasi memungkinkan suatu ide (baru atau lama) tersebar dan dihayati orang, dituntut ataupun ditolak, berhasil atau gagalnya

(37)

Inilah sebabnya mengapa pada akhir-akhir ini di Indonesia komunikasi makin penting dan diperhatikan orang. Hal ini karena komunikasi merupakan alat pembangunan, sebab mereka lebih banyak berhadapan dan berhubungan dengan pelaksana pembangunan dan masyarakat luas (Widjaja, 1986: 4-6).

Komunikasi adalah komponen penting dalam pola tindakan manusia. Karena itu komunikasi juga perlu dikaji karena begitu rumit dan komplit. Bernett pearce (1989) mengatakan munculnya peran komunikasi sebagai penemuan revolusioner (revolusionarydiscovery) yang sebagian besar disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi seperti radio, televisi, telepon, satelit, dan jaringan komputer. Pada saat yang bersamaan muncul dan berkembang industrialisasi, tumbuhnya korporasi multinasional dan politik global.

Riset sosiologi yang dilakukan pada tahun 1930-an kebanyakan menyelidiki cara

komunikasi dapat memengaruhi individu dan masyarakat, sedangkan topik-topik riset yang populer dalam bidang psikologi sosial kala itu, antara lain adalah riset mengenai efek film terhadap anak-anak, riset mengenai propaganda, persuasi, dan dinamika kelompok. Barulah France Dance (1970) melakukan terobosan penting dalam upayanya memberikan klarifikasi terhadap pengertian komunikasi. Ia mengklasifikasikan teori komunikasi yang banyak itu berdasarkan sifat-sifatnya. Ia mengajukan sejumlah elemen dasar yang digunakan untuk membedakan komunikasi. Ia menemukan tiga hal yang disebutnya dengan 'diferensiasi konseptual kritis (critical conceptual differention) yang membentuk dimensi dasar teori komunikasi, yang terdiri atas dimensi level observasi, dimensi kesengajaan, dan dimensi penilaian normatif. Sementara Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat (Mulyana, 2002: 5).

Harold Laswell mendefenisikan komunikasi dengan mencoba menjawab beberapa unsur berikut: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Ini berarti bahwa komunikasi dalam prosesnya meliputi lima unsur yaitu adanya komunikator yang bertindak sebagai penyampai pesan, pesan, saluran sebagai sarana penyampai pesan, komunikan yang berperan sebagai penerima pesan dan efek yang merupakan umpan balik sebagai reaksi

(38)

Defenisi di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi merupakan proses atau pengoperan ‘sesuatu’ berupa lambang atau simbol dalam bentuk informasi, karena kata kunci komunikasi adalah informasi. Sedangkan kegiatan komunikasi yang berlangsung lebih menunjukkan kepada komunikasi interpersonal atau disebut juga proses komunikasi secara primer dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai medianya secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator atau pada komunikan.

Dalam Bugin(2008:254-255)Menurut Sendjaja dkk. (2002) dalam tataran teoritis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua perspektif kognitif dan perilaku. Komunikasi menurut Colin Cherry, yang mewakili perspektif kognitif adalah penggunaan lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna dan berbagai informasi tentang satu objek atau kejadian. Informasi adalah sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui pengunaan kata-kata atau lambang lainnya.

Jika pesan yang disampaikan diterima secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti yang dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.

Sementara Skinner dari perspektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau simbolis dimana sender berusaha mendapatkan satu efek yang dikehendakinya pada receiver. Masih dalam perspektif perilaku, Dance menegaskan bahwa komunikasi ada karena adanya satu respons melalui lambang-lambang verbal dimana simbol verbal tersebut bertindak sebagai stimulus untuk memperoleh respons. Kedua pengertian komunikasi yang disebut terakhir, mengacu pada hubungan stimulus respons antara sender dan receiver.

Dalam kehidupan sehari-hari, proses komunikasi diawali oleh sumber (source) baik individu ataupun kelompok yang berusaha berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain.

(39)

2.3.1 Komunikasi Massa

Pengertian komunikasi massa, pada suatu sisi adalah proses dimana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain diartikan sebagai bentuk komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak maupun elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara rentak dan sesaat.

Pengertian proses komunikasi massa pada hakikatnya merupakan proses pengoperan lambang-lambang yang berarti, yang dilakukan melalui saluran (channel), biasanya dikenal dengan media printed (press), media auditif (radio), media visual (gambar, lukisan) atau media audio visual (televisi dan film). Yang dimaksud dengan media disini adalah alat yang digunakan untuk mencapai massa (sejumlah orang yang tidak terbatas) (Ardianto, 2004:

31-32).

Komunikasi massa mempunyai titik tekan dan bahasan sendiri. Misalnya, Wilbur Schramm (1958) dalam bukunya Introduction of Mass Communication Research menunjukan, beberapa penelitian yang dilakukan pada 1920-an dan 1930-an memusatkan perhatiannya pada analisis sejarah surat kabar dan majalah atau deskipsi interprestasi pesan media. Bahkan dalam jurnal ilmiah tetua komunikasi Journalism Quarterly dikemukan bahwa wilayah kajian jurnalistik dan komunikasi massa bisa ditekankan pada sejarah, hukum dan analisis isi media (Nurudin, 2003: 1-2).

Komunikasi massa adalah salah satu aktivitas sosial yang berfungsi di masyarakat. Robert K. Merton mengemukakan, bahwa fungsi aktivitas sosial memiliki dua aspek, yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi nyata yang diinginkan, kedua fungsi tidak nyata atau tersembunyi (latent function), adalah fungsi yang tidak diinginkan (Bugin, 2008: 78). Sehingga pada dasarnya setiap fungsi sosial dalam masyarakat itu memiliki efek fungsional dan disfungsional.

Fungsi komunikasi massa di dalam masyarakat amatlah banyak, akan tetapi yang pada umumnya dinilai penting antara lain adalah fungsi surveillance (pengawasan). Bagi masyarakat, fungsi ini antara lain memberitahukan adanya bahaya atau bencana alam seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus dan sebagainya. Komunikasi massa dapat juga memberi atau meningkatkan status sosial anggota masyarakat karena mengetahui berbagai berita yang dimuatnya. Mereka yang mengetahui berita-berita aktual sudah tentu akan menjadi pusat

(40)

dapat mengatur startegi yang sebaiknya diambil untuk mengendalikan mereka. Sebaliknya, komunikasi massa juga dapat menambah keyakinan kelompok-kelompok masyarakat untuk semakin yakin atas gerakan-gerakan yang diambil dan bergabung dengan kelompok lainnya.

Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa fungsi komunikasi massa, dapat juga negatif, misalnya saja dapat menimbulkan kegelisahan masyarakat karena adanya ancaman perang. Semakin tidak terkendalinya harga-harga pangan dari peredaran dan sejenisnya. Sementara itu, fungsi inter

Gambar

Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait