• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golongan Putih (Golput) (Suatu Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Medan Helvetia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golongan Putih (Golput) (Suatu Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Medan Helvetia)"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golongan Putih (Golput) (Suatu Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Medan Helvetia)

D I S U S U N

OLEH:

ZAKI MAR’I ISA

050906071

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarahkatuh.

Akhirnya skripsi ini telah selesai saya buat. Maka dari itu, skripsi ini akan saya persembahkan buat orangtua dan adik-adik saya yang telah memberikan semangatnya dalam penulisan skripsi agar terwujud menjadi seorang sarjana yang menjadi tauladan baik di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan negara. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Orangtua saya Mar’I Isa Umar Zubeidi dan Suraya Abdul Razak Karim.

2. Bapak Prof. Badarrudin selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Jurusan Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Anthonius Sitepu, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Warjio, MA selaku Dosen pembimbing penulis.

6. Bapak Drs. Heri Kusmanto, M.Si selaku Dosen Pembaca Penulis. 7. Bapak Indra Kesuma, M.Si selaku Ketua penguji sidang penulis. 8. Bapak dan ibu dosen departemen ilmu politik.

9. Staf dan pegawai departemen ilmu politik.

(3)

11.Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….……… i

DAFTAR ISI ………..………. ii

ABSTRAK ………..……… v

BAB I PENDAHULUAN ………..………. 1

I.1. latar Belakang ……….…………...….………….. 1

I.2. Perumusan Masalah ………..………...………….. 8

I.3. Alasan Pemilihan Judul ………...……… 8

I.4. Tujuan Masalah ……….……… 9

I.5. Kegunaan Penelitian……….………. 9

I.6. Tinjauan Pustaka……….…………...……… 9

I.6.1. Pandangan Terhadap Hak Pilih Warga Negara Dalam Pemilu……….. 9

I.6.2. Permasalahan Hak Pilih Dalam Pemilu 2009……… 15

I.6.3. Political Disappoinment (kekecewaan politik)………..……..………….. 17

I.6.4. Fenomena Absentia Votter (golput) Dalam Pemilu di Indonesia………..…... 19

I.6.5. Makna Golput……… 20

I.6.6. Golput Tinjauan Teoritis………..…..……… 22

I.6.7. Perilaku Golongan Putih……….... 25

I.6.8. Perkembangan Partisipasi Politik Pemilih dan Golput dalam Pemilu di Indonesia ……… 27

I.6.9. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat………….. 30

(5)

I.7.1. Jenis Penelitian………...………. 33

I.7.2. Lokasi Penelitian………...……….. 33

I.7.3. Populasi dan Sampel………...………. 33

I.7.4. Teknik Pengumpulan Data………..……… 35

I.7.5. Teknik Analisa Data………. 36

I.8. Sistematika Penulisan……… 36

BAB II DESKRIPSI LOKASI……….. 37

II.1. Letak dan Geografis Kecamatan Medan-Helvetia………. 37

II.2. Luas Wilayah Dirinci Per kelurahan di Kecamatan Medan-Helvetia………… 38

II.3. Jarak Kantor Lurah ke Kantor Camat di Kecamatan Medan-Helvetia……….. 38

II.4. Pemerintahan Kecamatan Medan-Helvetia……… 39

II.5. Struktur Pegawai Negeri Kecamatan Medan-Helvetia………. 40

II.6. Struktur Pertahanan Sipil Kecamatan Medan-Helveti ……… 40

II.7. Jumlah Penduduk, Luas Kelurahan, Kepadatan Penduduk per km dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan-Helvetia……….…….. 43

II.8. Struktur Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di Kecamatan Medan-Helvetia………. 43

II.9. Status Penduduk Usia 7-12 tahun……… ……… 44

II.10. Mutasi dan Mutandis Penduduk Kecamatan Medan-Helvetia………..….. 44

BAB III PENYAJIAN DATA ……….. 44

III.1. Penyajian Data……… 51

III.2. Analisa Data………...……… 75

(6)

III.2.2. Korupsi Merajalela………...………... 79

III.2.3. Miskinnya Opini Publik………... 79

III.2.4. Suasana Ketidakpastian Yang Tinggi………...………. 80

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………..………….. 86

IV.1. Kesimpulan………..……… 86

IV.2. Saran………..………. 89

(7)

ABSTRAK

Golongan putih (golput) sudah tidak asing di telinga masyarakat dengan berpenduduk terbesar ke-empat di dunia dengan system Negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak manusia dan kebebasan yang disebabkan karena masyarakat sudah mengerti bagaimana kinerja aparatur pemerintah mulai dari elit paling bawah hingga pejabat tinggi Negara yang tidak memperhatikan berbagai sendi kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.Secara teoritis, masyarakat tidak mau memilih bersumber dari dari teori perilaku pemilih (individu) baik dari segi faktor sosiologis, psikologis, dan ekonomi politik. Sekarang ini tidak ada lagi perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam menggunakan hak pilihnya.

Pada masyarakat Kecamatan Medan-Helvetia, jumlah penduduk yang di ambil berdasarkan rekapitulasi data pemilih tetap pada pemilihan tahun 2009 sebanyak 3329 jiwa dengan jumlah penduduk 144.077 jiwa dari berbagai tingkat umur dengan rincian 73029 jiwa jenis kelamin perempuan dan 710147 jenis kelamin laki-laki.

Pada masyarakat di Kecamatan Medan-Helvetia yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah golongan pendidikan yang rendah. Beragamnya jawaban responden tentang alasan tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislative 2009 karena tidak aka ada perubahan yang memuncak bagi kehidupan mereka. Sehingga alasan tersebut menjadi sebuah praktek kecurangan karena masing-masing partai politik mengambil kebijakan sendiri dalam mencari simpatik masyarakat dengan kecurangan itu mulai dari mendapatkan uang, handphone dan sebagainya.

Sosialisasi dan komunikasi yang tidak berjalan dengan baik antara masyarakat dengan partai politik sehingga masyarakat tidak mau menggunakan hak pilihnya. Dan skrisi ini akan menjelaskan bagaimana golongan putih begitu besar masyarakat lakukan.

(8)

ABSTRAK

Golongan putih (golput) sudah tidak asing di telinga masyarakat dengan berpenduduk terbesar ke-empat di dunia dengan system Negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak manusia dan kebebasan yang disebabkan karena masyarakat sudah mengerti bagaimana kinerja aparatur pemerintah mulai dari elit paling bawah hingga pejabat tinggi Negara yang tidak memperhatikan berbagai sendi kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.Secara teoritis, masyarakat tidak mau memilih bersumber dari dari teori perilaku pemilih (individu) baik dari segi faktor sosiologis, psikologis, dan ekonomi politik. Sekarang ini tidak ada lagi perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam menggunakan hak pilihnya.

Pada masyarakat Kecamatan Medan-Helvetia, jumlah penduduk yang di ambil berdasarkan rekapitulasi data pemilih tetap pada pemilihan tahun 2009 sebanyak 3329 jiwa dengan jumlah penduduk 144.077 jiwa dari berbagai tingkat umur dengan rincian 73029 jiwa jenis kelamin perempuan dan 710147 jenis kelamin laki-laki.

Pada masyarakat di Kecamatan Medan-Helvetia yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah golongan pendidikan yang rendah. Beragamnya jawaban responden tentang alasan tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislative 2009 karena tidak aka ada perubahan yang memuncak bagi kehidupan mereka. Sehingga alasan tersebut menjadi sebuah praktek kecurangan karena masing-masing partai politik mengambil kebijakan sendiri dalam mencari simpatik masyarakat dengan kecurangan itu mulai dari mendapatkan uang, handphone dan sebagainya.

Sosialisasi dan komunikasi yang tidak berjalan dengan baik antara masyarakat dengan partai politik sehingga masyarakat tidak mau menggunakan hak pilihnya. Dan skrisi ini akan menjelaskan bagaimana golongan putih begitu besar masyarakat lakukan.

(9)

ABSTRAK

Golongan putih (golput) sudah tidak asing di telinga masyarakat dengan berpenduduk terbesar ke-empat di dunia dengan system Negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak manusia dan kebebasan yang disebabkan karena masyarakat sudah mengerti bagaimana kinerja aparatur pemerintah mulai dari elit paling bawah hingga pejabat tinggi Negara yang tidak memperhatikan berbagai sendi kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.Secara teoritis, masyarakat tidak mau memilih bersumber dari dari teori perilaku pemilih (individu) baik dari segi faktor sosiologis, psikologis, dan ekonomi politik. Sekarang ini tidak ada lagi perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam menggunakan hak pilihnya.

Pada masyarakat Kecamatan Medan-Helvetia, jumlah penduduk yang di ambil berdasarkan rekapitulasi data pemilih tetap pada pemilihan tahun 2009 sebanyak 3329 jiwa dengan jumlah penduduk 144.077 jiwa dari berbagai tingkat umur dengan rincian 73029 jiwa jenis kelamin perempuan dan 710147 jenis kelamin laki-laki.

Pada masyarakat di Kecamatan Medan-Helvetia yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah golongan pendidikan yang rendah. Beragamnya jawaban responden tentang alasan tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislative 2009 karena tidak aka ada perubahan yang memuncak bagi kehidupan mereka. Sehingga alasan tersebut menjadi sebuah praktek kecurangan karena masing-masing partai politik mengambil kebijakan sendiri dalam mencari simpatik masyarakat dengan kecurangan itu mulai dari mendapatkan uang, handphone dan sebagainya.

Sosialisasi dan komunikasi yang tidak berjalan dengan baik antara masyarakat dengan partai politik sehingga masyarakat tidak mau menggunakan hak pilihnya. Dan skrisi ini akan menjelaskan bagaimana golongan putih begitu besar masyarakat lakukan.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang (Developing Country)

berusaha mengejar ketertinggalan untuk menjadi negara maju dengan konsep pembangunan. Di negara berkembang upaya pemerintah dalam mengembangkan sektor kehidupan masyarakat seringkali menghadapi berbagai kendala. Salah satu kendala pemerintah dalam menerapkan konsep pembangunan adalah masalah partisipasi atau keterlibatan warga negara. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik lakilaki maupun perempuan. Sehingga keterlibatan setiap warga negara menjadi syarat mutlak bagi tercapainya tujuan nasional, artinya tanpa adanya partisipasi politik warga negara maka tujuan nasional yang hendak dicapai menjadi sulit untuk diwujudkan. Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat tentunya memberikan

kesempatan yang luas kepada setiap warga negara untuk menikmatinya. Menurut Sanit1

1

Sanit, Arbi 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, Hal. 14

(11)

politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi melalui sistem politik yang terbangun.

Dalam kehidupan sosial bernegara, setiap warga negara pada dasarnya tidak ada pembedaan atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Termasuk dalam hal ini adalah hak berpolitik, hak untuk memberikan pendapat dan hak untuk melakukan koreksi atas pemerintahan. Semua hal tersebut tentunya dilaksanakan dengan cara-cara dan mekanisme yang telah diatur oleh sistem pemerintahan. Pergantian kepemimpinan sebagai salah satu keniscayaan dalam sistem demokrasi menuntut keterlibatan warga negara di dalamnya. Adapun aturan main (rule of game) dalam sistem demokrasi nasional salah satunya adalah pemilu. Kegiatan pemilu sendiri ditujukan sebagai sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif. Undang-undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 memberikan kesempatan kepada semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk turut berpartisipasi politik. Pemilu dilangsungkan secara serempak di seluruh wilayah Indonesia meskipun di beberapa derah-daerah tertentu harus menyusul akibat keterlambatan logistik yang sampai ke daerah pemilihan.

(12)

rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu. Dalam perspektif berdemokrasi, tentunya sikap golput akan berimplikasi pada pembangunan kualitas demokrasi, sehingga perlu demokratisasi dalam menghadapi pesta demokrasi tahun 2009.

Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakuka n lompatan demokrasi.

Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.

(13)

(1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan wakil presien.

Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Hak untuk memilih wakil rakyat atau presiden/wakil presiden sepenuhnya adalah hak asasi subyektif dari setiap individu. Penggunaannya tidak boleh diintervensi oleh siapapun, baik itu negara maupun masyarakat.

(14)

warga negara itu dari berbagai ancaman yang berasal dari kelompok masyarakat atau institusi negara. Jaminan perlindungan itulah yang akan menentukan kualitas pemilu.

Pemenuhan hak untuk menggunakan suara dalam Pemilu merupakan hak asasi manusia. Dan untuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, pemenuhan tersebut sudah semestinya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini Komnas Hak Asasi Manusia beranggapan, hak memberikan suara dalam pemilu juga memberikan hak kepada pemilihnya untuk menggunakannya ataupun tidak. Dengan demikian, setiap orang bebas menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya itu. Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak itu dengan melarang, mengkriminalkan atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang tidak menggunakan haknya tersebut.

2

Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives.

Karena sekali lagi hak tersebut menjadi sepenuhnya pilihan dari pemilihnya.

Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004, 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakuka n lompatan demokrasi.

2

(15)

“haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”3

Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu : yang

penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat memilih,

menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan budaya golput.

Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam masyarakat. . Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik.

Namun disisi lain, masyarakat yang memilih tindakan golput, dikarenakan:

Pertama, ketidakpercayaan pada kader parpol. Fenomena golput juga dapat menjadi

simbol ‘warning’ bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh

beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami

krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua, calon tidak memenuhi harapan masyarakat.

Ada yang diakibatkan oleh alasan ideologis, atau ada yang dengan alasan kapok karena

calon yang ada dianggap tidak capable, tidak dapat dipercaya, melanggar janjinya, dsb.

Ketiga, persoalan ekonomi. Masyarakat lebih mengutamakan pekerjaannya, tidak mau

meninggalkan pekerjaannya untuk mencoblos. Karena merasa satu sisi jenuh, tidak mau

terlibat politik, pada sisi lain juga dihadapkan dengan persoalan domestik yang sangat

mendesak. Yakni bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan

teknis. Proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib.

3

(16)

Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih, khususnya bagi

pemula untuk tidak menjadi golput dan memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat

dalam pemilu

Salah satu tolak ukur keberhasila pemilu adalah tingginya jumlah pemilih yang

menggunakan hak suaranya. Hal ini karena pemilu merupakan instrumen utama bagi

terlaksananya dukungan rakyat dalam suatu demokrasi perwakilan. Pemilihan umum

menunjukkan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan memiliki kepercayaan dari

rakyat dan bahwa rakyat memberikan jaminan dukungan bagi para politisi dalam

mengeluarkan kebijakan-kebijakan perubahan situasi dan kondisi.

Ada berbagai alasan mengapa pemilih tidak menggunakan hak suaranya.

Diantaranya adalah mereka yang dengan sengaja tidak mau menggunakan hak suaranya

pada saat pemungutan suara atau sengaja merusak suaranya. Perilaku ini sering disebut

dengan istilah “golongan putih”. Pesimisme terhadap hasil pemilu merupakan sikap yang

mendorong golput. Pesimisme ini disebabkan hasil pemilu merupakan sikap yang

mendorong golput. Pesimisme ini disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap partai

politik yang pada akhirnya menimbulkan sikap tidak mempercayai pemilu sesuatu yang

berguna.

Menurut ilmuwan politik dari Universitas Goerge Mason, Amerika Serikat,

Robert P.Clark, partisipasi politik selain melalui aktivitas elektoral (pemilu) juga bisa

melalui lobi, aktivitas organisasional (non partai politik), kontak individu dengan pejabat

public, dan (bahkan) kekerasan dalam arti upaya mempengaruhi keputusan pemerintah

dengan cara melukao fisik seseorang atau dengan merusak properti milik pemerintah.4

4

(17)

proses politik yang demokratis. Baginya, pilihan untuk ikut atau tidak ikut pemilu

merupakan bentuk ekspresi dari hak-hak politik yan sama sekali tidak mengganggu

kualitas demokrasi.Dengan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneiti

”Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golongan Putih (Golput) (Suatu Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Medan Helvetia)

2.Perumusan Masalah

“Faktor-Faktor Apa Saja Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih pada masyarakat Kecamatan Medan Helvetia dalam Pemilu Legislatif 2009

3.Tujuan Masalah

Atas dasar perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap munculnya Golput pada Masyarakat Kecamatan Medan Helvetia dalam Pemilu Legisltaif 2009.

(18)

4.Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis; penelitian ini sebagai salah satu kajian ilmu politik, terutama berkaitan dengan Golput dalam budaya politik masyarakat Kecamatan Tarutung Kecamatan Medan Helvetia

2. Secara praktis; penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pemerintah daerah dan masyarakat khususnya penyelenggara pemilu (KPU).

5. Tinjauan Pustaka

5.1. Hak Memilih Merupakan Pemenuhan Hak Asasi Manusia

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.5

Secara isilah hak asazi itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.6

Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat

5

Umum Global, 13 Juli 2006

6

(19)

Indonesia, seperti pad

Jenis hak asasi manusia (HAM):7 1. Hak untuk hidup.

2. Hak untuk memperoleh pendidikan.

3. Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain. 4. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. 5. Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :8

1. Hak asasi pribadi / personal Right

− Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat − Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat

− Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan − Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan

kepercayaan yang diyakini masing-masing 2. Hak asasi politik / Political Right

− Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan − Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

− Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik

lainnya

− Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

7

Ibid

8

(20)

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right

− Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan − Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns

− Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths

− Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli − Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak

− Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll − Hak kebebasan untuk memiliki susuatu

− Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights

− Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan

− Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan

dan penyelidikan di mata hukum. 6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right

− Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan − Hak mendapatkan pengajaran

− Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

5.2 Pandangan Terhadap Hak Pilih Warga Negara Dalam Pemilu

(21)

terhadap masyarakat dan negara. Warga negara harus menghormati perjanjian luhurnya kepada negara sebagai organisasi. Siapa saja yang berikrar menjadi bagian dari organisasi negara dengan sendirinya harus menghormati hak negara. Negara menghormati hak-hak pribadi warga negara sesuai dengan hukum. Hukum dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai dua substansi yang terpisah. Maka, adanya Pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodig (berlebihan).9

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian Komentar Umum Pasal 25 menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak setiap warganegara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.

Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai bagian dari hak dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 25) dan juga dijamin dalam konstitusi UUD 1945.

10

Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya, setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apa pun memperoleh kesempatan yang efektif menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan

9

Situs Partai Gerindra, Bidang Hak Asasi Manusia, diakses tanggal 24 April 2009

10

(22)

berekspresi, berserikat dan berkumpul (freedom of expression, assembly and association).11

Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak. Hak untuk berbuat menurut cara tetentu seringkali ditafsirkan sebagai suatu keleluasaan (permission). Seseorang atas keinginan atau kehendaknya sendiri, mungkin menggunakan atau tidak menggunakannya.12

Dalam disiplin hak asasi manusia, tidak ada standar dan norma apa pun yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih dan dipilih. Sebaliknya yang diatur adalah kewajiban negara untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya secara bebas. Apabila dikaitkan dengan keberadaan Golput, negara tetap berkewajiban untuk menghormati dan melindungi warganegara yang mengambil pilihan untuk berpartisipasi secara pasif dalam bentuk Golput tersebut.13

Hak-hak politik diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga negara yang berperan serta dalam pemerintahan, dalam pembentukan ‘kehendak’ negara. Hak Politik yang menentukan di dalam demokrasi tidak langsung adalah hak suara, yakni hak warga negara untuk berperan serta dalam pemilihan parlemen, kepala negara, dan organ-organ pembuat dan pelaksana hukum yang lain.14

Sejarah politik Indonesia pernah diwarnai oleh pengalaman buruk terkait campur tangan Negara dalam hal hak untuk memilih dan dipilih pada masa Orde Baru, ketika terjadi kriminalisasi besar-besaran terhadap kaum yang tidak menggunakan hak pilihnya

11

Ibid

12

Hans Kelsen,2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung, hlm. 109-117

13

op.cit

14

(23)

dalam Pemilu (Golput). Sejarah buruk itu akan berulang, apabila Negara melakukan stigmatisasi, apalagi kriminalisasi, terhadap kaum Golput dalam Pemilu 2009.

Golput memang merupakan masalah klasik dan universal dalam kehidupan politik. Pembicaraan tentang ini selalu menjadi berita menarik menjelang pemilu di negara mana pun. Istilah golput dalam peta politik Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1971, terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih.

Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”.15

Lebih tinggi lagi, dalam produk hukum tertinggi di negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, juga tercantum hal senada. Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak memilih di sini termaktub dalam kata bebas. Artinya bebas digunakan atau tidak. Terserah pemilihnya.16

Secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat menghalang-halangi seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya. Namun,

Dari sudut hukum, jelas sekali kalau memilih dan dipilih adalah hak, demikian pula secara hak asasi. Hak untuk memilih merupakan hak perdata warga negara, demikian juga hak untuk berpendapat. Tidak ada hukum apa pun yang menyebutkan mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, akan dikenakan sanksi atau dikriminalkan oleh negara.

15

Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak ! diakses Jumat 24 April 2009

16

(24)

untuk menghilangkan golput barangkali perlu dikaji lebih dalam kenapa sampai muncul orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai wujud dari hak kedaulatan yang ada pada dirinya.

Setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan memengaruhinya : 17

Melihat kondisi seperti itu maka jelas rakyat akan merasa semakin kecewa. Sehingga, akhirnya mereka tidak lagi percaya kepada elite politik dan parpol yang ada. Masyarakat merasa elite politik belum mampu membawa makna yang cukup berarti dalam menyalurkan aspirasinya. Hal tersebut ditambah lagi dengan tidak seriusnya wakil rakyat dalam sidang-sidang membahas agenda penting bangsa. Akibatnya, membuat Dewan selalu lamban dalam merespons suatu masalah. Dari kondisi ini, mereka

Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan hak pilihnya disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya kepada sistem pemilu. Bagi masyarakat, pelaksanaan pemilu di Indonesia dinilai masih sekadar pesta demokrasi yang tidak akan membawa perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya.

Kedua, ketidakpercayaan kepada kontestan (partai politik). Mereka menganggap bahwa tidak ada figur andalan yang dapat mewakili aspirasi mereka. Ini dibuktikan dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih tidak dapat berfungsi mengemban aspirasi politik mereka. Kondisi kehidupan politik yang lebih baik setelah pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Malah yang muncul justru konflik berkepanjangan antar elite politik atau parpol pemenang pemilu.

17

(25)

menganggap bahwa pelaksanaan pemilu tidak ada gunanya, hanya membuang energi dan waktu saja.

Tolok ukur keberhasilan pemilu adalah peran serta aktif dalam pemilih di luar golongan putih. Sebagai tolok ukur paradoksalnya (ketidakberhasilan) adalah rendahnya peran serta parpol terhadap pendidikan politik serta kekecewaan terhadap terhadap praktik politik parpol dan elit politik memberikan wacana negatif di benak pemilih. Dengan minimal empat faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu menurut Syamsudin Haris :18

1. Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol; 2. Parpol sebagian kaya akibat money politik;

3. KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society; 4. Sistem pemilu yang rumit.

Golput dalam pemilu bisa juga muncul karena kerumitan teknis mencoblos nomor dan atau tanda gambar dan atau nama caleg.19

Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika parpol tidak memberikan kepuasan. Dan, buat apa menyalurkan hak pilih bila pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya, kekuatan politik di DPR tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan suatu pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak mengecewakan rakyat. Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini mampu meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan

18

Tataq Chidmad, SH, 2004, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, hlm.57

19

(26)

rakyat bisa berperan secara jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.

5.3. Permasalahan Hak Pilih Dalam Pemilu 2009

Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.

Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar.20

Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua

20

(27)

pemilih yang berhak memilih. Namun, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.

Persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih mencerminkan belum bagusnya sistem pengelolaan potensi penduduk Indonesia. Padahal, validitas data pemilih juga menjadi indikator terhadap integritas pemilu di Indonesia.21

Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.

Jika data pemilih tidak valid, tidak akurat, kemungkinan pemilih dalam menjalankan hak memilihnya menjadi semakin rendah. Karena itu, legitimasi politik dalam pemilu sangat dipertaruhkan di sini.

22

Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa bukti-bukti identitas

21

Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009

22

(28)

kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka, mereka terabaikan.23

Secara teoriotis, ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih

dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori mengenai perilaku pemilih (voter behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar

kecilnya partisipasi pemilih (voting turnout) dilacak pada sebab-sebab dari individu pemilih. Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih ditinjau dari sudut pemilih ini. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam

pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya.

Di tiap wilayah atau negara faktor sosiologis ini akan memberi dampak berbeda. Di Amerika, orang yang berpendidikan tinggi relatif lebih peduli dengan pemilihan dan cenderung menggunakan hak pilihnya, dibandingkan dengan warga yang berpendidikan rendah. Sebaliknya di negara-negara berkembang (seperti di India atau Indonesia), masyarakat berpendidikan rendah justru yang lebih aktif berpartisipasi dalam pemilihan. Kelompok masyarakat terdidik di kota justru mempunyai tingkat partisipasi lebih rendah.

Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa

mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak. Kedua, teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin dekat seseorang dengan partai

atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan. Ketiga, teori ekonomi politik. Teori ini menyatakan keputusan untuk memilih atau tidak

(29)

diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak

ikut memilih.

Selain teori yang memusatkan perhatian pada individu pemilih, fenomena voting turnout juga bisa dijelaskan dengan teori dari sisi struktur. Di sini besar kecilnya

partisipasi pemilih tidak diterangkan dari sudut pemilih, tetapi dari struktur atau sistem suatu negara. Paling tidak ada tiga penjelas yang umum dipakai oleh pengamat atau ahli.

Pertama, sistem pendaftaran (registrasi) pemilih. Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya,

sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam pemilihan.25

Kedua, sistem kepartaian dan pemilihan umum suatu negara. Sejumlah penelitian menunjukkan, sistem dua partai relatif bisa mengurangi tingkat partisipasi pemilih. Motivasi pemilih untuk ikut memilih bisa surut ketika partai atau calon yang maju dalam

pemilihan tidak ada yang disukai. Sebaliknya negara yang menganut sistem multipartai relatif bisa memancing partisipasi pemilih yang lebih tinggi. Hal ini karena pemilih lebih

punya banyak pilihan dan alternatif. Sejumlah penelitian juga menunjukkan, sistem

25

(30)

proporsional lebih membuat partsipasi pemilih lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan sistem distrik. Keterwakilan proporsional pada umumnya dipercaya dapat

meningkatkan kehadiran pemilih karena semua partai dapat meningkatkan keterwakilan mereka26

Ketiga, sifat pemilihan. Apakah pemilihan itu merupakan hak atau kewajiban bagi

warga negara. Ada negara yang menganut paham bahwa pemilihan umum adalah hak bagi warga negara, karenanya warga bisa memilih dan bisa juga tidak memilih. Tidak ada

hukuman bagi warga negara yang tidak ikut memilih. Tetapi ada juga negara yang memandang pemilihan umum sebagai kewajiban dari warga negara. Warga diwajibkan untuk ikut pemilihan dan jika tidak ikut akan mendapat hukuman. Bentuk hukuman ini

bermacam-macam—dari hukuman denda, penambahan pajak hingga ancaman tidak mendapat jaminan atau asuransi dari negara.

.

27

Negara yang menerapkan hukuman bagi

warga yang tidak terlibat dalam pemilihan bisa dipastikan mempunyai tingkat partisipasi pemilih yang tinggi.

26

Dalton, Russel J. dan Martin P. Wattenberg, “ The Not So Simple Act of Voting” dalam Ada W. Finifter (ed), Political Science: The State of The Discipline, Washington, American Political Science Association, 1993.

27

Salah satu contoh adalah Australia. Rata-rata tingkat voter turnout di Australia adalah 95%— Australia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat partisipasi pemilih paling tinggi di dunia. Australia menerapkan hukuman denda bagi pemilih yang tidak ikut memilih. Hukuman ini bisa berujung penjara jika calon pemilih ini tidak membayar denda yang harus dibayar. Australia bukan satusatunya negara yang menerapkan denda bagi warga yang tidak ikut memilih. Swis, Austria, Ciprus, Argentina, Peru adalah contoh negara lain yang menerapkan hukuman denda. Selain hukuman, mekanisme lain untuk “mewajibkan” pemilih datang di hari pemilihan adalah memberikan surat keterangan. Surat keterangan ini dipakai ketika seseorang melamar pekerjaan terutama di kantor-kantor pemerintah. Di Belgia dan Mexico, pemilih yang tidak ikut pemilihan tanpa alasan jelas, bisa dipastikan akan kesulitan mendapat pekerjaan di kantor pemerintah. Kesulitan yang sama juga dialami ketika mengurus surat dan dokumen dari kantor pemerintah. Semua negara yang mewajibkan warga negaranya ikut memilih ini, dikenal mempunyai tingkat

(31)

5.5. Perilaku Golongan Putih

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara ain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung dinjak-injak.28

Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilihn memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggung jawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontesan pemilu.

Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, disamping PPP,Golkar, dan PDI. Namun jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisinya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak politiknya untuk memilih.

29

28

Putra, Fadilah, Partai poltik dan kebijakan publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Hal.104.

29

(32)

Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 200430

Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput. , Indra J.Piliang menyatakan bahwa golongan putih (golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an , yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat.

Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut pemilu, tidak akan berdampak atas diri si pemilih. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah akibat sistemnya sebagian mergugikan mereka.

31

Kedua, adalah golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.

30

http//kompas.com

31

(33)

kualitas partai politik yang ada. Atau mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada.

5.6. Perkembangan Partisipasi Politik Pemilih dan Golput dalam Pemilu di Indonesia

Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson32

32

Huntington, S.P. & Nelson, J. (1977). No easy choice political participation in developing countries.Cambridge: Harvard University Press, hal.4

dalam bukunya No Easy Choice Politicall Participation in Developing Countries memaknai partisipasi politik sebagai:

By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decisionmaking.Participation may be

individual or collective,organized or spontaneous, sustained or

sporadic,peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective.

(34)

Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky33

Nie dan Verba dalam Handbook of Political Science mengemukakan bahwa

dalam International Encyclopedia of the social sciences menyatakan bahwa:

“The term “political participation” will refer to those voluntary activities

by which members of a society share in the selection of rulers and,

directly or indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.

34

“By political participation we refer to those legal activities by private

citizens which are more or less directly animed at influencing the

selection of governmental personel and/or the actions they take

(partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warganegara yang legal :

33

McClosky, H. (1972). Political participation, international encyclopedia of the social science, (2nd

ed.). New York: The Macmillan Company and Free Press, Hal.72

34

(35)

yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”.

Secara empirik peningkatan angka Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas sebagai berikut:

1. Pemilu dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat

2. Menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongannya.

3. Merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik.

4. Tidak terealisasikannya janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang mendukungnnya

5. Kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik.

(36)

Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh McClosky (1972:20) bahwa35

1. Faktor Sosial Ekonomi

:

“Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji”.

Bahkan secara spesifik kondisi tersebut juga akan diwarnai eksistensi golput juga akan mengalami eskalasi, yaitu tidak hanya di wilayah masyarakat perkotaan yang relatif terdidik, tetapi juga akan menyebar ke wilayah masyarakat pedesaan yang potensi jumlah pengangguran dan masyarakat miskin cukup signifikan.

5.7. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

2. Faktor Politik

35

McClosky, H. (1972). Political participation, international encyclopedia of the social science, (2nd

(37)

Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

a. Komunikasi Politik.

Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik.36

b. Kesadaran Politik.

Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika.

Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan

c. Pengetahuan Masyarakat terhadap

Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil

d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.

Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan. Kontrol untuk mencegah

36

(38)

dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik,

memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan 3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan

Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara

berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya. 4. Faktor Nilai Budaya

(39)

6. Metode Penelitian

6.1. Jenis Penelitian

Menurut Hadari Nawawi37

6.3. Populasi dan Sampel

metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif

6.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada masyarakat Kecamatan Medan Helvetia

37

(40)

6.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Medan Helvetia yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2009. adapun jumlah populasi dalam penelitian adalah 3329 jiwa

6.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamane 38, sebagai berikut:

Keterangan:

n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi

D : Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

38

(41)

Pada masyarakat Kecamatan Medan Helvetia, jumlah penduduk yang diambil berdasarkan rekapitulasi data pemilih tetap yang digunakan untuk Pemilu 2009 sebanyak 3329 jiwa . Maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak:

Jadi sampel yang digunakan untuk menjadi responden dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 97 orang.

6.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

(42)

Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan

b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini

6.5. Teknik Analisa Data

(43)

7. Sistematika Penulisan

BAB I: Pendahuluan

Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II: Deskripsi Lokasi Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Kecamatan Medan Helvetia antara lain berupa sejarah singkat kelurahan, kondisi geografis, demografi penduduk

BAB III: Pembahasan

Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan

(44)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI

2.1.Letak dan Geografis Kecamatan Medan Helvetia

(45)

2.2.Luas wilayah dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

Dari 7 kelurahan di kecamatan Medan Helvetia, kelurahan Tanjung Gusta memiliki luas wilayah yang terluas yaitu sebesar 2,2 km2 sedang kelurahan Sei Sikambing CII mempunyai luas terkecil yakni 0,98 km2

2.3.Jarak Kantor Lurah ke Kantor Camat di Kecamatan Medan Helvetia

Ditinjau dari jarak antara kantor kelurahan dan kantor kecamatan, Kelurahan Tanjung Gusta memiliki jarak terjauh dari kantor kecamatan Medan Helvetia sekitar 3 km sedangkan kantor kelurahan yang terdekat yaitu kelurahan Helvetia

Tabel 2.1

Luas Wilayah dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Luas (Km2) Persentase terhadap Luas Kecamatan

1 Cinta Damai 1,8 18,46

2 Sei Sikambing CII 0,98 8,55

3 Dwi Kora 2 17,3

4 Helvetia Timur 1,82 13,57

5 Helvetia Tengah 1,5 12,97

(46)

7 Tanjung Gusta 2,2 18,545

Sumber: Kecamatan Medan Helvetia Dalam Angka Tahun 2009

Tabel 2.2

Jarak Kantor Lurah ke Kantor Camat di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Jarak ke Kantor Camat (km)

1 Cinta Damai 2

2 Sei Sikambing CII 1,5

3 Dwi Kora 1

4 Helvetia Timur 2,5

5 Helvetia Tengah 0,75

6 Helvetia 0,2

7 Tanjung Gusta 3,00

Sumber: Kecamatan Medan Helvetia Dalam Angka Tahun 2009

2.4.Pemerintahan Kecamatan Medan Helvetia

Kecamatan Medan Helvetia yang dipimpin oleh seorang camat, saat ini terdiri dari 7 kelurhan yang terbagi atas 88 lingkungan, 169 RW, 316 RT dan 274 blok sensus

2.5.Struktur Pegawai Negeri Kecamatan Medan Helvetia

(47)

alokasi pegawai terbesar ada di kantor kelurahan yakni sebanyak 75 pegawai. Sedangkan alokasi pegawai terkecil terdapat pada statistik kecamatan dan pertanian yang hanya berjumlah satu pegawai

Bila dirinci menurut golongan, dari 57 pegawai negeri di kecamatan Medan Helvetia, ternayata sebagian besar pegawai neger sudah bergolongan III yaitu sebanyak 31 pegawai. Jumlah pegawi negeri terbanyak berada di Kelurahan Cinta Damai sebanyak 10 orang.

2.6.Struktur Pertahanan Sipil Kecamatan Medan Helvetia

Bila dilihat dari sisi keamanannya, kecamatan Medan Helvetia pada tahun 2008 memiliki 110 pertahanan sipil. Diantaranya 38 wanra, 38 kamra, 34 linmas

Tabel 2.3

Banyaknya Lingkungan, RT,RW dan Blok sensus dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Lingkungan RW RT Blok Senus

1 Cinta Damai 8 13 38 27

2 Sei Sikambing CII 14 51 21 30

3 Dwi Kora 12 20 48 42

4 Helvetia Timur 13 13 40 51

5 Helvetia Tengah 22 46 95 62

6 Helvetia 12 19 49 30

(48)

Sumber: Kecamatan Medan Helvetia Dalam Angka Tahun 2009

Tabel 2.4

Banyaknya Pegawai Negeri Kantor Camat dan Instansi-Instansi Pemerintahan di Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2008

No Instansi Gol.I Gol.II Gol.III Gol.IV Lainnya Jumlah

1 Kantor Camat 0 1 15 1 0 17

2 KUA 0 0 6 0 0 6

3 Statistik 0 0 1 0 0 1

4 PPLKB 0 0 7 0 0 7

5 Pertanian 0 0 1 0 0 1

6 PD.Kebersihan 0 7 19 2 0 28

7 Puskesmas 0 0 0 0 0 0

8 Kelurahan 5 22 30 0 0 57

9 Dinas P& K 0 0 0 0 0 0

Sumber: Kecamatan Medan Helvetia Dalam Angka Tahun 2009

Tabel 2.5

Banyaknya Pegawai Negeri menurut golongan dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Gol.I Gol.II Gol.III Gol.IV Lainnya Jumlah

1 Cinta Damai 1 2 7 0 0 10

2 Sei Sikambing CII 1 3 3 0 0 7

3 Dwi Kora 0 4 5 0 0 9

(49)

5 Helvetia Tengah 2 6 1 0 0 9

6 Helvetia 1 1 6 0 0 8

7 Tanjung Gusta 0 1 6 0 0 7

Sumber: Kecamatan Medan Helvetia Dalam Angka Tahun 2009

Tabel 2.5

Banyaknya Pertahanan Sipil menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Wanra Kamra Linmas Jumlah

1 Cinta Damai 10 12 8 30

2 Sei Sikambing CII 3 3 2 8

3 Dwi Kora 8 10 8 26

4 Helvetia Timur 4 4 4 12

5 Helvetia Tengah 2 2 2 6

6 Helvetia 3 3 2 8

7 Tanjung Gusta 8 4 8 20

Sumber: Kecamatan Medan Helvetia Dalam Angka Tahun 2009

2.7.Jumlah penduduk, Luas Kelurahan, kepadatan penduduk per Km dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

(50)

Bila dilihat dari luas kelurahan, kelurahan Tanjung Gusta memiliki luas yang terbesar yakni 2,2 km2 seangkan kelurahan Sei Sikambing CII memiliki luas terkecil yakni 0,989 km2.Bila dibandingkan antara jumlah penduduk serta luas wilayahnya, maka kelurahan Helvetia Tengah meruapakan kelurahan terpadat yaitu 22.130 jiwa tiap km2

2.8.Struktur Penduduk berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur di Kecamatan Medan Helvetia

Jumlah penduduk kecamatan Medan Helvetia sebanyak 144.077 penduduk terdiri dari 71.047 orang laki-laki serta 73.030 orang perempuan. Berdasarkan kelompok umur, distribusi penduduk kecamatan Medan Helvetia relatif lebih banyak penduduk usia produktif.

Terdapat warga negara Indonesia turunan cina berdomisili di kecamatan ini. Sebanyak 3811 orang warga Indonesia keturunan cina berdomisili di kecamatan Medan Helvetia, yakni 1.904 laki-laki dan 1.907 perempuan. Kelurahan Cinta Damai merupakan kawasan yang ramai dihuni oleh warga Indonesia keturunan cina yakni sebanyak 1.876 orang.

2.9.Status pendidikan Penduduk usia 7-12 tahun

(51)

2.10. Mutasi dan Mutandis penduduk kecamatan Medan Helvetia

Tercatat sebanyak 343 penduduk yang lahir sepanjang tahun 2008 di kecamatan Medan Helvetia, sedangkan hanya 234 orang yang meninggal. Mobilitas penduduk di kecamatan inipun juga ramai yakni selama tahun 2008 tercatat 3.051 orang datang dan 1.827 orang pindah dari Kecamatan ini. Sebagian besar warga kecamatan Medan Helvetia berprofesi sebagai pegawai negeri dan pedagang.

Tabel 2.6

Jumlah penduduk, Luas Kelurahan kepadatan penduduk per Km dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Jumlah Penduduk Luas Wilayah Kepadatan Penduduk Per Km2

1 Cinta Damai 17244 1,8 9580

2 Sei Sikambing CII 14110 0,989 14266,94

3 Dwi Kora 20731 2 10365,5

4 Helvetia Timur 23584 1,822 12944,02

5 Helvetia Tengah 33196 1,5 22130,67

6 Helvetia 14755 1,25 11804

7 Tanjung Gusta 20456 2,2 9298,182

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan.

(52)

Jumlah Penduduk menurut jenis Kelamin dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Cinta Damai 8414 8831 17244

2 Sei Sikambing CII 7087 7023 14110

3 Dwi Kora 10210 10521 20731

4 Helvetia Timur 11734 11849 23584

5 Helvetia Tengah 16293 16903 33196

6 Helvetia 7020 7735 14755

7 Tanjung Gusta 10289 10167 20456

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan.

Tabel.2.8

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Di Kecamatan Medan Helvetia

Kielompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

0-4 6125 6468

5-14 13394 13407 26801

15-44 38166 39276 77442

45-64 11140 10779 21919

>=65 2222 3100 5321

(53)

Tabel 2.9

Banyaknya Warga Negara Asing menurut Kewarganegaraan dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Cina India Lainya Jumlah

1 Cinta Damai 12 0 0 12

2 Sei Sikambing CII 9 0 0 0

3 Dwi Kora 3 0 0 0

4 Helvetia Timur 0 0 0 0

5 Helvetia Tengah 0 0 0 0

6 Helvetia 0 0 0 0

7 Tanjung Gusta 0 0 0 0

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan.

Tabel 2.10

Banyaknya Warga Negara Indonesia turunan Cina menurut jenis kelamin dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

No Kelurahan Laki Perempuan

1 Cinta Damai 935 941 1876

2 Sei Sikambing CII 162 191 353

3 Dwi Kora 318 321 639

4 Helvetia Timur 385 398 783

5 Helvetia Tengah 18 16 34

(54)

7 Tanjung Gusta 69 18 87

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan.

Tabel 2.11

Banyaknya Mutas dan Mutandia Penduduk menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan.

Tabel 2.12

(55)

ta

(56)

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Karkateristik Jawaban Responden Berdasarkan Umur

No Usia Jumlah Persen

1 21-30 tahun 65 65

2 31-40 21 21

3 41-50 10 10

3 51-60 4 4

(57)

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase

1 Pria 58 58

2 Wanita 42 42

(58)

Karakteristik Responden Berdasarkan Suku

No Suku Jumlah Persen

1 Batak 46 46

2 Jawa 21 21

3 Padang 13 13

4 Melayu 12 12

5 Tiongha 5 5

6 Tamil 3 3

(59)

Karakteristik Responden Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persen

1 Islam 58 58

2 Kristen 34 34

3 Budha 5 5

4 Hindu 3 3

(60)

Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah Persen

1 Tamatan SMA/Sederajat 52 52

2 Diploma 24 24

3 Sarjana 17 17

4 Tamat SMP/Sederajat 3 3

5 Tamat SD/Sederajat 3 3

6 Tidak Tamat SD 1 1

(61)

adalah Diploma dengan 24%. Sedangkan populasi responden tamatan SMP/Sederajat dan SD/Sederajat sangat kecil dengan 3%. Dari hasil penelitian dijumpai ada 1% responden yang tidak pernah menyelesaikan sekolah.

Dari responden diatas bahwa masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah responden yang tingkat pendidikan yang tinggi. Karena mereka dapat mengevaluasi kinerja partai yang masih lemah. Sehingga semakin tinggi pendidikan semakin tinggi rasionalitas pemilih saat menyatakan pilihannya untuk memilih atau tidak memilih.

Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama

Dari hasil data penelitian yang diperoleh, ternyata responden terdiri dari beberapa latar belakang pendidikan yang berbeda. Dari hasil tabel diatas diketahui bahwa pekerjaan utama responden didominasi oleh pegawai swasta. Ini d

No Pekerjaan Jumlah Responden

1 Pegawai Negeri Sipil 14 14

2 Pegawai Swasta 36 36

3 Wiraswasta 19 36

4 Pelajar/Mahasiswa 9 9

(62)

6 Petani/Pedagang 13 13

7 Tidak Bekerja 5 5

Setelah dilakukan penelitian dilapangan , teryata responden terdiri dari beberapa latar belakang pekerjaan yang berbeda. Pada tabel diatas diketahui bahwa pekerjaan utama responden didominasi oleh pegawai swasta. Ini disebabkan tempat penelitian yang berada di daerah mobilitas penduduk yang cepat. Dan disusul dengan pekerjaan sebagai wiraswasta, pegawai negeri sipil dan beberapa petani atau pedagang. Pekerjaan utama responden juga memiliki hubungan dengan perilaku memilih yang akan dilakukannya, dalam hal ini dikaitkan dengan kepentingan pekerjaannya.

Distribusi Jawaban Responden Alasan Tidak Memilih

No Alasan Tidak Memilih

(63)
(64)

Beragamnya jawaban responen tentang alasan tidak menggunakan hak polihnya dalam pemilu legislatif 2009 dapat dilihat dari hasil tabel di atas. Responden yang menyatakan bahwa pemilu legislatif tidak akan memperbaiki keadaan dengan 43%. Pemilu bagi mereka hanya sekedar memilih saja dan tidak berdampak dalam kehidupan merek kelak. Karena mereka beranggapan satu suara tidak akan merubah status sosial mereka yang lebih baik. Sedangkan banyaknya calon legislatif 2009 dan partai politik membuat responden bingung untuk memilih. Sehingga ini alasan mereka untuk tidak menggunakan hak politiknya dalam pemilu legislatif 2009 dengan jumlah 28%. Masih banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan sehingga masyarakat menganggap pemilu tidak adil dengn jumlah 7%.

Distribusi Jawaban Responden Tentang Tanggapan Pemilu

No Pemilu Merupakan Jumlah Persentase

1 Hak dari warga negara 35 35

Gambar

Tabel 2.1 Luas Wilayah dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia
Tabel 2.2
Tabel 2.3 Banyaknya Lingkungan, RT,RW dan Blok sensus dirinci menurut Kelurahan di
Tabel 2.5
+6

Referensi

Dokumen terkait

“Analisis Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Net Interest Margin (NIM), Loan to Deposit Ratio (LDR), NonPerforming Loan(NPL) dan Beban Operasional terhadap

Studi kasus disini menggambarkan cara perhitungan dalam mencari pola dan hubungan keterkaitan antar barang, dengan mengolah data-data penjualan yang didapat dari data

 Analisis sistem adalah penelitian atas sistem yang telah ada dengan tujuan untuk merancang sistem baru atau diperbarui..  Langkah – langkah dalam tahap analisis yaitu

Pengobatan Alternatif, yaitu sebuah pengobatan yang dilakukan melalui cara-cara alami seperti ramuan tradisional, pijat refleksi, akupuntur dan sebagainya berbeda dengan

[r]

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan menjelaskan tentang pembuatan program Penjualan Handphone pada Toko RIZAD CELLULAR menggunakan Visual Basic 6.0 dan SQL Server 2000. Program

[r]

Dengan latar belakang tersebut, dibuatlah sebuah program aplikasi menggunakan Visual Basic 6.0 untuk dijadikan sebagai sumber informasi mengenai angkutan umum yang ada di