SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
GOLONGAN PUTIH ( GOLPUT ) DALAM PEMILU LEGISLATIF 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara ) D
I S U S U N OLEH:
HARIMAN SILALAHI 040905057
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL HARIMAN SILALAHI ( 040905057 )
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat
Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ).
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba mengetahui tentang Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif
2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara ), dalam pelaksanaan pemilu saat ini banyak masyarakat yang
tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum padahal mereka
terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum Legislatif tersebut. Dengan
melihat keadaan ini, maka penelitian ini ingin mencoba meneliti apa yang menjadi
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam
Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara.
Teori yang digunakan dalam menjelaskan permasalahan tersebut adalah
Teori Partisipasi Poliitik, Motivasi melakukan Aktifitas Politik dalam Pemilihan
Calon Legislatif di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utata. Adapun
metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan metode
deskriptif dengan sampel 98 orang masyarakat di Kecamatan Tarutung. Factor
latar belakang sosial ekonomi seperti pekerjaan , keluarga dan pendidikan sangat
memberikan pengaruh kepada masyarakat Kecamatan Tarutung dalam hal tidak
ikut memilih pada saat pemilihan berlangsung dan masyarakat Kecamatan
Tarutung tidak percaya Pemilu dapat memperbaiki keadaan Ekonomi masyarakat
Kecamatan Tarutung. Factor nilai budaya berupa kepercayaan masyarakat
Kecamatan Tarutung terhadap salah satu Partai Politik dan Calon legislative tidak
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis
terhadap Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT
) Dalam Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara. Ketertarikan penulis untuk membahas penelitian ini adalah untuk
mengetahui secara mendalam faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat
lebih memilih untuk tidak ikut memilih ( Golput ) dalam pemilihan umum
Legislatif 2009 yang lalu meskipun mereka tahu dan sadar telah terdaftar sebagai
pemilih.
Sehingga dalam skripsi ini penulis mencoba meneliti dengan
menggunakan dan menyerahkan kuesioner yang berisikan beberapa pertanyaan
yang bersangkutan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih
kepada setiap responden, dan kemudian memaparkan hasil penelitian tersebut
dalam bentuk tabel.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh daripada kesempurnaan.
Oleh karena itu, mohon kritik dan saran yang diharapkan mampu membangun
intelektualitas untuk perbaikan skrpsi ini , sehingga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Medan, Desember 2010
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN... i
ABSTRAK... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1. Latar Belakang ... 1
2. Perumusan Masalah ... 8
3. Tujuan Masalah ... 9
4. Kegunaan Penelitian ... 9
5. Tinjauan Pustaka ... 9
6. Metode Penelitian ... 40
6.1. Jenis Penelitian ... 40
6.2. Lokasi Penelitian ... 40
6.3. Populasi dan Sampel ... 40
6.4. Teknik Pengumpulan Data ... 42
6.5. Teknik Analisa Data ... 42
BAB II DESKRIPSI LOKASI ... 43
2.1. Sejarah Singkat Kecamatan Tarutung ... 43
2.2. Letak dan Geografis Kecamatan Tarutung ... 46
2.4. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Tingkat Kecamatan
Menurut Instansi/Kantor dan Golongan Kepangkatan .. 47
2.5. Jumlah penduduk, Luas Desa/ Kelurahan, kepadatan
penduduk per Km di Kecamatan Tarutung ... 48
2.6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Desa /
Kelurahan ... 50
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ... 52
3.1. Penyajian Data ... 52
1. Kateristik Jawaban Responden Berdasarkan Umur . 52
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin ... 53
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku ... 54
4. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 54
5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan .. 55
6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Utama ... 56
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi Golput 58
7. Distribusi Jawaban Responden Alasan Tidak
Memilih ... 58
8. Distribusi Jawaban Responden Tentang Tanggapan
Pemilu ... 59
9. Distribusi Jawaban Responden Harapan Akan
10. Distribusi Jawaban Responden Perlu Untuk
Mengikuti Pemilu ... 61
11. Distribusi Jawaban Responden visi dan misi Partai Dalam Hal Tidak Memilih ... 62
12. Disitribusi Jawaban Partai Politik Memperjuangkan Kepentingan Masyarakat ... 63
13. Distribusi Jawaban Responden Partai Politik Dalam Sosialisasi Poltik ... 64
14. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Rekrutmen politik ... 65
15. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Komunikasi Politik ... 66
16. Distribusi Jawaban Isu Agama mempunyai Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 68
17. Distribusi Jawaban Isu Ekonomi Mempunyai Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 69
18. Keluarga Memberikan Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 70
BAB IV ANALISA DATA ... 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80
5.1. Kesimpulan ... 80
5.2. Saran ... 83
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Nama-nama Camat yang Pernah Menjabat di Kecamatan
Tarutung ... 45
Tabel 2.3. Luas wilayah dirinci per Kelurahan/Desa di Kecamatan Tarutung ... 46
Tabel 2.4. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Tingkat Kecamatan Menurut Instansi/Kantor dan Golongan Kepangkatan ... 47
Tabel 2.5. Jumlah penduduk, Luas Desa/ Kelurahan, kepadatan penduduk per Km di Kecamatan Tarutung ... 48
Tabel 2.6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Desa/Kelurahan ... 50
Tabel 3.1. Karakteristik Jawaban Responden Berdasarkan Umur ... 52
Tabel 3.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53
Tabel 3.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku ... 54
Tabel 3.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 54
Tabel 3.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 55
Tabel 3.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama . 56 Tabel 3.7. Distribusi Jawaban Responden Alasan Tidak Memilih .... 57
Tabel 3.8. Distribusi Jawaban Responden Tentang Tanggapan Pemilu ... 59
Tabel 3.9. Distribusi Jawaban Responden Harapan Akan Perubahan 60
Tabel 3.11. Distribusi Jawaban Responden visi dan misi Partai Dalam
Hal Tidak Memilih ... 61
Tabel 3.12. Disitribusi Jawaban Partai Politik Memperjuangkan
Kepentingan Masyarakat ... 62
Tabel 3.13. Distribusi Jawaban Responden Partai Politik Dalam
Sosialisasi Poltik ... 63
Tabel 3.14. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Rekrutmen
politik ... 65
Tabel 3.15. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Komunikasi
Politik ... 66
Tabel 3.16. Distribusi Jawaban Isu Agama mempunyai Pengaruh
Untuk Tidak Memilih ... 67
Tabel 3.17. Distribusi Jawaban Isu Ekonomi Mempunyai Pengaruh
Untuk Tidak Memilih ... 68
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL HARIMAN SILALAHI ( 040905057 )
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat
Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ).
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba mengetahui tentang Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif
2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara ), dalam pelaksanaan pemilu saat ini banyak masyarakat yang
tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum padahal mereka
terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum Legislatif tersebut. Dengan
melihat keadaan ini, maka penelitian ini ingin mencoba meneliti apa yang menjadi
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam
Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara.
Teori yang digunakan dalam menjelaskan permasalahan tersebut adalah
Teori Partisipasi Poliitik, Motivasi melakukan Aktifitas Politik dalam Pemilihan
Calon Legislatif di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utata. Adapun
metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan metode
deskriptif dengan sampel 98 orang masyarakat di Kecamatan Tarutung. Factor
latar belakang sosial ekonomi seperti pekerjaan , keluarga dan pendidikan sangat
memberikan pengaruh kepada masyarakat Kecamatan Tarutung dalam hal tidak
ikut memilih pada saat pemilihan berlangsung dan masyarakat Kecamatan
Tarutung tidak percaya Pemilu dapat memperbaiki keadaan Ekonomi masyarakat
Kecamatan Tarutung. Factor nilai budaya berupa kepercayaan masyarakat
Kecamatan Tarutung terhadap salah satu Partai Politik dan Calon legislative tidak
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Pemilu legislatif baru saja berakhir, tidak lama lagi akan diselenggarakan
Pemilu Presiden. Dalam pelaksanaan Pemilu legislatif ditemukan banyak
kekurangan-kekurangan di sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan
suara, namun ternyata dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak kekurangannya.
Mulai dari tidak terdaftarnya sebagai DPT maupun tidak dimanfaatkannya
hak-hak sebagai warga negara yaitu hak-hak pemilih. Menyikapi hal demikian tentunya
menuai berbagai keprihatinan berbagai pihak.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga
negara yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping
hak-hak warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga
negara untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk
menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak
sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan wakil presien.
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar
(basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh
1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan
Politik.
Hak untuk memilih wakil rakyat atau presiden/wakil presiden sepenuhnya
adalah hak asasi subyektif dari setiap individu. Penggunaannya tidak boleh
diintervensi oleh siapapun, baik itu negara maupun masyarakat.
Setiap warga negara secara personal bebas menentukan penggunaan hak
memilihnya, tanpa takut terhadap ancaman dalam bentuk apapun. Pemenuhan hak
tersebut dijamin oleh undang-undang. Untuk itu, negara harus melindungi hak
politik warga negara itu dari berbagai ancaman yang berasal dari kelompok
masyarakat atau institusi negara. Jaminan perlindungan itulah yang akan
menentukan kualitas pemilu.
Pemenuhan hak untuk menggunakan suara dalam Pemilu merupakan hak
asasi manusia. Dan untuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, pemenuhan
tersebut sudah semestinya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini Komnas
Hak Asasi Manusia beranggapan, hak memberikan suara dalam pemilu juga
memberikan hak kepada pemilihnya untuk menggunakannya ataupun tidak.
Dengan demikian, setiap orang bebas menggunakan atau tidak menggunakan hak
pilihnya itu. Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak itu dengan
melarang, mengkriminalkan atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang
tidak menggunakan haknya tersebut. 1
1
Kompas Edisi 3 Februari 2009, Penghormatan HAM, Hak Pilih Merupakan Hak Asasi
Individu, hlm 4
Karena sekali lagi hak tersebut menjadi
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan
sembilan kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004, 2009 untuk pemilihan calon
legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres).
Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai
Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib,
jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat
partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan
demokrasi.
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di
kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat
sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan
Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is
Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi
tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”2
Namun disisi lain, masyarakat yang memilih tindakan golput, dikarenakan:
Pertama, ketidakpercayaan pada kader parpol. Fenomena golput juga dapat . Tentunya potensi Golput
dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup
mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi
Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan
demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin
pembangkit partisipasi politik.
2
menjadi simbol ‘warning’ bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang
dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi
parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua, calon tidak
memenuhi harapan masyarakat. Ada yang diakibatkan oleh alasan ideologis, atau
ada yang dengan alasan kapok karena calon yang ada dianggap tidak capable,
tidak dapat dipercaya, melanggar janjinya, dsb. Ketiga, persoalan ekonomi.
Masyarakat lebih mengutamakan pekerjaannya, tidak mau meninggalkan
pekerjaannya untuk mencoblos. Karena merasa satu sisi jenuh, tidak mau terlibat
politik, pada sisi lain juga dihadapkan dengan persoalan domestik yang sangat
mendesak. Yakni bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat,
alasan teknis. Proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib.
Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu :
yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat
memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan
budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua
kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi
politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan
memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilu
Lemahnya komitmen partai politik dalam menyalurkan aspirasi
masyarakat ini sudah dirasakan masyarakat.berdasarkan hasil jejak pendapat yang
dilakukan oleh Litbang Kompas, yang diselenggrakan pada bulan September dan
November 2008 terungkap, dari dua tiga reponden mengatakan bahwa partai
politik saat ini tidak peka dalam menangkap dan menyalurkan aspirasi yang
Bahkan, ketidakyakinan juga muncul terhadap partai-partai baru.
Kebanyakan responden merasa tidak yakin partai-partai yang menjadi kontestan
dalam pemilu tidak akan mampu memperbaiki kualitas partai politik pada rakyat,
menciptakan kondisi politik yang lebih demokratis. Mereka juga tidak
mempercayai setiap setiap partai poltik akan mampu melahirkan pemimpin
bangsa yang berkualitas. Mereka lebih mempercayai bahwa partai politik yang
menjadi kontestan dalam pemilu lebih berorientasi pada uang daripada kehendak
untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.3
3
http//www.kompas.com
Lebih menyedihkan lagi, peran Parpol sejak tahap pengorganisasian
internal, penyerapan dan pelaksanaan aspirasi masyarakat, sampai dengan
kemampuan mereka dalam mengambil jarak terhadap kebijakan Pemerintah
sebagai pengoreksi juga sangat rendah. Yang terjadi, Parpol malah menjadi
pemberi stempel dengan melegitimasi kepentingan penguasa. Akibat semua itu
sangat wajar jika kini semakin banyak masyarakat yang lebih senang berdiam di
rumah atau mengerjakan hal lain ketimbang datang ke tempat pemungutan suara.
Fenomena ini bisa menjadi bukti telah terjadi krisis kepercayaan di dalam diri
masyarakat terhadap Parpol.
Selalu ada sisi lain dalam setiap perubahan yang dibuat. Diibaratkan api
dan air yang bermusuhan sehingga air memperkuat diri menjadi es, namun api
melelehkannya. Lalu air berpikir untuk menjadi diri sendiri ”cair” dan akhirnya
air mampu memadamkan api. Artinya, tidak ada yang paling baik dan jelek di
penerapannya. Begitu juga dengan fenomena Golput yang ada di berbagai tempat
di Indonesia yang terlahir dari rasio dan peluang demokrasi itu sendiri. Namun
pada akhirnya kita percaya, bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang mampu
mengobati dirinya sendiri di tengah serangan Golput dewasa ini
Dalam pemilu Legislatif 2009 angka golput aktif yang tidak menggunakan
hak suaranya cukup tinggi. Ini terlihat dari tabel di bawah ini
Tabel.1 Jumlah Data Pemilih dan Penggunaan Hak Pilih
No
Laki Persentase Perempuan Persentase Jumlah
Jumlah
Sumber : Rekapitulasi Penghitungan Suara Kabupaten Tapanuli Utata
dalam Pemilu Legislatif 2009 –Komisi Pemilihan Umum
Dari data diatas bahwa jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak
politiknya lebih dari 20%. Disini dapat lihat bahwa golput menjadi faktor yang
harus disikapi dengan meningkatkan kualitas pemilu
Salah satu tolak ukur keberhasilan pemilu adalah tingginya jumlah pemilih
yang menggunakan hak suaranya. Hal ini karena pemilu merupakan instrumen
utama bagi terlaksananya dukungan rakyat dalam suatu demokrasi perwakilan.
Pemilihan umum menunjukkan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan
memiliki kepercayaan dari rakyat dan bahwa rakyat memberikan jaminan
dukungan bagi para politisi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan perubahan
situasi dan kondisi.
Menurut ilmuwan politik dari Universitas Goerge Mason, Amerika
Serikat, Robert P.Clark, partisipasi politik selain melalui aktivitas elektoral
(pemilu) juga bisa melalui lobi, aktivitas organisasional (non partai politik),
kontak individu dengan pejabat public, dan (bahkan) kekerasan dalam arti upaya
mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara melukao fisik seseorang atau
dengan merusak properti milik pemerintah.4
4
Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga, 1989, Hal.101
Dengan demikian menurut Clark, ada
banyak polihan untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik yang demokratis.
Baginya, pilihan untuk ikut atau tidak ikut pemilu merupakan bentuk ekspresi dari
hak-hak politik yan sama sekali tidak mengganggu kualitas demokrasi
Berdasarkan argumen di atas ada beberapa hal yang perlu dicermati pada
pertama, Golput mampu menyeruak menjadi basis atas ketidakpercayaan pada
kader Parpol. Fenomena Golput juga dapat menjadi simbol ‘pembelajaran’ bagi
setiap Parpol. saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua,
Golput mencoba diakui sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asazi
manusia) dengan alasan kapok karena Parpol yang ada dianggap tidak capable,
dan melanggar janjinya.
Ketiga, persoalan ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan adanya
pendapatan dan pekerjaan. Mereka tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk
memilih, karena merasa jenuh dan tidak mau terlibat politik. Yang penting
bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis yaitu
proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib dan banyak manipulasi data
pemilih. Dengan kata lain, koordinasi antar departeman yang terlibat belum
terlihat jelas dan masih tumpang tindih, terutama data jumlah pemilih dan
mekanisme yang panjang dan menjelimet
Dengan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti Faktar-Faktor
Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih (Golput) (Suatu Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara)
2. Perumusan Masalah
3. Tujuan Masalah
Atas dasar perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap
tingginya Golput pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara dalam Pemilu Legisltaif 2009.
2. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas
tingginya Golput pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli Utara dalam Pemilu Legisltaif 2009.
4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis; penelitian ini sebagai salah satu kajian antropologi politik
dan ilmu politik, terutama berkaitan dengan Golput dalam budaya politik
masyarakat Kecamatan Tarutung Kecamatan Tarutung Kabupaten
Tapanuli
2. Secara praktis; penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi pemerintah daerah dan masyarakat khususnya
penyelenggara pemilu (KPU).
5. Tinjauan Pustaka
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak
azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan
lain sebagainya.5
Secara isilah hak asazi itu diartikan sebagai hak yang melekat pada
martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa
manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati),
bukan merupakan pemberian manusia atau negara.6
Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat
Indonesia, seperti pada
da
Jenis hak asasi manusia (HAM):7
1. Hak untuk hidup.
2. Hak untuk memperoleh pendidikan.
3. Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
4. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
5. Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :8 1. Hak asasi pribadi / personal Right
5
HAM yang Berlaku Umum Global, 13 Juli 2006
6
Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.127
7 Ibid 8
− Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah
tempat
− Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
− Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
− Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama
dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
− Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
− Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
− Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi
politik lainnya
− Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
− Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan
− Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
− Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
− Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli − Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
− Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa,
hutang-piutang, dll
− Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
− Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
− Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan,
penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
− Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
− Hak mendapatkan pengajaran
− Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan
minat
Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai
bagian dari hak dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 25) dan juga dijamin dalam konstitusi UUD
1945.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian
Komentar Umum Pasal 25 menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak
setiap warganegara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan
publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.9 Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak
memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya,
setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan
upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa
diskriminasi berdasarkan apa pun memperoleh kesempatan yang efektif
9
Siaran Pers YBHI, Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak Untuk Tidak Memilih
menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk
secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih
wakil-wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan
dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi,
berserikat dan berkumpul (freedom of expression, assembly and association).10 Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak. Hak untuk
berbuat menurut cara tetentu seringkali ditafsirkan sebagai suatu keleluasaan
(permission). Seseorang atas keinginan atau kehendaknya sendiri, mungkin
menggunakan atau tidak menggunakannya.11
Dalam disiplin hak asasi manusia, tidak ada standar dan norma apa pun
yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih dan dipilih. Sebaliknya yang
diatur adalah kewajiban negara untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya
secara bebas. Apabila dikaitkan dengan keberadaan Golput, negara tetap
berkewajiban untuk menghormati dan melindungi warganegara yang mengambil
pilihan untuk berpartisipasi secara pasif dalam bentuk Golput tersebut.12
Hak-hak politik diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang
terbuka bagi warga negara yang berperan serta dalam pemerintahan, dalam
pembentukan ‘kehendak’ negara. Hak Politik yang menentukan di dalam
demokrasi tidak langsung adalah hak suara, yakni hak warga negara untuk
berperan serta dalam pemilihan parlemen, kepala negara, dan organ-organ
pembuat dan pelaksana hukum yang lain.13
10 Ibid 11
Hans Kelsen,2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung, hlm. 109-117
12 op.cit 13
Sejarah politik Indonesia pernah diwarnai oleh pengalaman buruk terkait
campur tangan Negara dalam hal hak untuk memilih dan dipilih pada masa Orde
Baru, ketika terjadi kriminalisasi besar-besaran terhadap kaum yang tidak
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu (Golput). Sejarah buruk itu akan
berulang, apabila Negara melakukan stigmatisasi, apalagi kriminalisasi, terhadap
kaum Golput dalam Pemilu 2009.
Golput memang merupakan masalah klasik dan universal dalam kehidupan
politik. Pembicaraan tentang ini selalu menjadi berita menarik menjelang pemilu
di negara mana pun. Istilah golput dalam peta politik Indonesia pertama kali
muncul pada tahun 1971, terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya
untuk memilih.
Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19
ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17
tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata
yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”.14
Lebih tinggi lagi, dalam produk hukum tertinggi di negara kita yaitu
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, juga
tercantum hal senada. Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak
memilih di sini termaktub dalam kata bebas. Artinya bebas digunakan atau tidak.
Terserah pemilihnya.15
14
Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak !,
Secara teoriotis, ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut
memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori
mengenai perilaku pemilih (voter behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian
pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (voting turnout) dilacak pada
sebab-sebab dari individu pemilih.
Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih
ditinjau dari sudut pemilih ini. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut
dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu,
seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya.2 Faktor jenis pekerjaan
juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak. Kedua,
teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan
oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin
dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan
seseorang terlibat dalam pemilihan.
Ketiga, teori ekonomi politik. Teori ini menyatakan keputusan untuk
memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan
dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau
ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan
sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan
keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.
Selain teori yang memusatkan perhatian pada individu pemilih, fenomena
voting turnout juga bisa dijelaskan dengan teori dari sisi struktur. Di sini besar
struktur atau sistem suatu negara. Paling tidak ada tiga penjelas yang umum
dipakai oleh pengamat atau ahli. Pertama, sistem pendaftaran (registrasi) pemilih.
Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih
terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat
seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang
rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam pemilihan.
Dari sudut hukum, jelas sekali kalau memilih dan dipilih adalah hak,
demikian pula secara hak asasi. Hak untuk memilih merupakan hak perdata warga
negara, demikian juga hak untuk berpendapat. Tidak ada hukum apa pun yang
menyebutkan mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam
Pemilu, akan dikenakan sanksi atau dikriminalkan oleh negara.
Secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat
menghalang-halangi seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak
pilihnya. Namun, untuk menghilangkan golput barangkali perlu dikaji lebih dalam
kenapa sampai muncul orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai
wujud dari hak kedaulatan yang ada pada dirinya.
Setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan
memengaruhinya : 16
Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan
hak pilihnya disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya
kepada sistem pemilu. Bagi masyarakat, pelaksanaan pemilu di Indonesia
16
dinilai masih sekadar pesta demokrasi yang tidak akan membawa
perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya.
Kedua, ketidakpercayaan kepada kontestan (partai politik). Mereka
menganggap bahwa tidak ada figur andalan yang dapat mewakili aspirasi
mereka. Ini dibuktikan dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu.
Para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih tidak dapat berfungsi
mengemban aspirasi politik mereka. Kondisi kehidupan politik yang lebih
baik setelah pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah
kehidupan masyarakat. Malah yang muncul justru konflik berkepanjangan
antar elite politik atau parpol pemenang pemilu.
Melihat kondisi seperti itu maka jelas rakyat akan merasa semakin kecewa.
Sehingga, akhirnya mereka tidak lagi percaya kepada elite politik dan parpol yang
ada. Masyarakat merasa elite politik belum mampu membawa makna yang cukup
berarti dalam menyalurkan aspirasinya. Hal tersebut ditambah lagi dengan tidak
seriusnya wakil rakyat dalam sidang-sidang membahas agenda penting bangsa.
Akibatnya, membuat Dewan selalu lamban dalam merespons suatu masalah. Dari
kondisi ini, mereka menganggap bahwa pelaksanaan pemilu tidak ada gunanya,
hanya membuang energi dan waktu saja.
Tolok ukur keberhasilan pemilu adalah peran serta aktif dalam pemilih di
luar golongan putih. Sebagai tolok ukur paradoksalnya (ketidakberhasilan) adalah
rendahnya peran serta parpol terhadap pendidikan politik serta kekecewaan
negatif di benak pemilih. Dengan minimal empat faktor di mana orang enggan
untuk aktif berperan dalam pemilu menurut Syamsudin Haris :17 1. Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol;
2. Parpol sebagian kaya akibat money politik;
3. KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society;
4. Sistem pemilu yang rumit.
Golput dalam pemilu bisa juga muncul karena kerumitan teknis mencoblos
nomor dan atau tanda gambar dan atau nama caleg.18
Di Indonesia saat ini masalah Golput menjadi perdebatan yang cukup
menarik. Berdasarkan Data dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya,
menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak
pilihnya.
Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah
mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika
parpol tidak memberikan kepuasan. Dan, buat apa menyalurkan hak pilih bila
pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya, kekuatan politik di DPR
tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan suatu
pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak mengecewakan
rakyat. Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini mampu
meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan rakyat bisa berperan secara
jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.
19
17
Tataq Chidmad, SH, 2004, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, hlm.57
18 Ibid 19
Refly Harun, Menggugat Hilangnya Hak Pemilih, Harian Tempo, Edisi Rabu 15 April 2009
pemenang pemilu, mengingat untuk saat ini partai Demokrat paling unggul
dibandingkan partai lainnya dengan perolehan suara lebih dari 20 %.20
Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang
kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya).
Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau
tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini
membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan
Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga
negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara
pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar. Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap
mereka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak
berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik
dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung
dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan
hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum
menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput
karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap
(DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.
21
Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut
disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar
semua pemilih yang berhak memilih. Namun, sejak zaman otoriter hingga
20
Pemilu Indonesia, Dari Mana Suntikan Perolehan Suara Demokrat?, diakses Rabu, 28 April 2009
demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi
pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid,
yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang
bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan
presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.
Persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih
mencerminkan belum bagusnya sistem pengelolaan potensi penduduk Indonesia.
Padahal, validitas data pemilih juga menjadi indikator terhadap integritas pemilu
di Indonesia.22
Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana
pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana
komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi
setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.
Jika data pemilih tidak valid, tidak akurat, kemungkinan pemilih
dalam menjalankan hak memilihnya menjadi semakin rendah. Karena itu,
legitimasi politik dalam pemilu sangat dipertaruhkan di sini.
23
Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang
kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan
hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari
mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa
bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka
22
Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009
23
menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik
mereka, mereka terabaikan.24
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde
Baru tahun 1971. pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara ain Arief
Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka
didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan,
cenderung dinjak-injak.25
Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilihn memang
berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih.
Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku
atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum
golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk
lebih dari satu gambar partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara.
Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan
hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan
kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, disamping PPP,Golkar, dan
PDI. Namun jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi
pemerintah, di atas 90 persen, persisinya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29
Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia
Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak
menggunakan hak politiknya untuk memilih.
24 Ibid 25
mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggung
jawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak
hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontesan pemilu.26 Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 200427
Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok
golput.
, Indra J.Piliang menyatakan
bahwa golongan putih (golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas
partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi
orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu:
Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk
sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an ,
yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian
korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan
rakyat.
Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional
betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut pemilu, tidak akan
berdampak atas diri si pemilih. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan
akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga
percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah
akibat sistemnya sebagian mergugikan mereka.
28
Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1992, hal.22
mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan
ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik ini tidak sampai ke
tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.
Kedua, adalah golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik.
Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau mereka
menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada.
Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.
Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang
berkaitan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi
partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya No Easy Choice
Politicall Participation in Developing Countries memaknai partisipasi politik
sebagai: 29
Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 200430
“By political participation we mean activity by private citizens designed to
influence government decision-making. Participation may be individual or
collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or
violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah
kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud , Indra J.Piliang menyatakan
bahwa golongan putih (golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas
partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi
orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjad
29
Huntington, S.P. & Nelson, J. (1977). No easy choice political participation in developing
countries. Cambridge: Harvard University Press.
30
untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi biasa
bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau
tidak efektif)”.
Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan
politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara
atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan
kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak
mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist
professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam
perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the social sciences
menyatakan bahwa: 31
“By political participation we refer to those legal activities by private citizens
which are more or less directly animed at influencing the selection of “The term “political participation” will refer to those voluntary activities by
which members of a society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung
atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.
Nie dan Verba dalam Handbook of Political Science mengemukakan bahwa:
31
governmental personel and/or the actions they take (partisipasi politik adalah
kegiatan pribadi warganegara yang legal yang sedikit banyak langsung
bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau
tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”.
Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik
adalah:
“Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public
policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau
kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat
Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya”. 32
Secara faktual fenomena Golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang
sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga
menghadapi fenomena Golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka
partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%, begitu pula di Dalam tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah
manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik (menggunakan hak
pilihnya) secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta demokrasi.
32
Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik pemilihnya berkisar
86%.
Secara kondisional faktor penyebab munculnya Golput di negara berkembang dan
di negara maju tentunya berbeda. Sebagaimana dikemukakan Varma (2001:295)
bahwa:
“Di Negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat
terhadap kinerja pemerintahan hasil Pemilu yang kurang amanah dan
memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat.
Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena terjadi paradoks demokrasi atau terjadi
kontraproduktif dalam proses demokratisasi”.
Karenanya menghadapi fenomena Golput yang terjadi lebih disebabkan oleh
faktor kekecewaan publik terhadap kinerja partai politik dan pemerintah yang
belum efektif, maka menjadi pembelajaran bagi partai politik dan pemerintah
untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja demokrasi yang efektif dan
memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance.
Ketidakmampuan partai politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut,
maka fenomena Golput akan mengkristal menjadi faktor internal demokrasi yang
potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan politik
(political decay), sehingga akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana
partai politik sebagai mesin pebangkit partisipasi politik dalam demokrasi secara
moral ikut bertanggungjawab.
Dalam mindset Golput, demokrasi di Indonesia saat ini lebih dimaknai
mengganti pemerintahan melalui Pemilu secara reguler, dan belum menyentuh
substansi pembangunan demokrasi di bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Fenomena tersebut, kiranya perlu mendapatkan apresiasi dan solusi oleh
para aktor-aktor pemerintahan (penyelenggara negara) menghadapi Pemilu tahun
2009 agar pesta demokrasi lebih efisien dan berkualitas secara sistemik, baik
dalam tataran input, process, dan output, dan malah bukan bersifat kontra
produktif dalam berdemokrasi. Dalam arti proses demokrasi malah menurunkan
tingkat partisipasi politik pemilih di satu sisi, dan di sisi lain malah makin
meningkatnya jumlah Golput yang berimplikasi negatif bagi pembangunan
kualitas demokrasi.
Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami
tentang pengertian budaya dan politik. Budaya berasal dari bahasa sansekerta
yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal. Kebudayaan diartikan
sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi. Kebudayaan adalah
segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya.
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai yang berkembang
dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman dan tingkat pendidikan
dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu
negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu
sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam
membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat
suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Budaya politik (kebudayaan politik) merupakan dimensi psikologis dari
normatif yang ada di luar masyarakat, melainkan kultur politik yang berkembang
dan dipraktekkan oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap masyarakat
terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan masyarakat tersebut
mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya. Tingkat kesadaran
dan partisipasi mereka biasanya menjadi hal penting untuk mengukur kemajuan
budaya politik yang berkembang. Perbedaan budaya politik dalam masyarakat
secara garis besar dapat dibedakan
dalam tiga budaya politik, yaitu :
1. Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif)
2. Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
3. Budaya politik partisipatif (aktif)
Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat,
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
1. Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan
budaya politik masyarakat
2. Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera
masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
3. Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem
politik yang lebih baik)
4. Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan
bebas)
5. Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial,
Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan, bahwa budaya politik
suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarakat akan pengetahuan,
perasaan, dan
1. Orientasi kognitif, merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem
politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah
pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah
2. Orientasi afektif, merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik
dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan
masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau
menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.
3. Orientasi evaluatif, merupakan keputusan dan pendapat masyarakat
tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan nilai moral
yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang
mereka miliki.
Ciri-ciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut :
1. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
terutama hak pilih aktif
2. Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan
sikap :
a. Menerima sebagaimana adanya
b. Menolak dengan alasan tertentu atau
c. Ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa
4 Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau
musyawarah
Budaya politik yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal
ini di pengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing. Untuk
mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa dapat diukur melalui beberapa
dimensi yang berkembang dalam masyarakat, yaitu :
1. Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai
sistem politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak
geografis, dan konstitusi negaranya
2. Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam
membuat suatu kebijakan
3. Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini
dari masyarakat dan media massa kepada pemerintah
4. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dan bernegara, serta
pemahmanya akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga
negara
Perbedaan dimensi tersebut menurut Almond dan Verba melahirkan
beberapa tipe budaya politik yang berkembang dalam negara, yaitu :
1. Buda ya Politik Parokial (parochial political culture), dimana pada tingkat
tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut
diatas sangat rendah. Tidak ada peran-peran politik masyarakat yang
bersifat khusus, sehingga peranan politik, baik yang bersifat politis,
ekonomis, maupun religius sepenuhnya diserahkan kepada pengambil
suku/adat, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat yang peranannya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.
2. Budaya Politik Subjek (subject political culture), dimana pada tingkat
tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi pengetahuan dan
pemahaman cukup tinggi, tetapi masih bersifat pasif, artinya masyarakat
sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, namun mereka belum memiliki
orientasi dimensi pemahaman mengenai penguatan kebijakan dan
partisipasi dalam kegiatan politik, mereka tidak memiliki keinginan dan
kemauan untuk mencoba menilai, menelaah, atau mengkritisi kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah, mereka menerima apa adanya, sehingga
sikap masyarakat terhadap suatu kebijakan pemerintah terbagi menjadi dua
kelompok, ada yang menerima atau menolak.
3. Budaya Politik Partisipan (participan political culture), dimana pada
tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi
tersebut diatas lebih baik, masyarakat mulai bersifat aktif dalam
peran-peran politik, meskipun perasaan dan evaluasi masyarakat terhadap peran-peran
tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Clifford Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika
mengemukakan tentang tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :
1. Budaya Politik Abangan, yaitu budaya politik masyarakat yang lebih
menekankan pada aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap roh
halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Ciri khas dari budaya
kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an, diyakini dapat
mengusir roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Kelompok masyarakat
abangan sering kali berafiliasi dengan partai semacam PKI dan PNI.
2. Budaya Politik Santri, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan
pada aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam sebagai agama
mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat santri biasanya
diidentikan dengan kelompok masyarakat yang sudah menjalankan ibadah
atau ritual agama Islam. Pendidikan mereka ditempuh melalui pendidikan
pesantren , madrasah, atau mesjid. Kelompok masyarakat santri biasanya
memiliki jenis pekerjaan sebagai pedagang. Kelompok masyarakat santri
pada masa lalu sering kali berafiliasi dengan partai NU atau Masyumi,
namun pada masa sekarang mereka berafiliasi pada partai, seperti PKS,
PKB, PPP, atau partai-partai lainnya yang menjadikan Islam sebagai
dasarnya.
3. Budaya Politik Priyayi, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan
pada keluhuran tradisi. Kelompok priyayi sering kali dikontraskan dengan
kelompok petani, dimana kelompok priyayi dianggap sebagai kelompok
atas yang menempati pekerjaan sebagai birokrat (pegawai pemerintah).
Pada masa lalu kelompok masyarakat priyayi berafiliasi dengan partai
PNI, sekarang mereka berafiliasi dengan partai Golkar
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, dengan sel kata
dari bahasa latin colere yang berarti ‘mengolah tanah’. Dari defenisi tersebut,
untuk mengolah tanah dan mengubah alam’.33
a. a general state or habits of mind (suatu kebiasaan umum atau
kebiasaan pemikiran)
Dalam bahasa Inggris, kata culture
dalam abad yang lalu mengalami pergeseran arti sebagai berikut:
b. The general state of intellectual development in society as a whole
(kedaaan umum dari pengembangan intelektual dari masyarakat secara
keseluruhan)
c. the general body of arts (bagian umum dari seni)
d. a whole way of life, material, intellectual and spiritual (keseluruhan
cara hidup, material, intelektual, dan spiritual)34
Menurut Linton (1940) Budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan,
sikap dan pola prilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan
oleh suatu anggota masyarakat tertentu35
Menurut Kluckhohn dan Kelly (1945) Budaya adalah semua rancangan
hidup yang tercipta secara historis, baik eksplisit maupun implisit, rasional,
irasional, dan nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang
potensial bagi perilaku manusia
.
36
33
Haryono, Drs. P. 1996. Memahami Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: Kanisius. Hal 46
34
Harsojo. Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung : Binacipta. Hal. 93
35
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. hal 68
36
Keesing, Roger M. 1992. ibid
Menurut Kroeber (1948) Budaya adalah keseluruhan realisasi gerak,
kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan dan
perilaku yang ditimbulkannya37
Dapat disimpulkan bahwa arti kebudayaan amat luas, meliputi seluruh
kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus
didapatkan dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat38
Ciri-ciri budaya sebagai berikut .
Ciri-ciri budaya
39
1. Dapat dipelajari. :
2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun
tertulis, baik disengaja maupun tidak disengaja.
3. Memiliki simbol-simbol tertentu. Setiap budaya memiliki
simbol-simbol yang memiliki makna khusus biasanya
dimengerti oleh masyarakatnya.
4. Selalu berubah. Tidak ada budaya yang statis. Budaya suatu
masyarakat selalu dinamis dan terus berubah sesuai dengan
perkembangan Zamannya
5. Memiliki sistem integral. Setiap unsur kebudayaan terkait satu
dengan yang lain. Oleh sebab itu, satu unsur kebudayaan tidak
37
Keesing, Roger M. 1992. ibid
38
Harsojo. Prof. 1984.Op. cit. Hal. 93
39
dapat berdiri sendiri, tetapi menyangkut unsur-unsur yang lain
dalam suatu jaringan yang kompleks
6. Sifatnya adaftif. Kebudayaan berubah untuk beradaptasi
dengan dunia yang berubah.
Koentjaraningrat menyarankan agar kebudayaan dibedakan sesuai dengan
empat wujudnya. Dari bagian terluar sampai bagian terdalam adalah sebagai
berikut40
1. Bagian yang paling luar merupakan kebudayaan sebagai artifacts, atau
benda-benda fisik. Yakni berupa benda-benda hasil karya manusia
yang bersifat kongkret yang dapat diraba. Misalnya bangunan,
peralatan, dan benda teknologi. Sebutan bagi budaya dalam bentuk
konkret ini adalah kebudayaan fisik
2. Bagaian kedua terluar merupakan wujud dan tingkah laku manusia.
Wujud berikut ini masih bersifat konkret. Dapat difoto ataupun di
film. Semua gerak-gerak yang dilakukan dari waktu ke waktu.
Merupakan pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem.
Karena itu pola tingakah laku manusia disebut sistem sosial.
3. Bagian ketiga merupakan wujud gagasan dari kebudayaan, dan
tempatnya ada didalam diri warga kebudayaan. Kebudayaan dalam
wujud ini bersifat abstrak. Dan hanya dapat diketahui dan dipahami
setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik dengan wawancara
intensif atau dengan membaca literatur yang sudah ada. Kebudayaan
40
dalam wujud gagasan juga berpola berdasarkan sistem-sistem tertentu
yang disebut sistem budaya.
4. Bagian keempat merupakan bagian yang terdalam, merupakan
gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu
kebudayaan sejak usia dini dan karenanya sukar diubah. Istilah untuk
menyebut unsur-unsur kebudayaan yang menjadi pusat dari semua
unsur yang lain adalah nilai-nilai budaya, yang menentukan sifat dan
corak dari pikiran, cara berfikir, serta tingkah laku manusia sebuah
kebudayaan.
Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi kedalam suatu jumlah unsur
yang tak terbatas jumlahnya. Unsur kebudayaan yang terkecil sampai kepada yang
merupakan gabungan yang terbesar bersama-sama merupakan unsur kebudayaan.
Cara menganalisa kebudayaan dalam strukturnya seperti tersebut diatas
sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan kebudayaan itu sendiri, dan dirasakan
terlalu mekanis. Akan tetapi cara analisa seperti itu dapat memberikan kepada
kita gambaran ilmiah yang lebih baik tentang hakekat kebudayaan.
Koentjaraningrat mengumukakan konsep unsur-unsur kebudayaan
menjadi 7, yaitu41
1. sistem religi dan upacara adat :
2. sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan
3. sistem ilmu pengetahuan
4. bahasa
41
5. kesenian
6. sistem ekonomi dan mata pencaharian
7. sistem alat dan teknologi
Ketujuh unsur kebudayaan tersebut sering disebut sebagai unsure
kebudayaan universal (kultural universal). Kesatuan kebudayaan dimanapun
dimuka bumi ini, mulai dari masyarakat yang sederhana samapai masyarakat yang
modern, akan dapat ditemukan tujuh unsur kebudayaan tersebut di dalamnya.
Mas’oed menyatakan politik pembangunan desa lebih tertuju pada aspek
politik dan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ditingkat desa. Program
pembangunan desa untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang
masa depan yang diinginkan. Proses pembangunan desa menghasilkan tata
kehidupan politik yang menumbuhkan demokrasi. Sehingga keputusan politik
terhadap program pembangunan pedesaan bertujuan untuk mengembangkan
kapasitas masyarakat, untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan
kesejahteraan masyarakat desa
Berkaitan dengan entitas ekonomi dalam politik pembangunan yaitu tidak
mengejar keuntungan pribadi atau kelompok untuk jangka pendek, tetapi
menanamkan hakekat pembangunan desa yang transparan, bertanggung jawab,
menguntungkan semua pihak dan berlangsung secara menyeluruh serta
berkesinambungan. Weaver, politik pembangunan menyangkut keberhasilan
pembangunan desa bisa dicapai, bila usahausaha pembangunan langsung
ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masy arakat menjadi lebih baik dan
masyarakat memiliki akses pada sumber-sumber ekonomi dan politik, serta
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi masyarakat pada partisipasi politik
1. Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan
jumlah keluarga.
2. Faktor Politik
Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu
produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Komunikasi Politik.
Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai
konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang
mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik.42
b. Kesadaran Politik.
Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi
antara dua pihak yang menerapkan etika.
Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian
seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat
kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat
menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau
pembangunan
42
c. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses pengambilan keputusan
Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap
proses pengambilan keputusan menentukan corak dan arah suatu
keputusan yang akan diambil
d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.
Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat
menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk
mengelola suatu obyek kebijakan. Kontrol untuk mencegah
dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan
politik kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of
directing. Juga mengemukakan ekspresi politik,
memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi
yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan
kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan
pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan
mengenai pembangunan
3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan
Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta
ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan
semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya
berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan
4. Faktor Nilai Budaya
Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk
demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro
1999:27) atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi,
pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
6. Metode Penelitian 6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif, dengan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode dalam meneliti individu
maupun kelompok masyarakat, sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada
massa tertentu. Penelitian deskriptif ini meliputi pengumpulan data melalui daftar
pertanyaan (kuisioner). Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah sikap atau
pendapat individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui
daftar pertanyaan dalam survei, wawancara ataupun observasi.43
6.2. Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilaksakan di Kecamatan Tarutung
Kabupaten Tapanuli Utara
6.3. Populasi dan Sampel 6.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di
Kecamatan Tarutung yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2009. adapun jumlah populasi
dalam penelitian adalah 5934 jiwa.
43