• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara )."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

GOLONGAN PUTIH ( GOLPUT ) DALAM PEMILU LEGISLATIF 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara ) D

I S U S U N OLEH:

HARIMAN SILALAHI 040905057

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL HARIMAN SILALAHI ( 040905057 )

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat

Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ).

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mengetahui tentang Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif

2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara ), dalam pelaksanaan pemilu saat ini banyak masyarakat yang

tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum padahal mereka

terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum Legislatif tersebut. Dengan

melihat keadaan ini, maka penelitian ini ingin mencoba meneliti apa yang menjadi

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam

Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara.

Teori yang digunakan dalam menjelaskan permasalahan tersebut adalah

Teori Partisipasi Poliitik, Motivasi melakukan Aktifitas Politik dalam Pemilihan

Calon Legislatif di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utata. Adapun

metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan metode

deskriptif dengan sampel 98 orang masyarakat di Kecamatan Tarutung. Factor

latar belakang sosial ekonomi seperti pekerjaan , keluarga dan pendidikan sangat

memberikan pengaruh kepada masyarakat Kecamatan Tarutung dalam hal tidak

ikut memilih pada saat pemilihan berlangsung dan masyarakat Kecamatan

Tarutung tidak percaya Pemilu dapat memperbaiki keadaan Ekonomi masyarakat

Kecamatan Tarutung. Factor nilai budaya berupa kepercayaan masyarakat

Kecamatan Tarutung terhadap salah satu Partai Politik dan Calon legislative tidak

(3)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis

terhadap Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT

) Dalam Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara. Ketertarikan penulis untuk membahas penelitian ini adalah untuk

mengetahui secara mendalam faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat

lebih memilih untuk tidak ikut memilih ( Golput ) dalam pemilihan umum

Legislatif 2009 yang lalu meskipun mereka tahu dan sadar telah terdaftar sebagai

pemilih.

Sehingga dalam skripsi ini penulis mencoba meneliti dengan

menggunakan dan menyerahkan kuesioner yang berisikan beberapa pertanyaan

yang bersangkutan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih

kepada setiap responden, dan kemudian memaparkan hasil penelitian tersebut

dalam bentuk tabel.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh daripada kesempurnaan.

Oleh karena itu, mohon kritik dan saran yang diharapkan mampu membangun

intelektualitas untuk perbaikan skrpsi ini , sehingga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Medan, Desember 2010

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN... i

ABSTRAK... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 8

3. Tujuan Masalah ... 9

4. Kegunaan Penelitian ... 9

5. Tinjauan Pustaka ... 9

6. Metode Penelitian ... 40

6.1. Jenis Penelitian ... 40

6.2. Lokasi Penelitian ... 40

6.3. Populasi dan Sampel ... 40

6.4. Teknik Pengumpulan Data ... 42

6.5. Teknik Analisa Data ... 42

BAB II DESKRIPSI LOKASI ... 43

2.1. Sejarah Singkat Kecamatan Tarutung ... 43

2.2. Letak dan Geografis Kecamatan Tarutung ... 46

(5)

2.4. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Tingkat Kecamatan

Menurut Instansi/Kantor dan Golongan Kepangkatan .. 47

2.5. Jumlah penduduk, Luas Desa/ Kelurahan, kepadatan

penduduk per Km di Kecamatan Tarutung ... 48

2.6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Desa /

Kelurahan ... 50

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ... 52

3.1. Penyajian Data ... 52

1. Kateristik Jawaban Responden Berdasarkan Umur . 52

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin ... 53

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku ... 54

4. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 54

5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan .. 55

6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Utama ... 56

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi Golput 58

7. Distribusi Jawaban Responden Alasan Tidak

Memilih ... 58

8. Distribusi Jawaban Responden Tentang Tanggapan

Pemilu ... 59

9. Distribusi Jawaban Responden Harapan Akan

(6)

10. Distribusi Jawaban Responden Perlu Untuk

Mengikuti Pemilu ... 61

11. Distribusi Jawaban Responden visi dan misi Partai Dalam Hal Tidak Memilih ... 62

12. Disitribusi Jawaban Partai Politik Memperjuangkan Kepentingan Masyarakat ... 63

13. Distribusi Jawaban Responden Partai Politik Dalam Sosialisasi Poltik ... 64

14. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Rekrutmen politik ... 65

15. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Komunikasi Politik ... 66

16. Distribusi Jawaban Isu Agama mempunyai Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 68

17. Distribusi Jawaban Isu Ekonomi Mempunyai Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 69

18. Keluarga Memberikan Pengaruh Untuk Tidak Memilih ... 70

BAB IV ANALISA DATA ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1. Kesimpulan ... 80

5.2. Saran ... 83

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Nama-nama Camat yang Pernah Menjabat di Kecamatan

Tarutung ... 45

Tabel 2.3. Luas wilayah dirinci per Kelurahan/Desa di Kecamatan Tarutung ... 46

Tabel 2.4. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Tingkat Kecamatan Menurut Instansi/Kantor dan Golongan Kepangkatan ... 47

Tabel 2.5. Jumlah penduduk, Luas Desa/ Kelurahan, kepadatan penduduk per Km di Kecamatan Tarutung ... 48

Tabel 2.6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Desa/Kelurahan ... 50

Tabel 3.1. Karakteristik Jawaban Responden Berdasarkan Umur ... 52

Tabel 3.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53

Tabel 3.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku ... 54

Tabel 3.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 54

Tabel 3.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 55

Tabel 3.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama . 56 Tabel 3.7. Distribusi Jawaban Responden Alasan Tidak Memilih .... 57

Tabel 3.8. Distribusi Jawaban Responden Tentang Tanggapan Pemilu ... 59

Tabel 3.9. Distribusi Jawaban Responden Harapan Akan Perubahan 60

(8)

Tabel 3.11. Distribusi Jawaban Responden visi dan misi Partai Dalam

Hal Tidak Memilih ... 61

Tabel 3.12. Disitribusi Jawaban Partai Politik Memperjuangkan

Kepentingan Masyarakat ... 62

Tabel 3.13. Distribusi Jawaban Responden Partai Politik Dalam

Sosialisasi Poltik ... 63

Tabel 3.14. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Rekrutmen

politik ... 65

Tabel 3.15. Distribusi Jawaban Partai Politik Melakukan Komunikasi

Politik ... 66

Tabel 3.16. Distribusi Jawaban Isu Agama mempunyai Pengaruh

Untuk Tidak Memilih ... 67

Tabel 3.17. Distribusi Jawaban Isu Ekonomi Mempunyai Pengaruh

Untuk Tidak Memilih ... 68

(9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL HARIMAN SILALAHI ( 040905057 )

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat

Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ).

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mengetahui tentang Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif

2009 ( Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara ), dalam pelaksanaan pemilu saat ini banyak masyarakat yang

tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum padahal mereka

terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum Legislatif tersebut. Dengan

melihat keadaan ini, maka penelitian ini ingin mencoba meneliti apa yang menjadi

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam

Pemilu Legislatif 2009 Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara.

Teori yang digunakan dalam menjelaskan permasalahan tersebut adalah

Teori Partisipasi Poliitik, Motivasi melakukan Aktifitas Politik dalam Pemilihan

Calon Legislatif di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utata. Adapun

metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan metode

deskriptif dengan sampel 98 orang masyarakat di Kecamatan Tarutung. Factor

latar belakang sosial ekonomi seperti pekerjaan , keluarga dan pendidikan sangat

memberikan pengaruh kepada masyarakat Kecamatan Tarutung dalam hal tidak

ikut memilih pada saat pemilihan berlangsung dan masyarakat Kecamatan

Tarutung tidak percaya Pemilu dapat memperbaiki keadaan Ekonomi masyarakat

Kecamatan Tarutung. Factor nilai budaya berupa kepercayaan masyarakat

Kecamatan Tarutung terhadap salah satu Partai Politik dan Calon legislative tidak

(10)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Pemilu legislatif baru saja berakhir, tidak lama lagi akan diselenggarakan

Pemilu Presiden. Dalam pelaksanaan Pemilu legislatif ditemukan banyak

kekurangan-kekurangan di sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan

suara, namun ternyata dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak kekurangannya.

Mulai dari tidak terdaftarnya sebagai DPT maupun tidak dimanfaatkannya

hak-hak sebagai warga negara yaitu hak-hak pemilih. Menyikapi hal demikian tentunya

menuai berbagai keprihatinan berbagai pihak.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga

negara yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping

hak-hak warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga

negara untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005

tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk

menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak

sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan wakil presien.

Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar

(basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh

(11)

1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi

Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan

Politik.

Hak untuk memilih wakil rakyat atau presiden/wakil presiden sepenuhnya

adalah hak asasi subyektif dari setiap individu. Penggunaannya tidak boleh

diintervensi oleh siapapun, baik itu negara maupun masyarakat.

Setiap warga negara secara personal bebas menentukan penggunaan hak

memilihnya, tanpa takut terhadap ancaman dalam bentuk apapun. Pemenuhan hak

tersebut dijamin oleh undang-undang. Untuk itu, negara harus melindungi hak

politik warga negara itu dari berbagai ancaman yang berasal dari kelompok

masyarakat atau institusi negara. Jaminan perlindungan itulah yang akan

menentukan kualitas pemilu.

Pemenuhan hak untuk menggunakan suara dalam Pemilu merupakan hak

asasi manusia. Dan untuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, pemenuhan

tersebut sudah semestinya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini Komnas

Hak Asasi Manusia beranggapan, hak memberikan suara dalam pemilu juga

memberikan hak kepada pemilihnya untuk menggunakannya ataupun tidak.

Dengan demikian, setiap orang bebas menggunakan atau tidak menggunakan hak

pilihnya itu. Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak itu dengan

melarang, mengkriminalkan atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang

tidak menggunakan haknya tersebut. 1

1

Kompas Edisi 3 Februari 2009, Penghormatan HAM, Hak Pilih Merupakan Hak Asasi

Individu, hlm 4

Karena sekali lagi hak tersebut menjadi

(12)

Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan

sembilan kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971,

1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004, 2009 untuk pemilihan calon

legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres).

Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai

Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib,

jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat

partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan

demokrasi.

Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di

kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat

sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan

Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is

Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi

tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”2

Namun disisi lain, masyarakat yang memilih tindakan golput, dikarenakan:

Pertama, ketidakpercayaan pada kader parpol. Fenomena golput juga dapat . Tentunya potensi Golput

dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup

mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi

Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan

demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin

pembangkit partisipasi politik.

2

(13)

menjadi simbol ‘warning’ bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang

dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi

parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua, calon tidak

memenuhi harapan masyarakat. Ada yang diakibatkan oleh alasan ideologis, atau

ada yang dengan alasan kapok karena calon yang ada dianggap tidak capable,

tidak dapat dipercaya, melanggar janjinya, dsb. Ketiga, persoalan ekonomi.

Masyarakat lebih mengutamakan pekerjaannya, tidak mau meninggalkan

pekerjaannya untuk mencoblos. Karena merasa satu sisi jenuh, tidak mau terlibat

politik, pada sisi lain juga dihadapkan dengan persoalan domestik yang sangat

mendesak. Yakni bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat,

alasan teknis. Proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib.

Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu :

yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat

memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan

budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua

kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi

politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan

memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilu

Lemahnya komitmen partai politik dalam menyalurkan aspirasi

masyarakat ini sudah dirasakan masyarakat.berdasarkan hasil jejak pendapat yang

dilakukan oleh Litbang Kompas, yang diselenggrakan pada bulan September dan

November 2008 terungkap, dari dua tiga reponden mengatakan bahwa partai

politik saat ini tidak peka dalam menangkap dan menyalurkan aspirasi yang

(14)

Bahkan, ketidakyakinan juga muncul terhadap partai-partai baru.

Kebanyakan responden merasa tidak yakin partai-partai yang menjadi kontestan

dalam pemilu tidak akan mampu memperbaiki kualitas partai politik pada rakyat,

menciptakan kondisi politik yang lebih demokratis. Mereka juga tidak

mempercayai setiap setiap partai poltik akan mampu melahirkan pemimpin

bangsa yang berkualitas. Mereka lebih mempercayai bahwa partai politik yang

menjadi kontestan dalam pemilu lebih berorientasi pada uang daripada kehendak

untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.3

3

http//www.kompas.com

Lebih menyedihkan lagi, peran Parpol sejak tahap pengorganisasian

internal, penyerapan dan pelaksanaan aspirasi masyarakat, sampai dengan

kemampuan mereka dalam mengambil jarak terhadap kebijakan Pemerintah

sebagai pengoreksi juga sangat rendah. Yang terjadi, Parpol malah menjadi

pemberi stempel dengan melegitimasi kepentingan penguasa. Akibat semua itu

sangat wajar jika kini semakin banyak masyarakat yang lebih senang berdiam di

rumah atau mengerjakan hal lain ketimbang datang ke tempat pemungutan suara.

Fenomena ini bisa menjadi bukti telah terjadi krisis kepercayaan di dalam diri

masyarakat terhadap Parpol.

Selalu ada sisi lain dalam setiap perubahan yang dibuat. Diibaratkan api

dan air yang bermusuhan sehingga air memperkuat diri menjadi es, namun api

melelehkannya. Lalu air berpikir untuk menjadi diri sendiri ”cair” dan akhirnya

air mampu memadamkan api. Artinya, tidak ada yang paling baik dan jelek di

(15)

penerapannya. Begitu juga dengan fenomena Golput yang ada di berbagai tempat

di Indonesia yang terlahir dari rasio dan peluang demokrasi itu sendiri. Namun

pada akhirnya kita percaya, bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang mampu

mengobati dirinya sendiri di tengah serangan Golput dewasa ini

Dalam pemilu Legislatif 2009 angka golput aktif yang tidak menggunakan

hak suaranya cukup tinggi. Ini terlihat dari tabel di bawah ini

Tabel.1 Jumlah Data Pemilih dan Penggunaan Hak Pilih

No

Laki Persentase Perempuan Persentase Jumlah

Jumlah

Sumber : Rekapitulasi Penghitungan Suara Kabupaten Tapanuli Utata

dalam Pemilu Legislatif 2009 –Komisi Pemilihan Umum

(16)

Dari data diatas bahwa jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak

politiknya lebih dari 20%. Disini dapat lihat bahwa golput menjadi faktor yang

harus disikapi dengan meningkatkan kualitas pemilu

Salah satu tolak ukur keberhasilan pemilu adalah tingginya jumlah pemilih

yang menggunakan hak suaranya. Hal ini karena pemilu merupakan instrumen

utama bagi terlaksananya dukungan rakyat dalam suatu demokrasi perwakilan.

Pemilihan umum menunjukkan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan

memiliki kepercayaan dari rakyat dan bahwa rakyat memberikan jaminan

dukungan bagi para politisi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan perubahan

situasi dan kondisi.

Menurut ilmuwan politik dari Universitas Goerge Mason, Amerika

Serikat, Robert P.Clark, partisipasi politik selain melalui aktivitas elektoral

(pemilu) juga bisa melalui lobi, aktivitas organisasional (non partai politik),

kontak individu dengan pejabat public, dan (bahkan) kekerasan dalam arti upaya

mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara melukao fisik seseorang atau

dengan merusak properti milik pemerintah.4

4

Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga, 1989, Hal.101

Dengan demikian menurut Clark, ada

banyak polihan untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik yang demokratis.

Baginya, pilihan untuk ikut atau tidak ikut pemilu merupakan bentuk ekspresi dari

hak-hak politik yan sama sekali tidak mengganggu kualitas demokrasi

Berdasarkan argumen di atas ada beberapa hal yang perlu dicermati pada

(17)

pertama, Golput mampu menyeruak menjadi basis atas ketidakpercayaan pada

kader Parpol. Fenomena Golput juga dapat menjadi simbol ‘pembelajaran’ bagi

setiap Parpol. saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Kedua,

Golput mencoba diakui sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asazi

manusia) dengan alasan kapok karena Parpol yang ada dianggap tidak capable,

dan melanggar janjinya.

Ketiga, persoalan ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan adanya

pendapatan dan pekerjaan. Mereka tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk

memilih, karena merasa jenuh dan tidak mau terlibat politik. Yang penting

bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis yaitu

proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib dan banyak manipulasi data

pemilih. Dengan kata lain, koordinasi antar departeman yang terlibat belum

terlihat jelas dan masih tumpang tindih, terutama data jumlah pemilih dan

mekanisme yang panjang dan menjelimet

Dengan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti Faktar-Faktor

Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih (Golput) (Suatu Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara)

2. Perumusan Masalah

(18)

3. Tujuan Masalah

Atas dasar perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap

tingginya Golput pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara dalam Pemilu Legisltaif 2009.

2. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas

tingginya Golput pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli Utara dalam Pemilu Legisltaif 2009.

4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis; penelitian ini sebagai salah satu kajian antropologi politik

dan ilmu politik, terutama berkaitan dengan Golput dalam budaya politik

masyarakat Kecamatan Tarutung Kecamatan Tarutung Kabupaten

Tapanuli

2. Secara praktis; penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran bagi pemerintah daerah dan masyarakat khususnya

penyelenggara pemilu (KPU).

5. Tinjauan Pustaka

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap

manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat

(19)

Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak

azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan

lain sebagainya.5

Secara isilah hak asazi itu diartikan sebagai hak yang melekat pada

martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa

manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati),

bukan merupakan pemberian manusia atau negara.6

Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat

Indonesia, seperti pada

da

Jenis hak asasi manusia (HAM):7

1. Hak untuk hidup.

2. Hak untuk memperoleh pendidikan.

3. Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.

4. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.

5. Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :8 1. Hak asasi pribadi / personal Right

5

HAM yang Berlaku Umum Global, 13 Juli 2006

6

Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.127

7 Ibid 8

(20)

− Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah

tempat

− Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat

− Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan

− Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama

dan kepercayaan yang diyakini masing-masing

2. Hak asasi politik / Political Right

− Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan

− Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

− Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi

politik lainnya

− Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right

− Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan

pemerintahan

− Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns

− Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths

− Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli − Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak

− Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa,

hutang-piutang, dll

− Hak kebebasan untuk memiliki susuatu

(21)

5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights

− Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan

− Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan,

penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right

− Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan

− Hak mendapatkan pengajaran

− Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan

minat

Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai

bagian dari hak dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang

Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 25) dan juga dijamin dalam konstitusi UUD

1945.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian

Komentar Umum Pasal 25 menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak

setiap warganegara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan

publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.9 Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak

memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya,

setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan

upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa

diskriminasi berdasarkan apa pun memperoleh kesempatan yang efektif

9

Siaran Pers YBHI, Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak Untuk Tidak Memilih

(22)

menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk

secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih

wakil-wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan

dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi,

berserikat dan berkumpul (freedom of expression, assembly and association).10 Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak. Hak untuk

berbuat menurut cara tetentu seringkali ditafsirkan sebagai suatu keleluasaan

(permission). Seseorang atas keinginan atau kehendaknya sendiri, mungkin

menggunakan atau tidak menggunakannya.11

Dalam disiplin hak asasi manusia, tidak ada standar dan norma apa pun

yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih dan dipilih. Sebaliknya yang

diatur adalah kewajiban negara untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya

secara bebas. Apabila dikaitkan dengan keberadaan Golput, negara tetap

berkewajiban untuk menghormati dan melindungi warganegara yang mengambil

pilihan untuk berpartisipasi secara pasif dalam bentuk Golput tersebut.12

Hak-hak politik diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang

terbuka bagi warga negara yang berperan serta dalam pemerintahan, dalam

pembentukan ‘kehendak’ negara. Hak Politik yang menentukan di dalam

demokrasi tidak langsung adalah hak suara, yakni hak warga negara untuk

berperan serta dalam pemilihan parlemen, kepala negara, dan organ-organ

pembuat dan pelaksana hukum yang lain.13

10 Ibid 11

Hans Kelsen,2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung, hlm. 109-117

12 op.cit 13

(23)

Sejarah politik Indonesia pernah diwarnai oleh pengalaman buruk terkait

campur tangan Negara dalam hal hak untuk memilih dan dipilih pada masa Orde

Baru, ketika terjadi kriminalisasi besar-besaran terhadap kaum yang tidak

menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu (Golput). Sejarah buruk itu akan

berulang, apabila Negara melakukan stigmatisasi, apalagi kriminalisasi, terhadap

kaum Golput dalam Pemilu 2009.

Golput memang merupakan masalah klasik dan universal dalam kehidupan

politik. Pembicaraan tentang ini selalu menjadi berita menarik menjelang pemilu

di negara mana pun. Istilah golput dalam peta politik Indonesia pertama kali

muncul pada tahun 1971, terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya

untuk memilih.

Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19

ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17

tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata

yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”.14

Lebih tinggi lagi, dalam produk hukum tertinggi di negara kita yaitu

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, juga

tercantum hal senada. Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak

memilih di sini termaktub dalam kata bebas. Artinya bebas digunakan atau tidak.

Terserah pemilihnya.15

14

Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak !,

(24)

Secara teoriotis, ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut

memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori

mengenai perilaku pemilih (voter behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian

pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (voting turnout) dilacak pada

sebab-sebab dari individu pemilih.

Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih

ditinjau dari sudut pemilih ini. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut

dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu,

seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya.2 Faktor jenis pekerjaan

juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak. Kedua,

teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan

oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin

dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan

seseorang terlibat dalam pemilihan.

Ketiga, teori ekonomi politik. Teori ini menyatakan keputusan untuk

memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan

dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau

ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan

sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan

keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.

Selain teori yang memusatkan perhatian pada individu pemilih, fenomena

voting turnout juga bisa dijelaskan dengan teori dari sisi struktur. Di sini besar

(25)

struktur atau sistem suatu negara. Paling tidak ada tiga penjelas yang umum

dipakai oleh pengamat atau ahli. Pertama, sistem pendaftaran (registrasi) pemilih.

Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih

terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat

seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang

rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam pemilihan.

Dari sudut hukum, jelas sekali kalau memilih dan dipilih adalah hak,

demikian pula secara hak asasi. Hak untuk memilih merupakan hak perdata warga

negara, demikian juga hak untuk berpendapat. Tidak ada hukum apa pun yang

menyebutkan mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam

Pemilu, akan dikenakan sanksi atau dikriminalkan oleh negara.

Secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat

menghalang-halangi seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak

pilihnya. Namun, untuk menghilangkan golput barangkali perlu dikaji lebih dalam

kenapa sampai muncul orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai

wujud dari hak kedaulatan yang ada pada dirinya.

Setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan

memengaruhinya : 16

Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan

hak pilihnya disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya

kepada sistem pemilu. Bagi masyarakat, pelaksanaan pemilu di Indonesia

16

(26)

dinilai masih sekadar pesta demokrasi yang tidak akan membawa

perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya.

Kedua, ketidakpercayaan kepada kontestan (partai politik). Mereka

menganggap bahwa tidak ada figur andalan yang dapat mewakili aspirasi

mereka. Ini dibuktikan dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu.

Para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih tidak dapat berfungsi

mengemban aspirasi politik mereka. Kondisi kehidupan politik yang lebih

baik setelah pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah

kehidupan masyarakat. Malah yang muncul justru konflik berkepanjangan

antar elite politik atau parpol pemenang pemilu.

Melihat kondisi seperti itu maka jelas rakyat akan merasa semakin kecewa.

Sehingga, akhirnya mereka tidak lagi percaya kepada elite politik dan parpol yang

ada. Masyarakat merasa elite politik belum mampu membawa makna yang cukup

berarti dalam menyalurkan aspirasinya. Hal tersebut ditambah lagi dengan tidak

seriusnya wakil rakyat dalam sidang-sidang membahas agenda penting bangsa.

Akibatnya, membuat Dewan selalu lamban dalam merespons suatu masalah. Dari

kondisi ini, mereka menganggap bahwa pelaksanaan pemilu tidak ada gunanya,

hanya membuang energi dan waktu saja.

Tolok ukur keberhasilan pemilu adalah peran serta aktif dalam pemilih di

luar golongan putih. Sebagai tolok ukur paradoksalnya (ketidakberhasilan) adalah

rendahnya peran serta parpol terhadap pendidikan politik serta kekecewaan

(27)

negatif di benak pemilih. Dengan minimal empat faktor di mana orang enggan

untuk aktif berperan dalam pemilu menurut Syamsudin Haris :17 1. Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol;

2. Parpol sebagian kaya akibat money politik;

3. KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society;

4. Sistem pemilu yang rumit.

Golput dalam pemilu bisa juga muncul karena kerumitan teknis mencoblos

nomor dan atau tanda gambar dan atau nama caleg.18

Di Indonesia saat ini masalah Golput menjadi perdebatan yang cukup

menarik. Berdasarkan Data dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya,

menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak

pilihnya.

Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah

mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika

parpol tidak memberikan kepuasan. Dan, buat apa menyalurkan hak pilih bila

pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya, kekuatan politik di DPR

tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan suatu

pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak mengecewakan

rakyat. Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini mampu

meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan rakyat bisa berperan secara

jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.

19

17

Tataq Chidmad, SH, 2004, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, hlm.57

18 Ibid 19

Refly Harun, Menggugat Hilangnya Hak Pemilih, Harian Tempo, Edisi Rabu 15 April 2009

(28)

pemenang pemilu, mengingat untuk saat ini partai Demokrat paling unggul

dibandingkan partai lainnya dengan perolehan suara lebih dari 20 %.20

Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang

kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya).

Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau

tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini

membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan

Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga

negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara

pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar. Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap

mereka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak

berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik

dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung

dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan

hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum

menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput

karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap

(DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.

21

Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut

disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar

semua pemilih yang berhak memilih. Namun, sejak zaman otoriter hingga

20

Pemilu Indonesia, Dari Mana Suntikan Perolehan Suara Demokrat?, diakses Rabu, 28 April 2009

(29)

demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi

pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid,

yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang

bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan

presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.

Persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih

mencerminkan belum bagusnya sistem pengelolaan potensi penduduk Indonesia.

Padahal, validitas data pemilih juga menjadi indikator terhadap integritas pemilu

di Indonesia.22

Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana

pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana

komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi

setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.

Jika data pemilih tidak valid, tidak akurat, kemungkinan pemilih

dalam menjalankan hak memilihnya menjadi semakin rendah. Karena itu,

legitimasi politik dalam pemilu sangat dipertaruhkan di sini.

23

Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang

kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan

hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari

mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa

bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka

22

Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009

23

(30)

menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik

mereka, mereka terabaikan.24

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde

Baru tahun 1971. pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara ain Arief

Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka

didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan,

cenderung dinjak-injak.25

Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilihn memang

berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih.

Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku

atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum

golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk

lebih dari satu gambar partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara.

Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan

hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan

kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, disamping PPP,Golkar, dan

PDI. Namun jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi

pemerintah, di atas 90 persen, persisinya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29

Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia

Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak

menggunakan hak politiknya untuk memilih.

24 Ibid 25

(31)

mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggung

jawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak

hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontesan pemilu.26 Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 200427

Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok

golput.

, Indra J.Piliang menyatakan

bahwa golongan putih (golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas

partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi

orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu:

Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk

sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an ,

yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian

korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan

rakyat.

Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional

betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut pemilu, tidak akan

berdampak atas diri si pemilih. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan

akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga

percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah

akibat sistemnya sebagian mergugikan mereka.

28

Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1992, hal.22

(32)

mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan

ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik ini tidak sampai ke

tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.

Kedua, adalah golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia

menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik.

Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau mereka

menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada.

Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.

Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang

berkaitan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi

partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya No Easy Choice

Politicall Participation in Developing Countries memaknai partisipasi politik

sebagai: 29

Dalam artikelnya di Kompas 28 Juli 200430

“By political participation we mean activity by private citizens designed to

influence government decision-making. Participation may be individual or

collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or

violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah

kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud , Indra J.Piliang menyatakan

bahwa golongan putih (golput0 dianggap sebagai bentuk perlawanan atas

partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi

orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjad

29

Huntington, S.P. & Nelson, J. (1977). No easy choice political participation in developing

countries. Cambridge: Harvard University Press.

30

(33)

untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi biasa

bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau

sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau

tidak efektif)”.

Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan

politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara

atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan

kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak

mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist

professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam

perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the social sciences

menyatakan bahwa: 31

“By political participation we refer to those legal activities by private citizens

which are more or less directly animed at influencing the selection of “The term “political participation” will refer to those voluntary activities by

which members of a society share in the selection of rulers and, directly or

indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah

kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka

mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung

atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.

Nie dan Verba dalam Handbook of Political Science mengemukakan bahwa:

31

(34)

governmental personel and/or the actions they take (partisipasi politik adalah

kegiatan pribadi warganegara yang legal yang sedikit banyak langsung

bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau

tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”.

Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik

adalah:

“Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam

kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara

langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public

policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam

pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau

kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat

Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya”. 32

Secara faktual fenomena Golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang

sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam berdemokrasipun juga

menghadapi fenomena Golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka

partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%, begitu pula di Dalam tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah

manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik (menggunakan hak

pilihnya) secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta demokrasi.

32

(35)

Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik pemilihnya berkisar

86%.

Secara kondisional faktor penyebab munculnya Golput di negara berkembang dan

di negara maju tentunya berbeda. Sebagaimana dikemukakan Varma (2001:295)

bahwa:

“Di Negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat

terhadap kinerja pemerintahan hasil Pemilu yang kurang amanah dan

memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat.

Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan

berbangsa dan bernegara, karena terjadi paradoks demokrasi atau terjadi

kontraproduktif dalam proses demokratisasi”.

Karenanya menghadapi fenomena Golput yang terjadi lebih disebabkan oleh

faktor kekecewaan publik terhadap kinerja partai politik dan pemerintah yang

belum efektif, maka menjadi pembelajaran bagi partai politik dan pemerintah

untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja demokrasi yang efektif dan

memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance.

Ketidakmampuan partai politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut,

maka fenomena Golput akan mengkristal menjadi faktor internal demokrasi yang

potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan politik

(political decay), sehingga akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana

partai politik sebagai mesin pebangkit partisipasi politik dalam demokrasi secara

moral ikut bertanggungjawab.

Dalam mindset Golput, demokrasi di Indonesia saat ini lebih dimaknai

(36)

mengganti pemerintahan melalui Pemilu secara reguler, dan belum menyentuh

substansi pembangunan demokrasi di bidang politik, ekonomi, dan sosial.

Fenomena tersebut, kiranya perlu mendapatkan apresiasi dan solusi oleh

para aktor-aktor pemerintahan (penyelenggara negara) menghadapi Pemilu tahun

2009 agar pesta demokrasi lebih efisien dan berkualitas secara sistemik, baik

dalam tataran input, process, dan output, dan malah bukan bersifat kontra

produktif dalam berdemokrasi. Dalam arti proses demokrasi malah menurunkan

tingkat partisipasi politik pemilih di satu sisi, dan di sisi lain malah makin

meningkatnya jumlah Golput yang berimplikasi negatif bagi pembangunan

kualitas demokrasi.

Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami

tentang pengertian budaya dan politik. Budaya berasal dari bahasa sansekerta

yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal. Kebudayaan diartikan

sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi. Kebudayaan adalah

segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya.

Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai yang berkembang

dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman dan tingkat pendidikan

dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu

negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu

sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam

membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Budaya politik (kebudayaan politik) merupakan dimensi psikologis dari

(37)

normatif yang ada di luar masyarakat, melainkan kultur politik yang berkembang

dan dipraktekkan oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap masyarakat

terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan masyarakat tersebut

mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya. Tingkat kesadaran

dan partisipasi mereka biasanya menjadi hal penting untuk mengukur kemajuan

budaya politik yang berkembang. Perbedaan budaya politik dalam masyarakat

secara garis besar dapat dibedakan

dalam tiga budaya politik, yaitu :

1. Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif)

2. Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)

3. Budaya politik partisipatif (aktif)

Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat,

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :

1. Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan

budaya politik masyarakat

2. Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera

masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar

3. Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem

politik yang lebih baik)

4. Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan

bebas)

5. Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial,

(38)

Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan, bahwa budaya politik

suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarakat akan pengetahuan,

perasaan, dan

1. Orientasi kognitif, merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem

politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah

pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah

2. Orientasi afektif, merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik

dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan

masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau

menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.

3. Orientasi evaluatif, merupakan keputusan dan pendapat masyarakat

tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan nilai moral

yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang

mereka miliki.

Ciri-ciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut :

1. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu

terutama hak pilih aktif

2. Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan

sikap :

a. Menerima sebagaimana adanya

b. Menolak dengan alasan tertentu atau

c. Ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa

(39)

4 Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau

musyawarah

Budaya politik yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal

ini di pengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing. Untuk

mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa dapat diukur melalui beberapa

dimensi yang berkembang dalam masyarakat, yaitu :

1. Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai

sistem politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak

geografis, dan konstitusi negaranya

2. Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam

membuat suatu kebijakan

3. Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini

dari masyarakat dan media massa kepada pemerintah

4. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dan bernegara, serta

pemahmanya akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga

negara

Perbedaan dimensi tersebut menurut Almond dan Verba melahirkan

beberapa tipe budaya politik yang berkembang dalam negara, yaitu :

1. Buda ya Politik Parokial (parochial political culture), dimana pada tingkat

tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut

diatas sangat rendah. Tidak ada peran-peran politik masyarakat yang

bersifat khusus, sehingga peranan politik, baik yang bersifat politis,

ekonomis, maupun religius sepenuhnya diserahkan kepada pengambil

(40)

suku/adat, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat yang peranannya tidak

dapat dipisahkan satu sama lain.

2. Budaya Politik Subjek (subject political culture), dimana pada tingkat

tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi pengetahuan dan

pemahaman cukup tinggi, tetapi masih bersifat pasif, artinya masyarakat

sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, namun mereka belum memiliki

orientasi dimensi pemahaman mengenai penguatan kebijakan dan

partisipasi dalam kegiatan politik, mereka tidak memiliki keinginan dan

kemauan untuk mencoba menilai, menelaah, atau mengkritisi kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah, mereka menerima apa adanya, sehingga

sikap masyarakat terhadap suatu kebijakan pemerintah terbagi menjadi dua

kelompok, ada yang menerima atau menolak.

3. Budaya Politik Partisipan (participan political culture), dimana pada

tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi

tersebut diatas lebih baik, masyarakat mulai bersifat aktif dalam

peran-peran politik, meskipun perasaan dan evaluasi masyarakat terhadap peran-peran

tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.

Clifford Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika

mengemukakan tentang tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :

1. Budaya Politik Abangan, yaitu budaya politik masyarakat yang lebih

menekankan pada aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap roh

halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Ciri khas dari budaya

(41)

kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an, diyakini dapat

mengusir roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Kelompok masyarakat

abangan sering kali berafiliasi dengan partai semacam PKI dan PNI.

2. Budaya Politik Santri, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan

pada aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam sebagai agama

mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat santri biasanya

diidentikan dengan kelompok masyarakat yang sudah menjalankan ibadah

atau ritual agama Islam. Pendidikan mereka ditempuh melalui pendidikan

pesantren , madrasah, atau mesjid. Kelompok masyarakat santri biasanya

memiliki jenis pekerjaan sebagai pedagang. Kelompok masyarakat santri

pada masa lalu sering kali berafiliasi dengan partai NU atau Masyumi,

namun pada masa sekarang mereka berafiliasi pada partai, seperti PKS,

PKB, PPP, atau partai-partai lainnya yang menjadikan Islam sebagai

dasarnya.

3. Budaya Politik Priyayi, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan

pada keluhuran tradisi. Kelompok priyayi sering kali dikontraskan dengan

kelompok petani, dimana kelompok priyayi dianggap sebagai kelompok

atas yang menempati pekerjaan sebagai birokrat (pegawai pemerintah).

Pada masa lalu kelompok masyarakat priyayi berafiliasi dengan partai

PNI, sekarang mereka berafiliasi dengan partai Golkar

Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, dengan sel kata

dari bahasa latin colere yang berarti ‘mengolah tanah’. Dari defenisi tersebut,

(42)

untuk mengolah tanah dan mengubah alam’.33

a. a general state or habits of mind (suatu kebiasaan umum atau

kebiasaan pemikiran)

Dalam bahasa Inggris, kata culture

dalam abad yang lalu mengalami pergeseran arti sebagai berikut:

b. The general state of intellectual development in society as a whole

(kedaaan umum dari pengembangan intelektual dari masyarakat secara

keseluruhan)

c. the general body of arts (bagian umum dari seni)

d. a whole way of life, material, intellectual and spiritual (keseluruhan

cara hidup, material, intelektual, dan spiritual)34

Menurut Linton (1940) Budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan,

sikap dan pola prilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan

oleh suatu anggota masyarakat tertentu35

Menurut Kluckhohn dan Kelly (1945) Budaya adalah semua rancangan

hidup yang tercipta secara historis, baik eksplisit maupun implisit, rasional,

irasional, dan nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang

potensial bagi perilaku manusia

.

36

33

Haryono, Drs. P. 1996. Memahami Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: Kanisius. Hal 46

34

Harsojo. Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung : Binacipta. Hal. 93

35

Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. hal 68

36

Keesing, Roger M. 1992. ibid

(43)

Menurut Kroeber (1948) Budaya adalah keseluruhan realisasi gerak,

kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan dan

perilaku yang ditimbulkannya37

Dapat disimpulkan bahwa arti kebudayaan amat luas, meliputi seluruh

kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus

didapatkan dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan

masyarakat38

Ciri-ciri budaya sebagai berikut .

Ciri-ciri budaya

39

1. Dapat dipelajari. :

2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun

tertulis, baik disengaja maupun tidak disengaja.

3. Memiliki simbol-simbol tertentu. Setiap budaya memiliki

simbol-simbol yang memiliki makna khusus biasanya

dimengerti oleh masyarakatnya.

4. Selalu berubah. Tidak ada budaya yang statis. Budaya suatu

masyarakat selalu dinamis dan terus berubah sesuai dengan

perkembangan Zamannya

5. Memiliki sistem integral. Setiap unsur kebudayaan terkait satu

dengan yang lain. Oleh sebab itu, satu unsur kebudayaan tidak

37

Keesing, Roger M. 1992. ibid

38

Harsojo. Prof. 1984.Op. cit. Hal. 93

39

(44)

dapat berdiri sendiri, tetapi menyangkut unsur-unsur yang lain

dalam suatu jaringan yang kompleks

6. Sifatnya adaftif. Kebudayaan berubah untuk beradaptasi

dengan dunia yang berubah.

Koentjaraningrat menyarankan agar kebudayaan dibedakan sesuai dengan

empat wujudnya. Dari bagian terluar sampai bagian terdalam adalah sebagai

berikut40

1. Bagian yang paling luar merupakan kebudayaan sebagai artifacts, atau

benda-benda fisik. Yakni berupa benda-benda hasil karya manusia

yang bersifat kongkret yang dapat diraba. Misalnya bangunan,

peralatan, dan benda teknologi. Sebutan bagi budaya dalam bentuk

konkret ini adalah kebudayaan fisik

2. Bagaian kedua terluar merupakan wujud dan tingkah laku manusia.

Wujud berikut ini masih bersifat konkret. Dapat difoto ataupun di

film. Semua gerak-gerak yang dilakukan dari waktu ke waktu.

Merupakan pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem.

Karena itu pola tingakah laku manusia disebut sistem sosial.

3. Bagian ketiga merupakan wujud gagasan dari kebudayaan, dan

tempatnya ada didalam diri warga kebudayaan. Kebudayaan dalam

wujud ini bersifat abstrak. Dan hanya dapat diketahui dan dipahami

setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik dengan wawancara

intensif atau dengan membaca literatur yang sudah ada. Kebudayaan

40

(45)

dalam wujud gagasan juga berpola berdasarkan sistem-sistem tertentu

yang disebut sistem budaya.

4. Bagian keempat merupakan bagian yang terdalam, merupakan

gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu

kebudayaan sejak usia dini dan karenanya sukar diubah. Istilah untuk

menyebut unsur-unsur kebudayaan yang menjadi pusat dari semua

unsur yang lain adalah nilai-nilai budaya, yang menentukan sifat dan

corak dari pikiran, cara berfikir, serta tingkah laku manusia sebuah

kebudayaan.

Unsur-Unsur Kebudayaan

Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi kedalam suatu jumlah unsur

yang tak terbatas jumlahnya. Unsur kebudayaan yang terkecil sampai kepada yang

merupakan gabungan yang terbesar bersama-sama merupakan unsur kebudayaan.

Cara menganalisa kebudayaan dalam strukturnya seperti tersebut diatas

sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan kebudayaan itu sendiri, dan dirasakan

terlalu mekanis. Akan tetapi cara analisa seperti itu dapat memberikan kepada

kita gambaran ilmiah yang lebih baik tentang hakekat kebudayaan.

Koentjaraningrat mengumukakan konsep unsur-unsur kebudayaan

menjadi 7, yaitu41

1. sistem religi dan upacara adat :

2. sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan

3. sistem ilmu pengetahuan

4. bahasa

41

(46)

5. kesenian

6. sistem ekonomi dan mata pencaharian

7. sistem alat dan teknologi

Ketujuh unsur kebudayaan tersebut sering disebut sebagai unsure

kebudayaan universal (kultural universal). Kesatuan kebudayaan dimanapun

dimuka bumi ini, mulai dari masyarakat yang sederhana samapai masyarakat yang

modern, akan dapat ditemukan tujuh unsur kebudayaan tersebut di dalamnya.

Mas’oed menyatakan politik pembangunan desa lebih tertuju pada aspek

politik dan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ditingkat desa. Program

pembangunan desa untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang

masa depan yang diinginkan. Proses pembangunan desa menghasilkan tata

kehidupan politik yang menumbuhkan demokrasi. Sehingga keputusan politik

terhadap program pembangunan pedesaan bertujuan untuk mengembangkan

kapasitas masyarakat, untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan

kesejahteraan masyarakat desa

Berkaitan dengan entitas ekonomi dalam politik pembangunan yaitu tidak

mengejar keuntungan pribadi atau kelompok untuk jangka pendek, tetapi

menanamkan hakekat pembangunan desa yang transparan, bertanggung jawab,

menguntungkan semua pihak dan berlangsung secara menyeluruh serta

berkesinambungan. Weaver, politik pembangunan menyangkut keberhasilan

pembangunan desa bisa dicapai, bila usahausaha pembangunan langsung

ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masy arakat menjadi lebih baik dan

masyarakat memiliki akses pada sumber-sumber ekonomi dan politik, serta

(47)

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi masyarakat pada partisipasi politik

1. Faktor Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan

jumlah keluarga.

2. Faktor Politik

Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu

produk akhir. Faktor politik meliputi :

a. Komunikasi Politik.

Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai

konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang

mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik.42

b. Kesadaran Politik.

Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi

antara dua pihak yang menerapkan etika.

Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian

seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat

kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat

menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau

pembangunan

42

(48)

c. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses pengambilan keputusan

Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap

proses pengambilan keputusan menentukan corak dan arah suatu

keputusan yang akan diambil

d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.

Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat

menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk

mengelola suatu obyek kebijakan. Kontrol untuk mencegah

dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan

politik kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of

directing. Juga mengemukakan ekspresi politik,

memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi

yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan

kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan

pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan

mengenai pembangunan

3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan

Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta

ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan

semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya

berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan

(49)

4. Faktor Nilai Budaya

Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk

demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro

1999:27) atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi,

pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.

6. Metode Penelitian 6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif, dengan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode dalam meneliti individu

maupun kelompok masyarakat, sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada

massa tertentu. Penelitian deskriptif ini meliputi pengumpulan data melalui daftar

pertanyaan (kuisioner). Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah sikap atau

pendapat individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui

daftar pertanyaan dalam survei, wawancara ataupun observasi.43

6.2. Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilaksakan di Kecamatan Tarutung

Kabupaten Tapanuli Utara

6.3. Populasi dan Sampel 6.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di

Kecamatan Tarutung yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak

menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2009. adapun jumlah populasi

dalam penelitian adalah 5934 jiwa.

43

Gambar

Tabel.1 Jumlah Data Pemilih dan Penggunaan Hak Pilih
Tabel 2.1

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini ditemukan bahwa perubahan dalam sistem pemilu 2009 mempengaruhi penilaian masyarakat di dapem IV Kabupaten Nias terhadap tingkat akuntabilitas anggota

Nurmalina Panjaitan, NIM.3123311039, peran partai HANURA dalam menanggulangi GOLPUT (golongan putih) pada pemilihan legislatif tahun 2014 kecamatan kualuh hulu

Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi minat pemilih pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kota Pematangsiantar. Seberapa besar pengaruh sosialisasi media ruang

Hasil dari analisis dalam penelitian ini menemukan 5 hal utama tentang apa-apa saja yang menjadi peran elit politik di partai golkar dalam pemenangan pemilu legislatif di

Dimana kopi merupakan salah satu komoditi unggulan di Sumatera Utara menarik tentunya untuk meneliti apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan

Sutar Keterangan Telah Selesai Melaksanakan Penelitian Dari Rumah6. Sakit Umum Daerah Tarutung Kabupaten

Penelitian ini mendiskusikan tentang perilaku pemilih yang mempengaruhi perubahan suara partai politik pada pemilu legislatif 2009, 2014, dan 2019. Pendalaman partai politik

Dimana kopi merupakan salah satu komoditi unggulan di Sumatera Utara menarik tentunya untuk meneliti apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan