ANATOMI HIDUNG DAN
SINUS PARANASAL
Oleh
dr. FERRYAN SOFYAN., M.Kes., Sp-THT-KL
NIP : 198109142009121002
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I EMBRIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL 1
BAB II ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL 3
2.1 Hidung bagian luar 3
2.1.1 Permukaan hidung luar 4
2.1.2 Rangka Hidung bagian luar 6
2.1.3 Otot Hidung 9
2.1.4 Vaskularisasi Hidung luar 9
2.4 Fisiologi Hidung 32
2.5 Fisiologi Sinus Paranasal 40
BAB I
EMBRIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS
Pada akhir minggu ke 4 mulai tampak tonjol-tonjol wajah yang terutama di
bentuk oleh mesenkim yang berasal dari krista neuralis dan terutama dibentuk oleh
lengkung faring pertama. Tonjol maksila dikenali disebelah lateral stomodeum dan
tonjolan mandibula di sebelah kaudal stomodeum. Kemudian selama minggu ke 5,
plakoda-plakoda hidung mengalami invaginasi membentuk lobang hidung. Plakoda
hidung ini membentuk suatu rigi jaringan yang mengelilingi masing-masing lobang
dan membentuk tonjol hidung, dibagian luar lobang adalah tonjol hidung lateral serta
di tepi dalam adalah tonjol hidung medial.1,2
Kemudian selama 2 minggu selanjutnya, tonjol maksila terus bertambah besar
ukurannya dan tumbuh kearah medial sehingga mendesak tonjol hidung medial
kearah garis tengah. Selanjutnya, celah antara tonjol hidung medial dan tonjol
maksila menghilang dan keduanya bersatu. Bibir atas dibentuk oleh kedua tonjol
hidung medial dan kedua tonjol maksila itu. 1,2
Mula-ula tonjol maksila dan tonjol hidung lateral terpisah oleh sebuah alur
yang dalam disebut alur nasolakrimal yang akan membentuk ductus nasolacrimalis
dimana ujung atasnya membentuk saccus lacrimalis. Kemudian tonjolan maksila akan
membesar dan membentuk pipi dan maksila. 1,2
Hidung terbentuk darl tonjol-tonjol wajah kelima, dimana tonjolan frontal
akan membentuk jembatannya, kemudian gabungan tonjol-tonjol hidung medial
membentuk lengkung cuping dan ujung hidung dan tonjolan hidung lateral akan
membentuk sisi-isinya (alae) 3
Pada minggu ke 6, lubang hidung makin bertambah dalam, sebagian karena
tumbuhnya tonjol-onjol hidung yang ada disekitarnya dan sebagian lainnya karena
oronasalis akan memisahkan kedua lubang hidung tadi dari rongga, mulut primitif,
melalui foramina yang baru terbentuk, yakni koana primitive. Koana ini terletak disisi
kanan dan kiri garis tengah dan tepat di belakang palatum primer.3
Sinus-inus udara paranasalis berkembang sebagai divertikula dinding lateral
hidung dan meluas kedalam maksila, tulang ethmoid frontalis dan tulang sfenoid.
Sinus-inus ini mencapai luas maksimumnya pada masa pubertas dan dengan
BAB II
ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
Hidung secara garis besar terbagi dari : piramid hidung (hidung luar) dan
rongga hidung dengan vaskularisasi dan persarafannya. Secara fisologi hidung
berfungsi sebagaai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara, penyaring udara,
indera penciuman, resonansi udara, membantu proses bicara dan reflek nasal
2.1 HIDUNG BAGIAN LUAR 4,5
Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dan bibir
atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu :
a. Kubah tulang, yaitu bagian paling atas yang tidak dapat digerakkan.
b. Kubah kartilago, bagian di tengah, yaitu bagian yang dapat sedikit
digerakkan.
c. Lobulus hidung, bagian paling bawah, merupakan bagian yang paling
Gambar 1 Hidung Bagian Luar
2.1.1 PERMUKAAN HIDUNG LUAR 4
Hidung luar disebut nasal piramid karena bila diproyeksikan dari depan
menyerupai piramid triangular. Adapun bagian-bagiannya dari atas ke bawah
adalah pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
(apeks/tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior/nares eksterna).
Bagian atas yang berhubungan dengan dahi disebut root, dan bagian
bawah berupa sudut bebas disebut apeks atau up, serta bagian yang
menghubungkan keduanya disebut dorsum nasi. Bagian lateral dari hidung
disebut nasafacial angels, sedangkan bagian yang berhubungan dengan bibir atas
luar. Bagian hidung yang berhubungan dengan luar disebut nares anterior, dan
bagian yang berhubungan dengan belakang disebut nares posterior. Ukuran nares
posterior lebih besar dari pada nares anterior, yaitu : tinggi 2,5 cm dan lebar 1,25
cm.
Hubungan antara dorsum dengan puncak hidung menentukan bentuk
hidung luar, bila bentuk lurus disebut tipe Grecian nose, yang membentuk sudut
disebut tipe Roman nose, dan yang melekuk/pesek dinamakan tipe Pug nose.
Variasi dari tipe hidung ini bersifat individual dan familial. Sedangkan
perbandingan lebar kedua ala dengan panjang hidung, kemudian dikalikan 100
disebut Nasal Indeks. Bila < 47 disebut hidung sempit (lephtorhine), biasanya
pada ras kulit putih. Bila nasal indek > 35 disebut Platyrhine, biasanya pada ras
kulit hitam dan diantara keduanya disebut Messorrhine (intermediate), yang
terdapat pada ras kulit kuning.
Pada kulit hidung dijumpai kelenjar lemak (glandula sebasea) dan kelenjar
keringat (glandula sudorifera), ke arah tip kulit lebih tebal dan banyak
mengandung kelenjar lemak serta lebih erat berhubungan dengan kartulago
hidung bila dibandingkan dengan kulit diatasnya. Pada daerah rhinnion, kulit
diatasnya lebih tipis.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan hidung luar :
Nasion titik pertemuan sutura frontonasalis
Supra tip adalah daerah pada dorsum nasi antara rhinion dan tip.
Filtrum adalah cekungan dangkal hidung dan bibir atas yang memanjang.
2.1.2 RANGKA HIDUNG BAGIAN LUAR 4,5
Kerangka hidung bagian luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat serta beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Bagian tulang biasanya sempit dan tebal di bagian atas, tetapi lebih lebar
di bagian bawahnya. Terdiri dari tulang hidung (as nasalis), prosessus frontalis
as maksila dan prosesus nasalis as frontalis.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepadang kartigo nasalis lateralis inferior, beberapa pasang
kartilago alar minor dan tepi anterior septalis/kuadrangularis.
Os Nasal
Tampak sempit dan tebal di bagian atas, dan tipis pada bagian bawah.
Tulang ini bersatu dibagian tengah. Adapun batas-batasnya sebelah atas
berartikulasi dengan prosesus nasalis os frontalis, bagian lateralnya
berhubungan dengan prosesus nasalis as frontalis, lamina perpendikularis os
etmoid dan kartilago septalis.
Kartilago Lateralis Superior
Terletak antara os nasal dan apeks sepanjang dorsum nasi, tampak celah
diantara kartilago ini dengan septum. Pada bagian kranial saling berhubungan di
garis tengah, demikian dengan septum, sehingga kartilago ini sering disebut
kartilago nasoseptal.
Tulang rawan ini berbentuk triangular. Adapun batas-batasnya adalah
bagian superior berhubungan dengan os nasal dan prosesus frontalis os maksila,
bagian inferior berhubungan dengan permukaan kartilago lateralis inferior yang
dipisahkan oleh jaringan fibrosa dan memungkinkan pergerakan alas nasi. Pinggir
bebas dari kartilago ini tampak dari kavum nasi bila diangkat dengan retraktor
sebagai lumen nasi atau lumen vestibuli disebut juga nasal valve atau katup
hidung, yang terletak diantara vestibulum dan kavum nasi.
Kartilago Lateralis Inferior/Kartilago Alaris Mayor
Bentuk dan ukurannya bervariasi pada setiap individu, umumnya
berbentuk tapal kuda, dan menjaga agar apertura nasalis tetap terbuka. Kartilago
ini terdiri dari crus medial dan crus lateral. Crus medial lebih lemah, terletak pada
tepi kaudal septum nasi dan sebagian lagi pada membrane kolumella, sedangkan
Kartilago ini berguna untuk mempertahankan bentuk hidung dari lobulus
hidung atau sepertiga bawah hidung luar. Mobilitas lobulus hidung penting untuk
ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan bersin.
Gambar 2 rangka Hidung Luar (netter, Atlas of Human Anatomy)
Kartilago Sesamoidea
Terletak pada sisi lateral antara kartilago lateral superior dan kartilago
lateralis inferior. Kartilago ini dapat dijumpai satu atau lebih.
Perlekatan hidung bagian luar pada tulang berbentuk segitiga seperti buah
pir disebut apertura piriformis, dengan batas pada laterosuperiornya dibentuk oleh
alveolaris, os maksila, dan pada tengahnya terdapat bagian yang menonjol disebut
spina nasalis anterior.
2.1.3. OTOT HIDUNG 4,5
Pada umunya otot hidung terdiri dari muskuli konstriktor dan dilatator,
dimana menentukan poisi dari ala nasi dan nares anterior. Otot ini terlihat saat
bersin, bernafas, marah dan ketakutan.
Adapun otot konstriktor yaitu M. nasalis (pars transversa dan pars
alaris). M. depresos alae nasi, M. depresor septi nasi. Sedangkan otot dilatator
terdiri dari M. procerus yang berhubungan dengan alis mata, M. levator labii
superior alae nasi dan M. dilatator nasi anterior dan posterior.
2.1.4. VASKULARISASI HIDUNG LUAR 1,4,5
Arteri yang memperdarahi hidung luar terutama berasal dari cabang
fasialis (A. Maksilaris eksterna), yang berjalan di atas ala nasi dan memperdarahi
daerah hidung dan septum nasi bagian bawah. Arteri nasalis dorsalis (cabang A.
Optalmika) menembus septum orbitalis di atas palpebra bagian medial lalu
berjalan ke bawah pada sisi hidung dan beranastomosis dengan cabang nasalis A.
Fasialis, pada perjalanannya memberi cabang untuk sakus lakrimalis.
Pembuluh darah lainnya adalah cabang kecil dari A. Nasalis eksterna (dari A.
dan memperdarahi kulit sepanjang dorsum nasi sampai ke apeks. Sedangkan
pembuluh balik dialirkan melalui V. Fasialis anterior dan V. Optalmika
Gambar 3. Vaskularisasi Hidung (Netter)
2.1.5. PERSYARAFAN HIDUNG LUAR 4
Persarafan untuk hidung bagian luar untuk kulit dan otot-ototnya meliputi
:
2.1.5.1 Kulit hidung
Kulit hidung dari pangkal sampai bridge dan sisi atas hidung diprsarafi oleh
cabang nasosiliaris dan frontalis dari n. oftalmika, sebagian cabang-cabang
Kulit bagian bawah dipersarafi oleh ramus-ramus yang berasal cabang
infraorbitalis dan n. maksilaris, sedangkan cabang nasalis eksterna dari
n.etmoidalis anterior muncul diantara tulang dan kartilago nasalis lateralis yang
mempersarafi kulit diatas dorsum nasi menuju ke bagian bawah dari puncak
hidung.
Gambar 5 Persarafan untuk Hidung Luar
2.2 HIDUNG BAGIAN DALAM (KAVUM NASI) 4,5
Struktur ini membentang dan os internum di sebelah anterior hingga koana
di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Secara vertikal
Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah yang membagi
rongga hidung (kavum nasi) membagi secara anatomi menjadi dua buah fossa
nasalis. Nares anterior terbuka kedalam vestibulum nasi.
Vestibulum nasi adalah daerah dibawah alae nasi yang batas medialnya
septum nasi tidak begitu jelas, sedangkan batas lateral merupakan suatu
penonjolan yang memisahkan dan menandai ujung bawah kartilago lateral
superior disebut lumen nasi atau lumen vestibuli. Vestibulum dilapisi kulit yang
ditumbuhi rambut halus (vibrissae) dan mengandung kelenjar lemak dan keringat
yang terdapat pada bagian kaudalnya.
Bagian posterior hidung adalah nares posterior/koana dibentuk oleh
lamina horizon os palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh
prosesus vaginalis dan bagian luat oleh lamina pterigoideus sfenoidalis. Kedua
fossa nasalis dilapisi membran luar oleh lamina pterigoideus sfenoidalis. Kedua
fossa nasalis dilapisi membran mukosa yang melekat erat pada periostium dan
perikondrium. Sebagian besar membran mukosa tersebut banyak mengandung
pembuluh darah dan sejumlah kelenjar mukoserous. Epitel yang melapisi
membran mukosa adalah epitel pseudostratified kolumnar bersilia.
Rongga hidung dibentuk mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior, dan superior. Dalam hal ini dibahas rongga hidung atas
Gambar 6 tulang dan kartilago hidung
2.2.1. DINDING MEDIAL (SEPTUM NASI) 4,5
Septum nasi membagi rongga hidung menjadi 2 bagian atas ruang kiri dan
kanan. Struktur ini terbentuk dari bagian tulang, bagian kartilago dan sedikit dari
bagian membranosa (pada anterior)
Berdasarkan letak, di bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila
dan kolumedia membran, bagian posterosuperior oleh lamina perpendikularis os
etmoid, bagian posteroinferior oleh os vomer, krista os maksila dan krista os
2.2.1.1Bagian Tulang dan Kartilago
Bagian tulang adalah lamina perpendikularis on etmoidalis, os vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatum.
Lamina perpendikularis os emoidalis
Membentuk 1/3 atas dari septum nasi. Tulang ini melanjuutkan keatas dan
membagi kavum nasi menjadi sisi kiri dan kanan. Pada bagian anterior
berhubungan dengan os nasal, di posterior dengan os sphenoid, di posteroinferior
dengan os vomer, dan dengan kartilago septal di anteroinferior.
Os Vomer
Membentuk bagian posterior dan inferior septum nasi dan bersatu dengan
2 ala melalui rostrum sfenoid. Berartikulasi dengan korpus os sfenoid dan dengan
lamina perpendikularis di atas, sedangkan pada bagian bawah berartikulasi
dengan krista os maksila dan os palatum.
Krista anasalis os maksila dan krista nasalis os palatina
Bagian kartilago terdiri dari kartilago septum (lamina kuardrangularis) dan
kolumella. 3) kartilago vomeronasal.
Kartilago quadrilateral (Kartilago septum)
Membentuk anterior septal angle. Pada sisi atas berhubungan dengan
adanya pergerakan. Dilapisi serat-serat kolagen dan adanya fasial attachment
yang memberikan efek pseudoarthosis. Artikulasio antara perikondrium dan
periostium krista nasalis diperkuat oleh jaringan ikat, sehingga memudahkan
pergerakan dan rotasi dan dapat mengurangi bahaya fraktur/tekanan pada dorsum
nasi.
Kolumella
Nama lainnya kolumna atau septum mobil atau septum membran. Bagian
ini merupakan ujung bebas dari septum nasi, dan mengandung kartilago dan
diperkuat oleh krus medial dari kartilago alaris kiri dan kanan. Kolumella tidak
melekat erat pada pinggir bawah kartilago septal, sehingga memberikan
keuntungan dalam submukosa pada septum deviasi.
Kartilago vomeronasal
Kartilago ini merupakan kartilago kecil pada kedua sisi kartilago septal
sepanjang batas inferior, dimana terdapat organ vomeronasal dari “Jacobson”
yang rudimenter. Pada manusia hanya merupakan kantung pendek sepanjang 2-6
mm dan ditutupi oleh epitel yang sama dengan epital kavum nasi.
2.2.1.2Vaskularisasi dinding medial
Kavum nasi mendapat perdarahan dari A. carotis eksterna dan interna.
Dinding peosterosuperior septum mendapat perdarahan dari cabang sfenopalatina
A. maksilaris. Bagian anteroinferior septum mendapat persarafan dari A. palatina
memperdarahi daerah anterior, dan A. etmoidalis anterior dan posterior (cabang
A. carotis interna) memperdarahi bagian superior. Semua pembuluh ini
membentuk anyaman di mukosa membentuk pleksus kieselbach dan, terletak di
Little area pada bagian anterior septum, lokasi ini tempat tersering dari
epistaksis.
Sistim aliran vena bagian posterior melalui vena-vena sfenopalatina dan
bagian anterior melalui vena facialis. Vena dari etmoidalis anterior dan posterior
dari bagian superior, menuju sistim oftalmikeus superior. Perlu diperhatikan ada
hubungan langsung dengan vena-vena pada permukaan orbital dari lobus frontalis
melalui lamina kribiformis, dan via foramen caecum ke sinus sagitalis superior.
2.2.1.3Persarafan dinding medial
Umumnya sensasi utama septum oleh cabang trigeminal N. trigeminal. N.
Nasopalatina masuk melalui foramen sfenopatina menyebrang atap hidung ke
bagian atas septum, dan turun ke depan dan bawah ke kanalis insisivus, dan
mempersarafi palatum durum. Bagian posteroinferior dipersarafi dari cabang
nervus canalis ptergoideus, dan posteroinferior dari cabang anterior N. palatina
mayor. Pada anterosuperior dari septum dari N. nasosiliar cabang dari N.
etmoidalis anterior, sedangkan anteroinferior septum menerima dari N. alveolaris
2.2.2. DINDING INFERIOR HIDUNG 4
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan prosesus horizontal
os palatum.
2.2.3. DINDING SUPERIOR HIDUNG 4
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Terdiri dari
kartilago lateralis superior dan inferior, os nasalis, prosesus nasalis os maksila,
korpus os sfenoid, dan korpus os etmoid.
2.2.4. DINDING LATERAL HIDUNG 4
Struktur dinding lateral lebih komplek.l dindingnya sebagian berbatasan
dengan sinus paranasal dan terdapat tiga buah penonjolan yaitu konka superior,
konka media dan konka inferior. Pada 60% kasus dijumpai adanya konka
suprema yang terletak di atas konka superior. Diantara konka dengan dinding
lateralnya terdapat celah yang disebut meatus. Penamaan meatus ini sesuai
Gambar 7. Dinding lateral Hidung
2.2.4.1 Rangka dinding lateral hidung
Struktur kerangka yang membentuk dinding lateral dibentuk oleh
permukaan dalam os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media
bagian dari os etmoid, konka inferior yang merupakan tulang tersendiri, lamina
perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.
Penonjolan pada bagian anterior konka media adalah agger nasi yang
dibentuk oleh sel-sel agger nasi yaitu sel-sel etmoid paling anterior. Penonjolan
lain berada di sebelah anferior agger nasi dan anterior dari prosesus uncinatus
disebut tulang nasolakrimalis, yang dibentuk oleh duktus nasolakrimalis yang
Gambaran histologi dari dinding lateral, sebagian besar dilapisi epitel
kolumnar bersilia meskipun ada variasi di daerah bagian atas berupa epitel
offaktorius yang menyebar dari lempeng kribiformis. Gambaran metaplasia
skuamosa sering ditemukan pada dinding lateral yang aliran udaranya besar
seperti konka inferior dan ditemukan pada dinding lateral yang aliran udaranya
besar seperti konka inferior dan anterior.
2.2.4.2 Bagian mukosa
Konka superior dan meatus superior
Berasal dari massa lateralis dari os etmoid, dengan ukuran panjang + ½
dari konka lainnya (+ 2,5 cm). Letaknya dibawah lamina kribiformis os etmoid,
anterior terhadap sinus sfenoidalis. Pada bagian pasterosuperior konka ini bagian
fossa nasal yang disebut resesus sfenoetmoidalis, sebagai suatu lekukan kecil
tempat muara ostium sinus sfenoid pada dinding posterior resesus.
Konka ini dilapisi sel olfaktorius yang mengandung sel sensoris nervus
olfaktorius, dan dilapisi membran mukosa yang tipis dan kurang vaskularisasi.
Meatus superior merupakan muara dari drainase sinus etmodalis bagian posterior
dengan satu atau lebih muara dalam berbagai ukuran.
Konka media dan meatus media
Konka media termasuk bagian dari os etmoid dan melindungi meatus
terdapat resesus frontalis sebagai muara duktus nasofrontalis dari sinus frontalis,
dan ostium dari beberapa seletmoidalis anterior. Sedikit ke depan diatas
perletakan konka media (kira-kira pertengahan dorsum nasi dengan ujung konka
media) terdapat ager nasi yang merupakan surgical landmark batas anterior sinus
etmoidalis anterior.
Meatus media memanjang dimulai dari resus frontalis, lalu ke bawah dan
belakang membentuk bagian yang berhubungan dengan ramus desenden, suatu
struktur oleh bula etmoid, prosesus uncinatus, dan hiatus semilunaris, serta
berfungsi pada sistim drainase sinus.
Konka inferior dan meatus inferior
Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan berukuran paling besar
dan dominan pada dinding lateral hidung. Konka ini dilapisi membran mukosa
yang tebal dan mengandung pleksus venosus yang melekat erat pada periostium
dan perikodrium. Letaknya memanjang dan meluas dari corpus os maksila ke
simpel etmoidalis pada lamina perpendikularis os etmoid, sampai berakhir di
inferior terhadap konka media pada os palatina kira-kira 1 cm anterior orificium
tuba auditiva. Pada bagian sentral melengkung sehingga meatus pada tempat
tersebut paling lebar dan tinggi, sedangkan di bagian anterior dan posteriornya
menyempit. Bagian konka cembung ke arah septum. Tulang konka ini
mempunyai bentuk berlubang-lubang seolah-olah bersel, sehingga penampakan
Struktur penting dari meatus inferior adalah muara (ostium) duktus naso
lakrimalis. Letak ostium biasanya 1/3 bagian anterior dinding lateral meatus
inferior, namun dapat terjadi letak yang lebih tinggi, atau lebih bawah melekat
pada bada batas meatus, atau lebih bawah lagi. Muara duktus ini juga bervariasi,
dari bentuk oval sempit sampai bulat besar, bentuknya seperti formasi papilla,
membentuk fossa yang dangkal, atau lekukan yang dalam, dan pada beberapa
keadaan dapat terjadi duplikasi. Ostium letak tinggi cenderung lebih besar,
sedangkan letak rendah kebanyakan sempit dengan duktus nasolakrimalis yang
berjalan secara oblik melalui membran mukosa dan biasanya dilindungi oleh
lipatan membran mukosa yang disebut plika lakrimalis atau katup dari ‘Hassner’
Sel agger nasi
Sel agger nasi membentuk batas anterior resesus frontalis, berada tepat
pada potongan koronal yang sama dengan duktus nasolakrimalis. Sel yang
membesar dapat meluas ke sinus frontalis menyebabkan penyempitan resesus
frontalis. Sel agger nasi dapat pula terdorong ke atas dan kedalam dasar sinus
frontalis menyebabkan sumbatan drainase sinus frontalis.
Resesus Frontalis
Letak resesus frontalis dengan batas anterior yaitu dinding depan agger
perlekatan bula etmmoid pada dasar otak, batas lateral dibatasi oleh lamina
papirasea dan bagian medial oleh konka media.
Perlekatan atas dari prosesus uncinatus menentukan pola drainase sinus
frontal. Umumnya perlekatan atas prosesus unsinatus adalah lamina papirasea
sehingga infundibulum bagian atas buntu dan berakhir pada lamina papirasea,
sebagai resesus terminalis. Pada keadaan ini resesus frontalis berdrainase ke
dalam rongga antara unsinatus dan konka media.
Prosesus Uncinatus
Berbentuk bumerang, merupakan tulang tipis yang melengkung di
posterior tulang lakrimal dan di sebelah bawah pada ujung superior
konkainferior, berjalan sejajar dengan lengkung permukaan anterior bula
ethmoid. Sisi belakang prosesus unsinatus merupakan sisi yang bebas. Ke arah
atas dapat melekat pada lamina pipirasea, atap sinus etmoid, atau konka media.
Pada tempat bersatunya prosesus uncinatus dengan lamina papiracea,
infundibulum os etmoid berjalan diatasnya sampai “blind pounch” yang disebut
resesus terminalis.
Bula Etmoid
Merupakan sel etmoid yang paling utama, dapat diidentifikasi di belakang
prosesus uncinatus. Ukurannya bervariasi dan dapat berpneumatisasi pada 60-705
anterior, sedangkan di sebelah inferior dan posterior bersatu dengan lamina
basalis.
Hiatus Semilunaris
Terdapat celah dua dimensi diantara sisi belakang unsinarus dan aspek
anterior bula etmoid, disebut hiatus semilunaris anterior dan celah antara aspek
posterior bula etmoid dan lamina basalis hiatus semilunaris posterior. Hiatus
semilunaris anterior membuka ke lateral ke dalam ruangan tiga dimensi yang
disebut infundibulum yang berbatasan dengan prosesus unsinatus di sebalah
depan, bula etmmoid di sebelah posterior dan lamina papirasea di lateral.
Infundibulum Etmoid
Bagian ini terlihat jelas dengan mengangkat prosesus unsinatus.
Infundibulum dapat meluas ke anterior dan superior menuju resesus frontal,
namun umumnya infundibulum menjadi resesus yang buntu karena unsinatus
melekat pada laminapapirasea di bagian superior. Resesus ini disebut resesus
terminalis. Pada keadaan tersebut, sinus frontalis tidak berdrainase ke
infundibulum tetapi berdrainase ke medial prosesus unsinatus dan lateral konka
2.2.4.3 Vaskularisasi dinding lateral hidung
Perdarahan dinding lateral hidung berasal dari beberapa sumber yang
merupakan canamg dari A. karotis interna dan A. karotis eksterna. Cabang nasalis
posterior dari A. sfenopalatina berjalan bersama saraf melalui foramen
sfenopalatina dan memperdarahi konka. Arteri etmoidalis anterior merupakan
cabang dari A optalmika, berada di atap sinus etmoid dan membentuk batas
posterior dari resesus frontalis, memperdarahi sepertiga bagian anterior dinding
lateral hidung. Arteri berada di bidang koronal yang sama dengan dinding
anterior bula etmoid dan beranastomosis dengan arteri sfenopalatina.
Sesudah meninggalkan orbita melalui foramen etmoid anterior, arteri ini berjalan
di antara sel etmoid dan masuk ke olfactory groove untuk kemudian masuk ke
dalam celah sempit di sisi krista galli dan kembali melalui lamina kribosa untuk
masuk ke rongga hidung. Arteri Etmoidalis posterior berjalandi antara atap sinus
sfenoid dan sinus etmoid posterior. Arteri ini memperdarahi konka superior.
2.2.4.4 Inervasi Dinding Lateral Hidung 4,5
Nervus trigeminus cabang oftalmika (NV.1)
Saraf ini disebut juga saraf nasosiliaris, memberikan cabang ke mukosa
hidung, termasuk dinding lateral hidung. Cabang dari nervus ini yang
mempersarafi dinding lateral hidung adalah :
1. N. etmoidalis anterior
Nervus trigeminus cabang maksilaris (NV.2)
Saraf ini menerima sensasi dari sebagian besar fossa nasalis dan hidung.
Setelah melalui foramen sfenopalatina, saraf ini akan bersalingan di gangglion
sfenopalatina untuk kemudian mempersarafi dinding lateral hidung, septum nasi,
palatum dan nasofaring.
Nervus Olfaktorius (N 1)
Membran mukosa olfaktorius mengandung sel-sel yang berasal dari
serabut saraf olfaktorius yang dilapisi neuroepitelium. Bagian basal sel ini tipis
dan berjalan ke atas untuk membentuk pleksus, serabut saraf tidak bermielin yang
mangandung lebih kurang 20 erabut saraf. Serabut saraf ini menembus lamina
kribiformis dan menuju ke bulbus olfaktorius pada setiap sisi simpel galli. Segera
setelah lahir, serabut saraf ini berkurang 1 % per tahun.
Sistim Limfatik
Sistim limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh
anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di
sepanjang pembuluh faialis yang menuju leher. Jaringan ini hampir mengurus
seluruh bagian hidung anterior-vestibulum dan daerah prekonka.
Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung,
menggabungkan ketiga saluran utama daerah hidung belakang saluran superior,
bagian hidung yang berkaitan, berjalan diatas tuba eustachius dan bermuara pada
kelenjar retrofaringea. Kelompok media, berjalan dibawah tuba eustachius,
mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju
rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari seprum dan
sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe sepanjang pembuluh
jugularis interna.
2.3 ANATOMI SINUS PARANASAL 4,5,6
Sinus paranasalis berkembang sebagai suatu rongga berisi udara disekitar
rongga hidung yang dibatasi tulang wajah dan kranial. Memiliki struktur tidak
teratur, dan seperti halnya lapisan epitel pada hidung, tuba eustachius, telinga
tengah dan regio respiratorius dari faring, sinus paranasal dilapisi mebrana
mukosa dengan lapisan epitel pseudostratified kolumnar bersilia (respiratory
epitelium), namun dengan karakteristik lebis tipis dan kurang vaskularisasi bila
dibandingkan dengan membran mukosa hidung.
Secara klasik sinus paranasal dibagi dalam 4 pasang sinus, yaitu : sinus
frontalis, sinus etmmoidalis, sinus maksilaris dan sinus sfenoidalis. Berdasarkan
kepentingan klinis, sinus paranasal dibagi 2 kelompok, yaiu kelompok anterior
meliputi inus frontalis, sinus maksilaris dan sinus etmoidalis anterior yang
bermuara di bawah konka media, serta kelompok belakang meliputi sinus
etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis yang bermuara pada beberapa lokasi di
Gambar 8. Sinus Paranasal ( url : http://natomi.med)
2.3.1 Sinus Frontalis
Tulang frontal membentuk dahi dan atap orbita dan mengalami
pneumatisasi berbagai derajat, juga membentuk atap sinus etmoid dan dikenal
sebagai fovea etmoidalis ossiis frontalis, di daerah ini tulang relatif tabel dan
lebih tipis di atap orbita Kalvaria anterior mengalami penebalan dari 4 mm saat
baru lahir menjadi 16 mm pada waktu dewasa.
Epitel respiratorius dari dinus frontalis mempunyai sedikit sel goblet
(5900/mm2) dan beberapa kelenjar seromusinus (0.08/mm2).
Sinus frontalis mendapat suplai darah dari A. supraorbitalis dan A.
sfenoparietal, serta anastomosis vena pada takik supraorbita yang
menghubungkan pembuluh darah oftalmikus superior dan supraorbitalis.
Inervasi dan sinus frontalis adalah dari n. surpraorbitalis, dan aliran limfe
menuju kelenjar submandibula.
2.3.2 Sinus Etmoidalis
Tulang yang membentuk terdiri dari 5 bagian yaitu : dua labirin
etmoidalis, menutupi etmmoidalis sisi lain dari lamina perpendikularis bagian
atas dari tulang septum nasi. Tulang lain lamina cribiformmis, perluasan garis
tengah superior krista gali.
Lamina kribifoormis membagi rongga hidung dari rongga kranial anterior.
Penetrasi pada lamina ini diberi nama sesuai dengan asalnya, seperti serabut
olgakrorius, pembuluh darah dan saraf etmoidalis. Dua buah ala anterior
melengkapi foramen saekum yang sering meneruskan cabang vena sinus sagitalis
superior. Atap labirin etmmoid teruma menempati os frontal. Titik pertemuan os
frontal dan os etmoid yaitu diatas ceruk kribiformis pada ketinggian bervariasi
(1-7 mm) dan atap-atap etmooid disebut sering asimetris (10% Dessi et al, 1994)
dengan atap sebelah kanansering lebih rendah dari kiri.
Sepertiga anterior konka media melekat secara vertikal pada basis kranii
di sisi lateral cerk kribiformis dengan os frontal membentuk atap os etmmoid.
medial maksila. Antara 2 bagian konka ini terdapat lempeng oblik dari tulang
lamella basalis yang membagi labirin etmmoid menjadi sel anterior dan posterior.
Labirin etmoid merupakan hasil pengumpulan dan pembelahan dari
sel-sel. Dinding lateralnya membentuk lamina orbitalis atau lamina papiracea.
Lamina orbitalis ini sangat tipis dan akan membelah terutama pada orang sangat
muda atau sangat tua. Sel-sel anterior umumnya lebih kecil dan banyak (2-8 sel)
dari pada sel posterior (1-5).
Sel etmoidalis posterior dapat meluas ke lateral os sphenoid sampai 1,5
cm dari dinding posterior dari dinding anterior sfenoid. Sel etmid melakukan
pneumatisasi dinding orbita, membentuk sel haller yang dapat mengganggu
infundibuloetmoidalis (Haller, 1996). Proses pneumatisasi terjadi pada sistim
anterior + 75 % dan sel posterior sebanyak 30%.
Sinus etmoidalis dilapisi oleh sel epitel respiratori kolumnar brsilia yang
tipis. Ketebalan sel goblet rendah dibandingkan dengan sinus maksilaris, dengan
rata-rata 6500/mm2. Kelenjar seromusin tuboalveolaris ditemukan sepanjang
mukosa lebih banyak dietmoid bila dibandingkan sinus lain.
Perdarahan didapat dari A. sfenopalatina dan etmoidalis anterior dan
posterior serta melalui vena yang sama. Persarafannya oleh N. etmmoidalis
anterior dan posterior serta cabang-cabang orbita dari ganglion pterygopalatina.
Aliran limfe menuju nodus submandibuler dan posterior menuju nodus
2.3.3 Sinus Maksilaris
Tulang maksilaris adalah tulang muka terbesar kedua, membentuk
sebagian besar atap mulut, dinding lateral dan dari dasar rongga hidung serta
dasar dari orbita. Biasanya digambarkan berbentuk piramid kaudrilateral dan
berisi sinus maksilaris. Sinus ini relatif simetris dan jarang tidak ada.
Mempunyai 4 prosesus yaitu prosesus zygomatikus, P frontalis, P. palatina
dan alveolaris. Terdapat artikulasi dengan delan tulang yaitu maksila, zygoma
frontal, palatina, etmoid, lakrimal, konka inferior dan os nasal. Permukaan
anterior memiliki elevasi dan depresi, berhubungan dengan pertumbuhan gigi dan
namanya sesuai dengan gigi yang berdekatan seperti fosa canina. Foramen
infraorbitalis diatas fossa canina dan dilalui n. infraorbitalis.
Batas dari sinus maksilaris adalah atap sinus membentuk sebagian besar
dasar orbita. Atap ini dilalui kanalis infraorbitalis yang akan terbelah, bagian
anteromedial berlekuk dan lakrimal notch berhubungan dengan sakur lakrimalis,
batas inferior umumnya lebih tebal, tetapi dapat ditembus agar gigi (premolar 2
dan molar 3). Pada posterior permukaan infratemporal tulang berbentuk konveks
dilewati oleh n. alveolaris superior dan posterior. Medial membentuk dasar dari
piramid dan berisi lubang besar yaitu hiatus maksila. Kanalis lakrimalis dibentuk
antara maksila, os lakrimal dan konka inferior, melalui tempat dimana duktus
Sinus maksilaris dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia yang mempunyai
ketebalan goblet tertinggi dari sinus paranasal lainnya 99700/mm). Kelenjar
seromusin relatif jarang, tetapi umumnya terletak di ostium.
Suplai dari arteri maksilaris, infraorbital, palatina mayor dan
cabang-cabang kecil dari facialis. Sedangkan aliran balik menuju vena fasialis anterior
dan pleksus pterigoideus. Persarafan dari N. infraorbitalis, N. alveolaris superior
dan N. palatina mayor (cabang maksilaris N. Trigeminus). Aliran kelenjar getah
bening relatif kurang, tetapi sebagian besar menuju fosa pretigopalatina dan
nodus submandibular.
2.3.4 Sinus Sfenoidalis
Tulang yang membentuk sinus sfenoidalis merupakan tulang terbesar pada
basis kranii dan membatasi fossa kranii anterior dan posterior. Pada setiap sisi
setengah dari wajah terletak ostium sinus. Ostium ini besar (diameter 5-8 mm)
pada tengkorak yang bermaserasi, tetapi sebagian tumpah tindih dan ditutupi oleh
konka sfenoid dan membran mukosa.
Sinus sfenoid bermuara ke resesus sfenoethmoidalis, konka superior dan
media. Pneumatisasi pada sinus dapat meluas sampai ke ala magna.
Dijumpai empat bentuk umum pneumatisasi (Elwany et al, 1983) :
Preselar, pneumatisasi sinus sejauh dinding tulang anterior dari fosa
pituitary (11%)
Sellar, pneumatisasi meluas sampai ke bawah fosa pituitary (59%)
Pneumatisasi campuran (27%)
Disamping itu tulang ini juga dilewati oleh beberapa foramina :
Foramen rotundum dilalui oleh N. maksilaris
Foramen rotundum, dilalui N mandibularis, A. meningeal asesrius dan
kadang-kadang N. petrosus minor
Foramen spinosum yang dilalui oleh A, meningea media dengan cabang
dari A. mandibularis.
Pada 40% dijumpai foramen venosus sfenoidalis yang berhubungan
dengan foramen ovale.
Sel goblet pada epitel respirasi yang melapisi sinus sfenoidalis sama
banyak dengan yang ditemukan pada sinus etmmoid (6200/mm2) meskipun
jumlah kolagen seromusin lebih sedikit (0,06/mm2)
2.4 FISIOLOGI HIDUNG 1,5
Fungsi hidung diantaranya adalah :
1. Sebagai alat penciuman (olfactory organ)
3. Respirasi, dimana sebagai organ yang mempersiapkan udara inspirasi
sesuai dengan permukaan paru (Pertukaran panas, humidifikasi, Resistensi
hidung)
4. Resonansi suara
5. Perlindungan terhadap saluran nafas bawah
6. Refleksi nasal
2.4.1 Sebagai alat penciuman
Reseptor penciuman terletak pada epitel olfaktoius dalam membrana
mukosa, pada manusia terletak pada atap dari cavum nasi, cobcha superior dan
1/3 bagian atas dari septum nasi. Membrana mukosa olfaktorius dilapisi oleh
epitel silindris bertingkat tidak bersilia yang terdiri dari tiga macam sel yaitu
sustentakuler cells (sel penyokong), olfactoring cells (sel penciuman) dan basal
cells.
Area olfaktorius besarnya tidak sama pada setiap spesimen, dimana pada
manusia luasnya lebih kurang 200 s/d 400 mm dengan kepadatan 5.104 sel/mm2.
Mekanisme perjalanan syaraf penciuman
Serabut syaraf penciuman (N. olfaktorius) yang keluar dari area
olfaktorius jumlahnya sekitar 20 buah dan tidak bermyelin, kemudian berjalan
menuju lamina kribiformis os. Ethmoidalis dan masuk ke bulbus olfaktorius.
olfaktorius yang dihubungkan dengan sel-sel mitral atau “tuffed cell”. Tiap
glomerulus menerima impuls dari 26.000 reseptor penciuman dan dihubungkan
dengan 25 sel-sel mitral.
Dari bulbus olfaktorius selanjutnya berjalan sepasang traktus olfaktorius
dan stria olfaktorius lateralis menuju pusat penciuman di otak, dimana akan
berakhir di “prepyriform frontal cortex” dan nukleus amigdaloid. Akson dari
tuffed cells berjalan melalui komisura anterior menuju bulbus olfaktorius yang
kontralateral dan juga ke hipothalamus
Efek penciuman tergantung dari :
Apakah bersifat volatil (zat cair yang mudah menguap)
Konsentrasi zat dalam udara inspirasi.
Kekuatan suatu zat menabrak mukosa olfaktoring (kecepatan gerak
molekul dan massa zat).
Volume udara yang mencapai mukosa olfaktorius.
Kelarutan lemak-air.
Keadaan mukosa olfaktorius.
Integritas perjalanan syaraf olfaktorius.
2.4.2 Sebagai alat pernafasan
Hidung sebagai alat pernafasan yaitu sebagai jalan masuknya oksigen ke
hidrat arang sebagai sisa-sisa metabolisme. Pertukaran ini kebanyakan terjadi di
alveoli paru-paru, fungsi hidung disini membuat udara yang dihisap akan mudah
mengalami pertukaran tersebut tanpa merusak alveoli.
Perjalanan udara setelah masuk ke dalam rongga hidung secara vertikal,
berbelok 80-90 derajat ke posterior sampai mencapai nasal vault. Aliran udara
kemudian melintang secara horizontal sampai membentur dinding posterior
nasofaring, kemudian membelok 80-90 derajat ke bawah bersama-sama aliran
udara sisi sebelahnya untuk masuk kedalam faring. Dua belokan tajam dari 80-90
derajat dari aliran udara ini disebut impaction point.
Impaction (benturan) terhadap adenoid memungkinkan partikel-partikel
tersebut ditangkap didalam krypta dan menimbulkan reaksi immunologi
Sebagian aliran udara mencapai area olfaktorius, menghirup udara
(sniffing) kemungkinan merupakan mekanisme untuk meninggikan hantaran
udara ke area olfaktorius. Um umnya udara ekspirasi merupakan aliran udara
berputar (eddy current) karena adanya obstruksi relatif di daerah katup hidung
anterior. Septum yang bengkok atau obstruksi jalan nafas lainnya akan
meningkatkan putaran arus ini. Pada respirasi yang tenang putaran arus akan
berkurang dan akan meningkat bila respirasi makin cepat.
Aliran udara cukup sempit dan tidak lebih dari 1-2 mm sedangkan
permukaan lateral rongga hidung berukuran besar, ini mengakibatkan kontak
Katup hidung bagian anterior atau ostium interim pada limen nasi terletak
1,5 - 2 cm sebelah posterior dari nares anterior. Pada potongan melintang di
daerah ini berdiameter 10-40 mm persegi pada tiap sisi, sehingga merupakan
bagian tersempit dari jalan nafas.
Rongga hidung mempunyai tahanan sebesar 50% dari jalan nafas secara
keseluruhan. Sebelah posterior dari potongan melintang hidung ini membesar
pada daerah utama pasage hidung bagian horizontal dimana aliran udara tetap
sempit sehingga juga menyediakan daerah permukaan yang luas ditempat kontak
dengan aliran udara. Di daerah khoana posterior pada potongan melintang juga
tampak sempit, sehingga ini dapat menjelaskan adanya variasi tekanan intranasal
dari -5 atau 6 mm H2O sampai + 5 atau 6 mm H2O pada waktu inspirasi atau
ekspirasi.
Terdapat perubahan siklus resistensi hidung (nasal resistance) antara satu
lubang hidung ke lubang hidung lainnya. Peingkatan resistensi hidung yang lama,
misalnya pada pembesaran adenoid atau nasal pack yang terlaiu padat, dapat
menyebabkan cor pulmonale, kardiomegali dan edema paru-paru. Peningkatan
resistnsi hidung mengakibatkan bemafas melalui mulut sehingga tidak terdapat
fungsi hidung sebagai pembersih dan air conditioning.
Terjadi peningkatan resistensi bronckhial bila membrana mukosa hidung
dan nasofaring tersngsang misalnya oleh debu silika.
Kecepatan aliran udara (air speed) pada katup hidung anterior mencapai 3,3
m/detik dalam bronchus. Kecepatan aliran udara akan melambat walaupun pada
potongan melintang lebar dan aliran udara sempit, ini memungkinkan udara inspirasi
tetap kontak dengan bagian permukaan yang luas dalam jangka waktu yang lama.
Keadaan ini merupakan kondisi ideal untuk air conditioning dimana sekresi yang
tidak terkontaminasi dari sinus anterior memasuki rongga hidung.
Pengeluaran partikel-partikel berbahaya dengan ukuran 5-6 urn sekitar
85-90% dikeluarkan dari hidung dan nasofaring, sedangkan partikel yang lebih besar
lagi dapat ditangkap oleh vimbrissae. Partikel yang lebih kecil dapat masuk
daluran nafas bagian bawah dan diabsorbsi. Gabungan virus dengan partikel yang
berukuran melebihi 5-6 urn dapat bertahan dalam rongga hidung. Selama
pernafasan hidung, spray aerosol tertahan dalam hidung dan tidak berpenetrasi ke
saluran nafas bawah. Pengeluaran partikel dari hidung dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan kecepatan aliran udara inspirasi pada 2 point impaction.
Air conditioning terjadi di daerah dimana udara inspirasi melintang di
bagian horizontal nasal airway. Disini udara dipanaskan atau didinginkan secara
radiasi yang dipancarkan dan mukosa pembuluh darah. Humidifikasi dari udara
inspirasi terjadi secara penguapan dari mucous blanket yang menyelimuti
membrana mukosa, hal ini merupakan mekanisme yang efisien yang dibuktikan
dengan observasi bahwa udara inspirasi mendekati suhu tubuh normal dan
2.4.3. Fungsi Respirasi
Hidung sebagai organ yang mempersiapkan udara pernafasan mempunyai
3 fungsi, yaitu
Humidifikasi.
Pertukaran panas.
Filtrasi (proteksi dan pembersih)
Humidifkasi
a. Inspirasi
Saturasi udara inspirasi dengan cepat akan diikuti peninggian
temperatur.Energi diperlukan untuk 2 hal yaitu untuk peninggian termperatur
udara inspirasi dan panas laten untuk evaporasi, untuk itu diperlukan energi lebih
kurang 2100 KJ/hari. Pada orang dewasa kira-kira hanya seperlimanya digunakan
untuk meninggikan temperatur udara inspirasi, tetapi ini tergantung pula ciari
temperatur ambient dan humidifikasi relatif udara inspirasi. Kurang lebih 10%
dan panas tubuh dikeluarkan melalui udara lewat hidung. Walaupun ada variasi
daripada temperatur udara inspirasi, tetapi udara pada nasofaring sekitar 31
derajat celcius dengan kejenuhan sekitar 95%.
b. Ekspirasi
Temperatur udara eksirasi pada hidung sedikit di bawah temperatur tubuh,
ini akan menurun selama pasage udara sepanjang rongga hidung dan akan
Pertukaran panas.
Temperatur pada udara inspirasi dapat bervariasi antara -50 s/d 50 derajat
celcius dan pada hidung temperatur udara ini dapat disesuaikan dengan
temperatur pada pare-pare. Perubahan panas ini dapat terjadi secara konduksi,
konversi dan radiasi. Bila hanya terjadi konduksi maka tidak akan terjadi aliran
udara dan panas akan ditransfer dengan peningkatan pergerakan molekuler. Naik
turunnya temperatur udara dapat menyebabkan arus konversi yang akan
mempengaruhi aliran udara dalam rongga hidung dan timbulnya turbulensi.
Radiasi tidak berpengaruh besar dalam penghangatan udara inspirasi, tetapi
mempengaruhi pada humidifikasi.
Filtrasi (proteksi dan pembersih)
Salah satu fungsi dan hidung yaitu mencegah masuknya partikel udara
inspirasi ke dalam saluran nafas bagian bawah, fungsi ini dapat dilakukan secara
mekanik atau kimiawi. Partikel yang berdiameter antara 5-10u, dapat disaring
Partikei dengan diameter kurang dari 1u tidak dapat ditahan daiam rongga
hidung. Kesanggupan hidung untuk memfiltrsi partikel-partikel tersebut
disebabkan karena morfologi hidung yang menentukan arab aliran udara maupun
turbulensi udara.
Benda asing, bakteri dan lain lain yang tidak tertangkap oleh vimbrissae
biasanya ditangkap oleh suatu lapisan iendir yang disebut Mucous blanket".
2.4.4 Fungsi Dalam Resonansi Suara
Suara yang ditimbulkan seseorang dalam keadaan sehat akan berbeda
dalam keadaan waktu menderita influenza, dimana mukosa hidung pada saat ini
sedang mengalami edema. Suara dihasilkan dengan mengubah getaran udara dari
Taring. Frekwensi suara tinggi yang menimbulkan suara konsonan dibantu juga
oleh faring, lidah dan gigi. Hidung menambah kualitas suara dengan cara
membiarkan sebagian udara keluar
2.5. FISIOLOGI SINUS PARANASAL 1,5,6
2.5.1. Fisioiogi Epitel Sinus
Mukosa sinus paranasal merupakan kelanjutan dari rongga hidung
walaupun lebih tipis yaitu terdiri dari epitel kolumner semu bertingkat bersilia
dengan 4 tipe sel dasar yaitu :
Sel kolumnar bersilia mempunyai 50 — 200 silia per sel, dimana setiap set
mengandung 2 mikrotubuler ganda dengan lengan dyein yang terletak di
perifer yang akan membentuk gerakan
b. Sel kolumner tidak bersilia
Mempunyai mikrovili berjalan diantara sel tipe 1. Mikrovili ini membantu
memperbesar permukaan epitel agar proses humidifikasi dan
penghangatan dapat berjalan.
c. Sel basalis
Dapat bervariasi dalam berbagai bentuk, ukuran dan jumlah.
Kemungkinan merupakan stem sel primitif yang berdiferensiasi menjadi
sel epitel.
d. Sel goblet
Sel ini bisa ataupun tidak dilapisi mikrovili, menghasilkan mukus yang
tebal setelah stimulasi bahan — bahan iritan.
Dibawah membrana basalis mukosa sinus, lamina propria terlihat tipis
serta ditemukan glandula serosa dan mukosa. Kedua glandula ini dibawah kontrol
sistem parasimpatis untuk menghasilkan mukus yang kental dan sistem simpatis
untuk menghasikan mukus yang tipis. Konsentrasi sel goblet dan glandula
submukosa ini lebih kecil dibandingkan di rongga hidung, tetapi terutama sinus
maksilaris mempunyai sel goblet lebih banyak dibandingkan sinus paransal
Mukus Blanket
Mukus blanket terdiri dari 2 lapisan. Lapisan sol yang merupakan lapisan
yang tipis dan perisilar, sehingga silia dapat bergerak bebas melakukan gerakan.
Bagian atasnya adalah lapisan gel, merupakan mukus yang tebal, tempat melekat
silia. Mikrovili akan berperan di lapisan sot, sedangkan sel goblet dan glandula
submukosa pada lapisan gel.
Kandungan mukus adalah sebagai berikut :
Mukopolisakarida yang berfungsi sebagai proteksi terhadap kelembaban
yang 'rendah dan udara dingin
Komposisi Ig A yang berperan menghambat bakteri pada permukaan sel
Komposisi Ig G dan Interferon seperti sel — sel inflmasi lainnya, juga
ditemukan sekresi sinonasal lainnya yang berperan sebagai anti viral
Lisosim dan Laktoferin berguna menghambat bakteri
Bila ada partikel asing yang terjebak, sinus secara efektif akan
mengalirkannya melalui mucus dengan sistem mucosillicay clearence,. Silia akan
menggerakan mukus dengan kecepatan 3 - 25 mm/menit menuju ostium sinus.
2.5.3 FUNGSI SINUS PARANASAL
Hingga saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fungsi sinus
paranasal. Beberapa teori telah dikemukakan bahwa fungsi dari sinus paranasal
a. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai runag tmbahan untuk menghangatkan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi.
b. Sebagai penahan suhu
Sinus paranasal dapat berfungsi buffer (penahan) panas, melindungi orbita
dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah — ubah
c. Membantu keseimbangan kepala
d. Membantu resonansi suara
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
DAFTAR PUSTAKA
1. Bolger E. William.2001. Anatomy of the Paranasal Sinuses. In : Disease of the
Sinuses, Diagnosis and Management. Edited by Kennedy. B.C. Decker Inc.
Hamilton London. Page : 1-11.
2. Sobotta. Caput, Nasus externus, Cavitas nasi. In : Atlas der Anatomie des
Menschen, 19th ed., Edited by J. Staubesand, Urband & Schwarzendberg,
Munchen 1989; 62-9.
3. Miller A.J, Amedee R.G. Sinus Anatomy and Function. In : Head and Neck
Surgery Otolaryngology. Second Edition. Edited by : Bailey B.J. Lippincott
Raven Pub. Philadelphia New York. Page :413-421.
4. Hollinshead, W.H. 1966. The Nose and Sinus Paranasal. In : anatomy for
surgeons, The Head and Neck. Reprinted Edition. A Hober-Harper
International Edition. New York, Page : 270-345.
5. Stammberger Heinz. 2003 .F.E.S.S. In Endoscopic Diagnosis and Surgery of
the Paranasal Sinuses and anterior Skull Base. University Ear, Nose and
Throat Hospital Graz, Austria.
6. Sjahriar Rasad, Sukonto Kartoleksono, Iwan Ekayuda. 1992. Sinus
Paranaslaes.