• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

1

Anatomi hidung

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

Pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilagi nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior dan disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi kartilago septum.1,2,3,4

Rangka Hidung 5

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3,4

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi kulit yang mempunyai banyak kelenjar sabasea dan rambut yang disebut vibrise. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah: lamina perpedinkularis os etmoid, vomer, Krista nasalis os maksila dan Krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.4

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya palinga bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan konka suprema yang

biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut maetus. Tergantung dari letaknya ada tiga maetus yaitu maetus inferior, medius dan superior. Pada maetus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis, pada maetus media terletak muara sinus maksilaris, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior, pada maetus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.6

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid,

tulang ini berlubang-lubang (kribrosa) tempat

masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.3,4,6

Dinding Lateral Rongga Hidung 5

Vaskularisasi Rongga hidung

Perdarahan rongga hidung bagian atas didapatkan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika cabang dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya a. palatina mayor. Bagian depan hidung mendapat perdarahab dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor yang disebut pleksus Kiesselbach yang letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma.3,4

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.

oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus.4

(2)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

2

Persarafan Rongga Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari n. oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lain sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina

selain memberikan persarafan sensoris juga

memberikan persarafan vasomotor/ otonom untuk mukosa rongga hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n. Maksilaris (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. Petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. Petrosus profundus. Ganglion sfesnopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari n. Olfaktorius yang merupakan serabut saraf yang turun melalui laninankribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.4,6

Persarafan pada Rongga Hidung 3

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6

- Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologis lokal.

- Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reserfoir udara untuk menampung stimulus penghidu.

- Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

- Fungsi refleks nasal, mukosa rongga hidung merupakan reseptor yang berhubungan dengan saluran pencernaan, kardiovaskuler dan pernafasan melalui refleks bersin, sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasalis berkembang sebagai suatu rongga berisi udara disekitar rongga hidung yang dibatasi oleh tulang wajah dan cranial. Memiliki struktur tidak teratur, dan seperti halnya lapisan epitel pada hidung, tuba eustachius, telinga tengah dan region respiratorius dan faring, sinus paranasalis dilapisi

membrana mukosa dengan lapisan epitel

pseudostratified kolumnar bersilia (respiratory

epithelium), namun dengan karakteristik lebih tipis dan

kurang vaskularisasi bila dibandingkan dengan

membrana mukosa hidung. 3

Sinus paranalis pada keadaan normal berada dalam keadaan steril, dimana proses sekresi dan eliminasi berbagai kontaminan tergantung pada aktivitas silia dan drainase mucus. Peradangan atau kondisi alergi pada rongga hidung yang menyebabkan kongesti vena atau limfatik, dapat mengakibatkan kongesti sinus dan berpotensi untuk terjadinya kegagalan drainase mucus. Secara klasik, sinus paranasalis dikelompokkan dalam 4 pasang sinus,

yaitu: sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus

maksilaris, sinus sfenoidalis. Berdasarkan kepentingan klinis, sinus paranasalis dibagi dalam dua kelompok, yaitu: kelompok depan meliputi sinus frontalis, sinus maksilaris dan sinus etmoidalis anterior yang bermuara di bawah konka media, serta kelompok belakang meliputi sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis yang bermuara pada beberapa lokasi di atas konka media.3,4

Perkembangan Sinus Paranasalis

Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis mulai berkembang pada kehidupan 13-4 bulan dan mulai dapat dikenali secara anatomis pada usia 6-12 bulan kehidupan ekstra uterin. Sinus maksilaris mengawali pneumatisasi pertama kali IMB kelahiran hingga 12 bulan, mulai membesar ke arah lateral sepanjang dasar orbita pada usia 3 tahun. Dasar dari sinus maksilaris akan mencapai ukuran dewasa pada usia pubertas. Sinus etmoidalis juga telah terbentuk pada saat kelahiran, tetapi tidak membesar hingga usia mencapai 3-7 tahun. Ukuran dewasa dan sinus etmoid dicapai pada usia 12 hingga 14 tahun.3

(3)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

3

Perkembangan Sinus Paranasalis3

Sinus sfenoid yang dimulai dan nasal cupola belum mencapai ukuran lengkap sampai usia 4-5 tahun, pembentukan sfenoid baru sempurna pada masa pubertas, dan memiliki derajat pneumatisasi yang sangat bervariasi dan besar atau kecilnya sayap sfenoid dan proses pterigoid. Sinus frontalis dibentuk paling akhir, dan merupakan tipe sinus yang belum terbentuk pada saat lahir. Sinus ini berkembang dari mukosa nasal ke dalam resesus frontalis dan meatus media, dan mencapai ukuran sempurna setelah usia pubertas. Seperti juga sinus sfenoid, sinus frontalis juga memiliki derajat penumatisasi yang bervariasi. Perbedaan pada pembentukan sinus frontalis kiri dan

kanan sering ditemukan dan bersifat sangan

individual.3,4

Gambar Skematis Letak Sinus Paranasalis 3.

1. Sinus Frontalis

Sinus frontalis bervariasi dalam bentuk dan ukuran dan terkadang berkembang tidak sempurna dan asimteris tergantung derajat pneumatisasi dari sinus frontalis. Ukuran rata-rata sinus ini adalah tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm sedangkan kapsitas rata-rata 6-7 ml. Pada 10-12 % orang dewasa menunjukkan sinus rudimenter. Sinus frontalis berhubungan dengan meatus media melalui saluran duktus nasofrontalis yang berjalan menuju muara frontoetmoidalis. 3,4,6

2. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoidalis memilki bentuk dan ukuran dan jumlah yang bervariasi terdiri dari suatu kompleks „ honey comb“ dengan jumlah sel antara 4 sampai 17, dan rata-rata berjumlah 9, terletak lateral bagian atas rongga hidung pada dinding medial tulang orbita. Sinus etmoidalis biasanya terbagi menjadi 2 grup yaitu sel anterior

dan sel posterior. Tulang etmoid memiliki bagian-bagian vertikal dan horizontal yang membentuk sudut siku-siku dengan yang lainnya. Lempeng vertikasl mempunyai bagian yang tebal di superior disebut krista galli, di bagian bawahnya disebut perpendicular os.etmoid dan merupakan bagian dari septum nasi. Lempeng horizontal terdiri dari lempeng tipis berlubang-lubang disebut lamina

kribriformis. Dinding luar dari sinus etmoidalis

adalah lamina papirasea os etmoid dan os lakrimalis, yang merupakan lapisan tulang yang tipis. Sinus etmoid dipisahkan dari orbita oleh lapisan tulang tipis ini (lamina papirasea), dimana keadaan tersebut menyebabkan suatu infeksi yang mengenai tulang tersebut dapat dengan segera mengenai rongga orbita dan menimbulkan

berbagai komplikasi.4

Sangat penting untuk mengetahui

bahwa sel-sel etmoid tidak selalu berkembang secara terbatas dalam tulang etmoid, oleh karena pada perkembangannya dapat menginvasi meatus media membentuk concha bullosa, dimana pada beberapa keadaan sel-sel bulla etmoid membesar ke dalam perlekatan anterior meatus media, menyebabkan variasi derajat pneumatisasi meatus

(konka bullosa). Pembesaran meatus

mengakibatkan obstruksi ventilasi dari meatus media dan sering menyebabkan lateralisasi

prosesus unsinatus mendekati infundibulum

etmoidalis. Dengan prinsip yang hampir sama, sel dapat menginvasi dasar orbita bagian medial dan dikenal sebagai ekstramural. Sel-sel tersebut menempati bagian medial orbita inferior dan

biasanya membentuk dinding medial

infundibulum etmoid, dimana hubungan tersebut menyebabkan obstruksi sinus maksilaris dan sinus etmoidalis anterior. Keberadaan sel Haller ini

seringkali berhubungan dengan penyakit sinus.6

Sinus Etmoidalis Posterior

Sinus etmoidalis posterior adalah kumpulan dari satu sampai lima sel-sel etmoid yang drainasenya ke meatus superior dan suprema. Terbentuk dari primary furrow kedua dan ketiga. Sinus etmoidalis posterior di batasi anterior oleh lamella basalis konka media dinding anterior sinus sfenoid di posterior, lamina papirasea di lateral, di medial oleh bagian vertikal konka superior dan suprema beserta meatusnya, dan di superior di batasi oleh atap etmoid. Pengetahuan anatomis mengenai batas-batas sinus etmoidalis posterior sangat penting bagi seorang ahli bedah untuk menghindari komplikasi selama operasi. Sinus etmoidalis posterior mempunyai kepentingan dalam pembedahan karena kedekatannya dengan basis cranii dan nervus optikus.4

Variasi anatomis sinus etmoidalis posterior sangat penting untuk dipahami. Onodi meneliti variabilitas anatomi sinus etmoidalis posterior, dan ia menekankan hubungan sel paling posterior dari

(4)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

4

etmoidalis posterior dengan nervus optikus. Ondi mengemukakan ada 38 variasi pada hubungan sinus etmoidalis posterior dengan nervus optikus, dan dibagi menjadi 12 kelompok utama. Ia menemukan bahwa sel paling posterior dari sinus etmoidalis posterior pneumatisasinya sangat baik ( luas ), sehingga meluas ke posterior sepanjang lamina anterior sinus sfenoid. Diseksi sinus etmoidalis posterior dapat menyebabkan trauma pada nervus optikus dan menyebabkan kebutaan,

terutama jika kurang mengetahui variasi

anatomisnya. Ahli bedah endoskopi yang modern mulai menyebut variasi anatomis ini sebagai

Onodi Cell, tapi dapat juga dengan istilah Sphenoetmoidal cell dipergunakan, dimana nama

ini lebih tepat untuk penamaan anatomisnya. Jika sel sphenoetmoidal ini besar, kanalis karotikus dapat menonjol (bulging) ke sinus etmoidalis posterior.3,4

Onodi telah mencoba berkali-kali untuk meyakinkan para ahli THT pada zamannya bahan sinus sfenoid tidak selalu berada di belakang sinus etmoidalis posterior. Ia menginginkan para ahli bedah bahwa untuk mencapai sinus sfenoid, hanya diperlukan diseksi sampai batas belakang sinus etmoidalis posterior. Diseksi sinus etmoidalis posterior arahnya harus inferomedial, bukan superolateral, untuk menghindari trauma kranial atau orbita.3,4

3. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris atau antrum highmore terbesar diantara sinus paranasalis lainnya. Menurut Schiffer, ukuran rata-rata untuk bayi adalah 7-8 x 4-6 x 3-4 mm, pada umur 18 tahun adalah 31-32 x 18-20 x 19-20 mm, dan kapasitas sinus ini hampir 15 ml. Antrum berhubungan dengan meatus media melalui ostium maksilaris dal lokasinya pada bagian atas depan dinding medial sinus maksilaris premolar 2, molar 1, dan molar 2.3

Sinus maksilaris biasanya hanya merupakan satu ruang yang batas-batasannya antara lain orbita di superior, bagian dental dan alveolar maksila di inferior, prosesus zigomatikus di lateral, dan sebuah dinding tulang tipis yang memisahkan rongga tersebut dengan fossa infratemporal dan pterygopalatina di posterior, serta prosesus unsinatus, fontanel dan konka inferior di medial. Ostium sinus maksilaris terletak di dalam 1/3 bagian paling posteroinferior infundibulum (71,8%). 4,6

Pada atap sinus ini dijumpai atap dari nervus infraorbital yang terletak pada alur tulang, nervus ini dibatasi oleh membran mukosa atau oleh tulang yang tipis dan akan terpotong waktu kuretase dari operas sinus.3

Variasi anatomis tersering dari sinus

maksilaris adalah sel-sel etmoidalis infraorbital atau disebut “ Haller’s Cell”. Haller, seorang ahli

anatomi pada abad 18, pertama kali menyatakan “sel etmoidal yang excavates os planum dan os maksila, diluar berhubungan dengan kapsula labirin etmoid. Selulae ini adalah selulae etmoid yang mengalami pneumatisasi ke lantai orbita sinus maksilaris, letaknya inferlateral dai bulla

etmoid, dan berhubungan erat dengan

infundibulum etmoid dan ostium sinus maksilaris. Sel Haller ini dikatakan berasal dari etmoidalis anterior (88%) dan etmoidalis posterior (12%). Nama-nama lain untuk sel Haller ini antara lain adalah sel maxillo-orbital, sel maxillo-etmoidal, dan sel orbitoetmoidal. Tapi penamaan sel Haller untuk sekarang dipakai sel etmoidalis infraorbital

. Istilah ini lebih tepat, berdasarkan lokasi dan asal

daris sel ini dan membedakannya dari sel supraorbital dari resesus frontalis atau resesus suprabullar.3,4

Variasi anatomis lainnya adalah hipoplasia atau atelektasis sinus maksilaris. Pada variasi ini, sinus maksilaris lebih kecil dan dikelilingi oleh tulang maksila yang lebih tebal, prosesus unsinatus juga mengalami hipoplasia dan terletak

pada bagian inferomedial orbita; jadi

infundibulum juga mengalami atelektasis.

Uncinektomi menjadi sulit pada pasien-pasien ini karena lateral displacement dari struktur tersbut darn risiko masuk orbita.4,6

4. Sinus Sfenoidalis

Terletak di tengah di dalam tengkorak, sinus sfenoid di batasi oleh beberapa struktur penting. Lateral dari sinus terletak arteri karotis, nervus optikus, sinus kavernosus, N II, IV, V, VI. Sinus ini sebelum bayi berusia 3 bulan, ukurannya kecil dan pertumbuhannya maksimal terjadi pada usia 12 – 15 tahun, pada usia 1 tahun bberukuran 2,5 x 2,5 x 1,5 mm dan pada usia 9 tahun berukuran 15 x 12 x 10,5 mm. Sinus sfenoidalis memiliki bentuk yang bervariasi, letaknya pada badan tulang sfenoid dan berhubungan dengan tulang hidung pada meatus superior dan sinus ini di bagi menjadi beberapa bagian oleh septum intra sinus.

(5)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

5

Nervus optikus terletak di atas permukaan lateral superior sinus sfenoid dan arteri carotis dalam kavernosus sinus terletak lateral, serta nervus maksilaris (bagian dari N.V) pada bagian anterior terletak inferolateral. Diseksi sinus sfenoid dapat menyebabkan kerusakan dari arteri karotis dan nervus optikus.3

Sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh septum internus. Struktur ini sangat bervariasi, bentuknya dapat oblik dan bukan sagital. Septum yang inkomplit juga sering terjadi. Manipulasi septum sfenoid harus dilakukan dengan sangat hati-hati, dimana septum intersinus diketahui menempel pada

midline, dekat atau pada kanalis karotikus. 3,4 Fisiologi Sinus Paranasal

Sinus paranasalis merupakan rongga berisi udara yang dilapisi mukosa epitelium pseudostratified bersilia diselingi sel-sel goblet. Silia tersebut menyapu cairan mukus kearah ostia. Penyumbatan ostia sinus akan mengakibatkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi rongga sinus dan tekanan udara sinus. Penurunan oksigenasi sinus akan menyuburkan pertumbuhan bakteri anaerob. Tekanan pada rongga sinus yang menurun pada gilirannya akan menimbulkan rasa nyeri daerah sinus terutama sinus frontal dan sinus maksilaris. 3

Fisiologi dan fungsi sinus paranasal belum jelas

diketahui dan sampai sekarang masih tetap

diperdebatkan (Knops.dkk 1993), antara lain untuk:3,4

 Menghasilkan dan membuang mukus  Mengatur tekanan intranasal

 Resonansi suara

 Memanaskan danmelembabkan udara inspirasi  Bertindak sebagai shock absorben kepala untuk

melindungi organ-organ yang sensori.

 Sebagai terminal insulator, menurut Proetz untuk melindungi orrgan-organ yang sensitif seperti mata, hipofise otak dan medula dan perubahan-perubahan.

 Suhu dalam rongga hidung

 Membantu pertumbuhan dan bentuk muka  Mempertahankan keseimbangan kepala

Yang paling penting pada proses fisiologi ini adalah hubungannya dengan peradangan mukosa sinus ialah adanya : Silia, mukus, dan ventilasi hidung.3

Silia

Sel epitel dan sinus disukung oleh 50-300 silia dengan ukuran panjang 6-8 microns dan diameter 2-3

microns. Berfungsi mendorong mukus kearah hidung

dengan efektif dan cepat, sedangkan pengembalian silia gerakannya lambat. Selama pukulan efektif ujung silia kontak dengan pinggir bawah lapisan gel. Pengembaliannya menembus lapisan air (Watery sol

layer) dengan akibat debu dan partikel lain tertangkap

lapisan gel dan diangkut keluar sinus kearah nasofaring, rata-rata frekuensi pukulan pada silia 14,5 Hz „ pukulan“ detik dan mucociliary clearance untuk orang dewasa kira-kira 10 menit.3,4

Mukus

Merupakan hasil dari sekresi kelenjar di tunika propria dan sel goblet, yang membentuk lapisan mukus pada permukaan mukosa. Mukus terdiri dari 96% air, 1-2% garam organik dan 2,5 - 3% mucin. Fungsi

mukus sebagai pertahanan tubuh, bersifat

bakteriostatik karena mukuis mengandung lisosim yang dapat menghancurkan bakteri. Arah dari aliran mukus oleh gerakan silia merupakan arah dari drainase

normal dan dari dalam sinus menuju ke ostium.3,4

Epithelium Sinus Paranasal 3 Mucociliary blanket

Silia dan mukus merupakan selimut yang aktif dan mantel ruang sinus dan nasal, juga merupakan perangkat unsur yang baik. Tidak semua silia „memukul“ dengan rate yang sama, tetapi bervariasi dalam seluruh sinus, tiap segmen berbeda dalam

kecepatan memukulnya.3

Faktor Imunologis

Dalam mukus sinus nasal terdapat mekanisme

pertahanan imunologi yang penting:3,4

 Ig A

Berperan dalam pertahanan pertama melawan infeksi, disekresi dari plasma sel yang terdapat di lamina propria yang kemudian di transport aktif ke epitel glandular dan di simpan dalam mukus

blanket. Bekerja menghambat mikroorganisme di

permukaan sel. Jadi mencegah pemasukan kedalam jaringan tubuh.

 Ig G

Bekerja mengatur pertahan tubuh bersama-sama dengan Ig A. Jumlahnya lebih kecil ari Ig.  Lisosim

Enzim ini terdapat dalam sel dan sekresi sinus. Dapat membunuh secara spesifik terhadap polisakharida dan mukopeptida yang ditemukan dalam dinding sel organisme grampositif.

 Lactoferin

Diproduksi lokal, menghambat pertumbuhan bakteri.

 Nonspesifik immune faktor

(6)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

6

DAFTAR PUSTAKA

1. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses dalam Bailey B.J. 2006. Maxillary, Ethmoid and Sphenoid Sinises in: Atlas of Head and Neck Surgery Otolaryngology. Lippincott Raven Publisher. Philadelphia. New York. Page 1480-1499

2. Lee KJ.Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery: McGraw Hill ; 2003. h.596-608.

3. Andrew, J.M., Ronald, G.A 2001. Sinus Anatomy and Function. In: Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third Edition. Edited by: Bailey

B.J. Lippincott-Raven Publisher. Washington

Square, Philadelphia. USA. 2001. page: 4313-421 4. Ballenger, J.J, Aplikasi Klinis Anatomi dan

Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasalis Dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 13. Alih Bahasa: Staf Ahli Bagian

THT-RSCM-FKUI. Binarupa Aksara, Jakarta.

Indonesia. 1994. Hal: 1-27 5. Netter, Cinical Anatomy, 2005.

6.Graney, D.O., Baker, S.R. Anatomy. In: Head and Neck Surgery Otolaryngology. Second Edition. Edited by Cummings C.w. Mosby Year Book, Inc. St Louis, Misouri. USA. 1993. page 627-639.

(7)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

7

Latar Belakang

Sejak pertengahan tahun 1990-an, istilah

“sinusitis” diganti menjadi “rinosinusitis”. Menurut

American Academy of Otolaryngology – Head & Neck Surgery 1996 istilah sinusitis diganti dengan

rinosinusitis (RS) karena dianggap lebih akurat dengan alasan:1,2

1). Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung

2). Sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis 3). Gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia

dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis.

Perkembangan penelitian mengenai patofisiologi, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan kelainan pada sinus secara singkat dapat dilihat dalam dua rekomendasi para ahli yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa. Para ahli di Amerika Serikat, melalui rekomendasi Rhinosinusitis Task Force (RSTF) pada tahun 1996, merekomendasikan bahwa rinosinusistis didiagnosis berdasarkan gejala klinis, durasi gejala, pemeriksaan fisis, nasoendoskopi dan

tomografi komputer.3

Namun demikian, gejala dan tanda klinis pada semua penderita inflamasi kronik pada sinus tampak tumpang tindih, baik pada penderita yang disertai polip hidung atau tanpa polip hidung. Para ahli di Eropa, melalui rekomendasi European Position Paper on

Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) menegaskan

bahwa perbedaan antara penderita polip hidung dan rinosinusitis kronik harus berdasarkan pemeriksaan

nasoendoskopi. Selain itu, rekomendasi ini

menegaskan bahwa polip hidung merupakan

subkelainan dari rinosinusitis kronik.4

Bila mengenai beberapa sinus disebut

multisinusitis dan bila mengenai seluruh sinus paranasal, disebut pansinusitis. Sinus maksila sering terkena, kemudian sinus etmoid, sinus frontal dan sinus sfenoid. Penyakit ini berasal dari perluasan infeksi hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid. Tetapi dapat juga terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. Ikut berperan pula beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan obstruksi muara sinus maksila, sehingga mempermudah terjadinya sinusitis seperti deviasi septum,hipertropi konka,

massa di dalam rongga hidung dan alergi.5,6

Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap rinosinusitis ini sangat penting. Awalnya diberikan terapi antibiotik dan jika telah begitu

hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.7 Definisi

Rinosinusitis adalah semua peradangan mukosa

sinus paranasal. Rinosinusitis adalah semua

keradangan yang terjadi secara bersamaan pada rongga hidung dan sinus paranasal.1,2,8,9,10

Rinosinusitis (termasuk polip hidung)

didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih

gejala, salah satunya termasuk hidung

tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior):11

± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah ± penurunan/hilangnya penghidu

Dan salah satu dari temuan nasoendoskopi; polip dan/atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau edema/obstruksi mukosa di meatus medius dan/atau gambaran tomografi komputer; perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal dan/atau sinus.

Klasifikasi

Menurut The Rhinosinusitis Task Force (RSTF):1,2

1. RS akut : 4 minggu

2. RS subakut : > 4-12 minggu

3. RS kronik : > 12 minggu

4. RS akut rekuren : ≥ 4 episode per tahun; tiap

episode ≥ 7-10 hari resolusi komplit di antara episode

5. RS kronik eksaserbasi akut : perburukan gejala

tiba-tiba dari RS kronik dengan kekambuhan berulang setelah pengobatan

American Academy of Allergy, Asthma and Immunology; American Academy of Otolaryngic Allergy; American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery; American College of Allergy, Asthma and Immunology; and American Rhinologic Society mengusulkan subklasifikasi lebih lanjut dari

RS kronik adalah:1,2,12

1. RS kronik dengan polip, ditandai dengan mukosa

polipoid dengan edema, infiltrasi eosinofil. Limfosit T dan B, serta kerusakan pada epitel yang disebabkan oleh produk-produk aktivasi sel

eosinofil. Tipe ini berhubungan dengan

meningkatnya prevalensi polip hidung dan juga berhubungan dengan lebih luasnya gambaran

patologis kelainan sinus pada tomografi

komputer.

2. RS kronik tanpa polip, yaitu bentuk RS kronik yang tidak disertai oleh tanda-tanda tersebut di atas, namun ditandai oleh hiperplasia kelenjar seromukosa submukosa yang jelas.

Klasifikasi sinusitis yang disebabkan oleh jamur dikategorikan ke dalam 4 grup:1,2

1. Fungus ball

2. Allergic fungal rhinosinusitis

(8)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

8

3. Acute invasive fungal rhinosinusitis

4. Chronic granulomatous fungal rhinosinusitis

Sinusitis paranasal diklasifikasikan berdasarkan lima hal, yaitu: 8

- Gambaran klinis : akut, sub akut, kronis

- Lokasi : sinus etmoid, sinus

maksila, sinus frontal, sinus sfenoid

- Organisme penyebab : virus, bakteri, jamur.

- Komplikasi : tanpa komplikasi, dengan

komplikasi.

- Faktor pemberat : atopi, imunosupresi,

obstruksi ostiomeatal.

Epidemiologi

Insiden rinosinusistis akut dan kronis terus meningkat, diperkirakan sekitar 10 - 15 % terjadi pada populasi di Eropa Tengah setiap tahunnya. Di Amerika Serikat terdapat 30 juta kasus rinosinusitis akut bakterial setiap tahunnya, di negara ini jumlah penderita sinusitis akut yang berobat ke dokter adalah 0,5 – 2,0 % pada dewasa dan 5 – 10 % pada anak dari semua penyakit infeksi saluran napas atas.13

Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis.10

Survei pendahuluan di bagian Rinologi-alergi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok (THT) Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) didapatkan angka kunjungan penderita rinosinusitis akut periode Januari-Desember 2009 tercatat 260 kasus, terdiri dari 121 laki-laki dan 139 perempuan.14

Etiologi dan Predisposisi A. Etiologi 1,2,9,10

 Infeksi hidung. Mukosa sinus adalah lanjutan

dari mukosa hidung, sehingga infeksi dari hidung dapat menjalar secara langsung

maupun melalui limfatik submukosa.

Penyebab terbanyak adalah rhinitis viral, diikuti invasi bakteri.

Berenang dan menyelam. Air yang terinfeksi

dapat masuk ke sinus melalui ostium. Gas klorin berkadar tinggi dalam kolam renang juga dapat memicu inflamasi oleh zat kimia.

 Trauma. Fraktur atau luka tusuk pada sinus

frontal, maksila dan etmoid dapat menjadi

infeksi pada mukosa. Sama seperti

barotraumas yang diikuti oleh infeksi.

 Infeksi gigi. Penyebab utama sinsusitis

maksilaris. Infeksi dari gigi molar atau premolar.

B. Predisposisi1,2,9,10

 Obstruksi ventilasi dan drenase sinus. Secara normal, sinus memiliki ventilasi yang baik dengan jumlah sekret mukus yang sedikit

yang mengikuti gerakan silia, menuju ostium sinus dan dikeluarkan ke kavum nasi. Beberapa faktor dapat menyebabkan stasis sekresi sinus, yaitu:

 Tampon hidung

 Deviasi septum

 Hipertrofi konka

 Edema ostium sinus karena rinitis

alergi atau vasomotor

 Polip nasi

 Struktur abnormal pada rongga

etmoid

 Neoplasma

 Stasis sekresi dalam kavum nasi. Normalnya,

sekresi hidung mungkin tidak masuk ke nasofaring karena kekentalannya (fibrosis kistik) dan obstruksi (hipertrofi adenoid dan atresia koanal.

 Serangan sinusitis sebelumnya. Pertahanan

local mukosa sinus mengalami kerusakan.

 Lingkungan. Udara dingin dan kering,

lingkungan berpolusi, dan kebiasaan

merokok.

 Daya tahan tubuh menurun. Adanya defisiensi

nutrisi dan kelainan sistemik (diabetes, sindrom defisiensi imun), serta perubahan hormonal (kehamilan).

 Bakteriologi. RS bakterial akut secara tipikal berawal dari infeksi viral pada saluran napas atas yang berlanjut lebih dari 10 hari. Dalam beberapa kasus, RS bakterial sekunder bisa jadi akibat sumbatan ostium karena edema mukosa dan kerusakan silia. Akhirnya, terjadi stasis mukus dan menjadi media pertumbuhan

kuman. Bakteri yang paling banyak

menyebabkan RS akut di antaranya

Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis.

Genetik/psikologik Lingkungan Struktural

Hiperaktif jalan napas

Alergi Deviasi

septum

Imunodefisiensi Merokok Chonca

bullosa

Sensitif aspirin Polusi Paradoxic

middle turbinate

Disfungsi silia Virus Haller cells

Fibrosis kistik Bakteri Frontal cells

(9)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

9

Kelainan granulomatosa Stres Inflamasi tulang Anomali kraniofasial Benda asing Infeksi gigi Trauma mekanik Barotrauma Etiologi rinosinusitis16 Patofisiologi1,11,12

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostiumnya dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam KOM. Mukus mengandung substansi antimikrobial yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk saat inspirasi.

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan sehingga bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif dalam sinus, menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial, biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik pertumbuhan kuman. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan tumbuh bakteri anaerob. Mukosa makin membengkak dan merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tidakan operasi.

Sinusitis Jamur1,2,10,16

1. Sinusitis jamur invasif

 Terjadi pada pasien diabetes dan pasien

imunosupresi.

Jamur patogen: Aspergillus, Mucor dan

Rhizopus

 Pada pemeriksaan patologi terlihat invasi

jamur ke jaringan dan pembuluh darah.

 Mukosa kavum nasi berwarna biru-kehitaman

disertai septum yang nekrotik.

 Bersifat kronis progresif, dapat menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial.

2. Fungus ball

 Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga

sinus membentuk suatu massa, tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang, sering mengenai sinus maksila.

Jamur patogen: Aspergillus

 Gejala klinis menyerupai sinusitis kronik

(rinore purulen, post nasal drip, halitosis)

 Pada operasi ditemukan materi jamur berwarna

coklat kehitaman dan kotor dengan/tanpa pus.

Gambaran endoskopi sinusitis jamur15

3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)

 Jamur dapat menstimulasi respon imun mukosa

sinonasal, menyebabkan sinusitis alergi jamur.

 Secara tipikal, mukosa polipoid terlihat di bagian anterior membentuk suatu “massa” yang terdiri dari musin, materi jamur, kristal

Charcot-Leyden dan eosinofil.

Penebalan mukosa dan bony remodeling adalah

tanda khas dari proses ini.

Diagnosis

Anamnesis

Gejala Mayor Gejala Minor

• Nyeri/rasa tertekan di wajah • Rasa penuh di wajah • Hidung tersumbat • Hidung berair/bernanah/perubahan warna ingus • Penurunan/berkurangnya penghidu

• Nanah dalam rongga hidung • Demam (hanya RS akut)

• Nyeri kepala • Demam (pada RS kronik) • Bau mulut • Mudah lelah • Sakit gigi • Batuk • Nyeri/rasa tertekan/rasa penuh di telinga Gejala rinosinusitis.1,2 Kriteria diagnosis:1

 Dua gejala mayor atau kombinasi satu gejala mayor

dan dua gejala minor (sangat mendukung riwayat rinosinusitis)

 Adanya nyeri wajah saja tapi tidak disertai gejala mayor hidung atau lainnya (tidak mendukung riwayat rinosinusitis)

 Adanya demam saja tapi tidak disertai gejala mayor

hidung atau lainnya (tidak mendukung riwayat rinosinusitis).

(10)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

10

Penyakit ini dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan skor total Visual Analog Scale

(VAS) 0-10 cm; ringan = 0-3 cm, sedang = >3-7

cm, berat = >7-10 cm.

Untuk evaluasi nilai total pasien, diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan: berapa besar dari gejala rinosinusitis saudara?

Visual analog pain scale3

Nilai VAS >5 mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Sino-Nasal Outcome Test (SNOT-20) merupakan

kuisioner untuk menilai derajat beratnya gejala RS kronik yang diisi oleh penderita, yang terdiri atas 20 pertanyaan gejala RS. Setiap pertanyaan diberi nilai.17

 Skor 1 bila tidak didapatkan gangguan

 Skor 2 bila didapatkan gangguan ringan

 Skor 3 bila keluhan dirasakan cukup mengganggu

 Skor 4 bila keluhan dirasakan sangat mengganggu

 Skor 5 bila keluhan dirasakan mengganggu sangat

ekstrim

Tingkat skor SNOT secara keseluruhan dinilai berdasarkan dari total skor.

Lamanya penyakit11

 Akut : < 12 minggu, resolusi komplit

gejala

 Kronik : > 12 minggu, tanpa resolusi gejala

komplit, termasuk kronik eksaserbasi akut.

1. Rinosinusitis Akut

Diagnosis RS bakterial akut dibuat bila infeksi virus pada saluran napas atas tidak teratasi dalam 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari. Gejala berat secara tidak langsung menimbulkan komplikasi di kemudian hari, dan pasien tentunya tidak menunggu 5-7 hari sebelum mendapat pengobatan.1,2

Gejala kurang dari 12 minggu11

Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala,

salah satu termasuk hidung

tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior):

± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah ± penurunan/hilangnya penghidu

Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi

Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.

2. Rinosinusitis Kronik dengan/tanpa polip

Gejala tersering dari RS kronik adalah hidung

berair, hidung tersumbat, rasa penuh di wajah, dan nyeri/rasa tertekan di wajah. Pasien RS dengan polip lebih sering mengeluh hiposmia dan sedikit nyeri/rasa tertekan di wajah daripada pasien RS tanpa kronik. Pasien RS kronik tanpa polip juga lebih sering terinfeksi bakteri dan membaik setelah diobati.2

Gejala lebih dari 12 minggu11

Dua atau lebih gejala, salah satu termasuk

hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior):

± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah ± penurunan/hilangnya penghidu

Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.

Pada anak-anak harus ditanyakan faktor predisposisi lain seperti defisiensi imun dan GERD.

Pemeriksaan Fisik11

 Pemeriksaan hidung (edema, hiperemis, pus)

Pemeriksaan mulut (post nasal drip)

 Singkirkan infeksi gigi

Evaluasi Endoskpoik11

Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi:  RS kronik tanpa polip. Tidak terlihat adanya

polip di meatus medius, jika diperlukan setelah pemberian dekongestan (definisi ini menerima bahwa terdapat spektrum dari RS kronik termasuk perubahan polipoid pada sinus/dan atau meatus medius tetapi menyingkirkan penyakit polipoid yang terdapat pada rongga hidung untuk menghindari tumpang tindih).  RS kronik dengan polip. Polip bilateral yang

terlihat dari meatus medius.

 Melakukan evaluasi diagnosis dan

penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan primer

 Mengisi kuisioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum dilakukan

Polip kecil yang terlihat pada meatus medius kiri16

(11)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

11

Sekret purulen pada meatus medius kiri17

Pencitraan11

Foto polos sinus paranasal tidak direkomendasikan. Tomografi komputer juga tidak direkomendasikan, kecuali terdapat:

 Penyakit sangat berat

 Pasien dengan penurunan imunitas

 Tanda komplikasi

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan mikrobiologik dan kultur resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat. Lebih baik lagi bila diambil sekret dari sinus maksila.10

Jika curiga adanya sinusistis jamur, dapat dilakukan kultur aspirasi secara endoskopi dengan pewarnaan jamur. Jika hasilnya negatif dan gejala klinik mendukung ke arah sinusitis jamur, dapat dilakukan biopsi dengan potong beku.18

Diagnosis Banding2

Rinitis Viral (Common Cold).

Common cold/RS viral akut didefinisikan

sebagai lamanya gejala < 10 hari. RS non-viral akut didefinisikan sebagai perburukan gejala setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit < 12 minggu.

 Nyeri Temporomandibular Joint

(TMJ).

Sering pasien menunjukkan mimik seperti gejala sinusitis. Nyeri TMJ sering ditemukan dan kualitas nyerinya juga berbeda-beda. Penting pada palpasi TMJ ditemukan nyeri tekan dan “klik”.2

Nyeri Kepala dan Migrain.

Migrain ditandai dengan nyeri kepala berdenyut, unilateral, sekitar 4-72 jam. Migrain dapat terjadi dengan atau tanpa gejala

neurologis, seperti gangguan visus atau

kelumpuhan. Adanya aura, gejala singkat, dan respon terhadap pemberian obat seperti alkaloid ergot.

Nyeri trigeminal.

Neuralgia trigeminal jarang terjadi, tapi menyebabkan serangan hebat di sepanjang nervus trigeminal.

Neoplasma Sinus.

Ditanyakan apakah ada sumbatan hidung unilateral, epistaksis, gangguan visus, dan defisit neurologis. Perlu dilakukan endoskopi nasal dan pencitraan CT scan.

Medikamentosa A. Rinosinusitis Akut

Tujuan terapi adalah eradikasi bakteri patoetiologi sehingga klirens mukosiliar menjadi normal kembali, meredakan gejala lebih cepat dan

mencegah komplikasi sekunder.1

Terapi empirik antibiotik harus berdasarkan kuman patogen (S. pneumoniae, H. influenzae dan

M. catarrhalis) dan juga pola resisten dari

pathogen yang dicurigai. Kira-kira 25% S.

pneumoniae tidak sensitif penisilin disebabkan

perubahan penicillin-binding proteins, dan resisten

makrolid dan trimetofin/sulfametoksazol

(TMP/SMX). Hampir semua kuman M.

catarrhalis (90%) dan H. influenza menghasilkan beta-lactamase yang diinaktifkan oleh antibiotik beta-lactamase.1,2

Pemilihan AB tergantung beratnya penyakit

dan riwayat pemakaian AB dalam 4-6 minggu:1,2

 Ringan dan tidak ada riwayat pemakaian AB.

Direkomendasikan amoksisilin klavulanat (1,75-4 gr/250 mg/hari atau 45-90 mg/6,4 mg/kg/hari untuk anak), amoksisilin (1,5-4 g/hari atau 45-90 mg/kg/hari untuk anak), atau cefpodoksim, cefurosim, atau cefdinir. Untuk dewasa yang alergi beta-lactamase

diberikan TMP/SMX, doksisiklin atau

makrolid, sedangkan anak yang alergi

beta-lactamase diberikan TMP/SMX atau makrolid (azitromisin, klaritromisin dan eritromisin).

 Sedang dan ada riwayat pemakaian AB.

Direkomendasikan respiratory quinolone

(gatifloksasin, levofloksasin atau

moksifloksasin), amoksisilin/klavulanat,

ceftriakson dan terapi kombinasi.

Dewasa yang alergi beta-lactamase diberikan

respiratory quinolone atau klindamisin dan

rifampin, sedangkan untuk anak diberikan

TMP/SMX, makrolid atau klindamisin.

Bila dalam 72 jam tidak ada perbaikan dan terjadi perburukan gejala, pasien harus direvaluasi. Terapi tambahan meliputi cuci hidung hidung dan

irigasi, analgesik (ibuprofen,

asetaminofen),mukolitik (guaifenesin) dan

dekongestan oral (pseudoefedrin).1,8 B. Rinosinusitis Kronik

Pemberian AB pada RS kronik adalah kontroversi bila penyebab dasarnya belum diketahui.1

(12)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

12

Pilihan terapi meliputi:1,2

 Antimikroba. Idealnya pilihan AB berdasarkan

kultur secara endoskopik, tetapi bila ini tidak dapat dilakukan, dapat diberikan AB empirik

(paling sedikit 3-6 minggu), misalnya

amoksisilin/klavulanat, respiratory quinolone, klaritromisin, sefalosporin generasi kedua

(sefuroksim, sefpodoksim, sefdinir) dan

doksisiklin.

 Kortikosteroid. Steroid nasal topikal adalah yang paling sering diberikan. Steroid sistemik juga dapat diberikan, khususnya untuk pasien RS kronik dengan polip.

 Terapi tambahan. Irigasi nasal dan mukolitik (guaifenesin).

 Penatalaksanaan alergi. Dilakukan pada pasien

dengan riwayat alergi, dengan cara kontrol lingkungan, steroid topikal dan imunoterapi, sehingga dapat mencegah rinitis eksaserbasi serta progesifitas dari sinusitis.

AB oral RS aku t RS kro nik S. pneu monia e H. infl uen zae M. catarr halis S. aur eus An aer obe s Enteric Penisi lin/am oksisil in + 0 0 0 ± 0 Sefalo sporin Gen. I Gen. II Gen. III ± + ± 0 + + 0 + + + + ± 0 0 0 0 ± + Amok sisilin/ klavul anat + + + + + + Makro lid ± ± ± + 0 0 Klind amisin + 0 0 + + 0 Imipe nem*/ Merop enem* + + + + + + TMP/ SMX - + + ± 0 + Quino lon (lama) atau amino glikos id ± + + ± 0 + Quino lon (terbar u) + + + + ± + Aktivi tas 0 <30% ± 30-80% + > 90 %

Tingkat efisiensi antibiotik oral2

Penatalaksanaan sinusitis jamur meliputi:1,2,10

1. Sinusitis jamur invasif

 Debridemen (bila perlu termasuk kavum orbita)

 Terapi antifungal secara intavena

 Stabilisasi penyakit

immunocompromised

 Stabilasi penyakit diabetes

2. Fungal ball. Dilakukan ekstirpasi komplit dari massa jamur.

3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)

 Pembedahan primer diikuti pemberian steroid nasal topikal pasca operasi  Imunoterapi dan steroid sistemik (bila

perlu) untuk mengurangi rekurensi  Antifungal topikal juga dapat diberikan

Pembedahan

Maksimal terapi medikamentosa adalah 4-6 minggu (AB, steroid nasal dan steroid sistemik), selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk pembedahan. Pembedahan dilakukan bila ada kelainan mukosa dan sumbatan KOM, dengan panduan CT scan atau endoskopik. Pasien dengan kelainan anatomi atau polip

sinonasal lebih respon terhadap terapi pembedahan.2

A. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

FESS adalah tindakan pembedahan pada rongga hidung dan atau sekitarnya dengan bantuan endoskop fiber optik.8

Indikasi pendekatan endoskopi sama dengan pendekatan intranasal dan eksternal yang lain dan secara umum meliputi :2,8

 Sinusitis akut rekuren

 Sinusitis kronis

 Sinusitis karena jamur alergi

 Rinosinusitis hipertrofi kronis (polip)

 Polip antrokoanal

 Mukokel di dalam sinus

Keberhasilan FESS sangat bergantung pada perawatan pasca operasi, yaitu endoskopi nasal serial(dengan debridement), kultur dan resistensi kuman (pemilihan AB) dan terapi lain (steroid nasal topikal dan steroid sistemik. Perbaikan gejala setelah terapi FESS adalah lebih dari 90%.1,2

Komplikasinya meliputi:2

 Trauma pada dinding medial orbita

 Hematom dan perdarahan yang dapat menekan nervus optikus dan menyebabkan kebutaan

 Kerusakan lapisan kribifrom sehingga

menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal  Herniasi komponen otak

 Meningitis

(13)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

13

Pengukuran jarak dari nares anterior ke berbagai area di sekitar hidung16

Perawatan pasca bedah:8

1. Penderita apabila perlu di rawat inap, misalnya operasi dengan anestesi umum.

2. Antibiotik

3. Penatalaksanaan komplikasi.

4. Follow-up

 Pengangkatan tampon.

 Penilaian keberhasilan pengobatan.

B. Prosedur Terbuka 1. Antrostomi2,8

Antrostomi adalah tindakan pembedahan membuat lubang ke sinus maksilaris dengan menembus dinding medialnya pada meatus

inferior untuk mengeluarkan pus dan

memperbaiki drainase.

Indikasi operasi adalah sinusitis maksilaris sebagai upaya memfasilitasi pengeluaran pus dan atau memperbaiki drainase.

Komplikasi

 Cedera orbita : hematom orbita, diplopia, kebutaan

 Emboli udara

 Insersi trokar lebih didepan dari dinding depan antrum dan selanjutnya ke jaringan lunak yang dapat mengakibatkan emfisema subkutan

 Perdarahan

 Perlukaan saluran dan kantong

nasolakrimal

 Mati rasa

 Parestesi

 Trauma gigi

Perawatan pasca bedah, meliputi:

1. Penderita apabila perlu di rawat inap, misalnya antrostomi dengan anestesi umum.

2. Antibiotik

3. Penatalaksanaan komplikasi

4. Follow-up

 Dilakukan pengulangan antrostomi apabila diperlukan.

 Apabila tidak ada indikasi antrostomi ulang, pasien dikontrol di klinik satu minggu setelah tindakan, untuk menilai keberhasilan terapi.

2. Antrotomi Caldwell-Luc8

Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan pembedahan membuka dinding depan sinus maksilaris, mengeluarkan pus maupun jaringan patologis.

Indikasi operasi:

 Tumor jinak

 Empiema kronis yang resisten dengan

pengobatan konservatif

 Fraktur komplikata maksila

 Eksplorasi Komplikasi

 Kerusakan saraf infraorbita

 Kerusakan akar gigi

 Kerusakan dasar orbita

 Hipestesi atau parestesi pipi

 Kerusakan bola mata

 Emfisema subkutan

 Kerusakan saraf alveol superior dan soket gigi  Edem berkepanjangan  Infeksi  Perdarahan  Pembengkakan wajah  Fistula oroantral Perawatan pasca bedah 1. Penderita di rawat inap. 2. Antibiotik

3. Penatalaksanaan komplikasi

4. Follow-up

 Pengangkatan tampon

(14)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

14

Skema penatalaksanaan RS akut pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer11

Komplikasi

Disebut komplikasi bila infeksi sudah menembus dinding sinus ke organ sekitar, meliputi:11

a. Lokal : mukokel, kista retensi mukus,

osteomielitis (tulang frontal dan maksila) b. Orbital

c. Intrakranial

d. Descending infection: otitis media akut atau kronik, faringitis dan tonsillitis, laryngitis persisten dan trakeobronkitis

e. Fokal infeksi.

Temuan klinis Penatalaksanaan

Selulitis preseptal Bengkak kelopak mata, otot ekstraokular intak, visus normal Medikamentosa (jarang, drainase abses sekunder) Selulitis orbital Edema orbita lebih difus, kerusakan otot ekstraokular, biasanya visus normal Medikamentosa (drainase sinus) Abses subperiosteal Proptosis, kerusakan otot ekstraokular Medikamentosa, drainase sinus, drainase abses

Abses orbital Exoftalmos

berat, kemosis, oftalmoplegi Medikamentosa, drainase sinus (sering), berat, gannguan visus drainase abses Tromboflebitis sinus kavernosus Nyeri orbita bilateral, kemosis, proptosis, oftalmoplegia Medikamentosa, drainase sinus (sering), antikoagulan Tindakan drainase sinus mungkin terbatas pada aspirasi sinus maksila atau endoskopik atau operasi sinus terbuka, tergantung keparahan gejala,

pemeriksaan fisik, lamanya pengobatan, dibutuhkan kultur untuk terapi AB.

Komplikasi orbita dari sinusitis16

Asal Proses penyakit

dan penatalaksanaan

Meningitis Sinus etmoid,

sinus sfenoid

Komplikasi paling sering, medikamentosa

Abses epidural Sinus frontal Medikamentosa,

drainase sinus dan abses (kadang-kadang) Abses

subdural

Sinus frontal Morbiditas dan

mortalitas tinggi neurologik, medikamentosa agresif (steroid dan antikonvulsan), drainase sinus dan abses (kadang-kadang) Abses intraserebral Sinus frontal (jarang; sinus etmoid dan sinus sfenoid Morbiditas dan mortalitas tinggi neurologik, biasanya gejala tidak tampak, medikamentosa agresif (steroid dan antikonvulsan), drainase sinus dan abses (sering) Tromboflebitis

vena

Sinus frontal Morbiditas dan

mortalitas tinggi neurologik, medikamentosa agresif (steroid dan antikonvulsan), antikoagulan (kontroversi), drainase sinus dan abses (sering) Paling banyak pasien dengan komplikasi intrakranial

memiliki pansinusitis unilateral atau bilateral

Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior): ± nyeri/rasa tertekan di wajah

± penhidu terganggu/hilang Pemeriksaan: rinoskopi anterior

Foto polos SPN/tomografi komputer tidak direkomendasikan

Gejala < 5 hari atau membaik setelahnya Common cold Pengobatan simtomatik Tidak ada perbaikan > 14 hari Rujuk ke dokter spesialis Gejala menetap atau memburuk > 5 hari Sedang Steroid topikal Perbaikan dalam 48 jam Teruskan terapi untuk 7-14 hari Berat* AB + steroid topikal Tidak ada perbaikan dalam 48 jam Rujuk ke dokter spesialis THT

Keadaan yang harus segera dirujuk/dirawat: Edema periorbita Pendorongan letak bola mata

Penglihatan ganda Oftalmoplegi Penurunan visus Nyeri frontal unilateral atau bilateral Bengkak daerah frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis

(15)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

15

Komplikasi intrakranial dari sinusitis16

Prognosis2

Prognosis RS akut adalah sangat baik, kira-kira 70% pasien sembuh tanpa pengobatan. Antibiotik hanya diperlukan bila ada gejala. RS kronik memiliki masalah yang lebih rumit, jika penyebabnya adalah struktur anatomi yang perlu dikoreksi, maka prognosis menjadi lebih baik. Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan dengan intervensi bedah. Bagaimana pun, penyakit ini sering kambuh, sehingga tindakan preventif adalah hal yang sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lee K.J. Essensial Otolaryngology Head & Neck

Surgery. Ninth Edition. Mc Graw Hill Medical. New York; 2008; p. 383-392.

2. Lalwani K Anil. Current Diagnosis & Treatment

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second Edition. Mc Graw Hill Lange. New York; 2008; p. 273-281.

3. Benninger M, Ferguson B, Hadley J. Adult

Chronic Rhinosinusitis Head and Neck Surgery; 2003; p. 129.

4. Sukgi S, Choi, Kenneth M, Grundfast.

Complication in sinus diseases. Diseases of sinuses diagnosis and management; 2001;169-176.

5. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and

Phisiology of The Nose and Accessory Sinuses in Diseases of the Nose, Throat, Ear,Head and Neck. 13th ed. Philadelphia; 2003; p. 1 – 25. 6. Blumenthal MN. Alergic Conditions in

Otolaryngology Patients. Adam GL, Boies LR Jr.

Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of

Otolaryngology, 6th ed. Philadelphia; 2004; p.195 – 205.

7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. FKUI. Jakarta; 2007.

8. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Buku Acuan

Modul Sinus Paranasal. 2008.

9. Dhingra PL, Disease of Ear, nose and Throat.

Fourth Edition. New Delhi; 2009; p. 178-191.

10. Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaiti, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. FKUI. Jakarta; 2010.

11. Fokkens W, Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyp 2007.

12. Berger G, Kattan A, Bernheim J, Ophir D. polipoid Mucosa with Eosinophilia and glandular hyperplasia in Chronic Sinusitis. Laryngoscope; 2002; p 112.

13. King HC, Antimicrobial treatment guidelines for acute bacterial rhinosinusitis. Sinus and allergy Health partnership. Otolaryngology Head-Neck Surgery. 2000; 123: 5 – 31.

14. Bagja P, Pengaruh Larutan Pencuci Hidung Air Laut Fisiologis Terhadap Transpor Mukosiliar Hidung pada Penderita Rinosinusitis Akut. Tesis. Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung; 2010.

15. Dhillon RS, An Illustrated Color Text Ear, Nose, Throat, Head and Neck Surgery. Second Edition. London; 2000.

16. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis Current Concept and Management. In : Bailey ed. Otolaryngology- Head and Neck Surgery. Second

Edition. Philadelphia. Lippincot-Raven

Publisher;2006; p. 441-445.

17. Piccirillo JF, Merrit MG, Richards ML. Psycometric and Clinimetric Validity of the 20-item Sino-nasal Outcome Test (SNOT-20). Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2002.

(16)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

(17)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

17

Rinitis alergi (RA) adalah suatu proses inflamasi yang diperantarai oleh IgE setelah pajanan allergen pada mukosa hidung yang menyebabkan adanya gejala hidung tersumbat, beringus dan bersin.1-2 Walaupun

penyakit ini tidak bersifat fatal dan sering dianggap tidak serius, namun pada keadaan tertentu dapat menyebabkan masalah dalam gangguan kualitas hidup berupa gangguan belajar disekolah, bekerja, gangguan prestasi kerja, gannguan saat tidur dan bersantai. Akibat tidur yang terganggu penderita sering merasa letih dan lesu di siang hari, sulit berkonsentrasi, sakit kepala bahkan harus membawa saputangan atau tissue kemana-mana untuk membersihkan hidung sehingga terbatas dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang akibatnya dapat menyebabkan rasa frustasi, lekas marah, rasa rendah diri dan depresi.1

Rinitis alergi mempunyai komorbiditas dan komplikasi seperti asma, sinusitis, otitis media, polip hidung, infeksi saluran nafas bawah yang dapat saling memperburuk gejala dgn akibat pengobatan menjadi lama dan mahal.1

Prevalensi rinitis Alergi cukup tinggi (10-25%) maka rinitis alergi merupakan masalah kesehatan dunia yang harus mendapat perhatian. Apalagi prevalensi

rinitis meningkat pada dekade terakhir ini.1

Berdasarkan penelitian pada penduduk amerika tahun 1997 kasus rinitis terbanyak pada kelompok usia 18-34 tahun (40,1%), selanjutnya pada usia 35-49 tahun (43,4%).3 Sedangkan di Indonesia belum ada angka

yang pasti walaupun di Jakarta dilaporkan disatu desa sekitar Jakarta pada kelompok usia kurang dari 14 thn rinitis alergi sebanyak 10,2%. 4 Sedangkan di Bandung prevalensi rinitis Alergi perennial pada usia 10 tahun

ditemukan cukup tinggi (5,8%).4 Data tersebut

menunjukan tingginya angka insiden rinitis alergi pada usia sekolah dan produktif.

Mengingat penyakit ini mudah terjadi kekambuhan menimpa penduduk dan mahalnya biaya pengobatan, maka perlu diupayakan sedini mungkin penanganannya sebelum terjadi komplikasi. Untuk itu diperlukan pengetahuan untuk mengenali penyakit

rhinitis alergika, bagaimana patogenesisnya,

menegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang apa saja yang harus dilakukan serta manajemen penatalaksanaan selanjutnya.

Pada saat ini kelompok kerja Allergic Rhinitis

and Its Impact on Asthma (ARIA-WHO 2001)

membuat klasifikasi rhinitis alergi menjadi intermiten atau persisten. Berat ringannya tingkat gejala dapat diklasifikasikan menjadi ringan (mild) atau sedang-berat (moderate-severe).

Klasifikasi baru rinitis alergi, yaitu dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup serta berdasarkan atas lamanya, dan dibagi dalam penyakit “intermiten” atau “persisten” dan berdasarkan derajat berat penyakit dibagi dalam “ringan” atau sedang berat” tergantung dari gejala dan kualitas hidup.

Upaya menghindari alergen penyebab bukan sesuatu yang mudah dilaksanakan, mengingat alergen hirup utama rhinitis alergi ialah debu rumah dan tungau debu rumah yang setiap saat tetap ada di sekitar penderita. Penatalaksanaan rinitis alergi atas rekomendasi

ARIA-WHO 2001 ini merupakan strategi yang

mengkombinasikan pengobatan penyakit saluran nafas atas dan bawah dari sudut manfaat dan keamanan yaitu penghindaran allergen, pengobatan medikamentosa, imunoterapi spesifik, edukasi, dan tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan beberapa penderita yang sangat selektif.3

Definisi

Rinitis alergi (RA) adalah suatu gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung dengan diperantai IgE. Gejala utamanya adalah hidung tersumbat, beringus, bersin-bersin, yang dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan.1-2

Gejala lainnya dapat berupa rasa gatal di palatum, kulit, mata dan paru-paru sebagai akibat reaksi hipersensitiv pada organ tersebut. Sebagai akibatnya rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup melalui timbulnya rasa lelah, sakit kepala dan kelemahan kognitif. Akibat lebih lanjut dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup berupa gangguan belajar di sekolah, bekerja, gangguan bersantai dan gangguan tidur.1

Klasifikasi

Berdasarkan konsensus ARIA-WHO 2001

(Allergic Rhinitis and Its impact on Asthma- World Health Organization), rinitis alergika diklasifikasikan menurut adanya gangguan kualitas hidup menjadi ringan (mild), dan sedang-berat (moderate-severe), sedangkan berdasar waktu dibagi menjadi sewaktu-waktu (intermitten) dan menetap (persisten).5

Klasifikasi rinitis alergi ARIA-WHO 20075

Sewaktu-waktu Gejala:  < 4 hari per minggu  Atau < 4 minggu Menetap Gejala:  4 hari per minggu  Dan > 4 minggu Ringan  Tidur normal  Aktifitas sehari-hari

saat olahraga dan saat santai normal

 Bekerja dan sekolah

normal

 Tidak ada keluhan

yang mengganggu

Sedang-Berat

Satu atau lebih gejala

 Tidur terganggu

 Aktifitas sehari-hari, saat olahraga dan saat santai terganggu

 Saat bekerja dan

sekolah terganggu

 Ada keluhan yang

mengganggu

(18)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

18

Berdasarkan ARIA-WHO dikenal klasifikasi rinitis alergi sebagai berikut:

1. Rinitis alergi ringan sewaktu-waktu (mild

intermittent)

2. Rinitis alergi sedang berat sewaktu-waktu

(moderate severe intermittent)

3. Rinitis alergi ringan menetap (mild persistent) 4. Rinitis alergi sedang berat menetap (moderate

severe persistent)

Alergen dan Sumber Alergen

Alergen adalah antigen yang menginduksi dan bereaksi dengan antibodi IgE spesifik. Alergen dapat berasal dari binatang, serangga, tumbuhan, jamur dan molekul kimia dengan berat molekul rendah seperti protein atau glikoprotein dan alergen hirup dan makanan. Alergen hirup ini sangat berperan terhadap terjadinya rinitis alergi. Peningkatan prevalensi rinitis alergi juga akibat peningkatan allergen tersebut. Terdapat 2 asal allergen yaitu dari dalam rumah dan luar rumah. Alergen yang berada di dalam kamar tidur terutama tungau debu rumah menjadi sumber allergen utama. Badan tungau dan butiran fesesnya meupakan sumber utama allergen ini. Alergen luar rumah dapat

berupa serbuk bunga dan jamur.2,6

Di Amerika prevalensi tungau debu rumah yang

terbanyak adalah tungau debu rumah

Dermatophagoides pteronyssinus (Dpt) dan Dermatophagoides farina (Df) sedangkan didaerah

subtropis dan tropis tungau debu terbanyak adalah

Blomia tropicalis (Bt). Keberadaan tungau debu rumah

itu jua dipengaruhi dengan kelembaban udara dan

suhu. Suhu berkisar 15-33oC dan kelembaban 55-75%

merupakan kondisi yang ideal untuk hidup tungau. Bila kelembaban kurang dari 50% tungau akan mengering dan mati. Alergen lain yang banyak dilaporkan adalah kecoa yang hidup disekitar air, kamar mandi, dan tempat makanan.

Jamur merupakan allergen yang berasal dari dari dalam dan luar rumah. Alergen ini menyukai tempat yang kurang ventilasinya, gelap, lembab sebagai tempat tumbuh.

Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan dapat memperberat rinitis. Polutan yang termasuk allergen domestic dan polutan gas diantaranya asap rokok sebagai sumber utama, gas buang kendaraan bermotor dan polutan atmosfir termasuk ozon, oksida dari nitrogen dan sulfur dioksida.2,6

Patogenesis

Menurut Peter S. Creticos, MD pada tahun 1988.7

Tahap Sensitasi

a. Paparan Antigen Pertama

Penyakit alergi terjadi karena paparan antigen, yang tergantung pada faktor-faktor seperti umur saat paparan pertama, banyaknya zat paparan (contoh: jumlah antigen), tipe paparan (oral atau inhalasi), asal alergen, dan lain-lain. Aktivasi

sistem imun tidak hanya membutuhkan paparan protein asing tapi juga disertai dengan adanya sinyal tanda bahaya (danger signal).

Jika antigen asing berupa virus, bakteri, atau parasit; danger signal diduga karena rusaknya jaringan oleh organisme-organisme tersebut, maka pada alergen yang berupa protein asing, diduga

danger signal terjadi karena aktivitas enzim

proteolitik yang dimiliki oleh alergen tersebut (ditemukan bahwa banyak alergen memiliki aktivitas enzim proteolitik). Sebagai tambahan, aeroalergen yang terinhalasi sebagai partikel (pollen grains, mold spores, house dust mite fecal

particles, animal dander, dll), yang berinteraksi

dengan jaringan saluran nafas akan menimbulkan inflamasi jaringan yang nonspesifik, yang dapat juga berfungsi sebagai danger signal. Jika protein antigen terpapar pada sistem imun tanpa adanya

danger signal, yang terjadi adalah toleransi

imunologis. Beberapa peneliti mempercayai bahwa mungkin terdapat efek ko-patogeni pada infeksi virus, yaitu pada fase sensitasi dan dalam menimbulkan reaksi alergi. Paparan terhadap berbagai virus (misal RSV, dll) pada umur muda dapat merupakan predisposisi terjadinya sensitasi alergi.

b. Proses Sensitasi

Terjadinya reaksi alergi diawali dengan pengenalan antigen/alergen oleh sel makrofag, monosit dan atau sel dendritik, yang ketiganya berperan sebagai sel penyaji (APC, antigen

presenting cells) dan berada di mukosa saluran

nafas (antara lain dalam mukosa hidung). Antigen/alergen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC. Kemudian terjadi proses internalisasi ke dalam sel

APC, kemudian antigen/alergen tersebut

terfragmentasi, yang disebut fragmen pendek peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini kemudian bergabung dengan molekul MHC kelas II (major histocompatibility complex class II) di dalam retikulum endoplasma sel APC. Kompleks peptida-MHC kelas II ini kemudian akan dipresentasikan di permukaan sel APC. Jika APC juga terpapar oleh danger signal, maka APC akan mengekspresikan molekul pada permukaan selnya yang disebut B7. Molekul tersebut merupakan aktivator poten untuk sel T-antigen spesifik.

Kompleks peptida-MHC kelas II yang

dipresentasikan kepada sel limfosit T (T- CD4+, sel Th0). Apabila sel Th0 ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap molekul kompleks peptida-MHC II, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Selanjutnya sel APC akan melepaskan sitokin, yaitu interleukin-1 (1). IL-1 ini akan mempengaruhi Th0, yang apabila

sinyal-kostimulator (pro-inflamatory second

Gambar

Gambar Skematis Letak Sinus Paranasalis  3.
Foto  polos  sinus  paranasal  tidak  direkomendasikan.  Tomografi  komputer  juga  tidak direkomendasikan, kecuali terdapat:
Foto polos SPN/tomografi komputer tidak direkomendasikan
Gambar 2.8 Perjalanan n. fasialis  12
+4

Referensi

Dokumen terkait