Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
145
Anatomi septum 1, Os frontal; 2, Os nasal; 3, Lamina perpendicular os etmoid; 4, Vomer; 5,
Krista nasalis os platina; , Krista nasalis os maksila; 7, Kartilago kuadrangularis
Setengah bagian bawah dari hidung ditunjang oleh sepasang kartilago lataral atas, sepasang kartilago lateral bawah dan kartilago kuadrangularis (Gambar 1 dan 2). Kartilago lateral atas mempunyai artikulasi berupa jaringan ikat dengan tulang hidung di bagian
superior yang menyatu dari periosteum dan
perikondrium, dengan kartilago kuadrangularis di bagian medial dan dengan kartilago lateral bawah di bagian inferior. Kerangka tulang rawan ini membentuk huruf “T” yang menyatu di garis tengah septum. Kerangka tulang rawan yang berbentuk huruf “T” tersebut sangat penting untuk menunjang area katup, dan memberi kekuatan yang cukup untuk menahan tekanan dari daerah tulang di sekitarnya. Kartilago lateral bawah terdiri dari krus medial dan lateral yang hampir menyerupai kerangka tulang rawan yang berbentuk huruf “T” tadi (Gambar 1). Disini terdapat perlekatan berupa jaringan ikat, yaitu dengan kertilago lateral atas di bagian superior dan dengan kartilago septum di bagian medial. Kartilago lateral bawah ini cukup tebal dan memberi bentuk pada lubang hidung
dan puncak hidung, sedangkan kartilago
kuadrangularis berfungsi sebagai tiang penunjang daerah dorsum nasi dan juga puncak hidung.
PATOFISIOLOGI
Trauma yang terjadi pada hidung bervariasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, besarnya kekuatan trauma, arah trauma dan objek penyebab trauma.
Patofisiologi trauma
Trauma yang mengenai tulang hidung maupun tulang rawan hidung dapat menyebabkan deformitas dan sumbatan hidung. Tipe dan seberapa parah fraktur tulang hidung yang terjadi tergantung dari kekuatan, arah dan mekanisme terjadinya trauma. Objek penyebab yang kecil dengan kecepatan tinggi dapat menyebabkan kerusakan yang sama dengan objek penyebab yang besar dengan kecepatan lebih rendah. Trauma hidung dari arah lateral merupakan trauma yang paling sering terjadi dan dapat mengakibatkan fraktur pada satu atau kedua tulang hidung yang sering disertai dengan dislokasi pada septum hidung (Gambar 3, A dan B). Dislokasi septum dapat menyebabkan dorsum nasi berbentuk S, puncak hidung tidak simetris dan sumbatan hidung. Trauma dari arah frontal pada hidung dapat mengakibatkan kedua tulang hidung tertekan (depresi), dorsum nasi menjadi lebar dan sumbatan hidung yang berat (Gambar 3, C). Trauma yang lebih berat dapat
mengakibatkan seluruh piramid hidung patah
berkeping-keping, biasanya disebabkan oleh trauma hidung yang datang dari arah frontal (Gambar 3, D). Selain itu arah trauma yang jarang terjadi adalah ke arah superior (dari bawah). Trauma dari arah ini akan menyebabkan fraktur septum yang parah dan dislokasi kartilago kuadringularis. Apabila trauma yang terjadi tidak didiagnosis dan dikoreksi dengan tepat maka pasien dengan keadaan tersebut akan mengalami gangguan estetika dan fungsional.
KLASIFIKASI
Berdasarkan waktu, fraktur hidung dibagi menjadi fraktur hidung baru dan lama. Pembagian
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
146
menurut waktu ini berdasarkan atas pembentukan kalus (callus). Bila kalus belum terbentuk sempurna maka fraktur digolongkan dalam fraktur baru, sedangkan bila kalus sudah mengeras digolongkan dalam fraktur lama (biasanya pada akhir minggu kedua setelah trauma).
Fraktur tulang hidung berdasarkan keutuhan kulit atau mukosa pada saat terjadinya trauma dibagi menjadi; fraktur tulang hidung tertutup, fraktur tulang hidung terbuka atau kombinasi keduanya.
Berdasarkan struktur tulang yang terlibat, maka fraktur pada tulang hidung dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yaitu: (1) tipe I : setengah bagian bawah tulang hidung: (2) tipe II : seluruh tulang hidung terpisah dari sutura noso frontal; (3) tipe III : tulang hidung dan prosesus frontal maksila ; (4) tipe IV : tulang hidung, prosesus frontal maksila, spina tulang frontal dan tulang etmoid; (5) tipe S/modifikasi : termasuk fraktur pada septum. Klasifikasi tersebut di atas sangat sederhana, berdasarkan anatomi dan dengan demikian dapat langsung ditentukan jenis operasi yang akan dilakukan.
Berdasarkan susunan tulang yang mengalami fraktur, maka fraktur pada tulang hidung dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu: (1) tipe I : fraktur tulang hidung uniteral sederhana; (2) tipe II : fraktur tulang hidung bilateral sederhana; (3) tipe III : fraktur tulang hidung berkeping baik unilateral, bilateral atau frontal; (4) tipe IV : fraktur tulang hidung yang melibatkan septum, yang dapat dibagi lagi menjadi tipe IV a : terdapat hematoma septum; tipe IV b : terdapat robekan pada mukosa.
DIAGNOSIS Anamnesis
Diagnosis yang tepat pada fraktur tulang hidung ditegakkan berdasarkan riwayat trauma dan pemerikasaan fisik secara menyeluruh. Riwayat trauma yang meliputi : (1) kekuatan, arah dan mekanisme terjadinya trauma; (2) adanya epistaksis atau kebocoran cairan serebrospinalis; (3) riwayat trauma atau operasi sebelum terjadi fraktur hidung; (4) adanya sumbatan atau deformitas pada hidung setelah trauma.
Memahami mekanisme terjadinya trauma akan sangat membantu dalam menentukan perluasan dari trauma. Hal tersebut berguna untuk mengetahui penyebab trauma, arah datangnya trauma serta besarnya kekuatan trauma yang diterima oleh hidung.
Setiap benturan keras yang mengenai hidung harus dicurigai terdapatnya fraktur pada tulang hidung. Adanya deformitas pada hidung menunjukan bahwa telah terjadi fraktur pada tulang hidung. Akan tetapi kadang-kadang epiktaksis mungkin merupakan satu-satunya gejala klinis yang ditemukan tanpa disertai adanya deformitas yang jelas pada hidung.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan kunci dalam mendiagnosis fraktur pada tulang hidung dan akan lebih tepat apabila dilakukan segera setelah terjadinya trauma dan sebelum terdapatnya edema. Pemeriksaan lokal yang meliputi hidung luar dan rongga hidung harus dilakukan. Inspeksi dan palpasi pada hidung harus dilakukan, baik eksternal maupun internal untuk mengetahui adanya deformitas, deviasi ataupun bentuk yang abnormal.
Pemeriksaan pada hidung bagian luar harus dinilai dari semua sudut. Pada pemeriksaan dinilai adanya perubahan bentuk hidung tampak tidak simetris akibat pergeseran struktur tulang hidung ataupun kerusakan pada kartilago, ukuran, pembengkakan, laserasi pada kulit, ekimosis dan hematoma.
Pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior. Bila terdapat bekuan darah maka harus dibersihkan terlebih dahulu dan bila perlu menggunakan nasal dekongestan dan anestesi topikal. Pada pemeriksaan dinilai aliran udara hidung, adanya pembengkakan mukosa hidung, ada tidaknya robekan pada mukosa septum, epistaksis, deformitas dan hematoma septum.
Palpasi pada struktur hidung luar harus
dilakukan untuk menilai stabilitasnya. Pada
kebanyakan kasus adanya depresi atau pergeseran pada tulang hidung merupakan tanda terdapatnya fraktur pada hidung. Kartilago pada hidung dan septum harus diperiksa untuk kemungkinan terdapatnya dislokasi. Puncak hidung harus didorong ke arah oksiput untuk memeriksa keutuhan kartilago penunjang septum. Adanya krepitasi dan nyeri tekan juga merupakan salah satu tanda terdapatnya fraktur pada tulang hidung.
Pemeriksaan Radiologi
Kegunaan pemeriksaan radiologi berupa foto polos os nasal untuk mendiagnosis fraktur pada hidung sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa penulis
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
147
menyatakan perlunya dokumentasi berupa foto polos os nasal untuk kepentingan medikolegal pada kasus-kasus fraktur tulang hidung. Akan tetapi
penelitian-penelitian sebelumnya menunjukan pemeriksaan
radiologi (foto polos os nasal) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang buruk dalam mendignosis fraktur
tulang hidung. Mereka juga menyimpulkan
pemeriksaan radiologi tidak bermanfaat dan tidak berpengaruh dalam penatalaksanaan fraktur tulang hidung. Pemeriksaan radiologi dengan tomografi komputer dinilai lebih bermanfaat. Penelitian terbaru menemukan ultrasonografi dapat menjadi pemeriksaan radiologi alternatif untuk mengevaluasi fraktur pada tulang hidung.
Dokumentasi
Foto dokumentasi sebelum dan sesudah tindakan sangat diperlukan. Foto standar yang digunakan dalam menganalisa wajah adalah: tampak frontal, kedua sisi lateral, kedua sisi oblik dan tampak basal. Hal ini diperlukan selain untuk kepentingan medikolegal juga untuk perbadingan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan serta merekam adanya kemungkinan pasien telah mengalami deformitas pada hidung sebelum terjadi trauma.
KOMPLIKASI
Komplikasi pada fraktur hidung terjadi segera ataupun lambat. Yang termasuk komplikasi segera
adalah: edema, ekimosis, hematoma septum,
epistaksis, infeksi, adanya kebocoran cairan
serebrospinalis dan juga pernah dilaporkan
trigeminovagal reflek. Sedangkan yang termasuk komplikasi lambat antara lain: obstruksi hidung, jaringan parut, deformitas sekunder, sinekia, hidung pelana dan perforasi septum.
PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan fraktur tulang hidung harus dipertimbangakn tiga aspek untuk mendapatkan hasil yang baik, yaitu : waktu, jenis anestesi dan tehnik operasi.
Pada prinsipnya apabila terjadi fraktur hidung baru sederhana dan tertutup maka reposisi dilakukan segera bila keadaan umum memungkinkan. Tetapi bila terdapat edema atau hematoma yang luas maka akan
sulit untuk menegakkan diagnosis adanya fraktur dan sulit pula menentukan posisi fragmen fraktur, maka sebaiknya reposisi ditunda sampai akhir minggu pertama. Diharapkan dalam waktu tersebut edema serta hematoma akan hilang dan deformitas akan lebih jelas terlihat. Setelah itu reposisi dilakukan secara tertutup. Akan tetapi apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya hematoma pada septum maka aspirasi atau insisi dan drainase harus segera dilakukan agar tidak terjadi nekrosis pada kartilago septum. Reduksi dibutuhkan hanya untuk fraktur tulang hidung yang mnyebabkan deformitas dan sumbatan hidung.
Pada fraktur lama yang lebih dari 2 minggu dan sudah terbentuk kalus, reposisi secara tertutup tidak akan memberi hasil ynag memuaskan. Dengan demikian perlu dilakukan tindakan reposisi secara terbuka.
Pada kasus fraktur hidung terbuka dilakukan eksplorasi segera ditempat luka dan bila terdapat avulsi, jaringan itu dijahitkan kembali kemudian fragmen tulang direposisi.
PENATALAKSANAAN REDUKSI TERTUTUP
Tujuan utama penatalaksanaan fraktur tulang hidung adalah untuk mengembalikan fungsi dan bentuk hidung seperti sebelum terjadinya trauma.
Di antara fraktur tulang hidung yang sering dijumpai adalah fraktur tulang hidung uniteral yang disertai dengan pergeseran piramid hidung kesisi lainnya dan fraktur hidung yang disertai dislokasi atau
deviasi septum nasi. Kebanyakan fraktur tulang
hidung dapat ditangani secara adekuat dengan menggunakan teknik reduksi tertutup. Teknik reduksi
tertutup ini biasanya memberikan hasil yang
memuaskan pada kebanyakan kasus fraktur tulang hidung, karena teknik ini mudah dilakukan, memiliki angka kesakitan yang rendah dan waktu penyembuhan cepat. Oleh karena itu seorang dokter THT harus mengusai teknik reduksi tertutup ini dengan baik karena trauma pada hidung akan sering ditemukan pada praktek sehari-hari, yaitu berupa fraktur pada tulang hidung yang sederhana (simple fracture).
Teknik reduksi tertutup ini idealnya dilakukan pada fraktur hidung baru yang sebelumnya terjadinya trauma tidak terdapat deformitas, tidak ada keluhan hidung tersumbat dan pada pasien-pasien yang mengalami fraktur depresi tulang ipsilateral.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
148
Indikasi
Indikasi melakukan teknik reduksi tertutup, pada prisipnya dilakukan pada pasien-pasien yang mengalami fraktur hidung baru, yaitu : (1) fraktur tulang hidung uniteral atau bilateral; (2) fraktur tulang hidung dan septum (nasal-septal complex) yang disertai deviasi piramid hidung (nasal framework) kurang dari setengah lebar nasal bridge.
Waktu
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi waktu yang paling tepat dilakukannya terapi pada fraktur tulang hidung. Penelitian fraktur tulang hidung dilakukan segera setelah terjadinya trauma, sebelum terdapat edema, karena edema yang terjadi pada jaringan lunak biasanya akan menutupi fraktur tulang hidung yang ringan sampai sedang, sehingga tindakan reduksi tertutup sulit untuk dilakukan secepatnya. Dengan demikian, pasien-pasien tersebut harus dilakukan evaluasi kembali dalam 3 sampai 4 hari lagi. Apabila terdapat edema, maka pasien-pasien tersebut akan dilakukan pemeriksaan kembali pada 3 sampai 4 hari yang akan datang, dan tindakan reduksi tertutup sebaiknya dilakukan antara 3 dan 10 hari sesudah trauma. Akan tetapi waktu terbaik untuk melakukan tindakan reduksi tertutup agar didapatkan hasil yang memuaskan adalah 3 jam pertama setelah terjadinya trauma. Staffel menekankan pentingnya menangani fraktur tulang hidung dalam 2 minggu setelah terjadinya trauma, karena pada fraktur yang terjadi lebih dari 2 minggu dan sudah terbentuk kalus, sangat tidak mungkin untuk melakukan teknik tersebut di atas, sehingga memerlukan teknik reduksi terbuka. Apabila terjadi deviasi septum bersamaan dengan deviasi hidung, suatu tindakan untuk meluruskan septum dapat dilakukan bersamaan dengan reduksi atau rinoplasti dan tindakan ini dikenal sebagai septorinoplasti.
Anestesi
Reduksi tertutup pada fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan analgesia lokal atau anantesia umum.
Anestesi lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2% atau kokain 4% yang dicampur dengan epinefrin 1 : 100.000. tampon kapas ini ditempatkan pada meatus superior persis dibawah tulang hidung, di antar konka media dan septum dan bagian distal dari kapas tipis tersebut
terletak dekat foramen sfenopalatina, antara konka inferior dan septum nasi. Tambahan suntikan anestesi (infiltrasi lokal) dengan lidocain 2% yang mengandung epinefrin konsentrasi 1:100.000 dilakukan disepanjang dorsum nasi, lateral sampai piramid hidung dan bagian bawah dari septum nasi anterior untuk memblok n. infratrokhlearis, n. infraorbitalls, n. alveolaris superior dan ganglion sfenopalatina. Kadang-kadang diperlukan penambahan penyemprotan lidokain spray beberapa kali untuk memperoleh efek vasokonstriksi yang baik. Pemeriksa sebaiknya menunggu selama 10 sampai 20 menit agar obat anestesi yang telah diberikan bekerja efektif. Premedikasi dengan diazepam 5 sampai 10 mg dapat diberikan 30 menit sebelum tindakan reduksi tertutup dimulai. Keuntungan dengan analgesia lokal ialah biayanya murah, risikonya lebih kecil dan waktu lebih fleksibel.
Akan tetapi pada anak-anak, orang dewasa muda atau pasien yang tidak begitu kooperatif, tindakan reduksi tertutup sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
FRAKTUR MAKSILA
Definisi fraktur maksila : Fraktur yang berhubungan dengan sistem pilar vertikal dari sepertiga tengah wajah.
Klasifikasi :
Le Fort I ( Prosesus alveolaris ) : Fraktur maksila rendah yang memisahkan maksila setinggi dasar hidung
Le Fort II ( Fraktur Piramidal ) : Fraktur pada palatum dan sepertiga tengah wajah yang berakibat terpisahnya bagian sepertiga tengah wajah dari dasar kranium. Le fort III (Craniofacial disjunction) : Fraktur yang
mengakibatkan pemisahan lengkap kompleks
zygomaticomaxillaris dari dasar kranium.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
149
A. Anamnesis :
- Pembengkakan infra orbital
- Hipestesi cabang N.V2
- Maloklusi (Le Fort I – II)
- Epistaksis (Le Fort II – III)
- LCS leak (Le Fort III)
- mekanisme trauma : tentang kekuatan, lokasi dan arah benturan yang terjadi
- cedera di bagian tubuh yang lain
- riwayat perubahan status mental dan penuruna
kesadaran
- adanya defisiensi fungsional lainnya,
misalnya berhubungan dengan jalan nafas, penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran
B. Pemeriksaan Fisik :
- secara inspeksi wajah tampak tidak simetris atau tidak proporsional
- Inspeksi : kelainan lokal,luka, asimetri wajah, adakah gangguan fungsi mata, gangguan
oklusi, trismus, paresis fascialis dan
sebagainya.
- edema jaringan lunak dan ekimosis
- palpasi : daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infra orbital, hidung, mandibula, sendi temporomandibular, palpasi bimanual (ekstra – intra oral).
- LeFort I
- Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus dentalis, maksila dan palatum
- Maloklusi gigi
- LeFort II
- Palatum bergeser ke belakang - Maloklusi gigi
- LeFort III
- Terdapat mobilitas dan pergeseran kompleks zigomatikomaksilaris
- komplikasi intrakranial misalnya : kebocoran cairan serebrospinal melalui sel atap ethmoid dan lamina cribiformis.
Diagnosis banding : - Fraktur multiple wajah
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi baik berupa foto polos
maupun CT Scan
Foto polos : posisi Waters, foto kepala lateral
maupun servikal lateral.
CT Scan baik potongan axial maupun coronal.
pemeriksaan untuk persiapan operasi :
lab darah : Hb, Lekosit, Trombosit, BT, CT, bila perlu PT dan aPTT, SGOT,SGPT, Ureum, Kreatinin, Na, Kalium.
Radiologik : foto Thoraks Lain-lain : EKG bila perlu
Penatalaksanaan/terapi
- Perbaikan keadaan umum - Medikamentosa kausal - transfusi darah (bila perlu)
- Operatif : Repair (atau Reduksi) fraktur maksila Dapat berupa :
LeFort I :
Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4 – 6 minggu
LeFort II :
Seperti LeFort I disertai fiksasi dari sutura zigomatikum atau rim orbita
LeFort III :
Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan intermaksilar, suspensi dari sutura zigometikum dan pemasangan kawat dari rim orbita.
Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi segmen fraktur sebagai pengganti kawat.
Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi yang adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral atau anterior.
Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi, traktur alveolar atau maloklusi
Penyulit :
Perdarahan
Anemia
Obstruksi jalan nafas
Cedera saraf
Kebocoran CSF
Infeksi
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS