OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
KOMPLIKASI OTITIS MEDIA
3. Ekstratemporal dan kranial
Diantaranya : a. Abses Bezold b. Abses subperiosteal
Sedangkan Adams, dkk mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:10
A. Komplikasi di telinga tengah : 1. Perforasi persisten 2. Erosi tulang pendengaran 3. Paralisis saraf fasialis B. Komplikasi di telinga dalam :
1. Fistel labirin 2. Labirintitis supuratif 3. Tuli saraf (sensorineural) C. Komplikasi di ekstradural :
1. Abses ekstradural 2. Trombosis sinus lateralis 3. Petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat : 1. Meningitis
2. Abses otak 3. Hidrosefalus otitis
Paparella dan Shumrick (1980) membaginya dalam:10
A. Komplikasi otologik : 1. Mastoiditis koalesen 2. Petrositis 3. Paresis fasial 4. Labirintitis B. Komplikasi intrakranial : 1. Abses ekstradural 2. Trombosis sinus lateralis 3. Abses subdural
4. Meningitis 5. Abses otak 6. Hidrosefalus otitis
Shambaugh (1980) membaginya atas komplikasi meningeal dan nonmeningeal :
A. Komplikasi meningeal :
1. Abses ekstradural dan abses perisinus 2. Meningitis
3. Tromboflebitis sinus lateral 4. Hidrosefalus otitis
5. Otore likuor serebrospinal B. Komplikasi nonmeningeal :
1. Abses otak 2. Labirintitis 3. Petrositis
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
45
4. Paresis fasial
Skema tempat terjadinya infeksi pada komplikasi otitis media dapat dilihat pada gambar berikut.
Tempat Terjadinya Infeksi pada Komplikasi Otitis Media13
Komplikasi intrakranial yang sering terjadi adalah meningitis (34%), abses otak (25%) lobus temporalis (15%), serebelum (10%), labyrintitis (12%), otitic hydrocephalus (12%), thrombosis sinus duramater (10%), abses ekstradural (3%), petrositis (3%), abses ekstradural (3%), dan subdural abses (1%). Terjadinya komplikasi intrakranial sudah jauh berkurang seiring dengan adanya penggunaan antibiotik, dari 35%
menjadi 5%.6
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan didapatkan data dalam periode penelitian selama 8 tahun di Thailand didapatkan data bahwa sekitar 17.144 pasien datang dengan keluhan OMSK dengan
prevalensi terjadinya komplikasi pada daerah
intrakranial adalah sekitar 0.24% dan 0.45% komplikasi pada daerah ekstrakranial. Dari jumlah komplikasi 28% dari OMSK di Sudan, dua pertiga dari komplikasi tersebut adalah komplikasi intrakranial. Sedangkan dari penelitian yang dilakukan di India didapatkan data bahwa angka kematian yang diakibatkan oleh komplikasi intrakranial berupa abses otak adalah 57 %.6-9,13
Berikut ini akan dibahas patofisiologi dan terapi dari masing-masing komplikasi
Komplikasi Intratemporal6-9,13 Mastoiditis
Patofisiologi
Mastoiditis yang disebabkan oleh OMK dapat digolongkan dalam 2 jenis yaitu mastoiditis koalesens akut dan mastoiditis kronis.
Penyebab terjadinya komplikasi mastoiditis ini disebabkan oleh proses infeksi pada rongga telinga tengah dan rongga mastoid yang kemudian diikuti dengan adanya perubahan pada mukosa telinga tengah, dimana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan baik secara parsial maupun total pada antrum mastoid sehingga sistim drainase dari rongga mastoid terganggu dan pada akhirnya proses infeksi pada
rongga mastoid menjadi berlanjut dan menjadi kronis.
6-9,13 Mastoiditis Koalensen akut lebih sering berhubungan dengan dengan otitis media akut, tetapi
juga dapat berhubungan otitis media kronis.
Koalensen mastoiditis akut terjadi pada proses pneumatisasi sebagian atau keseluruhan dari sel-sel udara yang berada dalam rongga mastoid. Biasanya hal ini terjadi dalam waktu 2 minggu setelah proses akut supuratif otitis media.6-9,13
Diagnosa
Mastoiditis ditandai dengan gejala sbb: 1. Demam
2. Nyeri
3. Gangguan pendengaran
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan : 1. Membran timpani yang menonjol
2. Dinding kanalis posterior yang menggantung 3. Pembengkakan daerah telinga bagian belakang,
sehingga mendorong pinna keluar dan ke depan. 4. Nyeri tekan daerah mastoid, terutama pada
posterior dan sedikit diatas liang telinga (segitiga Mc Ewen)
5. Dari pemeriksaan radiologis dan CT Scan didapatkan gambaran : destruksi secara hebat dari sel-sel udara mastoid, opasifikasi sel-sel udara mastoid oleh cairan dan hilangnya trabekulasi normal dari se-sel tersebut.4,5,7,14,19
Mastoiditis kronis ditandai dengan adanya proses nekrosis dan erosi (osteolisis) dari septa sel-sel udara mastoid sehingga pada ruangan mastoid tersebut akan terkumpul materi yang purulen. Erosi tulang yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi, yang jika ke medial dapat menyebabkan infeksi intrakranial, ke lateral atau superfisial akan menyebabkan terjadinya proses abses bezold atau abses subperiosteal.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
46
Sedangkan mastoiditis kronis ditandai dengan adanya cairan purulen kronis yang berbau busuk berwarna kuning kehijauan atau keabu-abuan yang menandakan adanya kesan kolesteatom dan produk degenerasinya, nyeri pada daerah belakang telinga yang telah berlangsung lama. Nyeri merupakan suatu hal yang patut diwaspadai, karena nyeri ini dapat menimbulkan suatu kesan adanya proses terkenanya duramater, sinus lateralis, ataupun pembentukan abses otak. Disertai pula dengan adanya gangguan fungsi
pendengaran yang bersifat konduktif maupun
campuran.6-9,13
Dari pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran adanya gambaran lesi yang irregular didaerah mastoid dan daerah sinus sigmoid dikelilingi oleh daerah
hyperostotic. Pada pamariksaan dengan CT Scan
seringkali tidak didaptkan gambaran yang signifikan dan seringkali yang dipakai adalah yang sesuai dengan
gambaran klinis. MRI didapatkan gambaran
nonspesifik, dengan gambaran peradangan yang persisten.6-9,13
MRI pada Kasus Mastoiditis7
Penatalaksanaan
Tindakan mastoidektomi
Labyrintitis Patofisiologi6-9,13
Terjadinya penyebaran pada labirin diakibatkan oleh adanya pnyebaran secara langsung dari infeksi telinga tengah kronis, yang dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada fungsi keseimbangan maupun
pendengaran. Labirintitis yang disebabkan oleh virus jarang sekali berakibat fatal. Ada 2 jenis labirintitis yang terjadi, yaitu labitintitis purulen dan serous labirintitis.
Proses labirintitis supuratif terjadi setelah bakteri dari OMK menginfiltrasi cairan yang berada dalam rongga labirin, sehingga timbul pus. Beberapa keadaan yang mengakibatkan masuknya bakteri dalam rongga labirin adalah erosi dari tulang labirin, tulang temporal yang patah, dan labirin fistula. Kerusakan labirin dapat mengakibatkan terjadinya vertigo dan penurunan
pendengaran. Pada fase peradangan, vertigo
merupakan hasil dari perangsangan organ vestibular, sedangkan jika telah berlangsung lama, vertigo merupakan hasil dari kerusakan organ vestibular yang permanen. Sedangkan gangguan pendengaran yang biasanya bersifat permanen. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan organ korti.
Serous labirintitis lebih sering terjadi karena proses peradangan dari labirin tanpa disertai dengan pembentukan pus, peradangan merupakan respon terhadap racun bakteri ataupun sel-sel mediator peradangan. Reaksi peradangan juga menghasilkan gejala timbulnya vertigo dan gangguan pendengaran. Daerah yang paling sering sebagai pintu masuk reaksi tersebut adalah foramen rotundum maupun foramen ovale. 7,9,18
Pemeriksaan dapat kita lakukan dengan melakukan tes fistel.
Diagnosis
Diagnosis pasti dari kedua hal ini sulit dibedakan, hal ini disebabkan munculnya gejala yang hampir sama, tidak ada satu tes pun yang dapat membedakan kedua kelainan tersebut. Diagnosis serous labirintitis dapat dibuat retrospektif, yang ditandai dengan adanya pemulihan gejala vertigo dan gangguan pendengaran. Sedangkan jika terkena supuratif labirintitis biasanya kedua gejala tersebut akan menetap walaupun telah diambil tindakan operasi.6-9,13
Penatalaksanaan
Penanganan dari labirintitis yang diakibatkan oleh OMK adalah dengan tindakan kultur dan dilakukan tindakan drainase. Pada infeksi akut cukup kita
lakukan tindakan miringotomi dan pemakaian
timpanostomi tube, disamping pemberian antibiotika. Sedangkan pada kasus yang kronis, diperlukan
tindakan masteidektomi. Beberapa ahli
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
47
masa akut untuk menghindari terjadinya komplikasi yang lebih luas. Pasien sebaiknya bedrest total ditempat tidur dengan pergerakan kepala yang seminimal mungkin. Pemberian antibiotika selama
masih dalam perawatan di RS dilakukan intravena.6-9,13
Tindakan operasi labirintektomi dilakukann jika terdapat gangguan total dari fungsi labirin tersebut atau meningitis setelah pasien mendapatkan terapi yang adekuat dengan antibiotik. Jika ditemukan proses ossifikasi pada labirin sebaiknya dilakukan tindakan
pemasangan kokhlear implant.6-9,13
Sensorineural Hearing Loss
Sebenarnya hubungan antara OMK dengan SNHL masih kontroversial, walaupun secara klinis terlihat seperti berhubungan. Beberapa faktor yang diduga turut berperan adalah endotoksin, patogenesis bakteri, factor sirkulasi dan faktor mekanik. Teori lain mengatakan bahwa seringkali terjadinya gangguan pada aliran darah foramen ovale dan diikuti dengan berkurangnya pasokan oksigen ke telinga bagian dalam, sehingga akan menyebabkan kerusakan pada telinga bagian dalam.6-9,13
Paparella menunjukkan bahwa otitis media kronik dapat menyebabkan permanen SNHL karena pasase substansi toksik melalui membran round window.
SNHL yang terjadi merupakan pengaruh sekunder dari kelainan primernya, diantaranya serous dan
supuratif labirintitis, fistula labirintitis, dan
kolesteatom yang telah masuk ke labirin.6-9,13
Untuk mengetahui derajat penurunanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan serial audiometri.
Petrositis Patofisiologi
Merupakan proses peradangan bagian petrosus dari tulang temporal yang ditandai dengan timbulnya sindrom Gradenigo.6-9,13 Apex petrosus terdapat pada
bagian medial – anterior dari tulang temporal, dengan posisi tepatnya adalah di depan otic capsule. Pada daerah ini terdapat penonjolan yang dibentuk dari a. karotis interna. Tulang temporal mempunyai sel-sel udara sampai daerah apex petrosus sekitar 30% dari tulang temporal, timbulnya pneumatisasi ini setelah anak berusia lebih dari 3 tahun. Dimana sel-sel ini akan berhubungan dengan telinga tengah maupun
rongga mastoid melalui jalur sempit yang letaknya bersebelahan dengan otic capsule. Sehingga infeksi daerah telinga tengah maupun mastoid dapat mempengaruhi se-sel udara yang terdapat pada apex petrosus melalui daerah celah sempit tersebut.
Jadi karakteristik di daerah tulang petrosus ini :
Drainase lebih terbatas
Proksimal dari apical air cels sampai diploic spaces merupakan predisposisi terjadinya osteomyelitis
Proksimal dari struktur intrakranial dan drainase yang kurang memperedisposisi terjadinya ekstensi ke intrakranial
Kelainan petrositis timbul jika sistim drainase dari mastoid daerah apex petrosus terganggu sehingga akan
terjadi peradangan pada daerah tersebut dan
selanjutnya akan menyebar ke daerah sekitarnya. Apex petrosus ini posisinya berdekatan dengan fossa kranial medial dan posterior, sehingga jika sampai infeksi tersebut menyebabkan terjadinya petrositis dapat menyebabkan timbulnya infeksi ke daerah intrakranial.
Diagnosa
Petrositis sendiri berhubungan dengan timbulnya
Sindrom Gradenigo, yang terdiri dari trias klasik:6,7,13
1) Nyeri di belakang mata atau telinga yang hebat 2) Keluarnya cairan dari telinga
3) Kelumpuhan dari saraf kranialis ke-6 (N.
Abducens) yang terletak pada Dorello’s canal, pada
sisi ipsilateral sehingga timbul keluhan diplopia.
Di samping timbulnya sindrom gradenigo tersebut, ada beberapa hal yang patut untuk diperhatikan berkaitan dengan timbulnya petrositis ini yaitu nanah yang keluar terus menerus dan rasa nyeri yang menetap pascamastoidektomi.
Diagnosis dari penyakit ini dapat dilihat dari adanya gejala yang penting, berupa nyeri yang hebat sepanjang perjalanan saraf trigeminus pada saat OMK terjadi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan CT Scan setinggi tulang temporal, didaerah apex petrosus akan ditemukan tulang yang mengalami destruksi dan jika dicurigai
adanya kemungkinan penyebaran kedaerah
intrakranial, dapat dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi ataupun MRI otak.6-9,13
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
48
CT scan pada Kasus Petrositis16
Penatalaksanaan
Penanganan kasus petrositis yang akut adalah dengan menggunakan intravena antibiotika yang tepat dan tindakan masteidektomi. Pada pasien petrositis yang disebabkan oleh OMK seringkali diikuti dengan adanya osteomielitis pada tulang petrosus yang menjadi resisten terhadap tindakan terapi konservatif antibiotika. Sehingga diperlukan tindakan eksplorasi dari tulang apex petrosus disamping tindakan masteidektomi.6-9,13
Paralisis Fasialis
Posisi kanalis fasialis yang cukup panjang sepanjang tulang temporal, menyebabkan saraf fasialis ini mudah mengalami infeksi atau gangguan lainya jika terdapat penyakit yang mengenai tulang temporal. Pada OMK, terjadinya infeksi dan peradangan dapat mengenai saraf fasialis setelah terlebih dahulu mengerosi tulang yang membentuk kanalis fasialis, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya paresis dan paralysis. Pada dewasa, komplikasi ini dapat terjadi pada OMK sendiri ataupun OMK dengan disertai kolesteatom (80%) dan jaringan granulasi. Jika murni OMK, maka kelainan ini pada kanalis fasialis ditandai dengan osteitis pada tulang temporal yang melindungi kanalis fasialis tersebut. Sedangkan jika disertai dengan kolesteatom ditandai dengan adanya erosi pada
tulang temporal. Karena hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadi udema dan kompresi pada saraf fasialis sehingga dapat menimbulkan terjadinya paresis yang diikuti dengan paralisis saraf fasialis.6-9,13
Pada anak, paralisis fasialis yang terjadi sering merupakan akibat dari otitits media akut dan mastoiditis dengan efusi supuratif.
Asumsi bahwa paralisis fasialis in timbul sekunder karena proses inflamasi , harus memenuhi kriteria diagnostik:
- Proses inflamasi harus berada pada sisi yang sama dengan paralisis fasialis yang terjadi
- Onset dari infeksi akut atau eksaserbasi dari infeksi kronikharus berhubungan dengan onset paralisis
Karena sangat sedikit spesimen untuk studi histologi, patogenesis terjadinya paralisis fasialis berdasarkan asumsi. Infeksi bisa terjadi di berbagai titik saraf fasialis. Yang paling sering terkena adalah segmen tympani dari canal fallopian, proksimal dari piramidal genu, karena segman ini sering tererosi oleh kolestetatom dan penutupan inkomplit pada kanal ini ditemukan pada 57 % tulang temporal.
Telah diketahui pula bahwa kongesti vena, edema jaringan, direct neural toxicity adalah faktor utama yang berhubungan dengan paralisis, keadaan subakut dan kronik lebih kepada erosi tulanag dan menyebabkan kerusakan saraf
Pada pemeriksaan fisik, kita dapat melakukan tes topografi untuk mengetahui posisi dari kerusakan saraf fasialis tersebut. Apakah terdapat kelainan dari segmen intratemporal ataukah segmen mastoid.
Tes topografi dapat terlihat pada skema di halaman berikut .
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
49
Penanganan yang perlu dilakukan jika kita mendapatkan adanya paralisis saraf fasialis yang diakibatkan oleh adanya OMK adalah dengan melakukan eksplorasi segera daerah telinga tengah dengan melakukan tindakan masteidektomi untuk menghilangkan semua jaringan patologik, baik tulang yang terinfeksi maupun kolesteatom, jika saraf fasialis telah terkena, maka sebaiknya kita bersihkan semaksimal mungkin jaringan patologiknya dengan tetap meninggalkan jaringan granulasi yang telah menempel pada saraf fasialis seminimal mungkin, hal ini kita lakukan untuk menghindari terjadinya trauma pada saraf tersebut yang akhirnya berakibat lebih parah. Beberapa penulis, mengemukakan bahwa sebaiknya dilakukan tindakan eksplorasi kanalis fasialis dari ganglion genikulatum sampai foramen
stilomastoideum, jika ada daerah sepanjang
epineurium saraf fasialis yang telah terkena, maka
sebaiknya dilakukan tindakan pembukaan dari
selubung sarafnya kemudian dibersihkan dan
selanjutnya dilakukan tindakan pencangkokan terhadap daerah yang terkena. Selama proses operasi sebaiknya dilakukan juga tindakan pengambilan contoh jaringan untuk dilakukan tes kultur dan setelah operasi diberikan antibiotik yang adekuat.6-9,13
Kolesteatoma
Kolesteatoma menyerupai kista, merupakan lesi yang berkembang didaerah tulang temporal, dibatasi oleh epitel stratified skuamosa dan berisi keratin yang
terdeskuamasi dan purulen. Kolesteatom
mempengaruhi telinga tengah dan mastoid, tetapi pada prinsipnya kolesteatom dapat timbul dimanapun daerah tulang temporal yang mengalami pneumatisasi atau yang berisi sel-sel udara. Kolesteatom dapat berasal dari kongenital ataupun didapat.
Pada kolesteatom yang didapat, teori terbentuknya masih merupakan hal yang kontraversial. diduga kolesteatom merupakan hasil dari komplikasi OMK,
dimana OMK dapat mengakibatkan terjadinya
transformasi mukosa dan epitel. Proses yang terjadi adalah metaplasia dari epitel kolumnar pseudostratified bersilia menjadi epitel skuamosa berlapis, yang memegang peranan penting untuk terbentuknya kolesteatom. Para ahli masih belum sependapat sama seluruhnya tentang teori terjadinya proses resopsi dari tulang oleh kolesteatom. Dikatakan bahwa resopsi dari tulang merupakan hasil proses sekunder dari reaksi ensimatik dan reaksi yang diperantai sel. Supreinfeksi dan peningkatan tekanan dari kolesteatom disebabkan oleh terperangkapnya kolesteatom dalam ruangan
sempit sehingga akan mempercepat proses osteolitik dari tulang. Reaksi enzimatik memegang peranan yang sangat penting untuk terjadinya proses osteolitik tersebut.6-9,13
Skema Kolesteatom di Telinga Tengah20 Ada 4 teori dasar mengenai patogenesis terjadinya acquired kolesteatom : 7
1. Invaginasi membran timpani (Witmaack,1933) Merupakan proses primer tejadinya kolesteatom di
atik. Retraksi pocket di pars flaccida semakin dalam karena tekanan negatif telinga tengah dan inflamasi yang berulang. Hal ini menyebabkan keratin yang berdeskuamasi tidak dapat dibersihkan
dari kantung tersebut, berakumulasi dan
membentuk kolesteatom. Kolesteatom di retraction pocket ini terjadi karena disfungsi tuba eustachius dengan resultan tekanan negatif telinga tengah (teori ”ex vacuo”)
2. Hiperplasia sel basal (Lange, 1925)
Sel epitel (prickle cells) pada pars flaccida dapat
menginvasi jaringan subepitel dengan cara
berproliferasinya lapisan pada sel epitel. Jadi lamina basalis bisa ditembus oleh lapisan epitel ini sehingga terbentuk mikrokolestetatom. Hal ini menjelaskan mengapa dapt terjadi kolestetatom pada membran timpani yang intak. Menurut teori
ini mikrokolesteatom dapat membesar dan
menyebabkan perforasi sekunder pada membran timpani
3. Epithelial ingrowth melalui perforasi (Habermann, 1889)
Epitel skuamosa yang berkeratinisasi dari membran timpani bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi (contact guidance) dan bila menemukan permukaan epitel lain akan berhenti bermigrasi (contact inhibition). Jadi pada perforasi membran timpani, proses inflamasi akan menghancurkan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
50
inner mucosal lining dari membran timpani, akan memudahkan epitel berkeratinisasi dari luar untuk bermigrasi ke dalam dan membentuk kolesteatom. 4. Metaplasia epitel telinga tengah (Wendt, 1873)
Simple squamous atau cuboidal epithelium dari
celah di telinga tengah akan mengalami
transpormasi metaplatik menjadi epitel yang berkeratinisasi. Didukung oleh Sade (1971) bahwa sel epitel sangat pluripoten dan dapat distimulasi proses inflamasi untuk berkeratinisasi. Sehingga daerah epitel yang berkeratinisasi di telinga tengah dapat membesar karena akumulasi debris dan kontak dengan membran timpani. Dengan adanya infeksi dan inflamasi maka kolestetaom akan menyebakan lisis dari memberan timpani dan perforasi (kolesteatom atik)
Teori Terjadinya Kolesteatom7
Kolesteatom yang mengadung debris keratin yang terperangkap di ruang antar jaringan, merupakan subyek untuk terjadinya infeksi rekuren. Bakteri yang terdapat pada kolesteatom adalah :
Bakteri pada Kolesteatom7
Kerusakan tulang temporal pada kasus OMSK dapat atau tanpa disertai dengan kolesteatom. Ada 3 hal yang mempengaruhinya :