OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING
3. Adenoiditis Kronis
Wajah Klasik Adenoid11
2. Adenoiditis Akut (Tonsilitis Faringeal) 10 Adenoid sering terinfeksi apabila terjadi infeksi pada tonsil, jaringan limfoid sepanjang dinding lateral faring. Mikroorganisme yang menginfeksi biasanya sama dengan yang ditemukan pada infeksi tonsil.
Pada pasien dengan adenoiditis primer keluhan berupa nyeri tenggorok mulai dari yang ringan sampai tidak dapat menelan. Keluhan disertai demam, malaise, nyeri kepala dan sinusitis karena obstruksi pada koana posterior. Dapat juga dikeluhkan pendengaran berkurang dan otalgia karena obstruksi tuba eustachius.
Pada pemeriksaan tenggorok tampak merah, edema pada jaringan limfoid faring dengan pustula dan mukopus. Gejala sering disertai dengan adenopati servikal.
Pengobatan sama dengan pada tonsilitis akut. Pemberian cairan yang adekuat, istirahat, menjaga
kebersihan mulut dan pemberian analgetik.
Dekongestan dan antihistamin dapat diberikan sesuai kultur dan resitensi atau diberikan antibiotik spektrum luas. Pengobatan adenoiditis yang tidak selesai dapat menyebabkan kekambuhan.
3. Adenoiditis Kronis
Biasanya karena pengobatan adenoiditis akut yang tidak selesai atau gagal. Kondisi ini disertai rhinosinusitis purulen atau bersama dengan tonsilitis
kronis. Inflamasi bisa disebabkan bekteri atau virus. Gejala dapat disertai dengan rhinorrhea, sinusitis, serta keluhan pada telinga tengah.
Pemeriksaan pada nasofaring ditemukan hiperplasia pada jaringan limfoid nasofaring, disertai inflamasi kronis dan sekret mukopurulen.
Tonsilektomi dan Adenoidektomi
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada jaringan sekitarnya, seperti uvula dan pilar tonsil.1,2
Adenoidektomi adalah tindakan operasi untuk mengangkat adenoid (tonsila faringeal) di daerah nasofaring tanpa melukai otot faring dan torus tubarius.1,4
Indikasi absolut tonsilektomi:10
a. Episode tonsilitis akut berulang lebih dari 3 kali dalam 1 tahun
b. Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi
akut, tapi merupakan fokal infeksi
c. Pasca abses peritonsiler
d. Karier difteri
e. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam
f. Pembesaran tonsil yang dapat menyebabkan
obstruksi pernafasan/Obstructive Sleep Apneu
Syndrome (OSAS)1 atau gangguan menelan
(abnormal swallowing)1
g. Dicurigai adanya keganasan pada tonsil
Indikasi absolut untuk adenoidektomi:10
a. Penyakit telinga tengah sekunder akibat obstruksi
tuba eustachius
b. Adenoid hipertrofi yang menyebabkan obstruksi
pernafasan
c. Sinusitis oleh karena obstruksi ostium sinus
akibat kelainan adenoid
d. Nasofaringitis menetap dengan gejala paa hidung,
seperti rhinorrhea, suara sengau atau nafas berbunyi
Indikasi relatif untuk tonsiloadenoidektomi:10
a. Nyeri tenggorok berulang
b. Otalgia berulang
c. Rhinitis kronis
d. Infeksi saluran nafas berulang
e. Tonsil yang besar atau dengan debris
f. Limfadenopati servikal
g. Tonsilitis TBC atau adenitis TBC
h. Penyakit sistemik akibat infeksi Streptococcus
beta haemolyticus (rheumatic fever, rheumatic heart disease)
Kontraindikasi10
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
112
a. Penyakit darah: leukemia, anemia aplastik,
hemofilia dan purpura
b. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol: diabetes mellitus, penyakit jantung, dll.
Relatif:
a. Palatoschizis
b. Anemia (Hb < 10 gr% atau HCT < 30%)
c. Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (tidak
termasuk abses peritonsiler)
d. Poliomielitis epidemik
e. Usia di bawah 3 tahun
Persiapan operasi10
Terutama keadaan organ-organ vital, seperti jantung, paru-paru dan ginjal.
- Pemeriksaan darah: hemoglobin, jumlah leukosit,
trombosit, PT, aPTT, ureum, kreatinin, kadar gula darah, natrium dan kalium
- Pemeriksaan urine rutin
- Pemeriksaan radiologis: foto toraks
- Pemeriksaan EKG, khususnya untuk usia > 40
tahun
Perawatan Preoperatif:10
Untuk penderita yang akan dioperasi dengan narkosa umum, disarankan dirawat dan dipuasakan sedikitnya 6 jam sebelum operasi untuk orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak cukup 4 jam. Pemberian sedatif sebelum tidur mungkin dapat memberikan ketenangan dan menghilangkan perasaan takut atau stres operasi, membantu mencegah terjadianya cardiac inhition dan menekan aktivitas sekresi dari kelenjar mukus traktus respiratorius bagian atas dan bawah. Biasanya digunakan 2 macam obat, yaitu sedatif dan drying agent. Untuk operasi dengan anestesi lokal tidak ada persiapan khusus.
Dikenal 2 macam anestesi dalam operasi tonsil, yaitu anestesi lokal dan anestesi umum.10
1. Anestesi Lokal
- Biasanya dilakukan pada orang dewasa atau
pasien yang kooperatif
- Penderita duduk tegak saling berhadapan
dengan operator. Dilakukan tahapan: rongga mulut disemprot dengan anestesi topikal,
xylocain 2%. Kemudian dilakukan penyuntikan lidocain 2% sebanyak 10 cc dengan pembagian 3 cc di kutub atas tonsil, 3 cc di daerah tengah tonsil dan 4 cc di kutub bawah tonsil.
- Keuntungan: mudah, murah dan praktis.
- Kerugian: rasa kurang nyaman bagi penderita
dan operator, adanya bahaya aspirasi oleh karena posisi penderita duduk.
2. Anestesi Umum
- Dilakukan pada semua pasien anak dan orang
dewasa yang tidak kooperatif
- Menggunakan eter, nitrous oxyde atau vinyl
ether.
Beberapa metode tonsilektomi:
a. Metode Guillotine Sluder-Ballenger
Metode ini terutama digunakan pada anak-anak oleh karena fossa tonsilaris pada anak-anak masih kecil, serta perlekatan antara kapsul tonsil ke M. konstriktor faringeus masih longgar. Posisi penderita sama seperti pada metode diseksi, tetapi jenis anestesi yang biasanya diguanakan adalah
open drops.
b. Metode Diseksi10
Metode Dissection-Snare. Cara ini adalah yang paling sering digunakan untuk tonsilektomi. Dapat dilakukan dengan anestesi umum atau lokal.
c. Electrosurgery (Bedah Listrik)1
Teknik bedah listrik yang paling umum adalah
monopolar blade, monopolar suction, bipolar dan
prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostasis dalam satu prosedur.
d. Radiofrekuensi1
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4 – 6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi dapat diberikan pada medium penghantar, seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Oleh karena proses ini terjadi pada suhu rendah (40o – 70o C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak. e. Coblation1
Teknik coblation dikenal juga dengan nama
plasma-mediated tonsillar ablation; ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation.
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe
untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi
(radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar.
f. Skalpel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi
ultrasonik untuk memotong dan mengoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan
elektrokauter atau laser, pemotongan dan
koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi agar tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 150o – 400o C). Sedangkan dengan skalpel harmonik, temperatur yang ditimbulkan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
113
oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 50o – 100o
C).
g. Intracapsular Partial Tonsillectomy1
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan microdebrider endoscopy.
Meskipun microdebrider endoscopy bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
Keuntungan teknik ini adalah angka kejadian nyeri dan perdarahan pascaoperasi lebih rendah dibandingkan dengan tindakan tonsilektomi standar.
h. Laser (CO2-KTP)
Laser Tonsil Ablation (LTA) menggunakan CO2
atau KTP (Potassium Titanyl Phospate) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan ’recesses’ pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren. LTA dilakukan selama 15 – 20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal. Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia
pascaoperasi berkurang. Teknik ini
direkomendasikan untuk tonsilitis kronis dan rekuren, sore throat kronis, halitosis berat atau
obstruksi jalan nafas yang disebabkan
pembesaran tonsil.
Adenoidektomi dapat dilakukan bersamaan dengan pengangkatan tonsil. Dalam hal ini diperlukan anestesi yang sempurna agar terjadi relaksasi palatum dan M. konstriktor faringeus superior, sehingga memudahkan dilakukannya operasi.
Teknik adenoidektomi dapat dilakukan
dengan kuretase dan dengan endoskopi dengan menggunakan microdebrider.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah:1
1. Perdarahan
Komplikasi perdarahan dapat terjadi selama operasi berlangsung atau segera setelah penderita meninggalkan kamar operasi (24 jam pertama pascaoperasi). Bahkan meskipun jarang terjadi, pada hari ke-5 – 7 pascaoperasi dapat terjadi perdarahan disebabkan oleh terlepasnya membran
jaringan granulasi yang terbentuk pada
permukaan luka operasi, karena infeksi di fossa tonsilaris atau trauma makanan keras.
Untuk mengatasi perdarahan dapat dilakukan ligasi ulang, kompresi dengan gaas ke dalam fossa, kauterisasi atau penjahitan ke pilar dengan anestesi lokal atau umum.
2. Infeksi
Luka opersi pada fossa tonsilaris merupakan port d’entre bagi kuman, sehingga merupakan sumber
infeksi. Dapat terjadi faringitis, servikal adenitis, trombosis vena jugularis interna, otitis media, pada kasus sistemik dapat terjadi endokarditis,
nefritis dan poliarthritis. Bahkan pernah
dilaporkan adanya meningitis, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi pada paru-paru, seperti pneumonia, bronkitis dan abses paru terjadi karena aspirasi sewaktu operasi. Abses parafaring dapat timbul akibat suntikan pada waktu anestesi lokal. Pengobatan komplikasi infeksi adalah dengan pemberian antibiotik yang sesuai dan pada abses parafaring dilakukan insisi drainase.
3. Nyeri Pascaoperasi
Dapat terjadi nyeri tenggorok yang dapat menyebar ke telinga akibat iritasi ujung saraf sensoris dan dapat pula menyebabkan spasme faring. Sementara dapat diberikan analgetik dan
selanjutnya penderita segera dibiasakan
mengunyah untuk mengurangi spasme faring. Dapat juga terjadi elongated styloid processus, dimana ujung prosessus styloid masuk ke fossa tonsilaris, hingga timbul rasa nyeri sewaktu
mengunyah, yang dikenal dengan Eagle
Syndrome. Apabila A. karotis terkena, dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman di daerah parietal dan mata. Pengobatan berupa injeksi kortikosteroid pada daerah yang tertusuk dan pembedahan untuk memperpendek ujung styloid tersebut.
4. Trauma Jaringan Sekitar Tonsil
Manipulasi terlalu banyak saat opersi dapat menimbulkan kerusakan yang mengenai pilar tonsil, palatum molle, uvula, lidah, saraf dan pembuluh darah. Edema palatum molle dan uvula adalah komplikasi yang paling sering terjadi. 5. Perubahan Suara
Otot palatofaringeus berinsersi pada dinding atas esofagus, tetapi bagian medial serabut otot ini behubungan dengan ujung epiglotis. Kerusakan otot ini dengan sendirinya akan menimbulkan gangguan fungsi laring, yaitu perubahan suara yang bersifat temporer dan dapat kembali lagi dalam tempo 3 – 4 minggu.
6. Komplikasi Lain
Biasanya sebagai akibat trauma saat operasi, yaitu patah atau copotnya gigi, luka bakar di mukosa mulut karena kauter dan laserasi pada lidah karena mouth gag. Pernah dilaporkan terjadinya fraktur kondilus mandibula karena pemasangan mouth gag yang terlalu kuat,
malposisi tube endotrakeal dan stenosis
nasofaring.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brodsky, L Poje, C. Tonsillitis, Tonssilectomy, and Adenoidectomy. In Head and Neck Surgery-
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
114
Otolaryngology. 5th ed. Bailey B.J. & Johnson T.J Volume one. Lippincot Williams &
WilkinsPhiladelphia, 2006. p. 1184-99.
2. Balenger, J.J. Disease of the Nose, Throat,Ear, Head, and Neck, 13th ed. Lou & Febiger, Philadelphia, 1994.p. 347-57
3. Adams, L.G. Penyakit- penyakit Nasofaring dan Orofaring. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. Editor: Adams, LG. Boeis, RL. Higler, AP. EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1997.h. 320-45
4. Bull, RT. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed. Thieme. Newyork 2003.p.196-210
5. Alamsyah,S. Kesesuaian antara gejala klinis dengan HistopatologiTonsil Pasca Bedah Pada Tonsilitis Kronik. Tesis. Bagian THT-KL Unpad, 2004
6. Cowan, DL. Hibbert, J. Tonsils and Adenoids. In Scott-Brown’s Otolaryngology 6th ed Pediatric Otolaryngology. Editor : Adams, AD. Cinnamond, JM Butterworth 1997. P.6/16/1-14
7. Probst, R et al. Basic Otorrhinolaryngology A step-by-step Learning Guide, Thieme, 2005.p 98-105
8. Paparella, MM, Shumrick, DA.Otolaryngology 2nd ed Volume III Head and Neck WB Saunders Company, 1991. P 2263-99
9. Becker,W. Naumann, HH. Pfalttz, RC.Ear, Nose and Throart Diseases A Pocket Reference. 2nd ed Thieme, 1994.p 312-24, 344-61
10. Garrna, H. Nataprawira, HM. Rahayuningsih,
SE.Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS Bandung,2005. P 205-08,484-87.
11. Helal, Z. 6-Endoscopic Powered Adenoidectomy.
Melalui <http//www.geogle
search/image/endoscopic adenoidectomy
12. Nave H, Gebert A, Pabst R. Morphology and immunology of the human palatine tonsil. Anat Embryol. 2001; 204: 367-73.
13. Brandtzaeg P. Immunology of tonsils and adenoids: everything the ENT surgeon needs to know. International Congress Series. 2003; 1253: 89-99.
14. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D. Imunobiology of the tonsil and adenoid. In
Hanbook of mucosal Immunology. Academic Press Inc. 1994:625-640.
15. Alexander M.; Baker F.; Blem L.. Respiratory System in: Van De Graaff: Human Anatomy, Sixth Edition The McGraw−Hill Companies. 2001: 277-280.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
115
Latar Belakang
Tumor kepala leher meliputi tumor yang tumbuh pada bagian atas klavikula kecuali otak dan medula spinalis. Tumor di daerah kepala dan leher digabungkan menjadi satu kategori tumor kepala leher karena mempunyai satu kesamaan etiologi, cara penyebarannya, metode pemeriksaan diagnostik, pengobatan, dan rehabilitasi. Dibandingkan
pertumbuhan tumor ganas di tempat lain, tumor kepala leher tidak banyak dijumpai.1,2
Insidensi tumor kepala leher sangat bervariasi. Di dunia ditemukan lebih dari 500.000 kasus dengan tingkat mortalitas sebanyak 270.000 kasus per tahun,
dan umumnya terjadi di negara berkembang.1,2 Di
Eropa dan Amerika Serikat, tumor kepala leher merupakan salah satu keganasan yang jarang terjadi, dengan prevalensi 5-10% dari seluruh tumor, sedangkan di negara lain seperti India, prevalensinya mencapai 45%.3,4
Bagian Patologi Badan Registrasi Kanker Indonesia di bawah pengawasan Dirjen Kesehatan RI, mendapatkan tumor kepala leher di urutan ke empat dari sepuluh besar keganasan serta urutan ke dua dari sepuluh keganasan pada laki-laki.1
Hampir 60% tumor ganas kepala leher merupakan karsinoma nasofaring (KNF), diikuti oleh karsinoma sinonasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. KNF menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara, dan kulit.5
Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di berbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan rata-rata 187 kasus baru setiap tahun, di Rio de Janeiro 16 kasus baru, di Nigeria 12 kasus baru, sedangkan di Israel hanya ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang sangat banyak, ditemukan di Hongkong, yaitu 1146 kasus setiap tahun.6
Insidensi KNF yang paling tinggi adalah pada ras Mongoloid di Asia dan China Selatan, dengan frekuensi 100 kali dibanding frekuensi KNF pada ras Kaukasia. Prevalensi KNF di Provinsi Guangdong
China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.6,7,8
Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun. Di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Sumatera Utara, penderita KNF paling banyak ditemukan pada suku Batak yaitu 46,7%
dari 30 kasus.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan,
ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009.9 Dari
seluruh penderita yang menjalani radioterapi di Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo selama periode tahun 1991-1997 tercatat
749 penderita KNF baru, dan angka ini menempati peringkat kedua setelah kanker leher rahim.10
Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta selama periode 1988-1992 didapatkan kasus KNF sebanyak 71,77% di antara 712 tumor ganas tubuh, dan kebanyakan penderita KNF tersebut datang pada
stadium lanjut.11 Di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung, KNF menempati urutan pertama dari seluruh tumor ganas di daerah kepala dan leher.12
KNF berasal dari epitel nasofaring. Penyebab utamanya adalah virus Epstein-Barr. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa Rossenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. Gejala utama biasanya terjadi pada leher, hidung, dan telinga.3,6,13
Sebagian besar penderita KNF berumur di atas 20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50–70 tahun. Insidensinya meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan setelah umur 60 tahun. Sedangkan berdasaran jenis kelamin, ditemukan kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada laki-laki. Dari beberapa penelitian, ditemukan
perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 2 sampai 4 : 1.6
Gejala yang timbul pada KNF biasanya berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium lanjut. Kadang-kadang penderita datang dengan gejala KNF stadium dini, tetapi gejala yang dikeluhkan sangat umum seperti flu, rinitis atau sinusitis sehingga tidak terpikir oleh pemeriksa. Hal ini sangat disayangkan, karena “kesalahan” ini akan sangat merugikan. Oleh karena itu harus dilakukan berbagai upaya agar dapat menemukan penderita KNF sedini mungkin agar prognosis lebih baik.14,15
Kasus kanker di Indonesia termasuk karsinoma nasofaring dari tahun ke tahun semakin menunjukkan peningkatan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya usia harapan hidup dan perubahan pola hidup
masyarakat kita, seperti kebiasaan menggunakan rokok dan alkohol yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya tumor maupun kanker.16 Selain faktor risiko, informasi lain seperti faktor usia, riwayat pekerjaan, stadium tumor, dan jenis terapi juga perlu diketahui untuk pencegahan secara dini, pengenalan, dan penanggulangan kasus kanker pada masyarakat secara luas untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan organ berbentuk kuboid yang terletak di belakang rongga hidung, superior dari
soft palate dengan diameter anteroposterior 2-4 cm dan
tinggi 4 cm. Nasofaring dibagi dalam beberapa regio,
KARSINOMA NASOFARING
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
116
yaitu dinding anterior, posterosuperior, dan lateral. Pada bagian anterior, nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui bagian posterior dari koana dan di dinding lateral berisi muara tuba Eustachius dan
fossa Rosenmuller (resesus faringeal) yang berbatasan
dengan dinding posterolateral. Dinding posterolateral
berisi jaringan adenoid yang di belakangnya
berbatasan dengan fasia prevertebralis.4,17
Anatomi Nasofaring4
Fossa Rosenmuller merupakan area yang
menjadi asal dari sebagian besar sel karsinoma nasofaring. Area ini berhubungan secara anatomis dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis serta prognosis. Area-area tersebut adalah17 :
Anterior : tuba Eustachius
Antero-lateral : otot levator veli palatini
Posterior : retropharyngeal space
Superior : foramen laserum di bagian
medial, apeks petrosus dan kanalis karotikus di bagian posterior, serta foramen ovale dan spinosum di bagian anterolateral
Lateral : otot tensor veli palatini dan
pharyngeal space
Inferior : otot konstriktor superior
Potongan horizontal nasofaring pada tingkat sinus morgagni17 (A:Pharyngobasilar Fascia,
B:Buccopharyngeal Fascia, C:Alar Fascia, D:Prevertebral Fascia, S:Kanalis Karotikus; 1.Otot
Pterigoid Lateral, 2.Otot Pterigoid Medial, 3.Otot Tensor Veli Palatini, 4.Otot Levator Veli Palatini, 5.Parapharyngeal Space, 6.Fossa Rossenmuller,
7.Stiloid Prosesus, 8.Rouviere Node, 9.Retropharyngeal Space)
Suplai darah nasofaring berasal dari cabang arteri karotis eksternal, sedangkan drainase vena adalah melalui pleksus faring ke vena jugular internal. Persarafan nasofaring berasal dari cabang saraf kranial V2, IX, dan X, serta saraf simpatik.4
Vaskularisasi dan Inervasi Kepala dan Leher18
Nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik
dan saluran getah bening sehingga dapat
mempermudah dan mempercepat terjadinya metastasis. Kelenjar getah bening eselon pertama berada di ruang parafaring dan retrofaring, dimana terdapat kelenjar getah bening yang berpasangan, yang dinamakan
Rouviere node. Drainase ke daerah jugular dapat
melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui saluran langsung. Sedangkan di bagian segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang. Drainase lebih lanjut dapat terjadi ke leher bagian kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar getah bening di supraklavikula.4
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
117
Histologi Nasofaring
Mukosa nasofaring pada saat lahir dilapisi oleh pseudostatified kolumnar epitelium, pada usia sekitar 10 tahun berubah menjadi stratified squamous epitelium. Pada dinding lateral nasofaring terdapat daerah yang merupakan tempat transisi pertemuan kedua jenis epitel ini, yaitu berisi epitel berbentuk kuboid atau globular yang nantinya berpotensi ke arah keganasan. Membran mukosa nasofaring juga berisi jaringan limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa menjadi asal dari sel keganasan di nasofaring.17
Karsinoma Nasofaring A. Insidensi
Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di berbagai penjuru dunia cukup bervariasi.
Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan rata-rata 187 kasus baru setiap tahun. Di Rio de Janeiro ditemukan 16 kasus baru dan di Nigeria 12 kasus baru setiap tahun, sedangkan di Israel hanya ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang sangat banyak, ditemukan di Hongkong, yaitu 1146 kasus setiap tahun.6
Insidensi KNF yang paling tinggi ditemukan di daerah Cina Selatan, dengan frekuensi 100 kali dibanding frekuensi karsinoma nasofaring pada ras Kaukasia. Prevalensi
karsinoma nasofaring di Provinsi Guangdong China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan cukup banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska, diduga penyebabnya adalah karena