OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
KOMPLIKASI OTITIS MEDIA
3. Sellular, oleh karena aktivitas osteoklas
Kolesteatom biasanya tumbuh pertama kali pada baberapa bagian telinga tengah tertentu yang kemudian menyebar ke ruangan lain dari telinga tengah. Bagian-bagian tersebut adalah daerah sekitar atik, pars flaksida, dan posterior dari mesotimpanum. Daerah epitimpanum yang paling sering untuk timbulnya kolesteatom adalah Prussak’s space (paling sering) atau resessus epitimpani anterior. Prussak’s space merupakan daerah berupa kantong yang dangkal yang
berada dibagian posterior dari pars flaksida.
Kolesteatom yang tumbuh dalam Prussak’s space akan menyebar ke daerah posterior sepanjang sisi dari badan inkus, yang kemudian masuk ke daerah antrum dan rongga mastoid.6-9,13
Sedangkan kolesteatom yang berasal dari daerah epitimpani anterior akan tumbuh ke daerah anterior sepanjang prosessus kokhleoformis dan kemudian masuk ke resessus supratubal, yang kemudian akan masuk ke daerah mesotimpanum melalui kantong anterior dari Von Troltsch.
Skema Terbentuknya Kolesteatom pada Pars Flaccida20
Pasien OMK dengan kolesteatom akan
mengeluhkan seringkali terjadi pengeluaran cairan dari telinga yang sangat berbau dan adanya penurunan pendengaran yang progresif. Kolesteatom dapat
mengakibatkan terjadinya erosi pada tulang
pendengaran daerah kanalis akustikus eksternus. Kolesteatom pada anak mempunyai gejala klinis yang sama dengan dewasa, usia paling sering terjadinya adalah pada usia 10 tahun, lebih sering
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
51
terjadi pada anak laki-laki. Sebagian besar kolesteatom terjadi pada daerah epitimpanum (70%-80%) dan gejala yang muncul adalah pengeluaran cairan dari telinga yang sangat berbau dan adanya penurunan pendengaran yang progresif. Dan didapatkan kantong retraksi didaerah posterosuperior membran timpani.
Penanganannya seringkali mengalami kesulitan
dikarenakan pasien yang kurang koperatif.
Kolesteatom pada Telinga Tengah16
Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pada keadaan membran timpani yang utuh, didapatkan gambaran massa putih dibelakang membran timpani
yang sulit dibedakan dari plak karena
timpanosklerotik. Yang mana hal ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan pneumatoskopi. Dari pemeriksaan garputala didapatkan kesan adanya gangguan tuli konduktif pada sebagian besar pasien. Pada tes Weber lateralisasi pada telinga yang mengalami kelainan, sedangkan dari tes Rinne fungsi dari hantaran tulang lebih baik dari pada hantaran udara. Pemeriksaan timpanometri tidak memberikan informasi yang signifikan terhadap evaluasi dari kolesteatom.
Dari pemeriksaan radiologis didapatkan adanya gambaran erosi pada tulang dan daerah radiolusen yang menyerupai perluasan antrum, dimana sel-sel udara antrum dan mastoid telah mengalami destruksi. CT scan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana lokasi dan perluasan dari kolesteatom tersebut.6-9,13
Fistula labirin
Fistula labirin merupakan suatu keadaan dari erosi tulang dan tereksposnya membran endosteal dari
telinga bagian dalam, seperti halnya terjadi fistula kedalam ruangan yang berisi cairan perilimph di telinga bagian dalam. Ada 2 teori terjadinya erosi pada tulang telinga bagian dalam:
1) Osteolysis, dimana tulang akan diresopsi yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan dari kolesteatom atau aktivasi dari mediator matriks kolesteatom.
2) Osteitis, terjadi pada penghubung antara jaringan granulasi yang timbul dengan lapisan tulang. Salah satu komplikasi intratemporal yang sering dari OMK dan kolesteatom adalah fistula labirin. Prevalensi terjadinya fistula labirin pada pasien OMK dengan kolesteatom adalah 5% - 10%, dengan lokasi yang paling sering adalah kanalis semesirkularis lateralis (90%) dan kokhlea pun dapat terkena melalui
foramen ovale atau promontorium (16%-20%).6-9,13
Gejala yang muncul tergantung kepada berat-ringannya fistula yang terjadi. Apabila hanya terjadi erosi tulang kanalis semisirkularis “blue-line” , maka masih belum ada gejala signifikan yang muncul (asimtomatik), yang paling mungkin hanya gejala vertigo yang disebabkan oleh perubahan tekanan dan suhu. Sedangkan jika terjadi ekspos dari lapisan membranaseus maka gejala yang muncul adalah vertigo dan gangguan pendengaran, jika sampai terjadi gangguan pada cairan perilimph, maka dapat terjadi gangguan sensorineural dan vertigo yang sangat berat. Gangguan pendengaran bersifat menetap.
Pemeriksaan dapat kita lakukan dengan melakukan tes fistel, yaitu dengan memberikan tekanan udara yang positif maupun negatif keliang telinga, bisa dengan menggunakan otoskop Siegel, bila fistel tersebut masih dalam keadaan paten, maka akan terjadi ekspansi dan kompresi membran labirin. Bila terdapat fistula (positif) maka akan terjadi nistagmus atau vertigo. Tes fistula bisa bernilai negatif apabila fistulanya tertutup oleh jaringan granulasi, oleh sebab lain atau labirin tersebut sudah mati.
Pemeriksaan CT Scan yang beresolusi tinggi, potongan 1 mm, akan memberikan informasi mengenai adanya fistel labirin tersebut, yang biasanya terdapat pada daerah kanalis semisirkularis horisontalis.6-9,13
Komplikasi Intrakranial 6-9,13
Pada masa sekarang ini, insidensi terjadinya komplikasi intrakranial dari OMSK sudah jauh berkurang, seiring dengan membaiknya kesadaran masyarakan akan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pengobatan yang tepat. Pemakaian antibiotik yang tepat dan cepat, juga mempengaruhi OMK sehingga dapat mempengaruhi insidensi komplikasi intrakranial. Dalam masa preantibiotik disebutkan bahwa, tingkat
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
52
insidensi terjadinya metastase intrakranial pada pasien OMK adalah 2%-6%, yang kemudian berdasarkan penelitian tahun 1962, insidensi tersebut menjadi jauh berkurang menjadi sekitar 0,15%. 7,9 Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan oleh McGuirt, 1983, bahwa komplikasi intrakranial yang diakibatkan ole OMSK mencapai 0,5%, dan angka kematian yang terjadi sekitar 10%. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian oleh Prellner dan Rydell, tingkat terjadinya insidensi komplikasi intrakranial berkurang setelah pemakaian antibiotik yang tepat, dari 2% menjadi 0,02%. 6-9,13
Proses patofisiologi terjadinya komplikasi
intrakranial dari OMSK merupakan hal yang kompleks antara faktor mikrobiologi dengan tubuh manusia. Pada saat terjadi OMSK, pertahanan tubuh manusia secara anatomi maupun immunologi akan mengalami gangguan bahkan jika infeksinya berlangsung hebat sampai dapat merusak sistim pertahanan tubuh kita baik yang lokal maupun yang sistemik.
Terjadinya proses penyebaran penyakit ke
intrakranial melalui 3 tahapan :
1. Dari telinga tengah ke lapisan meningen 2. Melintasi meningen
3. Masuk kedalam lapisan otak.
Penyebaran komplikasi terjadi melalui proses hematogenous juga dapat terjadi, walaupun jarang. Sebagian besar proses komplikasi intrakranial terjadi melalui infeksi langsung dari telinga tengah ataupun mastoid.
Karena perluasan infeksi langsung dari ke struktur intrakranial oleh bakteri, maka fase bakteriemia mungkin saja tidak terjadi. Sehingga salah satu pertahanan tubuh, berupa sirkulasi, menjadi tidak teraktivasi untuk membentuk pertahanan humoral tubuh terhadap invasi bakteri tersebut. Sekalinya bakteri masuk kedalam struktur intrakranial, maka bakteri tersebut akan mengalami proses replikasi yang tidak dapat dihalangi oleh sampai terbentuknya reaksi immunologi yang diperantarai oleh sel. Sitokin Eksogenus seperti interleukin 1β, interleukin 6, dan tumor nekrosis faktor (TNFα) akan menyebabkan terjadinya reaksi peradangan yang kompleks. Proses penyakit yang luas akan sangat dipengaruhi oleh virulensi bakteri, respon peradangan dari tubuh, pertahanan anatomi, dan pengobatan dari tubuh.6-9,13
Dalam penanganan OMSK, kemungkinan untuk terjadinya proses komplikasi intrakranial harus selalu dipikirkan. Adanya otalgia otorrhea yang berbau busuk, demam yang tinggi, dan nyeri kepala, merupakan gejala awal dari timbulnya komplikasi
intrakranial. Perubahan keadaan status mental, lemah anggota badan, aphasia, kekakuan daerah leher, dan sampai koma, merupakan gejala yang timbul lambat, sesudah proses komplikasi berlangsung cukup lama dan meluas.5,7
Secara umum CT Scan dan MRI merupakan
pemeriksaan penunjang yang penting untuk
mengetahui terjadinya proses komplikasi tersebut. CT Scan akan memberikan gambaran yang jelas tentang terjadinya proses kerusakan dari struktur tulang, dan dengan menggunakan kontras, CT Scan dapat memberikan gambaran terjadinya abses, perangsangan daerah selaput otak, dan pengumpulan cairan. MRI digunakan lebih sensitif untuk mengetahui adanya
cairan intra dan ekstrakranial. Sensitif untuk
membedakan kelainan didaerah ekstradura dan subdura dan secara sensitif mengetahui kelainan daerah parenkim.
Pemeriksaan dengan menggunakan MR angiografi akan memberikan evaluasi tambahan terhadap aliran darah di daerah sinus duramater, bulbus jugularis, vena didaerah korteks dan vene-vena kecil lainya.7
Abses Epidural
Abses ini terjadi dekat dengan daerah tulang temporal. Proses peradangan yang berlangsung kronis pada daerah telinga tengah dan tulang temporal akan menyebabkan penyebaran kedarah epidural melalui vena yang berada dalam tulang tersebut ataupun melalui erosi tulang . Timbulnya osteitis yang dihasilkan dari erosi tulang, biasanya hal ini tidak
dijumpai jika tidak disertai dengan adanya
kolesteatom. Tempat yang paling sering dari terjadinya erosi tulang tersabut adalah melalui daerah tulang yang tipis yang berada di fossa kranial media atau melalui tulang di dekatnya melalui fossa cranial posterior atau sinus sigmoid. Daerah rongga epidural merupakan
daerah yang potensial, terjadi ketika lapisan
periosteum atau lapisan duramater terluar terpisahkan dari lapisan dalam yang melapisi tulang kranial. Duramater sendiri resistensi yang cukup tinggi untuk menahan perluasan penyakit.6-9,13
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
53
Terkadang pada proses tersebut disertai
pembentukan jaringan granulasi disamping
pembentukan pus. Jika selama proses infeksi disertai dengan pemberian terapi antibiotika yang tepat, maka akan terbentuk abses yang purulen. Terkadang bersamaan dengan terjadinya penyebaran ini juga disertai dengan penyebaran kedaerah intrakranial lainya. 9
Abses Epidural dan Abses Subperiosteal 13 Abses epidural ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial sehingga kita dapat menemukan adanya defisit neurologis dan papil edema. Erosi dari kranium ke luar sehingga membentuk abses subperiosteal, misalnya pada tumor Potts puffy.6-9,13
Abses epidural dapat pula berkembang ke arah medial, di atas apeks petrosus, sehingga dapat mengiritasi Gasserian ganglion dari nervus trigeminal, dan nervus abducens, sehingga timbul Gradenigo’s syndrome (nyeri daerah wajah, diplopia, dan ottorrhea).
Abses Epidural yang Meluas ke Apeks Petrosus 13
Ekstensi ke posterior sekitar sinus sigmoid akan menyebabkan sigmoid sinus-perisinus abses. Hal ini berhubungan thromboflebitis yang terjadi pada sinus sigmoid san sinus tranversus. Meskipun jarang terjadi abses perisinus dapat berekstensi melalui foramen jugular ke leher.6-9,13
Diagnosis
Adanya nyeri lokal yang dalam atau nyeri
kepala dengan demam low-grade dapat disebabkan karena infeksi epidural ini. Tetapi dapat pula asimptomatik.
Penggunaan kontras pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI akan membantu sekali untuk menegakan diagnosis abses epidural ini. Dikatakan bahwa pemeriksaan dengan MRI mempunyai nilai sensitifitas yang lebih baik daripada CT Scan, hal ini dikarenakan abses tersebut mengenai jaringan lunak. MRI dengan
kontras gadolinium dapat mendeteksi adanya
penebalan lapisan duramater dan peradangan. Bukti bahwa terdapatnya proses erosi pada daerah tulang dapat dilihat dengan menggunakan CT Scan, dengan menggunakan potongan axial maupun koronal. Daerah tegmen timpani paling baik dievaluasi dengan menggunakan potongan koronal dan daerah fossa kranialis posterior paling baik dengan menggunakan potongan aksial.7,8
MRI pada Kasus Abses Epidural 7
Penatalaksanaan
Bila ditemukan jaringan granulasi epidural, tulang dan sekitarnya diangkat, jaringan granulasi dilepaskan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
54
dengan diseksi tumpul dari duramater. Mungkin saja terjadi perforasi pada dura, dan dapat menyebabkan meningitis. Pada kasus tertentu bisa dilakukan pengangkatan dari plate fossa posterior. 6-9,13
Trombosis sinus lateralis 6-9,13
Patofisiologi
Menduduki peringkat kedua dalam hal komplikasi intrakranial OMK yang dapat menyebabkan kematian.
Terdapat 3 sinus dura yang berhubungan sangat dekat dengan tulang temporal yaitu sinus sigmoid, sinus petrosal superior, dan sinus petrosal inferior. Ketiga sinus ini adalah struktur intradural dengan satu bagiannya melekan ke lapisan archnoid dan bagian lain melekat pada sulkus di tulang temporal.
Daerah lateral dan sinus sigmoid merupakan daerah yang relatif tidak terlindungi terhadap proses peradangan didaerah dekatnya sebagai akibat dari OMK. Penyebaran secara langsung terjadi melalui mastoid karena erosi dari tulang temporal yang diakibatkan oleh osteitis ataupun nekrosis. Sedangkan penyebaran secara tidak langsung terjadi melalui thromboflebitis yang retrograde yang melibatkan vena-vana kecil daerah mastoid. Infeksi daerah perisinus akan menyebabkan terbentuknya thrombus mural dalam lumen sinus. Thrombus mural dapat membesar intralumen dan dapat menyumbat lumen kemudian terinfeksi atau mengalami proses inflamasi. Bila tidak mengalami infeksi, trhombus akan bertumpuk. Bila mengalami infeksi, thrombus akan menjadi nekrotik
dan melepaskan septic emboli, menyebabkan
septikemia dan high spiking fevers satu atau dua kali sehari. Obstruksi dari sistim drainase sinus dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dan sakit kepala yang tidak jelas
penyebabnya. Hidrocephalus otitis merupakan
komplikasi yang serius dari trombosis sinus lateralis, yang dapat menyebabkan terjadinya proses perubahan pandangan dan kelemahan saraf abducens.
Perkembangan Venous Sinus Thrombophlebitis14
Diagnosa
Tanda dan gejala yang timbul berhubungan dengan
thrombophlebits sinus sigmoid sebagai akibat
inflamasi dan hidrodinamik intrkranial yang terganggu. Gejala klinis klasik yang terjadi adalah : nyeri kepala, malaise, spiking fever, mengigil, peningkatan
tekanan intrakranial, dan Griesinger’s sign.
Griesinger’s sign adalah adanya edema postauriculer sekunder karena trombosis pada vena emissary mastoid. Griesinger’s sign digambarkan sebagai edema
diatas processus mastoideus, tapi harus dibedakan dengan subperiosteal edema atau abses pada akut koalesen mastoiditis.11.
Nyeri kepala, iritabilitas, letargi, dan papil edema dapat terlihat sebagai akibat dari peninggian tekanan intrakranial. Pada kasus sinus sigmoid thromboflebitis, dapat terbentuk abses ekstradural, otitic hydrocephalus dan abses otak.6-9,13
Queckenstedt-Stookey dan Tobey-Ayer test dengan cara pungsi lumbal adalah cara untuk mengetahui trombosis sinus lateralis, tapi test ini berbahaya dan tidak bisa diandalkan. Tes ini mengukur tekanan CSF dan melihat perubahannya pada penekanan satu atau kedua vena jugularis interna, penekanan dilakukan dengan jari. Pada orang normal, penekanan pada
masing-masing vena jugularis interna akan
menyebabkan peningkatan tekanan secara cepat pada tekanan CSF 50-100 mmhg di atas level normal. Dan pada saat jari dilepaskan akan terjadi penurunan yang cepat pula.
Pada kasus sinus lateralis trombosis , penekanan vena tidak akan menyebabkan peningkatan tekanan CSF atau peningkatan secara perlahan 10-20 mmhg saja. 13
Skema Tobey-Ayer Test13
Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CT Scan dan MRI akan didapatkan gambaran trombosis sinus duramater. Dengan menggunakan kontras pada pemeriksaan CT Scan, maka dapat dilihat daerah trombosis sinus duramater yang mengalami kelainan.
Potongan aksial memperlihatkan adanya “delta sign”.13
Sedangkan dengan pemeriksaan MRI kita akan menjumpai adanya peningkatan sinyal intraluminal dalam sinus yang terlibat.13
Pemeriksaan gold standarnya adalah dengan menggunakan angiografi serebral, dimana kita akan mendapatkan gambaran anatomi dari sisitim vena serebral, sehingga kita akan mendapatkan gambaran oklusi dari sistim vena tersebut.7,13
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
55
Angiografi pada Kasus Obstruksi Sinus Tranversus Dekstra7
Penatalaksanaan
Penanganan modern dari trombosis sinus lateralis adalah dengan berdasarkan atas kontrol terhadap infeksi dengan tehnik bedah yang seminimal mungkin dan antibiotika yang seefektif mungkin. Ketika diduga terdapat trombosis daerah sinus sigmoid, maka penggunaan antibiotika yang efektif dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya penyebaran secara
hematogen. Antibiotik spektrum luas digunakan sampai kita mendapatkan kuman yang spesifik dari hasil kultur. Kuman yang biasanya menyerang adalah dari golongan aerob-anaerob saluran nafas atas (staphylococcus dan streptococcus). Pada umumnya digunakan kombinasi obat yang mempunyai penetrasi yang baik terhadap sawar darah otak, yaitu dari golongan penicillin dan kloramphenikol. Yang kemudian dikombinasikan dengan obat intravena dari penicillin, nafcillin, ceftriakson, atau metronidazole. 6-9,13
Tindakan masteidektomi ditujukan untuk
menampilkan ekspos yang luas dari sinus sigmoid. Tulang dibuang sampai terekspos duramater, semua jaringan granulasi dibuang dan dinding dari sinus diperiksa. Daerah dinding sinus jika tampak normal, maka tidak memerlukan tindakan lanjutan, tetapi jika dinding sinus tampak merah, saat palpasi tampak tidak bergerak, maka sebaiknya kita lakukan tindakan aspirasi dari sinus tersebut dengan menggunakan jarum yang ukurannya kecil. Jika hasil aspirasi tersebut adalah darah, maka kita tidak perlu untuk intervensi
lagi, tetapi jika jasil aspirasinya tidak didapatkan darah, maka dapat diduga adanya trombosis atau jika kita dapatkan adanya pus, maka hal ini menandakan adanya thrombus yang terinfeksi. Yang selanjutnya dilakukan tindakan aspirasi lanjutan dan drainase dari pus dan jaringan trombosis tersebut.6-9,13
MRV pada Kasus Lateral Sinus Thrombosis 7
Hidrocephalus otitis Patofisiologi
Dikenal juga sebagai serebri pseudotumor
(Symonds, 1931) dan dihasilkan dari proses otitis media. (Quincke, 1893). Merupakan suatu syndrome dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial dengan keadaan CSF yang normal dan tanpa adanya abses otak berkaitan dan berhubungan dengan kelainan penyakit telinga yang supuratif .Timbulnya kelainan ini setelah beberapa minggu terjadinya proses OMA. OMK merupakan suatu keadaan yang potensial untuk terjadinya hal ini. Trombosis sinus lateralis nonseptik berhubungan dengan adanya kelainan ini. Paling sering
timbul pada anak-anak atau dewasa muda.6-9,13
Patofisiologi terjadinya kelainan ini masih belum diketahui secara jelas. Kelainan ini bukan merupakan hidrocephalus yang sebenarnya, karena keadaan ventrikel otak yang tidak mengalami pembesaran, tetapi tekanan CSF mengalami peningkatan tekanan. Secara teoritis, terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ini disebabkan oleh adanya produksi CSF yang berlebihan disertai dengan pengurangan resopsi dari CSF tersebut, hal ini diduga disebabkan oleh adanya obstruksi aliran vena daerah duramater karena produksi thrombus atau adanya proses meningitis sehingga mengakibatkan obstruksi. Dari penelitian Lenz dan McDonald didapatkan kesimpulan bahwa
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS
56
sekitar 78% dari 54 pasien dengan otitis hidrocephalus
mempunyai kelainan trombosis sinus lateralis,
trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau jaringan granulasi perisinus.
Diagnosis
Gejala yang timbul pada kelainan ini berkaitan dengan adanya peningkatan tekanan CSF. Sakit kepala merupakan gejala yang paling sering, dan penurunan kesadaran (letargi) dapat disertai pula dengan paralysis saraf abdusen ipsilateral, adanya papiledema bilateral, diplopia, dan muntah. Dengan adanya peningkatan tekanan CSF yang persisten hal ini akan menyebabkan timbulnya penekanan pada daerah saraf optikus didaerah kribriform, yang akan mengakibatkan atropi dari saraf optikus dan kehilangan penglihatan.. Demam
dan muntah merupakan gejala terkadang jumpai.4,7,11,18
Pemeriksaan radiologi dengan CT Scan membantu
untuk menemukan adanya tempat massa.6-9,13
Penatalaksanaan
Ditujukan untuk meneradikasi penyakit
supuratif pada telinga dengan antimikroba yang sesuai dan terapi pembedahan dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial secara agresif untuk mencegah sekuele yang timbul akibat tekanan intrakranial yang sangat berat .Hal ini dapat mengakibatkan atropi saraf optikus sehingga mengakibatkan papil edema bilateral, sehingga papil edema bilateral yang persisten dapat dihindari. Biasanya lapang pandang (visual field) lebih
terganggu bila dibadingkan dengan ketajaman
penglihatan (visual acuity). Jadi penting untuk memonitor lapang pandang, ketajaman penglihatan dan derajat papil edema. Juga dapat dilakukan serial lumbal pungsi atau pemasangan drain daerah lumbal selama beberapa minggu. Jika kelainan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, pemasangan ventrikular shunting atau dekompresi subtemporal dapat dilakukan. Penggunaan obat-obatan diuretik, steroid, dan agen dehidrasi hiperosmolar dapat digunakan. Mastoidektomi dapat dilakukan setelah kondisi stabil untuk mengatasi sumber infeksi kronis di telinga.6-9,13
4.4.4. Meningitis
Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang paling sering terjadi. Insidensinya sekitar 50%. Meningitis merupakan masalah infeksi yang sering terjadi. Sebagian besar kejadian dari meningitis terjadi
melalui proses penyebaran infeksi secara
hematogenous kedaerah subarakhnoid dan selaput otak (meningen). Otogenik daerah infeksi daerah disus merupakan sumber yang sering menyebabkan hal ini. OMA, terutama pada anak, lebih sering menyebabkan meningitis dari pada OMK.
Patifisiologi terjadinya meningitis yang berasal dari OMK mesih belum jelas sepenuhnya. Pada kasus OMK, terjadinya meningitis diduga dari kontaminasi bakteri melalui erosi tulang yang kemudian disertai dengan abses epidural, ataupun trombosis sinus lateralis. Setelah lapisan duramater terkena, pada tempat yang bersamaan lapisan blood-brain barrier (jalan untuk penyebaran hematogen) juga terkena sehingga didapatkan akses dari bakteri untuk masuk ke ruang subarakhnoid.
Gejala yang timbul dari hal ini dalah timbulnya demam yang sering disertai dengan kekakuan daerah leher (kaku kuduk), kenaikan suhu tubuh, mual, muntah proyektil, tanda Kernig dan Brudzinski positif dan perubahan status mental. Dengan menggunakan CT Scan atau MRI yang diberi kontras maka kita dapat melihat adanya penguatan daerah meningen secara luas. Jika kita tidak menjumpai adanya massa, maka tindakan untuk melakukan pemeriksaan pungsi lumbal dan CSF adalah suatu keharusan. CSF yang bersifat leukositosis, disertai dengan kadar glukosa yang rendah, peningkatan kadar protein dan laktat. Selain itu, pada saat melakukan pemeriksaan CSF sebaiknya kita juga melakukan pemeriksaan gram stain, kultur dan antigen bakteri.4,7,9,18
Penanganan utamanya adalah dengan
menggunakan antibiotik dosis tinggi yang dapat yang dapat menembus CSF. Pada pasien OMK, seringkali didapatkan adanya bakteri gram negatif. Sebagai first
lined therapy adalah dengan menggunakan ceftriaxone
atau cefotaxime yang dikombinasikan dengan
ampicillin atau penicillin G. Kloramfenicol juga sering digunakan, tetapi mengingat beratnya efek samping yang ditimbulkan maka sekarang jarang digunakan kembali. Pemantauan efektifitas teraoi dapat dilakukan