• Tidak ada hasil yang ditemukan

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

PATIE NTS

ANAEROBIC NO. OF PATIE NTS Streptococci 50 Bacteroides 23 Alpha not group D 23 Melaninogenicu s 13 Group D 2 Oralis 3

Beta group A 11 Ruminicola 2

Not A, B or D 7 Bivius 1 Gamma not group D 3 Fragilis 1 Microaeriphil ic 4 Other spesies 3 Peptostreptococ cus 15 Staphylococc us 11 Peptococcus 6 S. aureus 7 Eubacterium 6 S. epidermis 4 Fusobacterium 6 Eikenella corrodens 5 Dipthheroids 3 Veillonella parvula 5 Neisseria 3 Lactobacilus 4 Klebsiella pneumoniae 2 Pro pionibacterium 3 Haemophillus infl. 1 Unidentified gram positive 5 Pseudomonas 1 Unidentified gram negative 4

Sebuah penelitian mikrobiologis oleh Asmar dari infeksi retrofaring, didapatkan bahwa hampir 90% pasien menggambarkan hasil kultur polimikrobial. Kuman aerob ditemukan pada seluruh kultur, dan

anaerob ditemukan lebih dari 50% pasien.1

3. Pemeriksaan Radiologi 3.1 STL (Soft Tissue Lateral)

Foto Soft Tissue leher dapat mengkonfirmasi suatu infeksi retrofaring. Dimensi normal dari ruang retrofaring dan ruang retrotrachea diperkenalkan oleh Wholley pada tahun 1958. Dimensi normal dari ruang retrofaring adalah 7 mm yang diukur dari bagian terdepan dari C2 ke arah jaringan lunak di dinding faring posterior. Sedangkan ruang retrotracheal diukur dari aspek anterior-inferior dari C6 ke arah jaringan lunak faring posterior tidak boleh melebihi 14 mm pada anak-anak dan 22 mm pada orang dewasa. Tanda radiologis lain yang bermanfaat dalam mendiagnosa retrofaringeal abses adalah hilangnya lordosis servikal yang normal dengan straightening vertebra servikal seperti gambaran udara dalam jaringan lunak. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Nagy dkk dikatakan

bahwa foto STL 83% lebih sensitif dibanding CT scan.12

Gambaran Abses retrofraning pada Soft Tissue Leher

Modalitas yang lain adalah Ultrasonografi Resolusi tinggi. Dengan

Keuntungan: terhindar dari bahaya radiasi serta bentuknya yang portabel.

Kerugian: operator dependent, tidak jelas memberikan gambaran anatomi

Fungsi: untuk follow up dan guidens untuk aspirasi Frans (2006) mendapatkan pemeriksaan aspirasi abses ruang leher dalam dengan panduan ultrasonografi didapatkan hasil perhitungan sensitivitas

sebesar 81%, spesifisitas 100% dan akurasi 81,8%.9

3.2 CT Scan dengan Kontras

Perbandingan keuntungan dan kerugian penggunaan CT Scan dengan kontras

NO. KEUNTUNGAN KERUGIAN

1 Cepat, mudah Radiasi ionisasi

2 Membedakan abses dan

selulitis

Menimbulkan alergi

3 Secara anatomi

gambaran lebih detail

Gambran detail dari jaringan lunak

4 Merupakan pilihan

utama

3.3 MRI

Perbandingan keuntungan dan kerugian penggunaan MRI

No. Keuntungan Kerugian

1 Nol radiasi Lebih mahal

2 Detail jaringan lunak

lebih baik

Waktu pemeriksaan

lebih lama

3 Multiplan Tergantung dari

kerjasama dengan

pasien

4 Tidak ada artefak Availabilitas lebih

rendah

4 Penatalaksanaan

Infeksi ruang leher dapat mengancam jiwa. Membebaskan jalan nafas adalah hal yang utama,

pemasangan pipa Endotracheal mungkin dapat

dilakukan, tapi hati-hati pada pemasangan pipa Endotracheal pada pasien yang masih sadar karena

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

140

prosedurnya yang rumit dan dapat membahayakan pasien. Biasanya dilakukan pada pasien-pasien dengan spasme laring atau abses yang besar dengan bahaya ruptur dan aspirasi.2,3,6

Pada kasus tertentu, trakeostomi atau

krikotirotomi dapat dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan nafas, dimana 24 jam setelah dilakukan krikotirotomi, dilakukan persiapan untuk tindakan trakeostomi untuk mencegah komplikasi lebih lanjut pada daerah laryng. Pada saat jalan nafas telah diamankan, kultur dan test resistensi dari abses harus dilakukan. Terapi empirik harus diberikan untuk eradikasi kuman patogen. Biasanya infeksi dari kuman patogen polimikrobial (gram positif, gram negatif, aerobik, anaerobik dan kuman yang memproduksi β-laktamase). Untuk itu antbiotik dari golongan

ampicillin-sulbactam atau clindamycin dengan

golongan ke III sefalosporin seperti contohnya ceftazidin dapat diberikan sambil menunggu hasil kultur.2,8

Saat terjadi pembentukan abses, biasanya terapi medikamentosa saja tidak cukup, apabila dengan terapi medikamentosa yang adequate selama 48 jam tidak ada perubahan, diperlukan tindakan pembedahan seperti insisi dandrainase abses. Pemberian cairan yang adequant, monitor output-input, observasi status sirkulasi dan pulmonologi dari pasien harus terus dilakukan untuk mencegah komplikasi dari infeksi ruang leher.2,7

Insisi dan drainase atau pembedahan harus dilakukan, pada kasus-kasus infeksi ruang leher yang telah terjadi komplikasi, atau antisipasi komplikasi yang terjadi.

Teknik insisi dan drainase : Pada abses retrofaring

Abses yang kecil dan terlokalisir dapat diinsisi dengan menggunakan approach perioral untuk mencegah terbentuknya scar dan mencegah terjadinya kontaminasi jaringan leher.

Jalan nafas dilindungi dari bahaya aspirasi dengan cara menempatkan pasien pada posisi Rose

dengan leher dalam posisi ekstensi. Kepala

direndahkan sehingga pengeluaran pus tidak akan teraspirasi, dan dengan menggunakan skapel tajam yang kecil dilakukan insisi vertikal yang pendek pada titik dimana pembengkakan paling besar.

Untuk faktor keamanan, pisau sebaiknya diarahkan oleh jari telunjuk yang diletakan pada abses. Jika pus tidak keluar, dimasukan hemostat tertutup yang kecil pada luka, kemudian dengan lembut

didorong kearah yang lebih dalam dan meluas.2,7

Insisi & drainase abses retrofaring7

Pada abses retrofaring yang lebih lanjut dilakukan drainase dengan external approach. Sebuah

insisi dibuat di sepanjang tepi anterior m.

Sternocleidomastoideus antara level os hyoid dan clavicula. Cara insisi yang lain dan sesuai dengan segi kosmetika adalah dengan membuat insisi horizontal setinggi cricoid.1,2,7

Pembedahan pada abses retrofaringeal (external approach)7

Tarikan pada bagian posterior m.

Sternocleidomastoideus dan carotid sheath

memperlihatkan daerah antara faring dan vertebra, dengan menjaga N. Hypoglossus dan superior laringeal neurovascular bundle.2,7

Pada Abses Peritonsiler

Sebaiknya menggunakan anestesi topikal

yaitu lidokain 5% intranasal pada ganglion

sfenopalatina ipsilateral, disini dapat mengurangi nyeri sehingga dapat mengurangi trismus.

Pada anak-anak atau penderita tidak

kooperatif, dilakukan narkose umum. Insisi dilakukan

pada daerah fluktuasi, biasanya pada daerah

supratonsiler sehingga pilar anterior terhindar dari pembentukan jaringan parut. Pada abses peritonsiler disini atau selulitis peritonsiler tidak akan terjadi drainase pus, maka dilakukan punksi dulu dengan jarum no. 12.

Untuk mencegah kekambuhan, tonsilektomi dilakukan 5 minggu setelah peradangan teratasi.2,3,8

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

141

Daerah untuk melakukan insisi pada abses peritonsiler. Insisi dilakukan pada pertengahan garis yang menghubungkan molar terakhir dan

uvula4

Pada Abses Submandibular

Cara insisi dan drainase pada abses

tergantung lokasi dan penyebaran dari infeksinya yaitu: bila abses masih terlokalisir maka dapat dilakukan insisi dan drainase, penyembuhan dapat terjadi sempurna.

Bila abses meluas dan menembus m. Mylohyoid maka infeksi dapat menjalar ke ruang submaksilaris sehingga leher akan terkena, kalau mengenai leher secara bilateral disebut Angina Ludwig, proses ini biasanya akan berlangsung dengan cepat, kira-kira 3-10 jam, sehingga perlu pengobatan yang segera. Ditandai oleh penyebaran selulitis

gangrenosa yang cepat dari daerah kelenjar

submaksilaris, berbau busuk dengan sedikit atau tidak jelas adanya pus dan terjadi pembengkakan seperti papan yang nyeri di daerah submandibula dan dasar mulut, gusi serta lidah dan dapat jauh ke bawah sampai kedaerah klavikula. Juga disertai adanya edema laring sehingga timbul efek sesak nafas, suara serak, lidah sakit bila digerakan dan imobilisasi rahang oleh karena adanya regangan dan indurasi dari struktur di arkus mandibula.

Tindakan insisi horizontal dilakukan

submental, yaitu 1 cm diatas tulang hyoid dari sudut mandibula yang satu ke sudut mandibula yang lain kemudian fasia leher profunda dan mylohyoid diinsisi secara vertikal dari simphisis mandibula ke tulang hyoid. Drain ditempatkan disebelah dalam m. Mylohyoid yaitu di dalam ruang sublingual.

Bila abses mengenai ruang submandibula yang unilateral, insisi dilakukan sejajar dengan bagian inferior mandibula ±2 cm dibawahnya dan dilakukan dari angulus mandibula ke simphisis.2,6

Pada Abses Parafaring:

Insisi abses pada daerah ini ada 3 cara : a. Intraoral, bila penonjolan yang timbul kearah

faring yaitu di dinding faring lateral

b. Ekstra oral, dimana insisi dari sebelah luar, dibawah angulus mandibula dan diseksi secara tumpul sepanjang batas medial dari m. Pterigoid internus menuju prosesus styloideus

c. Melalui fossa submaksilaris secara

“MOSHER”, cara dipergunakan bila lokasi pus tidak jelas dan terdapat tanda-tanda sepsis.

Teknik Mosher yaitu dengan insisi bentuk huruf T yang cukup lebar. Garis horizontal dari huruf T sejajar dengan pinggir bawah mandibula dan garis vertikal dibuat di sepanjang tepi anterior otot

sternocleidomastoideus sehingga kelenjar

submaksilaris terbuka, vena fasialis diikat dan dipotong, kemudian pinggir bawah kelenjar disisihkan secara tumpul terus kearah belakang dan keatas sampai ligamentum Stylomandibula dibawah mandibula, jari diteruskan ke atas sampai teraba prosesus stiloideus, kemudian diseksi diteruskan secara tumpul sampai batas carnii fossa faringomaksilaris.2

Teknik Mosher5

Perawatan rumah sakit lebih dari 11 hari biasanya lebih sering pada dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Bagan 3.1 menjelaskan mengenai algoritme penanganan infeksi ruang leher.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

142

Algoritme Penanganan Infeksi ruang leher1

5. Komplikasi

Komplikasi Infeksi ruang leher dapat

berupai:1,2

Komplikasi Infeksi :

 Erosi dan Perdarahan arteri Karotis

 Trombosis V.Jugular Interna

 Trombosis sinus Cavernosus

 Defisit Neurologis: Horner Syndrome, Nervus

Kranisalis IX-XI  Osteomielitis Mandibula  Osteomielitis Vertebra  Mediastinitis  Edema Paru  Perikarditis

 Aspirasi (Ruptur Spontan)

 sepsis

Kompliksi bedah:

 Kerusakan struktur neurovaskuler

 Infeksi luka

 Septikemi

 Pembentukan skar

 Aspirasi

Komplikasi ini biasanya terjadi pada

penanganan yang terlambat, dimana proses infeksinya telah mempengaruhi ruang disekitarnya. Host faktor juga sangat berpengaruh terhadap perjalanan infeksi pada ruang leher, seperti pada penyakit sistemik, contohnya diabetes.

Komplikasi yang terjadi juga erat kaitannya dengan struktur anatomi yang berdekatan dari infeksi ruang leher itu sendiri. Organ yang sangat berisiko apabila terjadi komplikasi karena letaknya yang saling berhubungan adalah arteri karotis, vena jugularis,

trunchus simfatikus, nervus kranial IX-X-XII.

Tromboflebitis pada vena jugularis interna dan septikemia sampai terjadinya septik emboli pada paru

merupakan komplikasi yang mengancam jiwa.

Sindrom Lemierre yang disebabkan oleh bakteri

fusobacterium necrophorum, dimana gejalanya

terdapat “spiking fever” (demam yang tiba-tiba tinggi,

tiba-tiba normal), nyeri pada daerah m.

Sternokleidomastoideus, kaku uduk, arthritis septic, emboli paru.

Diagnosis ditegakan berdasarkan pemeriksaan CT Scan adanya gambaran cincin yang mengelilingi daerah radiolusen yang menandakan adanya fokal pus didalamnya. Terapi yang diberikan meliputi antibiotik, insisi drainase, ligasi dari vena jugularis interna, antikoagulan.

Penyebaran infeksi juga dapat terjadi dari sarung karotis yang terinfeksi, contohnya pada sindroma Homer dan aneurisma myotic pada sistem arteri karotis, dengan terjadinya pembentukan formasi pseudoaneurisma sampai ruptur dari dinding pembuluh darah. Perdarahan hebat dari canal auditorius, yang memerlukan terapi segera melalui pembedahan ataupun intervensi radiologis. Osteomyelitis pada tulang belakang dan os mandibula dapat merupakan sumber terjadinya infeksi pada ruang leher.

Komplikasi yang paling ditakuti dari infeksi ruang leher adalah mediastinis. Pemeriksaan radiologi terdapat gambaran pelebaran dari mediastinum, pneumothorax dan pneumomediastinum atau edema pulmoner sampai pada gambaran ARDS (Acute

Respiratory Distress Syndrome). Kasus kematian yang

terjadi pada mediastinis dapat disebabkan oleh perforasi esofagus.2

6. Prognosis

Pasien dengan infeksi ruang leher mempunyai prognosis yang baik, apabila mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Apabila terjadi keterlambatan pada terapi, akan timbul penyulit, dan angka kesembuhan yang rendah. Apabila murni kasus infeksi dan sumbernya telah dieliminir, kemungkinan infeksi berulang sangatlah kecil.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Byron J. Bailey, Head & Neck Surgery-Otilaryngology, 4th editon, Lippincot Williams & Wilkins, Philadephia, 2006.

2. Ballenger, JJ, Disease of the Nose, Throat, Ear, Head & Neck, 13th edition, Lea and Febringer, Philadelphia, 1985, page 306-316.

3. K. J. Lee, Essential Otolaryngology Head & Neck

Surgery, 8th edition, The McGraw-Hill

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

143

4. Hollingshead WH. Anatomy for Surgeons, Head & Neck, 1982.

5. Lore & Medina, An Atlas of Head & Neck Surgery, 4th edition, Elsevier Saunder, Inc, Philadelphia, 2005, page 854-855.

6. Brown, David F, MD & Ritchmeter, William J,

MD, PhD, Infection of the Deep Fasial Spaces of

the Head & Neck, 2nd edition, American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation, Inc, Washington DC, 1987, page 5-47.

7. Byrne, Maria N.Md & Lee, Kj, MD FACS, Neck Spaces and Fascial Planes, in Essential

Otolaryngology Head & Neck Surgery, 6th

edition, Appleton & Lange, Stamford,

Connecticut, 1995, page 443-460.

8. Joseph, Donal J & Templer, Jerry, Gerald, English M, Tonsilectomy and Adenoidectomy in English Otolaryngology, Vol III, Revised Edition, JB. Lippincot-Co, Philadelphia, 1998, page 1-22. 9. Frans, R. Ketepatan Aspirasi Abses Ruang Leher

Dalam Dengan Atau Tanpa Panduan

Ultrasonografi. Tesis. Unpad, 2006.

10. Putz, R. Pabst, R. Atlas anatomi manusia, 20th

edition. EGC, 1995 : page: 141.

11. Bull, RT. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th

edition. Thieme, Stutgart. 2003.

12. Lalakea MC, Messner AH. Retropharyngeal abscess management in children: current practice.

Otolaryngology. Head and Neck Surgery.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

144