SKRINING PENDENGARAN PRAJURIT BATALYON INFANTRI 100 RAIDER KODAM I BUKIT BARISAN
TESIS
Oleh : RIKI MARKIAN
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr , Wb .
.
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Saya sampaikan rasa puji syukur
kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya , saya dapat
menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister di
bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher di Departemen
THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H Adam Malik Medan.
Saya menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari sempurna baik isi maupun
bahasanya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah wawasan kita
mengenai skrining pendengaran prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit
Barisan, Medan.
Dengan telah berakhir masa penelitian, pada kesempatan yang berbahagia ini
perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar – besarnya
kepada :
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk megikuti Program Pendidikan Magister Dokter Spesialis
di Departemen THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan kesempatan kepada saya umtuk mengikuti Program Pendidikan
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan
yang telah megizinkan saya balajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini
Yang terhormat dr. Adlin Adnan Sp THT KL , sebagai Ketua pembimbing, dr. T.
Siti Hajar Haryuna Sp THT KL, dr. Mangain Hasibuan Sp THT KL sebagai anggota
pembimbing yang telah banyak memberi petunjuk, perhatian, motivasi, kemudahan serta
bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya ucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setingi – tingginya atas waktu dan bimbingan tang telah diberikan
selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
Rasa terima kasih yang setinggi – tingginya saya ucapkan kepada Prof. Dr. Albiner
Siagian MSi serta para staff Epi Treat unit USU , sebagai pembimbing ahli yang telah
memberikan waktu, perhatian dan bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.
Yang terhormat Prof. dr. H .Abdul Rachman Saragih Sp THT-KL (K), sebagai
Ketua Departemen THT KL FK USU/RSUP H.Adam Malik medan yang telah banyak
memberikan petunjuk, bimbingan, pengarahan, nasehat, motivasi dan dorongan semangat
selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT KL FK USU/ RSUP H. Adam
Malik Medan.
Yang terhormat Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen
THT KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan.dr. T . Siti Hajar Haryuna Sp THT KL
dan Ketua Program Studi Dokter Spesialis I di Departemen THT KL FK USU/RSUP
H.Adam Malik Medan periode sebelumnya, Prof,dr Askaroellah Aboet Sp THT KL (K)
atas petunjuk, bimbingan dan nasehat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen
Yang terhormat guru saya dijajaran THT-KL FK USU/ RSUP H.Adam Malik
Medan, Prof, dr Ramsi Lutan Sp THT KL (K), Prof. dr Askaroellah Aboet Sp THT KL
(K), dr Yuritna Haryono Sp THT KL(K), dr. Muzakkir Zamzam Sp THT KL (K), dr.
Linda I Adnin Sp THT KL . Dr.dr. Delfitri Munir Sp THT KL (K) , ( Almh) dr. Hafni Sp
THT KL (K), dr. Adlin Adnan Sp THT KL, dr. Rizalina A Asnir Sp THT KL (K), dr. Siti
Nursiah Sp THT KL, dr. Andrina YM Rambe Sp THT KL, dr. Harry A. Asroel Sp THT
KL, dr. Farhat Sp THT KL (K) , dr. Aliandri Sp THT KL. dr. Asri Yudishtira Sp THT
KL. dr. Devira Zahara Sp THT KL. dr. R Yusa Herwanto Sp THT KL. dr. M.Pahala
Hanafi HRP Sp THT KL. dr Ferryan Sofian Sp THT KL, yang telah banyak memberi
bimbingan dalam ilmu pengetahuan di biadang THT KL. baik teori maupun keterampilan
yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.
Yang terhormat Komandan Batalyon Infanteri 100 Raider yang memberikan izin
serta memfasilitasi penelitian ini, serta seluruh prajurit yang meluangkan waktu disela-sela
latihan untuk mengikuti penelitian ini, dari hati yang paling dalam saya mengucapkan
terima kasih.
Teristimewa untuk ayahanda tercinta (Alm) AKBP (purn) H.Nurman M. , dan
ibunda tercinta Hj. Syamsiar serta Ir. H. Dirhamsyah dan ( Almh) Hj. Roslina, serta abang
Letkol Inf. Cucu Zaenal Arifin dan kakak Wahyu Rahmawati SH yang selalu mendoakan
dan memberikan dorongan, bantuan moril dan materil selama saya mengikuti pendidikan
ini.
Terima kasih atas doa, pengertianya dan dukungannya selama penulis
menyelesaikan pendidikan ini, semoga budi baik yang telah diberikan mendapatkan
Ungkapan cinta kasih yang tulus kepada istriku tercinta drg. Kusmala Dewi yang
selalu sabar dan selalu memberikan dukungan dan semangat selama saya menjalani
pendidikan ini, serta putra putri tercinta M. Faiz Abdilillah dan Azalia Nurul Aini yang
memberikan semangat selama saya menjalani pendidikan ini
Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian Kesehatan
THT Bedah Kepala Leher yang telah bersama – sama baik dalam suka maupun duka,
saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-
teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelasaikan studi ini. Semoga Allah selalu
memberikan berkah kita semua
Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT KL FK USU / RSUP H Adam
Malik Medan. yang banyak membantu dan berkerjasama selama saya menjalani
pendidikan ini saya ucapkan terima kasih. Ijinkan saya memohon maaf yang setulus –
tulusnya atas segala kesalahan den kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga
segala bantuan, bimbingan, motivasi dan kerjasama kepada saya selama menjalani
pendidikan.dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin Ya
Robbal Alamin
Wassalamualaikum Wr. Wb
Medan. 2011
SKRINING PENDENGARAN PRAJURIT BATALYON INFANTERI 100
RAIDER KODAM I BUKIT BARISAN
Abstrak
Tujuan : Untuk mengetahui bagaimana gambaran gangguan pendengaran akibat bising
pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan.
Metode : Desain penelitian adalah penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang
(crossectional study).
Hasil : diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi senjata pistol FN US 45 adalah 92,52 dB
dan intensitas rata-rata bunyi senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB. Jenis APD yang biasa digunakan adalah ear plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai APD sebanyak 36 ( 72% ). Jenis gangguan pendengaran responden, pada telinga kanan tuli sensorineural 11 (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, tuli sensorineural 6 orang (12%) dan normal 44 (88%) . Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang yang normal, 1 orang menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang menderita derajat ketulian sedang. Pada kelompok umur >30 tahun yang normal 27 orang, menderita derajat ketulian ringan 9 orang dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.
Kesimpulan : Walaupun secara klinis terjadi gangguan dengar ringan, penelitian ini
menggambarkan bahwa bunyi senjata organik ( FN US 45 dan SS1 R 5 ) tidak mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran prajurit lebih besar dari 25 dB, dengan atau tanpa APD.
HEARING SCREENING OF THE BATALYON INFANTERI 100 RAIDER SOLDIER KODAM I BUKIT BARISAN
Abstract
Aim: To know the picture of hearing disorder due to noice of the batalyon infantri 100
Raider Kodam I Bukit Barisan
Methode: Study design that used is descriptive with crossectional study
Result: Known that the intensity of the gun FN US 45 is 92,52 dB and intensity noise SS
1R5 rifle is 107,66 dB. Hearing protector type used is ear plug 12 (24%) and ear muff only 2 (44%), mean while the rest who don’t use hearing protector is 36 (72%). The types of responden hearing disorder, on deaf right ear sensorineural 11 (22%), therest is normal (78%). It is not found conductive deafness or mixed deafness. On the left ear, sensorineural deafness 6 (12%) and normal 44 (88%). It is not found conductive deafness or mixed deafness. Group aged < 30 old years found 12 normal, 1 found with mild deafness and 1 moderatdeafness. Group aged > 30 old years normal 27, with mild deafness 9 and not found is moderate deafness.
Conclusion: Althought clinically found mild disorder, this reserch is showed that sound
from weapon does not cause reduction of the hearing of soldier more than 25 dB, with on without hearing protector
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel 4.1 Gambaran Responden Penelitian.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Dinas di Yonif 100 Raider.
Tabel 4.3 Rata-rata Intensitas Bunyi Senjata.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD ).
Grafik 4.1 Rata–rata intensitas bunyi senjata.
Grafik 4.2 Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD ).
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan pendengaran.
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan kelompok umur
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Telinga
Gambar 2.2 Anatomi Telinga Dalam
Gambar 2.3 Kohklea
Gambar 2.4 Organ Corti
Gambar 2.5 Skema Fisiologi Pendengaran
Gambar 2.6 Gambaran audiometri normal
Gambar 2.7 Gambaran audiometri tuli sensorineural
Gambar 2.8 Gambaran audiometri tuli konduktif
Gambar 2.9 Gambaran audiometri tuli campuran
Gambar 2.10 Gambaran audiometri tuli akibat bising
Gambar 2.11 Kerangka Konsep Kaitan antara Paparan Bising dan Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan
Gambar 2.12 Kerangka Kerja Anamnesis dan Pemeriksaan Audiometri pada Parajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan
Gambar 4.1. Senjata FN US-45
Gambar 4.2. Senjata senapan serbu (SS) 1 R5
Gambar 4.3. Suasana Pemeriksaan THT Rutin dan Audiometri
Gambar 5.1. Prajurit Yonif 100 Raider
Gambar 5.2. Treshold of hearing
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... v
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR ISI ……….. ix
BAB 1. PENDAHULUAN ……… 1
1.1. Latar Belakang ………... 1
1.2. Perumusan Masalah ……….. 3
1.3. Tujuan Penelitian ………... 3
1.3.1 Tujuan Umum …... 3
1.3.2 Tujuan Khusus ………... 3
1.4. Manfaat Penelitian ………... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………... 5
2.1. Anatomi Telinga ………... 5
2.1.1. Vaskularisasi telinga dalam ... 11
2.1.2. Persarafan telinga dalam ... 12
2.2. Fisiologi Pendengaran ………...……... 12
2.3. Jenis Gangguan Pendengaran ……...……... 14
2.4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran ... 15
2.5.1. Sifat gelombang suara ... 19
2.5.2. Intensitas bunyi : Desibel (dB) ... 20
2.6. Audiometri nada murni ... 21
2.7. Perlindungan Fungsi Pendengaran ... 25
2.8. Jenis Senjata ……… 26
2.9. Kerangka Konsep ……….. 27
2.10. Kerangka Kerja ……… 2
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 28
3.1. Rancangan Penelitian ………. 28
3.2. Lokasi Penelitian ………...……. 28
3.3. Populasi, Sampel, Besar Sampel, Teknik Pengambilan Sampel ………... 28
3.3.1 Populasi ……… 28
3.3.2 Sampel Penelitian ………. 28
3.3.3 Besar Sampel ………... 29
3.4. Variabel Penelitian ……… 29
3.5. Definisi Operasional ……….. 30
3.6. Bahan dan Alat Penelitian ………. 32
3.7. Cara Kerja ……… 32
BAB 4. HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Responden Penelitian ……… 34
4.1.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
lama dinas di Yonif 100 Raider ……… 35
4.2. Gambaran jenis senjata yang digunakan ………... 35 4.2.1. Spesifikasi pistol FN US 45 ……… 35
4.2.2. Spesifikasi senjata senapan serbu ( SS ) 1 R5 …. 36
4.3. Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD ) … 38
4.4. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan pendengaran 38
4.5. Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan
kelompok umur ……… 40
4.6. Distribusi frekuensi lama berdinas dengan derajat ketulian .. 41
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Responden Penelitian ……….. 42
5.1.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
lama dinas di Yonif 100 Raider ………. 43
5.2. . Rata –rata intensitas bunyi senjata ………. 43
5.3. Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD ).. 45
5.4. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan
pendengaran ………. 46
5.5. Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ………... 49
6.2. Saran ………... 50
PERSONALIA PENELITIAN ……… 51
KEPUSTAKAAN ………... 53
SKRINING PENDENGARAN PRAJURIT BATALYON INFANTERI 100
RAIDER KODAM I BUKIT BARISAN
Abstrak
Tujuan : Untuk mengetahui bagaimana gambaran gangguan pendengaran akibat bising
pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan.
Metode : Desain penelitian adalah penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang
(crossectional study).
Hasil : diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi senjata pistol FN US 45 adalah 92,52 dB
dan intensitas rata-rata bunyi senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB. Jenis APD yang biasa digunakan adalah ear plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai APD sebanyak 36 ( 72% ). Jenis gangguan pendengaran responden, pada telinga kanan tuli sensorineural 11 (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, tuli sensorineural 6 orang (12%) dan normal 44 (88%) . Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang yang normal, 1 orang menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang menderita derajat ketulian sedang. Pada kelompok umur >30 tahun yang normal 27 orang, menderita derajat ketulian ringan 9 orang dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.
Kesimpulan : Walaupun secara klinis terjadi gangguan dengar ringan, penelitian ini
menggambarkan bahwa bunyi senjata organik ( FN US 45 dan SS1 R 5 ) tidak mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran prajurit lebih besar dari 25 dB, dengan atau tanpa APD.
HEARING SCREENING OF THE BATALYON INFANTERI 100 RAIDER SOLDIER KODAM I BUKIT BARISAN
Abstract
Aim: To know the picture of hearing disorder due to noice of the batalyon infantri 100
Raider Kodam I Bukit Barisan
Methode: Study design that used is descriptive with crossectional study
Result: Known that the intensity of the gun FN US 45 is 92,52 dB and intensity noise SS
1R5 rifle is 107,66 dB. Hearing protector type used is ear plug 12 (24%) and ear muff only 2 (44%), mean while the rest who don’t use hearing protector is 36 (72%). The types of responden hearing disorder, on deaf right ear sensorineural 11 (22%), therest is normal (78%). It is not found conductive deafness or mixed deafness. On the left ear, sensorineural deafness 6 (12%) and normal 44 (88%). It is not found conductive deafness or mixed deafness. Group aged < 30 old years found 12 normal, 1 found with mild deafness and 1 moderatdeafness. Group aged > 30 old years normal 27, with mild deafness 9 and not found is moderate deafness.
Conclusion: Althought clinically found mild disorder, this reserch is showed that sound
from weapon does not cause reduction of the hearing of soldier more than 25 dB, with on without hearing protector
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Penelitian
Sebagai satuan pemukul Kodam, Yonif 100 Raider memiliki persenjataan yang
khusus dibandingkan batalyon infanteri lain dan intensitas latihan yang lebih sering.
Latihan menembak dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok secara periodik,
tetapi sering juga dilakukan dalam upaya antisipasi kegiatan di Kodam I/BB seperti HUT
Kodam, kunjungan tamu very very important persons (VVIP), latihan bersama dengan
tentara negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. (PENDAM, 2005)
Pada saat menembak, seorang prajurit dapat menghabiskan 30 butir peluru yang
dibagi : sikap berdiri 10 butir, sikap duduk 10 butir dan sikap tiarap 10 butir, ini di
habiskan hanya sekali latihan. Seorang prajurit dalam seminggu dapat melakukan 3-4
latihan menembak sehingga diperkirakan menghabiskan 90-120 butir peluru.
Pada saat menembak, prajurit petembak ataupun pelatih jarang yang memakai
pelindung telinga, karena memang tidak ada keharusan memakai pelindung telinga seperti
ear plug atau ear muff.
Setiap prajurit infanteri, dalam melaksanakan tugas kemiliterannya harus secara
profesional dengan ditunjang kemampuan fisik yang prima, termasuk di dalamnya
kemampuan optimal dari panca inderanya. Setelah selesai melaksanakan seluruh tugas
kemiliterannya (Purnawira), seorang mantan prajurit harus masih memiliki kemampuan
fisik (termasuk kemampuan panca inderanya) yang masih baik, sehingga dalam kehidupan
tujuan pembangunan kesehatan Bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998
dalam Pelita IV yang mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan
kualitas sumber daya manusia yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat dan usia harapan hidup (Rencana PJP VII Bidang Kesehatan 1999-2004)
(Rustam, 2004).
Pada saat prajurit infanteri melakukan latihan menembak, baik pistol ataupun
senapan, maka kebisingan yang ditimbulkan senjata tersebut diperkirakan telah melampaui
tingkat kebisingan yang diijinkan di suatu lingkungan kerja yang mempunyai batas 85 dB
(Sesuai petikan S.E. Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. 01/MEN/1978
tanggal 7-2-1978) (Sasongko, 2003)
Analisis kurva audiogram nada murni pada 361 orang Finlandia yang mengalami
trauma akustik dalam dinas militer mendapatkan hasil 75% telinga mengalami gangguan
dengar nada tinggi, diatas frekuensi 2 kHz, dan 25% mengalami gangguan dengar pada
frekuensi percakapan (Ylikoski J, 1987).
Penelitian pendengaran terhadap 134 anggota militer Kanada kecabangan infanteri ,
arteleri dan kavaleri secara prospektif pada saat mulai bekerja dan 3 tahun setelah bekerja,
ditemukan 11% prajurit kecabangan infanteri mengalami peningkatan ambang dengar
ringan sampai sedang pada telinga kiri lebih dari 25 dB, karena selalu menggunakan pistol
kaliber kecil (Pelausa EO et al, 1995).
Di Indonesia ada beberapa penelitian yang menghubungkan masalah kebisingan
terhadap prajurit. Penelitian Zuldidzaan (1995) pada awak pesawat helikopter TNI AU dan
Sasongko S (2003) menemukan rata-rata tingkat tekanan suara meriam pada jarak 1 meter
sebesar 173.4 dBA.
Sampai saat ini data-data maupun penelitian tentang bising yang ditimbulkan oleh
senjata organik yang biasa digunakan prajurit TNI-AD, khususnya Yonif 100 Raider serta
skrining pendengaran prajurit belum ada, karena hal itulah peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian skrining pendengaran terhadap prajurit Batlyon Infanteri 100 Raider,
dimana peneliti pernah bertugas selama ± 4 tahun sebagai dokter batalyon.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, rumusan
masalah penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran gangguan pendengaran akibat bising
pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan”.
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran gangguan
pendengaran akibat bising pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit
Barisan.
1.3.2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui rerata intensitas bunyi senjata yang dipergunakan pada saat
melakukan latihan menembak prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I
b. Untuk mengetahui distribusi kelainan audiogram pada prajurit Batalyon Infanteri
100 Raider Kodam I Bukit Barisan.
c. Mengetahui lamanya paparan bising senjata pada prajurit Batalyon Infanteri 100
Raider Kodam I Bukit Barisan.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan pimpinan TNI pada
umumnya dan TNI-AD pada khususnya dalam program latihan menembak, dalam
rangka upaya perlindungan pendengaran para prajurit TNI.
2. Sebagai bahan masukan bagi pencegahan gangguan pendengaran bagi pihak-pihak
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga
Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga, liang telinga dan bagian lateral dari membran
timpani (Lee K.J,1995; Mills JH et al, 1997).
Daun telinga di bentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Ke arah
liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua
pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan
berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan berbagai tonjolan dan
cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan
menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz (Mills JH et al, 1997).
Telinga tengah berbentuk seperti kubah dengan enam sisi. Telinga tengah terbagi
atas tiga bagian dari atas ke bawah, yaitu epitimpanum terletak di atas dari batas atas
membran timpani, mesotimpanum disebut juga kavum timpani terletak medial dari
membran timpani dan hipotimpanum terletak kaudal dari membran timpani (Liston SL et
al,1989; Pickles JO,1991).
Organ konduksi di dalam telinga tengah ialah membran timpani, rangkaian tulang
pendengaran, ligamentum penunjang, tingkap lonjong dan tingkap bundar (Liston SL et
al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997).
Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium maleus ke arah
energi suara yang masuk dibatasi (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al,
1997).
Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal dari telinga
luar kedalam koklea yang berisi cairan. Sebelum memasuki koklea bunyi akan
diamplifikasi melalui perbedaan ukuran membran timpani dan tingkap lonjong, daya ungkit
tulang pendengaran dan bentuk spesifik dari membran timpani. Meskipun bunyi yang
diteruskan ke dalam koklea mengalami amplifikasi yang cukup besar, namun efisiensi
energi dan kemurnian bunyi tidak mengalami distorsi walaupun intensitas bunyi yang
diterima sampai 130 dB (Mills JH et al, 1997).
Aktifitas dari otot stapedius disebut juga reflek stapedius pada manusia akan
muncul pada intensitas bunyi diatas 80 dB (SPL) dalam bentuk reflek bilateral dengan sisi
homolateral lebih kuat. Reflek otot ini berfungsi melindungi koklea, efektif pada frekuensi
kurang dari 2 khz dengan masa latensi 10 mdet dengan daya redam 5-10 dB. Dengan
demikian dapat dikatakan telinga mempunyai filter terhadap bunyi tertentu, baik terhadap
intensitas maupun frekuensi (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997;
Gambar 2.1. Anatomi Telinga (Dhingra PL., 2007)
Telinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran. Telinga
dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena bentuknya yang
kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah sempurna dan hanya
mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang temporal. Telinga dalam terdiri
dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin tulang merupakan
susunan ruangan yang terdapat dalam pars petrosa os temporalis ( ruang perilimfatik) dan
merupakan salah satu tulang terkeras. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis
semisirkularis dan kohlea (Santi PA, 1993; Lee KJ, 1995; Wright A, 1997; Mills JH et al,
1998).
Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran
panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding medial menghadap ke meatus
akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial terdapat dua cekungan
yaitu spherical recess untuk sakulus dan eliptical recess untuk utrikulus. Di bawah eliptical
recess terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis yang menyalurkan duktus
endolimfatikus ke fossa kranii posterior diluar duramater (Santi PA, 1993; Lee KJ, 1995;
Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998).
Di belakang spherical recess terdapat alur yang disebut vestibular crest. Pada ujung
bawah alur ini terpisah untuk mencakup recessus kohlearis yang membawa serabut saraf
kohlea kebasis kohlea. Serabut saraf untuk utrikulus, kanalis semisirkularis superior dan
lateral menembus dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan N. Vestibularis
lubang ke kanalis semisirkularis dan dinding anterior ada lubang berbentuk elips ke skala
vestibuli kohlea (Mills JH et al, 1998; Santi PA, 1993).
Gambar 2.2 Anatomi Telinga Dalam (Dhingra PL., 2007)
Ada tiga buah semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan
lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Bentuknya seperti dua pertiga
lingkaran dengan panjang yang tidak sama tetapi dengan diameter yang hampir sama
sekitar 0,8 mm. Pada salah satu ujungnya masing-masing kanalis ini melebar disebut
ampulla yang berisi epitel sensoris vestibular dan terbuka ke vestibulum (Wright A., 1997).
Ampulla kanalis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-masing
ujung anterolateralnya, sedangkan ampulla kanalis posterior terletak dibawah dekat lantai
vestibulum. Ujung kanalis superior dan inferior yang tidak mempunyai ampulla bertemu
dan bersatu membentuk crus communis yang masuk vestibulum pada dinding posterior
bagian tengah. Ujung kanalis lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum
sedikit dibawah cruss communis (Ballenger, 1996).
Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama yaitu bidang
orang berdiri. Kanalis lainnya letaknya tegak lurus terhadap kanal ini sehingga kanalis
superior sisi telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan posterior telinga kanan demikian
pula dengan kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior teling kanan
(Mills JH, 1998).
Koklea membentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar
35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala timpani dan
skala vestibuli berisi cairan perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l.
Skala media berada dibagian tengah, dibatasi oleh membran reissner, membran basilaris,
lamina spiralis dan dinding lateral, berisi cairan endolimfa dengan konsentrasi K+ 144
mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Skala media mempunyai potensial positif (+ 80 mv) pada saat
istirahat dan berkurang secara perlahan dari basal ke apeks (Ballenger JJ, 1996).
Gambar 2.3 Kohklea (Dhingra PL., 2007)
Organ corti terletak di membran basilaris yang lebarnya 0.12 mm di bagian basal
dan melebar sampai 0.5 mm di bagian apeks, berbentuk seperti spiral. Beberapa komponen
Hensen’s, Claudiu’s, membran tektoria dan lamina retikularis (Santi PA, 1993; Wright A,
1997; Mills JH et al, 1998).
Sel-sel rambut tersusun dalam 4 baris, yang terdiri dari 3 baris sel rambut luar yang
terletak lateral terhadap terowongan yang terbentuk oleh pilar-pilar Corti, dan sebaris sel
rambut dalam yang terletak di medial terhadap terowongan. Sel rambut dalam yang
berjumlah sekitar 3500 dan sel rambut luar dengan jumlah 12000 berperan dalam merubah
hantaran bunyi dalam bentuk energi mekanik menjadi energi listrik (Ballenger JJ, 1996).
Gambar 2.4 Organ Corti (Dhingra PL., 2007)
2.1.1 Vaskularisasi telinga dalam
Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris
anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke
meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis
communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A.
Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus
semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea
memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea.
Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen
spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan
didalam kohlea mengitari modiolus (Santi PA, 1993; Lee K.J, 1995).
Vena dialirkan ke V.Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus
sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus
petrosus superior dan inferior (Santi PA, 1993 ; Lee K.J, 1995).
2.1.2 Persarafan telinga dalam
N.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan
vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan
masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh
N.Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus
internus.
Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N.Kohlearis dengan ganglion spiralis corti
terletak di modiolus (Santi PA,1993; Wright A, 1997; Mills JH et al,1998).
2.2 Fisiologi Pendengaran
Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah membran
tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting tersebut sangat
berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut sangat kaku dan terdapat
penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel lainnya, sehingga bila mendapat
stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku bersamaan. Pada bagian puncak
stereosilia yang lebih rendah, sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan
mendorong gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada
rantai yang menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan
terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan yang
berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut berkurang dan kanal
ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel, perilimfa dan endolimfa
yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea disebut koklea
mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi sebagai
pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh sel
rambut luar (May, Budelis, & Niparko, 2004).
Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan dengan
amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang diterima.
Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz)
mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus
berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran maksimum lebih kearah apeks.
Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian
apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun
bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam
puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada
Gambar 2.5. Skema Fisiologi Pendengaran (Hall, J. 1998)
Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga
luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap
lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam dan di
proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan
terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
2.3 Jenis Gangguan Pendengaran
Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran
yakni : gangguanuan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya atau tipe
campuran.
Tuli konduktif terjadi akibat tidak sempurnanya fungsi organ yang berperan
menghantarkan bunyi dari luar ke telinga dalam. Gangguan telinga luar dan telinga tengah
dapat menyebabkan tuli konduktif.
Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada koklea atupun retrokoklea. Tuli
sensorineural dapat bersifat akut (acute sensorineural deafness) yakni tuli sensorineural
yang terjadi tiba-tiba dimana penyebab tidak diketahui dengan pasti dan chronic
sensorineural deafness tuli sensorineural yang terjadi secara perlahan (Cody, 1992).
2.4 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Gangguan Pendengaran
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan ambang dengar
akibat bising, yakni lama paparan bising, frekuensi paparan bising, tingkatan/besaran
paparan, usia dan jenis kelamin dari penderita (Dobie RA, 1998).
Lama paparan bising lebih dari 10 tahun akan menyebabkan peningkatan NIPTS
(Noise Induce Permanen Treshold Shift) terutama pada frekuensi 4 KHz.
Tingkatan/besaran paparan bising diatas 85 dBA pada frekuensi tinggi lebih cepat
menyebabkan gangguan dengar dibandingkan pada frekuensi rendah (Dobie RA, 1998).
Gangguan dengar yang terjadi pada frekuensi percakapan 500, 1000, 2000, dan
bising maupun tingkatan/besar paparan bising. Semakin lama dan semakin tinggi
tingkatan/besar paparan bising akan menimbulkan peningkatan NIPTS pada frekuensi
percakapan (Dobie RA, 1998).
Derajat gangguan pendengaran berdasarkan International Standard Organization
(ISO) adalah normal (0 – 25 dB), tuli ringan (26 – 40 dB), tuli sedang (41 – 60 dB), tuli
berat (61 – 90 dB), dan tuli sangat berat (>90 dB) (Bashiruddin, 2002).
Penelitian oleh Karl D. Kryter pada tahun 1965 menunjukkan bahwa perbedaan
jenis bising yang diterima oleh pekerja juga mempengaruhi besarnya pergeseran ambang
dengar.
Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata
otomatis sebesar 174 dB. Glorig dan Wheeler (1955) menyatakan bahwa bising yang di
timbulkan senjata genggam sebesar 180 dB. Yarington (1968) menemukan tekanan suara
akibat ledakan meriam Howitzer 105 sebesar 190 dB dan anti tank sebesar 185,6 dB
(Alberti P.W, 1997).
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas
[image:30.612.166.432.537.665.2]faktor bising dalam lingkungan kerja adalah sebagia berikut.
Tabel 2.1 Paparan Bising yang Diperkenankan
Sound Level dBA Lama Paparan (jam per hari)
85 16
90 8
92 6
95 4
100 2
105 1
110 0,5
Pfander (1975) menyebutkan bahwa tekanan suara sebesar 165 dB hanya diijinkan
paparan selama 0.23 detik per hari dan untuk 145 dB hanya 0.3 detik per hari. Sebuah
penelitian terhadap 1073 prajurit arteleri Kroasia, menunjukkan hasil bahwa 907 (84.25%)
orang mengalami peningkatan ambang dengar (fatique) pada tingkatan yang berbeda segera
setelah melakukan tembakan (Spirov A,1982).
2.5 Bunyi
Bunyi adalah gelombang yang timbul dari getaran moleku-molekul benda yang
saling beradu sama lain dan terkoordinasi. Gelombang tersebut akan meneruskan energi
dan sebagian dipantulkan kembali. Dalam perambatannya bunyi memerlukan media.
Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai massa dan elastisitas. Pada
umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi tidak di rambatkan di ruang hampa.
Kecepatan rambatan bunyi melalui udara sebesar ±340 meter/detik. Pada medium yang
berbeda, kecepatan bunyi dapat meningkat. Melalui air kecepatan bunyi dapat meningkat
±4 kali, dan melalui besi menjadi ±14 kali lebih besar (Bashiruddin J, 2002).
Gelombang bunyi disebarkan ke berbagai arah di udara. Apabila suatu benda
bergetar, maka getaran tersebut akan diteruskan ke lapisan udara disekitarnya dan
selanjutnya dirambatkan terus ke lapisan udara yang lebih jauh, begitu seterusnya. Di
udara, getaran melakukan pemampatan (compression) dan perenggangan (rarefaction)
yang timbul bersamaan dengan getaran sumber bunyi. Di daerah pemampatan, tekanan
udara lebih tinggi dari normal. Bila sumber bunyi berhenti bergetar, maka udara akan
berhenti. Jenis getaran bunyi dapat di bedakan menjadi getaran selaras dan getaran tak
selaras (Bashiruddin J, 2002).
Getaran selaras adalah getaran harmonik sederhana atau di kenal juga dengan
getaran sinusoidal. Contohnya adalah garpu tala yang bergetar. Sedangkan contoh getaran
tidak selaras dikenal sebagai bunyi bising, desis, gemeretak, desir atau detakan. Bunyi yang
dapat didengar memiliki periode 1/20 sampai 1/15.000 detik, tergantung dari frekuensi
getarannya (Dobie R , 1998).
Frekuensi adalah jumlah getaran per detik. Jika suatu periode berakhir selama 1/100
detik, maka berarti terdapat 100 getaran (cycle/siklus). Di Eropa, satuan ini di sebut Hertz
dan di singkat Hz, untuk menghormati ahli fisika Jerman yang bernama Heinrich Hertz.
Selanjutnya terminologi ini di berlakukan oleh Badan Standar Internasional (International
Standard Association) untuk dibakukan. Frekuensi merupakan suatu besaran fisik yang
dapat diukur dengan pasti (Ballenger, 1996).
Bila dua garpu tala mempunyai frekuensi yang sama kita bunyikan dengan kekuatan
yang berbeda, maka akan terdengar bahwa salah satu akan berbunyi lebih keras. Garpu tala
yang dipukul lebih keras akan terjadi gerakan maksimum yang berkaitan dengan perubahan
tekanan udara yang lebih tinggi. Secara sederhana keadaan ini disebut Amplitudo-nya lebih
besar. Perbedaan tekanan udara inipun dapat diukur secara tepat karena juga merupakan
besaran fisik. Satuan tekanan udara = 1 dyne/cm2
Bunyi dapat dibedakan dalam 3 rentang frekuensi yaitu 0-20 Hz (infrasonik),
20-18.000 Hz (sonik), dan >20-18.000 Hz (ultrasonik). Infrasonik tidak dapat dideteksi oleh
dan kendaraan besar. Bila getaran dengan frekuensi infra mengenai tubuh akan
menyebabkan resonansi dan akan terasa nyeri pada beberapa bagian tubuh. Frekuensi dari
20-18.000 Hz merupakan frekuensi yang dapat dideteksi telinga manusia. Frekuensi di atas
20.000 Hz, dalam bidang kedokteran digunakan dalam 3 hal yaitu pengobatan,
penghancuran dan diagnosis (P.W.Alberti, 1997).
Untuk membuat udara bergetar dibutuhkan energi. Energi sebanding dengan
tekanan per satuan luas. Daya yang di butuhkan untuk menghasilkan bunyi yang mulai
terdengar adalah 10-16 watt/cm2 (Wright A., 1997).
2.5.1 Sifat gelombang suara
Bila gelombang suara membentur suatu rintangan atau dinding maka kemungkinan
yang terjadi adalah gelombang tersebut dipantulkan, dilenturkan, dibiaskan, diabsorpsi atau
diteruskan. Fenomena ini tergantung pada hubungan antara panjang gelombang suara,
ukuran rintang beberapa jenis dinding dan sudut datang. Permukaan gelombang
didefinisikan sebagai suatu prmukaan di mana seluruh partikelnya bergetar satu fase.
Sebagai contoh, bila suatu titik sumber memancar, gelombang akan menyebar secara
seragam ke segala arah dan permukaan gelombang berbentuk lengkung. Tetapi bila
seseorang yang berada cukup jauh, maka permukaan gelombang yang ditangkapnya akan
berbentuk relatif lebih datar. Apabila tidak terdapat permukaan yang memantul, maka
gelombang akan merambat secara bebas.
Apabila gelombang bunyi menabrak suatu dinding padat, sebagian dari energinya
akan di pantulkan dan sebagian lagi akan dirambatkan serta sebagian lain akan diserap
dirambatkan. Oleh karena telinga kita memiliki respon yang kurang lebih logaritmis
terhadap energi bunyi, maka bila menginginkan suatu sekat suara yang baik, penting sekali
untuk menurunkan energi ke tingkat di bawah 1/1000 kali (Wright A., 1997).
2.5.2 Intensitas bunyi: Desibel (dB)
Cakupan tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga normal sangat luas
sehingga sulit untuk mengetahui angkanya. Dekat ambang dengar, bunyi mempunyai
tekanan sebesar kira-kira 2/10.000 dyne/cm2
Tidak akan ada artinya membicarakan desibel bila titik awalnya tidak ditentukan.
Suatu bunyi dengan tekanan tertentu dapat mempunyai beberapa nilai desibel, tergantung
dari tekanan mana yang dipilih sebagai angka nol untuk titik awal pada skala. Pada
prakteknya, ada 3 titik awal yang sering dipakai pada skala desibel. Pertama yakni 0.0002
dyne/cm
. Tekanan ini harus dikalikan 10 juta kali untuk
dapat menyebabkan rasa nyeri di telinga. Skala desibel (dB) dipakai agar angka-angka
dalam cakupan frekuensi itu dapat diikuti. Hal ini dilakukan dengan memilih satu titik
tertentu pada skala penekanan sebagai dasar, dan menyatakan titik-titik lain pada skala
sebagai rasio dari dasar ini, mengambil angka logaritma dari rasio ini, kemudian angka
logaritma tersebut dikalikan 20 (Bashiruddin, 2002).
2
, yang dipilih karena dulu angka ini dianggap sebagai tekanan suara yang sesuai
dengan pendengaran yang terbaik manusia. Titik awal lain adalah ambang rata-rata
pendengaran normal. Yang terakhir, 1 dyne/cm2
Skala dengan titik awal 0.0002 dyne/cm
(1 mikrobar) sering dipakai sebagai
tekanan pembanding, terutama untuk kalibrasi mikrofon.
2
disebut skala tingkat tekanan suara (Sound
Pressure Level = SPL). Jadi 60 dB SPL berarti tekanan 60 dB diatas 0.0002 dyne/cm2.
dengar (Hearing Treshold Level) atau skala ambang dengar (Hearing Level= HL). Jadi 60
dBHL berarti tekanan 60 desibel diatas ambang tekanan standar pembanding yang sesuai
dengan pendengaran normal rata-rata frekuensi ini (Keith, 1989).
Perbedaan penting antara kedua skala ini adalah skala SPL berdasarkan suatu titik
awal fisika (0.0002 dyne/cm2
Tanda desibel pada angka gangguan pendengaran suatu audiometer mengikuti skala
ambang dengar (HL). Titik nol pada angka gangguan frekuensi tertentu adalah sebenarnya,
tingkat suara yang sesuai dengan rata-rata ambang dengar tersebut, seperti yang ditetapkan
oleh American National Standard Institute (ANSI) (Dobie R. A., 2009)
), sedangkan skala HL berdasarkan titik awal ukuran
psikologik atau perilaku, yakni pendengaran normal rata-rata.
2.6. Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensivitas
pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni (pure tone). Ambang
nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat didengar selama satu atau dua
detik melalui antaran udara ataupun hantaran tulang. Frekwensi yang dipakai berkisar
antara 125 – 8000 Hz dan diberikan secara bertingkat (Feldman dan Grimes, 1997).
Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk mendapatkan keabsahan
pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah dikalibrasi, (2) suasana/ruangan sekitar
pemeriksa harus tenang, dan (3) pemeriksa yang terlatih.
Komponen yang ada pada audiometri yaitu:
1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni
3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada
4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara
5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi
sinyal suara yang dapat didengar
6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa
Cara pemeriksaan audiometri adalah headphone dipasang pada telinga untuk
mengukur ambang nada melalui konduksi udara. Tempat pemeriksaan harus kedap udara.
Pasien diberitahu supaya menekan tombol bila mendengar suara walaupun kecil. Suara
diberi interval 2 detik, biasanya dimulai dengan frekwensi 1000 Hz sampai suara tidak
terdengar. Kemudian dinaikkan 5 dB sampai suara terdengar. Ini dicatat sebagai audiometri
nada murni (pure tone audiometry) (Keith, 1989).
Biasanya yang diperiksa terlebih dahulu adalah telinga yang dianggap normal (tidak
sakit) pendengarannya melalui hantaran udara, kemudian diperiksa melalui hantara tulang.
Kalau perbedaan kekurangan pendengaran yang diperiksa 50 dB atau lebih dari telinga
lainnya, maka telinga yang tidak diperiksa harus ditulikan (masking). Ketika memeriksa
satu telinga pada intensitas tertentu, suara akan terdengar pada telinga yang satu lagi. Hal
ini disebut “cross over” yang dapat membuat salah interpretasi pada pemeriksaan
audiometer.
Ada beberapa ketentuan yang praktis bila masking diperlukan yakni:
1. Masking untuk hantaran udara (AC) diperlukan bila terdapat perbedaan
kehilangan pendengaran sebesar 45 dB atau lebih pada waktu percobaan.
a. Apabila treshold hantaran tulang (BC) pada telinga yang dites lebih sensitif
dari treshold hantaran tulang yang tidak diperiksa.
b. Apabila tidak ada respon pada hantaran tulang setelah mempengaruhi
[image:37.612.205.406.179.313.2]maksimum output dari audiometer (Keith, 1989)
[image:37.612.222.389.354.480.2]Gambar 2.6. Gambaran audiometri normal
Gambar 2.7. Gambaran audiometri tuli sensorineural
[image:37.612.225.393.548.685.2]Gambar 2.9. Gambaran audiometri tuli campuran
Gambar 2.10. Gambaran audiometri tuli akibat bising
2.7 Perlindungan Fungsi Pendengaran
Perlindungan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan rekayasa lingkungan
(enviromental engineering) dan proteksi perorangan pada individu-individu yang terpapar
trauma akustik. Tujuan program konservasi pendengaran yang ideal adalah mengurangi
efek paparan trauma akustik.
Terdapat 2 macam pelindung telinga, yakni:
1. Bentuk sumbat (plug), yang dimasukkan ke dalam liang telinga secara tepat sesuai
ukuran masing-masing.
2. Bentuk bantalan (muff), yang dipegang dengan tali kepala dan melingkari telinga,
[image:38.612.205.405.238.361.2]Brenda L (1993) pada penelitiannya mendapati bahwa ear plug dapat menurunkan
efek bising di telinga tengah sebesar 15 sampai 30 dB. Sedangkan ear muff merupakan
protektif yang lebih baik, khususnya pada frekuensi 500 Hz dan 1 KHz. Pada tingkat
kebisingan yang tinggi pengguanaan ear plug saja tidak begitu baik dan disarankan
menggunakan kombinasi ear plug dan ear muff .
Penting juga diketahui bahwa tekanan suara (sound energy) berhubungan dengan
tingkatan bising yang tinggi (high noise level) yang dapat mencapai telinga dalam melalui
pergetaran tulang serta struktur-struktur disekitarnya. Sehingga konduksi melalui tulang
dan jaringan disekitarnya dapat dibatasi dengan pemakaian alat pelindung pendengaran.
Suatu pelindung pendengaran yang ideal (infinite protector) seharusnya dapat menurunkan
efek bising sebesar 20 -30 dB (Bashiruddin J, 2002).
2.8 Jenis Senjata
Senjata yang biasa digunakan oleh prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I
Bukit Barisan ada 2 macam, yaitu Pistol FN US 45 dan Senapan Serbu (SS) 1 R5.
1. Pistol FN US 45
Senjata pistol ini diproduksi oleh pabrikan Amscor dari Amerika Serikat pada
tahun 1958. Kaliber dari senjata ini adalah 11 mm dengan panjang pistol 219 mm. Jarak
tembak efektif dari pistol ini adalah 50 meter dengan jarak tembak maksimal 1500 meter.
2. Senapan Serbu (SS) 1 R5
Senjata jenis ini diproduksi oleh PT. PINDAD Indonesia tahun 2003. Kaliber
dan apabila popor direntangkan 771 mm. Jarak tembak efektif senjata ini 375 meter dan
jarak tembak maksimal 5000 meter.
2.9 Kerangka Konsep
Kerangka konsep kaitan antara paparan bising dan gangguan pendengaran akibat
bising pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan dapat dilihat
[image:40.612.83.544.285.342.2]pada gambar 2.11 berikut.
Gambar 2.11. Kerangka Konsep Kaitan antara Paparan Bising dan Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan
Gangguan Pendengaran Paparan
Bising
Kerusakan pada sel-sel rambut
2.10 Kerangka Kerja
[image:41.612.152.382.120.302.2]
Gambar 2.12. Kerangka Kerja Anamnesis dan Pemeriksaan Audiometri pada Parajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan
Anamnesis
THT Rutin
Normal Abnormal
Pemeriksaan Audiometri
Eksklusi Eksklusi
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang
(crossectional study).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan,
Namu Sira-sira, Langkat, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2011
sampai Juli 2011.
3.3. Populasi, Sampel Penelitian, Besar Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider
yang masih aktif.
3.3.2. Sampel penelitian
Anggota populasi penelitian yang diperiksa oleh peneliti secara acak, bersedia ikut
dalam penelitian serta memenuhi kriteria penelitian.
• Kriteria inklusi:
1. Tidak ada riwayat trauma kepala, sakit telinga yang dapat
2. Tidak menderita penyakit sistemik : DM, Malaria, dan penyakit lain
yang dapat mempengaruhi fungsi pendengaran
3. Pada pemeriksaan THT rutin tidak dijumpai kelainan yang
mempengaruhi fungsi pendengaran
• Kriteria eksklusi:
1. Sedang mengkonsumsi obat-obatan yang bersifat ototoksik.
3.3.3. Besar Sampel
Penentuan besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan
penelitian sebelumnya (Spirov A, 1982). Dengan rumus:
Zα2 p (1-p) (1.96)2
n = --- = --- = 50.09 ≈50 (0.8425) (1 – 0.8425)
d2 (0.1)
2
dimana:
n = Jumlah subjek penelitian
Z = Kepercayaan 95%, nilainya 1.96
P = Proporsi/prevalensi (84,25%)
d = Ketetapan pengukuran (0.1)
3.4. Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel dependen yaitu gangguan
pendengaran dan variable independen yaitu: prajurit Yonif 100 Raider, intensitas
bunyi senjata organik, lama paparan, lama kerja dan penggunaan alat pelindung diri
3.5. Defenisi Operasional
1. Prajurit Yonif 100 raider adalah prajurit TNI yang masih bertugas dikesatuan
batalyon infanteri 100 Raider KODAM I Bukit Barisan.
2. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu kegiatan dalam
tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia.
3. Sound level meter adalah alat untuk mengukur tingkat intensitas bunyi
4. Intensitas bunyi senjata organik adalah besarnya bunyi senjata organik yakni
senapan serbu jenis SS1 R5 buatan Pindad, yang dinyatakan dalam decibel (dB).
5. Frekuensi adalah jumlah getaran perdetik.
6. Decibel adalah logaritma dari rasio dua daya atau tekanan.
7. Tuli akibat bising (TAB) adalah tuli jenis sensorineural akibat kelainan pada
koklea, terjadi akibat paparan bising dengan intensitas di atas nilai ambang
batas normal.
8. Tuli sensorineural adalah tuli yang disebabkan kelainan pada kokhlea ataupun
retrokokhlea. Pada audiogram tampak ambang hantaran tulang sama dengan
ambang hantaran udara dan keduanya tidak normal.
9. Tuli konduktif adalah tuli yang disebabkan oleh kelainan yang terdapat di
telinga luar atau telinga tengah. Pada audiogram tampak ambang hantaran
tulang lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih dan
10.Tuli campuran adalah tuli konduktif dan tuli sensorineural. Pada audiogram
tampak ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari ambang
hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih.
11.Lama paparan adalah satuan waktu yang menunjukan masa terpapar bunyi, yang
dinyatakan dalam jam/hari.
12.Lama kerja adalah sejak mulai berdinas di batalyon infanteri 100 Raider sampai
dilakukan pemeriksaan audiometri, yang dinyatakan dalam tahun.
13.Alat pelindung diri (APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri
seperti helm, pelindung telinga, masker dan lain-lain.
14.Pemeriksaan audiometri adalah pemeriksaan pendengaran yang menggunakan
alat audiometer yang merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur
sensitivitas pendengaran yang menggunakan nada murni (pure tone).
15.Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :
Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 HZ + AD 2000 HZ
3
( Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007 )
16. Derajat ketulian ISO :
Normal (0 – 25 dB), Tuli ringan (26 – 40 dB), Tuli sedang (41 -60 dB),
Tuli berat (61 – 90 dB), Tuli sangat berat ( > 90 dB) ( Bhasiruddin J, 2002)
3.6 Bahan dan Alat Penelitian
a. Kuisioner penelitian
c. Spekulum telinga merek Hartmann
d. Otoskop merk Riester
e. Larutan peroksida 3% (H2O2
f. Alat penghisap (suction) merk Thomas Medipump tipe 1132 GL 3%)
g. Kanul penghisap nomor 6 dan 8 tipe Fergusson
h. Spekulum hidung merk Renz
i. Spatel lidah
j. Kaca laringoskopi dan kaca rinoskopi
k. Pengait serumen
l. Audiometer merk Rexton tipe D67 dan telah dikalibrasi.
m. Sound level meter merk Larson Davis 720 SLM serial 0553 dan telah
dikalibrasi.
3.7 Cara Kerja
Dicari rata-rata intensitas bunyi senjata organik yang biasa digunakan yakni dan
senapan SS1 R5. Pengukuran intensitas bunyi dilakukan dengan sound level meter. Kepada
semua prajurit dilakukan pemeriksaan kesehatan telinganya. Telinga yang kotor
dibersihkan dan yang sakit dikeluarkan dari penelitian. Kepada subjek penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi terlebih dahulu dibagikan kuisioner penelitian. Selanjutnya,
pendengaran pasien diperiksa dengan menggunakan audiometri nada murni.
3.8 Analisis Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang
diperoleh dianalisis secara statistik untuk menilai rata-rata intensitas bunyi senjata organik,
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan design
crossectional study, dimana pengambilan data dilakukan di batalyon infanteri 100 Raider.
Penelitian dilakukan pada 50 orang prajurit batalyon infanteri 100 Raider yang telah dipilih
secara acak dan memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian.
4.1. Gambaran Responden Penelitian
Berikut ini disajikan gambaran responden pada penelitian Skrining Pendengaran
Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider.
Tabel 4.1. Gambaran Responden Penelitian
Umur (Tahun) N (%)
18 - 23 2 4
24 - 29 12 24
30 - 35 27 54
36 - 41 7 14
42 - 47 2 4
Total 50 100
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa distribusi tertinggi sampel penelitian
menurut umur adalah kelompok umur 30 – 35 tahun sebanyak 27 orang (54%) dan
distribusi terendah sampel penelitian adalah kelompok umur 18 – 23 tahun dan 42 – 47
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Prajurit Berdasarkan Lama Dinas di Yonif 100 Raider
Lama Dinas (Tahun ) N %
1 - 5 13 26
6 - 10 33 66
11 - 15 1 2
> 15 3 6
Total 50 100
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa distribusi prajurit berdasarkan lama dinas
di Yonif 100 Raider yang terbanyak adalah 6 – 10 tahun sebanyak 33 orang ( 66% ) dan
yang terendah adalah 11 – 15 tahun hanya 1 orang ( 2% ).
4.2. Gambaran Jenis Senjata Yang Digunakan
Senjata yang digunakan pada penelitian ini adalah senjata standar organik prajurit
Yonif 100 Raider, yakni senjata pistol FN US 45 dan senapan serbu (SS) 1 R5.
4.2.1. Spesifikasi senjata senapan serbu ( SS ) 1 R5
Gambar 4.2. Senjata senapan serbu (SS) 1 R5 1. Negara Asal : Indonesia
2. Nama Pabrik : PT. Pindad (Persero)
3. Tahun Pembuatan : 2003
4. Kaliber : 5,56 mm X 45 mm
5. Berat Senjata
a. Magazen Kosong : 3,59 Kg b. Magazen Penuh : 3,95 Kg 6. Panjang Senjata
a. Popor Lipat : 546 mm b. Popor Terentang : 771 mm
9. Panjang Laras : 252 mm
10. Alat Bidik : Mechanical Sight a. Angka 100 : 0 – 150 M b. Angka 200 : 150 – 250 M 11. Kecepatan Tembak
a. Tunggal : 60 Pel/Mnt b. Outomatic : 120 – 200 Pel/Mnt 12. Kecepatan Awal (VO) : 751 M/dtk
13. Jarak Tembak Efektif : 375 M
14. Sistem Kerja : Gas Operated 15. Sistem Penguncian : Putar
16. Isi Magazen : 30 Btr
Tabel 4.3. Rata-rata Intensitas Bunyi Senjata
Jenis Senjata Rata-rata bunyi (dB)
Senapan serbu (SS) 1 R5 107,66
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi senjata senapan
serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB.
Grafik 4.1. Rata–rata intensitas bunyi senjata
4.3. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )
Jenis APD N %
Ear Muff 2 4
Ear plug 12 24
Tidak pakai APD 36 72
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jenis APD yang biasa digunakan adalah
ear plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai
[image:51.612.171.443.154.313.2]APD sebanyak 36 ( 72% ).
Grafik 4.2. Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD )
4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran Tabel 4.5. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan pendengaran
Jenis Gangguan
Pendengaran Telinga Kanan Telinga Kiri
N % N %
Tuli Konduktif 0 0 0 0
Tuli Sensorineural 11 22 6 12
Tuli Campuran 0 0 0 0
Normal 39 78 44 88
Total 50 100 50 100
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jenis gangguan pendengaran responden,
pada telinga kanan tuli sensorineural 11 (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan
tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, tuli sensorineural 6 orang (12%)
[image:51.612.87.483.410.528.2]Gambar 4.3. Suasana Pemeriksaan THT Rutin dan Audiometri
[image:52.612.104.510.69.407.2]4.5. Distribusi Frekuensi Derajat Ketulian Berdasarkan Kelompok umur Tabel 4.6. Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan kelompok umur
Derajat Ketulian Umur
Total ,<30 tahun ≥30 tahun
n % n % N %
Normal 12 30.77 27 69,23 39 100,00
SNHL Ringan 1 10,00 9 90,00 10 100,00
SNHL Sedang 1 100,00 0 0,00 1 100,00
Total 14 28 50 100,00
Derajat kebebasan (df) = 2; p=0,115
Berdasarkan tabel 4.6. dapat dilihat bahwa pada kelompok umur < 30 tahun
dijumpai 12 orang ( 30.77% ) normal, 1 orang ( 10% ) menderita derajat ketulian ringan
dan 1 orang( 100% ) menderita derajat ketulian sedang. Pada kelompok umur >30 tahun
yang normal 27 orang ( 69,23%), menderita derajat ketulian ringan 9 orang ( 90%) dan
tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.
Hasil statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p=0.115. Hal ini
berarti secara statistik tidak ada hubungan antara derajat ketulian dengan kelompok umur
peserta penelitian. Tetapi secara klinis, kami temukan prajurit yang mengalami gangguan
pendengaran.
[image:53.612.83.516.505.623.2]4.6. Distribusi Frekuensi Lama Berdinas Dengan Derajat Ketulian Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Lama Berdinas dengan Derajat Ketulian
Lama Berdinas
(tahun)
Derajat Ketulian
Total
Normal Ringan Sedang
n % n % n % N %
1 - 5 12 92.30 0 0,00 1 7,70 13 100,00
6 - 10 25 75,75 8 24,25 0 0,00 33 100,00
11 - 15 1 100,00 0 0,00 0 0,00 1 100,00
>15 1 33,33 2 66,67 0 0,00 3 100,00
Total 39 10 1 50 100,00
Dari tabel distribusi frekuensi lama berdinas dengan derajat ketulian, dijumpai lama
berdinas 1 – 5 tahun, 12 orang ( 92.30%) normal dan 1 orang ( 7,70% ) derajat ketulian
derajat ketulian ringan. Lama berdinas 11 – 15 tahun, 1 orang ( 100% ) normal. Lama
berdinas diatas 15 tahun, 1 orang ( 33,33% ) normal dan 2 orang ( 66,67% ) derajat
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang prajurit batalyon infanteri 100
Raider Kodam I Bukit Barisan didapatkan data yang akan dijabarkan dibawah ini.
5.1. Gambaran Responden Penelitian
Responden penelitian adalah seluruh prajurit Yonif 100 raider yang dipilih secara
acak, dengan cara memanggil prajurit dari tiap-tiap kompi ( batalyon mempunyai 5 kompi
). Seluruh prajurit yang terpilih adalah prajurit yang sudah melaksanakan pemeriksaan
kesehatan reguler ( setiap 6 bulan sekali prajurit diperiksa kesehatannya oleh Kesdam I
Bukit Barisan ).
Dari gambaran responden diatas, distribusi tertinggi responden menurut umur
adalah kelompok umur 30 – 35 tahun sebanyak 27 orang ( 54% ) dan terendah kelompok
umur 18 – 23 tahun dan 42 – 47 tahun sebanyak 2 orang ( 4% ). Pada penelitian di
Finlandia dan Korea rata – rata responden berumur antara 20 – 40 tahun, dan terbanyak
pada kisaran umur 30 -35 tahun (33%) Coles (1963), Millitary of South Korean, (2007).
Di Indonesia komposisi umur prajurit yang aktif di batalyon yang paling dominan
adalah pada umur 30 s/d 35 tahun. Rata – rata umur personil Batalyon di seluruh Indonesia
Gambar 5.1. Prajurit Yonif 100 Raider
5.1.1. Distribusi Frekuensi Prajurit Berdasarkan Lama Dinas di Yonif 100 Raider
Distribusi tertinggi prajurit berdasarkan lama dinas di Yonif 100 Raider adalah 6 –
10 tahun sebanyak 33 orang ( 66% ) dan yang terendah dan 11 – 15 tahun hanya 1 orang (
2% ). Hal ini karena struktur organisasi, jabatan dan kepangkatan di batalyon tidak
memungkinkan bagi prajurit untuk berlama-lama dalam satu batalyon.
Kebijaksanaan pimpinan dalam melaksanakan rotasi jabatan mempertimbangkan
berbagai aspek, salah satunya adalah lama berdinas. Batalyon adalah satuan tempur yang
mempunyai mobilitas tinggi, baik dalam latihan maupun tugas operasi. Prajurit yang
berdinas di batalyon biasanya tidak lebih dari 15 tahun, walaupun ada yang lebih lama dari
15 tahun, kemungkinan mempertimbangkan aspek asal daerah maupun keluarga.
5.2. . Rata –rata Intensitas Bunyi Senjata
Penghitungan rata-rata intensitas bunyi senjata dengan melakukan 10 (sepuluh)
tembakan. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa seorang petembak
melakukan 10 kali tembakan dalam posisi berdiri. Penulis juga mempertimbangkan
Senjata SS1 R5 dengan bunyi rata-rata 107,66 dB. Pada penelitian Paakkonen et.al
(2000), ditemukan intensitas bunyi senjata laras panjang dan pistol yang digunakan pada
latihan menembak militer di Finlandia adalah berkisar antara 155 – 168 dB. Sedangkan
NATO (1987) mengatakan bahwa bunyi senjata militer dapat mencapai diatas 180 dB.
Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) intensitas bunyi senjata
api antara 140 – 170 dB.
Hasil hasil penelitian militer Korea Selatan yang menggunakan pistol K-5 revolver (
9 mm, Daewoo Precision Industries co., Ltd.) dan juga senjata K-2 ( 5.56 mm, Daewoo
Precision Industries co., Ltd.), intensitas bunyi pistol K-5 ± 143.6 dB dan senjata K-2 ±
161.2 dB.
[image:57.612.229.383.375.601.2]\
Gambar 5.2. Treshold of hearing (S. Everton, 2006)
Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata
otomatis sebesar 174 dB. Glorig dan Wheeler (1955) menyatakan bahwa bising yang di
akibat ledakan meriam Howitzer 105 sebesar 190 dB dan anti tank sebesar 185,6 dB
(Alberti P.W, 1997).
Walaupun hasil intensitas bunyi yang ditimbulkan senjata organik Yonif 100 Raider
masih lebih rendah daripada intensitas bunyi senjata lainnya, tetapi hasilnya lebih tinggi
dari nilai ambang batas yang diperbolehkan yakni 85 dB.
5.3. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui jenis APD yang biasa digunakan adalah ear
plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai APD
sebanyak 36 ( 72% ).
Penelitian Sasongko S. (2003), personil Pusdik ARMED KODIKLAT TNI AD
pada setiap latihan menembak yang menggunakan APD dalam bentuk ear plug hanya 26
orang (35,14%) sedangkan tanpa APD sebanyak 38 orang (51,35%).
Prajurit yang bertugas dibatalyon di Indonesia, pada saat latihan menembak tidak
ada keharusan memakai ear muff ataupun ear plug. Khususnya di batalyon infanteri 100
Raider, pada saat melakukan latihan menembak, ear plug disediakan oleh petembak
sendiri, sedangkan ear muff hanya disediakan kurang dari 5 buah.
Penelitian Teo K J (2008), pelatihan menembak tentara di Singapura hampir 90%
(a) (b)
Gambar 5.3. a ). Ear muff b) ear plug
5.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran
Jenis gangguan pendengaran prajurit, pada telinga kanan SNHL 11 orang (22%)
selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada
telinga kiri, SNHL 6 orang ( 12% ) dan normal 44 ( 88% ). Banyaknya prajurit yang
mengalami gangguan pendengaran pada telinga kanan dibandingkan pada telinga kiri,
kemungkinan karena pemakaian senjata pada saat menembak cenderung menggunakan
tangan kanan. Tetapi hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
penyebab yang sebenarnya.
Hasil ini menunjukan bahwa prajurit terpapapar bising senjata dan