• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.8. Analisis Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk menilai rata-rata intensitas bunyi senjata organik, lama kerja, lama paparan bising, pemakaian APD, dan kelainan audiogram.

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan design

crossectional study, dimana pengambilan data dilakukan di batalyon infanteri 100 Raider.

Penelitian dilakukan pada 50 orang prajurit batalyon infanteri 100 Raider yang telah dipilih secara acak dan memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian.

4.1. Gambaran Responden Penelitian

Berikut ini disajikan gambaran responden pada penelitian Skrining Pendengaran Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider.

Tabel 4.1. Gambaran Responden Penelitian

Umur (Tahun) N (%) 18 - 23 2 4 24 - 29 12 24 30 - 35 27 54 36 - 41 7 14 42 - 47 2 4 Total 50 100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa distribusi tertinggi sampel penelitian menurut umur adalah kelompok umur 30 – 35 tahun sebanyak 27 orang (54%) dan distribusi terendah sampel penelitian adalah kelompok umur 18 – 23 tahun dan 42 – 47 tahun masing-masing 2 orang (4%).

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Prajurit Berdasarkan Lama Dinas di Yonif 100 Raider

Lama Dinas (Tahun ) N %

1 - 5 13 26

6 - 10 33 66

11 - 15 1 2

> 15 3 6

Total 50 100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa distribusi prajurit berdasarkan lama dinas di Yonif 100 Raider yang terbanyak adalah 6 – 10 tahun sebanyak 33 orang ( 66% ) dan yang terendah adalah 11 – 15 tahun hanya 1 orang ( 2% ).

4.2. Gambaran Jenis Senjata Yang Digunakan

Senjata yang digunakan pada penelitian ini adalah senjata standar organik prajurit Yonif 100 Raider, yakni senjata pistol FN US 45 dan senapan serbu (SS) 1 R5.

4.2.1. Spesifikasi senjata senapan serbu ( SS ) 1 R5

Gambar 4.2. Senjata senapan serbu (SS) 1 R5 1. Negara Asal : Indonesia

2. Nama Pabrik : PT. Pindad (Persero)

3. Tahun Pembuatan : 2003 4. Kaliber : 5,56 mm X 45 mm 5. Berat Senjata a. Magazen Kosong : 3,59 Kg b. Magazen Penuh : 3,95 Kg 6. Panjang Senjata a. Popor Lipat : 546 mm b. Popor Terentang : 771 mm

7. Jumlah Alur & Arah Putaran : 6 Buah/Ke Kanan 8. Kisar/Twis Alur : 177,8 mm ( 7 ”)

9. Panjang Laras : 252 mm

10. Alat Bidik : Mechanical Sight a. Angka 100 : 0 – 150 M b. Angka 200 : 150 – 250 M 11. Kecepatan Tembak

a. Tunggal : 60 Pel/Mnt b. Outomatic : 120 – 200 Pel/Mnt 12. Kecepatan Awal (VO) : 751 M/dtk

13. Jarak Tembak Efektif : 375 M

14. Sistem Kerja : Gas Operated 15. Sistem Penguncian : Putar

16. Isi Magazen : 30 Btr

Tabel 4.3. Rata-rata Intensitas Bunyi Senjata

Jenis Senjata Rata-rata bunyi (dB) Senapan serbu (SS) 1 R5 107,66

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa intensitas rata-rata bunyi senjata senapan serbu (SS) 1 R5 adalah 107,66 dB.

Grafik 4.1. Rata–rata intensitas bunyi senjata

4.3. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )

Jenis APD N %

Ear Muff 2 4

Ear plug 12 24

Tidak pakai APD 36 72

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jenis APD yang biasa digunakan adalah

ear plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai

APD sebanyak 36 ( 72% ).

Grafik 4.2. Distribusi frekuensi pemakaian alat pelindung diri ( APD )

4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran Tabel 4.5. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gangguan pendengaran

Jenis Gangguan

Pendengaran Telinga Kanan Telinga Kiri

N % N % Tuli Konduktif 0 0 0 0 Tuli Sensorineural 11 22 6 12 Tuli Campuran 0 0 0 0 Normal 39 78 44 88 Total 50 100 50 100

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jenis gangguan pendengaran responden, pada telinga kanan tuli sensorineural 11 (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, tuli sensorineural 6 orang (12%) dan normal 44 (88%) . Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran.

Gambar 4.3. Suasana Pemeriksaan THT Rutin dan Audiometri

4.5. Distribusi Frekuensi Derajat Ketulian Berdasarkan Kelompok umur Tabel 4.6. Distribusi frekuensi derajat ketulian berdasarkan kelompok umur

Derajat Ketulian Umur

Total ,<30 tahun ≥30 tahun n % n % N % Normal 12 30.77 27 69,23 39 100,00 SNHL Ringan 1 10,00 9 90,00 10 100,00 SNHL Sedang 1 100,00 0 0,00 1 100,00 Total 14 28 50 100,00 Derajat kebebasan (df) = 2; p=0,115 Keterangan :

Berdasarkan tabel 4.6. dapat dilihat bahwa pada kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang ( 30.77% ) normal, 1 orang ( 10% ) menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang( 100% ) menderita derajat ketulian sedang. Pada kelompok umur >30 tahun yang normal 27 orang ( 69,23%), menderita derajat ketulian ringan 9 orang ( 90%) dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.

Hasil statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p=0.115. Hal ini berarti secara statistik tidak ada hubungan antara derajat ketulian dengan kelompok umur peserta penelitian. Tetapi secara klinis, kami temukan prajurit yang mengalami gangguan pendengaran.

4.6. Distribusi Frekuensi Lama Berdinas Dengan Derajat Ketulian Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Lama Berdinas dengan Derajat Ketulian

Lama Berdinas

(tahun)

Derajat Ketulian

Total

Normal Ringan Sedang

n % n % n % N % 1 - 5 12 92.30 0 0,00 1 7,70 13 100,00 6 - 10 25 75,75 8 24,25 0 0,00 33 100,00 11 - 15 1 100,00 0 0,00 0 0,00 1 100,00 >15 1 33,33 2 66,67 0 0,00 3 100,00 Total 39 10 1 50 100,00

Dari tabel distribusi frekuensi lama berdinas dengan derajat ketulian, dijumpai lama berdinas 1 – 5 tahun, 12 orang ( 92.30%) normal dan 1 orang ( 7,70% ) derajat ketulian sedang. Lama berdinas 6 – 10 tahun, 25 orang ( 75,75% ) normal dan 8 orang ( 24,25% )

derajat ketulian ringan. Lama berdinas 11 – 15 tahun, 1 orang ( 100% ) normal. Lama berdinas diatas 15 tahun, 1 orang ( 33,33% ) normal dan 2 orang ( 66,67% ) derajat ketulian ringan.

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang prajurit batalyon infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan didapatkan data yang akan dijabarkan dibawah ini.

5.1. Gambaran Responden Penelitian

Responden penelitian adalah seluruh prajurit Yonif 100 raider yang dipilih secara acak, dengan cara memanggil prajurit dari tiap-tiap kompi ( batalyon mempunyai 5 kompi ). Seluruh prajurit yang terpilih adalah prajurit yang sudah melaksanakan pemeriksaan kesehatan reguler ( setiap 6 bulan sekali prajurit diperiksa kesehatannya oleh Kesdam I Bukit Barisan ).

Dari gambaran responden diatas, distribusi tertinggi responden menurut umur adalah kelompok umur 30 – 35 tahun sebanyak 27 orang ( 54% ) dan terendah kelompok umur 18 – 23 tahun dan 42 – 47 tahun sebanyak 2 orang ( 4% ). Pada penelitian di Finlandia dan Korea rata – rata responden berumur antara 20 – 40 tahun, dan terbanyak pada kisaran umur 30 -35 tahun (33%) Coles (1963), Millitary of South Korean, (2007).

Di Indonesia komposisi umur prajurit yang aktif di batalyon yang paling dominan adalah pada umur 30 s/d 35 tahun. Rata – rata umur personil Batalyon di seluruh Indonesia adalah 19 s/d 45 tahun. ( PENDAM, 2005).

Gambar 5.1. Prajurit Yonif 100 Raider

5.1.1. Distribusi Frekuensi Prajurit Berdasarkan Lama Dinas di Yonif 100 Raider Distribusi tertinggi prajurit berdasarkan lama dinas di Yonif 100 Raider adalah 6 – 10 tahun sebanyak 33 orang ( 66% ) dan yang terendah dan 11 – 15 tahun hanya 1 orang ( 2% ). Hal ini karena struktur organisasi, jabatan dan kepangkatan di batalyon tidak memungkinkan bagi prajurit untuk berlama-lama dalam satu batalyon.

Kebijaksanaan pimpinan dalam melaksanakan rotasi jabatan mempertimbangkan berbagai aspek, salah satunya adalah lama berdinas. Batalyon adalah satuan tempur yang mempunyai mobilitas tinggi, baik dalam latihan maupun tugas operasi. Prajurit yang berdinas di batalyon biasanya tidak lebih dari 15 tahun, walaupun ada yang lebih lama dari 15 tahun, kemungkinan mempertimbangkan aspek asal daerah maupun keluarga.

5.2. . Rata –rata Intensitas Bunyi Senjata

Penghitungan rata-rata intensitas bunyi senjata dengan melakukan 10 (sepuluh) tembakan. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa seorang petembak melakukan 10 kali tembakan dalam posisi berdiri. Penulis juga mempertimbangkan amunisi yang terbatas untuk melakukan latihan.

Senjata SS1 R5 dengan bunyi rata-rata 107,66 dB. Pada penelitian Paakkonen et.al

(2000), ditemukan intensitas bunyi senjata laras panjang dan pistol yang digunakan pada latihan menembak militer di Finlandia adalah berkisar antara 155 – 168 dB. Sedangkan NATO (1987) mengatakan bahwa bunyi senjata militer dapat mencapai diatas 180 dB. Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) intensitas bunyi senjata api antara 140 – 170 dB.

Hasil hasil penelitian militer Korea Selatan yang menggunakan pistol K-5 revolver ( 9 mm, Daewoo Precision Industries co., Ltd.) dan juga senjata K-2 ( 5.56 mm, Daewoo Precision Industries co., Ltd.), intensitas bunyi pistol K-5 ± 143.6 dB dan senjata K-2 ± 161.2 dB.

\

Gambar 5.2. Treshold of hearing (S. Everton, 2006)

Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata otomatis sebesar 174 dB. Glorig dan Wheeler (1955) menyatakan bahwa bising yang di timbulkan senjata genggam sebesar 180 dB. Yarington, 1968 menemukan tekanan suara

akibat ledakan meriam Howitzer 105 sebesar 190 dB dan anti tank sebesar 185,6 dB

(Alberti P.W, 1997).

Walaupun hasil intensitas bunyi yang ditimbulkan senjata organik Yonif 100 Raider masih lebih rendah daripada intensitas bunyi senjata lainnya, tetapi hasilnya lebih tinggi dari nilai ambang batas yang diperbolehkan yakni 85 dB.

5.3. Distribusi Frekuensi Pemakaian Alat Pelindung Diri ( APD )

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui jenis APD yang biasa digunakan adalah ear

plug 12 ( 24% ) dan ear muff hanya 2 ( 4 % ) sedangkan selebihnya tidak memakai APD

sebanyak 36 ( 72% ).

Penelitian Sasongko S. (2003), personil Pusdik ARMED KODIKLAT TNI AD pada setiap latihan menembak yang menggunakan APD dalam bentuk ear plug hanya 26 orang (35,14%) sedangkan tanpa APD sebanyak 38 orang (51,35%).

Prajurit yang bertugas dibatalyon di Indonesia, pada saat latihan menembak tidak ada keharusan memakai ear muff ataupun ear plug. Khususnya di batalyon infanteri 100 Raider, pada saat melakukan latihan menembak, ear plug disediakan oleh petembak sendiri, sedangkan ear muff hanya disediakan kurang dari 5 buah.

Penelitian Teo K J (2008), pelatihan menembak tentara di Singapura hampir 90% menggunakan ear plug dan 10% ear muff.

(a) (b) Gambar 5.3. a ). Ear muff b) ear plug

5.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran

Jenis gangguan pendengaran prajurit, pada telinga kanan SNHL 11 orang (22%) selebihnya normal (78%). Tidak ditemukan tuli konduktif ataupun tuli campuran. Pada telinga kiri, SNHL 6 orang ( 12% ) dan normal 44 ( 88% ). Banyaknya prajurit yang mengalami gangguan pendengaran pada telinga kanan dibandingkan pada telinga kiri, kemungkinan karena pemakaian senjata pada saat menembak cenderung menggunakan tangan kanan. Tetapi hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab yang sebenarnya.

Hasil ini menunjukan bahwa prajurit terpapapar bising senjata dan mempengaruhi pendengaran, walaupun secara statistik tidak bermakna.

Hasil ini hampir sama dengan penelitian Sasongko S (2003), pada telinga kanan dan kiri dijumpai SNHL ringan (7,8%), SNHL sedang (7,8%) dan SNHL berat (1,6%).

Tentara Korea Selatan yang melaksanakan latihan menembak ditemukan 13% mengalami tuli sensorineural pada telinga kanan dan 10% tuli sensorineural pada telinga kiri.

Di Finlandia Paakonen (2003) menemukan 14% tentara mengalami tuli sensorineural pada telinga kanannya dan 11% tuli sensorineural pada telinga kiri.

Penelitian pendengaran terhadap 134 anggota militer Kanada kecabangan infanteri , arteleri dan kavaleri ditemukan 11% prajurit kecabangan infanteri mengalami peningkatan ambang dengar ringan sampai sedang pada telinga kiri lebih dari 25 dB, karena selalu menggunakan pistol kaliber kecil (Pelausa EO et al, 1998).

Penelitian pada prajurit arteleri Kroasia, menunjukkan hasil bahwa 907 (84.25%) orang mengalami peningkatan ambang dengar (fatique) pada tingkatan yang berbeda segera setelah melakukan tembakan (Spirov A,1982).

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu : Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 HZ + AD 2000 HZ

3 ( Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007 )

Pembagian derajat ketulian menurut ISO adalah : Normal (0 – 25 dB), Tuli ringan (26 – 40 dB), Tuli sedang (41 -60 dB), Tuli berat (61 – 90 dB), Tuli sangat berat ( > 90 dB) ( Bhasiruddin J, 2002)

5.5. Distribusi Frekuensi Derajat Ketulian Berdasarkan Kelompok Umur

Pada kelompok umur < 30 tahun dijumpai 12 orang ( 30,77%) normal, 1 orang (10%) menderita derajat ketulian ringan dan 1 orang (10%) menderita derajat ketulian

sedang. Pada kelompok umur > 30 tahun, normal 27 orang (69,23%) , menderita derajat ketulian ringan 9 orang (90%) dan tidak dijumpai adanya derajat ketulian sedang.

Hasil statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p= 0.115 berarti secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara derajat ketulian dengan kelompok umur peserta penelitian.

Walaupun secara statistik tidak bermakna, tetapi secara klinis peneliti menemukan bahwa prajurit diatas 30 tahun dijumpai gangguan pendengaran lebih banyak dibandingkan prajurit dibawah 30 tahun. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab pasti dari hal tersebut diatas.

Pada penelitian Sasongko S. (2003) pada kelompok umur 15 – 24 tahun dijumpai (36,7%) menderita gangguan dengar, kelompok umur 25 -34 tahun dijumpai (60%) menderita gangguan dengar dan > 35 tahun (80%) menderita gangguan dengar.

5.6. Distribusi Frekuensi Lama Berdinas Dengan Derajat Ketulian

Dijumpai lama berdinas 1 – 5 tahun, 12 orang ( 92.30%) normal dan 1 orang ( 7,70% ) derajat ketulian sedang. Lama berdinas 6 – 10 tahun, 25 orang ( 75,75% ) normal dan 8 orang ( 24,25% ) derajat ketulian ringan. Lama berdinas 11 – 15 tahun, 1 orang ( 100% ) normal. Lama berdinas diatas 15 tahun, 1 orang ( 33,33% ) normal dan 2 orang ( 66,67% ) derajat ketulian ringan.

Anggota militer Kanada kecabangan infanteri , arteleri dan kavaleri secara prospektif pada saat mulai bekerja dan 3 tahun setelah bekerja, ditemukan 11% prajurit kecabangan infanteri mengalami peningkatan ambang dengar ringan sampai sedang pada telinga kiri lebih dari 25 dB (Pelausa EO et al, 1998)

Pada penelitian Sasongko, responden yang berdinas diatas 3 tahun cenderung mengalami gangguan pendengaran 3 kali lebih besar. Penelitian J Woo (2001), tentara Taiwan yang melakukan latihan menembak 1% mengalami gangguan pendengaran.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait