SEPTI AMINAH
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ”Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tubuh tulisan dan tercantum dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2010
SEPTI AMINAH, C44062709. Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten. Dibimbing oleh MOCH. PRIHATNA SOBARI dan ROZA YUSFIANDAYANI.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi alat tangkap jaring rajungan, menentukan pengaruh aktivitas pemanfaatan sumberdaya rajungan terhadap tingkat ketersediaan stok, hasil tangkapan, upaya penangkapan, dan rente ekonomi pada kondisi aktual, OA, MSY, dan MEY di Perairan Teluk Banten, dan investasi optimal pemanfaatan sumberdaya rajungan. Tingkat pemanfaatan optimal, meliputi tingkat produksi (h), upaya (E), dan rente ekonomi (π), dengan pendekatan model bioekonomi melalui tiga model estimasi, yaitu model Schnute, CYP, dan W-H. Penelitian menggunakan data time series Tahun 2000-2008 diolah menggunakan Microsoft Office Excel. Konstruksi jaring rajungan terdiri atas badan jaring, tali ris, pelampung, tali pelampung, pemberat timah, tali pemberat, pelampung tanda, tali pelampung tanda, pemberat batu, dan tali pemberat batu. Model estimasi yang cocok di Perairan Teluk Banten adalah model Schnute yang menunjukkan bahwa h rajungan pada kondisi MSY, OA, dan MEY
adalah 79,92 ton per tahun, 0.02 ton per tahun, dan 79,92 ton per tahun, E pada kondisi MSY, OA, dan MEY adalah 4.441 trip per tahun, 8.881 trip per tahun, dan 4.440 trip per tahun, π pada kondisi MSY, OA, dan MEY adalah Rp1.207.710.000 per tahun, Rp0 per tahun, dan Rp1.207.710.000 per tahun. Pemanfaatan sumberdaya rajungan pada kondisi dinamik menghasilkan h optimalsebesar 78,95 ton per tahun, E optimal sebesar 4.931 trip per tahun, dan π optimal sebesar Rp13.555.290.000, jumlah unit jaring rajungan yang optimal beroperasi di Perairan Teluk Banten sebesar 178 unit. Pemanfaatan sumberdaya rajungan pada kondisi aktual, h sebesar 47.69 ton per tahun, E sebesar 2.136 trip per tahun, dan π sebesar Rp720.680.000 per tahun, jumlah unit jaring rajungan sebesar 77 unit, sehingga sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten belum mengalami
overfishing secara biologi maupun ekonomi. Investasi yang dibutuhkan untuk satu unit penangkapan jaring rajungan sebesar Rp22.067.000,00. Investasi optimal unit penangkapan jaring rajungan sebesar Rp3.927.926.000,00. Hasil analisis kriteria investasi optimal diperoleh nilai NPV sebesar Rp5.014.196.908,21 dan Net B/C
sebesar 2.28, sehingga usaha perikanan jaring rajungan layak untuk dijalankan.
SEPTI AMINAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP : C44062709
Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi. NIP: 19610316 198601 1 001 NIP: 19740823 200801 2 006
Diketahui:
Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1001
Skripsi dengan judul “Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten” ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Januari sampai dengan Bulan Februari Tahun 2010. Skripsi ini berisi tentang pengkajian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya rajungan dengan alat tangkap jaring rajungan dengan menggunakan model bioekonomi. Selain itu skripsi ini juga mengkaji nilai invetasi optimal untuk pengelolaan sumberdaya rajungan melalui analisis biaya manfaat. Pada bagian akhir penulisan, diberikan kesimpulan hasil penelitian dan saran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak pemerintahan daerah dalam membuat kebijakan sebagai solusi alternatif untuk pengelolaan sumberdaya rajungan yang tepat agar sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu, tidak mengalami overfishing.
Pembuatan skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Minor Manajemen Fungsional, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun, sehingga dapat menyempurnakan hasil yang diperoleh. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak yang memerlukan.
Bogor, Mei 2010
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1) Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi., selaku dosen pembimbing atas arahan dan bimbingan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini;
2) Ir. Diniah M.Si., selaku dosen penguji tamu atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis;
3) Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi. MT., selaku dosen komisi pendidikan atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis;
4) Suprapto, A.Pi, M.M, selaku Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu dan seluruh staff atas segala informasi dan bantuannya;
5) Maderi dan Uceu Yuniarti, selaku orangtua penulis atas semua doa, nasehat, dan kasih sayang kepada penulis;
6) Puspita Rini, Firman Juanda, dan Yusrizal Fahmi, selaku kakak penulis atas semua doa, semangat, dan dukungannya kepada penulis;
7) Septa Pradipta, Tiara Anggia Rahmi, dan Ari Widiastuti atas doa, dukungan, dan persahabatan yang tulus kepada penulis;
8) Riyanti dan Siska Magnawati atas semua bantuan dan dukungan selama penelitian;
9)Intan, Ratih, Alvi, Mardia, Mia, Ncek, Cesar, Shinta, Iky, Ari, Troy, Riri, Ina, Heru, Seli, Septa, Rusdi, Rezki, Siska M, Bayu, Icha, Siska A, Amnihani, Enur, Maria, Yasa, Gini, Ghea, Rachman, Anggi, Uty, Viona, Fatra, Alfian, Dedi, Firman, Adit, Lala, Pipih, Mertha, Iniz, Nita, Esther, Hanif, Arif, Alin, Ike, Mukhlis, Refi, Nanda, Qbee, Ciwied, Kimul, Rima, Afryan, dan Indah, selaku teman-teman seperjuangan PSP 43 atas segala bantuan, persahabatan dan keceriaan kepada penulis selama perkuliahan di Departemen PSP;
10)Niaw, Ratri, Mey, Frida, Cecil, Anggi, Gilang, Ilmi, Ika, Selly, Ratih dan lain-lain, selaku teman-teman seperjuangan di Wisma Asri atas keceriaan, semangat dan dukungan kepada penulis; dan
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 September 1988 dari Ayah Maderi dan Ibu Uceu Yuniarti. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi pada Tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Minor Manajemen Fungsional, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif di organisasi kampus IPB sebagai staff Departemen Hubungan Luar dan Komunikasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB periode 2007-2008. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kampus IPB, yaitu Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru Tahun 2007 sebagai staff divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi, dalam kepanitiaan Orientasi Mahasiswa Baru Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Tahun 2008 sebagai staff divisi Hubungan Masyarakat, Pekan Olahraga dan Seni Perikanan dan Ilmu Kelautan Tahun 2008 sebagai staff divisi Acara, dan Blue Expo Tahun 2008 sebagai koordinator divisi Konsumsi.
DAFTAR TABEL ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
DAFTAR LAMPIRAN ... iii
1 PENDAHULUAN ... 1
2.1 Sumberdaya Rajungan ... 7
2.1.1 Morfologi dan klasifikasi rajungan ... 7
2.1.2 Daur hidup ... 9
2.1.3 Habitat rajungan ... 10
2.1.4 Reproduksi ... 11
2.1.5 Tingkah laku ... 12
2.2 Unit Penangkapan Jaring Rajungan ... 12
2.2.1 Alat penangkap jaring rajungan ... 12
2.2.2 Kapal jaring rajungan ... 16
2.2.3 Nelayan ... 17
2.3 Metode Pengoperasian ... 18
2.4 Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan ... 18
2.5 Model Surplus Produksi ... 20
2.6 Laju Degradasi dan Depresiasi ... 26
2.7 Model Bioekonomi Statis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ... 27
2.8 Model Optimal Dinamik ... 32
2.9 Kriteria Investasi ... 34
3 KERANGKA PENDEKATAN STUDI ... 35
4 METODE PENELITIAN ... 37
4.1 Waktu dan Tempat ... 37
4.2 Bahan dan Alat ... 37
4.3 Metode ... 37
4.4 Metode Pengumpulan Data ... 37
4.5 Metode Pengambilan Sampel ... 39
4.6 Analisis Data ... 39
4.6.1 Analisis teknik ... 39
4.6.2 Analisis bioteknik ... 40
4.6.3 Analisis bioekonomi ... 42
4.6.4 Analisis koefisien degradasi dan depresiasi ... 45
4.7 Analisis Biaya Manfaat (Investasi Optimal) ... 46
4.9 Asumsi ... 48
5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 49
5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 49
5.1.1 Kondisi geografis daerah penelitian ... 49
5.1.2 Kependudukan dan perekonomian ... 50
5.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap ... 51
5.2.1 Fasilitas PPP Karangantu ... 51
6.1.5 Komposisi hasil tangkapan jaring rajungan ... 72
6.1.6 Produktivitas ... 72
6.2 Analisis Bioteknik ... 74
6.2.1 Produksi Rajungan ... 74
6.3 Analisis Bioekonomi Upaya Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan ... 94
6.3.1 Estimasi biaya input ... 94
6.3.2 Estimasi harga output ... 95
6.3.3 Estimasi tingkat discount rate ... 96
6.3.4 Analisis model statik sumberdaya rajungan ... 97
6.3.5 Analisis laju depresiasi ... 104
6.3.6 Analisis model dinamik sumberdaya rajungan dengan model Schnute ... 107
6.4 Investasi Optimal ... 110
6.4.1 Harga dan biaya ... 110
6.4.2 Investasi ... 111
7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 117
7.1 Kesimpulan ... 117
7.2 Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 119
Halaman
1. Produksi rajungan dan effort per alat tangkap di PPP Karangantu
Tahun 2005-2008 ... 2
2. Ciri-ciri tingkat perkembangan zoea ... 9
3. Formula perhitungan pengelolaan rajungan model statis ... 43
4. Fasilitas PPP Karangantu ... 51
5. Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan di PPP Karangantu Tahun 2000-2008 ... 53
6. Perkembangan unit alat tangkap di PPP Karangantu Tahun 2004-2009 ... 56
7. Perkembangan armada penangkapan di PPP Karangantu Tahun 2002-2007 ... 58
8. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas di PPP Karangantu Tahun 2000-2009 ... 60
9. Produksi rajungan per bulan di PPP Karangantu Tahun 2008 ... 71
10. Ukuran rajungan swimming crab (Portunnus pelagicus) Tanggal 17 Januari 2010 ... 73
11. Nilai produktivitas alat tangkap jaring rajungan di PPP Karangantu Tahun 2008 dan Tahun 2010 ... 74
12. Produksi rajungan, Effort jaring rajungan, dan Catch Per Unit Effort (CPUE) sumberdaya rajungan Tahun 2000-2008 ... 76
13. Hasil estimasi parameter biologi ... 80
14. Hasil estimasi parameter x, h, dan E pada kondisi MSY ... 82
15. Hasil estimasi produksi lestari Tahun 2000-2008 berdasarkan estimasi CYP, W-H, dan Schnute ... 84
16. Hasil analisis laju degradasi sumberdaya perikanan rajungan Tahun 2000-2008 ... 91
17. Data series biaya riil input sumberdaya rajungan Tahun 2000-2008 ... 95
20. Hasil analisis laju depresiasi sumberdaya rajungan Tahun 2000-2008 ... 104
21. Hasil analisis model pengelolaan dinamik dengan model estimasi Schnute ... 108
22. Alokasi optimal sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten ... 110
23. Komponen harga dan biaya operasional jaring rajungan ... 111
24. Komponen dan nilai investasi usaha perikanan jaring rajungan ... 112
1. Portunus pelagicus. ... 8
2. Konstruksi jaring insang dasar. ... 13
3. Konstruksi jaring rajungan. ... 15
4. Kurva pertumbuhan logistik. ... 22
5. Kurva pengaruh tangkapan terhadap stok. ... 24
6. Kurva produksi lestari upaya. ... 25
7. Model Gordon-Schaefer... 30
8. Kurva keseimbangan bioekonomi ... 31
9. Kerangka pendekatan studi model pengelolaan dan investasi optimal sumberdaya rajungan dengan jaring rajungan di Teluk Banten. ... 36
10. Perkembangan dan garis tren volume produksi perikanan. ... 54
11. Perkembangan dan garis tren nilai produksi perikanan. ... 54
12. Perkembangan dan garis tren jumlah unit alat tangkap. ... 56
13. Persentase jumlah unit alat tangkap Tahun 2009. ... 57
14. Persentase jumlah armada penangkapan Tahun 2007. ... 59
15. Perkembangan dan garis tren jumlah nelayan. ... 61
16. Desain dan konstruksi jaring rajungan. ... 63
17. Konstruksi jaring rajungan di perairan. ... 64
18. Konstruksi kapal jaring rajungan . ... 66
19. Peta daerah penangkapan jaring rajungan di perairan Teluk Banten. ... 70
20. Perkembangan produksi rajungan di PPP Karangantu Tahun 2000- 2008. ... 75
21. Perkembangan upaya penangkapan sumberdaya rajungan di PPP Karangantu Tahun 2000-2008... 77
23. Hubungan CPUE dan effort sumberdaya rajungan
di PPP Karangantu Tahun 2000-2008... 79
24. Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute. ... 86
25. Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute. ... 86
26. Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP. ... 88
27. Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP. ... 88
28. Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H. ... 90
29. Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H. ... 90
30. Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute. ... 92
31. Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP. ... 93
32. Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H. ... 94
33. Hasil analisis optimasi statik dengan model Schnute. ... 99
34. Hasil analisis optimasi statik dengan model CYP. ... 101
35. Hasil analisis optimasi statik dengan model W-H. ... 103
36. Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute. ... 105
37. Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP. ... 106
38. Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H. ... 107
1. Peta lokasi PPP Karangantu ... 123 2. Layout PPP Karangantu ... 124 3. Biaya operasional jaring rajungan per trip nelayan pemilik dan
nelayan penyewa ... 125 4. Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan regresi
dengan model Schnute ... 126 5. Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model Schnute ... 127 6. Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program
MS Excel dengan model Schnute ... 128 7. Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan
di Teluk Banten estimasi Schnute ... 129 8. Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan
regresi dengan model CYP ... 130 9. Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model CYP ... 131 10. Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program
MS Excel dengan model CYP ... 132 11. Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan
di Teluk Banten estimasi CYP ... 133 12. Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan
regresi dengan model estimasi W-H ... 134 13. Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model
estimasi W-H ... 135 14. Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program
MS Excel dengan model W-H ... 136 15. Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan
di Teluk Banten estimasi W-H ... 137 16. Hasil estimasi biaya riil penangkapan sumberdaya rajungan
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumberdaya merupakan suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi
atau unsur tertentu dalam kehidupan, dan tidak hanya selalu bersifat fisik, tetapi
juga non fisik. Sumberdaya dalam kehidupan ini ada yang dapat berubah menjadi
semakin besar maupun hilang serta ada pula sumberdaya yang tidak dapat
berubah/selalu tetap. Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sumberdaya
yang dapat berubah baik dalam hal ukuran secara biologisnya maupun jumlah
spesies ataupun jumlah tiap spesiesnya.
Perikanan Indonesia mempunyai potensi sumberdaya ikan laut yang besar.
Salah satu potensi perikanan laut tersebut adalah rajungan (Portunus pelagicus). Rajungan merupakan salah satu jenis Crustracea yang populer di masyarakat dan keberadaannya hampir tersebar di seluruh Perairan Indonesia. Rajungan di
Indonesia sampai saat ini masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki
nilai ekonomis tinggi, terbukti dengan nilai jual rajungan yang mencapai
Rp22.000 per-kg sampai dengan Rp24.000 per-kg dibandingkan dengan harga
jual ikan pari hanya sekitar Rp3.000 per-kg sampai dengan Rp4.000 per-kg dan
ikan cucut hanya sekitar Rp8.000 per-kg sampai dengan Rp9.000 per-kg. Selain
itu diungkapkan saat ini permintaan rajungan dari pengusaha restoran sea food luar negeri (terutama Amerika Serikat) setiap bulan mencapai 450 ton, sehingga
rajungan diekspor terutama ke negara Amerika, yaitu mencapai 60% dari total
hasil tangkapan rajungan. Rajungan juga diekspor ke berbagai negara dalam
bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan yang dalam bentuk olahan
(dalam kaleng) diekspor ke Belanda.
Nilai gizi yang dikandung dalam tubuh komoditas ini pun sangat tinggi
yang meliputi, kandungan protein sebesar 65,72% dan mineral sebesar 7,5%.
Keunggulan lain adalah kandungan lemak rajungan yang sangat rendah, sehingga
konsumen yang memang membatasi konsumsi pangan berlemak tinggi tetap dapat
mengkonsumsi komoditas ini. Kandungan lemak rendah dapat berarti kandungan
lemak jenuh dan kolesterol yang rendah pula. Komoditas ini merupakan
untuk tujuan ekspor yang semakin meningkat serta nilai ekonomisnya yang tinggi,
memungkinkan diperlukannya suatu metode pengelolaan yang akan berpengaruh
terhadap tingkat ketersediaan (stok) sumberdaya perikanan rajungan di suatu
perairan.
Teluk Banten merupakan bagian dari Laut Jawa dan luas wilayah
permukaan totalnya 150 km² dan kedalaman rata-ratanya 7 m. Selain itu Teluk
Banten juga termasuk ke dalam perairan semi tertutup yaitu suatu perairan yang
menjadi syarat atau asumsi dalam analisis bionomi. Salah satu Pelabuhan yang
termasuk dalam wilayah Perairan Teluk Banten adalah Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Karangantu. PPP Karangantu memiliki nilai sejarah yang sangat
tinggi selain digunakan sebagai kegiatan perikanan juga dapat digunakan sebagai
tempat pariwisata. Letak PPP Karangantu yang dekat dengan daerah penangkapan
(fishing ground) Samudera Hindia, Laut Jawa, Selat Sunda, dan Perairan Lampung akan memudahkan para nelayan untuk melaut. Selain itu, PPP
Karangantu juga dekat dengan ibu kota negara, jarak tempuh ke Bandara
Soekarno-Hatta sekitar 1 jam, sehingga memudahkan untuk ekspor hasil
perikanan. PPP Karangantu memiliki jumlah produksi rajungan tinggi dan
berfluktuatif mulai Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2008. Hal tersebut dapat
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Produksi rajungan dan effort per alat tangkap di PPP Karangantu Tahun 2005-2008
No. Tahun Produksi rajungan (ton) Effort (trip) Jaring
Sumber: Laporan tahunan statistik PPP Karangantu 2005-2008
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada Tahun 2006 produksi
rajungan dari alat tangkap jaring rajungan mengalami penurunan sebesar 9,135
ton atau sebesar 53,34% dari jumlah produksi sebelumnya. Hal serupa terjadi
sebesar 90,79% dari jumlah produksi sebelumnya. Sebaliknya, alat tangkap
payang mengalami peningkatan sebesar 0,94 ton atau sebesar 51,65% dari jumlah
produksi sebelumnya.
Pada Tahun 2007 produksi rajungan dari alat tangkap jaring rajungan
mengalami peningkatan kembali sebesar 27,185 ton atau sebesar 77,28% dari
jumlah produksi sebelumnya. Peningkatan produksi rajungan dari alat tangkap
dogol sebesar 4,265 ton atau sebesar 86,30% dari produksi rajungan sebelumnya.
Sebaliknya, alat tangkap payang mengalami penurunan sebesar 1,218 ton atau
sebesar 66,92% dari jumlah produksi sebelumnya.
Pada Tahun 2008 jumlah produksi rajungan terbanyak diperoleh dari alat
tangkap jaring rajungan yaitu sebesar 20,309 ton atau 73,16% dari total produksi
rajungan, sedangkan dari alat tangkap dogol sebesar 7,450 ton atau 26,84% dari
total produksi rajungan, dan dari alat tangkap payang sebesar 0,921 ton atau
0,003% dari total produksi rajungan. Selain itu, produktivitasterbesar juga terjadi
pada alat tangkap jaring rajungan, yaitu sebesar 0,011 ton per trip, sedangkan
produktivitas alat tangkap dogol sebesar 0,006 ton per trip dan produktivitas alat
tangkap payang sebesar 0,0034 ton per trip. Berdasarkan hal tersebut, tampak
bahwa jaring rajungan memiliki jumlah produksi dan produktivitastertinggi. Oleh
karena itu, dengan tingginya total produksi rajungan dan tingkat produktivitas dari
alat tangkap jaring rajungan tersebut dibutuhkan suatu pengelolaan dan investasi
optimal dari alat tangkap jaring rajungan guna mendapatkan kelestarian
sumberdaya rajungan khususnya di PPP Karangantu.
Sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat open access, yang menyebabkan setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak ada batasan mengenai
besarnya upaya penangkapan yang dikerahkan atau sumberdaya ikan yang boleh
ditangkap. Apabila hal tersebut berlangsung secara terus menerus akan
menyebabkan terkurasnya sumberdaya hayati laut dan usaha penangkapan ikan
menjadi tidak efisien baik secara ekonomi maupun biologi. Secara biologi,
produksi rajungan yang diperoleh akan mengalami penurunan kualitas dan
kuantitas. Secara ekonomi, penurunan kualitas dan kuantitas rajungan akan
mengurangi keuntungan usaha nelayan secara keseluruhan, karena penerimaan
Kondisi tersebut jika tidak segera dikendalikan dengan baik, cepat atau
lambat dikhawatirkan akan mengancam kelestarian sumberdaya rajungan. Oleh
karena itu, diperlukan suatu tindakan pengelolaan dan kajian investasi optimal
dengan melakukan penataan dan pengontrolan terhadap usaha penangkapan
rajungan dengan memperhatikan aspek biologi, teknik, dan ekonomi.
Pengelolaan terhadap usaha penangkapan rajungan dapat digunakan suatu
model yang disebut dengan model bionomi. Model bionomi atau bioekonomi
merupakan perpaduan antara dinamika biologi sumberdaya perikanan dan faktor
ekonomi yang mempengaruhi perikanan tangkap, sedangkan untuk aspek
tekniknya berupa penyesuaian ukuran alat tangkap dengan ukuran rajungan yang
akan ditangkap dan bagaimana metode pengoperasian yang dilakukan. Kajian
investasi optimal yang dilakukan berupa analisis tehadap dua kriteria investasi
yaitu NPV dan NET B/C. Apabila hal tersebut berhasil dilakukan, maka kerusakan sumberdaya rajungan dapat dicegah dan mendorong terciptanya operasi
penangkapan rajungan dengan keberhasilan yang tinggi tanpa merusak kelestarian
serta memberikan hasil tangkapan dan rente ekonomi yang maksimum.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang biasa terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
adalah permasalahan biologi dan ekonomi. Termasuk ke dalam permasalahan
biologi adalah terancamnya kelestarian stok sumberdaya ikan dan permasalahan
ekonomi adalah usaha penangkapan belum memberikan keuntungan yang
maksimum bagi sebagian besar nelayan. Jumlah alat tangkap yang tidak sesuai
dengan potensi sumberdaya ikan di suatu perairan dapat menyebabkan penurunan
stok sumberdaya ikan dan penurunan penerimaan nelayan. Permasalahan tersebut
dapat diatasi dengan salah satu cara yang digunakan oleh para ahli biologi
perikanan, yaitu melakukan pengendalian intensitas dalam mengeksploitasi
sumberdaya rajungan, sehingga dapat dicapai produksi maksimum lestari.
Pengusahaan tersebut harus memberikan manfaat ekonomi yang maksimum bagi
Pada kegiatan usaha penangkapan rajungan di Perairan Teluk Banten, alat
tangkap yang lebih dominan digunakan adalah alat tangkap jaring rajungan yang
termasuk dalam klasifikasi jaring insang (gillnet). Oleh karena itu, diperlukan suatu pengkajian tentang pengelolaan terhadap usaha penangkapan rajungan
dengan jaring rajungan agar diperoleh hasil tangkapan yang maksimum dengan
memperhatikan aspek biologi, teknik, dan ekonomi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dipecahkan
dalam penelitian ini antara lain :
1) Bagaimana deskripsi unit penangkapan jaring rajungan yang meliputi
konstruksi, metode pengoperasian, dan produktivitas alat tangkap jaring
rajungan?
2) Bagaimana tingkat sustainable yield sumberdaya rajungan yang dimanfaatkan di Perairan Teluk Banten?
3) Berapa jumlah unit penangkapan jaring rajungan yang optimum beroperasi di
Teluk Banten dan berapa investasi yang diperlukan serta bagaimana
kelayakannya?
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mendeskripsikan unit penangkapan jaring rajungan yang terdiri atas
konstruksi alat tangkap, metode pengoperasian, dan produktivitas alat tangkap
jaring rajungan;
2) Menentukan pengaruh aktivitas pemanfaatan sumberdaya rajungan terhadap
tingkat biomass, tingkat produksi, tingkat effort dan rente sumberdaya pada kondisi aktual, open access, economic dan sustainable di Perairan Teluk Banten;
3) Menentukan nilai laju degradasi dan depresiasi sumberdaya rajungan di
Perairan Teluk Banten;
4) Menghitung jumlah unit penangkapan jaring rajungan yang optimum
beroperasi di Perairan Teluk Banten; dan
5) Menentukan nilai investasi optimal dan kelayakan usaha unit penangkapan
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
pengelolaan dan pemanfaatan yang optimum untuk pengusahaan rajungan,
sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi penting bagi
masyarakat, nelayan, pemerintah daerah, dan pihak-pihak berwenang dalam
pengelolaan dan pemanfaatan rajungan secara berkelanjutan di Perairan Teluk
Banten. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dan informasi bagi
otoritas yang berwenang untuk dikembangkan sebagai dasar kebijakan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan lainnya. Bagi penulis, hasil penelitian ini
digunakan untuk menulis skripsi sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Rajungan
2.1.1 Morfologi dan klasifikasi rajungan
Taksonomi rajungan menurut Stephenson dan Campbell (1957)
diklasifikasikan sebagai berikut :
Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, dimana
rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada
karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih
runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup
karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Kasry
1996). Morfologi rajungan (Portunus pelagicus) secara jelas dapat terlihat pada Gambar 1.
A B
Keterangan:
A = Rajungan betina B = Rajungan jantan
Sumber:
Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus).
Pada umumnya dari beberapa jenis kepiting yang dapat berenang
(swimming crab), sebagian besar merupakan jenis rajungan. Hewan ini dapat mencapai ukuran 18 cm, capitnya memanjang kokoh, dan berduri. Pada hewan ini
terlihat adanya perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Rajungan
jantan memiliki dasar berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang,
sedangkan rajungan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak
keputih-putihan agak suram (Nontji 2007). Induk rajungan mempunyai capit yang
lebih panjang dari kepiting bakau, dan karapasnya memiliki duri sebanyak 9 buah
yang terdapat pada sebelah kanan kiri mata. Perut atau biasa disebut abdomen
terlipat ke depan dibawah karapas dengan abdomen jantan sempit dan meruncing
ke depan, sedangkan abdomen betina melebar membulat penuh dengan embelan
yang berguna untuk menyimpan telur (Juwana dan Romimohtarto 2000). Bobot
rajungan dapat mencapai 400 g, dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12 inci).
Ukuran rajungan jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Rajungan
jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang,
Rajungan (P. pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat duri sembilan buah, di mana duri yang terakhir
berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1
pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan,
dan 1 pasang kaki berfungsi sebagai dayung untuk berenang. Induk rajungan
dilihat dari arah ventral menjelang telur menetas warna telurnya hitam, sedangkan
induk rajungan dilihat dari arah ventral pada saat awal warna telurnya
kuning/oranye (Susanto et al. 2005).
2.1.2 Daur hidup
Daur hidup rajungan dimulai dari telur yang kemudian menetas menjadi
larva. Telur yang sudah dibuahi disimpan di dalam lipatan abdomen. Anak
rajungan yang menetas tidak langsung seperti induknya, tetapi menjadi larva yang
bentuknya sangat lain dari induknya. Larva ini sangat kecil dan berenang lemah
dalam air laut sebagai plankton (Juwana dan Romimohtarto 2000).
Larva yang baru ditetaskan bentuknya lebih mirip udang daripada
rajungan. Pada bagian kepala terdapat semacam bagian tanduk yang memanjang
dan memiliki mata yang besar serta terdapat semacam rambut-rambut di bagian
ujung kakinya. Larva ini mengalami beberapa perubahan bentuk hingga mencapai
bentuk dewasa. Tahap-tahap perubahan larva (tahap Zoea) terdiri dari empat tingkatan hingga mencapai tahap Megalopa (Nontji 2007). Ciri-ciri dari tingkat
perkembangan Zoea dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Ciri-ciri tingkat perkembangan zoea
No. Ciri-ciri yang maksiliped I dan II
4np 6 – 8np 10np 12 – 14np
Keterangan:
s = serrate seta (seta serrata); h = simple seta (seta sederhana); np = natatory plumose seta (seta plumose renang);
a = aesthetasc seta (seta estetes = seta keindahan).
Pada tahap Megalopa, bentuk sudah menyerupai rajungan dimana pada
bagian tubuhnya sudah mulai melebar dan mempunyai mata yang sangat besar
serta pada kaki dan capitnya juga sudah semakin jelas wujudnya. Pada
perkembangan selanjutnya terbentuklah juvenil yang merupakan bentuk rajungan
muda hingga akhirnya mencapai bentuk rajungan dewasa (Nontji 2007). Rajungan
jenis Portunus pelagicus yang jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 – 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut
berumur sekitar satu tahun. Rajungan betina dengan telur di luar dilindungi
sepenuhnya dan harus dikembalikan ke perairan secepatnya (Kumar et al. 2000). Moosa dan Juwana (1996), menyatakan bahwa di Queensland berdasarkan
penelitian Wiliams dan Lee (1980) diacu dalam Suadela (2004), rajungan yang ditangkap dari perairan tersebut telah ditentukan memiliki ukuran tubuh minimum
yaitu panjang karapas 3,7 cm.
2.1.3 Habitat rajungan
Rajungan (swimming crab) memiliki tempat hidup yang berbeda dengan jenis kepiting pada umumnya seperti kepiting bakau (Scylla serrata), tetapi memiliki tingkah laku yang hampir sama. Menurut Nontji (2007), rajungan
(Portunus pelagicus) merupakan jenis kepiting perenang yang juga mendiami dasar lumpur berpasir sebagai tempat berlindung. Jenis rajungan ini banyak
terdapat pada lautan Indo-Pasifik dan India.
Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang
bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai
rajungan muda akan kembali ke estuaria. Pada fase larva bersifat planktonik yang
melayang-layang berada di lepas pantai dan pada fase megalopa berada di dekat
pantai dan sering ditemukan pada objek yang melayang. Rajungan banyak
menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan
menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan
hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya
yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa (Nybakken 1986).
Rajungan dewasa hidup di dasar perairan, sedangkan stadia larva dan
megalopa berenang-renang terbawa arus dan hidup sebagai plankton. Distribusi
rajungan di dunia berada luas di sepanjang Indo Pasifik Barat dari Afrika Timur
sampai Jepang, Tahiti, dan Selandia Baru Utara. Rajungan juga berada di Laut
Tengah. Rajungan di Australia, berada di perairan pantai dari Tanjung Naturaliste
di Australia Barat sampai wilayah utara dan Queensland ke Pantai Selatan New
South Wales (Sumpton 1993).
Marga Portunus hidup di beraneka ragam habitat yaitu pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka. Dalam keadaan biasa, ia diam
di dasar laut sampai kedalaman lebih 65 m, tetapi sesekali ia dapat juga berenang
dekat ke permukaan laut (Nontji 2007).
2.1.4 Reproduksi
Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan
melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan
dengan berenang. Seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva
sampai lebih dari sejuta ekor (Juwana dan Romimohtarto 2000).
Rajungan (untuk semua anggota Portunnidae) dalam pertumbuhannya
sering berganti kulit dengan kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur
dan karenanya tak dapat terus tumbuh. Jika rajungan akan tumbuh lebih besar
maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ akan keluar individu yang lebih
besar dengan kulit yang masih lunak, kulit lamanya ditinggalkan. Rajungan yang
baru berganti kulit, tubuhnya masih sangat lunak, diperlukan beberapa waktu
untuk dapat membentuk lagi kulit pelindung yang keras. Masa selama bertubuh
lunak ini merupakan masa yang sangat rawan dalam kehidupannya, karena
2.1.5 Tingkah laku
Pada siang hari umumnya rajungan bersembunyi di bawah batu yang besar
atau pada celah berbatu-batu sedangkan yang lainnya membenamkan diri
bersembunyi ke dalam lapisan bawah, kemudian pada malam hari bangun dan
keluar. Rajungan hidup di dasar untuk mencari makan sebagai karnivora maupun
pemakan bangkai (scavengers), aktif mencari makan pada saat matahari terbenam. Makanan lain yaitu tumbuhan laut misalnya jenis Zostera dan ganggang (Sumpton 1993).
Rajungan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih
dalam sesuai umurnya untuk menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan.
Rajungan merupakan hewan yang aktif, ketika dalam keadaan yang tidak aktif,
rajungan akan membenamkan diri di dasar perairan sampai kedalaman 35 m
(Nontji 2007).
Rajungan perlu berada di permukaan dengan maksud untuk bernapas dan
melihat organisme lain atau mangsanya dengan mata pengawasnya yang tajam,
dan juga menjulurkan antenanya. Larva betina menghabiskan waktu sepanjang
malam terkubur di dalam pasir, sedangkan larva jantan aktif berenang pada malam
hari. Rajungan dapat berjalan sangat baik sepanjang dasar perairan dan daerah
intertidal berlumpur yang lembab (Thomson 1974).
2.2 Unit Penangkapan Jaring Rajungan
Unit penangkapan jaring rajungan terdiri atas alat tangkap jaring rajungan,
kapal jaring rajungan, dan nelayan jaring rajungan. Jaring rajungan merupakan
alat tangkap yang termasuk dalam klasifikasi jaring insang (gillnet). Berdasarkan kedudukan alat saat dipasang, jaring rajungan termasuk ke dalam klasifikasi jaring
insang tetap (set gillnet). Berdasarkan letaknya dalam perairan, jaring rajungan dikelompokkan ke dalam jaring insang dasar (bottom gillnet) (Miskiya 2003).
2.2.1 Alat penangkap jaring rajungan
Jaring insang dasar adalah salah satu alat penangkap ikan dari bahan jaring
yang berbentuk empat persegi panjang, dimana mata jaring dari bagian utama
horizontal (mesh length) jauh lebih banyak dari jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah dalam (mesh depth) dan cara pengoperasiannya dipasang secara menetap di daerah penangkapan (fishing ground) yang terletak di dasar perairan. Konstruksi jaring insang dasar secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumb
Gambar 2 Konstruksi jaring insang dasar.
Bagian-bagian dari jaring insang dasar terdiri atas (Martasuganda 2008) :
a) Pelampung (float)
Sesuatu benda yang mempunyai daya apung dan dipasang pada jaring bagian
atas berfungsi sebagai pengapung jaring (Badan Standardisasi Nasional 2006).
karet atau benda lainnya yang mempunyai daya apung dengan bentuk yang
beraneka ragam. Jumlah, berat jenis, dan volume pelampung yang dipakai dalam
satu piece akan menentukan besar kecilnya daya apung (buoyancy). b) Tali Pelampung (float line)
Tali pelampung adalah tali yang dipergunakan untuk menempatkan dan
mengikatkan pelampung (Badan Standardisasi Nasional 2006). Untuk
menyambungkan antara piece yang satu dan piece lainnya, bagian tali pelampung dari tiap ujung jaring utama biasanya dilebihkan antara 30-50 cm.
c) Tali ris atas dan bawah
Tali ris atas dan bawah berfungsi untuk dipakai memasang atau
menggantungkan badan jaring. Pemasangan tali ris atas dipasang di bawah tali
pelampung, sedangkan tali ris bawah dipasang di atas tali pemberat.
d) Tali penggantung badan jaring atas dan bawah (upper bolch line and under bolch line)
Tali penggantung badan jaring terdiri atas tali penggantung badan jaring
bagian atas (upper bolch line) dan tali pengantung badan jaring bagian bawah (under bolch line) dari jaring insang. Tali penggantung badan jaring bagian atas berfungsi untuk menggantungkan badan jaring pada tali ris atas, sedangkan tali
penggantung badan jaring bagian bawah berfungsi untuk menggantungkan badan
jaring pada tali ris bawah.
e) Srampad atas dan bawah (upper selvedge and under selvedge)
Srampad adalah susunan mata jaring yang ditambahkan dengan cara menjurai
mengikuti susunan mata jaring ke arah panjang (ke arah mesh length) pada kedua ujung badan jaring. Pemakaian atau penambahan srampad pada badan jaring
bertujuan sebagai penguat badan jaring dan mempermudah pada waktu
pengoperasian jaring.
f) Badan jaring (main net)
Bahan dari jaring utama biasanya memakai jenis bahan sintetis yaitu amilan
meskipun ada juga yang memakai bahan sintetis lainnya seperti : amilan, nylon,
tengus, dan bahan sintetis lainnya. Ukuran mata jaring dan nomer benang dari
badan jaring biasanya disesuaikan dengan tujuan biota perairan yang akan
g) Tali pemberat (sinker line)
Tali pemberat adalah tali yang dipergunakan untuk memasang pemberat.
Untuk menyambungkan antara piece satu dan piece lainnya, panjang tali pemberat
dari mulai ujung badan jaring biasanya dilebihkan antara 30-50 cm.
h) Pemberat (sinker)
Pemberat yang dipakai pada jaring insang biasanya terbuat dari timah atau
benda lainnya yang dapat dijadikan sebagai pemberat dengan daya tenggelam dan
bentuk yang beraneka ragam.
Jaring rajungan adalah salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap rajungan di laut. Jaring rajungan terdiri atas badan jaring (webbing), tali ris, pelampung (float) dan tali pelampung (float line), pemberat (sinker) dan tali pemberat (sinker line), pelampung tanda, dan pemberat tambahan (Miskiya 2003). Konstruksi jaring rajungan menurut Miskiya (2003) lebih jelas dapat
dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Miskiya (2003)
Badan jaring (webbing) terbuat dari bahan PA monofilament berwarna putih transparan dengan nomor benang 20-26 dan berdiameter 0,3 mm. Besar
mata jaring (mesh size) berkisar 3 – 3,5 inchi atau 7,5 – 8,75 cm dalam keadaan tegang. Panjang setiap pis jaring adalah 35 m sesudah terpasang pada tali
pelampung dan pemberat atau sekitar 467 mata. Lebar jaring adalah 0,45 – 0,53 m
atau 6 – 7 mata jaring (Miskiya 2003).
Tali ris adalah tempat untuk menggantungkan badan jaring (webbing). Dilihat dari penempatannya badan jaring terdapat dua macam, yaitu tali ris atas
(head rope) dan tali ris bawah (ground rope). Fungsi tali ris atas adalah agar jaring tidak terbelit sewaktu dioperasikan dan tali ris bawah berfungsi untuk
meletakkan pemberat. Tali pelampung befungsi sebagai tempat pengikat
pelampung dan dirangkap dengan tali ris atas (Miskiya 2003).
Pada pengoperasian jaring rajungan terdapat perlengkapan tambahan,
seperti pelampung tanda dan pemberat tambahan. Pelampung tanda berfungsi
sebagai tanda tempat dipasangnya jaring rajungan di laut. Pemberat tambahan
berfungsi sebagai jangkar agar jaring rajungan yang telah terpasang tidak
berpindah tempat atau hanyut terbawa arus (Miskiya 2003).
2.2.2 Kapal jaring rajungan
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kapal
perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan
dan penelitian/eksplorasi perikanan. Kapal penangkap ikan adalah kapal yang
secara khusus dipergunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung,
menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan. Kapal ikan dilihat dari cara
metode pengoperasian alat tangkap yang digunakan dibedakan dalam 4 kelompok
Kapal jaring insang merupakan kapal penangkap ikan yang
mengoperasikan alat tangkap jaring insang yang dilengkapi dengan perlengkapan
penangkapan ikan berupa pangsi penggulung jaring (Badan Standardisasi
Nasional, 2006). Kapal jaring insang dapat mengoperasikan berbagai jenis jaring
insang seperti jaring insang hanyut, jaring insang tetap, yang pemasangannya
dapat berupa jaring insang permukaan, jaring insang mid water, jaring insang dasar dan juga termasuk jaring trammel net atau jaring kantong. Pada perairan Indonesia, tonase kapal gillnet yang dianggap baik beroperasi tidak lebih besar dari 15 GT dan luas geladak kapal harus disesuaikan dengan alat yang
dipergunakan (Soekarsono 1995a).
2.2.3 Nelayan
Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Penangkapan ikan yang dilakukan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya.
Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan,
nelayan diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau
tanaman air;
2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau
binatang air lainnya atau tanaman air. Selain melakukan pekerjaan
penangkapan, nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain; dan
3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya
2.3 Metode Pengoperasian
Pengoperasian jaring rajungan dibagi menjadi empat tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap penurunan jaring (setting), tahap penarikan jaring (hauling), dan tahap pengambilan hasil tangkapan. Setiap satu trip penangkapan rajungan
membutuhkan waktu satu hari (Miskiya 2003).
Tahap persiapan dilakukan sebelum operasi penangkapan dilaksanakan,
meliputi persiapan alat tangkap, pemeriksaan keadaan perahu dan mesinnya. Alat
tangkap yang akan dioperasikan disusun atau disimpan di sisi kiri dari perahu,
sedangkan pelampung tanda diletakkan di sebelah kanan perahu. Persiapan perahu
dan mesin mencakup pemeriksaan kondisi perahu dan mesinnya, serta pengisian
bahan bakar pada mesin (Miskiya 2003).
Setelah semua peralatan disiapkan, maka perahu siap diberangkatkan
menuju daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pada saat di daerah penangkapan juru mudi menugaskan dua orang nelayan untuk mempersiapkan
alat tangkap yang akan digunakan, yaitu merangkai jaring dengan cara mengikat
sambungan tiap set jaring, sehingga jaring yang akan diturunkan tersusun rapi dan
siap dioperasikan (Miskiya 2003).
Tahap penurunan jaring (setting) dilakukan oleh empat orang nelayan. Setting dimulai dengan menurunkan pelampung tanda dan talinya, lalu batu pemberat. Selanjutnya perahu dijalankan perlahan dan petaur menurunkan jaring
pis per pis hingga terbentang sempurna. Setelah seluruh badan jaring terpasang
dalam air, lalu diturunkan batu pemberat dan pelampung tanda (Miskiya 2003).
Tahap penarikan jaring (hauling) dilakukan oleh 4 orang nelayan. Penarikan jaring dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda dan batu
pemberat, kemudian pelampung tersebut dilepas ikatannya dari jaring rajungan.
Saat hauling, posisi nelayan berada di sisi kanan haluan perahu dan menarik jaring secara perlahan (Miskiya 2003).
2.4 Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan
Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui tetapi terbatas. Sumberdaya tersebut dapat mengalami penipisan
keadaan nirkelola. Pengkajian stok dalam arti yang sebenarnya adalah mencakup
segala upaya riset yang dilakukan untuk mengetahui respon sumberdaya ikan
terhadap kebijakan pengelolaan (Widodo 2002).
Pengkajian stok diartikan sebagai suatu riset yang ditujukan untuk
membuat prediksi kuantitatif tentang reaksi dari populasi ikan yang bersifat
dinamis terhadap sejumlah alternatif pengelolaan dengan menggunakan sejumlah
metode dan penghitungan statistik serta matematik. Prediksi kuantitatif, misalnya
terhadap batas produksi yang diperbolehkan, resiko yang dapat ditimbulkan oleh
penangkapan yang berlebihan (overfishing) atas sejumlah populasi yang tengah memijah (spawning), dan perlunya memberikan kesempatan ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tertentu yang diinginkan sebelum dieksploitasi (Widodo 2002).
Sebelum menduga stok ikan di suatu perairan, perlu menetapkan
berapakah luasnya populasi ikan dan industri penangkapan yang dapat
diperlakukan sebagai satu sistem unit. Tidaklah mudah untuk mendefinisikan satu
unit stok, karena menurut Cushing (1967) diacu dalam Aziz satu spesies atau sub spesies sering sekali terdiri dari sejumlah stok. Menurut Gulland diacu dalam Aziz (1989), satu grup ikan dapat diperlakukan sebagai satu unit stok, jika hasil
pendugaan dan studi-studi populasi lainnya dalam grup ikan itu, perbedaannya
tidak berarti dari keadaan sesungguhnya. Demikian pula, kejadian di luar unit stok
tidak mempengaruhi efek yang nyata terhadapnya.
Konsep dasar mendeskripsikan dinamika sumberdaya perairan yang
dieksploitasi adalah stok. Suatu stok adalah sub gugus dari suatu spesies yang
umumnya dianggap sebagai unit taksonomi dasar. Prasyarat untuk identifikasi
stok adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda. Stok diartikan
sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter
pertumbuhan dan mortalitas yang sama, serta menghuni suatu wilayah geografis
tertentu (Sparre and Venema 1999).
Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan
mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan
dimana dapat diprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu.
Parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian hewan, yakni jumlah
penangkapan yang mencerminkan kematian karena penangkapan dan mortalitas
alami yang merupakan kematian karena sebab-sebab lain (pemangsaan, penyakit,
dan lain-lain) (Sparre and Venema 1999).
Ketersediaan stok ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
pertumbuhan dan kematian. Pertumbuhan pada tingkat individu dapat dirumuskan
sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu periode tertentu,
sedangkan pertumbuhan populasi diartikan sebagai pertambahan jumlah.
Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan adalah jumlah dan ukuran
pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan pakan yang tersedia,
kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran ikan, serta kematangan
gonad (Effendi 1997).
2.5 Model Surplus Produksi
Semua tindakan pengelolaan sangat ditentukan oleh ketersediaan
informasi biologi. Tidak satupun tindakan pengelolaan rasional dapat dirumuskan
tanpa tersedianya informasi yang memadai secara biologi dan atas berbagai
konsekuensi yang akan ditimbulkan oleh beberapa alternatif tindakan pengelolaan
(Widodo dan Suadi 2006).
Konsep dari surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu
perikanan. Dasar pemikirannya adalah peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun,
sedangkan penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam (predasi, penyakit, dan lain-lain) maupun
mortalitas disebabkan eksploitasi oleh manusia. Dengan demikian populasi
perikanan akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama dengan decrement (Widodo dan Suadi 2006).
Metode surplus produksi dapat diartikan sebagai salah satu metode untuk
menentukan tingkat upaya penangkapan optimum. Upaya tersebut adalah kegiatan
penangkapan yang menghasilkan tangkapan maksimum tanpa mempengaruhi
produktivitas populasi ikan dalam waktu panjang dan biasa disebut hasil
digunakan dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model Schaefer dapat
digunakan apabila tersedia data hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan
CPUE (Catch Per Unit Effort) per spesies serta CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre and Venema 1999).
Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), laju pertumbuhan populasi merupakan fungsi dari pertumbuhan biomassa (stok) yang dipengaruhi
oleh ukuran kelimpahan stok (x), daya dukung alam (K) dan laju pertumbuhan intrinsik (r). Laju pertumbuhan alami stok ikan yang tidak dieksploitasi atau disebut sebagai fungsi pertumbuhan density dependent growth dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :
... (2.1)
Keterangan :
= laju pertumbuhan biomassa (stok)
= fungsi pertumbuhan populasi biomassa (stok)
x = ukuran kelimpahan biomassa (stok) r = laju pertumbuhan alami (intrinsik) K = daya dukung alami (carrying capacity)
Persamaan (2.1) dalam literatur perikanan dikenal dengan pertumbuhan
logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan oleh Verhulst pada Tahun 1889. Persamaan tersebut dapat digambarkan melalui kurva
pertumbuhan logistik seperti pada Gambar 4.
Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), kurva pertumbuhan logistik tersebut menggambarkan kondisi perikanan yang tidak mengalami
eksploitasi. Untuk mengeksploitasi suatu perairan diperlukan berbagai sarana
Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006)
Gambar 4 Kurva pertumbuhan logistik.
Ukuran kelimpahan stok (x), tingkat upaya penangkapan (E) dan koefisien penangkapan (q) merupakan faktor-faktor untuk menentukan besarnya perolehan hasil tangkapan (h). Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan bergantung pada tingkat upaya penangkapannya (effort). Effort dibedakan menjadi dua berdasarkan satuan pengukurnya, yaitu upaya penangkapan nominal dan upaya penangkapan
efektif. Upaya penangkapan nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya
(satuan jumlah kapal, alat tangkap, atau jumlah trip yang telah distandarisasikan),
sedangkan upaya penangkapan ditentukan berdasarkan besarnya dampak yang
ditimbulkan oleh kegiatan penangkapan terhadap kelimpahan stok ikan.
Hubungan antara kedua upaya tersebut dapat digambarkan melalui persamaan
berikut :
... (2.2)
dimana q merupakan koefisien penangkapan (catchability).
Kegiatan penangkapan ikan menyebabkan terjadinya pengurangan
stok/biomassa populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi untuk
meningkatkan pertumbuhan, survival atau rekruitmen. Perubahan populasi
tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan
hasil tangkapan. Hubungan tersebut menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), dapat diuraikan sebagai berikut :
MSY
0 ½ K K x
... (2.3)
Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan
biologi stok ikan dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5, terlihat
beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap stok.
Pertama pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh
jumlah tangkapan sebesar h1 (garis vertikal). Jika upaya penangkapan dinaikkan
sebesar E2, dimana E2 > E1, maka hasil tangkapan akan meningkat sebesar h2 (h2
> h1). Apabila upaya terus dinaikkan sebesar E3 (E3 > E2 > E1), maka akan terlihat
bahwa untuk tingkat upaya dimana E3 > E2 ternyata tidak menghasilkan
tangkapan yang lebih besar (h3 < h2). Dari gambar berikut dapat disimpulkan
bahwa tingkat eksploitasi tersebut tidak efisien secara ekonomi karena tingkat
produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih
besar.
Pada saat populasi berada pada kondisi seimbang jangka panjang maka
besarnya perubahan stok (biomassa) sama dengan nol (dx/dt = 0), maka
persamaannya :
... (2.4)
Berdasarkan persamaan (2.1) dan (2.3), maka dapat dinyatakan sebagai berikut :
... (2.5)
Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006)
Gambar 5 Kurva pengaruh tangkapan terhadap stok.
Apabila persamaan (2.6) disubstitusikan ke persamaan (2.2), maka akan
diperoleh persamaan yang menggambarkan fungsi produksi lestari perikanan
tangkap :
... (2.7)
Persamaan (2.7) dapat digambarkan pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6,
dapat terlihat bahwa apabila tidak ada aktivitas penangkapan (E = 0), maka hasil
tangkapan juga nol. Effort akan mencapai titik maksimum pada EMSY yang
berhubunan dengan tangkapan maksimum lestari (hMSY). Sifat dari kurva produksi
lestari upaya berbentuk kuadratik, maka peningkatan effort yang terus-menerus setelah melewati titik maksimum tidak akan menyebabkan peningkatan produksi
lestari. Produk akan turun kembali, bahkan mencapai nol, pada titik effort
maksimum (Emax) (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006).
Menurut Gulland (1983), asumsi yang digunakan dalam model surplus
produksi adalah sebagai berikut :
1) Kelimpahan populasi merupakan faktor yang hanya menyebabkan perbedaan
dalam laju pertumbuhan populasi alami;
2) Seluruh parameter populasi yang pokok dapat dikombinasikan untuk h = q.x.E3
h = q.x.E2
h = q.x.E1
h2
h1
f(x)
x
menghasilkan fungsi sederhana yang ada hubungannya dengan laju
pertumbuhan stok;
3) Laju mortalitas panangkapan seketika sama dengan upaya penangkapan;
4) Hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) sepadan dengan ukuran stok ikan; 5) Lama antara pemijahan dan rekruitmen tidak berpengaruh terhadap populasi;
dan
6) Ada hubungan antar hasil tangkapan dengan upaya penangkapan.
Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006)
Gambar 6 Kurva produksi lestari upaya.
Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari dengan effort (E), maka akan diperoleh persamaan berikut :
... (2.8)
Keterangan :
CPUE = Catch Per Unit Effort a = nilai intersep
b = koefisien regresi E = Effort
h(E)
0 EMSY Emax
Effort
sehingga akan diperoleh persamaan berikut :
... (2.9)
... (2.10)
Model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara
metodologi dan analisis, karena parameter r, q, dan K tersembunyi dalam nilai a dan b. Oleh karena itu, model produksi Schaefer perlu dilakukan modifikasi
dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q, dan K) yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto, dan Pooley atau sering dikenal dengan
sebutan metode CYP, Algoritma Fox, Schnute, Disequilibrium Schaefer,
Walter-Hilbon (WH) (Sobari, Diniah, dan Isnaini 2009).
2.6 Laju Degradasi dan Depresiasi
Degradasi mengacu pada penurunan kualitas atau kuantitas sumberdaya
alam dapat diperbaharukan (renewable resource). Dalam hal ini, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbarukan untuk beregenerasi sesuai kapasitas
produksinya berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alami
maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Laju degradasi digunakan untuk
menentukan langkah-langkah lebih jauh tentang pengelolaan, dalam bentuk
pengurangan laju ekstraksi atau penutupan berbagai kegiatan ekstraksi
sumberdaya alam tersebut. Informasi mengenai laju degradasi sumberdaya alam
dapat dijadikan titik referensi (reference point) maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui
kemampuan daya dukungnya (Fauzi dan Anna 2005).
Terminologi depresiasi sumber daya lebih ditujukan untuk mengukur
perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Depresiasi juga
dapat diartikan sebagai pengukuran degradasi yang dirupiahkan. Monetarisasi
dalam depresiasi ini tentu saja harus mengacu kepada pengukuran nilai riil, bukan
nilai nominal. Artinya untuk menghitungnya kita harus selalu mengacu pada
beberapa indikator perubahan harga seperti inflasi, indeks harga konsumen, dan
sebagainya yang berlaku untuk setiap komoditas sumberdaya alam pesisir dan laut
Baik degradasi maupun depresiasi sumberdaya laut disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu faktor alam maupun manusia, faktor endogenous maupun eksogenous, dan juga kegiatan yang bersifat produktif maupun nonproduktif. Degradasi diperparah pula oleh adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan
(termasuk pencemaran, overfishing, abrasi pantai, kerusakan fisik habitat pesisir, konflik penggunaan ruang, dan lain sebagainya) di kawasan-kawasan pesisir yang
padat penduduk serta tinggi intensitas pembangunannya (Fauzi dan Anna 2005).
2.7 Model Bioekonomi Statis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan
adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan
manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga.
Secara implisit pertanyaan tersebut mengandung dua makna, yaitu makna
ekonomi dan makna biologi. Oleh karena itu, pendekatan bioekonomi dalam
pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap
pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi dan Anna 2005).
Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon, seorang ahli
ekonomi dari Kanada yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk
menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Konsep MSY yang
pertama kali diperkenalkan oleh Schaefer pada tahun 1954, hanya didasarkan
pada pendekatan biologi semata. Dalam perspektif MSY, jika sumberdaya ikan
dipanen pada tingkat MSY, sumberdaya ikan akan lestari. Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah bagaimana dengan biaya pemanenan ikan, bagaimana
dengan pertimbangan sosial-ekonomi akibat pengelolaan sumberdaya ikan, serta
bagaimana pula dengan nilai ekonomi terhadap sumberdaya yang tidak panen atau
intrinsic value (dibiarkan di laut). Dalam pendekatan MSY, pertanyaan-pertanyaan tersebut sengaja diabaikan, sebab tujuan pendekatan biologi adalah
memperoleh produksi setinggi-tingginya. Akan tetapi, dalam pendekatan biologi
sering mengalami ketidakstabilan MSY itu sendiri, MSY juga tidak memiliki
basis logis pada saat terjadi interaksi antarspesies ikan. Kekurangan-kekurangan
tersebutlah yang kemudian melahirkan konsep pendekatan bioekonomi. Dalam
pendekatan biologi, tujuan pengelolaan adalah pertumbuhan biologi. Sedangkan,
dalam pendekatan bioekonomi tujuan utamanya adalah aspek ekonomi dengan
kendala aspek biologi sumberdaya ikan (Fauzi dan Anna 2005).
Model bioekonomi Gordon-Schaefer dibangun dari model surplus
produksi yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Graham pada 1935. Pada
pendekatan ini, Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan memasukkan
faktor harga dan biaya, untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer ini
beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman, asumsi-asumsi
tersebut antara lain (Fauzi 2006):
(1) Harga per satuan output (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva
permintaan elastis sempurna;
(2) Biaya penangkapan per satuan upaya penangkapan dianggap konstan;
(3) Spesies sumberdaya ikan dianggap tunggal (single spesies);
(4) Hanya faktor penangkapan langsung yang diperhitungkan (tidak
memasukkan faktor pasca panen dan lain sebagainya).
Dengan menggunakan asumsi di atas, maka penerimaan total dapat diperoleh
sebagai berikut: p = harga rata-rata rajungan h = hasil tangkapan
Demikian juga dengan biaya total upaya penangkapan yang dapat dinyatakan
dalam persamaan sebagai berikut:
... (2.12)
Keterangan :
Maka keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya rajungan tersebut adalah :
... (2.13)
Keterangan :
π = keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya
Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya , dimana
penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC) sehingga keuntungan yang
diperoleh dari usaha penangkapan ikan sama dengan nol (π = 0). Pelaku perikanan
hanya menerima biaya opportunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau profit
tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai ”bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka (Fauzi 2006).
Keseimbangan pengelolaan perikanan dalam dua rezim pengelolaan yang berbeda
dapat digambarkan pada model Gordon-Schaefer seperti pada Gambar 7.
Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa keseimbangan bioekonomi
merupakan kondisi dimana pada setiap effort dibawah , penerimaan total akan melebihi biaya total, sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak
tertarik (entry) untuk melakukan penangkapan ikan. Sebaliknya pada kondisi effort diatas , biaya total akan melebihi penerimaan total sehingga banyak pelaku perikanan yang akan keluar (exit) dari usaha penangkapan ikan. Dengan demikian, hanya pada tingkat effort keseimbangan akan tercapai sehingga
Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006)
Gambar 7 Model Gordon-Schaefer.
Cara lain untuk melihat keseimbangan Gordon-Schaefer adalah dari sisi
hubungan penerimaan rata-rata, penerimaan marginal dan biaya marginal. Hal ini
dapat diturunkan dari persamaan penerimaan total dan biaya total. Dengan
menggunakan fungsi permintaan yang linear, dimana harga tidak lagi konstan
tetapi linear terhadap hasil tangkapan p(h) maka kurva penerimaan rata-rata dapat diturunkan dari kurva penerimaan total dibagi dengan hasil tangkapan (h).
... (2.14)
Kurva penerimaan marginal diperoleh dengan menurunkan penerimaan
total terhadap hasil tangkapan.
... (2.15)
Kurva biaya marginal merupakan turunan pertama (kemiringan/slope) dari biaya
total yang merupakan konstanta.
... (2.16)
0TR = p.h TC = c.E
C
MEY
B
MSY Cost, Revenue
π max
Persamaan 2.16 dapat digambarkan pada kurva keseimbangan bioekonomi dari
sisi penerimaan rata-rata seperti pada Gambar 8.
Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006)
Gambar 8 Kurva keseimbangan bioekonomi dari sisi penerimaan rata-rata.
Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa keuntungan lestari yang maksimum
(maximum sustainable rent) akan diperoleh secara maksimum (sustainable profit) pada tingkat upaya EMEY karena memiliki jarak vertikal terbesar antara
penerimaan dan biaya. Tingkat upaya ini sering disebut sebagai maximum economic yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (socially optimum). Jika dibandingkan antara tingkat upaya pada saat keseimbangan open access dengan tingkat upaya optimal secara sosial, maka akan terlihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak daripada yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang
ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (missallocation) dari sumberdaya, karena kelebihan faktor produksi (modal dan tenaga kerja) tersebut dapat dialokasikan
untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produkstif. Ini merupakan inti prediksi
Gordon bahwa pada kondisi perikanan yang open acess akan menimbulkan kondisi economic overfishing.
Revenue/cost
EMEY
EOA
Effort
C = MC =AC
AR