• Tidak ada hasil yang ditemukan

Safety in consuming goat sate viewed from heating aspect and total amount of microbes contamination from sate shops in east jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Safety in consuming goat sate viewed from heating aspect and total amount of microbes contamination from sate shops in east jakarta"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN

TINGKAT CEMARAN MIKROBA

DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

CHAIDIR TAUFIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keamanan Mengkonsumsi Daging Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur adalah karya saya sendiri dengan bimbingan para Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006

Chaidir Taufik

(3)

ABSTRAK

CHAIDIR TAUFIK Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur. Dibimbing oleh R. ROSO SOEJOEDONO dan EDY SETIARTO.

Sate adalah salah satu makanan tradisional Indonesia berupa irisan daging kecil-kecil yang dicucuk dan dipanggang dan diberi bumbu kacang atau kecap. Daging untuk membuat sate kambing berasal dari daging kambing dan domba. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan mengkonsumsi sate ditinjau dari aspek pemanasan sate setengah matang dan sate matang. Selain itu untuk mengetahui tingkat cemaran mikroba pada sate mentah, setengah matang, dan matang. Parameter yang diukur adalah suhu internal sate pada pemanasan setengah matang dan matang serta tingkat cemaran mikroba pada sate mentah, setengah matang, dan matang dari jumlah cemaran mikroba (total plate count/TPC), Coliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan

Salmonella sp. Hasil penelitian menunjukkan suhu rata-rata pemanasan sate setengah matang adalah 61,68 0C dengan waktu rata-rata 2 menit 43 detik, suhu rata-rata sate matang 77,31 0C dengan waktu rata-rata 5 menit. Sate setengah matang tidak aman dikonsumsi ditinjau dari kemungkinan terjadinya infeksi

Toxoplasma gondii. Persentase TPC, Coliform, E. coli sate mentah yang di atas SNI 01-6366-2000 masing- masing 100%, 93,3%, 3,3% serta ditemukannya

Salmonella menandakan sate mentah tidak aman untuk dibakar sebagai bahan baku sate. Jumlah rata-rata bakteri pada sate setengah matang jika dibandingkan dengan dosis infektif Escherichia coli dan Salmonella sp maka sate setengah matang kurang aman untuk dikonsumsi sedangkan sate matang aman untuk dikonsumsi. Pengaruh pemanasan untuk menurunkan tingkat cemaran mikroba pada Coliform berbeda nyata (p< 0,05), sedangkan untuk cemaran mikroba yang lain tidak berbeda nyata.

(4)

ABSTRACT

CHAIDIR TAUFIK Safety in Consuming Goat Sate Viewed from Heating Aspect and Total Amount of Microbes Contamination from Sate Shops in East Jakarta. Under direction of R. ROSO SOEJOEDONO and EDY SETIARTO.

Sate,which is one of Indonesian traditional foods, is a kind of small meat slices which are sticked into sharpened bamboo splinters, grilled and then served with peanut flavour or soya sauce. Meat used to make goat sate is not only derived from goat meat but also from sheep meat. The objectives of this research were to know the safety in consuming sate viewed from the heating aspect of the broilling result between half cooked sate and cooked sate, and also to know the level of microbes contamination aspect in raw sate meat, half cooked sate and cooked sate. Parameters measured were the internal temperature in heating process of half cooked sate and the cooked sate and the level of microbes contamination which was viewed from the total plate count (TPC), Coliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus and Salmonella in raw sate meat, half cooked sate and cooked sate. The obtained result showed that the average temperature in heating half cooked sate was 61.68 0C by the average time of 2 (two) minutes and 43 second s, while the average temperature in heating cooked sate was 77.31 0C by the average times of 5 (five) minutes. The half cooked sate was not safe if viewed from toxoplasmosis aspect. Percentage of TPC, Coliform, E. coli in raw sate was above SNI 01-6366-2000, each as follow : 100%, 93.3%, 3.3%. Besides this fact, the finding of Salmonella in raw sate meat as the raw material of sate was not safe to be broilled. The average amount of microbes contamination of the half cooked sate if compared with infectious dose was not safe for consuming while the cooked sate was safe. The impact of heating sate to decrease the total amount microbe in Coliform was significant (p< 0.05), whereas the impact of heating sate for other microbes were no t significant.

(5)

KEAMANAN MENGKONSUMSI SATE

KAMBING

DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN

TINGKAT CEMARAN MIKROBA

DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

CHAIDIR TAUFIK

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur

Nama : Chaidir Taufik NRP : B. 551034074

Disetujui: Komisi Pembimbing

Drh. Edy Setiarto,MS Drh. R. Roso Soejoedono,MPH, DEA

Anggota Ketua

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Drh. Denny W. Lukman,MSi. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro,MSi.

(7)

PRAKATA

Alhamdulillah saya panjatkan ke hadhirat Alloh Yang Maha Pengasih, karena atas berkat dan rahmat-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2006 sampai Maret 2006, dengan judul Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur.

Terima kasih kepada Bapak Dr. Drh. Denny W. Lukman, MSi sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bapak Drh. R. Roso Soejoedono, MPH, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Drh. Edy Setiarto, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing serta kepada semua staf Pengajar dan staf Penunjang Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Kepala dan staf Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Timur serta Kepala dan staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membantu dalam pemeriksaan di Laboratorium.

Selain itu, tidak lupa disampaikan ungkapan terima kasih kepada istri tercinta Ferina Darmarini, putri terkasih Yasmin dan Rosalyn yang telah banyak berkorban serta mendorong agar penulis dapat segera menyelesaikan tesis ini. Semoga Alloh membalas amal baik mereka semua dan diberikan rahmat, pengampunan dari Alloh SWT.

Tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan perbaikan untuk kesempurnaan tulisan ini.

Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2006

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1958 sebagai anak ke lima dari sepuluh bersaudara, dari keluarga almarhum Bapak H. Muhammad Zaini bin Sarpin dan Ibu Hj. Jahorah.

Pendidikan Sekolah Dasar ditamatkan di SD Negeri Tengah Petang 02 Kramat Jati Jakarta Timur, melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri XX dan Selanjutnya Sekolah Menengah Atas Negeri XIV Jurusan Paspal. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Perintis II atau tanpa ujian saringan masuk dan akhirnya penulis mengambil kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan meraih gelar dokter hewan pada bulan Maret 1982.

(9)

DAFTAR ISI

Pengaruh Pembakaran Terhadap Daging ………..……… 6

Pengaruh Pembakaran Terhadap Mikroorganisme ……….. 10

Penyakit Asal Makanan ……… 12

Dosis Infektif ……… 14

Mikrobiologi Pencemar Daging ……… 15

Jumlah Mikroba Pencemar ……… 16

Indikator Bakteri Patogen ……… 16

Coliform ……… 18

Escherichia coli ………. 19

Staphylococcus aureus ……….. 19

Salmonella ………. 20

Metode Pengujian Mikrobiologi ………. 27

Analisa Data ……… 28

Tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah ………. 34

Tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang ……….. 35

Tingkat Cemaran Mikroba Sate Matang ……….. 37

Pengaruh Pemanasan Terhadap Tingkat Cemaran Mikroba ... 38

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ……… 39

(10)

DAFTAR PUSTAKA ……… 42

(11)

DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN

TINGKAT CEMARAN MIKROBA

DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

CHAIDIR TAUFIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keamanan Mengkonsumsi Daging Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur adalah karya saya sendiri dengan bimbingan para Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006

Chaidir Taufik

(13)

ABSTRAK

CHAIDIR TAUFIK Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur. Dibimbing oleh R. ROSO SOEJOEDONO dan EDY SETIARTO.

Sate adalah salah satu makanan tradisional Indonesia berupa irisan daging kecil-kecil yang dicucuk dan dipanggang dan diberi bumbu kacang atau kecap. Daging untuk membuat sate kambing berasal dari daging kambing dan domba. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan mengkonsumsi sate ditinjau dari aspek pemanasan sate setengah matang dan sate matang. Selain itu untuk mengetahui tingkat cemaran mikroba pada sate mentah, setengah matang, dan matang. Parameter yang diukur adalah suhu internal sate pada pemanasan setengah matang dan matang serta tingkat cemaran mikroba pada sate mentah, setengah matang, dan matang dari jumlah cemaran mikroba (total plate count/TPC), Coliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan

Salmonella sp. Hasil penelitian menunjukkan suhu rata-rata pemanasan sate setengah matang adalah 61,68 0C dengan waktu rata-rata 2 menit 43 detik, suhu rata-rata sate matang 77,31 0C dengan waktu rata-rata 5 menit. Sate setengah matang tidak aman dikonsumsi ditinjau dari kemungkinan terjadinya infeksi

Toxoplasma gondii. Persentase TPC, Coliform, E. coli sate mentah yang di atas SNI 01-6366-2000 masing- masing 100%, 93,3%, 3,3% serta ditemukannya

Salmonella menandakan sate mentah tidak aman untuk dibakar sebagai bahan baku sate. Jumlah rata-rata bakteri pada sate setengah matang jika dibandingkan dengan dosis infektif Escherichia coli dan Salmonella sp maka sate setengah matang kurang aman untuk dikonsumsi sedangkan sate matang aman untuk dikonsumsi. Pengaruh pemanasan untuk menurunkan tingkat cemaran mikroba pada Coliform berbeda nyata (p< 0,05), sedangkan untuk cemaran mikroba yang lain tidak berbeda nyata.

(14)

ABSTRACT

CHAIDIR TAUFIK Safety in Consuming Goat Sate Viewed from Heating Aspect and Total Amount of Microbes Contamination from Sate Shops in East Jakarta. Under direction of R. ROSO SOEJOEDONO and EDY SETIARTO.

Sate,which is one of Indonesian traditional foods, is a kind of small meat slices which are sticked into sharpened bamboo splinters, grilled and then served with peanut flavour or soya sauce. Meat used to make goat sate is not only derived from goat meat but also from sheep meat. The objectives of this research were to know the safety in consuming sate viewed from the heating aspect of the broilling result between half cooked sate and cooked sate, and also to know the level of microbes contamination aspect in raw sate meat, half cooked sate and cooked sate. Parameters measured were the internal temperature in heating process of half cooked sate and the cooked sate and the level of microbes contamination which was viewed from the total plate count (TPC), Coliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus and Salmonella in raw sate meat, half cooked sate and cooked sate. The obtained result showed that the average temperature in heating half cooked sate was 61.68 0C by the average time of 2 (two) minutes and 43 second s, while the average temperature in heating cooked sate was 77.31 0C by the average times of 5 (five) minutes. The half cooked sate was not safe if viewed from toxoplasmosis aspect. Percentage of TPC, Coliform, E. coli in raw sate was above SNI 01-6366-2000, each as follow : 100%, 93.3%, 3.3%. Besides this fact, the finding of Salmonella in raw sate meat as the raw material of sate was not safe to be broilled. The average amount of microbes contamination of the half cooked sate if compared with infectious dose was not safe for consuming while the cooked sate was safe. The impact of heating sate to decrease the total amount microbe in Coliform was significant (p< 0.05), whereas the impact of heating sate for other microbes were no t significant.

(15)

KEAMANAN MENGKONSUMSI SATE

KAMBING

DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN

TINGKAT CEMARAN MIKROBA

DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

CHAIDIR TAUFIK

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Judul Tesis : Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur

Nama : Chaidir Taufik NRP : B. 551034074

Disetujui: Komisi Pembimbing

Drh. Edy Setiarto,MS Drh. R. Roso Soejoedono,MPH, DEA

Anggota Ketua

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Drh. Denny W. Lukman,MSi. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro,MSi.

(17)

PRAKATA

Alhamdulillah saya panjatkan ke hadhirat Alloh Yang Maha Pengasih, karena atas berkat dan rahmat-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2006 sampai Maret 2006, dengan judul Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur.

Terima kasih kepada Bapak Dr. Drh. Denny W. Lukman, MSi sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bapak Drh. R. Roso Soejoedono, MPH, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Drh. Edy Setiarto, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing serta kepada semua staf Pengajar dan staf Penunjang Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Kepala dan staf Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Timur serta Kepala dan staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membantu dalam pemeriksaan di Laboratorium.

Selain itu, tidak lupa disampaikan ungkapan terima kasih kepada istri tercinta Ferina Darmarini, putri terkasih Yasmin dan Rosalyn yang telah banyak berkorban serta mendorong agar penulis dapat segera menyelesaikan tesis ini. Semoga Alloh membalas amal baik mereka semua dan diberikan rahmat, pengampunan dari Alloh SWT.

Tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan perbaikan untuk kesempurnaan tulisan ini.

Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2006

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1958 sebagai anak ke lima dari sepuluh bersaudara, dari keluarga almarhum Bapak H. Muhammad Zaini bin Sarpin dan Ibu Hj. Jahorah.

Pendidikan Sekolah Dasar ditamatkan di SD Negeri Tengah Petang 02 Kramat Jati Jakarta Timur, melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri XX dan Selanjutnya Sekolah Menengah Atas Negeri XIV Jurusan Paspal. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Perintis II atau tanpa ujian saringan masuk dan akhirnya penulis mengambil kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan meraih gelar dokter hewan pada bulan Maret 1982.

(19)

DAFTAR ISI

Pengaruh Pembakaran Terhadap Daging ………..……… 6

Pengaruh Pembakaran Terhadap Mikroorganisme ……….. 10

Penyakit Asal Makanan ……… 12

Dosis Infektif ……… 14

Mikrobiologi Pencemar Daging ……… 15

Jumlah Mikroba Pencemar ……… 16

Indikator Bakteri Patogen ……… 16

Coliform ……… 18

Escherichia coli ………. 19

Staphylococcus aureus ……….. 19

Salmonella ………. 20

Metode Pengujian Mikrobiologi ………. 27

Analisa Data ……… 28

Tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah ………. 34

Tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang ……….. 35

Tingkat Cemaran Mikroba Sate Matang ……….. 37

Pengaruh Pemanasan Terhadap Tingkat Cemaran Mikroba ... 38

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ……… 39

(20)

DAFTAR PUSTAKA ……… 42

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Estimasi Dosis Infektif ……… 14

2. Kelompok Suhu Hasil Pembakaran Sate Setengah Matang ... 29

3. Kelompok Suhu Hasil Pembakaran Sate Matang ... 31

4. Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah ... 34

5. Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang ... 36

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Daur Hidup Toxoplasma gondii ... 22 2. Tampilan Pengukuran Panas Sate Kambing ………. 25 3. Tampilan Sate Kambing Setengah Matang ……….. 30 4. Tampilan Sate Kambing Matang ……….. 32

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging dikategorikan sebagai bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) dan berpotensi mengandung bahaya (potentialy harzardous food). Pangan asal hewan memiliki faktor- faktor yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme, karena kandungan gizi yang baik, terutama kandungan protein yang relatif tinggi, memiliki pH yang mendekati netral dan memiliki aktifitas air ( aw ) di atas 0,85 ( Lukman 2004b).

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (PEMRI 1996).

Sate adalah irisan daging kecil-kecil yang dicucuk dan dipanggang dan diberi bumbu kacang atau kecap (DEPDIKBUD 1999). Sedangkan yang dikenal sebagai sate kambing adalah irisan kecil-kecil daging kambing atau daging domba yang dicucuk dan dipanggang dan diberi bumbu kacang atau kecap. Sampel sate kambing dalam penelitian ini adalah sate yang telah dibakar tetapi tidak diberi bumbu kacang atau kecap.

Sate kambing merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang banyak disukai oleh masyarakat luas karena umumnya mempunyai rasa yang khas. Berdasarkan daerah dikenal sate padang, sate tegal, sate betawi, sate solo dan lainnya. Sate ternyata tidak hanya dikenal di Indonesia, beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam memiliki kekhasan tersendiri dengan masakan satenya (Anonim 2006).

(24)

Konsumsi sate kambing di Kotamadya Jakarta Timur berdasarkan laporan Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Timur kurang lebih 3500 kg perhari dan hampir sebagian besar pemotongan kambing atau domba ditujukan untuk pembuatan sate (SDPPJT 2005).

Warung sate umumnya usaha tradisional dimana umumnya daging sate dipanaskan dengan menggunakan bara yang berasal dari arang batok kelapa atau arang kayu. Pembakaran dilakukan secara manual dan kematangan umumnya diukur hanya berdasarkan perasaan atau pengalamannya dalam membakar sate.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari pengaruh pemanasan terhadap keamanan mengkonsumsi sate ditinjau dari tingkat suhu internal daging dilanjutkan dangan memeriksa jumlah cemaran mikroba pada daging sate yang sudah dibakar setengah matang dan matang sesuai dengan kebiasaan pada masing-masing warung sate.

Sejak lama telah diketahui bahwa pengambilan sampel mikrobiologi permukaan daging dengan cara pengirisan jaringan akan diketemukan jumlah bakteri yang lebih banyak jika dibandingkan dengan cara swab. Pengambilan sampel dengan cara pengirisan hanya bisa dilakukan di laboratorium dan sulit dilakukan di lapangan atau tempat komersial. Kondisi permukaan daging, penanganan produk, keadaan mikroflora akan mempengaruhi jumlah bakteri yang diketemukan pada berbagai macam teknik sampling (Gill et al. 2001).

Atas dasar pertimbangan di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Sate adalah makanan tradisional yang banyak digemari oleh masyarakat luas tetapi belum ada standar pemanasannya.

2. Konsumsi daging sate di Kotamadya Jakarta Timur diperkirakan lebih dari 3500 kg setiap hari (SDPPJT 2005).

(25)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tingkat keamanan mengkonsumsi sate kambing di Kotamadya Jakarta Timur ditinjau dari jumlah kuman Total Plate Count, Coliform, E. coli, Staphylococcus aureus, Salmonella dan Toxoplasma gondii.

2. Untuk mengetahui hubungan tingkat keamanan mengkonsumsi sate kambing dengan pembakaran sate kambing.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi tentang : 1. Lamanya pembakaran sate kambing.

2. Suhu internal daging sate kambing setelah selesai pembakaran.

3. Tingkat cemaran mikroba daging sate kambing setelah selesai pembakaran.

Hipotesa Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini :

Ho : Panas hasil pembakaran daging sate kambing yang matang dapat untuk membunuh mikroorganisme yang ada dalam daging sate kambing.

H1 : Panas hasil pembakaran daging sate setengah matang tidak dapat untuk

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Daging dan Susunan Daging

Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahannya yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno 1992). Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue) (Muchtadi dan Sugiyono 1989).

(27)

Unit struktural jaringan otot adalah jaringan sel daging, atau yang biasa disebut serabut otot. Serabut otot terdiri dari miofibril- miofibril. Miofibril tersebut dikelilingi oleh sarkoplasma (sitoplasma) dan dilindungi oleh sarkolema (dinding sel). Selain miofibril dalam sarkoplasma juga terdapat inti sel, mitokondria, retikulum sarkoplasma, konpleks golgi, glikogen, dan lemak. Miofibril terdiri dari serabut-serabut yang lebih halus yang disebut miofilamen yang terdiri dari dua macam protein yaitu filamen aktin yang tipis dan filamen miosin yang tebal. Kedua filamen tersebut terkenal sebagi unit kontraktil yang berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi otot ( Muchtadi dan Sugiyono 1989).

Daging domba mempunyai ciri-ciri daging terdiri dari serat-serat halus yang sangat rapat jaringannya, warna daging merah muda, diantara otot-otot dan di bawah kulit terdapat banyak lemak, daging domba jantan hampir sama baunya dengan kambing jantan (prengus). Sedangkan ciri-ciri daging kambing adalah daging berwarna lebih pucat dibandingkan dengan daging domba, lemaknya menyerupai le mak domba, bila kambing dikuliti maka rambut-rambut di bawah kulit akan melekat, dagingnya berbau prengus (Saptoningsih 2000). Aroma kambing (goaty) pada daging kambing dan domba berkorelasi dengan adanya asam 4- metiloktanoat. Sedangkan, konsentrasi asam 4- metiloktanoat pada daging kambing lebih tinggi daripada daging domba (Naundea 1981).

Keamanan Daging Kambing

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (PEMRI 1996).

Keamanan daging dimulai dari peternakan sampai ke meja makan, dengan melalui beberapa mata rantai yang membutuhkan penanganan yang baik seperti di peternakan dilakukan secara good farming practice, pengobatan hewan dilakukan secara good veterinary practice, transportasi dilakukan secara good transportation practice, dan di RPH dilakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem, serta dalam pengolahan dilakukan sesuai dengan petunjuk goodmanufacturing practice

(28)

Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum hewan dipotong dan bertujuan untuk :

(a) Memilih hewan yang telah cukup beristirahat sehingga dagingnya aman dan layak untuk konsumsi manusia,

(b) Memilih hewan yang sehat dan pemeriksaan klinis secara terinci hewan yang berpenyakit, diduga berpenyakit atau yang dianggap mempunyai kelainan, serta melakukan isolasi,

(c) Mencegah kontaminasi pada tempat pengulitan yang disebabkan oleh hewan yang sangat kotor,

(d) Mencegah kontaminasi pada gedung, perlengkapan dan karyawan dari hewan yang menderita penyakit yang dapat menular,

(e) Mendapatkan informasi yang mungkin diperlukan untuk pemeriksaan postmortem, diagnosa dan keputusan tentang karkas dan jeroan.

Pemeriksaan postmortem dilakukan segera setelah hewan dipotong dengan tujuan antara lain:

(a) Mengenali kelainan atau abnormalitas pada daging, isi dada, dan isi perut. (b) Menjamin bahwa proses pemotongan telah dilaksanakan dengan benar. (c) Menjamin kualitas dan keamanan daging.

(d) Meneguhkan diagnosa pemeriksaan antemortem (DPPK-DKI 2005). Pemeriksaan antemortem dan postmortem, tidak bisa mendeteksi parasit yang sudah ada di dalam otot dan hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium.

Pengaruh Pembakaran Terhadap Daging

(29)

Pemanggangan daging hanya cocok untuk potongan-potongan daging seperti steak, potongan daging yang kecil, sebab panas yang dihasilkan pemanggangan biasanya dalam waktu singkat yang tidak cukup untuk mencapai jaringan yang lebih dalam. Pengaruh pemasakan terhadap daging dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu

1. Penampilan

Daging yang dimasak biasanya akan berwarna kecokelatan, dimana grup asam amino dalam protein yang ada dalam otot akan bereaksi dengan cadangan gula dalam daging seperti glukosa. Warna kecokelatan terjadi pada suhu yang tinggi (kurang lebih 90 0C) seperti pemanggangan atau perebusan. Warna daging bagian dalam dan suhu daging biasanya berhubungan dengan berbagai macam tingkatan. Penghilangan warna kemerahan akibat meningkatnya suhu disebabkan denaturasi dari pigmen, warna daging yang dimasak berwarna kecokelatan dari metmioglobin, hal ini disebabkan terjadinya oksidasi dan denaturasi. Tekstur yang terlihat akibat pemasakan adalah mendekati lunak , kenyal, dan lembut. Jaringan lemak tampak lunak dan jus daging yang hilang akan menyebabkan daging terlihat kering (Aberle et al. 2001).

2. Perubahan Struktur

(30)

dipanaskan pada suhu 61 0C sampai 62 0C akan terjadi pengerutan kolagen menjadi setengah panjang semula, dan inilah yang disebut collagen shrinkage

(pengerutan kolagen). Pada pemanasan la njutan dan dibarengi dengan adanya kelembaban, kolagen akan terhidrolisa dan membentuk gelatin pda saat proses pendinginan, akibatnya kolagen menjadi lebih lunak. Protein jaringan ikat elastin tidak sensitif terhadap panas, walaupun telah dipanaskan dengan suhu yang cukup tinggi, protein ini akan tetap bertahan. Beberapa perubahan lain akibat pemanasan protein otot, akan mempengaruhi struktur yang lebih kecil seperti adanya perubahan pH, menurunnya daya ikat aktifitas ion, dan menurunnya aktifitas enzim. Selain lemak akan berpindah tempat akibat meningkatnya suhu otot yang diwarnai meleleh dan mencairnya lemak serta membentuk emulsi dengan protein yang larut (Aberle et al. 2001).

3. Keempukan

Pemanasan akan menyebabkan daging menjadi lebih empuk dan menjadi lebih kenyal. Keempukan daging akibat terjadinya pemendekan kolagen, pemanasan sampai dengan suhu 56 0C sampai 58 0C proses keempukan daging relatif lambat tetapi ketika suhu ditingkatkan menjadi 62 0C sampai 64 0C pengerutan kolagen akan semakin cepat dan diikuti dengan kekenyalan dan pengerasan protein. Peningkatan suhu akan menyebabkan terhidrolisanya kolagen dan hal inilah yang menyebabkan keempukan daging (Aberle et al. 2001).

4. Jus Daging

(31)

pemanasan akan menyebabkan menurunnya cita rasa dan karakteristik daging yang khas serta berdampak terhadap penerimaan konsumen (Aberle et al.

2001).

5. Flavor dan Aroma

Pada saat pemanasan atau pemasakan, bahan-bahan tertentu akan mudah menguap dan hal inilah yang berkontribusi terhadap fla vor dan aroma; beberapa macam jenis bahan yang mudah menguap seperti molekul dari sulfur dan molekul yang tersusun dari nitrogen serta hidrokarbon, aldehid, keton, alkohol, dan asam. Pengaruh pemanasan adalah sangat unik, karena tergantung dari kondisi dan cara pemanasan atau pemasakan, bahkan jenis pemasakan dapat diidentifikasi hanya dari flavor dan aroma dari produk yang dimasak. Aroma berasal dari lemak yang dilepaskan selama proses pemasakan, serta aroma dapat dibedakan apakah berasal dari babi, domba, sapi, atau unggas. Pemanasan dengan pemanasan yang kering seperti pemanggangan akan mengeluarkan flavor tertentu sedangkan pemasakan dengan memakai air sebagai media penghantar panas dan dengan tekanan udara tertentu akan menyebabkan perubahan flavor yang khas dalam jaringan daging (Aberle et al. 2001). Intensitas aroma khas daging kambing yang dipanggang di atas bara arang menjadi lemah dan aroma yang dominan adalah aroma harum daging panggang. Aroma harum daging panggang berhubungan dengan reaksi Maillard, yaitu reaksi kimiawi dengan bantuan panas antara asam amino dengan gugus karbonil dalam daging yang menghasilkan komponen aromatik (Bahar 1994 dan Gaman 1990).

(32)

Pengaruh Pembakaran Terhadap Mikroorganisme

Pemasakan makanan merupakan langkah penting untuk mendapatkan makanan secara mikrobiologi lebih aman. Rekomendasi memasak daging ayam, daging babi adalah dengan memasak daging tersebut sampai warna daging menjadi keabu-abuan atau kecokelatan yang menunjukkan suhu sudah mencapai 74 0C. Pemasakan terhadap produk-produk yang perlu mendapatkan perhatian khusus seperti pemasakan daging sapi dan daging domba karena kedua bahan makanan tersebut sering dikonsumsi dalam kondisi setengah matang (Kotula KL dan Kotula AW 2001).

USDA (United State Departement of Agriculture) telah mensyaratkan pemasakan daging sapi setengah matang dalam rangka mengkontrol Salmonella Sp adalah suhu 54,4 0C selama 121 menit, 60,0 0C selama 12 menit, 71,1 0C selama 0,12 menit. Waktu tersebut sesuai dengan anjuran Institut Daging Amerika Serikat (American Meat Institut) yaitu 130 0F untuk daging sapi kurang matang (very rare beef), 150 0F untuk daging sapi setengah matang (medium beef), 1600F untuk daging sapi matang (well done beef) (Kotula KL dan Kotula AW 2001).

Pembakaran akan dapat merusak atau mematikan bakteri yang vegetatif dibagian luar daging tetapi bakteri yang terdapat pada bagian dalam daging kemungkinan belum dapat dimatikan dengan pemasakan terutama dengan cara pemanggangan. Lembaga Advokasi Spesifikasi Mikrobiologi untuk Pangan (US Nation Advisary Committe on the Microbiological Specification for Foods) merekomendasikan dalam menonaktifkan E. Coli O157:H7 atau Salmonella sp

adalah dengan memasak daging dengan suhu 60 0C selama 8,34 menit, 62 0C selama 2,11 menit, 65,6 0C selama 0,53 menit atau 68,3 0C selama 0,13 detik.

Buck et al. dalam Kotula KL dan Kotula AW melaporkan, daging dengan ketebalan 1,7 cm harus dipanggang selama 6 menit pada setiap sisinya pada suhu 137 0C agar dapat mengurangi bakteri aeropilik dari jumlah 105 - 108 pergram daging menjadi 102 pergram ; kejadian tersebut hampir sama pada bakteri yang memfermentasi laktosa dan E. Coli. Sedangkan Coliform dapat dikurangi sampai 1Log10 dimana dimulai pada jumlah awal 5Log10 pada 85 gram daging dengan

(33)

sensitif terhadap panas jika dibandingkan dengan bakteri mesopilik (Kotula KL dan Kotula AW 2001).

Penyakit antraks yang disebut juga sebagai radang limpa, radang kura, splenik fever adalah zoonosa yang akut, umumnya bersifat sepsis dan fatal. Penyebab penyakit ini adalah Bacillus antracis yang berbentuk batang dengan ujung persegi dan panjang, berpasang-pasangan atau berantai. Bakteri ini bersifat aerob, Gram positif, tidak motil, berkapsul, tahan asam dan membentuk spora. Spora antraks akan terbentuk bila terpapar oksigen yang berlebihan yang dapat bertahan dilingkungannya selama 25 sampai 30 tahun. Selain itu penyebab bakteri ini tahan terhadap pembekuan cepat pada suhu – 72 0C, tahan desinfeksi dan panas (Soejoedono 2004).

Dubey et al. (1990) melakukan penelitian tentang pengaruh pemanasan terhadap kista Toxoplasma gondii pada daging babi yang sudah dihomogenkan yang hasilnya kista Toxoplasma gondii tahan terhadap pemanasan dengan suhu 52

0

C selama 9,5 menit tetapi akan mati pada suhu 58 0C selama 9,5 menit atau pada suhu 61 0C selama 3,6 menit sedangkan pada suhu 64 0C selama 3 menit kista masih tetap hidup. Akhirnya Smith (1993) menyimpulkan bahwa memasak daging sampai suhu internal daging 70 0C akan dapat mencegah infeksi toksoplasma. Pada tahun 1996, Iskandar melakukan studi toksoplasmosis pada domba dan kambing di RPH yang ada di Jakarta hasilnya terdeteksi 48,3% kambing dan domba 43,3% positif terinfeksi toksoplasmosis secara serologis. Sedangkan hasil penyid ikan oleh Dinas Peternakan Propinsi DKI Jakarta pada tahun 1998 mendapatkan hasil 66,67% domba dan 49,12% kambing yang akan dipotong di RPH positif terinfeksi toksoplasmosis secara serologis. Pada tahun 1998, Iskandar telah berhasil mengisolasi Toxoplasma gondii dari otot diafragma kambing dan domba yang mempunyai titer serologis yang tinggi terhadap

Toxoplasma gondii.

(34)

tubuhnya, bradyzoit akan berubah menjadi tachyzoit yang akan dapat menginfeksi manusia atau karnivora (Smith 1993).

Penyakit Asal Makanan

Istilah penyakit asal makanan (food illness atau foodborne disease) merupakan istilah yang saat ini secara umum lebih disukai untuk digunakan. Penyakit asal makanan dapat didefinisikan sebagai: ”Setiap penyakit yang bersifat infeksius atau keracunan yang disebabkan atau diduga disebabkan oleh konsumsi makanan atau air” (Naim 2004).

Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit asal makanan menurut Naim (2004) dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu Infeksi dan Intoksidasi, sedangkan Ray (2001) menambahkan dengan kelompok Toksikoinfeksi.

Penyakit asal makanan yang bersifat infeksi terjadi bila bakteri hidup termakan bersama makanan dalam jumlah yang hidup dan untuk beberapa bakteri dapat bertahan hidup terhadap keasaman lambung yang merupakan salah satu .barrier protektif tubuh. Bakteri yang bertahan hidup ini, kemudian memasuki usus halus tempat dimana bakteri ini akan bermultiplikasi dan menyebabkan timbulnya gejala klinis. Infeksi dapat bersifat invasif atau non- invasif, pada infeksi non- invasif, mikroorganisme akan menempel pada permukaan usus atau sel epitil kemudian bermultiplikasi dan berkolonisasi di permukaan usus, sedangkan infeksi yang bersifat invasif keberadaanya tidak terbatas pada lumen usus tetapi dapat juga berpenetrasi menembus sel usus dan dapat menyebar ke seluruh tubuh (Naim 2004).

Karakteristik mikroorganisme penyebab penyakit asal makanan yang bersifat infektif adalah:

1. Sel hidup dari bakteri patogen harus dikonsumsi melalui makanan.

2. Sel yang bertahan dari asam lambung akan mempenetrasi sel epitil usus, dan memperbanyak diri.

3. Level dosis agar dapat menyebabkan infeksi adalah sangat besar. 4. Gejala klinis terjadi setelah 24 jam.

(35)

Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Listeria monocytogenes, Escherichia coli patogenik, Shigella

sp,Campylobacter sp, Yersenia enterocolistica, Vibrio cholerae, Brucella sp, Streptococcal sp, Q fever ( Ray 2001).

Penyakit asal makanan yang bersifat intoksikasi, bakteri akan tumbuh dan berkembang dalam makanan serta memproduksi toksin. Bila makanan tersebut dikonsumsi, toksin yang terbentuk (bukan mikroorganismenya) akan menyebabkan gejala klinis (Naim 2004).

Karakteristik penyakit asal makanan yang bersifat intoksikasi adalah: 1. Toksin diproduksi oleh bakteri patogen yang tumbuh dalam makanan. 2. Toksin dapat tahan atau tidak tahan (labil) terhadap panas.

3. Menelan makanan yang mengandung toksin.

4. Gejala klinis yang ditimbulkan biasanya cepat, kurang lebih 30 menit setelah menyantap makanan tercemar.

5. Gejala klinis yang ditimbulkan bisa berbeda, enterotoksin akan menyebabkan gejala lambung, sedangkan neurotoksin akan menyebabkan gejala syaraf. 6. Tidak timbul gejala demam.

Mikroorganisme yang termasuk golongan ini adalah Staphylococus aureus, Clostridium. botulinum, Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Penicillium

viridatum, Penicillium patulum dan Claviceps purpurea (Ray 2001).

Selain kedua penyakit asal makanan tersebut di atas, Ray (2001) menambahkan adanya golongan yang ketiga yang disebut penyakit asal makanan yang bersifat toksikointoksikasi walaupun perbedaan tidak selalu jelas. Karakteristik penyakit asal makanan yang bersifat toksikoinfeksi adalah:

1. Membentuk spora, membutuhkan bakteri vegetatif dalam jumlah yang banyak sampai menimpulkan infeksi.

2. Sel vegetatif atau bentuk spora tidak memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan, tetapi bersporlasi dan mengeluarkan toksin.

3. Bakteri Gram negatif, sel hidup yang ditelan dalam jumlah yang sedang. 4. Bakteri Gram positif secara cepat memperbanyak diri di dalam saluran

pencernaan.

(36)

6. Toksin akan menyebabkan gejala gastro intestinal.

Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Vibrio cholerae, Escherichia coli enteropatogenik (Ray 2001).

Dosis Infektif

Untuk dapat menyebabkan penyakit, jumlah sel bakteri yang cukup harus dikonsumsi. Jumlah ini dikenal dengan dosis infektif. Dosis infektif bervariasi dari suatu organisme ke organisme lainnya dan dari satu orang kepada orang lainnya. Infeksi yang sukses menyerang orang atau hewan merupakan hasil interaksi dua faktor variabel, yaitu faktor virulensi patogen (kemampuannya untuk menyebabkan sakit) dan kepekaan individual. Makanan sebagai pembawa infeksi mungkin juga membantu mereduksi dosis infektif dengan proteksi patogen dan efek lokal asam lambung (Naim 2004).

Estimasi dosis infektif dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Estimasi Dosis Infektif

Bakteri Dosis Infektif Keterangan

Escherichia coli

(37)

Higiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya sehat atau baik untuk kesehatan. Tujuan higiene adalah untuk menjamin agar daging tetap aman dan layak untuk dikonsumsi manusia tanpa menimbulkan gangguan kesehatan (Lukman 2004b).

Higiene dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu higiene proses, higiene tempat dan sarana, serta higiene personal. Higiene proses bertujuan agar proses produksi tidak menimbulkan kontaminasi tambahan pada bahan pangan sedangkan higiene personal bertujuan adalah untuk menjamin bahwa orang yang berhubungan langsung atau tidak langsung melalui tubuhnya tidak mencemari bahan makanan, berprilaku dan bekerja sesuai aturan serta diharapkan pekerja yang sakit atau diduga sakit tidak ikut melakukan penanganan daging (Lukman 2004b). Sedangkan higiene tempat dan sarana bertujuan agar produk yang dihasilkan tidak mengandung jumlah mikroba yang banyak, tidak mengandung toksin dari mikroba, tidak mengandung residu bahan pembersih dan kimia, serta tidak mengandung bahan lain yang berbahaya bagi manusia (Lelieveld 2000).

Kepentingan pemanfaatan Higiene dalam rantai makana n adalah (a) melindungi dan menjaga kesehatan manusia (b) melindungi dan menjaga kesehatan hewan dan lingkungan (c) menjamin kebersihan (d) menghindari kerugian ekonomis (e) menjaga kesegaran dan keutuhan makanan serta (f) menghindari ketidakpuasan konsume n (Lukman 2004b).

Mikrobiologi Pencemar Daging

Daging dipotong dari hewan/unggas yang sehat dengan metode pemotongan yang baik dan higienis mengandung sedikit mikroorganisme (terutama di pernukaan daging). Microorganisme dalam daging yang sehat mungkin dapat ditemukan dalam limfonodus (Lukman 2004a).

(38)

• Isi usus: semakin banyak isi dalam usus, semakin besar invasi (oleh sebab itu, semakin besar invasi (oleh sebab itu, pemuasan selama 24 jam sebelum pemotongan sangat diperlukan).

• Kondisi fisiologis hewan: jika hewan stres, demam, sakit, maka invasi mikroorganisme ke dalam daging lebih mudah, akibat pengeluaran darah yang tidak sempurna dan pH akhir yang relatif tinggi(>6,2).

• Metode penyembelihan dan pengeluaran darah.

• Kecepatan pendinginan.

Pencemaran daging terjadi pada saat pemotongan. Sumber pencemaran antara lain: hewan (kulit, rambut/bulu, kuku, isi jeroan), pekerja (tangan, pakaian), peralatan (pisau, boks), air (pencuci, es), bangunan (lantai) dan lingkungan (udara). Jenis mikroorganisme yang sering diisolasi dari daging diantaranya:

Acinetobacter, Moraxella, Pseudomonas, Aeromonas, Alcaligenes, Micrococcus

( Lukman 2004a)

Jumlah Mikroba Pencemar

Jumlah bakteri atau mikroba pencemar berkisar 102 sampai 104 / cm2 tergantung faktor- faktor seperti kontaminasi lingkungan, proses produksi yang memenuhi syarat sanitasi higiene. Jumlah mikroba akan bertambah kalau dibiarkan pada kondisi suhu pertumbuhan yang sesuai, jumlahnya akan semakin bertambah banyak selama penyimpanan dan pemanasan selanjutnya. Jika jumlah bakteri bertambah menjadi 107per cm2 sampai 108 per cm2 mereka akan nampak dalam bentuk lendir, daging menjadi bau busuk dan rusak serta tidak cocok untuk dijual (Buckle 1985).

Indikator Bakteri Patogen

(39)

Bacillus aureus, Cl. botulinum, Cl. perfringens, dan berarti mikroorganisme tersebut dapat bertahan hidup dan berkembang dalam saluran pencernaan manusia, makanan hewan dan unggas (Ray 2001).

Penurunan kontaminasi feses pada karkas sapi selama proses pemotongan dan pengulitan dapat dipandang sebagai satu langkah penting dalam rangka menurunkan kasus kejadian foodborne illness. Keberadaan mikroba yang berasal dari feses pada makanan yang diperiksa biasanya akan diketemukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bakteri patogen dan keberadaan bakteri ini dapat dipakai sebagai bakteri indikator adanya kontaminasi langsung atau kontaminasi tidak langsung dari feses.

Kriteria yang ideal sebagai bakteri indikator adalah

1. Bakteri indikator lebih disukai yang mempunyai satu atau beberapa spesies. 2. Bakteri indikator harus berasal dari saluran pencernaan.

3. Bakteri indikator harus tidak patogen.

4. Bakteri indikator harus lebih banyak diketemukan pada kotoran dibandingkan bakteri patogen.

5. Bakteri indikator harus dapat dideteksi dengan teknik biologi molukuler agar dapat dideteksi lebih cepat.

6. Bakteri indikator harus dapat dideteksi dan dihitung walaupun terdapat bakteri lain dalam jumlah yang lebih besar.

7. Bakteri indikator harus dideteksi dalam waktu yang lebih singkat, mudah dan murah.

8. Bakteri indikator harus mempunyai pertumbuhan dan ketahanan yang sama pada makanan sebagai bakteri patogen.

9. Bakteri indikator tidak boleh mengalami sublethal injury ketika terpapar fisik dan kimiawi.

10. Bakteri indikator lebih disukai diketemukan bersamaan dengan bakteri patogen dalam makanan.

11. Bakteri indikator lebih disukai mempunyai korelasi dengan kemungkinan keberadaan bakteri patogen pada makanan.

(40)

namun ada beberapa bakteri yang dapat dipakai sebagai bakteri indikator, seperti

Coliform, E. coli, Enterobacter sp( Ray 2001).

Enterococus sp merupakan bakteri yang umum ditemukan pada saluran pencernaan hewan dan dapat digunakan sebagai bakteri indikator alternatif untuk mendeteksi kontaminasi feses pada karkas daging sapi. Bakteri ini umumnya lebih tahan terhadap dingin dibandingkan dengan E. coli atau Coliform, Enterococus sp mampu berkolonisasi pada habitat yang bukan tempat hidupnya seperti peralatan RPH, terdeteksinya bakteri ini pada peralatan RPH menunjukkan penanganan sanitasi belum berjalan dengan baik (Ingham dan Schmidt 2000).

Coliform

Istilah ”Coliform” tidak mempunyai nilai taksonomi, tetapi dapat mewakili satu grup spesies dari beberapa genus seperti Escherichia, Enterobacter, Klebsiela, Citrobacter, Aeromanas dan Serratia. Alasan utama dikelompokkan dalam satu grup adalah karena bakteri tersebut di atas mempunyai beberapa kesamaan seperti mereka semuanya berbentuk batang, Gram negatif, tidak membentuk spora, kebanyakan motil, fakultatif anaerob, dapat tumbuh dalam makanan pada pH 4,0 atau di bawahnya dan dalam kondisi aktivitas air (Aw) 0,92

atau di bawahnya, semua bakteri kelompok ini sensitif terhadap pemanasan yang rendah dan mati pada suhu pasturisasi (Ray 2001).

Coliform merupakan petunjuk adanya polusi kotoran (feses) bahaya terbesar sehubungan dengan air minum adalah bila air tersebut telah tercemar oleh bahan buangan atau kotoran manusia atau hewan berdarah panas ( Supardi dan Sukamto 1999). Termasuk Coliform antara lain: Escheria coli, Edwarsiella, Citrobacter, Klebsiella, Enterobacter, Hafnia, Serratia, Proteus, Arizona,

Yersinia, Shigella, Providentia, Pseudomonas dan lain- lain (Ray 2001).

Bakteri Coliform dapat dibedakan atas dua grup yaitu: 1) Coliform fecal, misalnya E. coli dan 2) Coliform non- fecal, misalnya E. aeroginosa. E. coli

merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, sedangkan

(41)

Escherichia coli

Escherchia coli umumnya merupakan flora normal saluran pencernaan manusia dan hewan. Sejak 1940 di Amerika Serikat telah ditemukan strain-strain

E. coli yang tidak merupakan flora normal saluran pencernaan. Strain tersebut dapat menyebabkan diare pada bayi. Saat ini strain E. coli yang menyebabkan diare dapat dikelompokkan dalam empat grup yaitu enteropathogenic ( EPEC),

enterotoxigenic (ETEC), enteroinvasive (EIEC), E. coli yang menghasilkan

verocytotoxin (VTEC). Istilah VTEC terdiri dari E. coli penghasil Shigatoxin

(STEC) dan E. coli penghasil Shiga-liketoxin( SLTEC). E. coli enterohemorrhagic (EHEC) adalah strain E. coli yang menyebabkan diare berdarah, EHEC merupakan bagian dari VTEC (Willshaw et al. 2000). Bakteri E. coli yang merupakan flora normal pada saluran pencernaan dapat berubah menjadi oportunis patogen bila hidup di luar usus, misalnya pada infeksi saluran kemih, infeksi luka dan mastitis. Termasuk basil Coliform, merupakan flora komensal yang paling banyak pada usus manusia dan hewan, hidup aerobik/fakultatif anerobik. Coliform dapat berubah menjadi oportunis patogen bila hidup di luar usus, menyebabkan infeksi saluran kemih, infeksi luka dan mastitis pada sapi (Supardi dan Sukamto 1999).

E. coli merupakan bakteri batang gram negatif, tidak berkapsul, umumnya mempunyai fimbria dan bersifat motil. Sel E. coli mempunyai ukuran panjang 2,0 – 6,0 µm dan lebar 1,1 – 1,5 µm, tersusun tunggal, berpasangan, dengan flagella peritikus. Bakteri ini mampu meragi laktosa denga n cepat sehingga pada agar Mc. Conkey dan Eosin Methylin Blue (EMB) membentuk koloni merah muda sampai tua dengan kilat logam yang spesifik, dan permukaan halus. Pada medium agar darah beberapa strain membentuk daerah hemolisis di sekeliling koloni. Diketahui bahwa E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, maka untuk mencegah pertumbuhan bakteri ini pada makanan, sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah (Supardi dan Sukamto 1999).

Staphylococus aureus

(42)

memperoduksi koagulase, dan dapat memfermentasi glukosa dan mannitol dengan memproduksi asam dalam keadaan anaerobik. Bakteri ini bersifat anaerobik sangat lamban. Sel dari bakteri ini bersifat gram positif, dan berbentuk bulat (kokus) berukuran diameter 0,5 – 1,5 um, tidak membentuk spora, katalase positif, dan biasanya sel-selnya terdapat dalam kelompok seperti buah anggur. Akan tetapi, juga mungkin terdapat secara terpisah (tunggal), membentuk pasangan atau dalam jumlah 4 (empat) sel (tetrad). Staphylococus aureus tahan terhadap lisis yang disebabkan oleh enzim lisozim, dan memproduksi enzim fosfatase dan deoksiribonuLKease (Supardi dan Sukamto 1999).

Staphylococus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran berselaput lendir dari tubuh manusia dan hewan seperti hidung, mulut, dan tenggorokan, dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kalenjar keringat, dan saluran usus. Selain dapat menyebabkan intoksikasi, Staphylococus aureus juga dapat menyebabkan bermacam- macam infeksi seperti jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia, dan mastitis pada manusia dan hewan (Supardi dan Sukamto 1999).

Salmonella

Di dunia sampai saat ini telah diidentifikasi serovar Salmonella sebanyak 2422 serovar, dari Salmonella enteritica teridentifikasi 5 (lima) subspesies dan 2402 serovar, sedangkan dari Salmonella bongori hanya 20 subserovar

(D’Aoust 2000).

Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis yang paling sering terjadi adalah gatroenteritis, beberapa spesies Salmonella juga dapat menimbulkan gejala penyakit lainnya, misalnya demam enterik seperti demam tifoid dan demam paratifoid, serta infeksi lokal. Salmonella merupakan salah satu genus dari

Entrobacteriaceae, berbentuk batang Gram negatif, anaerobik fakultatif dan aerogenik. Biasanya bersifat motil dan mempunyai flagella peritrikus, kecuali

(43)

membentuk H2S. Salmonella hidup secara anaerobik fakultatif, bakteri ini tidak

dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba- mikroba yang umum terdapat di dalam makanan misalnya bakteri-bakteri pembusuk, bakteri dari genus lainnya dalam tribus escherichieae, serta bakteri asam laktat. Oleh karena itu, pertumbuhan sangat terhambat dengan adanya bakteri-bakteri tersebut. Semakin tinggi jumlah Salmonella di dalam suatu makanan, semakin cepat timbulnya gejala infeksi pada orang yang menelan makanan tersebut. Makanan- makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella yaitu telur dan hasil olahannya, ikan, dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, serta susu dan hasil olahannya seperti es krim dan keju (Supardi dan Sukamto 1999).

Toksoplasmosis

Toksoplasmosis merupakan salah satu dari zoonosis yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia. Infeksi toksoplasmosis sering dijumpai, tetapi jarang menunjukkan gejala klinis. Dilaporkan bahwa kira-kira sepertiga dari seluruh penduduk dunia mempunyai antibodi terhadap penyakit ini. Prevalensi reaktor atau individu dengan seropositif yang dibuktikan dengan uji intradermal biasanya lebih tinggi pada daerah-daerah panas dan lembab daripada daerah tinggi dan kering. Angka ini juga berbeda sesuai dengan ketinggian daerah dari muka laut: makin rendah daerah itu makin tinggi angka kejadian penyakit (Acha dan Szyfres 1989).

(44)

jaringan secara lambat (endodiageni) dan merupakan infeksi kronis yang asimptomatik (Levine 1985). Kista mempunyai diameter 10 sampai 100 µm yang berisi beberapa ratus bradizoit yang dikelilingi oleh dinding yang elastis. Kista ini tidak berbahaya bagi hospes dan akan tetap ada selama hospesnya hidup (Murrell

et al. 1986).

Umumnya, bentuk kista lebih tahan terhadap keadaan lingkungan daripada tropozoit. Tropozoit akan dihancurkan oleh cairan pencernaan dalam beberapa menit, tetapi kista tidak. Dalam daging, kista akan tahan lama selama 68 hari pada suhu -4 0C. Kista akan mati setelah dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50 0C, pengeringan dan pembekuan menghasilkan akibat yang sama pada kista (Mc Culloch dan Remington dalam Soejoedono 2004).

Gambar 1 Daur hidup dari Toxoplasma gondii (Dubey (1972) dalam

(45)

Pada kambing dan domba gejala klinisnya subakut sampai kronis. Pada kambing yang bunting sering terjadi abortus, kelahiran prematur dan va ginitis. Janin yang dilahirkan menga lami ensafilitis, oedema subkutan, bahkan janinnya mati dalam kandungan dan tidak dapat keluar sehingga terjadi mumifikasi. Gejala akut biasanya berupa demam, abortus, kelahiran prematur, hidung mengeluarkan eksudat dan dapat berakhir dengan kematian (Iskandar et al. 1996).

(46)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kotamadya Jakarta Timur, dimulai dengan pengukuran suhu internal sate setengah matang dan matang dilanjutkan pengambilan sampel sate mentah, sate setengah matang dan matang. Pemeriksaan tingkat cemaran mikroba dilaksanakan di Laboratorium Kesmavet Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta mulai Pebruari sampai Maret 2006.

Bahan dan Alat

Bahan percobaan yang akan digunakan adalah sampel sate kambing yang berasal dari warung sate kambing yang ada di Jakarta Timur. Pengkuran suhu internal sate setengah matang dan matang menggunakan thermometer digital. Media yang digunakan adalah buffer pepton water (BPW) 1 %, plate count agar

(PCA), lauryl sulphate tryptose broth, brilliant green lactose bile broth (BGLBB) 2 %, violet red bile agar (VRBA), nutrient agar (NA), Escherichia coli broth

(ECB), urea agar (UA), lysine agar (LA), hektoen enteric agar (HEA), brilliant green agar (BGA), tetrathyonate brilliant green broth (TBB), baird parker agar

(BPA), brain heart infusion broth (BHIB), plasma kelinci.

Alat yang digunakan adalat pinset, gunting, pisau, plastik steril, gelas beaker, erlenmeyer steril, tabung reaksi beserta raknya, tabung durham, ose, cawan petri steril, pipet steril (1 ml, 10 ml), Quebec colony counter, inkubator, pembakar bunsen, refrigerator, freezer, stomacher, styrofoam, cooler box, spidol, kertas label, timbangan elektrik.

Metode Penelitian

(47)

1. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data hasil pengamatan sampel sate pada warung sate yang ada di Kotamadya Jakarta Timur serta hasil pemeriksaan Laboratorium Kesmavet. Sampel yang diambil terdiri daging sate mentah, daging sate setengah matang dan daging sate matang. Sampai dengan penelitian akan dilaksanakan telah terdata 59 warung sate kambing yang menetap dari 10 kecamatan di Jakarta Timur, dengan metode rancangan acak sederhana didapatkan 30 warung sate kambing sebagai objek penelitian.

2. Pengukuran Panas

Pengukuran tingkat panas terhadap sate hasil pembakaran dilakukan sesegera mungkin setelah pembakaran dan dilakukan terhadap dua perlakuan yaitu sate setengah matang dan sate matang sesuai kebiasaan masing- masing warung sate. Pengukuran dilakukan dengan menancapkan ujung termometer digital pada internal sate bagian atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini,

(48)

3. Pengukuran waktu

Pengukuran lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil pembakaran menjadi sate matang dan sate setengah matang, dan dihitung dalam ukuran menit.

4. Pengukuran Ketebalan Daging Sate

Tingkat panas hasil pembakaran sate tergantung dari jumlah bara yang tersedia, serta ketebalan daging sate ya ng akan dibakar, diukur dengan sentimeter.

5. Penilaian Tingkat Higiene Warung Sate

Untuk mengukur tingkat pelaksanaan higiene sanitasi didalam penyiapan daging, mulai daging kambing sampai di warung sate, proses pemotongan sampai daging siap dibakar, dilakukan penilaian dengan pengisian kuesioner dan pengecekan.

6. Pemeriksaan Cemaran Mikroba

Pemeriksaan cemaran mikroba bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pembakaran sate dapat membunuh bakteri yang terdapat dalam daging sate, pemeriksaan cemaran mikroba dilakukan di Laboratorium Kesmavet Dinas Peternakan Perikanan dan Kelauatan Provinsi DKI Jakarta.

7. Permintaan Sate

Data penunjang ini dibutuhkan untuk mengetahui omset warung sate yang menjadi objek penelitian serta untuk mengetahui seberapa banyak permintaan sate setengah matang

Metode Sampling

(49)

Ø Wilayah terpilih 1 (satu) Kotamadya di Provinsi DKI Jakarta yaitu Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan.

Ø Seluruh kecamatan yang ada di Jakarta Timur terpilih sebagai wilayah terkecil obyek sasaran pengambilan sampel.

Ø Dari setiap kecamatan dia mbil warung sate, setiap kelipatan 3 warung sate akan ditentukan 1(satu) warung sate terpilih dengan menggunakan metode acak sederhana.

Pengambilan sampel sate kambing dilakukan secara acak, dari sate yang sudah ditusuk dan disimpan pada lemari es ataupun berada pada show case

warung sate. Pengukuran tingkat panas dilakukan dengan termometer digital sesegera mungkin setelah selesai pembakaran dengan menusukan termometer digital menempel pada tusuk sate, dan dilakukan dengan menjaga sterilitas ujung thermometer. Pengambilan sampel dilakukan seaseptik mungkin, dengan berat sampel kira-kira 50 gram (3 tusuk sate) untuk setiap jenis sampel yang diambil dari warung sate terpilih. Sampel kemudian dimasukan kedalam kantong plastik steril dan diberi label kode sampel, warung sate, tanggal pengambilan, jam pengambilan. Sampel dimasukan kedalam stearofoam/cool box yang telah diisi es dan kemudian dibawa ke Laboratorium Kesmavet Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta.

Metode Pengujian Mikrobiologi

Pengujian sampel dilakukan di salah satu laboratorium terakreditasi yaitu di Laboratorium Kesmavet Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Sampel seberat 25 gram sate kemudian dihancurkan dengan stomacher

dan ditambahkan 225 ml buffer pepton water (BPW) 0,1%, kemudian dimasukan dalam stomacher untuk homogenisasi (pengenceran 10−1).

Metode yang dipergunakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner DKI Jakarta adalah berdasarkan SNI ( Standard Nasional Indonesia ) 19-2897-1992 tentang Cara Uji Cemaran Mikroba.

(50)

Metode yang digunakan yaitu:

Parameter Satuan Metode

Jumlah Total Bakteri CFU/g Total Plate Count (TPC)

Caliform MPN/g MPN (Most Probable Number)

Escherichia coli MPN/g MPN (Most Probable Number)

Staphylooccus aureus CFU/g Plate Count Agar (PCA)

Salmonella CFU/g Salmonella presumtif

Analisa Data

(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pembakaran Sate

Untuk mengetahui hal yang mempengaruhi tingkat panas hasil pembakaran sate pada masing- masing warung sate dalam penelitian ini dilakukan pengambilan data berupa ketebalan daging sate, jarak bara api dengan sate yang dipanggang, jenis kipas yang digunakan, jenis arang yang dipakai. Ketebalan rata-rata daging sate adalah 1,59 cm, jarak bara adalah 4,23 cm serta jenis kipas yang digunakan 17 (56,7%) warung sate mengerjakan dengan kipas tangan dan sisanya 13 (43,3%) warung sate memakai kipas angin listrik. Arang yang digunakan 10 (33%) warung sate menggunakan arang kayu dan 19 (63,3%) warung sate menggunakan arang batok kelapa dan sisanya 1 (satu) (3,3%) warung sate menggunakan arang kayu dan batok kelapa tergantung situasi.

Tingkat Panas

Sate Setengah Matang

Dari 30 warung sate yang diambil sebagai objek penelitian, hasil pengukuran panas internal sate setengah matang dibakar sesuai dengan kebiasaan masing- masing, didapatkan suhu yang terendah 50,8 0C dan tertinggi 77 0C. Tingkat panas hasil pembakaran sate dapat dibagi dalam 7 (tujuh) kelompok, dimulai 46 0-50 0C s/d kelompok 76 0- 80 0C dapat dilihat pada tabel 2.

(52)

Rata-rata tingkat panas pembakaran sate setengah matang adalah 61,89 0C dengan waktu tercepat 90 detik dan waktu terlama 310 detik, dengan waktu rata-rata waktu pembakaran adalah 2 menit 43 detik (163,7 detik). Berdasarkan hasil pemanasan sate setengah matang dan jika dibandingkan dengan hasil penelitian (Dubey 1990) dimana kista Toxoplasma gondii akan mati pada suhu 58 0C selama 9,5 menit dan suhu 61 0C selama 3,6 menit. Menurut Smith (1993), memasak daging sampai suhu internal mencapai 70 0C dapat mencegah terinfeksi Toxoplasma. Mengacu pada Smith (1993), maka 96,7% sate kambing setengah matang belum aman dikonsumsi ditinjau dari toxoplasmosis. Hal ini didasari hasil pemeriksaan serologis pada kambing dan domba yang diambil pada saat akan disembelih di rumah pemotongan hewan di DKI Jakarta pada tahun 1997 adalah 66,67% pada domba dan kambing 49,12% positif toxoplasmosis (DPDKI) 1998, 48,3% pada kambing dan 43,3% pada domba (Iskandar 1996).

Pengaruh pembakaran pada sate setengah matang adalah bentuknya terlihat lebih kecil dari besarnya sate mentah serta bagian luar sate terlihat berwarna merah coklat dan bagian dalamnya terlihat masih diketemukannya daging yang berwarna merah muda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini,

(53)

Permintaan sate setengah matang 0% sering, 83,3% jarang dan 16,7% tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan sate setengah matang masih dijumpai walaupun jarang dan berarti tidak setiap hari ada permintaan sate setengah matang.

Sate matang

Dari 30 warung sate ya ng dijadikan objek penelitian, hasil pengukuran panas internal sate matang yang dibakar sesuai dengan kebiasaan masing-masing warung sate didapatkan suhu terendah 64 0C dan suhu tertinggi 92,9

0

C, rata-rata tingkat panas dari 30 sampel sate matang adalah 77,31 °C dengan waktu tercepat 170 detik dan waktu terlama 430 detik, dengan waktu rata-rata lama pembakaran 5 menit (300,4 detik). Suhu hasil pembakaran sate matang dapat dikelompokkan dalam 7 kelompok dimulai dari suhu 600 – 65 0C sd. 910- 95 0C, kebanyakan terdapat pada kelompok 710 – 75 0C sebanyak 11 sampel (33,3%), dan kelompok 760 – 80 0C sebanyak tujuh sampel (24,4%) ;untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Kelompok Suhu Hasil Pembakaran Sate Matang

(54)

Gambar 4 Tampilan Sate Kambing Matang

Berdasarkan hasil pemanasan sate matang jika diband ingkan dengan hasil penelitian Dubey (1990) dimana kista Toxoplasma gondii akan mati pada suhu 58

0

C selama 9,5 menit atau suhu 61 0C selama 3,6 menit. Memasak daging sampai suhu internal mencapai 70 0C dapat mencegah infeksi toxoplasma (Smith 1993). Mengacu pada Smith(1993), 10% sate kambing matang masih belum aman dari toxoplasmosis.

Sanitasi Higiene

Dalam penelitian ini digunakan kuesioner untuk menjaring informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat cemaran mikroba dari sate mentah, sate setengah matang dan sate matang. Hal yang mempengaruhi tingkat cemaran mikroba adalah pelaksanaan atau penerapan praktek sanitasi dan higiene yang dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu higiene proses, higiene personal, dan higiene tempat dan sarana (Lukman 2004b).

(55)

Selain itu penyimpanan sate setelah ditusuk akan mempengaruhi kualitas sate. Hasil pengamatan dan pengolahan data kuisioner didapatkan 16 (53,3 %) warung sate dalam kond isi kurang, 9 (30%) warung sate dalam kondisi sedang dan 5 (16,7%) warung sate dalam kond isi baik. Dari 30 warung sate, hanya dua warung sate yang melakukan pemotongan sendiri, selebihnya membeli di pasar atau diantar oleh pedagang daging kambing. Transportasi daging kambing dari RPH atau TPH umumnya dilakukan dengan meletakan daging kambing pada bagasi motor yang umumnya terbuat dari terpal, sedangkan membawa daging dari pasar ke warung sate umumnya menggunakan tas plastik. Kebanyakan warung sate masih mencampur pemotongan daging dengan jeroan dengan tujuan efisiesi waktu, sedangkan pisau dan talenannya tidak dibersihkan terlebih dahulu.

Higiene personal meliputi kebersihan pakaian pedagang yang dipakai dalam proses pemotongan dan penusukan daging, pencucian tangan, pengetahuan dan kesadaran mengenai penyakit yang dapat ditularkan dari bahan makanan, pengecekan kesehatan serta kondisi kebersihan pedagang seperti kebersihan kuku. Hasil pengamatan dan pengolahan data kuisioner didapatkan 1 (satu)(3,3%) warung sate dalam kondisi kurang, 15 (50%) warung sate dalam kondisi sedang dan 16 (53,3%) warung sate dalam kondisi baik. Umumnya para pedagang sate sudah mnggunakan baju yang bersih dan rapih, kuku jari tangannya pendek, dan selalu mencuci tangan sebelum menangani daging.

(56)

Tingkat Cemaran Mikroba

Sate Mentah

Hasil pemeriksaan tingkat cemaran mikroba pada sampel sate kambing mentah yang diambil dari 30 warung sate yang terpilih dibandingkan dengan SNI No. 01-6366-2500 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan (BSN 2000) dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini:

Tabel 4 Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah yang diambil dari Warung Sate

Ternyata 100% sampel sate mentah tidak memenuhi syarat SNI untuk TPC

(total plate count) atau total cemaran mikroba, 93,3% sampel tidak memenuhi standar SNI untuk Coliform, 3,3% untuk E. coli dan 3,3 % untuk Salmonella, untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 5 di bawah ini,

TPC

(57)

Tingkat pencemaran mikroba dapat dilihat dengan membandingkan jumlah mikroba hasil pemeriksaan sampel dengan Standar Batas Maksimum Cemaran Mikroba (SNI 01-6366-2000), sehingga diperoleh nilai persentase cemaran diatas SNI atau dibawah SNI. Persentase jumlah total mikroba pada daging sate yang diteliti dan melebihi diatas SNI yaitu 100% ha l ini menunjukan secara umum bahwa faktor yang mempengaruhi sanitasi higiene belum diterapkan secara benar, dimulai dari proses pemotongan di RPH, transport daging kambing dari RPH ke pasar dan dilanjutkan dari pasar ke warung sate serta proses penyimpanan daging sate di warung sate yang mencampurkan pemotongan daging dan jeroan pada saat yang bersamaan. Persentase Coliform yang mencapai 93,7 % diatas SNI menunjukan adanya cemaran dari sumber air yang tercemar karena Coliform adalah mikroorganisame indikator. Mikroorganisme Coliform merupakan petunjuk adanya polusi kotoran (feses) baik dari kotoran manusia ataupun kotoran hewan berdarah panas, dan menunjukkan sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu dan lainnya (Supardi dan Sukamto 1999). Adanya Salmonella, kemungkinan terjadinya kontaminasi dari feses kambing ataupun dari unggas. Kejadian 0% pada Staphylococcus aureus menunjukan higiene personal telah berjalan dengan baik hal ini terlihat dari tingkat cemaran Sthapylococcus aureus 0% di atas SNI.

Hasil penghitungan rata-rata jumlah bakteri dari sate mentah adalah TPC 6,7x107 CFU pergram, Coliform 2100 MPN pergram, E. coli 83 MPN pergram,

Staphylococus aureus 9 CFU pergram, Salmonella positif diketemukan dalam 25 gram sampel. Berdasarkan SNI No. 01-6366-2500 maka daging sate mentah tidak layak untuk dibakar sebagai bahan baku sate.

Sate Setengah Matang

(58)

Tabel 4 Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang yang

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini,

TPC %

Gambar 6 Grafik Perbandingan Tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang

(59)

Hasil penghitungan rata-rata jumlah bakteri dari sate setengah matang adalah TPC 8,4x106 CFU pergram, Coliform 1324 MPN pergram, E. coli 202 MPN pergram, Staphylococus aureus 9 CFU pergram, Salmonella positif diketemukan dalam 25 gram sampel. Hasil perhitungan rata-rata jumlah bakteri di atas, bila dibandingkan dengan dosis infektif dan diketemukannya Salmonella

maka dapat dinyatakan mengkonsumsi sate setengah matang kurang aman.

Sate Matang

Rata-rata suhu pembakaran sate matang adalah 77,3 0C dengan lama pembakaran rata-rata 5 menit. Hasil proses pembakaran sate matang ternyata masih menyisakan tingkat total cemaran mikroba yang diatas SNI yaitu TPC sebanyak 11 (36,7%) sampel, Coliform 5 (16,7 %) sampel serta E. coli 2 (dua) sampel (6,7 %), dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini,

Tabel 5 Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Matang yang diambil dari Warung Sate

Jumlah Mikroba Jumlah Mikroba

TPC Coliform E coli S aureus Salmonella

%Dibawah SNI 63,3 83,3 93,3 100 100

%Diatas SNI 36,7 16,7 6,7 0 0

Dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini

TPC

Gambar

Tabel 1   Estimasi Dosis Infektif
Gambar 1 Daur  hidup dari Toxoplasma gondii (Dubey (1972) dalam
Gambar 2  Tampilan Pengukuran Panas Sate Kambing
Tabel 2   Kelompok Suhu Hasil Pembakaran Sate Setengah Matang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan ini diyakini disebabkan oleh perbedaan jumlah cacing dewasa yang digunakan sebagai sumber untuk memperoleh telur, dimana pada penelitian Lalchhandama

Analisa Kinerja Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Dan Kemiskinan: Pendekatan Analisis Jalur (Studi Pada 29 Kabupaten Dan 9 Kota Di Propinsi Jawa Timur Periode

Peran administrasi publik dalam konteks demikian secara imperatif mereposisikan dirinya sebagai governance, yang semula menjadi instrumen negara menjadi instrumen

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat, dan kasih karunia yang diberikan kepada penulis, dari awal hingga selesainya proses

Perhitungan laju sedimentasi di dalam waduk dihitung berdasarkan hasil sedimen yang didapat pada pengukuran tersebut.. Perhitungan sedimen dan laju sedimentasi waduk dapat

[r]

Hal tersebut terlihat dari membandingkan peta pada Gambar 4.2, Gambar 4.3, dan Gambar 4.4, yaitu kabupaten dan kota yang perubahan IMRnya tahun 2012- 2013 di atas rata-rata

Konservasi air tanah menurut Danaryanto,dkk (2005) adalah upaya melindungi dan memelihara keberadaan, kondisi dan lingkungan air tanah guna