• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEAMANAN MENGKONSUMSI SATE KAMBING

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Estimasi Dosis Infektif ……… 14 2. Kelompok Suhu Hasil Pembakaran Sate Setengah Matang ... 29 3. Kelompok Suhu Hasil Pembakaran Sate Matang ... 31 4. Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah ... 34 5. Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang ... 36 6. Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Matang ... 37

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Daur Hidup Toxoplasma gondii ... 22 2. Tampilan Pengukuran Panas Sate Kambing ………. 25 3. Tampilan Sate Kambing Setengah Matang ……….. 30 4. Tampilan Sate Kambing Matang ……….. 32

5. Grafik Perbandingan tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah ... 34 6. Grafik Perbandingan tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang .. 36 7. Grafik Perbandingan tingkat Cemaran Mikroba Sate Matang ... 37

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging dikategorikan sebagai bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) dan berpotensi mengandung bahaya (potentialy harzardous food). Pangan asal hewan memiliki faktor- faktor yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme, karena kandungan gizi yang baik, terutama kandungan protein yang relatif tinggi, memiliki pH yang mendekati netral dan memiliki aktifitas air ( aw ) di atas 0,85 ( Lukman 2004b).

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (PEMRI 1996).

Sate adalah irisan daging kecil-kecil yang dicucuk dan dipanggang dan diberi bumbu kacang atau kecap (DEPDIKBUD 1999). Sedangkan yang dikenal sebagai sate kambing adalah irisan kecil-kecil daging kambing atau daging domba yang dicucuk dan dipanggang dan diberi bumbu kacang atau kecap. Sampel sate kambing dalam penelitian ini adalah sate yang telah dibakar tetapi tidak diberi bumbu kacang atau kecap.

Sate kambing merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang banyak disukai oleh masyarakat luas karena umumnya mempunyai rasa yang khas. Berdasarkan daerah dikenal sate padang, sate tegal, sate betawi, sate solo dan lainnya. Sate ternyata tidak hanya dikenal di Indonesia, beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam memiliki kekhasan tersendiri dengan masakan satenya (Anonim 2006).

Berdasarkan laporan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta tahun 2005 perbandingan jumlah domba dan kambing yang dipotong di rumah pemotongan hewan (RPH) atau tempat pemotongan hewan (TPH) hampir seimbang. Hal ini terjadi pula di pasar daging walaupun daging domba yang dijual, tetapi pedagang daging menyebutnya sebagai daging kambing.

Konsumsi sate kambing di Kotamadya Jakarta Timur berdasarkan laporan Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Timur kurang lebih 3500 kg perhari dan hampir sebagian besar pemotongan kambing atau domba ditujukan untuk pembuatan sate (SDPPJT 2005).

Warung sate umumnya usaha tradisional dimana umumnya daging sate dipanaskan dengan menggunakan bara yang berasal dari arang batok kelapa atau arang kayu. Pembakaran dilakukan secara manual dan kematangan umumnya diukur hanya berdasarkan perasaan atau pengalamannya dalam membakar sate.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari pengaruh pemanasan terhadap keamanan mengkonsumsi sate ditinjau dari tingkat suhu internal daging dilanjutkan dangan memeriksa jumlah cemaran mikroba pada daging sate yang sudah dibakar setengah matang dan matang sesuai dengan kebiasaan pada masing- masing warung sate.

Sejak lama telah diketahui bahwa pengambilan sampel mikrobiologi permukaan daging dengan cara pengirisan jaringan akan diketemukan jumlah bakteri yang lebih banyak jika dibandingkan dengan cara swab. Pengambilan sampel dengan cara pengirisan hanya bisa dilakukan di laboratorium dan sulit dilakukan di lapangan atau tempat komersial. Kondisi permukaan daging, penanganan produk, keadaan mikroflora akan mempengaruhi jumlah bakteri yang diketemukan pada berbagai macam teknik sampling (Gill et al. 2001).

Atas dasar pertimbangan di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Sate adalah makanan tradisional yang banyak digemari oleh masyarakat luas tetapi belum ada standar pemanasannya.

2. Konsumsi daging sate di Kotamadya Jakarta Timur diperkirakan lebih dari 3500 kg setiap hari (SDPPJT 2005).

3. Adanya penyakit zoonosa yang dapat ditularkan kepada manusia melalui mengkonsumsi daging yang kurang matang.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tingkat keamanan mengkonsumsi sate kambing di Kotamadya Jakarta Timur ditinjau dari jumlah kuman Total Plate Count, Coliform, E. coli, Staphylococcus aureus, Salmonella dan Toxoplasma gondii.

2. Untuk mengetahui hubungan tingkat keamanan mengkonsumsi sate kambing dengan pembakaran sate kambing.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi tentang : 1. Lamanya pembakaran sate kambing.

2. Suhu internal daging sate kambing setelah selesai pembakaran.

3. Tingkat cemaran mikroba daging sate kambing setelah selesai pembakaran.

Hipotesa Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini :

Ho : Panas hasil pembakaran daging sate kambing yang matang dapat untuk membunuh mikroorganisme yang ada dalam daging sate kambing.

H1 : Panas hasil pembakaran daging sate setengah matang tidak dapat untuk

TINJAUAN PUSTAKA Daging dan Susunan Daging

Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahannya yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno 1992). Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue) (Muchtadi dan Sugiyono 1989).

Jaringan otot merupakan komponen yang terbanyak dalam karkas, yaitu 35 – 65% dari berat karkas atau sampai 35 – 40% dari berat hewan hidup. Otot ini melekat pada kerangka, tetapi ada yang langsung melekat pada ligamen, tulang rawan, dan kulit. Jaringan otot terdiri dari jaringan bergaris melintang, jaringan otot licin, jaringan otot khusus. Jaringan otot melintang yaitu jaringan otot yang langsung menempel pada tulang. Jaringan otot licin yaitu jaringan otot yang terdapat pada dinding alat-alat jeroan. Sedangkan jaringan otot khusus yaitu jaringan bergaris melintang yang khusus terdapat pada dinding jantung. Jaringan lemak yang terdapat pada daging dibedakan menurut lokasinya, yaitu lemak dibawah kulit, lemak intramuskular, dan lemak intraselulair. Jaringan lemak dibawah kulit terletak dipermukaan luar jaringan otot, langsung di bawah permukaan kulit, jaringan lemak intermuskular terletak diantara jaringan otot. Jaringan intramuskular yaitu jaringan lemak di dalam otot diantara serabut-serabut otot;sedangkan jaringan lemak intraselulair yaitu jaringan lemak di dalam sel. Jaringan ikat mempunyai fungsi sebagai pengikat bagian-bagian daging serta mempertautkannya ke tulang. Jaringan ikat yang penting adalah serabut kolagen, serabut elastin, dan serabut retikulin. Serabut kolagen terutama mengandung protein kolagen yang berwarna putih dan bersifat terhidrolisa ole h panas, banyak terdapat pada tendon (jaringan ikat yang menghubungkan daging dan tulang). Serabut elastin yang komponen utamanya adalah protein elastin, berwarna kuning, tidak dapat terdegradasi oleh panas, tetapi kehadirannya tidak mempengaruhi kualitas daging karena biasanya hanya ada dalam jumlah yang kecil. Adapun serabut retikulin, banyak mengandung protein retikulin tetapi tidak terhidrolisa oleh panas, banyak terdapat dalam dinding sel.

Unit struktural jaringan otot adalah jaringan sel daging, atau yang biasa disebut serabut otot. Serabut otot terdiri dari miofibril- miofibril. Miofibril tersebut dikelilingi oleh sarkoplasma (sitoplasma) dan dilindungi oleh sarkolema (dinding sel). Selain miofibril dalam sarkoplasma juga terdapat inti sel, mitokondria, retikulum sarkoplasma, konpleks golgi, glikogen, dan lemak. Miofibril terdiri dari serabut-serabut yang lebih halus yang disebut miofilamen yang terdiri dari dua macam protein yaitu filamen aktin yang tipis dan filamen miosin yang tebal. Kedua filamen tersebut terkenal sebagi unit kontraktil yang berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi otot ( Muchtadi dan Sugiyono 1989).

Daging domba mempunyai ciri-ciri daging terdiri dari serat-serat halus yang sangat rapat jaringannya, warna daging merah muda, diantara otot-otot dan di bawah kulit terdapat banyak lemak, daging domba jantan hampir sama baunya dengan kambing jantan (prengus). Sedangkan ciri-ciri daging kambing adalah daging berwarna lebih pucat dibandingkan dengan daging domba, lemaknya menyerupai le mak domba, bila kambing dikuliti maka rambut-rambut di bawah kulit akan melekat, dagingnya berbau prengus (Saptoningsih 2000). Aroma kambing (goaty) pada daging kambing dan domba berkorelasi dengan adanya asam 4- metiloktanoat. Sedangkan, konsentrasi asam 4- metiloktanoat pada daging kambing lebih tinggi daripada daging domba (Naundea 1981).

Keamanan Daging Kambing

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (PEMRI 1996).

Keamanan daging dimulai dari peternakan sampai ke meja makan, dengan melalui beberapa mata rantai yang membutuhkan penanganan yang baik seperti di peternakan dilakukan secara good farming practice, pengobatan hewan dilakukan secara good veterinary practice, transportasi dilakukan secara good transportation practice, dan di RPH dilakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem, serta dalam pengolahan dilakukan sesuai dengan petunjuk goodmanufacturing practice

Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum hewan dipotong dan bertujuan untuk :

(a) Memilih hewan yang telah cukup beristirahat sehingga dagingnya aman dan layak untuk konsumsi manusia,

(b) Memilih hewan yang sehat dan pemeriksaan klinis secara terinci hewan yang berpenyakit, diduga berpenyakit atau yang dianggap mempunyai kelainan, serta melakukan isolasi,

(c) Mencegah kontaminasi pada tempat pengulitan yang disebabkan oleh hewan yang sangat kotor,

(d) Mencegah kontaminasi pada gedung, perlengkapan dan karyawan dari hewan yang menderita penyakit yang dapat menular,

(e) Mendapatkan informasi yang mungkin diperlukan untuk pemeriksaan postmortem, diagnosa dan keputusan tentang karkas dan jeroan.

Pemeriksaan postmortem dilakukan segera setelah hewan dipotong dengan tujuan antara lain:

(a) Mengenali kelainan atau abnormalitas pada daging, isi dada, dan isi perut. (b) Menjamin bahwa proses pemotongan telah dilaksanakan dengan benar. (c) Menjamin kualitas dan keamanan daging.

(d) Meneguhkan diagnosa pemeriksaan antemortem (DPPK-DKI 2005). Pemeriksaan antemortem dan postmortem, tidak bisa mendeteksi parasit yang sudah ada di dalam otot dan hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium.

Pengaruh Pembakaran Terhadap Daging

Berbagai bentuk pemasakan seperti perebusan, penggorengan dan pemanggangan, sejak dahulu kala sudah dipakai untuk meningkatkan kelezatan masakan, kemudahan mengunyah dan keamanan makanan. Sampai sekarang pemanasan tetap merupakan metode yang paling mudah dan efektif untuk memastikan bahwa makanan bebas dari mikroorganisme patogen. Kegagalan dalam memberikan panas yang tepat seringkali diidentifikasi sebagai faktor penyebab kejadian luar biasa dari foodborne illness (Adams 2004).

Pemanggangan daging hanya cocok untuk potongan-potongan daging seperti steak, potongan daging yang kecil, sebab panas yang dihasilkan pemanggangan biasanya dalam waktu singkat yang tidak cukup untuk mencapai jaringan yang lebih dalam. Pengaruh pemasakan terhadap daging dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu

1. Penampilan

Daging yang dimasak biasanya akan berwarna kecokelatan, dimana grup asam amino dalam protein yang ada dalam otot akan bereaksi dengan cadangan gula dalam daging seperti glukosa. Warna kecokelatan terjadi pada suhu yang tinggi (kurang lebih 90 0C) seperti pemanggangan atau perebusan. Warna daging bagian dalam dan suhu daging biasanya berhubungan dengan berbagai macam tingkatan. Penghilangan warna kemerahan akibat meningkatnya suhu disebabkan denaturasi dari pigmen, warna daging yang dimasak berwarna kecokelatan dari metmioglobin, hal ini disebabkan terjadinya oksidasi dan denaturasi. Tekstur yang terlihat akibat pemasakan adalah mendekati lunak , kenyal, dan lembut. Jaringan lemak tampak lunak dan jus daging yang hilang akan menyebabkan daging terlihat kering (Aberle et al. 2001).

2. Perubahan Struktur

Pada saat protein dari otot dipanaskan, protein akan kehilangan struktur aslinya dan akan terjadi perubahan konfigurasi. Setiap protein mengalami perubahan yang spesifik, denaturasi (perubahan struktur yang disebabkan oleh nonproteolitik). Kesemua ini akan diikuti dengan campuran dan penggumpalan molekul protein (koagulasi), kondisi ini menunjukkan telah hilangnya kelarutan protein. Koagulasi protein miofibril dapat diamati dengan adanya perubahan secara fisik pada jaringan. Struktur mikro dari serabut otot akibat pemanasan adalah terjadinya disintegrasi dari filamen otot, serabut otot akan mengalami kekakuan, fenomena ini disebut dengan pengerasan protein (hardening protein). Koagulasi dan hilangnya kelarutan protein pada sebagian besar protein serabut otot akibat pemanasan, dilain pihak kolagen yang mengelilingi jaringan ikat akan meningkatkan kelarutan protein. Perubahan yang pertama kali adalah terjadinya pengerutan kolagen menjadi sepertiga dari panjang semula, hal ini terjadi pada pemanasan suhu 56 0C, dan ketika

dipanaskan pada suhu 61 0C sampai 62 0C akan terjadi pengerutan kolagen menjadi setengah panjang semula, dan inilah yang disebut collagen shrinkage

(pengerutan kolagen). Pada pemanasan la njutan dan dibarengi dengan adanya kelembaban, kolagen akan terhidrolisa dan membentuk gelatin pda saat proses pendinginan, akibatnya kolagen menjadi lebih lunak. Protein jaringan ikat elastin tidak sensitif terhadap panas, walaupun telah dipanaskan dengan suhu yang cukup tinggi, protein ini akan tetap bertahan. Beberapa perubahan lain akibat pemanasan protein otot, akan mempengaruhi struktur yang lebih kecil seperti adanya perubahan pH, menurunnya daya ikat aktifitas ion, dan menurunnya aktifitas enzim. Selain lemak akan berpindah tempat akibat meningkatnya suhu otot yang diwarnai meleleh dan mencairnya lemak serta membentuk emulsi dengan protein yang larut (Aberle et al. 2001).

3. Keempukan

Pemanasan akan menyebabkan daging menjadi lebih empuk dan menjadi lebih kenyal. Keempukan daging akibat terjadinya pemendekan kolagen, pemanasan sampai dengan suhu 56 0C sampai 58 0C proses keempukan daging relatif lambat tetapi ketika suhu ditingkatkan menjadi 62 0C sampai 64 0C pengerutan kolagen akan semakin cepat dan diikuti dengan kekenyalan dan pengerasan protein. Peningkatan suhu akan menyebabkan terhidrolisanya kolagen dan hal inilah yang menyebabkan keempukan daging (Aberle et al. 2001).

4. Jus Daging

Jus daging memegang peranan dalam hal kelezatan daging, karena jus daging berisi banyak komponen rasa dan jus daging juga akan membantu memecah dan melembutkan daging ketika dalam proses pengunyahan. Jus daging umumnya terdiri dari lemak dan cairan yang berada dalam serabut otot. Lemak dalam serabut otot (marbling) akan meningkatkan jus daging secara tidak langsung sebab selama pemasakan lemak akan lumer dan mencair serta pindah tempat (Aberle et al. 2001). Lemak akan meleleh ketika dipanaskan, kebanyakan lemak akan meleleh pada suhu 300 C sampai 400 C. Protein akan berkoagulasi atau menggumpal ketika diberi panas, protein dalam jaringan otot akan berkoagulasi dan hal ini ditunjukkan dengan adanya pengerutan ukuran daging (Gaman dan Sherrington 1993). Hilangnya jus daging akibat

pemanasan akan menyebabkan menurunnya cita rasa dan karakteristik daging yang khas serta berdampak terhadap penerimaan konsumen (Aberle et al.

2001).

5. Flavor dan Aroma

Pada saat pemanasan atau pemasakan, bahan-bahan tertentu akan mudah menguap dan hal inilah yang berkontribusi terhadap fla vor dan aroma; beberapa macam jenis bahan yang mudah menguap seperti molekul dari sulfur dan molekul yang tersusun dari nitrogen serta hidrokarbon, aldehid, keton, alkohol, dan asam. Pengaruh pemanasan adalah sangat unik, karena tergantung dari kondisi dan cara pemanasan atau pemasakan, bahkan jenis pemasakan dapat diidentifikasi hanya dari flavor dan aroma dari produk yang dimasak. Aroma berasal dari lemak yang dilepaskan selama proses pemasakan, serta aroma dapat dibedakan apakah berasal dari babi, domba, sapi, atau unggas. Pemanasan dengan pemanasan yang kering seperti pemanggangan akan mengeluarkan flavor tertentu sedangkan pemasakan dengan memakai air sebagai media penghantar panas dan dengan tekanan udara tertentu akan menyebabkan perubahan flavor yang khas dalam jaringan daging (Aberle et al. 2001). Intensitas aroma khas daging kambing yang dipanggang di atas bara arang menjadi lemah dan aroma yang dominan adalah aroma harum daging panggang. Aroma harum daging panggang berhubungan dengan reaksi Maillard, yaitu reaksi kimiawi dengan bantuan panas antara asam amino dengan gugus karbonil dalam daging yang menghasilkan komponen aromatik (Bahar 1994 dan Gaman 1990).

Gaman dan Sherrington (1990) menambahkan pengaruh pemasakan selain menurunkan keempukkan daging juga akan membuat daging berkerut yang diakibatkan hilangnya cairan (jus daging), kolagen pada jaringan ikat akan berubah bentuk menjadi gelatin hal inilah yang menyebabkan daging menjadi lebih lunak, selain itu pemanasan akan menyebabkan beberapa bahan nutrisi akan hilang seperti vitamin B yang larut dalam air.

Pengaruh Pembakaran Terhadap Mikroorganisme

Pemasakan makanan merupakan langkah penting untuk mendapatkan makanan secara mikrobiologi lebih aman. Rekomendasi memasak daging ayam, daging babi adalah dengan memasak daging tersebut sampai warna daging menjadi keabu-abuan atau kecokelatan yang menunjukkan suhu sudah mencapai 74 0C. Pemasakan terhadap produk-produk yang perlu mendapatkan perhatian khusus seperti pemasakan daging sapi dan daging domba karena kedua bahan makanan tersebut sering dikonsumsi dalam kondisi setengah matang (Kotula KL dan Kotula AW 2001).

USDA (United State Departement of Agriculture) telah mensyaratkan pemasakan daging sapi setengah matang dalam rangka mengkontrol Salmonella Sp adalah suhu 54,4 0C selama 121 menit, 60,0 0C selama 12 menit, 71,1 0C selama 0,12 menit. Waktu tersebut sesuai dengan anjuran Institut Daging Amerika Serikat (American Meat Institut) yaitu 130 0F untuk daging sapi kurang matang (very rare beef), 150 0F untuk daging sapi setengah matang (medium beef), 1600F untuk daging sapi matang (well done beef) (Kotula KL dan Kotula AW 2001).

Pembakaran akan dapat merusak atau mematikan bakteri yang vegetatif dibagian luar daging tetapi bakteri yang terdapat pada bagian dalam daging kemungkinan belum dapat dimatikan dengan pemasakan terutama dengan cara pemanggangan. Lembaga Advokasi Spesifikasi Mikrobiologi untuk Pangan (US Nation Advisary Committe on the Microbiological Specification for Foods) merekomendasikan dalam menonaktifkan E. Coli O157:H7 atau Salmonella sp

adalah dengan memasak daging dengan suhu 60 0C selama 8,34 menit, 62 0C selama 2,11 menit, 65,6 0C selama 0,53 menit atau 68,3 0C selama 0,13 detik.

Buck et al. dalam Kotula KL dan Kotula AW melaporkan, daging dengan ketebalan 1,7 cm harus dipanggang selama 6 menit pada setiap sisinya pada suhu 137 0C agar dapat mengurangi bakteri aeropilik dari jumlah 105 - 108 pergram daging menjadi 102 pergram ; kejadian tersebut hampir sama pada bakteri yang memfermentasi laktosa dan E. Coli. Sedangkan Coliform dapat dikurangi sampai 1Log10 dimana dimulai pada jumlah awal 5Log10 pada 85 gram daging dengan

ketebalan 1,3 cm pada pemanggangan 140 0C selama 2,5 menit pada setiap sisinya, atau 149 0C selama 1 menit pada setiap sisinya. Bakteri psikotropik lebih

sensitif terhadap panas jika dibandingkan dengan bakteri mesopilik (Kotula KL dan Kotula AW 2001).

Penyakit antraks yang disebut juga sebagai radang limpa, radang kura, splenik fever adalah zoonosa yang akut, umumnya bersifat sepsis dan fatal. Penyebab penyakit ini adalah Bacillus antracis yang berbentuk batang dengan ujung persegi dan panjang, berpasang-pasangan atau berantai. Bakteri ini bersifat aerob, Gram positif, tidak motil, berkapsul, tahan asam dan membentuk spora. Spora antraks akan terbentuk bila terpapar oksigen yang berlebihan yang dapat bertahan dilingkungannya selama 25 sampai 30 tahun. Selain itu penyebab bakteri ini tahan terhadap pembekuan cepat pada suhu – 72 0C, tahan desinfeksi dan panas (Soejoedono 2004).

Dubey et al. (1990) melakukan penelitian tentang pengaruh pemanasan terhadap kista Toxoplasma gondii pada daging babi yang sudah dihomogenkan yang hasilnya kista Toxoplasma gondii tahan terhadap pemanasan dengan suhu 52

0

C selama 9,5 menit tetapi akan mati pada suhu 58 0C selama 9,5 menit atau pada suhu 61 0C selama 3,6 menit sedangkan pada suhu 64 0C selama 3 menit kista masih tetap hidup. Akhirnya Smith (1993) menyimpulkan bahwa memasak daging sampai suhu internal daging 70 0C akan dapat mencegah infeksi toksoplasma. Pada tahun 1996, Iskandar melakukan studi toksoplasmosis pada domba dan kambing di RPH yang ada di Jakarta hasilnya terdeteksi 48,3% kambing dan domba 43,3% positif terinfeksi toksoplasmosis secara serologis. Sedangkan hasil penyid ikan oleh Dinas Peternakan Propinsi DKI Jakarta pada tahun 1998 mendapatkan hasil 66,67% domba dan 49,12% kambing yang akan dipotong di RPH positif terinfeksi toksoplasmosis secara serologis. Pada tahun 1998, Iskandar telah berhasil mengisolasi Toxoplasma gondii dari otot diafragma kambing dan domba yang mempunyai titer serologis yang tinggi terhadap

Toxoplasma gondii.

Kista Toxoplasma gondii yang ada dalam jaringan dapat terus ada sepanjang individu itu hidup, dan sampai saat ini belum ada obat yang dapat membunuh bradyzoit yang ada dalam jaringan. Kista Toxoplasma gondii dalam otot atau jaringan dapat berisi ratusan atau bahkan ribuan bradyzoit. Kista yang berisi bradyzoit jika termakan oleh manusia atau karnivora yang lain di dalam

tubuhnya, bradyzoit akan berubah menjadi tachyzoit yang akan dapat menginfeksi manusia atau karnivora (Smith 1993).

Penyakit Asal Makanan

Istilah penyakit asal makanan (food illness atau foodborne disease) merupakan istilah yang saat ini secara umum lebih disukai untuk digunakan. Penyakit asal makanan dapat didefinisikan sebagai: ”Setiap penyakit yang bersifat infeksius atau keracunan yang disebabkan atau diduga disebabkan oleh konsumsi makanan atau air” (Naim 2004).

Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit asal makanan menurut Naim (2004) dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu Infeksi dan Intoksidasi, sedangkan Ray (2001) menambahkan dengan kelompok Toksikoinfeksi.

Penyakit asal makanan yang bersifat infeksi terjadi bila bakteri hidup termakan bersama makanan dalam jumlah yang hidup dan untuk beberapa bakteri dapat bertahan hidup terhadap keasaman lambung yang merupakan salah satu .barrier protektif tubuh. Bakteri yang bertahan hidup ini, kemudian memasuki usus halus tempat dimana bakteri ini akan bermultiplikasi dan menyebabkan timbulnya gejala klinis. Infeksi dapat bersifat invasif atau non- invasif, pada infeksi non- invasif, mikroorganisme akan menempel pada permukaan usus atau sel epitil kemudian bermultiplikasi dan berkolonisasi di permukaan usus, sedangkan infeksi yang bersifat invasif keberadaanya tidak terbatas pada lumen usus tetapi dapat juga berpenetrasi menembus sel usus dan dapat menyebar ke seluruh tubuh (Naim 2004).

Karakteristik mikroorganisme penyebab penyakit asal makanan yang bersifat infektif adalah:

1. Sel hidup dari bakteri patogen harus dikonsumsi melalui makanan.

2. Sel yang bertahan dari asam lambung akan mempenetrasi sel epitil usus, dan memperbanyak diri.

3. Level dosis agar dapat menyebabkan infeksi adalah sangat besar. 4. Gejala klinis terjadi setelah 24 jam.

Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Salmonella typhi, Salmonella

Dokumen terkait