• Tidak ada hasil yang ditemukan

Key words : political cartoons, language of expression

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Key words : political cartoons, language of expression"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN BAHASA UNGKAP DALAM KARTUN POLITIK Supriyadi

Program Studi Penyiaran Akom BSI Jakarta

Jalan Kayu Jati V, No.2, Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur supriyadi.spy@bsi.ac.id

Abstract

Editorial cartoons (politics) to put forward a message and a cartoon depiction of a situation rather than a figure or figures that appear. The use of verbal language is the linguistic aspect that often can not be avoided in view of a work of political cartoons. Use of verbal elements such as words, phrases, sentences, discourse besides witty drawings is required as the most important element in the cartoon. Non-verbal munication is often used to describe the feelings and emotions, non-verbal communication is often called com-munication without words (for not say). Characteristics of non-verbal comcom-munication is non-verbal messages of meaning and non-verbal functions have differences in the way the studies and content.

Key words : political cartoons, language of expression Abstraksi

Kartun editorial (politik) lebih mengedepankan pesan dan situasi penggambaran kartun daripada figur atau tokoh yang dimunculkan. Mengenai kandungan kritiknya dalam kartun editorial yang sering lugas, tegas kadangkala pedas, tampaknya dipengaruhi oleh situasi dalam menyikapi kebijakan atau peristiwa yang sedang terjadi. Pesan dalam kartun politik era tahun 1965 tampak dengan gaya visualnya yang sederhana, memper-hitungkan segi artistik seperti mempermemper-hitungkan komposisi, hitam putih, dan pengolahan blok. Kartun politik era tahun 1965 lebih mengedepankan pesan dan situasi penggambaran kartun daripada figur atau tokoh yang dimunculkan, sehingga karya kartunnya lebih mengutamakan pesan bukan kebagusan teknis. Dalam era tahun 1965, kartun politik memikirkan kandungan humor dalam setiap karya kartunnya.

Kata kunci : kartun politik, bahasa ungkap I. PENDAHULUAN

Kartun diciptakan berawal dari satu gagasan yang dimulai dari realitas yang disajikan. Kartun tampil tidak sekedar hanya untuk memberikan in-formasi sebagaimana berita, tetapi kartun mem-berinya dimensi, sehingga realitas yang disajikan terasa bertambah berwarna selain juga membuat relasinya tersenyum dan tertawa walau kadang tera-sa getir. Kartun adalah sebuah gambar yang bersi-fat reprensentatif dan simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya mun-cul dalam publikasi secara periodik, dan paling ser-ing menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga men-jadi target, misalnya dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang (Setiawan, 2002:34). Dengan kata lain, kartun merupakan metafora visual hasil ekspresi dan interpretasi atas lingkungan sosial poli-tik yang tengah dihadapi oleh seniman pembuatnya.

Media kartun biasanya disajikan sebagai sel-ingan setelah para pembaca menikmati rubrik-rubrik atau artikel yang lebih serius. Melalui kartun, para pembaca dibawa ke dalam situasi yang lebih santai. Meskipun pesan-pesan di dalam beberapa kartun sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampai-kan lewat berita dan artikel, namun dengan kartun dapat dengan mudah dicerna dan dipahami maknan-ya. Walaupun bukanlah menjadi tujuan utama orang dalam membaca suatu surat kabar kehadiran kartun sebagai bagian dari rubrik dari surat kabar. Kehad-iran kartun harus diakui mampu menyampaikan pe-san yang amat luas, mendalam, dan tajam dalam me-nyikapi kondisi riil yang berkembang di masyarakat kita.

Kritik kartun sebenarnya hanya usaha pe-nyampaikan masalah aktual ke permukaan, sehingga muncul dialog antara yang dikritik dan yang meng-kritik, serta dialog antara masyarakat itu sendiri,

(2)

dengan harapan akan adanya perubahan. Aspek pertentangan dalam tradisi penciptaan kartun sebe-narnya bukanlah lebih mementingkan naluri untuk mengkritik, melainkan lebih menekankan fakta-fakta historis bahwa masyarakat telah memasuki bentuk komunikasi politik yang modern, dan tidak lagi mempergunakan kekuatan atau kekuasaan (Ander-son, 1990:162).

II. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Klasifikasi Kartun

Pengertian kartun yang sebenarnya adalah meminjam istilah dari bidang fine arts. Kata kartun berasala dari bahasa Itali “cartone” yang berarti ”ker-tas”. Kata kartun pertama-tama digunakan untuk me-nyebut desain atau sketsa dalam ukuran penuh untuk lukisan cat minyak, permadani atau mozaik. Kata tersebut memperoleh arti yang dikenal orang masa kini secara kebetulan.

Beberapa desainnya sangat buruk sehingga Punch mereproduksi kartun-kartun yang dimaksud-kan untuk desain itu, lalu menerangdimaksud-kannya dengan nada sindiran. Lahirlah kartun Punch, dan kata itupun lalu memperoleh arti barunya. ”Punch” merupakan majalah satir yang menjadi media kritik kebijakan pe-merintah yang tidak sesuai aspirasi masyarakat. Sejak saat itu kata ”cartoon” mulai dipakai untuk menyebut gambar sindir (Wagiono, 1983:33).

Pengertian kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah pu-blik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga menjadi target, misalnya dengan mengangkat kebi-asaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau men-genai kepribadian seseorang. (Setiawan, 2002:34). Dalam The Encyclopaedia of Cartoons (Horn, 1980:15-24), pengertian ”cartoon” dibagi lagi menja-di empat jenis sesuai dengan kegiatan yang menja- ditandain-ya, yaitu : comic cartoon, Gag Cartoon untuk lelucon sehari-hari, Political Cartoon untuk gambar sindir politik, animated cartoon untuk film kartun. Penger-tian kartun editorial (editorial cartoon) yang diguna-kan sebagai visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual sehingga sering disebut kartun politik (political cartoon). Dalam kartun politik, seringkali muncul figur dari tokoh terkenal yang dikaitkan dengan tema yang sedang hangat-hangatnya

yang terjadi di dalam masyarakat. Karikatur bisa saja muncul dalam sebuah karya kartun editorial untuk menampilkan tokoh yang disindir (Priyanto,2005:4). Penggunaan istilah antara karikatur dan kartun masih sering digunakan dan menjadikan keduanya rancu. Karikatur diartikan sebagai gambar sindir serius (sat-ire) sedangkan kartun hanyalah gambar lucu (Sibara-ni, 2001:9-11). Untuk menghindari kerancuan antara istilah karikatur dan kartun, dalam artikel ilmiah ini menggunakan istilah ”kartun politik (Political Car-toon)” agar membatasi lingkup kegiatan khusus, yaitu sindiran yang dimuat di media surat kabar dan ma-jalah sebagai editorial (tajuk rencana). Kartun ini bi-asanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual sehingga sering disebut kartun politik (politi-cal cartoon), contoh :

Gambar 01. Sumber : Editorial Kartun Inilah.com 22/02/11

Gambar 02. Sumber : Editorial Kartun Sindo 22/02/11

Sekitar tahun 1965, terbit surat kabar mingguan Ma-hasiswa Indonesia edisi Jawa Barat pada tanggal 19 Juni 1966 di Bandung berbentuk tabloid yang dikel-ola oleh aktivis-aktivis mahasiswa angkatan 66 dari berbagai perguruan tinggi di Bandung terutama ITB dan UNPAD. Dengan diterbitkannya Mahasiswa In-donesia ini mempunyai arti yang besar, karena men-jadi jembatan hubungan antara Mahasiswa Indonesia

(3)

dengan kelompok militer, terutama dengan Siliwan-gi. Mingguan Mahasiswa Indonesia populer dalam kampanye menjatuhkan Soekarno dan menjadi media kaum intelektual dalam melahirkan konsep-konsep awal Orde Baru.

Dalam setiap penerbitannya mingguan ini menyajikan rubrik kartun yang tematik sesuai fokus berita dan situasi aktual yang terjadi. Bersama rekan-rekannya, seperti Haryadi Suadi, Sanento Yuliman, Keulman (Ke), Dendi Sudiana, Ganjar Sakri (Gas), T. Sutanto (TS) yang merupakan kartunis mahasiswa boleh dikatakan berani melancarkan kritikan-kritikan terhadap pemerintahan pada masa itu.

Dengan coretan yang sederhana tetapi lang-sung pada sasarannya, mereka mencoba menelanjan-gi kepincangan dalam sikap hidup yang terjadi pada masa itu, serta ungkapan rasa ketidakpuasan terhadap pemimpin dan pemerintahannya. Pada waktu pers mahasiswa mempunyai ciri tersendiri dalam gaya menulis dan keberaniannya untuk mengkritik dengan sangat pedas.

Bahwa mahasiswa selain diluar dunia keg-iatan akademis, kadang-kadang mempunyai ika-tan-ikatan afiliasi kepada suatu ormas atau orpol yang harus dihindari meski belum terikat status-nya, hingga belum tergolong dalam function-al group yang diikat oleh unsur esprit de corps ataupun vested interest (Susanto, 1974:442).

Sampai beberapa bulan setelah usaha kudeta 1965, masa depan politik Indonesia masih belum jelas. Pada akhirnya, Soeharto membangun apa yang dikenal ’orde baru’ Indonesia, untuk membedakannya dengn ’orde lama’ dari masa pemerintahan Soekarno. Orde baru dibentuk dengan dukungan yang sangat besar dari kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu. Namun dalam perjalanan waktu, kondisi pada masa orde baru juga mengalami pasang surut, dimana korupsi merajalela, pertentan-gan politik, keadaan ekonomi, kewibawaan hukum yang dipertanyakan, dan masalah sosial lainnya seperti keamanan yang kurang stabil. Dari kondisi masyarakat yang seperti itu, membuat perkembangan gaya kartun politik lebih bersifat tajam walau den-gan kandunden-gan humor yang lebih kental namun sat-ire daripada masa orde lama dikarenakan masyarakat belajar dari pengalaman masa lalu yang menjadikan masyarakat lebih kritis, peka, dan sensitif. Setiap era pemerintahan dalam menjalankan kekuasaan pasti ha-rus menghadapi kenyataan akan kritik dari masyarakat sebagai kontrol terhadap pemerintah, namun di era Orde Baru, pembatasan terhadap kebebasan bersuara lebih terasa sekali dan cenderung bersifat represif.

Pemerintah orde baru mempunyai kekuasaan

mutlak untuk membatasi bahkan menghilangkan kritik dari masyarakat. Ditambah lagi pembentukan KOPKAMTIB, yang dianggap memasung kebebasan pers dan kehidupan demokrasi. Seperti yang dialami GM Sudarta pada tahun 1974 yaitu larangan pemua-tan karya kartunnya selama 11 bulan.

Dengan tindakan represif terhadap sega-la kritikan dengan tindakan pengaman, membuat masyarakat segan dan takut untuk mengkritisi pemer-intah yang berkuasa. Kondisi bawahan takut menge-mukakan pikiran-pikiran baru yang berlainan dari yang disenangi kaum ”establishmen”, dan tidak be-rani mengeluarkan kritik atau peringatan-peringatan agar jangan terus salah jalan, tidak berani menyam-paikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan sang bapak, sedang bapak-bapak sudah merasa puas diri dalam salah tafsir sikap feodal bahwa kuasa adalah sama dengan bijaksana, pandai, maha tahu segala, maha benar senantiasa (Lubis, 1977:31).

Gejala tersebut juga menghinggapi kehidupan dunia kartun, walau muncul beberapa tokoh kartun dalam beberapa media cetak, seperti Mang Ohle di Pikiran Rakyat, Oom Pasikom di Kompas, dan Ke-ong di Sinar Harapan yang meramaikan dengan gaya dan opini yang berbeda-beda. Pada masa ini kartun hanya berfungsi melakukan penilikan sosial dengan mengambil tema-tema seperti, kejadian sehari-hari masyarakat, menanggapi kebijakan pemerintah dan tingkah laku pejabat yang menduduki kekuasaan ter-tentu dalam pemerintahan. Selama masa Orde Baru, penerbitan berita atau opini yang berbau politik ter-hadap pemerintah, kepala negara, petinggi negara, hingga aparat, selalu dihantui pembreidelan atau pen-cabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) (Setiawan, 2002:12).

2.2.. Bahasa Verbal

Penggunaan bahasa verbal adalah aspek lin-gusitik yang seringkali tidak dapat dihindari dalam tampilan sebuah karya kartun. Pemanfaatan unsur-unsur verbal seperti kata, frasa, kalimat, wacana dis-amping gambar-gambar jenaka sangat diperlukan se-bagai unsur terpenting dalam kartun. Berse-bagai teknik digunakan dalam memberi variasi pada teks seperti kata-kata tertentu diberi tekanan dengan dicetak tebal atau dengan bentuk tipografi khusus.

Dalam khazanah bahasa dalam komik yang juga terdapat dalam kartun, perbendaharaan kata ter-entang dari wilayah visual hingga wilayah verbal, dari bentuk gambar hingga bentuk tulisan. Scott McCloud

(4)

(2001:51) menyatakan bahwa hal ini bukanlah ses-uatu yang baru, karena pada awalnya adalah gambar dan tulisan memang menyatu. Abjad pada awalnya adalah gambar berstilasi; pada perkembangan se-lanjutnya ia menjadi semakin abstrak dan akhirnya unsur gambarnya hilang.

Dalam kartun sering terdapat ungkapan-ung-kapan khas yang menempati wilayah diantara visual dan verbal, yaitu bentuk-bentuk gambar yang telah menyimbol atau sebaliknya bentuk tulisan yang mengikon. Ungkapan-ungkapan ini dikenal sebagai quipu (tanda atau simbol), dan onomatopea. Bentuk quipu yang menonjol adalah balon dan panel. Balon menunjukkan ucapan atau pikiran suatu obyek, dan panel menunjukkan pemisahan waktu dan ruang.

Ada beberapa cara di dalam kartun untuk menampilkan tulisan atau huruf secara visual, yakni : sebagai judul yang ditulis besar dan biasanya ter-letak diatas, sebagai caption (keterangan gambar), sebagai balon kata (berisi dialog), sebagai identitas nama atau ”label” (identifikasi tertulis yang diletak-kan pada objek), dan sebagai onomatopea (peniruan verbal pada bunyi tanpa arti seperti dor, huh) (Pri-yanto, 2005:116).

2.3. Bahasa Non Verbal

Komunikasi non verbal acapkali diperguna-kan untuk menggambardiperguna-kan perasaan dan emosi, ko-munikasi non-verbal acapkali disebut koko-munikasi tanpa kata (karena tidak berkata-kata). Karakteristik dari komunikasi non verbal adalah pemaknaan pe-san non-verbal maupun fungsi non verbal memiliki perbedaan dalam cara dan isi kajiannya. Pemaknaan (meanings) merujuk pada cara interprestasi suatu pesan; sedangkan fungsi (functions) merujuk pada tujuan dan hasil suatu interaksi.

Pembagian bahasa non verbal, menurut Knapp dan Tubs (1978) dalam Liliweri menjadi tu-juh kelompok, antara lain, yaitu : gerakan tubuh (ki-nesik), karakteristik fisik yang meliputi gerakan atau keadaan penampilan tubuh secara menyeluruh, pe-rilaku meraba, paralinguistik, proksemik, artifacts, dan faktor lingkungan (Liliweri, 1994:112-113).

Tubuh manusia merupakan transmiter uta-ma kode-kode presentasional, Argyle (1972) dalam Fiske (2006:124) membuat susunan daftar 10 kode, yaitu : kontak tubuh, proksimity (proksemik), ori-entasi, penampilan, anggukan kepala, ekspresi wa-jah, gestur (kinesik), postur, gerak mata dan kontak mata, dan aspek non verbal percakapan.

Sedangkan Duncan dalam Liliweri (1994:114) menjelaskan pembagian dimensi bahasa

non-verbal menjadi enam jenis, yaitu : gerakan tubuh: misalnya perilaku kinesik: gestures dan gerakan ang-gota tubuh termasuk ekspresi wajah, gerakan mata, dan postur tubuh, paralinguistik : kualitas suara, pen-garuh ujaran, suara-suara seperti tertawa, teriakan, berdengung, proksemik : persepsi pribadi maupun sosial terhadap cara penggunaan ruang dan jarak fisik ketika berkomunikasi, penciuman, kepekaan kulit, penggunaan artefak seperti pakaian dan kosmetik. Untuk penelaahan karya kartun, pengamatan untuk bahasa non-verbal kinesik dan pesan artifaktual akan membantu untuk mengkaji dan mengetahui mak-na dari kartun tersebut, seperti menurut Bellak dan Baker (1981) dalam Liliweri (1994:143-148) ada tiga macam bentuk dan tipe gerakan tubuh, yaitu :

1. Kontak mata (Gaze). Kontak mata juga mengacu pada sesuatu yang disebut dengan gaze yang me-liputi suatu keadaan penglihatan secara langsung antar orang (selalu pada wilayah wajah) di saat sedang berbicara. Kontak mata sangat menen-tukan kebutuhan psikologi dan membantu kita memantau efek komunikasi antarpribadi. Melalui kontak mata anda dapat menceriterakan kepada orang lain suatu pesan sehingga orang akan mem-perhatikan kata demi kata melalui tatapan. Misal-nya pandangan sayu, cemas, takut, terharu, dapat mewarnai latar belakang psikologis Anda. Jum-lah dan cara-cara penataan mata berbeda dari ses-eorang dengan orang yang lainnya, dari budaya yang satu ke budaya yang lain.

2. Ekspresi wajah. Didalamnya meliputi raut wajah yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara emosional atau bereaksi terhadap suatu pesan. Wajah setiap orang selalu menyatakan hati dan perasaannya. Wajah ibarat cermin dari pikiran, dan perasaan. Melalui wajah orang juga bisa membaca makna suatu pesan. Pernyataan wajah menjadi masalah ketika (1) ekspresi wajah tidak merupakan tanda perasaan; atau (2) ekspresi wa-jah yang dinyatakan tidak seluruhnya/tidak secara total merupakan tanda pikiran dan perasaan. 3. Gesture, ini merupakan bentuk perilaku non

verbal pada gerakan tangan, bahu, dan jari-jari. Penggunaan anggota tubuh secara sadar maupun tidak sadar yang berfungsi untuk menekankan suatu pesan. Ternyata manusia mempunyai ban-yak cara dan bervariasi dalam menggerakan tu-buh dan anggota tutu-buhnya ketika mereka sedang berbicara. Mereka yang cacat bahkan berkomu-nikasi hanya dengan tangan saja. Gerakan tubuh dapat dikategorikan menjadi beberapa macam tipe, yakni :

(5)

a. Affect display. Perilaku affect display selalu mengambarkan perasaan dan emosi. Wajah mer-upakan media yang paling banyak digunakan untuk menunjukkan reaksi terhadap pesan yang direspons.

b. Emblem. Sebagai terjemahan pesan non ver-bal yang melukiskan sesuatu makna bagi suatu kelompok sosial. Tanda ’V’ menunjukkan suatu tanda kekuatan dan kemenangan yang biasanya dipakai dalam kampanye presiden di Amerika Serikat. Atau di Indonesia dipakai untuk menun-jukkan kemenangan Golkar.

c. Ilustrator. Tanda-tanda non verbal dalam komu-nikasi. Tanda ini merupakan gerakan anggota tu-buh yang menjelaskan atau menunjukkan contoh sesuatu. Seorang ibu melukiskan ukuran tubuh putrinya yang seusia anak SD dengan menaiktu-runkan tangannya dari permukaan tanah.

d. Adaptor. Sebuah gerakan anggota tubuh yang ber-sifat spesifik. Pada mulanya gerakan ini berfung-si untuk menyebarkan atau membagi ketegangan anggota tubuh, misalnya meliuk-meliukan tubuh, memulas tubuh, menggaruk kepala, dan loncatan kaki. Sebagai contoh gerakan mengusap-usap kepala orang lain sebagai tanda kasih sayang (al-ters adaptors), sedangkan gerakan menggaruk kepala untuk menunjukkan kebingungan (self adaptors).

e. Regulator. Gerakan yang berfungsi mengarah-kan, mengawasi, mengkoordinasi interaksi den-gan seksama. Sebagai contoh, kita menggunakan kontak mata sebagai tanda untuk memperhatikan orang lain yang sedang berbicara dan menden-garkan orang lain. Regulator merupakan tanda utama yang bersifat interaktif, bentuknya ikonik dan intrinsik.

Ketika berkomunikasi non verbal maka banyak orang mempelajari mengenai pernyataan diri dengan mela-lui tanda dan simbol yang memberikan pesan tertentu Salah satu bentuk pernyataan diri adalah pakaian. Se-bagai pesan artifaktual, adalah pakaian akan memben-tuk citra tubuh. Pakaian merupakan salah satu benmemben-tuk daya tarik fisik yang melekat pada tubuh seseorang. Orang bisa menerka ekspresi emosi dan perasaan melalui pakaian dan asesories yang melengkapinya. Penyampaian pesan non-verbal yang sangat berpen-garuhi adalah mengenai cara pengambilan gambar, menurut Wiil Eisner (1985: 42) ada tiga cara pengam-bilan gambar, yaitu : (1) full figure (long shot), yaitu cara pengambilan gambar yang menunjukkan ke-seluruhan tubuh dari kepala sampai kaki, (2) me-dium (meme-dium close up), cara pengambilan gambar

cara pengambilan gambar yang memperlihatkan mulai bagian kepala sampai bahu, (3) close up, cara pengambilan gambar yang hanya memperlihatkan bagian kepala saja.

III. PENUTUP

Kartun editorial politik lebih mengedepankan pesan dan situasi penggambaran kartun daripada figur atau tokoh yang dimunculkan. Mengenai kandungan kritiknya dalam kartun editorial yang sering lugas, tegas kadangkala pedas, tampaknya dipengaruhi oleh situasi dalam menyikapi kebijakan atau peristiwa yang sedang terjadi.

Pada era tahun 1965, kartun politik menggu-nakan bahas ungkap visual dengan berbagai, yakni : sebagai judul yang ditulis besar dan biasanya terletak diatas, sebagai caption (keterangan gambar), sebagai balon kata (berisi dialog), sebagai identitas nama atau ”label” (identifikasi tertulis yang diletakkan pada ob-jek), dan sebagai onomatopea (peniruan verbal pada bunyi tanpa arti seperti dor, huh).

Penyampaian pesan nonverbal yang sangat berpengaruhi adalah mengenai cara pengambilan gambar dalam kartun politik era tahun 1896 lebih banyak menggunakan full figure (long shot), yaitu cara pengambilan gambar yang menunjukkan keselu-ruhan tubuh dari kepala sampai kaki, sehingga semua elemen kartun tersebut tampil untuk menunjukkan pesan yang ingin disampaikan. Namun kadangkala juga menggunakan cara pengambilan gambar me-makai tipe medium close up, cara pengambilan gam-bar yang memperlihatkan mulai bagian kepala sampai bahu, serta tipe close up, cara pengambilan gambar yang hanya memperlihatkan bagian kepala saja.

Pesan dalam kartun politik era tahun 1965 tampak dengan gaya visualnya yang sederhana, mem-perhitungkan segi artistik seperti memmem-perhitungkan komposisi, hitam putih, dan pengolahan blok. Kartun politik era tahun 1965 lebih mengedepankan pesan dan situasi penggambaran kartun daripada figur atau tokoh yang dimunculkan, sehingga karya kartunnya lebih mengutamakan pesan bukan kebagusan teknis. Dalam era tahun 1965, kartun politik memikirkan betul kandungan humor dalam setiap karya kartun-nya.

Kartunis era tahun 1965 dalam menyampaikan kritik yang kadang terasa tajam khususnya pada masa akhir Orde Lama dan munculnya Orde Baru tersebut sebagai keputusan yang dipengaruhi oleh situasi pada saat itu dimana semangat untuk mengadakan perubahan di masyarakat. Selain itu kartunis di era tahun 1965, da-lam karya kartun politik memilih gaya penggambaran

(6)

yang efisien, efektif, dan spontan serta lebih mement-ingkan kualitas dibalik rupa. Oleh karena itu kartunis di era tahun 1965 tidak terlalu suka kebagusan teknik gambar, tapi lebih ketepatan gagasan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict R.O’G. 1990. Language and Power: Exploring Political Culture of Indo-nesia. Ithaca : Cornell University Press.

Bishop, Franklin. 2006. The Cartoonist’s Bible. Lon-don. Quarto Publishing plc,.

Lubis, Mochtar. 197. Manusia Indonesia. Jakarta. Id-ayu Pers.

Mahamood, Mulyadi. 1999. Kartun dan Kartunis. Selangor. Stilglow Sdn. Bhd

McCloud, Scott. 2001. Understanding Comics. Ja-karta. Kepustakaan Populer Gramedia.

Priyanto, S. 2005. Metafora Visual Kartun pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957. Disertasi. Disertasi. Bandung. FSRD ITB.

Rauf, Maswadi. 1993. Komunikasi Politik : Masalah Bidang Kajian dalam Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Setiawan, Muhammad Nashir. 2002. Menakar Panji Koming. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. Sibarani, Agustin. 2001. Karikatur dan Politik.

Ja-karta. Garda Budaya.

Susanto, Astrid S. 1974. Komunikasi dalam Teori dan Praktek Bandung. Binacipta.

Wagiono. 1983. The Change of Styles in Graphics Satires. Thesis. NY. Pratt Univ.

Gambar

Gambar 01. Sumber : Editorial Kartun Inilah.com  22/02/11

Referensi

Dokumen terkait

Hasil wawancara yang dilakukan peneliti diperoleh hasil bahwa penderita hipertensi jarang diberikan promosi kesehatan oleh tenaga medis tentang hipertensi baik

Objektif kajian ini adalah untuk mengkaji kepelbagaian spesies lalat buah Diptera: Tephritidae dan membina kekunci dikotomi bergambar untuk lalat buah yang berada di Hutan

Kelapa sawit atau elais adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Penyebaran perkebunan sawit

Kesimpulan dalam kegiatan ini adalah (a) Mitra dapat memahami tentang pentingnya Peraturan Desa; (b) Mitra mampu meningkatkan pemahamannya tentang tata cara pembentukan

Guru harus mampu berperan sebagai desainer (perencana), implementor (pelaksana), dan evaluator (penilai) kegiatan pembelajaran. Guru merupakan faktor yang paling dominan,

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya (Azwar, 1998: 91). Sumber data sekunder

rekomendasi proyek-proyek strategis perusahaan. c) Memastikan perubahan pada ruang lingkup unit coorporate communications and affair dikelola secara efektif untuk

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh struktur modal yang diwakili oleh DER/ Debt to Equity Ratio serta profitabilitas yang diwakili ROE/ Return Of Equity