• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Prostat

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal urethra (urethra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 18 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2 cm. Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus, yaitu, lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan lobus posterior. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja (Ross, 2008).

Prostat terdiri dari 70% unsur kelenjar dan 30% stroma fibromuskular. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, dan zona transisional. Zona perifer menyusun 70% dari jaringan kelenjar prostat dan mencakupi bagian posterior dan lateral kelenjar tersebut. Zona transisional mencakup 5% hingga 10% daripada jaringan kelenjar prostat. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus dikedua sisi dari verumontanum. Zona sentral mencakupi 25% dari jaringan kelenjar prostat dan membentuk konus sekitar duktus ejakulatorius sehingga ke basis kandung kemih (Roehrborn, 1996).

Vaskularisasi prostat berawal dari arteri vesikalis inferior; yang merupakan cabang dari arteri iliaka internal. Arteri vesikalis inferior memperdarahi dasar kandung kemih, ureter distal, dan prostat (Bilhim, 2012). Cabang arteri pertama adalah arteri urethra yang memasuki persimpangan posterolateral prostatovesical, dan berjalan tegak lurus dengan urethra ke arah leher kandung kemih kira-kira pada arah pukul 5 dan 7 (Benninghoff, 1993). Arteri urethra kemudian bergerak ke arah kaudal sejajar dengan urethra untuk memperdarahi zona transisional, arteri inilah yang menjadi pasokan utama untuk adenoma pada kasus BPH. Cabang lain berjalan

(2)

dari posterolateral prostat bersamaan dengan saraf cavernosa, arteri ini kemudian memasuki prostat untuk memperdarahi kapsul kelenjar prostat. (Gambar 1.1)

Gambar 1.1 Pembuluh darah prostat

2.2 Definisi BPH

BPH adalah suatu proses patologi yang menyebabkan terjadinya gejala pada saluran kemih bagian bawah (LUTS/lower urinary tract symptoms) umumnya pada pria tua, biasanya disebut juga “male LUTS” (Roehrborn, 1996). Istilah benign prostatic hiperplasia (BPH) merupakan proses proliferasi dari bagian stroma dan epithelial kelenjar prostat, menyebabkan prostat membesar, dan mengakibatkan aliran dan pancaran urin menurun yang biasanya disebut dengan bladder outlet obstruction (BOO) (Lepor, 2007).

2.3 Etiologi BPH

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat

(3)

kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan (Roehrborn, 1996). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: teori hormonal, teori growth hormon, teori peningkatan lama hidup sel prostat karena berkurangnya sel yang mati, teori sel stem, teori reawakening.

2.4 Patofisiologi BPH

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen urethra pars prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti, 2013).

Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi urethra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin (Lepor, 2004). Tekanan intravesikal yang semakin tinggi ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali tekanan tersebut mempengaruhi kedua muara ureter. Tekanan yang tinggi buli-buli menyebabkan urin dari ureter tidak dapat masuk ke buli-buli sehingga mengakibatkan penumpukan urin di ureter bahkan sampai ke ginjal. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Presti, 2013).

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periurethra yang akan mendesak urethra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urin (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang

(4)

merupakan reseptor alpha adrenergik. Stimulasi pada reseptor alpha adrenergik akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Presti, 2013).

2.5 Transurethral resection of prostate (TURP)

Transurethral Resection of the Prostate (TURP) adalah suatu tindakan endoskopis pengurangan masa prostat (prostatektomi) dengan tujuan agar urin dapat mengalir lancar. TURP merupakan gold standar pembedahan endoskopik untuk Benign Prostat Hypertrophy (pembesaran prostat jinak) (Rassweiler, 2006). Istilah benign prostate hyperplasia yang disingkat BPH, mengacu pada perubahan histologis yang ditandai dengan hiperplasia nodular kelenjar prostat pada zona periurethral yang sifatnya perlahan dalam jangka waktu yang lama dan progresif.

TURP dilakukan dengan cara bedah elektro (electrosurgical) atau metode alternatif lain yang bertujuan untuk mengurangi perdarahan, masa rawat inap, dan absorbsi cairan saat operasi. Metode alternatif ini antara lain vaporization TURP (VaporTode), TURP bipolar, vaporisasi fotoselektif prostat (PVP), dan enukleasi laser holmium serta tidanakan invasif minimal lainnya seperti injeksi alkohol, pemasangan stent prostat, dan laser koagulasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades) (Rahardjo, 1999).

Rekomendasi AUA, batasan ukuran prostat yang aman untuk dilakukan prosedur TURP masih belum jelas. Untuk ukuran di atas 80 cc, AUA dan EUA merekomendasikan tindakan prostatektomi terbuka. Studi oleh Muzzonigro et al (Muzzonigro, 2004) dan Simforoosh et al (Simforoosh, 2010) menggunakan batas 70 cc sebagai batas aman tindakan TURP. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa prosedur TURP yang berdurasi lebih dari 60 menit memiliki risiko perdarahan dan striktur yang lebih besar.

(5)

2.5.1 Indikasi TURP

Indikasi untuk dilakukan TURP mengacu pada gangguan berkemih yang sedang hingga berat walaupun dengan pemberian obat-obatan.

Indikasi absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut: 1. Retensi urin yang berulang.

2. Infeksi saluran kemih berulang akibat pembesaran prostat. 3. Gross hematuria berulang.

4. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli. 5. Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.

6. Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan buli terganggu akibat pembesaran prostat.

Secara umum pasien dengan gejala LUTS sedang-berat yang tidak berespon terhadap pengobatan dengan alfa-adrenergik bloker dan/atau 5-alfa reduktase blok inhibitor dipertimbangakan untuk menjalani prosedur pembedahan. TURP diindikasikan pada pasien dengan gejala sumbatan saluran kencing menetap dan progresif akibat pembesaran prostat yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi obat-obatan (Roehrborn, 1996).

2.5.2 Kontraindikasi

TURP merupakan prosedur elektif dan tidak direkomendasian pada pasien tertentu. Hampir semua kontraindikasinya adalah kontraindikasi relatif, berdasarkan kondisi komorbid pasien dan kemampuan pasien dalam menjalani prosedur bedah dan anestesi. Kontraindikasi relatif antara lain adalah status kardipulmoner yang tidak stabil atau adanya riwayat kelainan perdarahan yang tidak bisa disembuhkan. Pasien yang baru mengalami infark miokard dan dipasang stent arteri koroner sebaiknya ditunda sampai 3 bulan bila akan dilakukan TURP (Roehrborn, 1996).

(6)

2.6 Komplikasi TURP

2.6.1 Perdarahan Intraoperatif

Walaupun prosedur TURP telah lama ditemukan, namun prosedur ini masih mempunyai komplikasi yang cukup bermakna. Meski angka kejadian komplikasi terus membaik, pendarahan masih merupakan komplikasi paling sering yang terjadi selama prosedur TURP, terutama pada prostat dengan volume >30 cc (Welliver et al, 2013).

Perdarahan yang berasal dari arteri lebih sering dijumpai pada kasus dengan adanya riwayat infeksi saluran kemih dan retensi urin. Dengan pemberian anti-androgen sebelum TURP dapat mengurangi perdarahan. Pemberian anti anti-androgen (5 alpha reductase inhibitor) seperti finasteride atau dutasteride, didalilkan mampu menurunkan kejadian pendarahan akibat TURP dengan cara menurunkan ekspresi dari VEGF dan jumlah pembuluh mikro pada prostat (prostatic microvessel density). Beberapa penelitian menemukan bahwa penggunaan dari anti androgen sebelum TURP menurunkan jumlah pendarahan pada saat prosedur; namun penelitian oleh Hahn dkk tidak menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari penggunaan dutasteride preoperatif dengan banyaknya pendarahan (Hahn et al. 2007). Perdarahan dari vena umumnya terjadi karena perforasi dari kapsul dan terbukanya sinus vena. Jumlah perdarahan tergantung pada ukuran prostat dan jumlah prostat yang dikeluarkan/direseksi (Rassweiler, 2006).

Beberapa penelitian mencoba mengaitkan mengenai kecepatan reseksi dengan komplikasi pendarahan, namun penelitian oleh Rassweiler dkk tidak menemukan adanya pengaruh dari kecepatan reseksi dengan komplikasi pendarahan.(Rassweiler et al. 2006) Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa rata-rata kecepatan reseksi pada prosedur TURP adalah 0.6 g/ menit; jauh dari batas yang didapatkan pada sitasi lainnya yaitu 1 g/menit (AUA, 2010).

Tindakan TURP dengan teknik Mauermeyer melakukan penanganan awal pada pembuluh darah jam 5 dan jam 7, sedangkan teknik Nesbit melakukan penanganan pada jam 11 dan jam 1. Kedua teknik ini dapat dilakukan untuk

(7)

mengurangi perdarahan yang terjadi namun tidak terdapat perbedaan (Rassweiler et al. 2006).

Berikut adalah masalah yang timbul pada perdarahan arteri saat TURP: 1. Perdarahan tepat menutupi bagian optic alat TURP 2. Perdarahan tertutup oleh bekuan darah

3. Perdarahan dekat dengan daerah apex (jam 12) atau pada bladder neck Pada arteri yang lebih besar, resektoskop dapat digunakan untuk melakukan kompresi pada daerah yang berdarah. Setelah itu dilakukan pengaturan pada lensa untuk mendapatkan posisi yang baik dalam melihat sumber perdarahan (Gambar 1.2).

Gambar 1.2. Resektoskop diatur kembali agar mendapatkan visualisai pada sumber perdarahan

Perdarahan arteri dilakukan koagulasi mengelilingi daerah yang berdarah (Gambar 1.3). Koagulasi daerah perdarahan harus dilakukan dengan seksama dan cairan irigasi dialirkan secara minimal agar terlihat bagian prostat yang masih berdarah terutama arteri-arteri kecil (Gambar 1.4).

(8)

Gambar 1.4. Adanya billard efek dari perdarahan arteri yang menyebabkan sulitnya identifikasi perdarahan

Perdarahan yang disebabkan oleh vena dapat menyebabkan masuknya cairan irigasi ke aliran sistemik bila tidak teridentifikasi. Perdarahan pada sinus vena dapat dikoagulasi namun harus dilakukan dengan sangat hati-hati bila berhubungan dengan perforasi kapsul prostat. Perdarahan pada vena yang kecil dapat ditangani dengan “three-way balloon” kateter saat selesai tindakan TURP, balon kateter diberikan 20cc lebih besar dibandingkan dengan volume prostat yang dikeluarkan (Gambar 1.5).

(9)

Penanganan pendarahan paska TURP, dapat dilakukan dengan medikamentosa maupun dengan cara aktif. Cara aktif berupa kontrol pendarahan selama operasi dan pemasangan balon kompresi. Penanganan medikamentosa yaitu dengan cara pemberian antifibrinolitik (asam traneksamat); pemberian anti androgen; maupun terapi lokal dengan epinefrin (Kavanagh et al. 2011). Pemberian anti fibrinolitik terutama berpengaruh untuk menstabilisasi proses penggumpalan darah (clotting).

Pendarahan paska TURP juga sangat jarang memerlukan transfusi. Studi oleh Mteta dkk menunjukkan bahwa transfusi pada pasien paska TURP biasanya adalah akibat penilaian klinis yang tidak tepat, sehingga memunculkan resiko pendarahan yang pada dasarnya dapat diminimalisir (Mteta, 2012). Dengan ditemukannya berbagai teknologi dalam alat TURP sekarang ini angka kejadian tranfusi dapat ditekan, dimana pada awal TURP didapatkan angka tranfusi 22% dan saat ini turun pada angka 0.4-7.1% (Rassweiler, 2006). Menurut studi oleh Ather et al, transfusi 2 unit darah diindasikan untuk menghindari anemia post operatif yang signifikan, yaitu ketika Hb post op berada di bawah 10 mg/dl (Ather, 2003)

Gambar

Gambar 1.1 Pembuluh darah prostat  2.2 Definisi BPH
Gambar 1.2. Resektoskop diatur kembali agar mendapatkan visualisai pada  sumber perdarahan
Gambar 1.4. Adanya billard efek dari perdarahan arteri yang menyebabkan  sulitnya identifikasi perdarahan

Referensi

Dokumen terkait

- Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning). Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL

Usia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan prevalensi pterigium, dimana terjadi peningkatan angka kejadian pterigium sesuai dengan meningkatnya usia dimana

Carter dkk menunjukkan bahwa kanker prostat didiagnosa pada 15% pria yang memiliki ayah atau saudara lelaki yang menderita kanker prostat, bila dibandingkan dengan 8%

Serta generasi selanjutnya yang di lahirkan mereka di tempat dengan angka kejadian karsinoma nasofaring yang rendah akan memiliki faktor risiko yang kecil untuk terkena

Syok hipovolemik atau traumatik, akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak

Prosedur pengukuran dan pemberian angka-angka pada variabel diharapkan bersifat isomorphic terhadap realita, artinya ada persamaan dengan realita (Singarimbun dan

Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai.. standar oleh tenaga kesehatan

Tidak semua ibu hamil akan memiliki komplikasi kehamilan yang berisiko tinggi tetapi mengetahui komplikasi atau risiko selama hamil dapat membantu menangani